Anda di halaman 1dari 27

Democracy and Education1

by John Dewey
Pegangan sementara untuk mahasiswa

Bab 1. Pendidikan sebagai kebutuhan hidup


(Dewey, 2004: 1-9)
1. Pembaharuan kehidupan melalui transmisi
Berbeda dengan benda mati, makhluk hidup mempertahankan kehidupan spesies mereka melalui
pembaharuan. Mereka dapat menggunakan apa yang ada di lingkungan mereka bukan hanya sebagai sarana
untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka, tetapi juga untuk tumbuh (to grow). Untuk itu mereka
menaklukkan dan mengontrol lingkungan mereka untuk digunakan sesuai dengan tujuan mereka agar hidup dan
tumbuh. Karena itu, hidup adalah sebuah proses pembaharuan diri melalui tindakan menaklukkan dan
mengontrol lingkungan hidup. Life is a self-renewing process through action upon environment (Dewey,
2004: 2)
Masing-masing makhluk hidup memang tidak dapat memperbaharui diri secara tak terbatas karena
masing-masing akan mati juga, tetapi kehidupan tetap berlangsung tanpa tergantung pada panjang pendeknya
hidup masing-masing. Selama proses reproduksi berjalan, selama itu pula ada kehidupan. Selama masih ada
hidup berarti masih ada upaya untuk mengubah (readaptation) lingkungan untuk kebutuhan makhluk hidup.
Continuity of life means continual readaptation of the environment to the needs of living organisms (Dewey,
2004: 2).
Kehidupan bagi manusia memiliki arti yang sangat luas yang bukan hanya mencakup aspek fisik, tetapi
juga adat, institusi, kepercayaan, kemenangan, kekalahan, rekreasi, pekerjaan dst. Semua itu dirangkum Dewey
dengan kata pengalaman (experience). Di situ prinsip kontinuitas melalui pembaharuan juga berlaku. Bagi
manusia pembaharuan berarti bukan hanya perubahan, tetapi juga penciptaan kembali (re-creation)
kepercayaan, idealism, harapan, kebahagian, kemalangan dan tindakan-tindakan. Pendidikan dalam arti seluasluasnya menjadi sarana untuk tetap menjaga kelangsungan hidup umat manusia dari generasi yang satu ke
generasi yang lainnya.
Pergantian antar generasi membuat pendidikan begitu penting. Arti penting pendidikan bisa dilihat dari
fenomena adanya jurang antar generasi. Di satu pihak ada kontras yang mencolok antara bayi yang baru lahir
dan yang belum dewasa dengan orang dewasa yang sudah memiliki pengetahuan dan adat kebiasaan. Di lain
pihak dirasakan perlu bukan hanya untuk menjaga kelangsungan bayi ini secara fisik supaya tumbuh besar,
tetapi juga memperkenalkan padanya kepentingan, tujuan, informasi, ketrampilan dan praktek hidup
masyarakat. Hanya pendidikan dapat menjembatani jurang itu.
Dewey berbicara mengenai 3 level pengertian pendidikan, yaitu
a. pendidikan sebagai a fostering, a nurturing, a cultivating, process yang berguna bagi pertumbuhan
anak (growth);
b. pendidikan sebagai rearing, raising, bringing up yang mau mengarahkan anak pada tujuan tertentu;
c. pendidikan sebagai shaping, forming, molding activity yang mau membentuk anak dengan standar
yang diharapkan masyarakatnya (Dewey, 2004: 10).
2. Pendidikan dan komunikasi
Masyarakat dapat terus mempertahankan kelangsungannya melalui proses transmisi dengan
mengomunikasikan kebiasan bertingkah-laku, berpikir dan merasa dari generasi yang satu ke generasi yang
lainnya. Proses pembaharuan itu tidak terjadi secara otomatis, melainkan harus dilakukan secara sadar dengan
upaya yang tidak ringan.
Pendidikan menjadi sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup suatu masyarakat (sekolah
hanyalah salah satu sarana utama pendidikan itu). Inti proses pendidikan adalah transmisi melalui komunikasi.
Tujuan, cita-cita, kepercayaan, pengetahuan dsm dari suatu kelompok sosial tidak dapat diberikan secara fisik
kepada generasi mudanya seperti memberikan batu bata, melainkan hanya melalui komunikasi. Komunikasi
merupakan proses sharing pengalaman sampai pengalaman itu menjadi milik bersama. Komunikasi perlu untuk
menjamin partisipasi generasi muda agar mereka dapat mengerti dan merasai apa yang menjadi kekayaan
kelompok sosialnya. Karena masyarakat berkembang semakin kompleks semakin dibutuhkan pendidikan
1

Dewey, John. (2004). Democracy and education. Mineola: Dover.

formal. Pendidikan formal juga membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang tidak dapat dijangkau oleh
pendidikan informal yang terjadi dalam keluarga dan masyarakat lewat komunikasi sosial sehari-hari.

Bab 2. Pendidikan sebagai suatu fungsi sosial


(Dewey, 2004: 10-22)
1. Pengertian lingkungan
Karena yang dibutuhkan adalah sebuah transformasi kualitas pengalaman generasi baru sampai dapat
ambil bagian dalam kepentingan, tujuan dan cita-cita masyarakatnya, pertanyaannya lalu: metode seperti apa
yang dapat mengantar generasi baru untuk memiliki seluruh khasanah dari masyarakat. Jawaban Dewey
secara umum: by means of the action of the environment in calling out certain responses (Dewey, 2004: 11).
Lingkungan tertentu akan mempengaruhi cara seseorang memandang dan merasa sesuatu, mempengaruhi
rencana-rencana tertentu yang ia buat dan memperkuat atau memperlemah keyakinan-keyakinan tertentu. Jadi,
lingkungan membentuk sebuah sistem tingkah laku tertentu atau watak tertentu dalam dirinya. Dewey
mengatakan ada kontinuitas antara lingkungan dan tingkah laku aktifnya. Lingkungan dirumuskan Dewey
sebagai kondisi yang memperkembangkan atau menghalangi, merangsang atau merintangi aktivitas-aktivitas
khas suatu makhluk hidup.
2. Lingkungan sosial
Dewey mengatakan bahwa makhluk hidup yang tindakannya berkaitan dengan yang lainnya memiliki
suatu lingkungan sosial. Apa yang ia buat dan apa yang dapat ia buat tergantung pada harapan, tuntutan,
persetujuan dan celaan lingkungan sosialnya. Ia tidak bisa begitu saja melakukan sesuatu tanpa
memperhitungkan tindakan-tindakan orang lain, karena tindakan-tindakan mereka itu menjadi syarat yang tidak
dapat dipisahkan dari pemenuhan kecenderungan-kecenderungannya. Ada relasi timbal-balik yang tidak dapat
dipisahkan antara dirinya dan lingkungan sosialnya.
Lingkungan sosial memiliki pengaruh yang besar pada generasi baru. Anak yang tangannya tersengat
api akan takut pada api. Kalau orang tua mengatur sedemikian rupa, sehingga setiap kali anak menyentuh
mainan boneka tangannya akan tersengat api, anak akan belajar menghindari mainan itu seperti ia menghindari
api. Lama-lama ia bahkan bisa ketakutan kalau melihat boneka. Hal ini disebut Dewey sebagai training. Dewey
membuat pembedaan antara training dan pendidikan. Dalam training anak hanya dibiasakan untuk memiliki
tindakan atau hasil tertentu. Dalam pendidikan anak sungguh-sungguh ambil bagian dalam tindakan bersama di
mana gagasan dan perasaannya terlibat di dalamnya sehingga ia sungguh-sungguh menjadi partner dan merasa
bahwa kesuksesan bersama menjadi kesuksesannya juga dan kegagalan bersama menjadi kegagalannya juga.
Karena bahasa merupakan sarana penting untuk memperoleh pengetahuan, pengetahuan dapat
disampaikan secara langsung dari orang yang satu ke yang lain. Karena itu, bahasa cenderung menjadi alat
utama untuk mempelajari banyak hal.
3. Medium sosial sebagai wahana mendidik
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa lingkungan sosial membentuk kecenderungan mental dan
emosional dalam diri individu di mana mereka diikutsertakan dalam tindakan-tindakan yang membangkitkan
dan memperkuat impuls-impuls tertentu yang memiliki tujuan dan konsekuensi tertentu. Impuls-impuls yang
berhubungan dengan kemampuan musik dari anak yang dibesarkan dalam keluarga pemusik tentu akan lebih
banyak terstimulasi dibandingkan impuls-impulsnya yang lain. Berkaitan dengan minat dan kesibukan suatu
kelompok beberapa objek begitu dihargai sementara objek lain tidak disukai. Cara suatu kelompok mengerjakan
sesuatu cenderung menentukan objek perhatian kelompok itu, dan sekaligus menentukan arah dan batas
observasi dan memori. Dewey mengatakan sesuatu yang menarik bahwa apa yang dianggap asing atau di luar
kegiatan suatu kelompok akan cenderung dipandang secara moral terlarang dan secara intelektual dicurigai.
Demikian juga hal yang sangat kita ketahui dengan baik sekarang bisa jadi samasekali tidak mendapatkan
perhatian pada generasi sebelumnya. Penjelasan yang dikemukakan Dewey adalah bukan bahwa kita itu lebih
pandai dibanding generasi sebelumnya, tetapi bahwa cara mereka hidup tidak memungkinkan mereka menaruh
perhatian pada hal itu dan pemikiran mereka terpancang pada hal lain.
Sebagaimana pancaindera kita membutuhkan objek-objek yang sesuai untuk merangsang
perkembangannya, demikian juga kemampuan observasi, ingatan dan imajinasi tidak bekerja secara spontan,
tetapi digerakkan oleh tuntutan-tuntutan yang muncul dari kesibukan-kesibukan sosial yang terjadi. Tata nilai
dan sikap dibentuk oleh tuntutan-tuntutan itu. Dari situ Dewey mengatakan bahwa pendidikan semestinya
2

memberi kebebasan bagi terbentuknya seluruh kemampuan secara optimal, membersihkan dari cacad-cacad
pribadi maupun social, dan menyediakan objek-objek yang dapat membuat tindakan mereka lebih berarti (to
free the capacities thus formed for fuller exercise, to purge them of some of their grossness, and to furnish
objects which make their activity more productive of meaning, Dewey, 2004: 17).
Karena pengaruh lingkungan yang sedemikian halus dan kuat dalam pembentukan karakter dan
pemikiran, Dewey menunjukkan 4 arah yang mesti diperhatikan dalam pendidikan.
1. Kebiasaan berbahasa
Cara bicara ataupun khasanah kosa kata yang terbentuk dalam pergaulan semestinya dipandang bukan
sebagai sarana pendidikan tetapi sebagai kebutuhan sosial.
2. Perilaku
Contoh memiliki efek yang lebih kuat dibanding aturan. Perilaku yang baik berasal dari pendidikan
yang baik. Pendidikan dicapai melalui praktek yang kontinyu dan bukan melalui pemberian informasi.
Suasana lingkungan merupakan faktor utama pembentuk perilaku.
3. Cita rasa dan apresiasi estetis
Standar cita rasa yang baik akan terbentuk misalnya jika mata dibiasakan memandang objek-objek yang
harmonis serta bentuk dan warna yang indah. Lingkungan yang jorok, berantakan dan kumuh akan
memerosotkan cita rasa keindahan.
4. Standar penilaian yang lebih dalam
Penilaian kita tentang apa yang pantas dan yang tidak pantas ditentukan oleh standar-standar penilaian
yang biasanya jarang kita sadari. Standar yang kita andaikan begitu saja tanpa perlu penelitian atau
refleksi adalah standar yang menentukan pemikiran sadar kita dan kesimpulan yang kita buat. Standarstandar bawah sadar inilah yang terbentuk dalam relasi sehari-hari dengan orang-orang lain.
4. Sekolah sebagai lingkungan khusus
Menurut Dewey satu-satunya cara yang semestinya ditempuh oleh orang dewasa untuk mendidik
orang yang belum dewasa adalah dengan mengatur lingkungan tempat orang yang belum dewasa bertindak,
berpikir dan merasa. Karena itu, Dewey menolak model pendidikan yang mendidik anak secara langsung dan ia
lebih menekankan model pendidikan tidak langsung melalui pengaturan lingkungan. Lingkungan apa pun bisa
dikelola sedemikian rupa sehingga dapat memberi efek mendidik. Sekolah adalah lingkungan khusus yang
semestinya ditata agar dapat mempengaruhi perilaku mental dan moral orang-orang di dalamnya.
Sekolah-sekolah dibentuk ketika tradisi sosial sudah sedemikian kompleks. Sebagian dari tradisi sosial
itu lalu ditransmisikan melalui simbol-simbol tertulis sehingga generasi yang satu tetap dapat mempelajari
tradisi sosial dari generasi berabad-abad sebelumnya. Meskipun secara fisik sudah tidak ada lagi, tradisi
Romawi dan Yunani kuno tetap masih memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan peradaban
bahkan sampai jaman sekarang karena kekayaan tradisi mereka dituangkan dalam simbol-simbol tertulis yang
masih dapat dipelajari sampai sekarang. Sekolah dibentuk untuk memperhatikan tradisi-tradisi tertulis dari
kekayaan peradaban yang sudah lewat atau yang masih ada tetapi secara fisik tidak langsung dihadapi dalam
hidup sehari-hari (misalnya kekayaan tradisi dari bangsa-bangsa lain yang masih sejaman).
Berkaitan dengan hal ini Dewey menyebut 3 fungsi sekolah sebagai lingkungan sosial yang khusus.
1. Sebuah peradaban itu terlalu kompleks untuk dimengerti secara keseluruhan. Anak akan kebingungan
untuk langsung dapat mengerti bisnis, politik, seni, ilmu pengetahuan atau agama. Karena itu, sekolah
bertanggung jawab untuk menyederhanakan dan mengurutkan unsur-unsur yang akan dipelajari anak.
Di sini sekolah menyediakan lingkungan yang disederhanakan dengan memilih hal-hal yang mendasar
yang dapat dipelajari anak secara gradual dan progresif. Dengan itu anak dapat mempelajari hal-hal
yang lebih sederhana sebagai landasan untuk memahami hal-hal yang semakin kompleks.
2. Sekolah bertanggung jawab untuk menyaring hal-hal yang mungkin dapat memberikan pengaruh yang
tidak baik bagi perkembangan perilaku anak dan untuk memilih hal-hal yang ideal yang dapat
memperkuat pengaruh baik yang ingin dicapai. Masyarakat semakin sadar bahwa sekolah bertanggung
jawab bukan untuk melakukan transmisi semua yang telah dicapainya, tetapi hanya yang dapat
membentuk masa depan yang lebih baik. Sekolah merupakan pelaku utama untuk tujuan pembentukan
masa depan yang lebih baik ini.
3. Sekolah bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang lebih luas dan lebih seimbang.
Sekolah semestinya membuat keseimbangan antar berbagai unsur dalam hidup sosial dan untuk
memberi kemungkinan agar setiap individu dapat membebaskan diri dari berbagai keterbatasan yang
berasal dari kelompok sosial tempat ia lahir dan agar dapat memiliki kontak sosial yang lebih luas.
Anak bisa berasal dari suatu kelompok sosial para pencuri, para penjahat dst dan juga bisa berasal dari
kelompok buruh, partai politik tertentu, komunitas gereja dst. Demikian juga anak bisa berasal dari
3

lingkungan sosial yang lebih tertutup seperti lingkungan para artis, para intelektual dst. Masing-masing
kelompok sosial itu memiliki pengaruh besar terhadap perilaku anak di dalamnya. Sekolah semestinya
menciptakan interaksi anak-anak dari berbagai latar belakang itu dalam sebuah lingkungan baru yang
lebih luas bagi masing-masing anak.
Bab 3. Pendidikan sebagai pengarahan (direction)
(Dewey, 2004: 23-40)
1. Lingkungan sebagai pengarah
Karena impuls-impuls anak belumlah sesuai dengan kebiasaan hidup masyarakat, perlulah impulsimpuls itu diarahkan. Setiap stimulus menurut Dewey mengarahkan tindakan. Stimulus tidaklah sekedar
membangkitkan tindakan tetapi mengarahkannya ke sasaran tertentu. Respons itu bukan sekedar suatu reaksi
atau protes karena terganggu, tetapi juga merupakan suatu jawaban. Respons diarahkan pada dan berhubungan
dengan stimulus. Ada hubungan antara stimulus dan respons. Dengan demikian pengarahan merupakan suatu
penuntun tindakan kearah tujuannya. Pengarahan berarti bantuan untuk melaksanakan apa yang sudah
cenderung akan dilaksanakan oleh suatu organ. Dewey membedakan 2 unsur yang ada dalam pengarahan.
a. Biasanya pada awalnya stimulus tidaklah cukup memadai untuk membangkitkan respons tertentu
sehingga ada banyak energi terbuang. Pada waktu orang pertama kali menggunakan sepeda akan
banyak energi terbuang jika dibandingkan dengan energi orang yang sudah terbiasa menggunakannya.
Pengarahan berarti memfokuskan dan mengatur tindakan agar sungguh menjadi suatu respons.
Pengarahan ini mensyaratkan juga penghilangan gerakan-gerakan yang tidak perlu dan yang tanpa arah.
b. Pengarahan berarti penataan agar tindakan-tindakan berikut berlangsung secara kontinyu. Setiap
tindakan itu bukan hanya merupakan respons terhadap suatu stimulus, tetapi juga membantu untuk
mempersiapkan tindakan-tindakan berikutnya. Orang yang berlatih tinju tidak cukup hanya mencoba
menghindar saat mendapatkan suatu pukulan tertentu, tetapi ia juga harus bersiap-siap untuk
menghindari pukulan-pukulan berikutnya.
Karena itu pengarahan bersifat simultan dan berurutan. Simultan menunjukkan bahwa pengarahan
menuntut pemilihan atas beragam kecenderungan dan mengambil kecenderungan yang dapat mengarahkan
energi pada suatu titik tertentu. Berurutan menunjukkan bahwa pengarahan menuntut penataan tindakantindakan agar terjadi keseimbangan antara tindakan yang sebelumnya dan yang sesudahnya sehingga
tindakannya menjadi teratur. Karena itu, pemfokusan dan penataan merupakan 2 aspek pengarahan.
Pemfokusan lebih bersifat spasial di mana orang mencoba membidik sasaran tertentu dan penataan lebih
bersifat temporal di mana keseimbangan dibutuhkan untuk tindakan selanjutnya. Aktivitas harus dipusatkan
pada waktu tertentu sedemikian rupa sehingga dapat menyiapkan apa yang terjadi kemudian. Dewey menarik 2
konsekuensi.
a. Pengarahan yang hanya dari luar itu tidak mungkin. Lingkungan hanya dapat menyediakan stimulus
untuk merangsang respons. Respons itu berasal dari kecenderungan yang sudah dimiliki sebelumnya
oleh individu. Kebiasaan dan aturan dari orang dewasa merangsang atau mengarahkan tindakan dari
anak dan anak akhirnya ambil bagian dalam mengarahkan tindakannya sendiri sesuai sasaran yang mau
dicapai. All direction is but re-direction; it shifts the activities already going on into another channel
(Dewey, hlm. 26). Tanpa adanya peran serta dari anak, pengarahan hanyalah paksaan.
b. Pengarahan yang dilakukan melalui kebiasaan dan aturan mungkin hanya memiliki efek sementara
dan tidak memiliki efek jangka panjang. Pengarahan ini mungkin membawa hasil seperti yang
diinginkan, tetapi juga menghasilkan ketidakseimbangan pada tindakan-tindakan berikutnya. Atas dasar
ancaman anak mungkin akan melakukan suatu tindakan, tetapi belum tentu ia akan tetap melakukan
tindakan yang sama sesudah ancaman itu berlalu. Banyak orang yang berkecimpung dalam upaya
pengarahan anak mengabaikan pentingnya rantaian perkembangan yang dicapai anak.
2. Bentuk pengarahan sosial
Orang dewasa biasanya cepat menyadari perlunya mengarahkan tindakan orang lain terutama ketika
dijumpai adanya resistensi, atau orang-orang yang mau diarahkan itu melakukan sesuatu yang berbeda dengan
yang diinginkan. Di sini Dewey membedakan 2 bentuk pengarahan sosial.
a. Kontrol langsung
4

Ketika orang-orang yang mau diarahkan tidak bertindak sesuai dengan yang diharapkan atau kalau
mereka menunjukkan tanda-tanda ketidakpatuhan, biasanya kita merasakan perlunya mengontrol
mereka secara langsung. Dewey membedakan hasil fisik dengan hasil moral. Anak mungkin dengan
kasar ditarik menjauh dari api yang menyala agar ia tidak terbakar. Di sini hasil fisiknya adalah bahwa
ia tidak terbakar. Meskipun demikian tindakan ini bisa jadi tidak membawa hasil moral, karena tidak
ada unsur yang mendidik anak sehingga lain waktu ia tidak akan mendekat pada api lagi. Menurut
Dewey kontrol langsung semestinya hanya dibatasi pada tindakan-tindakan yang sedemikian instingtif
atau kompulsif di mana anak tidak dapat memprediksi akibat-akibat tindakannya.
b. Pengarahan tidak langsung
Pengarahan ini terjadi dengan menggunakan alat-alat yang dapat mengarahkan pada tujuan yang ingin
dicapai. Pengarahan tidak langsung ini menurut Dewey memiliki efek yang lebih permanen. Di sini
lingkungan sosial merupakan medium efektif untuk mengarahkan tindakan anak.
Dewey menolak pemisahan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial sebagai medium pendidikan.
Kalau tekanan hanya pada lingkungan sosial saja akan ada bahaya untuk menggunakan model kontrol langsung
pada anak. Kalau tekanan hanya pada lingkungan fisik saja ada bahaya bahwa orang menganggap adanya
kemungkinan relasi langsung antara perkembangan intelektual dan lingkungan fisik. 2
Untuk mendukung pendapatnya Dewey memaparkan contoh bagaimana anak belajar memasak di
dapur. Ia melihat bagaimana ibunya memasak, membantu dengan mengambilkan alat-alat yang diperlukan, ikut
terlibat dalam kegiatan memasak, dst sampai akhirnya anak bisa memasak sendiri. Di situ terlihat pentingnya
partisipasi dalam kegiatan bersama dengan cara menggunakan objek-objek secara langsung sebagai sarana
membentuk perilaku yang efektif. Pengarahan tindakan anak pada tujuan terjadi dengan sendirinya melalui
kegiatan anak melihat, meniru, bekerja sama dst. Tindakan anak di dapur itu bukan sekedar penyesuaian diri.
Tindakan anak di dapur memiliki kualitas mental, karena ia mengerti arti dari apa yang ia lakukan sehingga
tindakannya terarah dan bukan sekedar bertindak tanpa sadar. Memang pengarahan bisa dilakukan dengan
training, tetapi di situ tidak ada pendidikan, karena anak melakukan sesuatu hanya atas dasar perintah untuk
melakukan ini atau itu tanpa ia tahu arti dari tindakannya. Di situ anak bukan tuan atas tindakannya sendiri.
Menjadi anggota suatu kelompok berarti miliki gagasan yang sama dengan anggota-anggota lainnya,
memiliki pikiran yang sama, memahami makna yang sama dan bertindak yang sama atas berbagai hal. Tanpa itu
tidak akan ada pemahaman akan arti yang sama atas sesuatu dan tidak ada kesatuan kelompok. Dari situ Dewey
menarik 2 konsekuensi.
a. Benda-benda fisik saja tidak memiliki pengaruh atas pikiran, kecuali kalau benda-benda itu digunakan
untuk tujuan tertentu karena memiliki konsekuensi tertentu sehingga tindakan itu memiliki arti.
b. Orang mengubah pikiran orang lain melalui penggunaan dan pengaturan lingkungan fisik tertentu untuk
merangsang munculnya tindakan tertentu sebagai respons. Itu berarti sarana fundamental untuk
mengarahkan orang lain sifatnya bukan secara fisik tetapi intelektual.
Dengan demikian metode pengarahan sosial yang fundamental adalah pengarahan pikiran untuk
mengerti arti dari sesuatu yang dicapai melalui kerja sama, partisipasi, kompetisi dsm dalam melakukan
sesuatu untuk tujuan tertentu. And mind in this sense is the method of social control (Dewey, 2004: 33). Cara
pengarahan sosial tidak lain adalah metode yang digunakan agar orang-orang yang terlibat di dalamnya
memiliki pemahaman yang sama akan adanya relasi antara tujuan yang ingin dicapai dan sarana tindakan yang
perlu untuk mencapai tujuan. Cara pengarahan ini bersifat intelektual dan tidak langsung. Terutama cara
pengarahan ini bersifat intrinsik (bukan ekstrinsik dan bukan koersif atau paksaan dari luar) karena ada
pengertian dari dalam diri pelaku akan arti dan tujuan yang ingin dicapai bersama. Di sini Dewey ingin
menyatukan lingkungan fisik dan lingkungan sosial sebagai medium pendidikan yang efektif. 3
3. Beberapa penerapan untuk pendidikan
Dewey memulai dengan pertanyaan: mengapa suku-suku primitif (savage group) cenderung
melanggengkan keprimitifan mereka dan orang-orang yang maju dalam peradaban cenderung mengembangkan
2

Dengan ini Dewey menolak pendapat bahwa pancaindera adalah pintu gerbang bagi pengetahuan. Di sini orang berpendapat bahwa
orang belajar sesuatu hanya dari kesan-kesan intelektual yang ia dapat melalui penggunaan pancaindera seakan ada relasi langsung
antara benda-benda fisik dengan pikiran sehingga ilmu pengetahuan muncul dengan sendirinya dari situ. Dewey, 2004: 29.
3
Dewey juga mengritik pendapat dalam psikologi sosial yang menggarisbawahi pentingnya peniruan (imitasi) untuk pembentukan sikap
mental anak. Maka, pengarahan sosial atas anak mesti didasarkan pada kecenderungan instingtif anak untuk meniru tindakan orang
dewasa. Tindakan orang dewasa dianggap sebagai model. Menurut Dewey pendapat ini tidak memadai karena tidak dapat menjelaskan
mengapa anak ingin meniru. Dewey, 2004: 33-34.

peradaban mereka. Penjelasan yang mengatakan bahwa faktor genetis (karena mereka itu primitif, karena
inteligensi mereka rendah atau karena moralitas mereka rendah) yang menjadi penyebab utama dipandang
Dewey tidak memadai samasekali. Penelitian yang lebih dalam menunjukkan bahwa potensi-potensi anak yang
lahir dari suku primitif tidaklah lebih rendah dibanding anak-anak yang lahir dari masyarakat modern. Menurut
Dewey kemampuan berpikir orang primitif bukanlah akibat tetapi sebab dari keterbelakangan institusi-institusi
mereka. Aktivitas-aktivitas sosial mereka membatasi objek perhatian dan minat mereka. Itu berarti stimulusstimulus yang perlu untuk pengembangan kemampuan intelektual mereka juga terbatas. Jangkauan observasi
dan imaginasi mereka juga menjadi terbatas. Kemampuan mereka untuk menggunakan sumber-sumber daya
alam untuk memenuhi kebutuhan mereka juga terbatas.
Kenyataan ini jelas berbeda dengan manusia dengan peradaban yang sudah maju yang memiliki begitu
banyak ragam stimuli yang mendukung perkembangan peradaban. Sistem transportasi, pengetahuan atas panas,
sinar dan listrik, mesin-mesin dst an sich bukanlah peradaban, tetapi penggunaan seluruh alat itu merupakan
peradaban. Peralatan itu bukan hanya digunakan, tetapi digunakan untuk kepentingan bersama sehingga
peralatan itu menjadi sumber positif bagi perkembangan peradaban.
Dari situ bisa dipetik pelajaran bahwa pendidikan semestinya menyediakan lingkungan yang dipilih
secara khusus atas dasar materi-materi dan metode yang memperkembangkan pertumbuhan (growth) ke arah
yang diinginkan.
Menurut Dewey bahasa merupakan faktor fundamental pendidikan karena penguasaan bahasa akan
menghantar orang pada kemampuan untuk mempelajari kekayaan pengalaman masyarakat masa lampau
maupun masa kini. Karena pentingnya bahasa untuk memahami khasanah pengetahuan Dewey mengatakan
bahwa buta huruf berarti tak terdidik.
Education is not an affair of telling and being told (Dewey, 2004: 38) tetapi merupakan suatu
proses yang aktif dan konstruktif yang dijalankan melalui kerja sama dalam kelompok dengan menggunakan
alat-alat dan materi dari lingkungan untuk mencapai tujuan tertentu. Sekolah tidak boleh diisolasi dari
lingkungan luar sekolah karena kemampuan senso-motoris anak tidak akan berkembang secara maksimal dan
anak hanya belajar dari buku-buku atau guru saja. Hanya dengan melibatkan anak pada kegiatan bersama
anak-anak yang lain, di mana mereka menggunakan alat-alat dan materi kerja yang konkret, pengarahan
sosial untuk pembentukan kemampuan berpikir, merasa dan bertindak dapat terjadi. Sekolah semestinya
memberikan banyak peluang pada anak untuk kegiatan kelompok di mana masing-masing anggota berperan
serta secara aktif sehingga mereka dapat menyadari potensi-potensi sosial, emosional dan intelektual mereka.

Bab 4. Pendidikan sebagai pertumbuhan


(Dewey, 2004: 41-53)
1. Syarat-syarat pertumbuhan
Dengan mengarahkan aktivitas generasi yang lebih muda, masyarakat menentukan masa depannya
sendiri, karena generasi yang lebih muda itu suatu ketika nanti akan menggantikan peran generasi sebelumnya.
Gerakan yang bersifat kumulatif menuju hasil berikutnya inilah yang disebut Dewey sebagai pertumbuhan.
This cumulative movement of action toward a later result is what is meant by growth (Dewey, 2004: 41). 4
Bagi Dewey syarat utama pertumbuhan adalah kebelumdewasaan (immaturity). Kebelumdewasaan
berarti kemungkinan untuk tumbuh, kemampuan untuk berkembang atau kekuatan untuk tumbuh. Pengertian ini
memandang kebelumdewasaan secara positif. Banyak orang menafsirkan kebelumdewasaan sebagai sesuatu
yang kurang, dan pertumbuhan berarti perkembangan dari kebelumdewasaan ke kedewasaan. Penafsiran seperti
ini terjadi karena orang menilai anak secara komparatif, yaitu dengan membandingkannya dengan orang dewasa
4

Konsepsi Dewey mengenai pertumbuhan (growth) ini sangat sentral dalam seluruh pemikirannya. Pemikirannya sangat dipengaruhi
oleh teori evolusi Darwin yang menunjukkan bahwa salah satu ciri fundamental setiap makhluk hidup adalah pertumbuhan.
Pertumbuhan bukan hanya terjadi secara individual tetapi juga dalam species yang sama terutama pada manusia. Pada manusia
pertumbuhan yang terjadi dalam peradaban bisa dikatakan tidak ada batasnya. Dewey nantinya mengatakan bahwa pertumbuhan
merupakan satu-satunya tujuan tertinggi kehidupan, berarti juga menjadi tujuan satu-satunya bagi pendidikan, moralitas dan seluruh
aspek hidup yang lain. Konsepsi pertumbuhan ini dilawankan Dewey dengan konsepsi perkembangan (development) yang sering
digunakan oleh teori-teori psikologi perkembangan. Dewey menolak penggunaan ide perkembangan karena biasanya para pendukung
konsep perkembangan itu membagi perkembangan manusia dalam tahap-tahap mulai dari bayi sampai dewasa atau sampai usia tertentu
(17 tahun), seakan-akan sesudah usia tersebut manusia tidak lagi berkembang, karena sudah menjadi dewasa dan sudah mencapai
kepenuhannya, sehingga proses perkembangannya sudah berhenti. Di samping itu apa yang dipahami sebagai tahap akhir atau tahap
dewasa ini, hanyalah tahap terminal sejauh dipahami oleh masyarakat sekarang ini yang mungkin 100 tahun lagi tidak relevan karena
perkembangan terus-menerus yang terjadi dalam masyarakat.

sebagai tolok ukur penilaian. Kalau anak belum memiliki apa yang dimiliki oleh orang dewasa, anak masih
dianggap dalam kondisi serba kekurangan sampai nanti usianya matang. Kondisi dewasa sebagaimana dipahami
seperti ini dijadikan tujuan yang bersifat statis sehingga kalau sudah dewasa berarti pertumbuhannya sudah
selesai.
Dengan konsepsi yang positif dan konstruktif mengenai kebelumdewasaan sebagai kemampuan untuk
tumbuh, Dewey menegaskan bahwa pertumbuhan itu bukanlah sesuatu yang dilakukan untuk anak, tetapi
merupakan sesuatu yang dilakukan oleh anak sendiri. Di mana anak hidup, di situ sudah ada aktivitas yang
membuat anak tumbuh. Dewey menyebut adanya 2 sifat dasar dari kebelumdewasaan, yaitu ketergantungan dan
plastisitas.
a. Ketergantungan
Anak yang lahir ada dalam posisi tergantung pada orang lain dalam segalanya. Jika ia harus melakukan
sesuatu sendirian sejak lahir (ini yang membedakan dengan anak binatang sesudah lahir), ia tidak akan
bertahan hidup dalam hitungan jam. Meskipun demikian Dewey melihat adanya kemampuan yang
menggantikan kondisi anak yang masih sangat lemah, yaitu kemampuan sosial (yang tidak dimiliki oleh
sementara anak binatang). Sejak lahir anak sudah memiliki kemampuan untuk menjalin relasi sosial
untuk menarik perhatian orang lain agar melakukan apa yang diinginkan anak. Dari sudut relasi sosial
ketergantungan ini mencakup juga kemampuan untuk menjalin kesalingtergantungan. Bahayanya
adalah bahwa semakin anak besar dan mandiri, semakin ia dapat mencukupi kebutuhannya sendiri, dan
semakin pula ia mengambil jarak dan acuh tak acuh pada orang lain.
b. Plastisitas
Plastisitas merupakan kemampuan anak yang belum dewasa untuk menyesuaikan diri agar dapat
tumbuh. Bagi Dewey plastisitas berbeda dengan elastisitas yang terdapat pada malam yang bisa diubahubah bentuknya. Bagi Dewey plastisitas merupakan kemampuan untuk belajar dari pengalaman (the
ability to learn from experience) atau kemampuan untuk mengambil pelajaran dari suatu pengalaman
yang mungkin akan berguna untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dalam pengalaman selanjutnya. Itu
berarti kemampuan untuk mengubah tindakan atas dasar hasil dari pengalaman sebelumnya dan ini
berarti kemampuan untuk mengembangkan kecenderungan tertentu. Tanpa plastisitas ini anak tidak
mungkin mengembangkan kebiasaan.
Untuk dapat menggunakan mata, telinga, tangan dan kaki anak harus mencoba berbagai kombinasi
gerakan sampai menguasai gerakan-gerakan itu. Kemungkinan untuk tumbuh secara terus-menerus
terbuka bagi anak, karena ketika ia mempelajari suatu tindakan ia mengembangkan metode-metode
yang sesuai yang dapat digunakan juga untuk situasi-situasi yang berbeda. Lebih-lebih ia
mengembangkan kebiasaan untuk belajar (a habit of learning). Ia belajar untuk mempelajari sesuatu
(He learns to learn Dewey, 2004: 45).
2. Kebiasaan sebagai ekspresi pertumbuhan
Di atas disebutkan bahwa plastisitas merupakan kemampuan untuk mengambil pelajaran dari
pengalaman sebelumnya agar dapat menghadapi pengalaman selanjutnya di kemudian hari. Plastisitas
merupakan kemampuan untuk mengembangkan kebiasaan atau mengembangkan kecenderungan yang definitif.
Bagi Dewey kebiasaan merupakan kemampuan untuk bertindak secara efisien. Kebiasaan merupakan
kemampuan untuk menggunakan keadaan sekitar sebagai sarana untuk mencapai tujuan, sehingga merupakan
kemampuan aktif untuk mengontrol lingkungan dengan mengontrol organ-organ untuk bertindak. Pendidikan
sering disebut sebagai upaya untuk mendapatkan kebiasaan-kebiasaan yang mempengaruhi penyesuaian
individu pada lingkungannya. Dewey memberi catatan bahwa penyesuaian di sini mesti dipahami secara aktif
dalam arti pengontrolan sarana-sarana untuk mencapai tujuan. Kebiasaan sebagai pembiasaan memiliki arti
yang relatif pasif karena individu menyesuaikan diri dengan lingkungannya tanpa mampu mengubahnya. Di
samping arti yang relatif pasif itu ada 2 unsur aktif dari kebiasaan yang dikemukakan Dewey.
a. Kebiasaan sebagai pembiasaan dalam arti upaya untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungan.
Kita menjadi terbiasa akan sesuatu karena pertama-tama kita biasa menggunakannya. Misalnya kita
sudah terbiasa hidup dalam suatu kota yang asing. Lama-lama ada keseimbangan penyesuaian diri
dengan suasana kota itu.
b. Kebiasaan sebagai kemampuan aktif untuk menyesuaikan kembali tindakan-tindakan sesuai dengan
tuntutan-tuntutan baru. Penyesuaian diri terus-menerus itu membuat kita cukup mengubah unsur sanasini yang perlu saja dan yang lain-lainnya sudah diandaikan begitu saja.
Penyesuaian berarti membuat lingkungan sesuai dengan aktivitas kita. Orang yang berasal dari suku
primitif yang masuk ke daerah padang pasir akan mencoba menyesuaikan diri dengan cara menerima
7

lingkungannya. Ia akan sangat pasif dalam upayanya untuk mengontrol dan mengubah lingkungannya. Orang
yang berasal dari lingkungan yang berperadaban tinggi memang akan mencoba menyesuaikan diri dengan
lingkungan padang pasir, tetapi ia akan mencoba membuat sistem irigasi, mencari berbagai tanaman dan
binatang yang hidup di sana, dst. Menurut Dewey orang yang terakhir ini memiliki kebiasaan untuk mengubah
lingkungannya supaya lingkungannya sesuai dengan kebutuhannya.
Makna kebiasaan tidak hanya terbatas pada aspek motoris, tetapi juga mencakup pembentukan
kecenderungan intelektual dan emosional di samping membuat individu dapat bertindak lebih efisien. Setiap
kebiasaan menunjukkan adanya kecenderungan yang merupakan preferensi aktif untuk memilih sesuatu dan
bukan yang lainnya. Elemen intelektual dalam kebiasaan menjadikan kebiasaan sebagai dasar untuk tumbuh
secara kontinyu. Meskipun demikian kebiasaan juga bisa merosot menjadi rutinitas. Routine habits are
unthinking habits (Dewey, 2004: 49). Kebiasaan-kebiasaan yang rutin dan kebiasaan-kebiasaan yang justru
menguasai kita (misalnya dalam kasus ketergantungan akan minuman keras) adalah kebiasaan-kebiasaan yang
tidak lagi memberi tempat pada plastisitas, sehingga tidak ada lagi kemungkinan munculnya variasi. Hanya
lingkungan yang dapat menantang penggunaan inteligensi secara penuh dalam proses pembentukan kebiasaan
dapat melawan arus degradasi ini. Metode pendidikan yang hanya bersifat rutin, mekanis dan mengulang-ulang
agar terbentuk efisiensi kebiasaan eksternal serta menekankan kemampuan motoris tanpa berpikir merupakan
upaya sadar untuk menghambat proses pertumbuhan.
3. Konsepsi pertumbuhan dalam pendidikan
Kalau dikatakan bahwa pendidikan adalah pertumbuhan, sangatlah penting mengerti bagaimana
konsepsi pertumbuhan itu dipahami. Bagi Dewey hidup itu pertumbuhan. Di mana ada hidup di situ ada
pertumbuhan dan di mana ada pertumbuhan di situ juga ada hidup. Dari sini Dewey menarik 2 konsekuensi
untuk pendidikan, yaitu, pertama, karena proses pendidikan tidak boleh memiliki tujuan di luar pendidikan itu
sendiri, Dewey merumuskan bahwa pertumbuhan adalah tujuan dari pendidikan dan, kedua, proses
pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi, rekonstruksi dan transformasi yang kontinyu.
a. Ada 3 konsepsi yang sebelumnya dikritik oleh Dewey, yaitu konsepsi tentang kebelumdewasaan
sebagai sesuatu yang negatif karena masih serba kurang dibanding dengan orang dewasa, konsepsi
tentang penyesuaian yang melulu pasif pada lingkungan dan konsepsi tentang kebiasaan yang sudah
mandeg dan tanpa dipikirkan lagi. Ketiga konsepsi itu didasarkan pada pengertian yang keliru
mengenai perkembangan sebagai suatu gerakan ke arah tujuan yang sudah pasti. Di sini pertumbuhan
dipandang memiliki suatu tujuan, dan bukan menjadi tujuan itu sendiri. Dewey menyebut 3 akibat bagi
pendidikan dari konsepsi yang keliru tentang pertumbuhan ini.
- Konsepsi ini tidak memperhitungkan potensi-potensi alami yang dimiliki anak.
- Konsepsi ini tidak mendorong tumbuhnya inisiatif untuk menghadapi situasi-situasi yang baru.
- Konsepsi ini membuat orang secara berlebihan menekankan penggunaan drill dan cara-cara lain
untuk memastikan kemampuan otomatis.
Semua itu muncul karena kondisi orang dewasa diterima sebagai standar untuk mengukur anak-anak
dan anak-anak harus dikembangkan ke arah standar ini. Dengan demikian anak dibawa ke standard
yang sifatnya eksternal sehingga akan tumbuh sikap konformitas dalam diri anak. Kekhasan masingmasing individu mudah dihapuskan atau bahkan dipandang sebagai sumber anarki. Konformitas mudah
disejajarkan dengan keseragaman (uniformitas). Akibatnya anak tidak tertarik pada sesuatu yang baru,
anak tidak berkembang dan takut pada sesuatu yang tidak pasti dan tidak dikenal. Karena tujuannya itu
di luar proses pertumbuhan, dibutuhkan orang lain yang menghantar anak mencapai standar orang
dewasa itu dengan segala bentuk tekanan dari luar.
b. Tumbuh menunjuk proses dinamis yang melebihi fase sebelumnya dan itu berarti makin tumbuh dan
makin berkembang. Demikian juga dalam pendidikan proses pertumbuhan tidak berhenti sesudah orang
meninggalkan bangku sekolah. Pendidikan semestinya mendorong orang untuk terus berproses dalam
pendidikan yang berkelanjutan sampai akhir hayat yang menjamin terjadinya pertumbuhan seluruh
potensi secara terus-menerus. Pendidikan formal di sekolah bisa dikatakan berhasil kalau membuat
orang memiliki kecenderungan untuk belajar dari hidup itu sendiri dan menciptakan lingkungan yang
memungkinkan orang untuk belajar terus-menerus sepanjang hidup.
Karena hidup berarti pertumbuhan, orang bertumbuh secara penuh dari fase yang satu ke fase yang
lain. Setiap fase memiliki nilai pada dirinya sendiri dengan kepenuhannya sendiri. 5 Pendidikan berarti
5

Karena itu, Dewey menolak penilaian terhadap anak yang belum dewasa menurut standar orang dewasa. Standar itu didasarkan pada
anggapan bahwa fase orang dewasa saat ini sebagai titik akhir perkembangan sehingga digunakan sebagai standar perbandingan.
Akibatnya, pemikiran ini melihat fase anak sebagai fase yang serba kurang dibanding orang dewasa. Model pemikiran ini menurut
Dewey bertanggung jawab atas praksis pendidikan yang berlangsung dengan menuangkan pengetahuan dan moralitas sebanyak mungkin

upaya untuk menyediakan semua kemungkinan yang perlu untuk menjamin terjadinya pertumbuhan
tanpa memandang usia. Semua ekspresi anak semestinya tidak dipandang dari kulit luarnya hanya
sebagai ekspresi kekanak-kanakan, tetapi semestinya dipandang sebagai tanda-tanda pertumbuhan yang
belum tertata dan potensial diubah menjadi sarana efektif untuk tumbuh. Kalau pendidikan berarti
pertumbuhan, pendidikan semestinya secara progresif mendorong terealisasinya potensi-potensi anak
sehingga semakin mampu untuk menghadapi fase-fase berikutnya. It is a continuous leading into the
future (Dewey, 2004: 56)
Bab 5. Persiapan, Pemekaran dan Disiplin Formal
(Dewey, 2004: 54-68)
Pada bab ini Dewey mengemukakan kritik-kritiknya terhadap beberapa pemikiran pendidikan.
1. Pendidikan sebagai persiapan
Pemikiran ini memandang pendidikan sebagai proses persiapan agar anak dapat mengemban tanggung
jawab orang dewasa di masa depan. Menurut Dewey pemikiran ini menganggap anak belum sebagai anggota
masyarakat yang penuh. Mereka dipandang hanya sebagai kandidat. Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan
pandangan yang menganggap hidup di dunia ini hanya sebagai persiapan untuk hidup sesudah mati. Pada kedua
pemikiran ini fase sebelumnya baik itu fase kanak-kanak atau fase hidup di dunia ini dianggap sebagai fase
yang belum penuh pada dirinya sendiri sehingga hanya dianggap sebagai fase persiapan saja.
Dewey memperlihatkan konsekuensi-konsekuensi negatif dari pemikiran ini.
a. Motivasi anak untuk belajar tidak terbangun dengan baik, karena anak melihat masa depan sebagai
sesuatu yang belum mendesak dan belum jelas.
b. Muncul godaan untuk menunda-nunda sesuatu. Bagi anak, saat sekarang menawarkan begitu banyak
hal yang menarik.
c. Digunakannya standar-standar untuk mengukur kemampuan-kemampuan spesifik anak yang dicapai
sesudah periode tertentu (misalnya akhir tahun atau akhir SMA sebelum masuk universitas) seakanakan fase-fase akhir itulah yang sangat penting dan menentukan, sementara fase-fase sebelumnya
dianggap hanya sebagai fase persiapan yang kurang penting.
d. Cenderung digunakannya berbagai hadiah (pujian juga) dan hukuman untuk memacu motivasi anak.
2. Pendidikan sebagai pemekaran (unfolding)
Model pemikiran ini menganggap pendidikan sebagai perkembangan, tetapi perkembangan di sini
bukan dipahami sebagai pertumbuhan yang terus-menerus melainkan sebagai pemekaran potensi-potensi
terpendam yang sudah ada dalam diri anak yang dapat berkembang menuju arah tertentu. Arah di sini
dipandang sebagai kepenuhan dari masing-masing potensi.
Kritik Dewey adalah sebagai berikut.
a. Sasaran dipandang sebagai kepenuhan. Itu berarti sebagai suatu tujuan akhir yang statis. Fase
sebelumnya hanya dianggap sebagai fase transisi yang masih belum sempurna dan yang tidak memiliki
nilai pada dirinya sendiri.
b. Fase akhir itu juga menjadi terlalu abstrak dan tak terjangkau untuk masa sekarang. Kalau tidak ada
kriteria-kriteria yang jelas setiap ekspresi anak bisa dinilai sebagai proses pemekaran yang tidak boleh
diganggu-gugat.
c. Dengan berbagai metode guru seakan-akan berperan untuk menarik potensi itu keluar dan mekar.
Dewey memandang Froebel dan Hegel ada pada posisi yang memandang pendidikan sebagai pemekaran.
3. Pendidikan sebagai pelatihan (training) atas kemampuan-kemampuan
Pandangan ini sebelumnya dikenal sebagai teori disiplin formal. Teori ini berpendapat bahwa anak
sejak lahir memiliki potensi-potensi tertentu seperti merasa, mengingat, menghendaki, menilai,
menggeneralisasi dst dan pendidikan merupakan training atas potensi-potensi ini melalui latihan berulangulang. Tujuan training adalah pembentukan kemampuan-kemampuan khusus. Orang yang dilatih secara khusus
untuk bidang tertentu dipandang dapat menyelesaikan sesuatu dengan lebih baik dibanding orang yang tidak
terlatih. Ia akan bekerja lebih efisien, lebih cepat, dan lebih mudah. Dalam pendidikan anak dilatih dengan

pada anak seperti menuangkan sesuatu pada lubang kosong saja. Dewey, 2004: 51.

pengulangan yang terus-menerus dan secara gradual (dari latihan yang lebih mudah ke yang lebih sulit). Karena
itu, perlu disiplin formal untuk melatih kemampuan-kemampuan itu.
Dewey memandang John Locke (1632-1704) sebagai tokoh dari teori ini. Menurut Locke anak sudah
mempunyai potensi-potensi seperti untuk merasa, mengingat, membandingkan, menghendaki, berpikir,
berfantasi dst yang tinggal dikembangkan dengan materi-materi yang sesuai.
Menurut Dewey dalam praktek teori ini terlalu menekankan training atas ketrampilan tertentu secara
sempit sehingga mudah mematikan inisiatif, kreativitas, dan kemampuan penyesuaian diri anak. Kritik Dewey
terhadap teori ini adalah sebagai berikut.
a. Kepercayaan bahwa anak sudah mempunyai potensi-potensi hanyalah isapan jempol. Kemampuankemampuan manusia itu sangat bervariasi dan tercampur satu dengan yang lain sehingga tidak bisa
diidentifikasi hanya sebagai ingatan saja atau hanya pikiran saja tanpa yang lain-lainnya. Dewey lebih
melihat bukan potensi satu per satu tetapi semua bisa dirangkum sebagai kecenderungankecenderungan individu untuk memberikan respons tertentu pada rangsangan dari lingkungan dengan
menggunakan berbagai potensi yang dibutuhkan. Dewey bukan menggunakan pengertian training untuk
menyempurnakan kemampuan tertentu melalui latihan seakan-akan seperti melatih otot, tetapi (1)
memilih respons tertentu yang digunakan sebagai sarana untuk menanggapi stimulus tertentu dan (2)
mengoordinasi berbagai faktor untuk merespons sesuatu.
b. Semakin orang terlatih hanya untuk ketrampilan tertentu semakin ia tidak tersedia bagi bidang yang lain
apalagi kalau pelatihannya semakin teknis dan tidak melibatkan kemampuan intelektual.
c. Teori ini bersifat dualistik karena membuat pemisahan antara kemampuan dan materinya. Bagi Dewey
tidak ada yang disebut kemampuan untuk melihat, mendengar atau mengingat secara umum yang bisa
ditraining begitu saja. Yang ada menurut Dewey adalah kemampuan untuk mengingat sesuatu.
Kekuatan fisik memungkinkan orang untuk bermain tenis, golf atau berlayar, tetapi kemampuan
bermain tenis hanya mungkin kalau orangnya melatih diri secara teratur untuk menggunakan raket,
memukul bola tenis, dst. Jadi, tidak ada kemampuan fisik secara umum. Bagi Dewey kemampuankemampuan itu merupakan hasil dari penggunaan materi-materi tertentu secara aktif. Keduanya tidak
bisa dipisah-pisahkan begitu saja. Tidak mungkin melatih begitu saja kemampuan-kemampuan itu tanpa
penggunaan materi-materi tertentu.
Bab 6. Pendidikan konservatif dan progresif
(Dewey, 2004: 69-80)
Dewey masih berbicara mengenai kritik-kritiknya terhadap 2 model pendidikan lain dan pada bagian ketiga ia
mengungkapkan modelnya sendiri.
1. Pendidikan sebagai pembentukan
Teori ini berpendapat bahwa pendidikan adalah pembentukan pikiran (mind) melalui pembentukan
berbagai asosiasi dengan cara menggunakan materi-materi tertentu. Pendidikan berarti membentukkan sesuatu
dari luar ke dalam pikiran anak, sesuatu yang tidak ada sebelumnya dalam diri anak. Teori ini menolak pendapat
mengenai adanya potensi-potensi internal yang sudah ada sejak lahir yang tinggal dikembangkan. Demikian
juga teori ini menolak pendapat mengenai pendidikan sebagai pemekaran dari dalam maupun pendidikan
sebagai training kemampuan. Model-model pendidikan ini menganggap bahwa dalam diri anak sudah ada
sesuatu yang tinggal dikembangkan saja.
Dewey menganggap Herbart6 sebagai tokoh dari teori ini. Herbart menolak adanya potensi-potensi anak
sejak lahir. Pikiran hanyalah merupakan kemampuan untuk menghasilkan berbagai reaksi atas berbagai realitas
yang dihadapi. Berbagai reaksi ini dia sebut sebagai presentasi-presentasi (Vorstellungen). Apa yang disebut
sebagai kemampuan merasa, mengingat, berpikir dst hanyalah merupakan pengaturan berbagai interaksi
presentasi yang ada di alam bawah sadar di mana terjadi interaksi antara presentasi-presentasi yang sudah ada
dengan presentasi-presentasi baru. Misalnya, ingatan merupakan pemanggilan presentasi lama ke ambang
kesadaran yang dikaitkan dengan presentasi yang lain. Bagi Herbart pikiran itu merupakan pengaturan berbagai
presentasi dalam kualitas-kualitasnya yang berbeda dan pikiran adalah macam-macam isi dari presentasipresentasi itu.
Ada 3 konsekuensi pemikiran Herbart ini bagi pendidikan.
a. Pikiran tertentu dibentuk dengan rangsangan materi tertentu yang dapat merangsang pembentukan
pengaturan presentasi-presentasi tertentu.
6

Johann Friedrich Herbart (1776-1841), seorang tokoh pendidikan Jerman.

10

b. Presentasi-presentasi yang sudah ada sebelumnya itu sangat penting karena berfungsi sebagai landasan
bagi terbentuknya presentasi-presentasi baru dan presentasi-presentasi baru ini yang akan menata
kembali presentasi-presentasi lama yang sudah terbentuk. Karena itu, tugas pendidik adalah memilih
materi yang tepat untuk menata reaksi-reaksi asli dan mengatur gradasi presentasi-presentasi atas dasar
presentasi-presentasi yang sudah terbentuk sebelumnya.
c. Ada 5 langkah formal yang harus diterapkan dalam pendidikan, yaitu persiapan/apersepsi, presentasi,
perbandingan, generalisasi dan penerapan dengan pemberian tugas. 7
Dewey melihat segi positif dari pemikiran Herbart, karena metodenya sangat berguna untuk
mengajarkan pengetahuan yang sudah terstruktur dengan baik. Di samping itu semua bahan pengajaran sudah
bisa dirinci dengan detail dalam perencanaan. Ia lebih menekankan isi pengetahuan yang harus dipelajari, dan
bukan potensi-potensi anak yang mau dikembangkan.
Dewey mengritik pemikiran Herbart karena mengesampingkan ciri-ciri aktif anak yang terus
berkembang ketika anak berinteraksi dengan lingkungan. Teori Herbart mengesampingkan pentingnya interaksi
dan perubahan yang kontinyu. Herbart terlalu menekankan tugas guru untuk memberikan pengetahuan dan
tidak berbicara mengenai hak anak untuk belajar. Ia terlalu menekankan materi-materi masa lampau dan
mencoba menerapkan begitu saja ke situasi yang baru.
2. Pendidikan sebagai pengulangan (recapitulation) dan retrospeksi
Paham yang menganut pendidikan sebagai pengulangan mengatakan bahwa individu memang
berkembang secara biologis dan kultural, tetapi perkembangannya itu sebetulnya merupakan pengulangan fasefase evolusi binatang dan manusia pada waktu lampau. Pengulangan sebelumnya terjadi secara fisiologis dan
pengulangan sesudahnya semestinya terjadi secara kultural melalui pendidikan.
Menurut teori evolusi secara biologis perkembangan individu dari embrio sederhana ke manusia
dewasa merupakan pengulangan sejarah evolusi binatang dari binatang yang paling sederhana ke yang paling
kompleks (ontogenesis [perkembangan organism individual dari fase embrionik sampai dewasa] sejajar dengan
filogenesis [perkembangan evolusioner suatu spesies melalui berbagai perubahan bentuk]). Secara kultural
anak-anak pada usia tertentu memiliki sifat-sifat mental dan moral yang sama dengan manusia primitif. Insting
anak-anak itu seperti orang yang suka pindah-pindah tempat (nomad) dan yang suka berburu seperti nenek
moyang mereka. Maka, materi pendidikan yang cocok untuk anak-anak semestinya analog dengan kondisi
nenek moyang mereka. Untuk fase nomad dan berburu materi yang cocok adalah mitos, dongeng, cerita rakyat
dan lagu-lagu. Untuk fase penggembala/beternak anak-anak mesti diberikan materi yang sesuai dst sampai
anak-anak siap untuk ambil bagian dalam masyarakat sekarang.
Dewey melihat para pendukung teori ini adalah para pengikut Herbart. Gagasan utama yang mau
dikemukakan adalah bahwa pendidikan itu secara hakiki bersifat retrospektif karena perhatian utama pendidikan
adalah masa lampau khususnya karya-karya sastra masa lampau. Pikiran anak dibentuk sesuai dengan warisan
spiritual masa lampau.
Kritik Dewey terhadap teori ini adalah sebagai berikut.
1. Basis biologis teori ini menyesatkan. Memang pertumbuhan embrio anak memiliki beberapa ciri seperti
perkembangan binatang dari bentuknya yang paling sederhana ke yang lebih kompleks, tetapi Dewey
menolak adanya pengulangan begitu saja. Kalau memang ada hukum pengulangan, perkembangan
secara evolutif dari yang sederhana ke kompleks pasti tidak akan terjadi karena generasi yang baru
melulu hanya mengulang generasi sebelumnya. Perkembangan mengandaikan adanya perubahan.
2. Pengertian tentang warisan masa lampau juga menyesatkan, karena seakan-akan masa lampau begitu
menentukan individu sehingga perubahan yang berarti akan sulit dilakukan. Pendapat ini terlalu
menekankan pengaruh masa lampau dan mengabaikan pengaruh lingkungan yang sesungguhnya sangat
efektif terhadap perkembangan individu. Dewey menunjuk kemampuan berbahasa. Betul bahwa anak
yang lahir tanpa organ bicara dan pendengaran mustahil untuk dididik supaya dapat berbicara.
Sebaliknya memiliki organ bicara dan pendengaran secara normal tidak menjamin anak untuk dapat
berbicara, kalau sejak lahir ia tinggal di lingkungan di mana orang-orangnya sangat anti sosial dan tidak
pernah berbicara satu dengan yang lain.
3. Teori ini juga membuat pemisahan antara proses dan produk perkembangan. Memang pendidikan dapat
tetap membuat proses masa lampau hidup di masa kini, tetapi seorang individu hanya bisa hidup di
7

Uraian Dewey tentang 5 langkah formal dari Herbart di bagian ini tidak lengkap sehingga perlu diambil bahan dari tulisan lain, yaitu
John Dewey. (1991). How We Think. New York: Prometheus Books (hlm. 202).

11

masa sekarang. Masa sekarang bukanlah masa yang datang sesudah masa lampau seakan hanya produk
masa lampau. Orang yang mempelajari produk-produk masa lampau tidak dengan sendirinya dapat
mengerti masa sekarang, karena masa sekarang bukan sekedar produk masa lampau. Terlalu
menekankan masa lampau dapat membuat orang hanya mengagung-agungkan masa lampau dan
melarikan diri dari permasalahan masa sekarang.
4. Pendidikan sebagai rekonstruksi
Di sini Dewey merumuskan pandangannya sendiri mengenai pendidikan yang berbeda dengan teoriteori pendidikan yang disebut sebelumnya. Sesuai dengan pandangannya mengenai pertumbuhan (growth)
baginya pendidikan merupakan suatu reorganisasi atau rekonstruksi pengalaman secara terus-menerus.
Pendidikan memiliki tujuan langsung, yaitu transformasi langsung atas kualitas pengalaman. Setiap aktivitas
yang mendidik mengarah ke tujuan langsung ini. Dewey menolak pembatasan pendidikan yang hanya terjadi
pada fase usia sekolah formal. Baginya pendidikan tidak mengenal batas waktu dan usia. Usia anak, usia remaja
ataupun usia dewasa memiliki level pendidikan yang sama dalam arti apa yang sungguh dipelajari pada setiap
fase pengalaman memiliki nilai pada dirinya sendiri. Setiap momen hidup ini terbuka bagi terjadinya
pengayaan arti hidup sejauh orang masih mau belajar dari pengalaman.
Dewey memberikan definisi pendidikan. Baginya pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi
pengalaman yang memperkaya arti pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan
rangkaian pengalaman selanjutnya (it is that reconstruction or reorganization of experience which adds to the
meaning of experience, and which increases ability to direct the course of subsequent experience Dewey, 2004:
76). Dewey memberi 2 catatan di sini.
a. Memperkaya arti pengalaman. Mengerti arti dari suatu pengalaman bagi Dewey berarti sesudah
seseorang melakukan sesuatu ia menangkap adanya relasi baru atau kontinuitas antara sesuatu dengan
sesuatu yang lain yang tidak terpikirkan sebelumnya. Pada awalnya orang melakukan sesuatu tanpa
mengerti relasinya dengan sesuatu yang lain. Tindakan yang mendidik berarti seseorang dapat mengerti
relasi-relasi baru yang sebelumnya tidak ia pikirkan. Anak menyentuh api dan dengan begitu jarinya
tersengat panas. Sesudah tersengat panas ia menjadi tahu bahwa ada relasi antara gerakan jarinya dan
api yang ia lihat dengan mata atau ia tahu bahwa api merupakan sumber panas. Sebelum pengalaman
itu ia tidak tahu adanya relasi itu. Apa yang dilakukan para ilmuwan di laboratorium tidak berbeda
secara prinsip. Mereka melakukan sesuatu atas suatu objek dan melihat relasi-relasi baru yang
sebelumnya tidak terpikirkan. Dengan mengerti arti yang baru itu orang dapat membuat kembali
konsekuensi-konsekuensi itu secara sengaja misalnya untuk digunakan dalam pembakaran, oksidasi,
cahaya atau temperatur. Pendidikan berarti sebuah proses yang memperlihatkan adanya kontinuitas dari
sekedar bertindak dan tidak tahu menjadi tahu adanya relasi-relasi baru.
b. Menambah kemampuan untuk mengarahkan rangkaian tindakan selanjutnya. Orang yang mengerti
relasi-relasi baru itu atau dapat menghasilkan kembali konsekuensi-konsekuensinya berarti orang
semakin dapat mengantisipasi apa yang akan terjadi, sehingga ia dapat menyiapkan diri untuk
membuat konsekuensi-konsekuensi yang berguna dan menghindari konsekuensi-konsekuensi yang
tidak diinginkan. Di sini kemampuan orang untuk mengontrol dan mengubah masa depan menjadi
meningkat. Karena itu, tindakan yang mendidik berbeda dengan tindakan yang hanya bersifat rutin atau
asal-asalan.
- Dalam tindakan yang hanya merupakan rutinitas belaka seseorang mungkin dapat menguasai
ketrampilan tertentu, tetapi di situ orang tidak dibawa untuk melihat persepsi baru yang
membuatnya mampu untuk mengerti cakrawala makna yang lebih luas. Ketrampilannya itu hanya
membuatnya bertindak secara otomatis, mempersempit cakrawala berpikir, dan bisa membuatnya
tidak cocok dan tidak mampu menghadapi situasi-situasi yang berbeda.
- Dalam tindakan asal-asalan orang tidak peduli apa yang akan terjadi beserta konsekuensikonsekuensinya sehingga tindakannya itu tanpa arah. Dewey menyamakan tindakan semacam ini
dengan tindakan orang yang melakukan sesuatu hanya atas dasar perintah orang lain tanpa mengerti
sendiri maksud dan tujuannya. Dewey mengritik banyak praktek pendidikan yang tidak membuat
anak sadar akan relasi-relasi antara aktivitas mereka dan tujuan-tujuan yang mau dicapai.
Dalam konsepsinya tentang pendidikan Dewey membedakan pemikirannya dengan teori-teori
pendidikan yang sebelumnya ia kritik. Menurutnya kekhasan pemikirannya terletak pada identifikasi antara
tujuan (hasil) dan proses. Dalam pengalaman yang mendidik terdapat proses aktif yang membuat orang
mengerti makna baru yang sebelumnya tidak ia mengerti di mana ia dapat melihat relasi-relasi yang baru.
Dengan itu secara sengaja ia dapat menggunakan relasi-relasi baru itu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
12

Dalam pengalaman seperti itu terdapat kontinuitas. Baginya setiap pengalaman yang memiliki kontinuitas
seperti itu bersifat mendidik. Karena itu, pendidikan semestinya mengantarkan anak untuk dapat memiliki
pengalaman seperti itu.
Berkaitan dengan rekonstruksi pengalaman Dewey menunjukkan bahwa rekonstruksi itu bisa bersifat
sosial dan personal. Secara singkat bisa dibedakan 2 hal, yaitu pendidikan dalam masyarakat yang statis dan
yang progresif. Dalam masyarakat yang statis tujuan pendidikan tidak lain hanyalah sebatas mereproduksi dan
mempertahankan nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Dalam masyarakat progresif pendidikan
berusaha membentuk pengalaman generasi muda agar kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik terbentuk dan
masyarakat di masa yang akan datang menjadi lebih baik. Dalam masyarakat progresif diupayakan agar
kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat dieliminasi dengan cara mendidik generasi baru agar tidak mengulang
kebiasaan-kebiasaan buruk itu. Di situ Dewey melihat efektivitas pendidikan sebagai instrumen untuk
merealisasikan harapan-harapan baru yang lebih baik bagi masyarakat yang akan datang.
Ringkasnya, Dewey membedakan pendidikan yang bersifat retrospektif dengan yang prospektif. Dalam
pendidikan yang bersifat retrospektif orang melihat pendidikan sebagai proses mengakomodasi masa depan
supaya sesuai dengan standar-standar masa lampau. Sebaliknya, pendidikan yang bersifat prospektif mencoba
menggunakan masa lampau sebagai salah satu sumber untuk mengembangkan masa yang akan datang.
Bab 7. Konsepsi Demokratis dalam Pendidikan
(Dewey, 2004: 81-99)
Karena pendidikan itu merupakan suatu fungsi sosial di mana generasi yang baru diikutsertakan dalam
hidup masyarakat, jiwa, materi dan metode pendidikan akan berbeda dari masyarakat yang satu ke masyarakat
yang lainnya. Masyarakat yang berubah dan yang menganggap bahwa perubahan itu sendiri sangat perlu untuk
dapat menjamin perkembangannya secara kontinyu, tentu akan memiliki standard dan metode pendidikan yang
berbeda dengan masyarakat yang hanya ingin melanggengkan tradisi dan kebiasaan-kebiasaannya. Di sini
Dewey memaparkan 3 model masyarakat dan pendidikannya yang dibandingkan dengan masyarakat yang
demokratis.
1. Implikasi interaksi sosial
Dewey ingin memperlihatkan bahwa kata masyarakat (society) itu bersifat mendua karena memiliki arti
normatif tetapi juga deskriptif, dan memiliki arti de jure tetapi juga arti de facto. Secara normatif dan de jure
masyarakat dipandang sebagai satu kesatuan yang lebih menekankan tujuan luhur, loyalitas pada tujuan
bersama, dan rasa hormat satu dengan yang lainnya. Sebaliknya kalau masyarakat dipandang secara deskriptif
dan de facto yang ditemukan adalah pluralitas kelompok-kelompok kecil di dalamnya yang masing-masing
sangat berbeda dari sisi baik atau buruk. Di dalamnya terdapat beragam kelompok bandit, kelompok bisnis,
kelompok politik dst.
Dalam beragam kelompok Dewey melihat bahwa masing-masing disatukan oleh beberapa minat yang
kurang lebih sama yang memungkinkan terjadinya interaksi dan kerjasama dalam kelompok itu. Ada 2 kriteria
yang dikemukakan Dewey untuk menilai suatu kelompok.
a. Seberapa banyak dan bervariasi minat yang menjadi perhatian bersama yang memungkinkan masingmasing saling memberi dan menerima?
b. Sejauh mana masing-masing anggota bebas menjalin relasi dengan kelompok lain?
Dalam suatu kelompok kriminal dapat dilihat mungkin ada beberapa minat, tetapi minat-minat itu bisa
dikategorikan dalam 1 minat saja, yaitu mencuri. Di samping itu kelompok ini akan sangat terisolasi dan tidak
bebas dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lainnya. Stimulus dan respons yang
terjadi dalam kelompok itu sangatlah berat sebelah. Di situ tidak ada kesempatan yang sederajad bagi masingmasing anggota untuk saling memberi dan menerima.
Dewey juga menggolongkan masyarakat yang ditata oleh pemerintahan otoriter yang menindas sebagai
kelompok yang terbatas variasi minat dan relasi bebas dengan berbagai kelompok lain. Dewey menyitir Plato
yang mendefinisikan seorang budak sebagai orang yang menerima arahan dari orang lain yang mengontrol
perilakunya. Situasi yang sama juga terjadi meski tanpa ada perbudakan eksplisit kalau orang bekerja di
masyarakat tanpa memahami artinya dan tanpa memiliki minat pribadi. Bahkan berbagai kelompok masyarakat
primitif cenderung memandang kelompok asing sebagai musuh. Demikian juga efisiensi dalam dunia produksi
mudah membuat orang bekerja dalam rutinitas mekanis belaka tanpa minat dan motivasi. Dalam kelompok atau
masyarakat seperti ini kalau ada pendidikan, pendidikan yang terjadi di dalamnya bisa dipastikan hanya parsial
dan timpang.
13

Dalam keluarga yang normal terdapat beragam minat: material, intelektual atau estetis. Di samping itu
masing-masing anggota cukup bebas untuk berinteraksi dengan berbagai kelompok lain seperti sekolah,
kelompok bisnis, kelompok budaya dst. Di sini terdapat beragam minat yang memungkinkan masing-masing
anggota dapat saling memberi dan menerima, serta adanya berbagai kemungkinan kontak yang bebas dengan
berbagai kelompok sosial yang lain. Keragaman stimulus dan respons dapat menstimulasi perkembangan
intelektual yang positif. Keanekaragaman stimulus memungkinkan masing-masing anggota menerima berbagai
hal yang baru. Berbagai hal yang baru berarti stimulus efektif yang menantang daya pikir (sebaliknya semakin
pikiran dibatasi hanya pada beberapa stimulus, semakin pikiran terbatas pada rutinitas saja, sehingga mudah
mandul, tidak terarah, dan asal-asalan).
Yang mau ditekankan Dewey adalah bahwa semakin suatu model kelompok atau masyarakat menutup
diri dan membatasi diri pada idealisme dan kepentingan sendiri yang tidak memungkinkan terjadinya interaksi
bebas dengan berbagai kelompok sosial lain semakin hidup intelektual dan emosionalnya tidak berkembang.
Model semacam itu bisa ditemukan pada level negara atau bangsa, golongan (yang dipisahkan atas dasar kayamiskin, terpelajar-tak terpelajar dsm), keluarga, ataupun sekolah. Perkembangan hidup intelektual dan
emosional sangat ditentukan oleh perluasan relasi dengan berbagai kelompok sosial yang lain. Demikian juga
perkembangan peradaban manusia sangat ditentukan oleh semakin dihapuskannya sekat-sekat sosial apa pun
juga sehingga memungkinkan manusia dengan berbagai latar belakang semakin dekat satu dengan yang lain. Di
situ kemungkinan untuk belajar dari yang lain dan perluasan horizon hidup semakin terbuka lebar.
2. Ideal demokratis
Di atas sudah dikemukakan 2 kriteria untuk menilai apakah suatu kelompok itu demokratis.
a. Kriteria pertama bukan hanya mengacu pada semakin banyak dan bervariasinya minat bersama, tetapi
juga semakin dihargainya minat-minat itu secara timbal balik.
b. Kriteria kedua mengacu pada interaksi yang lebih bebas antar berbagai kelompok sosial, tetapi juga
perubahan kebiasaan, yaitu kebiasaan untuk menyesuaikan diri secara kontinyu terhadap situasi-situasi
baru akibat interaksi yang beragam.
Kalau 2 kriteria ini terdapat dalam suatu kelompok, kelompok itu disebut Dewey sebagai kelompok yang
demokratis.
Demokrasi itu bukan melulu mengacu pada suatu bentuk pemerintahan, tetapi pertama-tama
merupakan suatu cara hidup bersama di mana masing-masing anggota saling membagikan dan memberikan
pengalaman secara merdeka. Dengan itu sekat-sekat kelas, ras dan negara dirobohkan. Keragaman interaksi
sosial yang terjadi membuat semakin terciptanya keragaman stimuli yang mesti direspons oleh masing-masing
individu. Di situ variasi dan keanekaragaman dijunjung tinggi. Hanya dalam kondisi yang demokratis seperti
inilah seluruh potensi masing-masing individu dapat berkembang secara maksimal dan pada gilirannya
masyarakat secara keseluruhan dapat semakin berkembang.
Konsepsi demokratis inilah yang semestinya menjadi dasar bagi pendidikan. Masyarakat yang terbagibagi dalam kelas-kelas sosial yang eksklusif perlu memperbaharui model pendidikan mereka. Sementara
masyarakat yang sangat dinamis di mana terjadi begitu banyak perubahan akibat bervariasinya relasi sosial
semestinya mendidik generasi muda mereka untuk mengembangkan inisiatif pribadi dan kemampuan adaptasi
dengan suasana baru, supaya mereka tidak bingung menghadapi berbagai perubahan.
Tiga bagian di bawah ini merupakan evaluasi Dewey terhadap tiga model teori pendidikan yang sangat
menentukan perkembangan masyarakat pada 3 jaman yang berbeda.
3. Filsafat pendidikan Plato
Bagi Plato suatu masyarakat akan tertata dengan baik jika masing-masing individu bertindak sesuai
dengan bakat alaminya sedemikian rupa sehingga apa yang ia lakukan itu berguna bagi yang lain atau bagi
masyarakat secara keseluruhan. Untuk itu pendidikan bertugas menemukan bakat-bakat itu dan melatihnya
sebaik mungkin agar berguna bagi kepentingan masyarakat.
Titik pijak Plato adalah bahwa pengorganisasian masyarakat tergantung pada pengetahuan akan tujuan
hidup. Kalau kita tidak tahu tujuan hidup, kita akan mudah diombang-ambingkan oleh berbagai perubahan dan
peristiwa, karena kita tidak memiliki kriteria untuk membuat keputusan secara rasional guna menentukan
kemungkinan-kemungkinan seperti apa yang harus diusahakan untuk dicapai dan bagaimana masyarakat harus
dikelola. Dalam kenyataan tidaklah mudah untuk mengetahui tujuan hidup yang tidak lain adalah kebaikan
tertinggi dan permanen itu, karena kita gampang tertipu oleh berbagai penilaian dan perspektif yang palsu.
Karena pendidikan itu dibentuk dengan pola-pola institusi, kebiasaan dan hukum suatu masyarakat, hanya
dalam negara yang adillah pendidikan yang benar dapat dilakukan. Demikian juga hanya orang-orang yang
14

terdidik secara benar inilah yang dapat mengetahui tujuan hidup itu dan bagaimana masyarakat mesti diatur.
Dengan itu kita seakan terperangkap dalam lingkaran setan.
Plato menunjukkan jalan keluar. Hanya sedikit orang saja yaitu para filsuf yang mengetahui pola-pola
kehidupan ini sekurang-kurangnya secara garis besar. Hanya pemerintahan yang kuat yang dipimpin oleh orang
yang mengetahui pola-pola kehidupan ini yang akhirnya dapat membuat masyarakat itu baik. Kalau
masyarakatnya baik pendidikannya juga akan baik sehingga bakat-bakat khas masing-masing individu dapat
ditemukan dan metode yang benar untuk mengembangkannya bisa dijalankan. Akhirnya kesatuan masyarakat
secara keseluruhan dapat dipertahankan kalau masing-masing mengerjakan sesuatu sesuai bakatnya tanpa saling
mencampuri.
Dewey mengajukan kritik atas konsepsi Plato itu. Meskipun Plato menekankan bahwa martabat
individu semestinya tidak ditentukan oleh kelahiran, kekayaan maupun status tetapi dari bakat-bakat individu
yang ditemukan dalam proses pendidikan, ia tidak memiliki gambaran mengenai keunikan masing-masing
individu. Sebaliknya Plato malah membagi masyarakat hanya dalam 3 kelas, yaitu (1) kelas pekerja dan
pedagang (bagi kelas ini selera begitu menentukan dan kelas ini menyediakan kebutuhan sehari-hari
masyarakat), (2) kelas prajurit yang menjadi pembela negara di saat perang dan menjaga ketenteraman di saat
damai (kelas ini sudah mendapatkan pendidikan tetapi akal budi mereka belum dapat mencapai pengetahuan
tertinggi tentang tujuan hidup), dan (3) kelas yang mampu mengerti pengetahuan tertinggi ini sehingga menjadi
pembuat aturan dan perundangan negara. Dengan demikian bakat masing-masing individu pun hanya digunakan
sebatas 3 kelas sosial itu.
Demikian juga gagasan Plato tentang kebaikan tertinggi itu juga bersifat statis. Realitas sesungguhnya
baginya itu realitas yang tidak berubah, dan keanekaragaman dan perubahan itu bukanlah realitas yang
sesungguhnya. Tentu pandangannya ini berlawanan dengan keinginannya untuk mengubah masyarakat secara
radikal.
4. Ideal individu pada abad ke-18
Dewey menunjuk Rousseau sebagai tokoh dari abad ke-18. Rousseau mempertentangkan kodrat
(nature) dengan masyarakat (culture). Dengan latar belakang masyarakat feodal waktu itu Rousseau
menganggap masyarakat itu korup dan ia menemukan yang ideal dalam alam. Ada keanekaragaman potensi
kodrati yang dimiliki masing-masing individu dan pendidikan semestinya mengembangkan potensi-potensi
kodrati itu semaksimal mungkin. Tujuan dan metode pendidikan harus sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
alam. Apa yang alami bagi Rousseau bersifat non sosial bahkan anti sosial. Apa yang datang dari masyarakat itu
justru dianggap merusak apa yang alami dimiliki anak sejak lahir.
Menurut Dewey apa yang tampak anti sosial dalam pemikiran Rousseau itu sebetulnya merupakan
pendorong bagi tumbuhnya masyarakat yang lebih luas dan bebas, yaitu kearah kosmopolitanisme. Idealisme
Rousseau adalah humanisme universal yang tidak terbatas pada negara tertentu atau latar belakang sosial
tertentu. Perkembangan potensi-potensi individu justru dihambat dalam masyarakat politis tertentu karena
hanya digunakan untuk mengabdi kepentingan egois penguasa negara itu. Konsepsi Rousseau itu sejajar dengan
idealisme kesempurnaan individu yang tidak terbatas yang nantinya menjadi pelaku bagi kemajuan masyarakat
secara komprehensif.
Pengidealan alam oleh Rousseau ini didukung oleh perkembangan dalam ilmu-ilmu alam. Penelitian
yang bebas dari prasangka dan kekangan negara telah menunjukkan bahwa alam memiliki hukum-hukumnya
sendiri. Penemuan tata surya menunjukkan bahwa hukum alam itu sangat harmonis dan memperlihatkan
keseimbangan. Hukum-hukum alam yang harmonis ini juga dipercayai bisa diterapkan pada manusia asal
manusia membebaskan diri dari kekangan kepercayaan-kepercayaan palsu dari masyarakat. Untuk itu
pendidikan memegang peran sentral untuk merombak masyarakat.
Bagi Dewey masalah muncul karena tidak jelasnya siapa pelaku yang semestinya mengarahkan
pendidikan karena semuanya dikembalikan pada alam saja.
5. Pendidikan nasional dan sosial
Menyerahkan pendidikan sepenuhnya pada alam bagi Dewey jelas bertentangan dengan gagasan dasar
tentang perlunya pendidikan. Dalam pendidikan jelas dibutuhkan metode tertentu, materi tertentu, dan pendidik
yang mesti menjalankan proses pendidikan. Dewey menunjuk Pestalozzi sebagai pemikir yang mengatakan
bahwa pencapaian idealisme pendidikan yang baru secara efektif membutuhkan peran negara. Apa yang mau
dicapai itu semestinya tergantung pada apa yang mau dicapai oleh negara. Sekolah-sekolah mesti dikelola
secara nasional oleh negara. Menurut Dewey di bawah pengaruh Jerman pendidikan dipandang sebagai suatu
fungsi kenegaraan yang semestinya mewujudkan idealisme negara bangsa (gerakan pendidikan nasionalistik ini
merupakan bagian dari gerakan politik nasional di Eropa). Pendidikan lalu dikelola bukan untuk kemanusiaan
15

universal, tetapi untuk kepentingan negara. Di situ pendidikan bertujuan bukan untuk membentuk manusia
sebagai manusia, tetapi sebagai warga negara. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh kekalahan Jerman oleh
Napoleon. Jerman di bawah pimpinan pemerintahan Prusia merasa perlunya perubahan sistematis dalam
pendidikan agar dapat mempertahankan integritas dan kekuasaan politik berhadapan dengan negara-negara
tetangga yang tidak selalu bersahabat.
Negara bukan sekedar menyediakan sarana-sarana yang perlu untuk pendidikan tetapi juga menjadi
tujuan pendidikan. Seluruh sistem sekolah dari sekolah dasar sampai universitas mesti mempersiapkan warga
negara dan tentara yang patriotik, para pejabat dan administrator negara yang cakap, dan memodernisasi
pertahanan militer, industri dan politik. Pendidikan seperti ini menekankan pentingnya efisiensi sosial demi
tujuan negara.
Dewey melontarkan kritikannya di sini. Karena perlu mempertahankan kedaulatan negara di hadapan
negara-negara tetangga, diperlukan ketaatan individu pada negara untuk mendukung superioritas negara dalam
pertahanan militer, perdagangan, dan efisiensi sosial. Tujuan nasional dijadikan tujuan pendidikan. Individu
disubordinasi di bawah institusi dan kepentingan negara yang bersifat sempit dan eksklusif. 8 Akibatnya, proses
pendidikan lebih menekankan traning dengan disiplin ketat dan bukan perkembangan individu.
Bab 8. Tujuan dalam pendidikan
(Dewey, 2004:100-110)
1. Sifat suatu tujuan
Menurut Dewey tujuan pendidikan adalah untuk memungkinkan individu melanjutkan pendidikan
mereka, atau membentuk kemampuan untuk tumbuh (to grow) secara kontinyu. Tujuan ini hanya bisa dicapai
kalau 2 syarat dasar terpenuhi:
a. adanya interaksi antar individu secara timbal balik dan
b. adanya kemungkinan untuk merekonstruksi kebiasaan-kebiasaan sosial dan institusi-institusi sosial
yang terjadi akibat stimulasi yang muncul karena pertukaran berbagai minat secara timbal balik.
Singkatnya, sasaran ini tidak dapat dicapai kecuali dalam masyarakat yang demokratis.
Kiranya perlu diberi beberapa catatan di sini.
a. Dalam rumusannya Dewey menolak setiap tujuan yang berasal dari luar proses pendidikan itu sendiri
yang membuat pendidikan hanya disubordinasikan di bawah kepentingan yang berasal dari luar
pendidikan (seperti sasaran yang didektekan oleh negara seperti yang dia kritik sebelumnya).
b. Dewey membedakan hasil dengan tujuan. Misalnya, angin badai merobohkan pohon. Robohnya pohon
adalah hasil dari tiupan angin badai dan tidak bisa dikatakan sebagai tujuan angin badai. Meskipun
demikian tujuan selalu mengacu pada hasil. Faktor utama yang mesti dilihat dalam suatu tujuan adalah
adanya kontinuitas intrinsik, dan bukan sekumpulan tindakan yang terpisah-pisah. Dewey
mengesampingkan adanya tujuan dalam suatu proses pendidikan kalau setiap tindakan anak didektekan
oleh guru. Tujuan mengadaikan tindakan yang terorganisir untuk menyelesaikan suatu proses secara
progresif. Dalam tujuan orang sudah memprediksi akhir dari suatu proses karena di situ diandaikan
adanya bentangan waktu tertentu dan suatu perkembangan kumulatif. Orang tidak bisa bicara tentang
tujuan pendidikan kalau tidak memungkinkan orang untuk memprediksi hasil dari suatu proses.
c. Tujuan sebagai suatu akhir yang bisa diprediksi sebelumnya memberikan arah pada aktivitas karena
mempengaruhi langkah-langkah yang diambil untuk mencapainya. Fungsi prediksi dari tujuan dirinci
Dewey dalam 3 unsur.
(1) Tujuan membantu untuk melakukan observasi yang seksama untuk menentukan sarana-sarana yang
tersedia untuk mencapai tujuan dan menemukan halangan-halangannya selama proses berlangsung.
(2) Tujuan membantu untuk menentukan langkah-langkah yang tepat dalam menggunakan sarana.
(3) Tujuan memungkinkan adanya pilihan alternatif.

Di situ dikembangkan konsepsi tentang negara sebagai satu kesatuan organik. Individu pada dirinya sendiri tidak ada artinya kecuali
ditempatkan di bawah kepentingan negara. Individu dituntut berkorban demi kepentingan negara. Fichte dan Hegel mengembangkan
gagasan bahwa fungsi utama negara adalah mendidik. Regenerasi bangsa dicapai dengan pendidikan yang diarahkan sesuai dengan
kepentingan negara. Individu pada dirinya sendiri cenderung egoistik, irasional, dan terkungkung oleh selera-selera pribadi dan
lingkungan sekitarnya, kecuali kalau ia menyerahkan kehendaknya di bawah disiplin pendidikan yang dilaksanakan oleh negara. Jerman
adalah negara pertama yang menerapkan wajib belajar untuk semua anak dari sekolah dasar sampai universitas dan yang mengawasi dan
mengatur seluruh pendidikan swasta secara ketat.

16

Adanya suatu tujuan membuat orang bukan sebagai penonton tetapi pelaku dari suatu proses yang bisa
diantisipasi hasilnya sehingga memungkinkan untuk memilih hasil tertentu dan bukan hasil yang
lainnya.
d. Bagi Dewey bertindak atas dasar suatu tujuan berarti bertindak cerdas. Dapat memprediksi akhir dari
suatu tindakan berarti memiliki basis untuk meneliti, memilih dan mengatur sarana-sarana dan
tindakan-tindakan yang perlu. Dengan begitu orang berpikir. Pikiran merupakan kemampuan untuk
melihat adanya relasi timbal balik antara situasi sekarang dan hasil-hasil di masa yang akan datang.
Misalnya, ketika orang melihat genangan air di rumah. Genangan itu memiliki potensi menjadi sarang
nyamuk sehingga menjadi sumber penyakit. Ia dapat memprediksi hasil akhirnya, yaitu persebaran
penyakit, lalu mengeringkan genangan air itu. Tindakan mengeringkan ini merupakan tindakan yang
cerdas karena ia bertindak dengan suatu tujuan untuk menghindari persebaran penyakit. Orang yang
bodoh atau tidak berpikir adalah orang yang bertindak tanpa mengetahui arti tindakannya dan
konsekuensi-konsekuensinya. To be intelligent we must stop, look, listen in making the plan of an
activity (Dewey, 2004: 103). To have an aim is to act with meaning, not like an automatic machine; it
is to mean to do something and to perceive the meaning of things in the light of that intent (Dewey,
2004: 104).
2. Kriteria tujuan yang baik
Dewey mengemukakan 3 kriteria untuk tujuan yang baik sebagai berikut.
a. Tujuan yang ditentukan semestinya merupakan hasil perkembangan dari kondisi yang ada. Tujuan
semestinya merupakan hasil pertimbangan atas apa yang sedang terjadi, atas kemungkinankemungkinan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Dewey menolak tujuan yang ditetapkan oleh
otoritas dari luar karena tujuan semacam itu hanya akan membatasi kreativitas dan membuat orang
bertindak secara mekanis saja.
b. Tujuan semestinya fleksibel sehingga mudah disesuaikan sesuai dengan kondisi yang baru. Tujuan awal
yang ditentukan lebih sebagai sketsa tentatif. Dengan bertindak akan diketahui apakah tujuan itu
tercapai atau tidak. Dalam menetapkan tujuan yang baik orang semestinya memperhitungkan
pengalaman yang sudah dicapai anak, lalu menetapkan rencana tentatif, selalu menceknya dalam
praktek dan menyesuaikannya sesuai dengan perkembangan situasi. Singkatnya tujuan yang baik itu
bersifat eksperimental sehingga selalu berkembang selama direalisasikan.
c. Tujuan semestinya selalu menunjukkan bebasnya aktivitas. Tujuan yang dilihat sebelumnya itu
merupakan akhir dari suatu proses. Petani yang menggarap sawah dengan ternaknya tahu bagaimana
merealisasikan tujuan pada setiap langkahnya. Ia selalu harus mengacu ke tujuan akhir sebagai
pedoman. Dengan itu ia dapat menentukan rangkaian tindakan dengan bebas sampai tujuan akhir itu
tercapai. Karena itu, ia mengatakan bahwa tujuan adalah sarana untuk bertindak.
3. Penerapan dalam pendidikan
Bagi Dewey tidak ada yang khusus dalam tujuan pendidikan. Tujuan membantu orang melakukan
observasi, antisipasi, dan pengaturan yang perlu untuk melaksanakan suatu fungsi. Setiap tujuan bernilai sejauh
membantu melaksanakan tindakan dari suatu waktu ke waktu yang lain. Pendidikan pada dirinya sendiri tidak
memiliki tujuan. Hanya manusia, orang tua, guru dst yang memiliki tujuan. Ide abstrak seperti pendidikan tidak
mempunyai tujuan. Karena itu, tujuan bisa sangat beragam dari orang yang satu ke orang yang lain, dari anak
yang satu ke anak yang lain dan dari pengalaman yang satu ke pengalaman yang lain. Misalnya guru dapat
memiliki tujuan: mengajari anak menjahit, mengajari anak membaca novelnya Scott, mengajari anak
membuang kebiasaan buruk tertentu dst. Dewey memberikan beberapa karakteristik tujuan yang baik untuk
pendidikan:
a. Suatu tujuan pendidikan mesti didasarkan pada aktivitas dan kebutuhan intrinsik individu tertentu
(termasuk kecenderungan dan kebiasaannya) yang akan dididik. Dewey mengritik kecenderungan untuk
menetapkan suatu tujuan yang sama bagi semua tanpa memperhitungkan keunikan masing-masing
anak.
b. Suatu tujuan mesti bisa diterjemahkan dalam metode yang akan dilaksanakan oleh pendidik. Tujuan itu
mesti mengacu pada jenis lingkungan yang perlu untuk membantu anak-anak untuk merealisasikan
potensi-potensi mereka.
c. Para pendidik mesti waspada terhadap tujuan yang dikatakan bersifat umum dan final. Tujuan
semestinya mengarahkan orang untuk melakukan serangkaian aktivitas. Karena itu, tujuan tidak dapat
dirumuskan terlalu umum atau terlalu abstrak sehingga jauh dari konteks. Tujuan yang baik semestinya
justru memperluas cakrawala pandang dan mendorong orang untuk melakukan observasi secara lebih
17

luas dan fleksibel untuk memperhitungkan beragam sarana yang mungkin dalam mencapai tujuan (tidak
terbatas hanya pada sejumlah kecil alternatif).
Bab 9. Perkembangan kodrat dan efisiensi sosial sebagai tujuan
(Dewey, 2004: 111-123)
Tujuan umum pendidikan merupakan patokan yang biasanya digunakan untuk memberi arah
pendidikan dan mengevaluasi masalah-masalahnya. Di sini Dewey akan mengevaluasi 3 model tujuan
pendidikan yang digunakan sebagai standard.
1. Kodrat dianggap menyediakan tujuan
Di sini Dewey menunjuk sebuah model pemikiran yang memahami pendidikan sebagai proses
perkembangan kodrat alami berupa potensi-potensi yang sudah ada sejak lahir. Tokoh utama model ini adalah
Rousseau. Dia mempertentangkan konsepsi tentang kodrat alami individu (natural) yang sudah ada sejak lahir
dengan pengaruh masyarakat (social) yang membentuk individu.
Rousseau dan para pengikutnya melihat perkembangan kodrat 9 sebagai standard pendidikan. Bagi
mereka kodrat menyediakan hukum dan tujuan perkembangan. Tugas kita hanyalah mengikuti dan
menyesuaikan diri dengan perkembangan kodrat itu.
Rousseau mengatakan bahwa ada 3 faktor yang menentukan perkembangan pendidikan individu, yaitu
kodrat, manusia lain dan benda-benda. Yang pertama adalah potensi bawaan organ-organ tubuh dan
kemampuan-kemampuan bawaan individu sejak lahir. Kedua adalah cara menggunakan organ-organ itu karena
diajari oleh orang lain. Ketiga adalah interaksi langsung individu dengan lingkungannya. Dengan itu Rousseau
mengemukakan 2 prinsip. Pertama, hanya kalau 3 faktor pendidikan ini berjalan seimbang individu akan
berkembang secara maksimal. Kedua, dari ketiga faktor itu yang semestinya menjadi patokan pendidikan adalah
yang dari kodrat karena masih orisinil dan tidak tergantung dari campur tangan manusia.
Dewey mengatakan bahwa Rousseau mengidentifikasikan Tuhan sebagai alam. Dengan demikian
Rousseau mengasalkan semua yang baik dari Tuhan sendiri yang semestinya menjadi standard seluruh
perkembangan manusia. Semua campur tangan manusia lebih merupakan sumber kebobrokan individu. Dengan
menggunakan perkembangan kodrat sebagai tujuan pendidikan Rousseau dapat mengoreksi banyak praktek
buruk pendidikan yang sampai waktu itu justru mengesampingkan dan menekan kecenderungan-kecenderungan
kodrati dan diganti dengan patokan luar yang dianggap baik oleh masyarakat. Dewey melihat beberapa segi
positif dalam pemikiran Rousseau yang menempatkan kodrat sebagai tujuan pendidikan.
a. Pemikirannya memberi perhatian lebih pada organ-organ tubuh dan perlunya kesehatan dan badan
yang kuat.
b. Pemikirannya menghargai mobilitas anak bahwa anak itu cenderung ingin bergerak sehingga
pemaksaan terhadap anak untuk duduk manis di sekolah itu sangat merugikan perkembangan anak.
Dewey mengutip Rousseau Children are always in motion: a sedentary life is injurious, Natures
intention is to strengthen the body before exercising the mind. (Dewey, 2004: 115).
c. Pemikirannya menghargai perbedaan individual masing-masing anak sehingga pendidik tidak pada
tempatnya membuat standar pendidikan yang sama yang berlaku untuk semua anak. Dewey
mengutip Rousseau Each individual is born with a distinctive temperament. We indiscriminately
employ children of different bents on the same exercises; their education destroys the special bent
and leaves a dull uniformity (Dewey, 2004: 116).
d. Pemikirannya menunjukkan asal-usul, perkembangan, dan surutnya kesukaan serta minat anak.
Dibuktikan kemudian bahwa perkembangan potensi-potensi itu berbeda-beda waktunya dan tidak
terjadi secara bersamaan. Perkembangan itu bersifat ireguler di mana suatu waktu suatu potensi
sangat berkembang dan di waktu lain potensi yang lainnya yang berkembang. We must strike
while the iron is hot. Sangatlah berharga untuk mengamati bagaimana suatu potensi itu sedang
mulai mekar karena cara orang menanganinya akan sangat menentukan perkembangan selanjutnya.
9

Nature dipahami dalam bahasa Indonesia sebagai alam maupun kodrat. Alam lebih mengacu pada aspek-aspek fisik seperti gunung,
hutan dst, sedangkan kodrat lebih mengacu ke aspek-aspek yang ada dalam diri manusia seperti dalam ungkapan Sudah kodratnya
bahwa manusia itu bisa sakit dan meninggal, Sudah kodratnya kalau manusia itu bisa berjalan dengan posisi badan tegak. Nature
yang dipahami Rousseau tidak memisahkan keduanya sehingga nature kadang perlu dimengerti sebagai alam tetapi juga kodrat.
Kodrat adalah seluruh potensi dan kecenderungan bawaan individu yang diterima sejak lahir sebelum ada pengaruh dari masyarakat
lewat kebiasaan-kebiasaan sosial. Untuk memperkembangkan kemampuan-kemampuan kodrati yang ada sejak lahir Rousseau akan
menggunakan alam sebagai model pendidikan sehingga ia akan menggunakan pohon, binatang, sungai, hutan, gunung, dst sebagai
lingkungan pendidikan yang berfungsi sebagai perangsang bagi perkembangan kemampuan-kemampuan kodrati anak.

18

Metode yang dapat mengidentifikasi dan menangani dengan baik beragam perkembangan potensi
awal yang tidak berkembang secara bersamaan ini akan menentukan efektivitas pendidikan yang
dijalankan. Identifikasi perkembangan potensi alami itu hanya mungkin kalau anak tidak di bawah
batasan-batasan dari orang dewasa melainkan kalau anak ada dalam lingkungan yang bebas untuk
berbicara dan bertindak secara spontan. Lingkungan tersebut semestinya mendorong mereka untuk
aktif. Sayangnya orang dewasa terbiasa melihat tingkah laku anak yang aktif itu sebagai sesuatu
yang buruk sehingga memaksakan standard-standard orang dewasa pada anak dan mematikan
kecenderungan alami anak yang aktif itu. Pestalozzi dan Froebel mengikuti Rousseau dalam
menggunakan prinsip-prinsip perkembangan kodrat anak ini.
Dewey melontarkan beberapa kritik terhadap pemikiran Rousseau ini yang bisa dirumuskan dalam 3
pokok.
a. Rousseau menyamaratakan yang alami dengan yang fisik sehingga mengesampingkan peran pikiran
untuk memperkirakan dan merencanakan karena kodratlah yang akan melakukan semuanya.
b. Rousseau mempercayai bahwa organ-organ tubuh dan potensi-potensi kodratinya akan berkembang
secara independen dan tanpa interaksi dengan lingkungan sosial. Dewey menolak pendapat ini
dengan mengemukakan contoh mengenai perkembangan kemampuan berbahasa pada anak. Anak
tidak akan mungkin bisa mengembangkan kemampuan bahasanya kalau sejak lahir ia diisolasi dan
tidak pernah memiliki interaksi dengan orang-orang lain di sekitarnya meskipun semua organ mulut
dan telinganya normal.
c. Pendapat yang mengatakan bahwa kodrat telah menyediakan tujuan pendidikan hanyalah mitos.
Tidak mungkinlah potensi-potensi kodrati anak akan berkembang dengan sendirinya tanpa medium
lingkungan sosial itu. Lingkungan sosiallah yang dapat mengarahkan bagaimana potensi-potensi itu
dapat dikembangkan semaksimal mungkin dengan menggunakan metode terbaik.

2. Efisiensi sosial sebagai tujuan


Pendapat Rousseau yang mengatakan bahwa hanya kodratlah yang dapat memberikan tujuan yang
benar pada pendidikan, dan, sebagai kontras, masyarakat hanya dapat memberikan tujuan yang bobrok tentu
saja mendapatkan reaksi tajam. Dewey menyebutkan pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan itu
semestinya justru mengurus apa yang tidak bisa disediakan oleh kodrat, yaitu membiasakan individu untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial bahkan kontrol sosial dan mengebawahkan kecenderungankecenderungan kodrati pada aturan-aturan sosial. Efisiensi sosial semestinya menjadi tujuan pendidikan.
Dewey memberikan evaluasi terhadap pendapat ini.
a. Memang pendapat ini lebih menghargai pentingnya kompetensi yang mutlak perlu dicapai dalam dunia
industri saat ini. Tanpa memiliki kompetensi tertentu seseorang tidak dapat bekerja dan hidup mandiri
secara ekonomis sehingga ia hanya menjadi parasit dalam masyarakat.
Dewey mengajukan kritikan terhadap pendapat ini karena menganggap bahwa kondisi industrial dan
ekonomis saat ini merupakan standard yang final. Anak ditraining hanya untuk menguasai suatu
spesialisasi tertentu yang sangat sempit sesuai dengan status sosial tertentu. Perkembangan dan
perubahan yang terjadi dalam dunia industri itu sangat cepat yang dapat mengakibatkan bahwa
kompetensinya itu tidak relevan lagi. Di samping itu kondisi industrial saat ini penuh dengan
ketidakadilan di mana hanya sedikit orang memiliki privilese dan begitu banyak orang tidak
memilikinya samasekali. Pendidikan yang bertujuan untuk mengebawahkan individu untuk efisiensi
sosial sama artinya memaksa setiap individu untuk menerima status quo dari segelintir orang yang
berkuasa secara ekonomis itu.
b. Menjadi efisiensien atau menjadi baik sebagai warga negara
Baik sebagai warga negara berarti memiliki kemampuan yang baik untuk menilai dan mengukur situasi
serta ambil bagian dalam membuat dan menaati hukum. Pemahaman ini dapat membuat orang kritis
terhadap pengertian yang terlalu sempit mengenai efisiensi sosial. Bagi mereka yang terlalu
menekankan efisiensi sosial penemuan-penemuan ilmiah dianggap tidak relevan. Para ilmuwan hanya
dianggap sebagai para pemimpi yang berkutat pada teori saja dan samasekali tidak efisien secara sosial.
Menikmati seni, rekreasi dan penggunaan waktu luang hanya dianggap sebagai pemborosan sosial.
Bagi Dewey semua kegiatan itu perlu dijalankan untuk menjadi warga negara yang baik untuk saling
berkomunikasi, saling memberi dan menerima.
19

3. Budaya sebagai tujuan


Dalam hal ini kodrat (nature) dipertentangkan dengan budaya (culture). Budaya diartikan sebagai
sesuatu yang sudah diolah dan dimatangkan, sementara kodrat dianggap masih mentah dan kasar. Budaya
dilawankan dengan apa yang berkembang secara alamiah begitu saja. Budaya merupakan sesuatu yang sudah
mengandung campur tangan manusia yang menghargai ide-ide, seni dan minat-minat manusia lain yang lebih
luas. Budaya juga dilawankan dengan efisiensi kalau efisiensi dipahami sebagai jangkauan tindakan yang
sempit saja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sehari-hari.
Menurut Dewey dikotomi antara nilai budaya adiluhung dan efisiensi sosial merupakan produk
masyarakat feodal yang membuat pemisahan antara strata sosial yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Strata
sosial yang lebih tinggi diandaikan memiliki banyak waktu luang sehingga memiliki banyak kesempatan untuk
mengembangkan diri mereka sebagai manusia. Sementara strata sosial yang lebih rendah terbatas hanya pada
pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Menerima dikotomi ini berarti sangat fatal bagi pendidikan karena sama saja
dengan menerima dan melanggengkan bentuk masyarakat feodal. Model seperti ini semestinya diganti dengan
model masyarakat demokratis di mana masing-masing saling memberi dan menerima secara merdeka.
Bab 10. Minat dan disiplin
(Dewey, 2004: 124-138)
1. Minat dan disiplin
a. Minat (interest)
Dewey berbicara mengenai perbedaan antara penonton dan pelaku. Penonton menunjukkan sikap acuh
tak acuh pada apa yang sedang terjadi dan konsekuensi yang akan terjadi. Pelaku menunjukkan sikap terikat
pada apa yang sedang terjadi dan konsekuensi yang akan terjadi sehingga ia akan berusaha mengarahkan proses
yang terjadi agar mengarah ke hasil yang diharapkan. Hujan turun yang dilihat seorang tahanan di balik jeruji
penjara tidak berarti banyak baginya. Hujan yang sama ditanggapi dengan sikap yang berbeda bagi orang yang
berencana pergi ke tempat rekreasi. Meskipun ia tidak bisa menghentikan hujan, sekurang-kurangnya ia bisa
menunda kepergian dan mengganti rencana di hari yang lebih baik.
Sikap sebagai pelaku ditunjukkan Dewey sebagai sikap yang gelisah terhadap konsekuensi yang akan
terjadi dan sikap yang cenderung untuk bertindak untuk memastikan konsekuensi yang lebih baik dan
menghindari konsekuensi yang kurang baik. Dalam sikap sebagai pelaku inilah Dewey menunjukkan arti kata
minat atau kepentingan (interest).
Jika seseorang memiliki minat akan sesuatu, ia merasa terikat dengan kemungkinan-kemungkinan yang
akan terjadi sehingga ia mencoba untuk mengarahkan prosesnya agar menghasilkan konsekuensi sesuai dengan
yang diinginkannya. Karena itu, minat sangat erat berkaitan dengan tujuan. Tujuan mengacu pada hasil yang
ingin dicapai. Maka bagi Dewey kata minat sangat erat berkaitan dengan tujuan, sasaran, maksud, perhatian,
afeksi, dan motivasi. Konsekuensi yang akan terjadi itu merupakan sesuatu yang objektif dan impersonal
(misalnya besok akan hujan), tetapi apa yang akan terjadi itu sekaligus menjadi dasar motivasi untuk memberi
tanggapan pribadi. Apakah tindakannya akan berhasil atau gagal tergantung pada interaksinya dengan faktorfaktor lainnya. Minat menunjukkan adanya interaksi antara individu dan lingkungannya.
Dalam pengertian sehari-hari minat atau kepentingan mengacu pada 3 pengertian.
1. Arti keseluruhan
Kesibukan atau pekerjaan sering diacu sebagai minat. Misalnya ia memiliki minat dalam politik,
arkeologi atau perbankan.
2. Hasil objektif yang sudah diperkirakan
Pengertian ini mengacu pada apa yang menjadi pusat keterlibatan seseorang. Misalnya seseorang harus
menunjukkan kepentingan bisnisnya untuk mendapatkan pengakuan legal dari pengadilan.
3. Kecenderungan emosi seseorang
Jika seseorang memiliki minat akan sesuatu yang lebih ditekankan adalah sikap pribadinya. Ia terserap,
waspada, peduli dan menaruh perhatian pada suatu objek.
Dalam pendidikan pengertian kedua mungkin tidak begitu mendapat perhatian. Secara umum Dewey
mengatakan bahwa pengertian akan minat dalam pendidikan semestinya membuat orang menemukan objekobjek dan cara bertindak yang berkaitan dengan kemungkinan pengembangan potensi anak. Jika materi
pendidikan dapat membuat anak terlibat aktif di dalamnya, tidak perlu dibutuhkan upaya-upaya ekstra (bahkan
upaya-upaya paksa) untuk membangkitkan motivasinya.
20

Secara etimologis kata interest10 mengacu pada apa yang ada di antara yang menghubungkan dua hal.
Dalam pendidikan Dewey menunjuk adanya 2 fase yang dapat dipisah secara temporal, yaitu proses awal dan
kepenuhan akhirnya. Potensi anak merupakan fase awal yang menjadi titik pijak; tujuan yang mau dicapai
dalam pendidikan adalah fase akhirnya. Di antara keduanya terletak sarana berupa tindakan untuk dilakukan,
masalah untuk dipecahkan atau alat untuk digunakan. Hanya melalui sarana ini fase awal dapat berproses
menuju fase akhir.
b. Disiplin
Menurut Dewey jika suatu tindakan membutuhkan waktu dan jika terdapat banyak hambatan dan
kesulitan, dibutuhkan daya tahan dan daya juang untuk terus menekuni prosesnya. Kehendak diartikan sebagai
sikap sadar untuk tetap bertahan dalam melakukan sesuatu meskipun ada banyak kesulitan. Ada 2 faktor dalam
kehendak, yaitu yang berkaitan dengan perkiraan akan hasil tertentu dan upaya untuk terus bertahan dalam
mencapai hasil itu. Sikap keras kepala untuk tetap bertahan tidaklah menunjukkan kuatnya kehendak. Misalnya
seseorang terus melakukan sesuatu hanya karena ia sudah memulainya dan bukan karena tujuan yang ingin dia
capai. Seseorang yang terbiasa memperhitungkan tindakan-tindakannya dan melaksanakannya adalah orang
yang disiplin. Disiplin adalah kekuatan untuk bertahan dalam mengerjakan sesuatu yang dipilih secara sadar
dan cerdas meskipun menghadapi gangguan, kebingungan dan kesulitan. Disiplin berarti penguasaan diri
sendiri dan sarana-sarana yang perlu untuk melakukan sesuatu. Disiplin bersifat positif karena merupakan
upaya untuk menaklukkan diri sendiri agar dapat melakukan suatu tugas yang tidak menyenangkan.
Bagi Dewey minat dan disiplin sangat erat berkaitan satu dengan yang lain. Dewey memberi 2 catatan.
a. Bahkan kemampuan yang murni intelektual tidak mungkin dimiliki tanpa minat. Orang tua dan para
guru sering mengeluh karena anak-anak tidak mau mendengar atau tidak mau mengerti. Anak-anak
tidak mau mengarahkan pikiran mereka ke materi persis karena materi itu tidak menarik minat mereka.
Hukuman yang diberikan karena anak tidak memperhatikan tidak akan efektif dalam jangka panjang.
b. Minat merupakan syarat fundamental untuk bertahan dalam melakukan sesuatu. Bertindak atas dasar
kewajiban saja tidak cukup untuk menjamin seseorang untuk bertahan dalam bekerja. Minat seseorang
akan sesuatu menjadi tolok ukur untuk nantinya bertahan dan berjuang dalam mencapai tujuan tertentu.
2. Pentingnya minat dalam pendidikan
Minat adalah kekuatan yang menggerakkan dalam setiap pengalaman yang memiliki tujuan. Minat
sangat penting dalam pendidikan karena dari situ dapat diketahui kemampuan, kebutuhan, dan kecenderungan
khas masing-masing anak. Pendidik yang melihat pentingnya minat masing-masing anak tidak akan
berpendapat bahwa anak akan berpikir dengan cara yang sama hanya karena guru dan bukunya sama.
Tanggapan masing-masing anak akan sangat berbeda sesuai dengan bakat bawaan, pengalaman masa lampau,
rencana hidup dan seterusnya.
Bagi Dewey pikiran merupakan kemampuan untuk merespons stimulus tertentu atas dasar antisipasi
terhadap konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi sehingga dimungkinkan untuk mengarahkan terjadinya
konsekuensi tertentu sesuai dengan yang diinginkan. Objek-objek yang ada merupakan materi yang dapat
mendukung atau menghambat pencapaian tujuan. Tanpa adanya antisipasi mengenai hasil yang akan terjadi ke
depan tindakan yang dilakukan bukanlah tindakan yang cerdas. Karena itu, pikiran bukanlah nama dari suatu
objek tetapi suatu rangkaian tindakan sejauh tindakan itu diarahkan secara cerdas dalam memilih sarana-sarana
untuk mencapai tujuan tertentu.
Persoalan yang muncul dalam pendidikan adalah bagaimana menemukan materi yang akan melibatkan
anak dalam aktivitas tertentu yang menarik minatnya dan yang dapat mengarahkannya pada tujuan tertentu.
Jadi, pentinglah menemukan aktivitas yang menarik perhatian anak untuk terlibat di dalamnya di mana aktivitas
itu memiliki tujuan tertentu yang tidak bisa dicapai tanpa adanya refleksi dan penilaian atas pilihan terhadap
sarana yang digunakan. Di situ dengan sendirinya anak akan menggunakan kemampuan observasi, imajinasi,
dan memorinya.
Dewey menolak pengertian disiplin secara negatif yang digunakan model pendidikan tradisional yang
dipaksanakan pada anak untuk membatasi ruang geraknya. Materi pendidikan seperti itu tidak menarik anak
sehingga tidak menumbuhkan motivasi belajar pada anak. Anak hanya merasakannya sebagai kewajiban yang
harus dijalankan. Proses pembelajaran tidak akan efektif karena anak hanya disodori materi-materi yang harus
dipelajari. It makes no difference what you teach a boy so long as he doesnt like it (Dewey, 2004: 134).
Dewey menolak penggunaan drill untuk mencapai efisiensi karena di situ pikiran anak tidak dikembangkan.
10

Interest berasal dari bahasa Latin inter yang berarti antara atau saling dan esse yang berarti berada. Arti literal berada di antara.

21

Demikian juga ia menolak model pendidikan sebagai akumulasi pengetahuan dalam diri anak karena anak
dipaksa hanya untuk menerima secara pasif.
Dewey lebih menekankan pengertian disiplin yang lebih konstruktif karena menggunakan minat
sebagai dasar anak melakukan sesuatu dengan penuh disiplin diri. Dengan sendirinya anak akan menggunakan
seluruh kemampuan pikiran, imajinasi dan kehendak untuk melakukan observasi, untuk mendapatkan
informasi, untuk membuat kesimpulan dan untuk mengujinya. Di situ semua potensi anak dengan sendirinya
dikembangkan.
Bab 11. Pengalaman dan Berpikir
(Dewey, 2004: 139-151)
1. Hakekat pengalaman
Di sini Dewey mengemukakan konsepsinya tentang pengalaman (experience)11 yang menjadi basis bagi
seluruh bangunan pemikirannya. Pengalaman adalah proses interaksi antara individu dan lingkungannya.
Lingkungan bisa berarti lingkungan fisik atau sosial. Karena merupakan interaksi, pengalaman mengandung
dua unsur yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, yaitu unsur aktif dan pasif.
a. Dalam unsur aktif pengalaman berarti mencoba (trying). Dewey menyejajarkan arti mencoba dengan
istilah eksperimen.
b. Dalam unsur pasif pengalaman berarti menerima, mengalami, menanggung, menderita (undergoing).
Mengalami sesuatu berarti kita melakukan suatu tindakan terhadap suatu objek (aktif) dan menerima
konsekuensi-konsekuensinya atau objek itu memberikan reaksi atas tindakan kita (pasif). Dewey memberikan
beberapa catatan di sini.
a. Nilai suatu pengalaman terletak pada relasi antara kedua unsur pengalaman itu.
b. Hanya ada unsur aktif saja atau hanya unsur pasif saja tidak bisa dikategorikan sebagai pengalaman.
c. Pengalaman sebagai upaya untuk mencoba sesuatu mengandung unsur perubahan. Perubahan ini tidak
akan berarti kecuali kalau secara sadar dikaitkan dengan konsekuensi-konsekuensi yang terjadi akibat
tindakan kita.
d. Mampu mengerti relasi antara unsur aktif dan pasif berarti mampu mengerti arti dari suatu pengalaman.
Di situ kita memetik suatu pelajaran. We learn something. Tindakan anak yang hanya menyentuhkan
jarinya pada api lilin belumlah merupakan pengalaman karena tindakan itu hanya merupakan tindakan
fisik sama seperti menyentuhkan sepotong kayu pada api. Tindakan itu baru merupakan pengalaman
kalau anak itu melihat relasi antara api dan rasa sakit yang dialaminya sebagai konsekuensi.
e. To learn from experience is to make a backward and forward connection between what we do to
things and what we enjoy or suffer from things in consequence (Dewey, 2004: 140). Di situ bertindak
berarti mencoba atau bereksperimen dan konsekuensi yang diterima merupakan titik pijak untuk
menemukan relasi-relasi yang dapat disingkapkan.
Dari situ Dewey menarik 2 konsekuensi.
a. Pengalaman pertama-tama merupakan peristiwa aktif-pasif dan bukan peristiwa kognitif.
b. Arti penting pengalaman terletak pada kemampuan memahami relasi atau kontinuitas antara unsur aktif
dan pasif. Pengalaman melibatkan kemampuan kognitif jika individu mampu mengerti adanya relasi itu,
memahami proses kumulatif yang berjalan menuju arah tertentu atau mengerti arti dari pengalaman.
Dewey menolak model pendidikan yang hanya menekankan pencapaian pengetahuan teoretis secara
langsung tanpa melibatkan anak untuk bergelut dengan pengalaman. Model seperti ini didasarkan atas
pemikiran dualistik yang membuat dikotomi antara pikiran dan tubuh. Pikiran dianggap murni intelektual,
sementara tubuh dengan seluruh potensinya hanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak relevan untuk proses
berpikir. Di situ anak didudukkan hanya dalam fungsi sebagai penonton teoretis 12 yang pasif. Anak dianggap
mampu mengerti relasi antara sesuatu dan sesuatu yang lain tanpa memiliki pengalaman. Model ini tentu saja
hanya memberi tempat pada unsur pasif dari pengalaman dan mengabaikan unsur aktif dari pengalaman.
Dengan model seperti ini anak menangkap realitas secara setengah-setengah. Kalau anak tidak berminat belajar

11

Kata experience tidak bisa diterjemahkan dalam bahasa apa pun hanya dengan satu kata. Arti pengalaman bagi Dewey sangat
berbeda dengan sekedar arti pengalaman dalam Bahasa Indonesia.
12
Menarik untuk dilihat asal-usul kata teori. Dalam Bahasa Yunani theoreo berarti saya memandang, melihat, berkontemplasi.
Theoria berarti pandangan, penglihatan, kontemplasi. Theoreos berarti penonton.

22

dan melakukan aktivitas fisik yang dianggap mengganggu, berbagai hukuman dan aturan mesti diterapkan
untuk mendisiplinkan anak secara fisik.
Dewey mengritik banyak penyimpangan lain yang terjadi akibat pola pikir dualistik yang menghasilkan
model pembelajaran yang membuat anak hanya pasif menerima pengetahuan. Baginya pengalaman mesti
memiliki unsur aktif dan pasif. Tidaklah penting unsur mana yang mesti datang lebih dahulu. Pengalaman
sekecil apa pun jauh lebih berguna daripada ribuan teori. An ounce of experience is better than a ton of theory
simply because it is only in experience that any theory has vital and verifiable significance. An experience, a
very humble experience, is capable of generating and carrying any amount of theory (Dewey, 2004: 144).13
Teori yang dipisahkan dari pengalaman hanyalah rumusan verbal saja.
2. Refleksi dalam pengalaman
Bagi Dewey berpikir tidak lain adalah berefleksi. Refleksi adalah melihat adanya relasi antara apa yang
kita lakukan dan apa yang terjadi sebagai konsekuensinya. Pengalaman yang memiliki arti tidak mungkin
dipahami tanpa melibatkan unsur berpikir. Dari segi intensitas refleksi Dewey membedakan 2 tipe pengalaman.
a. Pertama adalah pengalaman yang diperoleh dengan metode coba-coba atau disebut metode trial and
error sebagai fase awal. Di sini kita sekedar melakukan sesuatu. Jika gagal, kita mencoba melakukan
sesuatu yang lain dst sampai kita mendapatkan hasil tertentu. Prosedur yang dapat menghasilkan
sesuatu tersebut kita ambil sebagai metode dalam menghadapi pengalaman-pengalaman berikutnya. Di
sini kita melihat adanya relasi antara tindakan tertentu dan hasil tertentu, tetapi kita belum mengerti
bagaimana relasinya karena kita belum melihat relasi itu secara detail.
b. Kedua adalah pengalaman lebih lanjut. Di sini kita melakukan penelitian lebih mendalam dengan
menganalisis relasi antara sebab dan akibat atau tindakan dan konsekuensinya. Kita dapat mengerti
relasi itu secara lebih akurat dan komprehensif sehingga mampu membuat prediksi ke depan juga
dengan lebih akurat dan komprehensif.
Bagaimana Dewey merumuskan konsepsinya mengenai berpikir? Dalam menemukan relasi antara
tindakan kita dan apa yang terjadi sebagai konsekuensinya, peran pikiran semakin intensif. Semakin besar peran
pikiran semakin tinggi pula kualitas dan nilai pengalaman sehingga Dewey menyebut pengalaman ini sebagai
pengalaman reflektif. Berpikir adalah usaha sadar untuk menemukan relasi-relasi tertentu antara apa yang kita
lakukan dan konsekuensi-konsekuensinya sehingga kita dapat melihat adanya kontinuitas di antara keduanya.
Keduanya bukan merupakan realitas yang terpisah. Berpikir merupakan upaya untuk membuat pengalaman
dapat dimengerti. Berpikir memungkinkan kita bertindak dengan tujuan tertentu. Karena itu, berpikir
merupakan syarat untuk dapat menetapkan tujuan. Betapapun sederhananya, bayi sudah dapat menggunakan
sesuatu untuk mencapai suatu tujuan. Misalnya ia menangis untuk memanggil ibunya. Ia sudah dapat
menyimpulkan bahwa ada relasi antara sesuatu dan sesuatu yang lain atau antara tangisan dan kedatangan ibu.
Bagi Dewey seluruh perkembangan kemampuan anak itu di masa yang akan datang hanyalah merupakan
perluasan dan penghalusan dari kemampuan untuk membuat kesimpulan ini. 14
Lalu di mana titik pijak suatu proses berpikir? Titik pijak setiap proses berpikir adalah sesuatu yang
sedang terjadi, sesuatu yang belum lengkap atau belum terpenuhi. Arti pentingnya terletak pada arah ke mana
proses itu berjalan. Berpikir berarti melihat akibat atau hasil yang mungkin terjadi, tetapi belum terjadi,
sehingga terbuka kemungkinan untuk mengarahkan proses untuk mencapai hasil tertentu. Berpikir memang
awalnya bertitik tolak dari situasi yang nyata. Hanya secara gradual berkat makin luasnya wawasan seseorang,
orang dapat memikirkan sesuatu yang melampaui situasi aktual. Bagi Dewey mengisi kepala hanya dengan halhal yang sudah selesai dan sudah jadi bukanlah berpikir, karena di situ orang hanya menjalankan fungsi
registrasi sebagai pencatat, perekam, atau penghafal saja.
Situasi apa yang membuat orang berpikir? Karena titik tolak berpikir itu adalah situasi yang sedang
berjalan, yang belum selesai atau belum mencapai kepenuhan, bagi Dewey berpikir terjadi ketika ada sesuatu
yang tidak jelas, meragukan atau problematis. Berpikir berarti mencoba melihat penyelesaian suatu proses
dengan memproyeksikan hasil yang mungkin berdasarkan apa yang terjadi. Karena itu, berpikir adalah suatu
proses penelitian, penyelidikan, atau pemeriksaan. Hasil yang dirumuskan kemudian sebagai pengetahuan
13

Dalam kesempatan lain Dewey mengemukakan bahwa kita tidak boleh meremehkan pengalaman sekecil apa pun pengalaman itu. Ia
mencontohkan bagaimana Newton memiliki pengalaman sederhana (sebuah apel jatuh dari pohon mengenai kepalanya) yang kemudian
memberinya inspirasi dan titik pijak untuk merumuskan teori gravitasi.
14
Dewey mempertentangkan tindakan yang dilakukan atas dasar pemikiran dengan tindakan yang hanya rutin dan asal-asalan. Orientasi
tindakan yang hanya rutin lebih pada masa lampau. Tindakan yang rutin dan asal-asalan sama-sama menolak tanggung jawab akan
konsekuensi di masa yang akan datang (Dewey, 2004: 146).

23

hanyalah akibat saja dari proses pencarian. Acquiring is always secondary, and instrumental to the act of
inquiring (Dewey, 2004: 148). Berpikir adalah proses mencari sesuatu yang belum diperoleh. 15
Apakah berpikir itu selalu menjamin kepastian jawaban? Karena merupakan proses pencarian, berpikir
mengandung resiko. Berpikir berarti berupaya untuk menembus wilayah yang belum diketahui, sehingga
berpikir berarti suatu petualangan. Orang tidak dapat menjamin kepastian hasil pencarian sebelum penelitian
dilakukan. Sebelum dikuatkan dengan bukti, kesimpulan yang dibuat kurang lebih bersifat tentatif atau
hipotetis. Meskipun demikian Dewey mengatakan bahwa berpikir itu tidak mungkin terjadi dalam dua ekstrem,
yaitu dalam kondisi yang samasekali sudah diketahui dengan baik atau samasekali tidak diketahui. Dalam
situasi yang kompleks pun bisa ditemukan petunjuk untuk membuat jalan keluar sejauh masih bisa dipelajari
sesuatu.
Kemajuan sistematis dalam ilmu pengetahuan mulai terjadi ketika orang menggunakan keraguan dan
masalah sebagai dasar bagi penelitian untuk menemukan sesuatu yang baru yang bukan sekedar mengulang
atau menghafal apa yang sudah diketahui orang pada masa lampau. Di situ orang dapat merumuskan perkiraanperkiraan untuk melakukan eksplorasi. Perkembangan eksplorasi nantinya bisa jadi menegaskan, menolak atau
memodifikasi perkiraan-perkiraan sebelumnya. Bagi Dewey ilmu pengetahuan yang sudah ada hanyalah
merupakan sarana untuk belajar, mencari, meneliti, dan menemukan sesuatu yang baru. Di sini Dewey
memandang keraguan, problem, atau ketidakpastian bukan untuk dihindari, tetapi untuk diambil sebagai dasar
bagi penelitian dan penemuan sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Lalu bagaimana orang dapat berpikir secara reflektif? Dewey merumuskan langkah-langkah metode
berpikir reflektif16 atau kemudian sering disebut sebagai problem solving method sebagai berikut:
(1) Menemukan permasalahan
Pertama-tama orang mesti menemukan permasalahan. 17 Pada tahap ini bisa terjadi kebingungan,
keruwetan, kekacauan, atau keraguan karena orang terlibat dalam situasi yang belum selesai, yang
masih berproses, dan yang belum bisa ditentukan karakteristik dan arahnya. Dalam buku lain Dewey
menyebut contoh 3 jenis masalah yang bisa diangkat sebagai sungguh-sungguh masalah yang tidak bisa
dipecahkan hanya dengan mengubah perspektif atau sudut pandang saja, yaitu:
(a) sarana tertentu ternyata tidak cocok untuk mencapai tujuan tertentu,
(b) ciri-ciri suatu objek yang penting tidak dapat dikenali (misalnya ciri-ciri suatu virus pembawa
wabah maut belum diketahui sehingga belum bisa ditemukan petunjuk untuk membuat obatnya),
(c) ditemukan anomali yang sebab-sebabnya belum dapat ditemukan. 18
(2) Membatasi permasalahan
Di sini dicoba untuk memperkirakan dan mengambil unsur-unsur yang kiranya mengarah pada
konsekuensi-konsekuensi tertentu saja.
(3) Menemukan semua jawaban yang mungkin
Dilakukan penelitian yang seksama berupa pemeriksaan, inspeksi, eksplorasi, atau analisis untuk
menemukan semua jawaban yang bisa dicapai untuk mendefinisikan dan menjelaskan permasalahan.
(4) Merumuskan hipotesis
Dari jawaban-jawaban yang didapat, diambil kemungkinan jawaban yang terbaik dan dirumuskan
sebagai hipotesis (jawaban tentatif) agar orang dapat menangani fakta-fakta yang lebih luas.
(5) Menguji hipotesis
Hipotesis yang sudah dirumuskan dengan seksama diuji dalam praktek nyata untuk mengetahui
hasilnya. Kalau membawa hasil, hipotesis itu diteguhkan dan dianggap valid. Kalau tidak membawa
hasil, hipotesis itu perlu dimodifikasi atau bahkan diganti samasekali dengan hipotesis lain. Karena
15

Dewey menolak anggapan bahwa penelitian yang orisinil hanya bisa dilakukan oleh para ilmuwan. Bagi Dewey setiap pemikiran itu
merupakan penelitian dan semua penelitian itu orisinil bagi orang yang meneliti, meskipun semua orang lain sudah tahu apa yang ia cari.
Dewey, 2004: 148.
16
Dewey berbicara mengenai metode berpikir reflektif dalam beberapa bukunya dengan terminologi berbeda-beda, misalnya analysis
of complete act of thought (John Dewey, How We Think, New York: Prometheus Books, 1991, hlm. 68), five distinct steps in
reflekction (ibid. hlm. 72), the general features of reflextive experience (John Dewey, Democracy and Education, hlm. 150), the
experimental method (John Dewey, Experience and Education, New York: Macmillan Publishing Co., 1963, hlm. 87), the pattern of
inquiry (Jo Ann Boydston [Ed.], Later Works, 1925-1953, Vol. XII, Carbondale/Edwardsville: Southern Illinois University Press, 19811990, hlm. 105), atau phases, or aspects, of reflective thought (Ibid., Later Works, 1925-1953, Vol. VIII, hlm. 200).
17
Dewey menolak model yang memulai dengan menjelaskan sesuatu, misalnya menjelaskan istilah-istilah. Titik berangkat semestinya
adalah problem karena mendorong orang untuk berpikir efektif.
18
John Dewey, How We Think, 1991, hlm. 72-73.

24

tidak mungkinlah menjangkau semua kemungkinan relasi, kita juga tidak pernah dapat menjangkau
semua konsekuensi secara akurat.
Keluasan dan ketepatan langkah ke-3 dan ke-4 membedakan metode berpikir reflektif dengan metode
coba-coba (trial and error). Keduanya membawa pemikiran yang ada pada tataran intelektual pada level yang
konkret. Menurut Dewey berpikir reflektif mencakup semua langkah itu.
Lalu mana yang lebih fundamental: berpikir atau pengetahuan? Karena berpikir itu menghasilkan
pengetahuan: (1) berpikir itu lebih fundamental daripada pengetahuan; dan (2) pengetahuan berfungsi hanya
sebagai sarana untuk membantu proses berpikir.
Karena dunia kita dengan seluruh problematikanya itu belum selesai dan terus berproses serta berubah,
Dewey merumuskan bahwa tugas utama kita itu bersifat prospektif agar dapat mengarahkan masa depan yang
lebih baik, dan bukan retrospektif yang hanya melanggengkan apa yang sudah dicapai umat manusia di masa
lampau. Karena itu, semua aspek retrospektif berupa ilmu pengetahuan yang sudah jadi menduduki fungsi
sekunder saja sebagai sarana untuk memastikan masa depan. Pandangan ini memiliki konsekuensi yang sangat
radikal dalam pendidikan.
Bab 12. Berpikir dalam pendidikan
(Dewey, 2004: 152-163)
1. Dasar-dasar metode
Sejauh berkaitan dengan pengembangan kemampuan intelektual anak (jadi bukan yang berkaitan
dengan pengembangan kemampuan fisik dst) hal yang fundamental yang semestinya dilakukan pendidik adalah
mengembangkan kemampuan berpikir anak. Sekolah semestinya mengembangkan kebiasaan berpikir yang
baik sebagai tujuan pendidikan intelektual. Dewey menolak model yang mematok-matok tujuan pendidikan
secara terpisah-pisah seperti penguasaan ketrampilan (dalam membaca, mengeja, menulis, menggambar,
bercerita), penguasaan informasi (dalam sejarah dan geografi), dan latihan berpikir (dengan pelajaran
matematika) karena model ini tidak efektif. 19 Satu-satunya metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk
memperbaharui pendidikan adalah metode yang memusatkan diri pada kondisi-kondisi yang dapat
memperkembangkan kemampuan berpikir anak. Berpikir adalah metode belajar yang cerdas. Thinking is the
method of intelligent learning (Dewey, 2004: 153). Bagi Dewey berpikir adalah metode pembelajaran itu
sendiri. Untuk itu Dewey mengemukakan syarat-syarat yang mestinya dipenuhi untuk mengembangkan
kemampuan berpikir reflektif sebagai berikut.
a. Pengalaman
Tahap awal untuk membangkitkan kegiatan berpikir adalah pengalaman. Anak mesti memiliki
pengalaman yang berarti memiliki kemungkinan untuk melakukan sesuatu (unsur aktif pengalaman) dan
melihat sendiri akibat dari tindakannya (unsur pasif). Kontak awal dengan materi baru untuk anak maupun
orang dewasa biasanya bersifat coba-coba atau trial and error. Bagi Dewey anak yang pertama kali
menyusun balok-balok dengan cara coba-coba untuk mengetahui berbagai kombinasi yang mungkin dibuat
sama dengan apa yang dilakukan oleh seorang ilmuwan di laboratorium yang memulai eksperimen dengan
objek-objek yang samasekali baru baginya.
Kegiatan sehari-hari di luar sekolah yang menarik perhatian anak dapat menjadi sarana bagi anak untuk
pertama-tama melakukan sesuatu dan bukan untuk belajar. Keterserapan anak dalam kegiatannya itu akan
merangsang daya pikirnya dan dengan sendirinya ia akan belajar sesuatu. Dari sini muncul rumusan
learning by doing.
Lalu jenis kegiatan seperti apa yang dapat merangsang daya pikir? Kegiatan yang dilakukan anak
semestinya bukan kegiatan rutin atau asal-asalan, tetapi kegiatan yang memunculkan sesuatu yang baru dan
yang problematis, tetapi yang tetap sesuai dengan kemampuan anak untuk menanggapinya secara efektif.
Untuk merangsang berpikir anak bisa dibantu dengan masalah-masalah yang disodorkan, pertanyaanpertanyaan yang diajukan, pemberian tugas-tugas dan kesulitan-kesulitan yang secara gradual dibuat
semakin besar.

19

Informasi yang terpisah dari tindakan itu mandul. Ketrampilan yang terpisah dari kemampuan berpikir akan membuat anak tidak
terbiasa mengarahkan tindakan demi tujuan sehingga anak hanya melakukan sesuatu atas dasar rutinitas dan di bawah kontrol otoritas
orang lain. Demikian juga model berpikir yang terpisah dari tindakan konkret, dari realitas sosial dan dari dunia fisik ditolak Dewey.

25

Untuk itu Dewey memberi beberapa pertanyaan penuntun. Apakah permasalahan yang muncul itu
memang sungguh-sungguh masalah dari pengalaman anak sendiri? Apakah permasalahan itu akan
merangsang anak untuk aktif melakukan observasi, eksperimen, menarik kesimpulan dan menguji
kesimpulan di luar sekolah? Apakah permasalahan-permasalahan itu sungguh-sungguh permasalahan anak
dan bukan permasalahan yang diambil dari buku atau diberikan oleh guru sehingga anak hanya mencari
jawaban sebagaimana diinginkan guru?
Dewey berpendapat bahwa model pengaturan fisik ruang-ruang kelas tradisional sangat tidak
memungkinkan anak untuk memiliki konteks pengalaman yang sesuai dengan situasi nyata sehari-hari,
karena model seperti itu cederung memaksa anak hanya untuk mendengar dan mengulang apa yang
dikatakan guru. Model seperti ini tidak menyediakan kemungkinan bagi anak untuk memiliki pengalaman
secara langsung seperti halnya pengalaman sehari-hari di luar sekolah. 20 Untuk mengatasi kesulitan ini
sekolah mesti diperlengkapi dengan banyak materi aktual, banyak peralatan belajar dan banyak
kemungkinan untuk melakukan sesuatu.
b. Data
Mesti ada data pendukung yang membantu membuat pertimbangan berkaitan dengan kesulitan yang
dihadapi. Materi untuk berpikir bukanlah pemikiran atau teori, tetapi tindakan, fakta, peristiwa dan relasi
benda-benda. Untuk berpikir secara efektif orang harus memiliki pengalaman yang menjadi dasar untuk
menghadapi kesulitan-kesulitan selanjutnya. Kesulitan memang merupakan stimulus yang penting untuk
berpikir, tetapi tidak semua kesulitan membuat orang berpikir. Masalah yang diambil semestinya
sedemikian rupa sehingga tidak terlalu mudah sehingga dapat menantang anak untuk berpikir, tetapi juga
tidak terlalu sulit sehingga mengecilkan hati anak. Data-data bisa diperoleh lewat memori, observasi,
bacaan, atau komunikasi. Informasi pengetahuan yang disediakan di sekolah bisa jadi cukup memadai,
tetapi Dewey memberi catatan bahwa pengetahuan pertama-tama berfungsi sebagai sumber untuk
melakukan penelitian dan pembelajaran lebih lanjut, dan bukan untuk diingat, dihafalkan dan diulang.
c. Kesimpulan tentatif
Dengan data-data yang tersedia orang dapat mendefinisikan, menjelaskan, dan mempersempit
permasalahan, tetapi data-data tidak dengan sendirinya menyediakan jawaban. Kesimpulan merupakan olah
intelektual yang melampaui data-data yang tersedia. Kesimpulan itu selalu merupakan lompatan untuk
menembus wilayah yang belum diketahui. Kesimpulan berfungsi sebagai prediksi atas hasil-hasil yang
mungkin atau atas tindakan-tindakan yang mesti dilakukan. Kesimpulan bukanlah fakta-fakta. Karena itu,
berpikir selalu bersifat kreatif karena menghasilkan sesuatu yang baru. Ketika Newton menemukan teori
gravitasi, aspek kreatif pemikirannya tidak terdapat pada materi atau data-data yang digunakan: matahari,
bulan, planet, berat, jarak, masa, atau angka-angka. Data-data ini adalah hal-hal biasa yang sudah dikenal
orang dalam hidup sehari-hari. Orisinalitasnya terletak pada penemuan relasi-relasi baru dari data-data itu.
Menurut Dewey pemikiran di atas memiliki konsekuensi penting bagi pendidikan. Berpikir itu selalu
mengandung unsur orisinalitas. Orisinalitas yang kreatif itu bukanlah sesuatu yang seakan-akan luar biasa
dan hebat. Anak usia 3 tahun yang berhasil menemukan kombinasi baru dari balok-balok kayu mainannya
merupakan penemu (discoverer), meskipun semua orang dewasa sudah mengetahuinya. Penemuan itu
memperkaya kualitas pengalamannya. Itulah sebabnya kegembiraan (the joy) yang dialami anak merupakan
kegembiraan intelektual yang konstruktif dan kreatif yang juga kurang lebih dialami oleh para ilmuwan
ketika menemukan hal-hal baru. Anak mengalami the delights of personal intellectual productiveness. Di
sinilah Dewey menekankan pentingnya pembelajaran melalui penemuan atau kemudian disebut sebagai
learning through discovery dan bukan atas dasar transfer pengetahuan atau penuangan pengetahuan ke
kepala anak (learning in the sense of discovery and not in that of storing away what others pour into them ).
(Dewey, 2004: 159).
Bagi Dewey hanya dengan bergulat dengan masalah-masalah secara langsung (at first hand) dan
mencari serta menemukan jalan keluar atau jawabannya sendiri, anak berpikir. Tanpa itu anak tidak
berpikir, meskipun kenyataannya ia dapat menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan guru dengan tepat.
Dewey menolak model yang menyodorkan kesimpulan-kesimpulan yang sudah jadi yang tinggal dihafalkan
anak, karena model ini jelas tidak merangsang anak untuk berpikir, meskipun anak bisa menghafal ribuan
kesimpulan.
20

Dengan model tradisional bisa dipahami mengapa anak-anak justru memiliki begitu banyak pertanyaan tentang hal-hal di luar
sekolah, tetapi cenderung tidak tertarik untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar tema-tema yang dipelajari di kelas. Dewey,
2004: 155.

26

Model Dewey ini sangat membatasi peran guru. Anak semestinya memiliki pengalaman langsung agar
stimulus untuk berpikir terjadi secara optimal. Untuk itu anak mesti dilibatkan dalam kegiatan bersama.
Dalam kegiatan bersama itu, akan terjadi the teacher is a learner, and the learner is, without knowing it, a
teacher (Dewey, 2004: 160). Semakin ketimbalbalikan ini terjadi semakin baik proses pembelajaran.
d. Pengujian kesimpulan melalui eksperimen
Kesimpulan sesederhana apa pun merupakan antisipasi bagi pemecahan masalah. Di situ orang dapat
melihat relasi antara apa yang ia lakukan dan konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi. Kesimpulan
berfungsi sebagai petunjuk untuk melakukan observasi lebih lanjut dan eksperimen. Karena itu, kesimpulan
mesti diuji dalam praktek. Kesimpulan bukanlah akhir dari proses berpikir, tetapi merupakan fase antara
yang masih harus diuji dalam eksperimen.
Dewey mengritik semua model pendidikan yang hanya membuat anak pasif dengan sekedar menghafal
dan menelan mentah-mentah kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada tanpa berusaha aktif untuk
mengujinya dalam praktek. Aktivitas mental saja tidak cukup. Pikiran sebagai pikiran tidaklah lengkap.
Paling-paling pikiran bersifat tentatif. Karena itu, perlu diuji kesimpulan yang sudah diambil dalam
eksperimen dalam situasi konkret. Untuk itu, perlulah kita memperlengkapi sekolah dengan laboratorium,
took, atau kebun di mana rekonstruksi ide-ide dapat dipraktekkan dengan leluasa. Aktivitas-aktivitas fisik
seperti bekerja di kebun dimaksudkan bukan sebagai latihan untuk menjadi tukang kebun, tetapi sebagai
sarana untuk secara aktif menguji pemikiran-pemikiran dalam praktek nyata agar anak dapat mengerti
dengan lebih baik dan menemukan sendiri validitas ide-ide.

27

Anda mungkin juga menyukai