Bismillah
Ebook ini adalah kumpulan artikel yang terbit di situs www.asysyariah.com
mengenai Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i yang berkaitan dengan
kelompok sufi, dengan tujuan, untuk memudahkan pembaca dalam memahami
dan mengambil kesimpulan yang saling berkaitan dalam tulisan-tulisan berikut
ini, semoga bemanfaat!
Ulama adalah pewaris para nabi. Keberadaannya di tengah umat bagai pelita
dalam kegelapan. Titah dan bimbingannya laksana embun penyejuk dalam
kehausan. Keharuman namanya pun seakan selalu hidup dalam sanubari umat.
Dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
Maha Hakim lagi Maha Rahim tak membiarkan umat Islam –dalam setiap
generasinya– lengang dari para ulama. Diawali dari para sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam manusia terbaik umat ini, kemudian dilanjutkan oleh
para ulama setelah mereka, dari generasi ke generasi. Orang-orang pilihan
pewaris para nabi yang selalu siaga membela agama Allah Subhanahu wa
Ta’ala dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para
ekstremis, kedustaan orang-orang sesat dengan kedok agama, dan penakwilan
menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang jahil. Di antara para ulama
tersebut adalah Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu.
Seorang ulama besar umat ini yang berilmu tinggi, berakidah lurus, berbudi
pekerti luhur, lagi bernasab mulia.
Siapakah Shufiyah?
Perlu diketahui, Shufiyah adalah satu lafadz yang tidak dikenal pada masa
sahabat, juga tidak masyhur di masa generasi utama (sahabat, tabi’in, dan tabi’it
tabi’in). Mereka muncul setelah masa tiga generasi utama. Ibnu Taimiyah
rahimahullahu menyebutkan awal mula munculnya shufiyah adalah di Bashrah,
Irak. (Lihat Fatawa, 11/5, Haqiqatu Ash-Shufiyah hal. 13)
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya bid’ah tasawuf
muncul setelah tahun 200 H. Tasawuf tidak ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, di zaman sahabat maupun tabi’in.” (Mushara’ah hal. 376)
Nukilan di atas menunjukkan bahwa shufiyah adalah kelompok baru dalam Islam
ini.
Pemikiran Shufiyah
Bila seseorang mau adil menelaah pemikiran dan akidah amalan shufiyah, dia
akan dapati banyak sekali pemikiran, akidah, dan amalan shufiyah yang
menyimpang dari Islam yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Sebagai bentuk keadilan, marilah kita perhatikan apa yang akan kami paparkan
mengenai beberapa penyimpangan prinsip, amalan, dan akidah shufiyah dari Al-
Qur’an dan As-Sunnah.
1. Shufiyah terpecah menjadi kelompok-kelompok atau thariqat-thariqat (tarekat-
tarekat). Ada tarekat Tijaniyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syadziliyah,
Rifaiyah, dan lainnya. Demikianlah mereka berpecah-belah, padahal Islam
melarang perpecahan dan hanya mengenal satu jalan saja. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
َنيِكِرْشُمْلا َنِم اوُنوُكَت َالَو َةَالَّصلا اوُميِقَأَو ُوُقَّتاَو ِْيَلِإ َنيِبيِنُم. َنِم
َنوُحِرَف ْمِْيَدَل اَمِب ٍبْزِح ُّلُك اًعَيِش اوُناَكَو ْمَُنيِد اوُقَّرَف َنيِذَّلا
َنِم اًذِإ َكَّنِإَف َتْلَعَف ْنِإَف َكُّرُضَي اَلَو َكُعَفْنَي اَل اَم َِّللا ِنوُد ْنِم ُعْدَت اَلَو
َنيِمِلاَّظلا
“Dan janganlah kamu menyembah sesuatu selain Allah yang tidak memberi
manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat
(yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang
zalim.” (Yunus: 106)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
ُةَداَبِعْلا َوُ ُءاَعُّدلا
“Doa adalah ibadah.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu mengatakan:
“Barangsiapa memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah Subhanahu
wa Ta’ala maka dia adalah musyrik kafir. Dalilnya adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
اَل َُّنِإ ِِّبَر َدْنِع ُُباَسِح اَمَّنِإَف ِِب َُل َناَْرُب اَل َرَخاَء اًَلِإ ِللا َعَم ُعْدَي ْنَمَو
َنوُرِفاَكْلا ُحِلْفُي
ْنَمَو َراَصْبَأْلاَو َعْمَّسلا ُكِلْمَي ْنَّمَأ ِضْرَأْلاَو ِءاَمَّسلا َنِم ْمُكُقُزْرَي ْنَم ْلُق
َرْمَأْلا ُرِّبَدُي ْنَمَو ِّيَحْلا َنِم َتِّيَمْلا ُجِرْخُيَو ِتِّيَمْلا َنِم َّيَحْلا ُجِرْخُي
َنوُقَّتَت اَلَفَأ ْلُقَف َُّللا َنوُلوُقَيَسَف
Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi,
atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, serta
siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati serta mengeluarkan
yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka
mereka akan menjawab: “Allah.” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak
bertakwa kepada-Nya)?” (Yunus: 31)
4. Sebagian shufiyah meyakini wihdatul wujud (manunggaling kawula gusti).
Menurut mereka, tidak ada Khalik dan makhluk (Pencipta dan yang dicipta),
semuanya adalah makhluk dan semuanya adalah ilah.
5. Shufiyah membolehkan berjoget sambil menabuh rebana dan berdzikir
dengan suara keras. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama
Allah gemetarlah hati mereka.” (Al-Anfal: 2)
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu menerangkan: “Ibnul Qayyim rahimahullahu
pernah menerangkan bahwa beliau pernah melihat orang-orang shufiyah
berjoget di Arafah. Beliau melihat mereka berjoget diiringi rebana. Juga melihat
mereka berjoget di Masjid Khaif.” (Mushara’ah hal. 388 secara ringkas)
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu juga mengatakan: “Pernah satu hari aku naik
ke Masjidil Haram bagian atas. Aku dapati sekelompok besar manusia dari Turki,
Sudan, dan Yaman, mereka berjoget sambil berputar-putar2….” (Musharaah hal.
387)
Di antara mereka juga adalah Muhammad Kabbani3, yang berkunjung ke
Jakarta dan berdzikir serta mengajak yang hadir berjoget.
Kemudian mereka juga berdzikir dengan semata menyebut lafadz: ُللا.
Sebagian mereka hanya menyebut lafadz hu. Padahal Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyatakan:
ُللا اَّلِإ ََلِإ اَل ِرْكِّذلا ُلَضْفَأ
“Dzikir yang paling utama adalah ucapan La ilaha illallah...” (HR. At-Tirmidzi)
6. Sebagian Shufiyah mengklaim tahu ilmu ghaib, padahal pengetahuan ilmu
ghaib adalah kekhususan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
ُللا اَّلِإ َبْيَغْلا ِضْرَأْلاَو ِتاَوَمَّسلا يِف ْنَم ُمَلْعَي اَل ْلُق
Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui
perkara yang ghaib, kecuali Allah.” (An-Naml: 65)
8. Shufiyah mengklaim bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari cahaya-Nya, kemudian Allah
Subhanahu wa Ta’ala menciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun Al-Qur’an mendustakan mereka. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:
ٌدِحاَو ٌَلِإ ْمُكَُلِإ اَمَّنَأ َّيَلِإ ىَحوُي ْمُكُلْثِم ٌرَشَب اَنَأ اَمَّنِإ ْلُق
َنوُعِراَسُي اوُناَك ْمَُّنِإ َُجْوَز َُل اَنْحَلْصَأَو ىَيْحَي َُل اَنْبََوَو َُل اَنْبَجَتْساَف
َنيِعِشاَخ اَنَل اوُناَكَو اًبََرَو اًبَغَر اَنَنوُعْدَيَو ِتاَرْيَخْلا يِف
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya, Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al-yakin (ajal).” (Al-Hijr: 99)
11. Mereka membaca shalawat-shalawat yang tidak diajarkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan shalawat-shalawat yang mengandung
kesyirikan, yang tak akan diridhai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.4
12. Shufiyah mengklaim bisa melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia. Al-
Qur’an menunjukkan kedustaan mereka, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam:
ْنَل َلاَق َكْيَلِإ ْرُظْنَأ يِنِرَأ ِّبَر َلاَق ُُّبَر َُمَّلَكَو اَنِتاَقيِمِل ىَسوُم َءاَج اَّمَلَو
يِناَرَت
Dan tatkala Musa datang untuk (bermunajat dengan Kami) pada waktu yang
telah Kami tentukan dan Rabbnya telah berfirman (langsung) kepadanya,
berkatalah Musa: “Ya Rabbku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku
dapat melihat kepada Engkau.” Allah berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup
melihat-Ku.” (Al-A’raf: 143) [Lihat Ash-Shufiyah fi Mizanil Kitabi was Sunnah hal.
8-21]
1 Keyakinan seperti ini adalah keyakinan yang syirik. Lain halnya bila yang dimaksud dengan istilah ini tidak sampai pada
tingkatan rububiyah (ikut mengatur alam). -red
2 Tarian ini sekarang lebih dikenal dengan sebutan whirling dervish. Dervish (darwis) adalah sebutan untuk penarinya. -
red
3 Muhammad Hisham Kabbani, tokoh tarekat Naqsyabandiyah Haqqani. Oleh media, ia disebut-sebut sebagai “syaikh”
sufi paling berpengaruh di dunia saat ini. –red
4 Di antaranya shalawat yang mereka namakan shalawat Nariyah. Ini adalah shalawat yang berisi kesyirikan karena
disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu menghilangkan kesulitan, melapangkan kesusahan,
dan menunaikan kebutuhan. (Lihat Al- Firqatun Najiyah)
3. Perkataan Ulama Tentang Sufi
Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak
1. Masalah akidah
Dia berkata dalam kitabnya (hal. 93): “Tidak diragukan lagi bahwa ruh-ruh (orang
yang telah meninggal) punya pergerakan dan kebebasan yang memungkinkan
menjawab orang yang menyerunya serta memberi pertolongan orang yang
meminta tolong kepadanya. Persis sama dengan orang yang hidup, bahkan
melebihinya.”
Cukuplah dalam membantah kesesatan ini, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
َرَمَقْلاَو َسْمَّشلا َرَّخَسَو ِلْيَّللا يِف َراََّنلا ُجِلوُيَو ِراََّنلا يِف َلْيَّللا ُجِلوُي
ِِنوُد ْنِم َنوُعْدَت َنيِذَّلاَو ُكْلُمْلا َُل ْمُكُّبَر ُللا ُمُكِلَذ ىًّمَسُم ٍلَجَأِل يِرْجَي ٌّلُك
ٍريِمْطِق ْنِم َنوُكِلْمَي اَم. اَم اوُعِمَس ْوَلَو ْمُكَءاَعُد اوُعَمْسَي اَل ْمُوُعْدَت ْنِإ
ٍريِبَخ ُلْثِم َكُئِّبَنُي اَلَو ْمُكِكْرِشِب َنوُرُفْكَي ِةَماَيِقْلا َمْوَيَو ْمُكَل اوُباَجَتْسا
2. Masalah manhaj
Dia berkata dalam kitabnya (hal. 120): “Asy’ariyah adalah para imam pembawa
petunjuk di antara sekian ulama muslimin.” (Lihat Mukhalafatush Shufiyah hal.
20-21)
Di antara bukti kuat adanya pengaruh kuat Asy’ariyah terhadap shufiyah adalah
guru-guru, lembaga-lembaga, dan pondok-pondok shufiyah yang mengajarkan
pemahaman Asy’ariyah terkhusus dalam masalah akidah seperti:
1. Hanya menetapkan sifat 13 atau 20
2. Menafikan Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas Arsy-Nya (sehingga
menyatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di mana-mana).
3. Hanya memaknakan kalimat syahadat sebatas tauhid rububiyah (Allah
sebagai Pencipta, Pengatur dan Pemberi Rizki alam semesta)
Di antara bukti yang lain akan kuatnya paham Asy’ariyah pada kaum shufiyah
adalah bahwa organisasi dan kelompok3 yang notabene beraliran shufiyah
menjadikan pemikiran Asy’ariyah sebagai pemikiran organisasinya.
1 Yang sebenarnya mengadopsi pemahaman Kullabiyah. (ed.)
2 Yang menetapkan bahwa makhluk tidak punya kehendak dalam menjalankan hidup ini. (ed.)
3 Salah satu dari kelompok shufiyah masa kini adalah Jamaah Tabligh. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menyatakan:
“Jamaah Tabligh adalah shufiyah masa kini. Adapun Ikhwanul Muslimin sangat nampak hubungan mereka dengan
shufiyah karena pendirinya, Hasan Al-Banna, adalah seorang pengikut thariqat shufi Al-Hashafiyyah.”
Untuk merinci lebih lanjut tentang kedua kelompok ini, alhamdulillah, pembaca bisa merujuk kepada Majalah Asy Syariah
edisi 07 dan edisi 20.
5. Sufi Menyelisihi Akidah Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu
Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Abburrahman Mubarak
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (Al-An’am: 59)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
َناَّيَأ َنوُرُعْشَي اَمَو َُّللا اَّلِإ َبْيَغْلا ِضْرَأْلاَو ِتاَوَمَّسلا يِف ْنَم ُمَلْعَي اَل ْلُق
َنوُثَعْبُي
Katakanlah: “Tidak ada satu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara
yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan
dibangkitkan. (An-Naml: 65)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َّالِإ ٍدَغ يِف ُنوُكَي اَم ٌدَحَأ ُمَلْعَي َال ؛ُللا اَّلِإ اَُمَلْعَي اَل ٌسْمَخ ِبْيَغْلا ُحيِتاَفَم
ُللا، ُللا َّالِإ ِماَحْرَأْلا يِف ُنوُكَي اَم ٌدَحَأ ُمَلْعَي اَلَو، ُبِسْكَت اَم ٌسْفَن ُمَلْعَت اَلَو
ُللا َّالِإ ُتوُمَت ٍضْرَأ ِّيَأِب يِرْدَت اَلَو اًدَغ، ٌدَحَأ ُرَطَمـْلا يِتْأَي ىَتَم ُمَلْعَي اَلَو
للا َّالِإ،ُ ُةَعاَّسلا ُموُقَت ىَتَم ُمَلْعَي َالَو
“Lima kunci perkara ghaib tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah: Tidak ada
yang mengetahui apa yang terjadi esok hari kecuali Allah, tidak ada yang
mengetahui apa yang ada di dalam rahim kecuali Allah, tidak ada jiwa yang
mengetahui apa yang akan diperbuatnya esok hari dan tidak pula tahu di mana
jiwa itu akan mati kecuali Allah, tidak ada yang mengetahui kapan datangnya
hujan kecuali Allah, dan tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat
kecuali Allah.” (HR. Al-Bukhari hal. 4697)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Telah ditutup ilmu tentang kapan
hari kiamat dari Nabi-Nya. Sedangkan selain malaikat yang didekatkan dan nabi-
nabi yang terpilih, ilmunya lebih sedikit dari mereka ….” (Al-Umm) [Lihat
Mukhalafatush Shufiyah hal. 96-100]
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah,
Rabb semesta alam.” (Al-A’raf: 54)
Namun Jufri Al-Khadrami, seorang tokoh ekstrem shufi saat ini, menyatakan
bahwa seorang wali punya kemampuan menciptakan anak di rahim seorang ibu
tanpa ada bapak. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun.
Bahkan dia berani menyatakan bahwa wali-walinya punya kemampuan
menghilangkan musibah orang yang ber-istighatsah (meminta tolong dihilangkan
musibah) kepadanya. Dengan lancang ia bahkan berkata: “Pengaturan yang
dilakukan wali bahkan sampai di surga dan neraka.” (Lihat Mukhalafatush
Shufiyah hal. 32-33)
ُتاَوامَّسلاَو ِةَماَيِقْلا َمْوَي ُُتَضْبَق اًعيِمَج ُضْرَأْلاَو ِِرْدَق َّقَح َللا اوُرَدَق اَمَو
َنوُكِرْشُي اَّمَع ىَلاَعَتَو َُناَحْبُس ِِنيِمَيِب ٌتاَّيِوْطَم
“Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
(Ar-Rahman: 27)
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak buta sebelah, sebagaimana ucapan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjelaskan keadaan Dajjal:
َرَوْعَأِب َسْيَل ْمُكَّبَر َّنِإَو ُرَوْعَأ َُّنِإ
“Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah, dan Rabb kalian tidaklah buta sebelah.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala tertawa terhadap hamba-Nya yang beriman. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang terbunuh di
medan perang, dia berjumpa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan
Allah Subhanahu wa Ta’ala tertawa kepadanya.1
Bagaimana dengan shufiyah?
Shufiyah telah menyelisihi Al-Imam Asy-Syafi’i dan salafus shalih. Mereka
melakukan tahrif (penyelewengan makna) dan takwil. Mereka tidaklah
menetapkan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali tujuh saja. (Mukhalafatush
Shufiyah hal. 37-38 secara ringkas)
ىَلَع ىَوَتْسا َّمُث ٍماَّيَأ ِةَّتِس يِف َضْرَأْلاَو ِتاَوَمَّسلا َقَلَخ يِذَّلا ُللا ُمُكَّبَر َّنِإ
ِشْرَعْلا
“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu dia naik di atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54)
Dalam hadits Muawiyah bin Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, ketika dia
hendak membebaskan budaknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menguji hamba sahaya tersebut dengan menanyakan: “Di mana Allah?” Hamba
sahaya tadi menjawab: “Allah di atas.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: “Siapa aku?” Budak tadi berkata: “Engkau utusan Allah.” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Bebaskanlah, karena dia adalah seorang
wanita mukminah.” (HR. Muslim)
Pemahaman Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu:
Ibnul Qayim rahimahullahu meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i dengan
sanadnya bahwa beliau rahimahullahu berkata, “Pernyataan tentang akidah yang
aku berada di atasnya dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya,
yang aku telah mengambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan dan Malik serta
keduanya adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
utusan-Nya. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas Arsy-Nya,
dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya, dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.”
(Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah)
Lebih jelas dari itu adalah ketika beliau meriwayatkan dalam bab membebaskan
budak mukminah dalam zhihar2. Beliau rahimahullahu berkata: “Yang lebih aku
senangi, tidaklah dibebaskan kecuali yang telah baligh dan beriman, jika dia
wanita ‘ajam yang telah disifati dengan keislaman maka cukup. Malik telah
mengabarkan kepadaku dari Hilal bin Usamah, dari Atha bin Yasar, dari Umar
bin Al-Hakam, beliau berkata: Aku pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Aku katakan: ‘Wahai Rasulullah, saya punya seorang budak
perempuan yang menggembala kambing. Ketika saya mendatanginya, ternyata
seekor kambing telah hilang. Ketika saya bertanya kepadanya, dia menjawab
bahwa kambing itu dimakan serigala. Saya pun marah kepadanya. Saya adalah
seorang bani Adam (yang bisa berbuat khilaf, red.) sehingga saya menempeleng
wajahnya. Saya punya kewajiban membebaskan budak. Apakah saya boleh
membebaskannya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada
budak tersebut: “Di mana Allah?” Dia menjawab: “Di atas.” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata: “Siapa aku?” Budak tadi menjawab: “Engkau
Rasulullah.” Maka Rasulullah berkata: “Bebaskanlah dia.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Nama sahabat tadi (sebenarnya)
Mu’awiyah bin Al-Hakam (bukan Umar bin Al-Hakam sebagaimana dalam
riwayat, red.), demikianlah diriwayatkan oleh Az-Zuhri dan Yahya bin Abi Katsir.”
Lihatlah! Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu mensyaratkan dalam membebaskan
budak harus yang mukmin. Beliau rahimahullahu menganggap pengakuan
hamba sahaya tadi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas sebagai tanda
keimanan.
Bagaimana dengan shufiyah?
Mereka telah meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam masalah ini dan
juga meninggalkan akidah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu.
Sebagian mereka menyatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana-mana.
Sebagian mereka bahkan ada yang mengingkari pertanyaan: di mana Allah
Subhanahu wa Ta’ala? Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
makhluk yang terbaik, telah menguji keimanan seorang hamba sahaya dengan
pertanyaan semacam ini. (Lihat pembahasan lebih detail pada Mukhalafatush
Shufiyah hal. 41-53)
Penyelisihan Shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam
masalah Uluhiyah
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ibnul Qayyim rahimahullahu meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu dengan sanadnya, beliau berkata: “Pernyataan tentang akidah
yang aku berada di atasnya, dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di
atasnya, yang aku telah mengambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan dan Malik
serta keduanya, adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
utusan-Nya.Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas Arsy-Nya,
dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya, dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.”
(Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah)
Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu berkata: “Orang-orang shufiyah berdoa
kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka berdoa kepada nabi. Juga
kepada wali mereka yang masih hidup ataupun yang telah mati. Mereka berkata:
‘Wahai Rasulullah, hilangkanlah musibah yang menimpa kami. Tolonglah kami.
Engkaulah tempat menyandarkan diri.’ Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
melarang berdoa kepada selain-Nya dan menganggapnya sebagai sebuah
kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َنِم اًذِإ َكَّنِإَف َتْلَعَف ْنِإَف َكُّرُضَي اَلَو َكُعَفْنَي اَل اَم ِللا ِنوُد ْنِم ُعْدَت اَلَو
َنيِمِلاَّظلا
“Dan janganlah kamu menyembah sesuatu selain Allah yang tidak memberi
manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu. Sebab jika kamu
berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang
yang zalim.” (Yunus:106)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
ُةَداَبِعْلا َوُ ُءاَعُّدلا
“Doa adalah ibadah.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Doa adalah ibadah seperti halnya shalat. Tidak boleh ditujukan kepada selain
Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun kepada rasul atau wali. Berdoa kepada
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah syirik besar yang menggugurkan amal
dan mengekalkan pelakunya di neraka. (Shufiyah fi Mizanil Kitab was Sunnah)
2. Shufiyah mengajarkan sihir
Sihir adalah satu perbuatan yang diharamkan dalam agama Islam. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َّنِكَلَو ُناَمْيَلُس َرَفَك اَمَو َناَمْيَلُس ِكْلُم ىَلَع ُنيِطاَيَّشلا وُلْتَت اَم اوُعَبَّتاَو
َلِباَبِب ِنْيَكَلَمْلا ىَلَع َلِزْنُأ اَمَو َرْحِّسلا َساَّنلا َنوُمِّلَعُي اوُرَفَك َنيِطاَيَّشلا
َْرُفْكَت اَلَف ٌةَنْتِف ُنْحَن اَمَّنِإ اَلوُقَي ىَّتَح ٍدَحَأ ْنِم ِناَمِّلَعُي اَمَو َتوُراَمَو َتوُرا
ِِب َنيِّراَضِب ْمُ اَمَو ِِجْوَزَو ِءْرَمْلا َنْيَب ِِب َنوُقِّرَفُي اَم اَمُْنِم َنوُمَّلَعَتَيَف
ِنَمَل اوُمِلَع ْدَقَلَو ْمُُعَفْنَي اَلَو ْمُُّرُضَي اَم َنوُمَّلَعَتَيَو ِللا ِنْذِإِب اَّلِإ ٍدَحَأ ْنِم
ْلا يِف َُل اَم ُاَرَتْشا/اوُناَك ْوَل ْمَُسُفْنَأ ِِب اْوَرَش اَم َسْئِبَلَو ٍقاَلَخ ْنِم ِةَرِخ
َنوُمَلْعَي
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan
Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir),
padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), akan tetapi setan-
setanlah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada
manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil
yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada
seorang pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan
(bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua
malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang
(suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak bisa memberi mudharat
dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka
mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada mereka dan tidak
memberi manfaat. Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa
yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di
akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau
mereka mengetahui. (Al-Baqarah: 102)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Jika ada seseorang belajar sihir,
kami katakan kepadanya: ‘Terangkan bagaimana cara sihirmu.’ Jika dia
menceritakan cara yang menyebabkan kekufuran seperti yang diyakini penduduk
Babil yang mendekatkan diri mereka kepada bintang yang tujuh, yakni meyakini
bahwa bintang-bintang bisa berbuat apa yang dimintai darinya, maka dia kafir.
Jika cara itu menyebabkan kafir dan dia meyakini kebolehan melakukannya,
maka kafir juga.” (dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir)
Bagaimana dengan shufiyah?
Mereka bukan hanya pelaku, bahkan sumber dan penyebar sihir di umat ini. Asy-
Syaikh Muhammad Al-Imam menyebutkan di antara sebab-sebab tersebarnya
sihir adalah:
1. Menyebarnya kebodohan
2. Permusuhan di antara kaum muslimin dan selain mereka
3. Berkuasanya orang-orang kafir atas kaum muslimin
4. Menyebarnya kelompok sesat dan merusak.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Di antara khurafat yang paling hina
dalam buku ini adalah yang disebutkan penulisnya dalam judul masalah obat
kebutaan: diambil darah haid wanita yang belum pernah didatangi pria (masih
gadis, red.), lalu dicampur dengan mani, digunakan sebagai celak mata, ini akan
menghilangkan gangguan pada mata.”
Asy-Syaikh Muhamad bin Al-Imam berkata: “Tidak ada yang melakukan hal ini
kecuali orang yang dungu dan hilang akalnya.”
Asy-Syaikh juga berkata: “Buku-buku shufi ekstrem dipenuhi sihir dan tanjim
(astrologi, red.).” (Lihat Irsyadun Nazhir ila Ma’rifati Alamatis Sihri hal. 54-67)
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.” (An-Najm: 39)
Beliau berkata: “Dari ayat ini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan orang yang
mengikutinya mengambil istinbath (kesimpulan hukum dari sutau dalil) bahwa
hadiah pahala bacaan Al-Qur’an tidaklah sampai kepada orang mati, karena hal
itu bukan amal perbuatan mereka. Sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun tidak pernah menganjurkannya….” (Tafsir Ibnu Katsir) [Lihat
Mukhalafah hal. 169]
Masalah taklid
Taklid adalah perbuatan tercela, perbuatan kaum musyrikin. Al-Qur’an dan As-
Sunnah serta ijma’ menunjukkan rusaknya taklid.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ِْيَلَع اَنْيَفْلَأ اَم ُعِبَّتَن ْلَب اوُلاَق ُللا َلَزْنَأ اَم اوُعِبَّتا ُمَُل َليِق اَذِإَو
َنوُدَتَْي اَلَو اًئْيَش َنوُلِقْعَي اَل ْمُُؤاَباَء َناَك ْوَلَوَأ اَنَءاَباَء
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah,’ Mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah
kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan
mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu
pun dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)
Ibnu Abdil Bar rahimahullahu berkata: “Tidak ada perselisihan di antara para
imam di seluruh negeri tentang rusaknya taklid.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu sangat mencerca taklid, sedangkan shufiyah
mendidik murid-murid mereka untuk taklid. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
berkata: “Kaum muslimin ijma’, barangsiapa yang telah jelas baginya Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya
meninggalkannya karena ucapan seseorang.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata juga: “Semua yang aku ucapkan
namun menyelisihi ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama. Janganlah kalian taklid kepadaku.”
Adapun shufiyah, mengajari umat untuk taklid kepada guru mereka. Alangkah
jauhnya dari ajaran beliau. Kenyataan menunjukkan mereka terjatuh dalam
bid’ah ini.
Al-Ghazali memisalkan seorang murid dengan gurunya seperti seorang buta
yang dituntun di pinggir sungai. Sang murid harus menyerahkan segala
urusannya kepada sang guru. Al-Ghazali juga berkata: “Manfaat dari kesalahan
guru lebih banyak daripada kebenaran seorang murid.”
Al-Kurdi Ash-Shufi berkata: “Di antara adab, yakni adab bersama guru, adalah
tidak menyanggah apa yang dilakukan gurunya walau zhahirnya adalah haram.
Tidak boleh murid berkata: ‘Mengapa sang guru melakukan itu?’ Karena
barangsiapa yang berkata kepada gurunya: ‘Mengapa?’, dia tidak akan sukses
(bahagia).”
Demikianlah pendidikan dan tarbiyah shufiyah, tidak saling mengingkari
kemungkaran yang mereka lakukan. (Mukhalafah hal. 129-135)
Pengagungan As-Sunnah
Mengagungkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
kewajiban setiap mukmin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ُديِدَش َللا َّنِإ َللا اوُقَّتاَو اوَُتْناَف ُْنَع ْمُكاََن اَمَو ُوُذُخَف ُلوُسَّرلا ُمُكاَتاَء اَمَو
ِباَقِعْلا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat keras hukumannya.” (Al-Hasyr: 7)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ُةَرَيِخْلا ُمَُل َنوُكَي ْنَأ اًرْمَأ ُُلوُسَرَو ُللا ىَضَق اَذِإ ٍةَنِمْؤُم اَلَو ٍنِمْؤُمِل َناَك اَمَو
اًنيِبُم اًلاَلَض َّلَض ْدَقَف َُلوُسَرَو َللا ِصْعَي ْنَمَو ْمِِرْمَأ ْنِم
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah
sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah seseorang yang berpegang teguh
dengan As-Sunnah. Beliau rahimahullahu pernah berkata: “Semua hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, maka aku berpendapat
dengannya walaupun hadits tersebut belum sampai kepadaku.”
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya, Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu pernah ditanya tentang satu masalah. Kemudian beliau
berkata: “Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau
berkata begini dan begini.” Si penanya berkata: “Apakah engkau berpendapat
dengannya?” Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu gemetar dan memerah
wajahnya lalu berkata: “Wahai, bumi mana yang akan menyanggaku dan langit
mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian aku malah tidak berpendapat dengannya??!”
Adapun shufiyah, betapa banyak mereka menolak hadits karena perasaan dan
hawa nafsu belaka.
Di antara hadits yang ditolak shufiyah adalah:
1. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang berkata: “Wahai Rasulullah, di
mana ayahku?” Beliau menjawab: “Di neraka.” Ketika orang tadi berpaling,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya: “Sesungguhnya ayahku
dan ayahmu di neraka.” (HR. Muslim no. 203)
2. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berziarah ke makam ibunya dan beliau menangis hingga membuat menangis
(orang-orang) yang di sekitarnya. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: “Aku minta izin kepada Rabbku untuk berziarah ke kuburan ibuku. Dia
mengizinkanku. Dan aku memintakan ampun baginya, tapi aku tidak diberi-Nya
izin.” (HR. Muslim)
3. Hadits tentang kisah meninggalnya Abu Thalib. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Mereka menolak hadits-hadits ini tanpa hujjah. Padahal para imam madzhab
Syafi’i seperti Al-Imam An-Nawawi, Al-Imam Al-Baihaqi, dan Ibnu Katsir
rahimahumullah telah menjelaskan dengan gamblang dari hadits ini bahwa dua
orangtua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal tidak di atas Islam. (Lihat
Mukhalafatush Shufiyah hal. 104-116)
Demikianlah beberapa masalah yang bisa kami paparkan dalam kesempatan ini.
Mudah-mudahan dengan tulisan ini bisa memberikan sedikit wawasan ilmu bagi
yang membacanya, sehingga bisa meyakini bahwa paham Shufiyah banyak
sekali penyimpangannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan bahwasanya kaum
shufiyah sejatinya bukanlah pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu.
7. Tafsir Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Bukan
Tafsir Sufi
Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (Ar-Ra’d:
39)
Maka Ad-Dabbagh menjawab: “Aku tidak menafsirkan ayat ini kepada kalian
kecuali dengan apa yang aku dengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemarin beliau menyebutkan tafsirnya kepada kami …. –lalu ia menyebutkan
tafsirannya.” (Al-Ibriz hal. 150, Al-Mashadir Al-’Ammah hal. 237)
Demikian pula Ash-Shayadi mengaku bahwa dia telah dibaiat di hadapan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk senantiasa membaca surah Al-Ikhlas jika
masuk rumah. (Bawariqul Haqa’iq, hal. 307, Al-Mashadir Al-’Ammah hal. 238)
Ash-Shayadi Ar-Rifa’i juga mengaku bahwa Khadhir menafsirkan kepadanya
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia
kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?” (Yasin: 68)
Khadhir berkata kepadanya: “Penafsiran ayat ini adalah, barangsiapa yang Kami
panjangkan umurnya dan Kami tinggikan kedudukannya di sisi Kami, Kami
jadikan dia di kalangan makhluk terbalik (amalannya).” (Bawariqul Haqaiq, hal.
147)
Adapun dalam periwayatan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, As-
Sahrawardi mengaku dalam kitabnya As-Sirr Al-Maktum bahwa Khadhir telah
memberitakan kepadanya 300 hadits yang dia dengar secara langsung dari lisan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Kasyful Khudr, lembaran 8, Al-Mashadir Al-
’Ammah hal. 261)
Dari sebagian kecil apa yang telah kami paparkan ini, nampaklah bahwa
Thariqat Shufiyah memiliki ajaran-ajaran yang sangat bertentangan dengan
prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang telah diajarkan oleh para
ulamanya, termasuk di antara mereka adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu.
Oleh karenanya, penisbahan sebagian kaum Shufi kepada Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu, baik dalam masalah fiqih maupun akidah, adalah penisbahan
yang Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu sendiri berlepas diri dari mereka.
Wallahul muwaffiq.
1 Seperti itu pula sufi masa kini (Jamaah Tabligh), ed.
2 Setali tiga uang dengan ilmu kasyaf, yakni “ilmu” yang didapat “langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala” tanpa proses
belajar. Menurut keyakinan sufi, “ilmu” ini tertanam dalam hati manusia melalui ilham, iluminasi (penerangan), inspirasi,
dan sejenisnya. Dengan mujahadah, “pembersihan dan pensucian hati” melalui amalan atau zikir tertentu akan terpancar
“nur” dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia alam ghaib. Diyakini, mereka bahkan bisa “berkomunikasi
langsung” dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, para rasul, dan ruh-ruh lainnya, termasuk Nabi Khidhir. Menurut kibulan
orang-orang sufi, ilmu laduni hanya bisa diraih oleh orang-orang yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat (pengikut sufi
menyebutnya dengan wali, habib, gus, dan sejenisnya), meski lahiriahnya mereka adalah orang-orang yang justru
menyelisihi syariat. Berkedok ilmu laduni ini, orang-orang sufi, selain melakukan pembodohan terhadap umat, juga
berupaya menjauhkan umat untuk mempelajari ilmu naqli (Al-Qur’an dan As-Sunnah), bahkan berujung dengan
menafikannya.
8. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Telah Wafat
Penulis : Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar
َّيَلَع اْوُّلصَو اًدْيِع ْيِرْبَق اْوُلَعْجَت َالَو اًرْوُبُق ْمُكَتْوُيُب اْوُلَعْجَت َال
ْمُتْنُك ُثْيَح ْيِنُغُلْبَت ْمُكَتاَلَص َّنِإَف
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, jangan pula
kalian menjadikan kuburku sebagai ied, dan bershalawatlah kalian untukku.
Karena sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku di manapun
kalian berada.”
Takhrij hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu di dalam As-
Sunan melalui jalan Ahmad bin Shalih dari Abdullah bin Nafi’ dari Ibnu Abi Dzi’b
dari Sa’id Al-Maqburi dari Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu.
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata, “Dan sanad hadits ini hasan, seluruh
perawinya tsiqah masyhur. Hanya saja Abdullah bin Nafi’ Ash-Shaigh Al-Faqih
Al-Madani Shahib Malik, pada beliau ada liin (semacam sisi kelemahan) yang
tidak membuat cacat haditsnya. Yahya bin Ma’in mengatakan: ‘Dia orang yang
tsiqah (terpercaya)’, dan cukup bagimu Yahya bin Ma’in sebagai orang yang
menyatakannya tsiqah. Abu Zur’ah mengatakan: ‘La ba’sa bihi (tidak mengapa
dengannya)’.”
Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Dia bukan seorang yang hafizh. Dia layyin,
haditsnya dikenal dan diingkari.”
Sesungguhnya pernyataan-pernyataan dari ulama di atas menurunkan derajat
haditsnya dari shahih menjadi hasan karena tidak ada khilaf tentang ‘adalah dan
fiqihnya. Secara umum dia dhabth (hafal) namun kadang-kadang salah.
Kemudian hadits ini pun termasuk yang dikenal dari riwayatnya dan tidak
diingkari karena yang dia riwayatkan adalah haditsnya orang-orang Madinah dan
dia pun membutuhkannya untuk fiqih. Dan hadits semacam ini tentunya dihafal
oleh seorang ahli fiqih. Lagipula, hadits ini pun masih ada penguatnya dari jalan
lain.” (Iqtidha’ Ash-Shiraat, 355-356)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Dan sanad hadits ini
hasan, seluruh perawinya tsiqah masyhur.” (Ighatsatul Lahafan hal. 180)
Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi
Dawud (2/218).
Makna hadits
اًرْوُبُق ْمُكَتْوُيُب اْوُلَعْجَت َال
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan...”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Maknanya janganlah
kalian mengosongkan rumah dari shalat dan berdoa serta bacaan Al-Qur’an agar
tidak sama dengan kuburan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam
hadits ini memerintahkan untuk menjaga ibadah di rumah-rumah serta melarang
untuk menjaga ibadah di kuburan. Hal ini berbeda dengan perbuatan yang
dilakukan kaum musyrikin dari kalangan Nasrani serta orang-orang yang
menyerupai mereka dari kalangan umat ini.” (Iqtidha’ Ash-Shirath, 357)
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan bahwa larangan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini menunjukkan dua kemungkinan.
Yang pertama, adalah larangan menjadikan rumah sebagai kuburan sehingga
tidak diperkenankan seseorang dikuburkan di dalam rumahnya. Adapun makna
yang kedua, adalah larangan menjadikan rumah seperti kuburan sehingga
rumah dikosongkan dari shalat ataupun bacaan Al-Qur’an. Dan menurut beliau
kedua makna ini benar seluruhnya.
Barangkali ada pertanyaan yang melintas di benak kita, mengapa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru dikuburkan di dalam rumah beliau? Ada dua
alasan, yang pertama karena ada kekhawatiran kubur beliau akan dijadikan
masjid (tempat ibadah) dan diagung-agungkan sebagaimana riwayat Muslim dari
Aisyah rahiyallahu ‘anha. Alasan kedua karena adanya beberapa riwayat yang
menyebutkan bahwa para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimakamkan di
tempat meninggalnya. (Al-Qaulul Mufid, hal. 459-460)
ْمِِّبَر َدْنِع ٌءاَيْحَأ ْلَب اًتاَوْمَأ ِللا ِليِبَس يِف اوُلِتُق َنيِذَّلا َّنَبَسْحَت اَلَو
َنوُقَزْرُي
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati;
bahkan mereka itu hidup di sisi Rabbnya dengan mendapat rezeki.” (Ali
Imran:169)
Al-Imam Asy Syinqithi rahimahullahu menafsirkan bahwa di dalam ayat ini Allah
Tabaaraka wa Ta’ala melarang untuk menyangka para syuhada’ telah mati.
Dengan jelas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa mereka hidup di
sisi Rabb dengan mendapat rezeki. Mereka pun berbahagia disebabkan karunia
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka
bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum
menyusul mereka. Bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati. Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
menjelaskan apakah kehidupan mereka di alam barzakh dapat merasakan
kehidupan penduduk alam dunia secara nyata ataukah tidak? Hanya saja Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam surat Al-Baqarah bahwa
mereka tidak merasakan kehidupan alam dunia di dalam firman-Nya:
َنوُرُعْشَت اَل ْنِكَلَو ٌءاَيْحَأ ْلَب ٌتاَوْمَأ ِللا ِليِبَس يِف ُلَتْقُي ْنَمِل اوُلوُقَت اَلَو
“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).”
(Az-Zumar: 30)
Al-Imam Asy-Syinqithi rahimahullahu menjelaskan bahwa para syuhada
merasakan mati dalam alam dunia sehingga harta mereka menjadi warisan dan
istri mereka pun dapat dinikahi oleh orang lain sesuai ijma’ kaum muslimin.
Kematian jenis inilah yang dirasakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagaimana kabar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di dalam kitab Ash-Shahih disebutkan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam wafat maka Abu Bakr Ash-Shiddiq rahiyallahu ‘anhu pun berkata,
“Ayah ibuku sebagai jaminan, demi Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan
mengumpulkan dua kematian untukmu (wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam). Adapun kematian yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
untukmu telah engkau lewati.”
Demikian juga Abu Bakr rahiyallahu ‘anhu berkata, ”Barangsiapa menyembah
Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah wafat.”
Hal ini diucapkan Abu Bakr karena berdalil dengan Al-Qur’an sehingga para
sahabat pun mengikuti pernyataan Abu Bakr rahiyallahu ‘anhu tersebut.
Adapun jenis kehidupan yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk para
syuhada dalam Al-Qur’an, demikian juga jenis kehidupan yang diberikan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya, adalah jenis kehidupan
di alam barzakh yang tidak akan mungkin dapat dirasakan oleh penduduk alam
dunia.
Kalau seandainya kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah
wafatnya adalah kehidupan yang dapat dirasakan oleh penduduk alam dunia
tentunya Abu Bakr Ash-Shiddiq rahiyallahu ‘anhu tidak perlu menyampaikan
bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia,
tidak perlu dimakamkan, tidak boleh dipilih seorang khalifah sebagai pengganti
beliau, Utsman rahiyallahu ‘anhutidak akan terbunuh, para sahabatnya tidak
mungkin berselisih, dan tidak mungkin Aisyah rahiyallahu ‘anha mengalami
peristiwa pahit dalam sejarah karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
akan membimbing. Kalau memang kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dapat dirasakan oleh penduduk alam dunia tentunya pada saat-saat
tersebut para sahabat akan bertanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. (Daf’ul Iihaam 28-30)
Bagaimanakah sebenarnya?
Saudara pembaca...
Banyak sekali dalil yang digunakan orang-orang shufi untuk membenarkan
keyakinan mereka tentang kemampuan wali atau nabi yang telah meninggal
untuk menolong mereka. Sebagiannya shahih tetapi salah di dalam penempatan
atau pemahaman. Yang lainnya adalah dalil-dalil yang lemah bahkan palsu.
Berikut ini beberapa dalil yang sering digunakan oleh mereka (termasuk Tim
Bahtsul Masail PCNU Jember).
Pertama
Dari Anas bin Malik rahiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
َنْوُّلَصُي ْمِِرْوُبُق ْيِف ٌءاَيْحَأ ُءاَيِبْنَألا
“Para nabi itu hidup di alam kubur mereka dan menunaikan shalat.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Al-Bazzar serta ulama lainnya.
Beberapa waktu lamanya Asy-Syaikh Al-Albani menilai hadits ini dhaif karena
beliau menyangka Ibnu Qutaibah sendirian di dalam meriwayatkan hadits ini,
sebagaimana pernyataan Al-Baihaqi, dan beliau belum mendapatkan jalan dari
Musnad Abu Ya’la dan kitab Akhbar Asbahan. Namun, setelah beliau
mendapatkan kedua jalan tersebut maka jelaslah bahwa sanadnya kuat dan
pernyataan Al-Baihaqi tidak benar. Oleh karena itu, Asy-Syaikh Al-Albani segera
mengeluarkan hadits ini di dalam Ash-Shahihah untuk melaksanakan tanggung
jawab dan amanah ilmiah.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa
kehidupan para nabi yang ditetapkan di dalam hadits ini adalah kehidupan alam
barzakh dan tidak terkait sedikitpun dengan kehidupan alam dunia. Oleh karena
itu, kehidupan alam barzakh wajib diimani tanpa membuat permisalan serta
mencoba untuk menyerupakan dan menyamakannya dengan kehidupan dunia
yang diketahui sekarang. Inilah sikap yang harus diambil oleh seorang mukmin di
dalam masalah ini yaitu beriman dengan kandungan hadits ini tanpa
menambahkan qiyas (kias/analogi) dan pendapat sendiri-sendiri sebagaimana
yang dilakukan ahlul bid’ah, yaitu orang-orang yang sebagian dari mereka
sampai-sampai menganggap bahwa kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam di kuburnya adalah kehidupan hakiki. Ia menyatakan, ”Nabi pun
makan, minum, dan menggauli istri-istrinya!!!” Padahal kehidupan di sana
hanyalah kehidupan alam barzakh, tidak ada yang mengetahui hakikatnya
kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Silsilah Shahihah 2/187)
Kedua
َّالِإ ِْيَلَع ُمِّلَسُيَف اَيْنُّدلا يِف ُُفِرْعَي َناَك ٍلُجَر ِرْبَقِب ُّرُمَي ٍدْبَع ْنِم اَم
َمَالَّسلا ِْيَلَع َّدَرَو َُفَرَع
“Tidak seorang pun yang lewat bertemu dengan kuburan saudaranya seiman –
yang pernah mengenalnya-, lalu mengucapkan salam kepadanya, kecuali ia
akan mengenalnya dan membalas salamnya.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Bakr Asy-Syafi’i dalam Majlisan (1/6), Ibnu Jami’
dalam Mu’jam (351), Abul Abbas Al-Asham dalam Ats-Tsani (2/143), Al-Khathib
dalam Tarikh (6/137), Tamam dalam Al-Fawaid (1/19/2), Ibnu Asakir (2/209/3),
Ad-Dailami (11/4), dan Adz-Dzahabi dalam Siyar (12/590) dari sahabat Abu
Hurairah rahiyallahu ‘anhu.
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata, “Hadits ini tidak shahih. Sungguh
mereka telah sepakat tentang dhaifnya Abdurrahman bin Zaid (salah seorang
perawi hadits). Ibnu Hibban menyatakan, ‘Ia sering membolak-balikkan kabar
dalam keadaan dia tidak mengerti hingga hal ini banyak terjadi di dalam
riwayatnya. Seperti merafa’kan hadits mursal dan mengisnadkan hadits mauquf,
maka orang ini berhak untuk ditinggalkan’.” (Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah, 2/911)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: Dan sanad hadits ini lemah sekali.
Abdurrahman bin Zaid matruk (haditsnya ditinggalkan, red.) sebagaimana telah
dilewati berkali-kali. Adz-Dzahabi membawakan hadits ini dalam biografinya dan
termasuk riwayat yang diingkari darinya.
Ada juga jalan lain dari sahabat Ibnu Abbas rahiyallahu ‘anhuma yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr rahiyallahu ‘anhuma dalam Syarah Al-
Muwaththa’. Namun sanad hadits ini gharib, Abu Abdillah Ubaid bin Muhammad
serta Fathimah bintu Ar-Rayyan Al-Makhzumi Al-Mustamli termasuk perawi yang
tidak dikenal.
Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal Al-Qubur (2/83) berkata, “Beliau
mengisyaratkan bahwa seluruh perawinya tsiqah, dan memang demikian. Hanya
saja hadits ini gharib bahkan mungkar.” (Adh-Dha’ifah 9/473)
Ketiga
ُُتْعِمَس ْيِرْبَق َدْنِع َّيَلَع ىَّلَص ْنَم، ٌكَلَم اَِب َلِّكُو اًيِئاَن َّيَلَع ىَّلَص ْنَمَو
ْيِنُغِّلَبُي، َو ُاَيْنُد ُرْمَأ اَِب َيِفُكَو/ُُتَرِخ، اًعْيِفَش ْوَأ اًدْيَِش َُل ُتْنُكَو
“Barangsiapa bershalawat untukku di samping kuburku maka aku akan
mendengarnya. Barangsiapa bershalawat untukku dan ia jauh dariku niscaya
akan diwakilkan malaikat yang menyampaikannya untukku. Dan dengan
shalawat itu ia dicukupkan urusan dunia dan akhiratnya. Aku akan menjadi saksi
atau pemberi syafaat untuknya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Sam’un dalam Al-Amali (2/193/2), Al-Khathib
dalam Tarikh (3/291), dan Ibnu Asakir (2/70/16)
Menurut Ibnul Jauzi rahimahullahu dalam Al-Maudhu’at (1/303) Muhammad bin
Marwan adalah seorang perawi kadzaab (pendusta). Al-Uqaili berkata, “Hadits ini
tidak ada asalnya.” Ibnu Abdil Hadi rahimahullahu dalam Ash-Sharim Al-Munki
(hal. 190) berkata, “Dia (Muhammad bin Marwan) matrukul hadits muttaham
bilkadzib (haditsnya ditinggalkan dan tertuduh dengan kedustaan).”
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Majmu’ Fatawa
(27/241), “Hadits ini maudhu’ (palsu), yang meriwayatkan dari Al-A’masy hanya
Muhammad bin Marwan As-Suddi, dan dia kadzdzab (pendusta) menurut
kesepakatan (ahli hadits). Hadits ini dipalsukan atas Al-A’masy dengan
kesepakatan mereka.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Silsilah Adh-Dha’ifah (1/366),
“Hadits ini maudhu’ (palsu) dengan lafadz ini secara keseluruhan.”
Penutup
Saudara pembaca…
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu dalam Siyar A’lam An-Nubala’ (9/409)
menyebutkan sebuah kisah singkat tentang Al-Imam Ali Al-Madini. Al-Imam Ali
Al-Madini berkata, ”Suatu hari aku pernah menemui Ahmad bin Atha’ Al-Hujaimi.
Ketika itu aku menjumpainya sedang membawa lembaran-lembaran kertas untuk
menyampaikan hadits. Aku pun bertanya kepadanya, ‘Engkau mendengar
sendiri hadits-hadits ini?’
Ia menjawab, ‘Tidak, akan tetapi aku membeli catatan ini karena di dalamnya
terdapat hadits-hadits yang bagus sehingga aku bisa menyampaikannya kepada
orang lain.’
Aku pun berkata, ‘Apakah engkau tidak takut kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala? Apakah engkau ingin mendekatkan manusia kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dengan berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam?’.”
Kemudian Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu memberikan komentar, ”Orang
tersebut tidak mengerti tentang ilmu hadits. Ia hanyalah seorang hamba yang
shalih dan telah keliru dalam perkara Al-Qadar. Kita berlindung kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dari kedustaan-kedustaan kaum shufiyah. Tidak ada
kebaikan kecuali dengan ittiba’ (mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam) dan ittiba’ seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan mengetahui
sunnah-sunnah beliau.” Wallahu a’lam bish-shawab.
9. Al-Imam Asy-Syafi’i dan Qashidah Al-Burdah
Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman
Siapakah beliau?
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib
bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushai
bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lua’i bin Ghalib, Abu Abdullah Al-Qurasyi Asy-
Syafi’i Al-Makki.
Beliau adalah salah satu dari imam madzhab yang masyhur di kalangan kaum
muslimin. Beliau lahir pada tahun 150 H, tahun meninggalnya Abu Hanifah, di
daerah Gaza. Para ulama telah menulis riwayat hidup Al-Imam Asy-Syafi’i dalam
bentuk karya yang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah seorang
imam yang dikagumi oleh kawan dan lawan.
Pada suatu ketika Al-Imam Ahmad rahimahullahu duduk bersamanya. Lalu
datanglah salah seorang teman beliau mencela beliau karena meninggalkan
majelis Ibnu ‘Uyainah –guru Al-Imam Asy-Syafi’i– lantas duduk bersama orang
A’rabi (Arab dusun) ini. Lalu Ahmad bin Hanbal berkata kepadanya: “Diam kamu.
Jika luput darimu hadits dengan sanad yang ‘ali (tinggi) maka kamu akan
mendapatkannya dengan sanad yang nazil (rendah). Jika luput dari hasil akal
orang ini (Al-Imam Asy-Syafi’i), aku khawatir kamu tidak mendapatkannya. Aku
tidak melihat seorang pun yang lebih faqih tentang kitab Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pemuda ini (Al-
Imam Asy-Syafi’i).”
Beliau, Al-Imam Ahmad rahimahullahu, berkata: “Kalau bukan karena Asy-Syafi’i
-dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala- niscaya kita tidak akan bisa memahami
hadits.” Dalam sebuah riwayat beliau berkata: “Beliau (Al-Imam Asy-Syafi’i)
adalah orang yang paling faqih tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dawud bin Ali Azh-Zhahiri, seorang imam dalam Manaqib Asy-Syafi’i berkata:
“Ishaq bin Rahawaih berkata kepadaku: ‘Tatkala saya pergi bersama Ahmad ke
Asy-Syafi’i di Makkah, dan bertanya tentang banyak hal, saya dapati beliau
adalah orang yang fasih dan baik akhlaknya. Tatkala kami berpisah dengannya,
sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir
bahwasanya dia (Asy-Syafi’i) adalah orang yang paling mengerti tentang makna-
makna Al-Qur’an (tafsir) pada masanya dan sungguh dia telah diberikan
kefaqihan. Jika saya tahu (sebelumnya) niscaya saya akan bermulazamah
(belajar khusus) kepadanya’.”
Dawud berkata: “Saya melihat beliau (Ishaq bin Rahawaih) menyesali apa yang
luput dari ilmunya (Asy-Syafi’i).”
Bahkan penduduk Makkah menggelari beliau dengan Nashirul Hadits (pembela
hadits), disebabkan kemasyhuran beliau dalam membela sunnah dan semangat
beliau yang tinggi untuk mengikutinya. (Lihat Muqaddimah Ar-Risalah hal. 6,
tahqiq Ahmad Syakir dan Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbat Al-Aqidah, 1/20)
Abdurrahman bin Mahdi rahimahullahu berkata: “Saya tercengang ketika melihat
kitab Ar-Risalah, karena saya melihat ucapan seseorang yang berakal, fasih, dan
penasihat. Maka saya banyak berdoa untuknya.”
يِف اوُدِجَي اَل َّمُث ْمَُنْيَب َرَجَش اَميِف َكوُمِّكَحُي ىَّتَح َنوُنِمْؤُي اَل َكِّبَرَو اَلَف
اًميِلْسَت اوُمِّلَسُيَو َتْيَضَق اَّمِم اًجَرَح ْمِِسُفْنَأ
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan
yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65)
ُةَرَيِخْلا ُمَُل َنوُكَي ْنَأ اًرْمَأ ُُلوُسَرَو َُّللا ىَضَق اَذِإ ٍةَنِمْؤُم اَلَو ٍنِمْؤُمِل َناَك اَمَو
اًنيِبُم اًلاَلَض َّلَض ْدَقَف َُلوُسَرَو َللا ِصْعَي ْنَمَو ْمِِرْمَأ ْنِم
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah
sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
Di atas prinsip inilah, salaf (pendahulu) umat ini berjalan. Mereka beriman
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan segala apa yang datang dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Mereka juga beriman kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam serta segala apa yang datang dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mereka berbicara dengan kemampuan mereka tentang apa yang telah
disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk berbicara. Mereka pun diam
pada perkara yang mereka tidak sanggup dan tidak disyariatkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu termasuk dari sederetan imam-imam salaf
umat ini. Ucapan beliau yang masyhur adalah:
/ِللا ِداَرُم ىَلَع ِللا ِنَع َءاَج اَمِبَو ِللاِب ُتْنَم، َو/ْنَع َءاَج اَمِبَو ِللا ِلوُسَرِب ُتْنَم
ِللا ِلوُسَر ِداَرُم ىَلَع ِللا ِلوُسَر
“Saya beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan segala apa yang datang
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Saya juga beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan dengan segala apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/2 dan 6/354)
4. Menjauhi pengikut hawa nafsu, ahli bid’ah, dan ahli kalam serta mencela
mereka.
Sikap beliau terhadap para pengekor hawa nafsu sangat jelas. Ini terbukti
melalui ucapan-ucapan beliau dan amalan beliau. Beliau berkata: “Saya tidak
pernah melihat orang yang paling suka bersaksi dusta/palsu selain Syi’ah
Rafidhah.” (Adab Asy-Syafi’i hal. 187, Al-Manaqib karya Al-Baihaqi 1/468, dan
Sunan Al-Kubra 10/208)
Beliau juga mengkafirkan orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk
(bukan kalamullah, red.). (Al-Manaqib, Al-Baihaqi, 1/407)
Bahkan sikapnya terlihat tatkala beliau meninggalkan Baghdad menuju Mesir,
karena munculnya Mu’tazilah di sana yang kemudian menguasai undang-undang
negara.
Ar-Rabi’ berkata: “Aku menyaksikan Al-Imam Asy-Syafi’i turun dari tangga,
sementara kaum yang berada di majelis tersebut berbicara tentang ilmu kalam
(filsafat). Beliau berkata: ‘Kalian duduk bersama kami dengan baik atau kalian
pergi dariku’.”
Bahkan beliau mengatakan: “Hukumanku terhadap ahli kalam (filsafat) adalah
dia dipukul dengan pelepah kurma dan sandal, serta diletakkan di atas unta lalu
dikelilingkan di kabilah-kabilah, sambil dikatakan: ‘Ini adalah balasan bagi orang
yang meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah lalu belajar ilmu kalam’.” (Al-
Baghawi di dalam Syarhus Sunnah 1/218 dan Ibnu Abdul Bar di dalam Al-Intiqa
hal. 80)
Kalimat ini merupakan kesyirikan dalam hal tauhid uluhiyah, yaitu meminta
perlindungan dari berbagai marabahaya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Kita telah mengetahui bahwa meminta perlindungan adalah sebuah
ibadah, dan ibadah itu tidak boleh diberikan kepada selain Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
َبْيَغْلا ُمَلْعَأ ُتْنُك ْوَلَو َُّللا َءاَش اَم اَّلِإ اًّرَض اَلَو اًعْفَن يِسْفَنِل ُكِلْمَأ اَل
ٍمْوَقِل ٌريِشَبَو ٌريِذَن اَّلِإ اَنَأ ْنِإ ُءوُّسلا َيِنَّسَم اَمَو ِرْيَخْلا َنِم ُتْرَثْكَتْساَل
َنوُنِمْؤُي
“Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak
kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang
ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan
ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan
pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188)
اًدَشَر اَلَو اًّرَض ْمُكَل ُكِلْمَأ اَل يِّنِإ
Pada bait ini terdapat bentuk kesyirikan dalam hal tauhid rububiyah. Dikatakan
bahwa dunia dan akhirat merupakan pemberian Nabi kita, padahal beliau adalah
manusia biasa yang tentunya tidak akan pantas menyandang kerububiyahan.
ٌدِحاَو ٌَلِإ ْمُكَُلِإ اَمَّنَأ َّيَلِإ ىَحوُي ْمُكُلْثِم ٌرَشَب اَنَأ اَمَّنِإ ْلُق
َبْيَغْلا ُمَلْعَأ اَلَو ِللا ُنِئاَزَخ يِدْنِع ْمُكَل ُلوُقَأ اَل ْلُق
ُءاَشَي ْنَم ِِلُسُر ْنِم يِبَتْجَي ََّللا َّنِكَلَو ِبْيَغْلا ىَلَع ْمُكَعِلْطُيِل ُللا َناَك اَمَو
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang
ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-
rasul-Nya.” (Ali ‘Imran: 179)
Masalah ghaib adalah ilmu yang hanya dimiliki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
semata, tidak ada seorang hamba setinggi apapun derajatnya yang berhak
menyandangnya.
اَمَو ِرْحَبْلاَو ِّرَبْلا يِف اَم ُمَلْعَيَو َوُ اَّلِإ اَُمَلْعَي اَل ِبْيَغْلا ُحِتاَفَم َُدْنِعَو
اَلَو ٍبْطَر اَلَو ِضْرَأْلا ِتاَمُلُظ يِف ٍةَّبَح اَلَو اَُمَلْعَي اَّلِإ ٍةَقَرَو ْنِم ُطُقْسَت
ٍنيِبُم ٍباَتِك يِف اَّلِإ ٍسِباَي
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan
di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya
(pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu
yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh).” (Al-An’am: 59)