JFI 6.3 Iregway PDF
JFI 6.3 Iregway PDF
Gambar cover:
Adalah struktur Xanthin Oksidase yang diambil dari protein databank dengan kode 3EUB
dengan judul Crystal Structure of Desulfo-Xanthin Oxidase with Xanthin
Gambar struktur 3EUB diolah menggunakan Visual Molecular Dynamics (VMD), kemudian
rendering dilakukan dengan POV-RAY.
Harga Berlangganan:
Rp. 100.000,- per tahun (2 Nomor)
iii
Tim Redaksi
Pemimpin Umum/
Penanggung Jawab
Drs. M. Dani Pratomo, MM, Apt
Editor Pelaksana
Manajer Administrasi
Manajer Sirkulasi
Alamat Redaksi/Penerbit
Jl. Wijayakusuma No.17
Tomang - Jakarta Barat
Telepon/Fax 021- 5671800
jfi@ikatanapotekerindonesia.net
jurnalfarmasiindonesia@gmail.com
online submission website:
jfi.iregway.com
iv
Daftar Isi
122 - 128
129 - 137
138 -141
142 - 150
151 - 158
159 - 165
166 -171
172-176
177 - 183
Artikel Penelitian
Kata kunci: Antioksidan, radikal bebas, xantin oksidase, Zanthoxylum acanthopodium DC.
Korespondensi:
Ruth Elenora Kristanty
Email : ruth.elenora@yahoo.com
122
PENDAHULUAN
Radikal bebas dihasilkan secara normal di
dalam tubuh oleh metabolisme sel, peradangan,
atau ketika tubuh terpapar polusi lingkungan (1).
Jika terjadi paparan radikal yang melebihi daya
proteksi endogen maka tubuh membutuhkan
antioksidan eksogen untuk mengatasi masalahmasalah seperti penyakit degeneratif (2). Kerja
antioksidan dapat dibagi melalui dua mekanisme
utama yaitu dengan meredam radikal bebas dan
meniadakan sumber inisiasi oksidatif seperti
dengan menghambat enzim (3). Penghambatan
pembentukan radikal bebas melalui mekanisme
penghambatan xantin oksidase dapat menurun
kan jumlah radikal bebas dan melindungi tubuh
dari kerusakan jaringan (4).
Berbagai macam antioksidan sintetik seperti
butylated hydroxytoluene (BHT) telah dilaporkan memiliki beberapa efek samping seperti
kerusakan hati dan mutagenesis (5). Alopurinol
sebagai obat sintetik yang telah lama digunakan
untuk mengobati penyakit gout (6) dengan mekanisme kerja menghambat xantin oksidase (7),
juga dilaporkan memberikan banyak efek sam
ping seperti reaksi alergi pada kulit dan diare
(8). Dengan demikian, diperlukan obat alternatif
yang memiliki aktivitas pengobatan lebih baik
dan aman, yaitu dari bahan alam atau tumbuhan.
Dalam masyarakat Batak, dikenal rempah
yang tergolong tanaman liar yakni andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) yang
merupakan tanaman khas daerah Sumatera
Utara (9,10) tetapi belum dimanfaatkan seba
gai tanaman obat. Tanaman-tanaman dari genus
Zanthoxylum (bagian kulit kayu dan daun) biasanya
digunakan secara luas untuk mengobati inflamasi
dan rematik (8). Buah andaliman telah dilaporkan
memiliki aktivitas anti inflamasi (11) dan juga telah
diteliti aktivitas antioksidan ekstrak etanol buah andaliman dalam beberapa sistem pangan (11) serta
aktivitas antiradikal ekstrak etanol buah andaliman
konsentrasi 200 ppm yang menunjukkan daya inhibisi sebesar 61,81% (12). Penelitian antioksidan
terhadap buah andaliman yang telah dilaporkan
METODE PENELITIAN
Bahan Uji
Buah segar andaliman diperoleh dari Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Tanaman andaliman
dideter-minasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Pusat Penelitian Biologi, Cibinong. Bagian tanaman yang digunakan sebagai simplisia
adalah buah yang berwarna hijau. Buah sebanyak
13 kg disortasi, dicuci, dan dikeringkan di lemari
pengering pada suhu 40oC. Selanjutnya simplisia
dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi serbuk.
Bahan Kimia
Bahan kimia yang digunakan antara lain petroleum eter, n-heksana, diklorometana, etil asetat,
metanol, dan n-butanol teknis (Brataco Chemika,
Indonesia) yang telah didestilasi, kloroform p.a,
metanol p.a, dan n-heksana p.a (Merck, Jerman),
air suling demineral (Brataco Chemika, Indonesia),
dimetil sulfoksida atau DMSO (Merck, Jerman), Alopurinol (Pyridam Farma, Indonesia), silika gel G-60
(Merck, Jerman), DPPH (Sigma Aldrich, Singapura),
BHT (Sigma Aldrich, Singapura), Kuersetin (Sigma
Aldrich, Singapura), Xantin (Sigma Aldrich, Singapura), Xantin oksidase (Sigma Aldrich, Singapura).
Ekstraksi
Sebanyak 3 kg serbuk simplisia buah andaliman
dimaserasi secara bertingkat mulai dari pelarut
petroleum eter, diklorometana, etil asetat, n-butanol, dan metanol, kemudian dikocok selama 6 jam
dengan pengaduk mekanik. Campuran didiamkan
24 jam lalu disaring dan filtrat dikumpulkan dalam
suatu wadah. Total pemakaian pelarut adalah 9 L
petroleum eter, 8 L diklorometana, 8 L etil asetat,
10 L n-butanol, dan 7 L metanol. Masing-masing filtrat diuapkan menggunakan rotavapor pada suhu
123
Aktivitas Antioksidan dan Penghambat Xantin Oksidase dari Ekstrak Buah Andaliman
Ekstrak
1.
Petroleum eter
100
4.
n-butanol
65
2.
Diklorometana
3.
Etil asetat
5.
Metanol
60
50
100%
Keterangan :
124
3000
30
Rendemen (%)
3,33
2,00
1,67
2,17
1,00
Keterangan :
100%
Sampel
Konsentrasi
%
IC50
(g/mL) inhibisi (g/mL)
200 14,92
Ekstrak
100
14,61
petroleum
50
8,19 220,67
eter
20 6,83
10 6,29
200 33,71
Ekstrak
100
18,27
88,26
diklorometana 50 11,44
20 12,12
10 12,44
Ekstrak
etil asetat
200 29,91
100
18,34
83,50
50
9,18
20 5,99
10 1,82
Ekstrak
metanol
100 47,66
50
24,87
20 12,71
10 7,27
Ekstrak
n-butanol
BHT
200 46,97
100
25,89
50
14,43 53,51
20 8,95
10 6,27
26,39
16 37,09
10 26,65
4
15,22 5,52
2 9,23
1 6,87
125
Aktivitas Antioksidan dan Penghambat Xantin Oksidase dari Ekstrak Buah Andaliman
Tabel 3. Hasil uji penghambatan xantin oksidase oleh ekstrak buah andaliman
Sampel
Konsentrasi %
IC50
(g/mL)
inhibisi
(g/mL)
Ekstrak
1
31,1
petroleum
5
37,8
eter
10 53,6 9,9
20 57,1
50 48,5
100 49,9
1 47,3
Ekstrak
5
56,6
diklorometana 10
54,0
3,9
20 27,7
50
50,6
100 67,8
1 49,7
Ekstrak etil
5
53,1
asetat
10 32,1 9,54
20 42,9
50 47,3
100 55,0
Ekstrak
n- butanol
1 39,5
5
41,3
10
46,4
3,69
20 46,4
50 66,4
100 69,9
1 41,6
Ekstrak
5
50,7
metanol 10 49,6 4,03
20 48,7
50 54,7
100 56,6
126
(g/mL)
inhibisi
Alopurinol 0,1
0,25
0,5
1
IC50
(g/mL)
45,11
55,42 0,02
74,6
87,56
Ekstrak yang tidak dapat larut dengan air bebas karbondioksida P dilarutkan terlebih dahulu
dengan 5 tetes DMSO (dimetil sulfoksida). Sebagai
standar digunakan senyawa alopurinol. Hasil pengujian menunjukkan bahwa alopurinol memiliki
efek penghambatan aktivitas xantin oksidase de
ngan nilai IC50 0,02 g/mL (tabel 4). Hasil pengujian aktivitas penghambatan xantin oksidase oleh
masing-masing ekstrak menunjukkan ekstrak
n-butanol memiliki nilai IC50 paling kecil diban
dingkan ekstrak lainnya yaitu 3,69 g/mL (Tabel
3) yang menunjukkan ekstrak n-butanol memiliki
kemampuan penghambatan enzim yang sangat
kuat.
Diduga ekstrak buah andaliman ini mengandung senyawa yang memiliki aktivitas penghambat xantin oksidase.
Penapisan Fitokimia
Penapisan fitokimia dilakukan terhadap ekstrak n-butanol dan metanol sebagai ekstrak yang
memiliki aktivitas antioksidan dan penghambatan
xantin oksidase. Penapisan fitokimia bertujuan
untuk mengetahui keberadaan senyawa berda
sar
kan golongannya sebagai informasi
a
wal kandungan senyawa yang terdapat pada
ekstrak aktif. Hasil identifikasi menunjukkan
bahwa ekstrak n-butanol mengandung senyawa
golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, tanin,
DAFTAR PUSTAKA
1. Langseth L. Oxidant, Antioxidant, and Disease Prevention. Belgium: International Life Science Institute press 1995.
21402146.
Ismail S, Mansor SM. In vitro antioxidant and xanthine oxidase inhibitory activities of methano2009; 14: 4476-4485.
127
Aktivitas Antioksidan dan Penghambat Xantin Oksidase dari Ekstrak Buah Andaliman
ki
mia Kedokteran Dasar [Terjemahan] Jakarta.
Buku Kedokteran EGC; 2000.
9. Owen P, Johns T. Xanthine oxidase inhibitory activity of northeastern North American plant reme-
1200.
dium DC.) di Sumatera Utara: Deskripsi dan Perkecambahan. Jurnal Hayati 2002; 10(1): 38-40.
RC.. Chemical constituents and biological activities of the genus Zanthoxylum: A review. African
17. Molyneux, P The use of the stable free radical diphenyl picryl-hydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. Journal of Science and Techno
logy 2004; 26(2): 211-219.
pepperfruitextract (Zanthoxylumacanthopodium
DC.) suppresses the expression of inflammatorymediators in lipopolysaccharide-inducedmacroand Biotechnology 2011; 7(4): 176-186.
tracts from endophytic fungi isolated from garcrobiology 2007; 51: 517-525.
128
Artikel Penelitian
Korespondensi :
Wira Noviana Suhery
Email : noviara23@gmail.com
129
Sifat Fisikokimia Mocaf dan Pati Singkong Termodifikasi untuk Formulasi Tablet
PENDAHULUAN
Produk olahan singkong telah banyak digunakan sebagai bahan baku eksipien dalam industri farmasi. Diantaranya adalah pati singkong
(amylum manihot) sebagai bahan pengikat dan
penghancur pada formulasi tablet, maltodekstrin
sebagai bahan penyalut lapis tipis tablet ataupun
sorbitol, manitol dan dekstrosa pada formulasi
sirup dan berbagai produk makanan dan minuman lainnya (1,2).
Berbagai teknologi pengembangan telah banyak dilakukan untuk menghasilkan produk yang
memiliki kualitas tinggi. Salah satu pengembang
an produk dari singkong sebagai eksipien dalam
bidang farmasi adalah dengan semakin banyaknya dilakukan modifikasi terhadap pati, mulai
dari modifikasi secara kimia, fisika ataupun secara enzimatis yang bertujuan untuk mendapatkan sifat fisikokimia yang lebih baik. Pada bidang
pangan pun telah berhasil dilakukan modifikasi
terhadap tepung singkong dengan cara fermentasi menggunakan bakteri asam laktat (Lactobacillus sp) yang umum dikenal sebagai tepung
MOCAF/MOCAL (3, 4, 5, 6).
Penggunaan MOCAF dalam bidang makanan
telah banyak digunakan dan memberikan hasil
yang memuaskan. Seperti penggunaannya dalam
industri roti, mie instan, dan produk makanan
lainnya sebagai bahan pengganti terigu yang
dapat memberikan dampak positif dalam menurunkan biaya produksi. Namun penggunaannya
dalam bidang farmasi khususnya sebagai eksi
pien dalam formulasi tablet belum dilakukan (4).
MOCAF (Modified Cassava Flour) adalah pro
duk tepung dari singkong (Manihot esculenta
Crantz) yang diproses menggunakan prinsip
modifikasi sel singkong secara fermentasi, terutama oleh mikroba bakteri asam laktat (4).
Pada proses fermentasi ini akan menghasilkan enzim pektinolitik dan sellulolitik yang dapat
menghancurkan dinding sel singkong sedemikian
rupa sehingga terjadi liberasi granula pati. Hal
ini akan menyebabkan perubahan karakteristik
dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, dan daya rehidrasi.
130
METODE PENELITIAN
Bahan
MOCAF, umbi singkong segar (Manihot esculenta Crantz) yang di ambil dari Gurun Panjang,
Kel. Gunung Sarik Kec. Kuranji Padang. MOCAF
diperoleh dari Koperasi Gemah Ripah Loh Jinawi
Kabupaten Trenggalek Jawa Timur., Media, Starter fermentasi (Lactobacillus sp), Starch 1500,
Aquadest.
Cara Kerja
Pembuatan pati asli (amylum manihot)
Lakukan sortasi pada singkong, kupas kulitnya, cuci dengan air mengalir dan rendam selama
2 jam. Singkong (2,5 kg) yang telah direndam kemudian dihaluskan, suspensikan dalam 10 kali
volume aquadest, stirrer selama 5 menit dan saring melalui 2 lapis kain katun tipis. Filtrat didiamkan selama 1 jam untuk mendapatkan sedimen pati. Endapan dicuci 1 kali dengan aquadest
dan dikeringkan pada 40C selama 12 jam dalam
oven. Pati dihaluskan dalam lumpang untuk
mencegah penggumpalan granul dan memperkecil ukuran partikelnya (3).
Pembuatan Pati Singkong Termodifikasi
a. Pembuatan Starter Fermentasi
Siapkan chips ketela sebanyak 50 g letakJurnal Farmasi Indonesia n Vol. 6 No. 3 n Januari 2013
131
Sifat Fisikokimia Mocaf dan Pati Singkong Termodifikasi untuk Formulasi Tablet
Tabel.1. Hasil pemeriksaan sifat fisika dan kimia partikel pati singkong, MOCAF, pati singkong
termodifikasi, dan Starch 1500
No
Parameter
Pati
Singkong
MOCAF
Pati Modifikasi 48
Pati Modifikasi 72
Starch
1500
1,4954
1,4733
1,5316
1,4857
1,5158
0,6451
0,5882
0,6896
0,7547
0,8000
2
4
5
6
7
8
9
10
11
132
Kompresibilitas (%)
Porositas (%)
Sudut Angkat ()
0,4651
1,3870
27,9026
35,7696
38,75
14,56
5,998
24,9285
59,17
0,4081
1,4413
30,6188
40,1751
31,05
8,91
7,909
17,3571
53,36
0,5000
1,3792
27,4942
32,6455
29,74
11,44
6,605
33,5714
60,91
0,5714
1,3207
24,2877
28,8483
29,12
13,08
6,657
26,1428
60,54
0,6451
1,2401
24,0117
23,4133
28,07
6,38
9,442
28,7857
58,47
a. Starch 1500
b. Pati Singkong
c. MOCAF
133
Sifat Fisikokimia Mocaf dan Pati Singkong Termodifikasi untuk Formulasi Tablet
a. Starch 1500
b. Pati Singkong
134
c. MOCAF
KurvaD
Kurva
50
48
46
44
42
40
38
36
34
32
30
28
26
24
22
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0,9
0,8
Pati 48
48 jam
Jam
Pati
Pati 72
72 jam
Jam
Pati
Pati singkong
Singkong
Pati
Starch
Starch 1500
1500
MOCAF
MOCAF
Jumlah
Uap
(%)
Jumlah
uap
airyang
yang diserap
diserap (%)
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Kelembaban Relatif
Kelembaban
relatif(%)
(%)
10 20 30 40 50
90 100 110
erm
KurvaDaya
DayaPenyerapan
Penyerapan Air
Kurva
Air
soterm
0,9
Pati 48 jam
Pati 72 jam
Pati singkong
Starch 1500
MOCAF
0,8
0,7
Ibuprofen
0,6
Pati singkong
0,5
Ibuprofen
MOCAF
Pati Singkong
MOCAF
Pati modifikasi 48
jam Modifikasi
Pati
Pati modifikasi 72
48
jam
jam
Pati
Modifikasi
Starch
1500
72 jam
Starch 1500
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0
100 110
Waktu (menit)
135
Sifat Fisikokimia Mocaf dan Pati Singkong Termodifikasi untuk Formulasi Tablet
DAFTAR PUSTAKA
1. Loftsson, T., Duchene, D. Cyclodextrins and their
136
jukkan adanya daerah terang (kristal) pada granula pati. Pada pati singkong termodifikasi 48
dan 72 jam terlihat banyaknya daerah terang
(kristal) yang menunjukkan bahwa dengan adanya fermentasi menggunakan bakteri asam laktat terdapat peningkatan jumlah daerah kristal
dibandingkan dengan pati singkong. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan amilosa dari
pati termodifikasi 48 dan 72 jam. Sementara
pada starch 1500 yang merupakan pati terpregelatinisasi sebagian terlihat sedikitnya granula
pati yang memiliki daerah terang (kristal) yang
disebabkan karena proses gelatinisasi, yang menyebabkan sebagian granula pati pecah sehingga
kehilangan daerah kristal (10, 15).
Hasil pemeriksaan adsorpsi isoterm MOCAF,
pati termodifikasi 48 dan 72 jam, pati singkong
dan starch 1500 menunjukkan adsorpsi isoterm
tipe II. Dimana pada kelembaban relatif antara
0-40% telah terjadi penyerapan monolayer. Pada
kelembaban relatif 40%-60% telah terjadi penyerapan multilayer, dan pada kelembaban relatif 60%-100% terjadi kondensasi kapiler. Artinya
bila semua pati ini akan diformulasi dalam bentuk
tablet maka harus disimpan dibawah kelembaban 60% untuk mencegah terjadinya kondensasi
kapiler yang akan menyebabkan tablet mengembang pada waktu penyimpanan (7).
2. Anwar, Effionora. Pemanfaatan maltodekstrin dari pati singkong sebagai bahan penyalut lapis tipis
tablet. Makara Sains. 2002.6.(1).
9. Swarbrick .J. Encyclopedia Of Pharmaceutical Technology. Volume 6. Third Edition. Informa Healthcare USA . New York. 2007.
ruh kandungan pati singkong terpregelatinasi terhadap karakteristik fisik tablet lepas terkontrol
21-26.
Air Beberapa Tepung yang Digunakan dalam Bidang Farmasi. Jurnal Penelitian dan Pengabdian
Jakarta. 1984.
137
Artikel Penelitian
ABSTRAK: Bunga kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) secara tradisional digunakan sebagai peluruh dahak. Berdasarkan atas Bioassay Guided Fractionation, fraksi aktif berhasil dipisahkan dan alkaloid merupakan kandungan utama fraksi. Oleh karena itu alkaloid digunakan sebagai
senyawa penanda (marker) ekstrak etanol Hibiscus rosa-sinensis L. Nilai
viskositas digunakan sebagai model untuk aktivitas peluruh dahak, dengan
asetil sistein sebagai kontrol positif. Selanjutnya penetapan kadar alkaloid
dalam ekstrak etanol dilakukan secara KLT-Densitometri (n=5), kadar alkaloid dibandingkan dengan kurva baku dari alkaloid (marker) hasil isolasi
(Y=12,1360X+2901,4474). Kadar alkaloid dalam ekstrak etanol kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) sebagai 2,35 0,67 %.
Kata kunci: alkaloid, ekstrak etanolik, kembang sepatu
Korespondensi:
Mimiek Murrukmihadi
Email : mimiekmurrukmihadi@ymail.com
138
PENDAHULUAN
Herbal merupakan obat alternatif yang telah
dimanfaatkan oleh nenek moyang. Salah satu
yang digunakan adalah bunga kembang sepatu
(Hibiscus rosa-sinensis L.), sebagai peluruh dahak (1). Untuk mendapatkan efek yang konsisten, ekstrak harus terstandar dan dapat menjadi referensi material bagi peningkatan produk
herbal Indonesia (2).
Murrukmihadi menyatakan bahwa didalam
ekstrak bunga kembang sepatu terdapat alkaloid dapat digunakan sebagai marker untuk standar produk bunga kembang sepatu (3). Senya
wa marker dapat sebagai senyawa aktif, pe
nanda analitik maupun penanda negatif. Bunga
kembang sepatu dilaporkan dapat digunakan
sebagai obat batuk (4), sehingga alkaloid dalam
kembang sepatu dapat digunakan sebagai marker/senyawa penanda.
Penetapan kadar suatu senyawa dapat dilakukan dengan mengukur kerapatan noda dari
senyawa yang bersangkutan dan telah dipisahkan dengan cara kromatografi lapis tipis deng
an menggunakan KLT-Densitometer. Penampakan noda menunjukkan hasil positif alkaloid
dengan munculnya noda berwarna jingga-kecoklatan pada lempeng KLT ketika ditampakkan denagn pereaksi Dragendorff. (5).
METODE PENELITIAN
Bahan
Bunga kembang sepatu dikoleksi dari Taman Graha Sabha Pramana, Universitas Gadjah
Mada, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta,
dan di-identifikasi di Bagian Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada
pada bulan September sampai dengan Oktober
tahun 2008. Bunga kembang sepatu dicuci dan
dikeringkan dengan oven yang temperaturnya
diatur antara 40-50 0C. Bunga kering diserbuk
dan disimpan di almari es (40C) sampai saat untuk diekstraksi.
Metode
1. Ekstraksi untuk Penetapan Kadar Alkaloid
Ekstraksi isolat untuk penetapan kadar dilakukan berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan (6).
2. Penentuan kadar alkaloid
Penentuan kadar alkaloid dilakukan secara
KLT-Densitometri yang meliputi 2 langkah se
bagai berikut:
a. Pembuatan kurva baku alkaloid
Pembuatan kurva baku alkaloid dilakukan
dengan cara 390 mg isolat kering dilarutkan
dalam metanol 1 mL (larutan stok), kemudian dibuat seri konsentrasi 24, 49, 98, 130,
dan 293 g/L, dengan volume penotolan
15 L. Cara pembuatannya yaitu, dari larutan stok diambil 751 L dilarutkan dalam
metanol sampai 1 mL, sehingga didapat
konsentrasi 293 g/L (dalam 15 L berisi
293x15=4395 g). Dari larutan ini diambil
500 L dilarutkan dalam metanol sampai 1
mL, kemudian diambil 667 g/L dilarut
kan dalam metanol sampai 1 mL, sehingga
didapat konsentrasi 130 g/L (dalam 15
L berisi 130x15=1950 g). Kemudian diambil 500 L dilarutkan dalam metanol
sampai 1 mL, didapat konsentrasi 98 g/
L (dalam 15 L berisi 98x15=1470g).
Dari larutan ini diambil 500 L dilarut
kan dalam metanol sampai 1 mL, didapat
konsentrasi 49 g/L (dalam 15 L berisi
49x15=735g). Terakhir diambil 500 L
dari larutan tersebut kemudian diencerkan
dengan metanol sampai 1 mL, sehingga didapat konsentrasi 24 g/L (dalam 15 L
berisi 24x15=360 g).
b. Penentuan alkaloid dalam ekstrak etanolik
Penentuan alkaloid dilakukan dengan cara
menimbang ekstrak etanol 3 g dilarutkan
dalam 1 mL metanol dan ditotolkan pada
pelat KLT sebanyak 5 kali replikasi deng
an volume masing-masing 10 L. Setelah
pengembangan pelat KLT, bercak yang diperoleh diukur dengan KLT-Densitometer
untuk mendapatkan AUC.
139
Tabel 1. Nilai Kadar Isolat vs AUC hasil densitometri untuk kurva baku ekstrak
No
24
360
98
1470
293
4395
2
4
5
49
130
12034,4
1950
24416,7
18605,2
57654,4
No
Kadar (mg/10L)
AUC
30
21725,7
3,45
30
12729,6
1,80
2
4
5
30
30
30
SD
Analisis Hasil
Data luas area yang didapatkan dari isolat dibuat persamaan regresi linier sebagai persamaan kurva baku. Persamaan garis kurva baku : Y =
a+bx, dengan Y = AUC, X = kadar isolat (g/15L).
Harga AUC sampel kemudian dimasukkan ke dalam persamaan garis kurva baku, maka didapatkan kadar dari masing-masing sampel (persen
kadar alkaloid dalam ekstrak).
140
9928,6
735
AUC
16560,2
15516,2
12156,1
Kadar (%)
2,50
2,31
1,70
2,35
0,67
Kenaikan konsentrasi atau kadar isolat tertentu sebanding dengan kenaikan nilai AUC pada
densitometer. Hal ini sesuai dengan apa yang didapat, semakin tinggi kadar isolat, semakin besar
AUC (Tabel 1). Setelah dilakukan perhitungan secara regresi linier, maka didapat persamaan garis
regresi linier sebagai kurva baku alkaloid yaitu Y
=12,1360 X + 2901,4474 dengan r = 0,9939. Linieritas merupakan salah satu parameter untuk
menilai kesahihan metode analisis dengan melihat nilai hubungan respon dari berbagai konsentrasi zat baku pada suatu kurva baku yang dilihat
sebagai nilai koefisien korelasi (r).
Penetapan kadar alkaloid dalam ekstrak etanol
Sampel ekstrak sebesar 3 g dilarutkan dalam metanol sampai 1 mL, sehingga didapatkan
konsentrasi 3 mg/L. Sebanyak 10 L ditotolkan
(n=5) pada plat silika gel F254 (Merck) tebal 0,25
mm sebanyak lima replikasi. Kemudian plat KLT
Jurnal Farmasi Indonesia n Vol. 6 No. 3 n Januari 2013
DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN
Bunga kembang sepatu memiliki kandungan
alkaloid yang dapat diisolasi dan dapat dijadikan
sebagai senyawa penanda. Kadar alkaloid dari
ekstrak etanolik bunga kembang sepatu adalah
2,35 0,67 %.
man.http://www.kimia.lipi.net/index.php?pilihan=
1. Anonim. Tanaman Obat Indonesia. Jilid I. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 1985.
nolik dan Fraksi Aktif Bunga Kembang Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) pada Mukus Usus Sapi secara
In Vitro. Laporan Penelitian Program Hibah Penelitian Berkualitas Prima Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta. 2009
Alkaloid Dalam Ekstrak Etanolik, Fraksi Tidak larut Etil Asetat dan Fraksi Hasil VLC Dalam Bunga
7. Anonim. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Departemen Kesehat
an Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Direktorat Pengawasan Obat
Tradisional. Jakarta. 2000: 3, 9-11.
141
Artikel Penelitian
Korespondensi:
Amelia Lorensia
Email : amelia.lorensia@gmail.com
142
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran pernafasan, yang menyebabkan episode
berulang dari wheezing, sesak, chest thightness,
dan batuk. WHO menyatakan sebesar 15 juta jiwa
mengalami disability-adjusted life years (DALYs)
per tahunnya disebabkan asma, mewakili 1%
dari total beban penyakit global (1). Pada terapi
asma, pasien dapat mengalami adverse drug reactions (ADRs), karena pasien asma memiliki risiko
lebih besar terhadap perkembangan asma, karena pasien asma dapat mengalami serangan asma
akibat penggunaan obat lain (2), atau mengalami
ADR akibat penggunaan jangka panjang dari pengobatan asma.
Laporan dari Pusat Pharmacovigilance Daerah di Rumah Sakit Universitas Inha, Korea Selatan, selama 4 bulan, menyatakan bahwa dari
228 pasien asma, terdapat 25 kasus ADRs yang
terjadi pada 19 pasien asma. ADRs yang biasanya
terjadi adalah glukokortikosteroid inhalasi yang
dikombinasikan dengan long-acting beta-2 agonist (LABA) (63.2%), theobromine (10.5%), LABA
oral (10.5%), doxofylline (5.3%), acetylcysteine
(5.3%), dan montelukast (5.3%). Keparahan dari
ADRs yang terjadi pada sebagian besar sampel
tergolong ringan (68.5%), dan tidak ada ADRs
parah yang terjadi. Frekuensi ADRs berbeda berdasarkan status kontrol asma pasien (3).
Dalam penanganan terapi pasien asma, farmasis berperan dalam pelaksanaan proses pharmaceutical care untuk meningkatkan terapi obat
yang komplek dan nilai signifikan dari obat yang
berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas akibat penggunaan obat (4), karena pharmaceutical
care dapat memberi dampak positif pada outcomes terapi asma (5,6,7,8,9).
Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan
penelitian ini adalah menganalisa kejadian adverse drug reactions (ADRs) pada terapi asma di
suatu rumah sakit di Surabaya, pada pengobatan
asma rawat inap dan rawat jalan, dengan menggunakan naranjo scale untuk mengetahui probabiliJurnal Farmasi Indonesia n Vol. 6 No. 3 n Januari 2013
TINJAUAN TEORI
Asma
The National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) mendifinisikan asma
sebagai gangguan inflamasi kronik dari saluran
pernafasan dimana banyak sel dan elemen
selular yang berperan. Pada individu dengan
asma, inflamasi menyebabkan episode berulang
dari wheezing, sesak, chest thightness, dan batuk
(1,10).
Eksaserbasi asma merupakan episode dari
peningkatan progresif pada sesak nafas, batuk,
wheezing, chest tightness, atau kombinasi. Terapi utama eksaserbasi meliputi pemberian
berulang bronkodilator inhalasi aksi cepat,
glukokortikosteroid sistemik, dan oksigen (1,
10). Pada asma kronis, pengobatannya dapat
diklasifikasikan sebagai reliever dan controller
(1). Pengobatan untuk asma kronis dibagi dalam
5 stage dengan kombinasi reliever dan controller
sesuai dengan Tabel 1.
Adverse Drug Reactions (ADRs)
WHO mendefinisikan adverse drug reactions
(ADRs) adalah respon terhadap suatu obat yang
berbahaya dan tidak diharapkan serta terjadi
pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia
untuk tujuan profilaksis, diagnosis, maupun
terapi (11). ADRs dibagi menjadi 2 yaitu: (1)
Reaksi tipe A (augmented), yaitu reaksi yang
dapat diperkirakan sebelumnya dan bergantung
pada dosis obat; dan (2) Reaksi tipe B (bizzare),
reaksi yang terjadi tidak berhubungan dengan
respon farmakologi, seringkali terjadi karena
faktor imunologi dan farmakogenetik. Reaksi tipe
143
Step 1
Step 2
Step 3
Step 4
Step 5
Asthma education
Environmental control
Select one
Controller
options
Select one
Medium-or high-dose
ICS plus long-acting
2-agonist
Medium-or
high-dose ICS
Leukotriene
modifer
Sustained release
theophyline
Perhitungan
Pertanyaan
Ya
Tidak
N/A
4. Apakah ADRs makin parah jika dosis dinaikkan/ membaik jika dosis diturunkan?
5. Apakah ada penyebab ADRs tersebut selain karena obat?
6. Apakah ADRs tersebut muncul saat diberikan placebo?
9. Apakah pasien pernah mengalami ADRs sejenis saat menggunakan obat/ golongan
10. Apakah ADRs tersebut didukung dengan bukti yang meyakinkan?
144
0
0
-1 2 0
1
-1
-1 1 0
obat tertentu?
-1
Keterangan :
N/A
: not available (tidak dapat diterapkan pada situasi tsb/tidak diketahui)
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Metode penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu
crossectional non experimental untuk data pasien
rawat jalan dan secara retrospektif untuk data
pasien rawat inap di rumah sakit.
n=
()
(1)
dimana:
n = jumlah sampel minimal yang diperlukan
d = limit dari error atau presisi absolut (25%)
Z1-2 = nilai Z tabel 1,96 (tingkat kepercayaan 95%)
p = proporsi pasien asma (p=0,5)
145
Tabel 3. Data Demografi dan Karakteristik dari Sampel Penelitian Pada Pasien Asma Rawat Inap dan
Asma Rawat Jalan
Variabel
Asma Rawat Inap
(n=60)
Jenis Kelamin
-
Laki-laki
22
- Perempuan
38
Usia (tahun)
-
Usia terkecil
20
-
Usia tertua
82
-
Rata-rata
Lama menderita asma (tahun)
-
< 1
2
- 2 - 5
3
- 6 - 10
6
- 11 - 20
10
-
> 20
4
-
Tidak diketahui
34
Lama dirawat di rumah sakit (hari)
-
< 5
35
- 6 - 10
23
-
> 10
2
Penyakit penyerta yang didapat
- Bronkitis kronis
6 dari 60
- Sinusitis
1 dari 60
- Diabetes melitus tipe 2
9 dari 60
-
CVD (cardiovascular disease)
11 dari 60
- Infeksi saluran pernapasan atas
7 dari 60
- Infeksi lain
10 dari 60
- Gastritis
8 dari 60
- Gangguan fungsi hati
2 dari 60
- Gangguan fungsi saraf
3 dari 60
Stage pengobatan asma kronis
(Global Initiative for Asthma, 2011)
-
Stage 1
-
Stage 2
-
Stage 3
-
Tidak diketahui
146
15
2
3
2
Tabel 4. Kejadian ADRs Pada Pasien Asma Rawat Inap dan Asma Rawat Jalan
Jenis DRPs
Total
TOTAL
39
Tabel 5. Kelompok Obat yang Terlibat dalam ADRs yang dialami Pasien Asma Rawat Inap dan Rawat Jalan
Golongan
Obat yang terlibat
dalam ADRs
Xanthin
1
2
1
4
1
B2 Agonis
2
7
3
1
1
1
3
1
Kortikosteroid
B2 Agonis +
Antikolinergik
Antikolinergik
Penghambat
Renin Opioid
Adrenalin
Diuretik
Antibiotik
1
2
1
1
1
1
TOTAL
9
2
1
1
147
148
DAFTAR PUSTAKA
3. Kim CW, Cho JH, Jung EH, Lee HK. Adverse Drug Re-
actions to Anti-Asthmatics In Patients with Bronchial Asthma. a Meeting of The World Allergy Organization: A World Federal of Allergy, Asthma, &
Clinical Immunology Societies; 2011.
Practice for Pharmaceutical Care. AphA Pharmaceutical Care Guidelines Advisory Commitee; 2005.
9. Farris KB, Fernandez-Llimos F, Benrimoj SI. Pharmaceutical care in community pharmacies: Prac-
149
19. Ralph E. Howell, William T. Muehsam and William J. Kinnier. Mechanism for the emetic side
21. Anderson P. Handbook Of Clinical Drug Data. Mcgraw-Hill Companies 2002; 10.
239245.
1997. p. 55.
150
Artikel Penelitian
Korespondensi:
Dachriyanus
Email : dachriyanus@hotmail.com
Jurnal Farmasi Indonesia n Vol. 6 No. 3 n Januari 2013
151
PENDAHULUAN
Pada saat ini kita kembali kepada pengobatan
alternatif yaitu dengan menggunakan tanaman
obat yang sudah banyak diketahui khasiatnya.
Tanaman ini biasanya digunakan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit (1). Kecenderung
an minat penggunaan obat tradisional kini makin
meningkat, karena bentuk sediaan yang didukung oleh kemajuan teknologi saat ini, disamping
itu harganya dapat dijangkau dan keamanannya
juga dapat terjamin (2). Gynura sp termasuk ke
dalam golongan famili Asteraceae, sering digunakan oleh masyarakat untuk pengobatan alternatif. Tanaman ini banyak tumbuh di pekarangan
rumah dan juga tumbuh di beberapa kawasan hutan di Indonesia. Kandungan kimia dari tanaman
ini adalah benzoquinon (Quinoid), carryophyllen
oksida (seskuiterpen), diosgenin (sapogenin),
stigmasterol (steroid), adenin (alkaloid), quercetin (flavonoid) (3).
Salah satu spesies tanaman yang banyak digunakan untuk obat adalah Gynura pseudochina
(L.) DC), yang dikenal dengan nama daerah mahakaan
Umbi dari tanaman ini digunakan untuk
menghentikan perdarahan (luka teriris, batuk darah, muntah darah, mimisan, perdarahan sehabis
melahirkan, luka bakar), demam, membersihkan
racun, tulang patah (fraktur) (4).
Sebagai obat luka umbi mahakaan (Gynura
pseudochina (L.) DC), masih banyak digunakan,
disamping itu belum ada suatu penelitian yang
melaporkan bahwa tanaman ini berkhasiat untuk
menghentikan perdarahan, pembekuan darah
dan meningkatkan jumlah trombosit.
Ekstrak etanol dari umbi tanaman ini di uji
terhadap proses hemostasis dan pembekuan darah, vitamin K digunakan sebagai pembanding
pada penelitian ini. Vitamin K memiliki peranan
dalam proses hemostasis dan pembekuan darah
terhadap faktor II (protrombin), faktor VII (prokonvertin), faktor IX (Christmas) dan faktor X
(Stuart-Prower), bekerja sebagai koenzim pada
gama karboksilasi rantai samping asam glutamat.
152
Hasil karboksilasi akan mempermudah pengikatan ion kalsium yang diperlukan untuk membentuk kompleks dengan fosfolipid (5).
Waktu perdarahan menggunakan metoda pemotongan ekor yang dimodifikasi (6), waktu pembekuan darah menggunakan metoda Slide Hepler (1962), dan penghitungan jumlah trambosit
menggunakan alat hemositometer (7).
METODOLOGI PENELITIAN
Alat, bahan dan hewan
Alat yang digunakan pada penelitian ini ada
lah : perkolator, alat destilasi, rotary evaporator,
lumpang dan alu, tabung reaksi, plat tetes, pipet
tetes, krus, oven kaca arloji, timbangan analitik,
gelas ukur, jarum oral, timbangan hewan, gun
ting, kertas saring, stopwatch, gelas objek, cover
glass, hemositometer dan mikroskop. Bahan yang
digunakan adalah ekstrak etanol umbi mahakaan,
hewan percobaan mencit putih betina galur DDY
Japan berumur 8-12 minggu dengan bobot badan
20-30 gram.
Sebelum digunakan hewan di aklimatisasi selama seminggu dan mencit putih yang digunakan
adalah mencit sehat, tidak mengalami perubahan berat badan yang berarti (deviasi maksimal
10%) dan secara visual menunjukkan perilaku
yang normal (8). Bahan kimia lain yang digunakan adalah etanol 96%, air suling, kloroform,
kloform ammonia, asam sulfat pekat, asam sulfat
2 N, reagen Meyer, larutan besi (III) klorida pekat,
serbuk Mg, Na CMC, larutan asam oksalat 1% dan
vitamin K (Kimia Farma).
Metoda Penelitian
Bahan uji ekstrak etanol umbi mahakaan
(Gynura pseudochina (L.) DC), larutan Na CMC 1%,
sebagai kontrol dan vitamin K diberikan secara
peroral kepada hewan percobaan dengan volume
pemberian obat 1% dari berat badan selama 21
hari. Pengamatan dilakukan pada hari ke 1, 7, 14,
dan 21, dan 60 menit setelah pemberian sediaan
dilakukan penentuan waktu perdarahan, pembekuan dan perhitungan jumlah sel trombosit.
Jurnal Farmasi Indonesia n Vol. 6 No. 3 n Januari 2013
Tabel 1. Persentase Efektivitas Waktu Perdarahan Ekstrak Etanol Umbi Mahakaan Gynura
pseudochina (L.) DC.) dan Vitamin K terhadap Kontrol.
Perlakuan
1 7 14 21
38,58 65,65 73,94 77,69
52,44 74,21 81,88 85,00
1. dosis 30 mg/kg BB
2. dosis 100 mg/kg BB
3. dosis 300 mg/kg BB
4. dosis 0,026 mg/kg BB
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
Gambar 1. Diagram batang dalam bentuk persentase efek waktu pedarahan setelah pemberian ekstrak
etanol umbi mahakaan (Gynura pseudochina (L.) DC.) dengan 3 variasi dosis yang di bandingkan
dengan pemberian vitamin K dosis 0,026 mg/ 20 gr BB
Penentuan waktu pendarahan
Penentuan waktu perdarahan dilakukan dengan menggunakan metoda pemotongan ekor
yang di-modifikasi (6). Caranya adalah ujung
ekor mencit yang telah dibersihkan dengan
etanol 96%, dipotong sepanjang 5 mm dengan
gunting yang telah dibersihkan. Pengamatan
waktu perdarahan dilakukan mulai dari awal
pemotongan ekor sampai dengan terbentuknya
bekuan darah pada ujung ekor mencit tersebut.
dan bersih, saat awal penetesan stopwatch dijalankan. Tiap-tiap detik gerakan ujung jarum
melalui tetes pertama sampai terlihat adanya
benang fibrin. Segera setelah terlihat benang
fibrin pada tetes pertama, gerakan ujung jarum
pada tetes ke dua dan seterusnya sampai dilanjutkan pada tetes ketiga. Waktu terbentuknya
benang fibrin pada tetes kedua dan ketiga diratakan dan dicatat sebagai waktu pembekuan
darah.
153
Tabel 2. Persentase efektivitas waktu perdarahan ekstrak etanol umbi mahakaan (Gynura
pseudochina (L.) DC.) dan vitamin K terhadap kontrol
Perlakuan
Zat Uji dan Dosis
1 7 14 21
45,04 77,92 84,76 88,82
65,32 83,18 86,68 89,13
1. dosis 30 mg/kg BB
2. dosis 100 mg/kg BB
3. dosis 300 mg/kg BB
4. dosis 0,026 mg/kg BB
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
Gambar 2 . Diagram batang efek dalam bentuk persentase terhadap waktu pembekuan darah setelah
pemberian ekstrak etanol umbi mahakaan (Gynura pseudochina (L.) DC.) dengan 3 variasi
dosis yang di bandingkan dengan pemberian vitamin K dosis 0,026 mg/ 20 gr BB.
154
Tabel 3. Persentase kenaikan jumlah sel trombosit ekstrak etanol umbi mahakaan (Gynura
pseudochina (L.) DC.) dan vitamin K terhadap kontrol
Perlakuan
Zat Uji dan Dosis
1 7 14 21
- 0,36 - 0,36
0,35 0,59 0,59 0,71
1,53 1,42 1,42 2,01
0,12
0,24 0 0,12
1. dosis 30 mg/kg BB
2. dosis 100 mg/kg BB
3. dosis 300 mg/kg BB
4. dosis 0,026 mg/kg BB
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
Gambar 3 . Diagram batang efek dalam bentuk persentase dari jumlah sel trombosit darah setelah
pemberian ekstrak etanol umbi mahakaan (Gynura pseudochina (L.) DC.) dengan 3 variasi
dosis yang di bandingkan dengan pemberian vitamin K pada dosis 0,026 mg/ 20 gr BB.
Tiga sampai empat tetes pertama cairan yang
terdapat dalam pipet dibuang dan segera sentuhkan ujung pipet pada permukaan kamar
hitung dengan menyinggung pinggir kaca
penutup. Dibiarkan kamar hitung terisi cairan
secara perlahan sampai penuh.
Kamar hitung yang telah terisi cairan, diinkubasi selama 10-15 menit dalam cawan petri yang diberi kapas basah kemudian ditutup.
Kamar hitung diletakan pada mikroskop, perbesaran yang digunakan adalah 10 x untuk me
lihat kamar hitung, dan 40 x untuk menghitung
155
156
DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan,
diperoleh kesimpulan bahwa:
Swadaya; 2004.
5. Kresno SB. Pengantar Hematologi dan Imunohematologi. Jakarta: Gaya baru, 1988.
12. Anonimous. Betulkah Jus Jambu Biji Mengatasi Demam berdarah?. Kompas 2004; 6 Agustus 2005.
15. Prihantin
(Gynura pseudochina (L.) Merr), terhadap Bleeding time dan Clotting Time pada Tikus Putih Wistar
Jantan. Universitas Jember; 2008.
157
17.
Satriawan AH. Pengaruh Eksrak Daun Dewa
lation and Fibrinolysis in Mice Lacking HistidinRich Glycoprotein (HRG). Journal of Thrombosis
and Haemostasis; 2005.
158
Artikel Penelitian
Korespondensi:
Meri Susanti
Email : meri_susanti008@yahoo.com
Jurnal Farmasi Indonesia n Vol. 6 No. 3 n Januari 2013
159
PENDAHULUAN
Garcinia adalah salah satu tumbuhan obat
yang termasuk ke dalam famili Guttiferae. Kelompok tumbuhan ini telah banyak digunakan
dan diperdagangkan oleh masyarakat Asia seba
gai obat tradisional untuk bermacam-macam
penyakit seperti diare, infeksi kulit, luka dan sebagai antiseptik (1). Penelitian terhadap genus
ini telah berhasil mengisolasi beberapa senyawa
kimia yang terbukti memiliki aktifitas farmako
logi. Salah satunya adalah senyawa rubraxanton.
Rubraxanton (1,3,6 trihydroksi 8 geranyl 7 methoxy xanton) telah berhasil diisolasi dari beberapa spesies Garcinia diantaranya
G. Dioica, (2) G. parvifolia (3) G. cowa (4, 5) G.
mangostana (6) dan G. griffithii. Aktivitas farmakologi yang menarik dari senyawa ini terkait
dengan daya an-ti bakterinya, dimana rubraxanton telah terbukti mampu menghambat dengan
baik pertumbuhan Staphylococcus aureus (2),
Trichophyton mentagrophytes, dan Microsporum
gypseum (3), Staphylococcus epidermidis, Micrococcus luteus, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli (7), dan Helicobacter pylori (6). Selain
itu rubraxanton juga telah dilaporkan sebagai
antitumor dan aktif sebagai antioksidant dan
antikolesterolemia (7).
Berdasarkan survey yang dilakukan terhadap
genus Garcinia di daerah Sumatera Barat diketahui bahwa terdapat sekurangnya sembilan
spesies Garcinia yang tersebar di beberapa tempat yang telah dimanfaatkan masyarakat secara
tradisional (personal information). Penelitian ini
dimaksudkan untuk menganalisis kadar rubra
xanton yang potensial dalam terapi beberapa
penyakit di dalam ekstrak kulit batang Garcinia
spp yang ditemui di daerah Sumatra Barat. Sehingga dengan hasil penelitian ini dapat diketahui spesies mana yang mengandung rubraxanthon terbanyak untuk dijadikan sumber bahan
baku untuk kepentingan pengobatan nantinya.
Penetapan kadar rubraxanton dilakukan de
ngan metoda Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.
Untuk hasil yang baik terhadap metoda yang
160
METODE PENELITIAN
Alat
Timbangan analitik Libror AEG 80 SM Shimadzu, seperangkat alat destilasi, rotary evaporator, KCKT merk Shimadzu, detektor UV-Vis
SPD 10AVP, pompa ganda/gradient, rekorder
Shimadzu CLASS - VP V6.14 SP2, kolom Shim
pack VP-ODS 250 x 4,6mm, timbangan analitik
Libror AEG 80 SM Shimadzu, oven Memmert,
desikator, labu ukur berbagai ukuran, gelas ukur,
pipet takar, cawan, krus, pipet tetes, kulkas, penyaring milipore, penyaring vakum, vial-vial kecil, botol kaca, corong, dan gelas ukur.
Bahan
Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah kulit batang tumbuhan G. mangostana, G. dioica, G. cowa, G. forbesii, dan G.
griffitii yang diambil di Sarasah Bonta Kotamadya Payakumbuh Sumatera Barat, pelarut metanol, aquabidest (Otsuka), metanol p.a (Merck),
rubraxanton, mangostin
Prosedur Kerja
1. Pembuatan Ekstrak Kulit batang tumbuhan Garcinia spp dikering anginkan ditempat teduh. Kemudian dirajang dan dijadikan
serbuk, sehingga diperoleh serbuk kering.
Serbuk kering kulit batang seberat 250g dimaserasi dengan metanol ditempat yang
terlindung dari cahaya langsung selama 5
hari. Setelah 5 hari hasil maserasi disaring
dan ampas dilakukan lagi maserasi dengan
pelarut yang sama selama 3 hari. Pengerjaan
Jurnal Farmasi Indonesia n Vol. 6 No. 3 n Januari 2013
2. Penetapan Rubraxanton dalam Ekstrak Beberapa Spesies Garcinia spp secara HPLC
Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Garcinia spp
(500ppm)
Ekstrak kulit batang (G. dioica, G. cowa, G. forbesii, G. griffitii dan G. mangostana) sejumlah
kurang lebih 50mg ekstrak dilarutkan dengan
metanol sampai volume 100ml. Larutan disa
ring dengan penyaring milipore 0,45 m. Larutan
diinjeksikan ke dalam system kromatografi dengan fasa diam (oktadesilsilane C - 18), fasa gerak
metanol air system gradient polarity dengan kenaikan metanol 2% tiap menit, kecepatan aliran
1ml/menit, detektor UV pada:
Uji Spesifisitas
Linieritas dilakukan analisa seri larutan standar rubraxanton (lima seri kosentrasi) dan di
njeksikan pada alat KCKT dengan menggunakan
loop 20ul. Kurva kalibrasi dibuat dengan memplot luas area yang didapat dari analisa terhadap
kosentrasi standar. Linieritas ditentukan oleh
harga r (koefisien korelasi).
Jurnal Farmasi Indonesia n Vol. 6 No. 3 n Januari 2013
Presisi
Presisi yang dilakukan mencakup presisi
sistem dan presisi metoda. Presisi sistem dilakukan dengan menginjeksikan larutan standar de
ngan kosentrasi tertentu sebanyak enam kali pe
ngulangan yang dilakukan setiap hari pengerjaan.
Pengukuran variabel intra dan inter-day dibutuhkan untuk penentuan presisi metoda. Tiga
variasi kosentrasi larutan standar rubraxanton
di injeksikan ke dalam sistem KCKT. Kosentrasi
standar rubraxanton dari eksperimen dihitung
dengan persamaan garis lurus yang didapat dari
kurva kalibrasi. Relatif Standar Deviasi (RSD) digunakan sebagai nilai presisi. Presisi intra dan inter-day didapat dengan melakukan analisa secara
triplet dalam sehari yang dilakukan selama 3 hari
dengan kondisi KCKT yang sama.
Akurasi
Akurasi metoda ditentukan oleh pengujian recovery menggunakan metoda standar addisi. Tiga
variasi kosentrasi larutan standar rubraxanton
disiapkan dan ditambahkan kedalam larutan uji
ekstrak Garcinia spp. Larutan diinjeksikan de
ngan tiga kali pengulangan ke dalam sistem KCKT
untuk tiap-tiap kosentrasi selama tiga hari.
Sensistifitas
Sensitifitas ditentukan dari perhitungan nilai
LOD dan LOQ.
161
162
3. Akurasi
Untuk menilai ketepatan suatu metoda parameter penting lainnya adalah akurasi dan recovery dari baku yang ditambahkan ke dalam
sampel uji tersebut. Prosentase recovery yang
didapat merupakan penilaian ketepatan metoda
yang dipakai. Pada penelitian ini akurasi metoda
ditetapkan dengan metoda standar addisi. Metoda ini dipilih karena sampel yang diuji berupa
ekstrak sehingga komponen pembawanya sangat
kompleks dan tidak dapat diketahui secara pasti sehingga tidak memungkinkan untuk menggunakan metoda sampel plasebo. Dari Tabel 1
terlihat bahwa prosentase standar rubraxanton
yang diperoleh kembali dalam ekstrak dengan
rentang 96,32% sampai 106,30% dengan Stan-
4. Presisi
Presisi yang dilakukan meliputi presisi sistem
yang dilakukan selalu setiap saat akan melakukan KCKT. Uji ini dilakukan dengan penyuntikan
berulang larutan standar yang diketahui konsentrasinya sebanyak 6 kali penyuntikan untuk
menunjukkan kinerja alat pada kondisi dan hari
pengujian dengan batas presisi RSD 2%. Harga
Relatif Standar Deviasi (RSD) dari 6 kali penyuntikan larutan standar adalah 1,354%, hal ini ber-
Tabel 1. Akurasi dan Recovery standar rubraxanton yang ditambahkan dalam pengujian Rubraxanton
secara KCKT selama 3 hari.
Kosentrasi standar yang
Recovery (%)
ditambahkan (g/ml)
Hari 1
Hari 2
Hari 3
102,828
2,866
97,040
4,292
96,061
2,936
101,348
5,582
94,987
6,196
95,905
0,407
99,062
0,928
97,315
0,795
96,341
2,921
5,5
11
16,5
Mean (%)
101,080
1,897
97,315
1,452
96,102
0,221
RSD (%)
1,699
1,808
1,919
Tabel 2. Hasil Uji Presisi intra day Metoda Penetapan Kadar Rubraxanton dalam Ekstrak Garcinia mangostana
No
Berat Sampel
Tertimbang (mg)
1.
50,0
Kadar larutan
(g/ml)
459,264
2.
50,1
460,182
3.
50,0
459,264
4.
50,0
459,264
5.
50,2
461,101
6.
50,1
460,182
Luas Puncak
Rata-rata
Perlakuan 1&2
6336749
Kadar
rubraxanthon (%)
6356879 9,168
6377009
6345054
6322757 9,101
6308765
6198765
6194309 8,938
6189852
6240029
6279892 9,059
6319754
6411018
6401222 9,193
6391425
6389765
6366666 9,163
6343567
Rata2
9,104 0,095
RSD
1,044 %
163
arti metoda ini telah memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia edisi IV yaitu kecil atau sama
dengan 2%.
Presisi metoda dilakukan dengan replikasi
atau keberulangan sampel ekstrak Garcinia spp
yang diuji dengan cara yang sama sebanyak 6
kali pengulangan. Dalam pengujian ini digunakan
ekstrak G. mangostana. Dari Tabel 2 terlihat jelas presisi metoda pengujian rubraxanton dalam
ekstrak G. mangostana ini memenuhi persyaratan
yang berlaku yaitu RSD 2%. Sehingga metoda
ini dapat digunakan untuk maksud penetapan kadar rubraxanton di dalam ekstrak.
Presisi inter-day (ruggedness) dilakukan de
ngan replikasi atau keberulangan sampel ekstrak Garcinia mangostana yang diuji dengan cara
yang sama yang dibuat sebanyak 3 seri kosentrasi dimana tiap-tiapnya dibuat 3 kali pengulangan
yang dilakukan pada hari yang berbeda. Dari hasil pengujian terlihat bahwa harga RSD untuk hari
yang berbeda adalah 0,720%.
Dari hasil pengujian secara KCKT terhadap
ekstrak beberapa spesies Garcinia spp ini diketahui bahwa masing-masing ekstrak uji mengandung senyawa rubraxanton dengan kandungan
dalam masing-masing ekstrak adalah G. mangostana = 9,161%, G. cowa = 6,942%, G. dioica
= 6,762%, G. forbesii = 0,499% dan G. griffitii
0,229%. Dari data ini terlihat bahwa kadar rubraxanton dalam ekstrak G. mangostana, G. cowa
dan G. dioica >1% (Gambar 3), sehingga dapat
DAFTAR PUSTAKA
1. Cannel RJP. Natural Product Isolation. Tokowa
New Jersey: Human Press Inc 1998: 170-175
164
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat
diambil kesimpulan bahwa metoda Kromatorafi
Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dengan kolom fase
terbalik C-18 fase gerak metanol air dengan system gradient polarity yang dimulai dengan metanol 20 % sampai metanol 100% dengan kenaikan
metanol 2%/menit, kecepatan aliran 1ml/menit,
detektor UV pada panjang gelombang 243nm
merupakan metoda yang tervalidasi meliputi presisi, akurasi dan recovery, linieritas, LOD dan LOQ,
spesifisitas memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Kadar rubraxanton dalam ekstrak Garcinia
spp yang diperoleh dengan metoda KCKT adalah
G. Manostana 9,161%, G, cowa 6,942%, G. dioica
6,762%, G. forbesii 0,499% dan G. griffiti 0,229%
dimana ekstrak dengan kadar rubraxanton tertinggi adalah pada ekstrak G. mangostana.
1988; 14: 6771.
Chemical Xanthon from Garcinia mangostana. Journal of Science and Technology 1983; 5: 337 339.
6. Dachriyanus, Dianita R, Jubahar J. Uji Aktivitas Antimikroba dan Antioksidan Senyawa Hasil Isolasi dari
Kulit Batang Tumbuhan Garcinia cowa Roxb. Jurnal
Jurnal Farmasi Indonesia n Vol. 6 No. 3 n Januari 2013
9. Departemen Republik Indonesia. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Indonesia, 2000.
10. Adamovics JA. Chromatographic anaysis of Pharmaceuticals. New York: Marcell Dekker, 1990.
165
Artikel Penelitian
Korespondensi:
Shirly Kumala
Email : fskumala@yahoo.com
166
PENDAHULUAN
Alga merah adalah salah satu jenis rumput laut
yang banyak digunakan sebagai bakto agar. Bakto
agar adalah agar yang telah dimurnikan dengan
mereduksi kandungan pigmen-pigmen pengotor,
kandungan garam (NaCl), dan kandungan bahanbahan asing (organik dan anorganik) serendah
mungkin, sehingga dapat mendukung pertumbuhan mikroba secara umum (1). Bakto agar memiliki kualitas tertentu sehingga dapat digunakan
dalam bidang mikrobiologi dan bioteknologi.
Beberapa persyaratan standar untuk bakto agar
adalah kekuatan gel (gel strength) minimal 400
g/cm2, kadar air 15%, kadar abu 4,5%, abu tak
larut asam 1%, dan pH 7-7,5 (2).
Reguler
Standar
Premium
< 15,0
< 12,0
< 9,0
< 1,0
< 1,0
< 1,0
< 4,5
400,0 - 500,0
7,0 -7,5
< 4,0
500,0 - 650,0
6,8 7,0
< 1,0
> 650,0
6,8 7,0
167
168
Pengeringan
(drying)
Perlakuan asam
(Acid treatment)
Bakto agar
(Bacto agar)
Kadar air
Pengujian kadar air dilakukan untuk mengetahui kandungan air dalam bakto agar yang dihasilkan. Kadar air yang didapat adalah 10,2575%
untuk sampel Bekasi dan 11,3730% untuk sampel Subang. Kadar air pada kedua sampel tidak
terlalu berbeda karena proses pengeringan bakto
agar untuk kedua sampel adalah sama, yaitu de
ngan menggunakan oven pada suhu 50C selama
24 jam. Apabila dibandingkan dengan bakto agar
komersial, maka kadar air bakto agar dari kedua
sampel telah memenuhi standar spesifikasi bakto
agar komersial dengan grade standar.
Kadar abu
Tujuan utama dari analisis kadar abu adalah
untuk mengetahui secara umum kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan. Nilai
kadar abu pada bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam
bahan pangan tersebut. Elemen mineral yang
paling banyak terdapat pada alga adalah kalium,
kalsium, fosfor, zat besi, dan iodium. Mineral diperlukan oleh mikroorganisme untuk tumbuh
namun dalam jumlah yang sedikit (2).
Pengujian kadar abu dilakukan berdasarkan
prosedur yang tertera pada SNI 01-4105-1996
(6). Kadar abu yang dihasilkan adalah 3,86%
untuk sampel Bekasi dan 4,93% untuk sampel
Subang. Nilai kadar abu dari sampel Subang masih berada diatas standar supreme marine chemical, yaitu kadar abu maksimal 4%. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh proses pencucian sampel alga
yang kurang sempurna. Sampel alga yang berasal
dari budidaya hidup pada habitat lumpur sehingga menyebabkan adanya pengotor yang melekat
pada alga, seperti lumpur, kerang, dan lain-lain.
Jika alga tidak dicuci hingga benar-benar bersih,
maka pengotor yang masih ada pada alga tersebut akan ikut menjadi abu dan terukur sebagai
kadar abu dari agar. Untuk menghilangkan kotoran yang ada pada alga, diperlukan pengadukan
terus-menerus selama pencucian dan dilakukan
berulang-ulang dengan air bersih.
Jika dibandingkan dengan kadar abu dari sampel alga itu sendiri, yaitu 32,86% untuk sampel
Bekasi dan 36,98% untuk sampel Subang, kadar
abu dari bakto agar yang dihasilkan mengalami
penurunan. Hal ini dapat terjadi karena adanya
pemurnian dengan khitosan yang akan menyerap
komponen pengotor pada agar.
Kadar abu bakto agar tidak boleh lebih besar
dari standar, karena nilai kadar abu yang berlebihan dapat menghambat bakteri yang ditumbuhkan pada media tersebut (2).
Kadar abu tak larut asam
Kadar abu tak larut asam adalah salah satu
kriteria untuk menentukan tingkat kebersihan
pada proses pengolahan yang dicerminkan adanya kontaminasi logam berat yang tidak larut
asam dalam suatu produk (2). Kadar abu tak larut
asam pada bakto agar yang dihasilkan adalah
0,38% untuk sampel Bekasi dan 0,76% untuk
sampel Subang. Hasil ini telah memenuhi standar
supreme marine chemical dengan grade standar
yaitu kurang dari 1%. Rendahnya kadar abu tak
169
Sampel
Bekasi
Subang
10,1
11,5
3,9
4,9
10,3
0,76
600,8205
688,6481
larut asam pada penelitian ini menunjukkan rendahnya kontaminasi logam berat pada bakto agar
yang dihasilkan.
Nilai pH
Nilai pH merupakan nilai yang menunjukkan
derajat keasaman suatu bahan. pH atau derajat
keasaman juga merupakan faktor yang mempe
ngaruhi pertumbuhan bakteri pada media. Nilai
pH bakto agar yang diperoleh adalah 7,31 untuk
sampel Bekasi dan 7,50 untuk sampel Subang.
Nilai pH yang berbeda dipengaruhi oleh kadar
3,6-anhidrogalaktosa pada bakto agar yang tercermin dari kekuatan gel bakto agar. Bila kadar
3,6-anhidrogalaktosa semakin rendah, maka nilai
pH juga semakin rendah (2).
Kekuatan gel
Kekuatan gel merupakan suatu beban maksimum yang dibutuhkan untuk memecah matrik
polimer pada daerah yang dibebani. Kekuatan gel
yang tinggi merupakan salah satu kriteria penting
sehubungan dengan penggunaan agar dalam bidang bioteknologi. Pengujian kekuatan gel dilakukan berdasarkan metode yang tertera pada SNI
01.2802.1995 (7). Kekuatan gel bakto agar yang
dihasilkan pada penelitian ini adalah 600,8205
602,8166 g/cm2 untuk sampel Bekasi dan telah
memenuhi standar bakto agar komersial dengan
grade standar, serta 688,6481698,6285 g/cm2
untuk sampel Subang dan masuk dalam grade
premium.
Karakteristik pembentukan gel agar disebab-
170
11,3
0,38
7,31
Standar
7,50
Reguler
Standar
Premium
< 15,0
<12,0
< 9,0
< 1,0
< 1,0
< 1,0
< 4,5
7,0-7,5
400,0 - 500,0
< 4,0
6,8-7,5
500,0 650,0
< 1,0
6,8-7,5
> 650,0
kan oleh tiga buah atom H pada residu 3,6 anhidro L-galaktosa yang memaksa molekul-molekul untuk membentuk struktur heliks. Interaksi
antar struktur heliks menyebabkan terbentuknya
gel.
Pergantian senyawa 3,6 anhidro L-galaktosa
oleh senyawa L-galaktosa sulfat menyebabkan
kekacauan dalam strukturheliks dan dalam keadaan seperti ini, kekuatan gel menjadi menurun.
Adanya 3,6 anhidrogalaktosa akan menyebabkan
sifat anhidrofilik dan meningkatkan pembentukan heliks rangkap sehingga terbentuk gel yang
kuat (2). Hasil analisis mutu bakto agar dapat
dilihat pada Tabel 2.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa bakto agar yang dihasilkan dari alga
Jurnal Farmasi Indonesia n Vol. 6 No. 3 n Januari 2013
DAFTAR PUSTAKA
1. Murdinah, Apriani, Siti Nurbaity K., Nurhayati,
Subaryono. Pengolahan Agar dari Gracilaria sp. Jakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan
dan Perikanan; 2011:1-21.
171
Artikel Penelitian
Fakultas Farmasi
Universitas Surabaya
Korespondensi:
Alasen Sembiring Milala
Email : alasen2004@yahoo.com
172
PENDAHULUAN
Suppositoria merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi yang mempunyai beberapa keunggulan, yaitu bahan aktif tidak mengalami hepatic
first pass effect, dapat memberikan efek lokal dan
sistemik, dapat digunakan untuk pasien yang tidak sadar dan tidak dapat menelan, serta dapat
terhindar dari iritasi saluran pencernaan, menutupi rasa dan bau yang tidak enak (2).
Polietilenglikol (PEG) memiliki daya serap
air tinggi, melarut pada cairan rektal dan tidak
memiliki efek samping. Sedangkan Oleum cacao adalah suatu lemak padat yang berasal dari
biji tanaman Theobroma cacao, melunak pada
suhu tubuh dan tidak menyebabkan iritasi. Baik
PEG maupun Oleum cacao mudah mencair saat
dipanaskan dan cepat membeku saat didingin
kan, stabil pada temperatur ruangan dan mudah
bercampur dengan bahan obat (3,4).
Pada pembuatan sediaan suppositoria perlu
diawali dengan penentuan Displacement Value.
Displacement Value adalah sejumlah bobot dari
bahan-bahan obat yang menggantikan satu bagian dari basis (3). Displacement Value ini berguna untuk menyetarakan jumlah obat dengan
densitas basis suppositoria, sehingga jumlah bahan aktif obat yang tersedia dalam setiap suppositoria dapat diperkirakan. Jika jumlah bahan aktif obat cukup besar, maka volume material harus
diperhitungkan dan jumlah sesungguhnya basis
yang diperlukan untuk mengisi cetakan menjadi
sangat penting (10). Tidak semua bahan obat
dengan basis tertentu memiliki Displacement
Value. Penentuan displacement value diazepam
telah dilakukan dengan beberapa basis berbeda.
Displacement value diazepam dengan basis 10%
beeswax dan 90% Thebroma oil adalah senilai
0,88, sedangkan dengan gelatin-gliserin-air dan
PEG 1540-gliserin-air berturut-turut senilai 1,04
dan 0,98. Perbedaan displacement value tersebut menjadi pertimbangan dalam penimbangan
bahan dan pemenuhan volume supositoria (8).
Suppositoria paracetamol dengan basis kombinasi trigliserida memiliki displacement value 1,4
METODE PENELITIAN
Bahan
Neomisin sulfat p.g (Shanghai Demo Bio-tech
co., Ltd, Shanghai, China) merupakan bahan
aktif yang digunakan dan dibentuk suppositoria dengan bahan tambahan PEG 400 p.g dan
PEG 4000 p.g (Pan Asia Chemical Corp, Taipei,
Taiwan). Untuk memudahkan suppositoria dikeluarkan dari cetakan ditambahkan parafin
liquidium p.g (Bratachem, Surabaya, Indonesia)
yang akan melumuri dinding cetakan.
Alat
Timbangan Analitik (Digital) tipe Sartorius BP
10 (Sartorius, Gottingen, Germany), Penangas air
Memmert seri W 200 (Memmert GmbH, Buchenbach, German), Fisher Johns Melting Point Apparatus
(Thermo Fischer Scientific, Massachusetts, USA),
Cetakan suppositoria nirkarat (Surabaya, Indonesia), Mortirdan stamper, Erweka Suppository Hardness Tester (Erweka GmbH, Heusenstamm, Germany), dan Erweka Suppository Liquefaction Tester
(Erweka GmbH, Heusenstamm, Germany).
Metode Kerja
1. Formulasi Supositoria
Neomisin sulfatdosis 250 mg diformulasikan
dengan basis campuran PEG 400 : 4000 = 40% : 60%.
Untuk sepuluh suppositoria, 2500 mg Neomisin
sulfat digerus hingga halus. PEG 400 dan 4000
ditimbang berturut-turut11000 mg dan 16500
mg, lalu dimasukkan dalam cawan dan dipanaskan pada waterbath. Mortir dihangatkan dengan
pemberian air panas, dan selanjutnya Neomisin
sulfat dimasukkan ke mortir hangat tersebut.
Setelah itu, kedua PEG yang telah meleleh terse-
173
2.3. Kekerasan
Pengujian kekerasan suppositoria diawali
de
ngan pendiaman suppositoria pada suhu
pengamatan 25 1,5C. Suppositoria ditempatkan secara tegak dengan bagian runcing
menghadap keatas, pada sample holder. Pintu
kaca ditutup dan selanjutnya bantalan digeser sehingga batang pemberat dalam posisi
menggantung bersamaan dengan pencatatan
waktu. Penambahan beban dengan berat
masing-masing 200 gram dilakukan setiap 1
menit. Pencatatan waktu dihentikan saat sup-
174
positoria hancur. Penentuan kekerasan diawali dengan memberi beban menggunakan batang pemberat sebelum ditambah beban yaitu
600 gram(7). Jika waktu yang dibutuhkan oleh
suppositoria untuk hancur, setelah penambahan beban terakhir kurang dari atau sama
dengan 20 detik maka beban terakhir tidak
diperhitungkan. Jika dibutuhkan waktu antara 20 sampai 40 detik, maka beban terakhir
dihitung 100 gram saja. Sementara jika waktu
yang dibutuhkan lebih dari 40 detik, maka beban terakhir dihitung penuh yaitu 200 gram.
2.4. Waktu leleh
Pengujian titik leleh makro dan mikro dilakukan untuk menentukan waktu dan suhu
yang diperlukan suppositoria untuk meleleh
sempurna. Pengujian titik leleh makro untuk
mendapatkan waktu leleh diawali dengan
membenamkan seluruh suppositoria dalam
waterbath dengan suhu konstan (37OC). Diukur waktu yang diperlukan oleh suppositoria untuk meleleh atau terdispersi ke dalam
air. Pengujian titik leleh mikro menggunakan
Fisher Johns Melting Point Apparatus. Pengujian diawali dengan meletakkan sejumlah kecil
suppositoria yang telah digerus halus dan homogen lalu dimasukkan ke dalam cover glass.
Suhu diamati saat suppositoria mulai meleleh
sampai meleleh seluruhnya. Titik leleh suppositoria yang diperoleh tidak melebihi 37OC.
oleh bahan aktif. Untuk memperoleh hasil perlu dilakukan pengukuran bobot rata-rata suppositoria tanpa bahan aktif, bobot rata-rata
suppositoria dengan bahan aktif, bobot basis
dalam suppositoria, bobot bahan aktif dalam
suppsitoria, bobot basis yang tergantikan oleh
bahan aktif dan besarnya 1 g basis yang tergantikan oleh bahan aktif yang menggambarkan nilai displacement value.
Keseragaman
Bobot
Suppositoria
(BobotSD)
Kekerasan
Suppositoria
(kg)
Waktu Leleh
Suppositoria
(menit)
Suhu Leleh
Suppositoria
(C)
Waktu Lebur
Suppositoria
(menit)
Displacement
Value
2,92 0,04
1,8
16,13
35,0
20,20
0,93
2,93 0,04
2,0
18,37
37,0
17,40
0,96
2,93 0,04
1,8
18,40
38,0
19,20
0,98
175
DAFTAR PUSTAKA
3. Moody, M..M., Suppositories and Pessaries in Winfield AJ, Richards RME, Pharmaceutical Practise,
2
nd
8. Kamal B.A., Iraqi J. Pharm. Sci., Vol 16 (2). University of Baghdad, Iraq, 2007 : 21-27.
176
11. Lieberman AH, Pharmaceutical Dosag Forms Dis12. Desai, H.D., Shirley, K.L., Penzak, S.R., Strom, J.G.,
Artikel Penelitian
1
2
Korespondensi:
Raymond R. Tjandrawinata
Email : raymond@dexa-medica.com
ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan dosis siklofosfamid dalam model tikus trombositopenia. Sejumlah dosis obat yang cocok yang
bisa menyebabkan trombositopenia pada tikus kemudian diteliti. Dua puluh
lima tikus secara acak dibagi menjadi lima kelompok: Normal (grup A), siklofosfamid dosis rendah (grup B), dosis sedang (grup C), dosis tinggi (grup
D), dosis sangat tinggi (grup E) yang masing-masing terdiri dari 5 tikus. Keempat kelompok masing-masing diberi dosis 25, 50, 100, dan 150 mg/kg BB
cyclophosphamide. Siklofosfamid diberikan melalui suntikan subkutan sekali
sehari selama 3 hari berturut-turut. Semua kelompok diamati selama 8 hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan jumlah trombosit, sel darah
putih, dan rata-rata volume corpuscular dari semua kelompok siklofosfamid pada hari ke-7 berbeda secara signifikan dibandingkan dengan Normal.
Platelet count berkurang meski sangat fluktuatif, semua tikus di grup E mati
pada hari ke-7 dan grup D pada hari ke-8. Meskipun keempat dosis berhasil
menginisiasi trombositopenia ditinjau dari jumlah trombosit yang menurun
pada hari ke-7, dosis yang rendah dianggap paling sesuai karena efektivitas
yang tinggi dan toksisitas rendah. Jadi, penggunaan tikus Wistar yang di
induksi oleh injeksi subkutan siklofosfamid 25 mg/kg per hari selama 3 hari
berturut-turut menunjukkan suatu model tikus trombositopenia yang sederhana, layak dan stabil yang dapat digunakan untuk uji farmakodinamik obat
yang diduga memiliki efek meningkatkan trombosit.
Kata kunci: tikus, trombositopenia, siklofosfamid
177
INTRODUCTION
Thrombocytopenia is a condition in which
blood has a lower than normal number of blood
cell fragments (platelets). Thrombocytopenia is
a blood disease characterized by an abnormally low number of platelets in the bloodstream.
Platelets are made in the bone marrow along with
other kinds of blood cells. Cyclophosphamide is a
synthetic alkylating agent that has been used for
its antineoplastic and immunosuppressive activities, and was introduced as an antitumor agent in
1958. Cyclophosphamide was used as toxicant in
the current study because of its capacity to induce
stable thrombocytopenia (1). In conventional chemotherapy, cyclophosphamide is one of the most
commonly employed drugs which are applied in
high dose regimen to treat metastatic breast cancer (2). Fulminant cardiac toxicity is the most severe dose-limited toxicity of cyclophosphamide
whose other side effects are hematopoietic depression, hemorrhagic cystitis, gonadal dysfunction, alopecia, nausea, gastrointestinal toxicity,
renal toxicity, antidiuretic effect and vomiting.
Also, it was reported that cyclophosphamide
could induce chromosome aberration of bone
marrow and liver cells (3). For reasons that are
poorly understood, patients with drug-induced
thrombocytopenia occasionally present with disseminated intravascular coagulation (4) or renal
failure and other findings indicative of the hemolytic uremic syndrome or thrombotic thrombocytopenic purpura (5). Cyclophosphamide induced
leucopenia animal model can also be the model
of thrombocytopenia (6). Therefore, we attemp
ted to use rats as a model of thrombocytopenia
following induction by cyclophosphamide. The
model is applicable for pharmacodynamic studi
es for drugs causing thrombocytopenia.
MATERIAL AND METHOD
Materials
Materials Cyclophosphamide was purchased
178
from Novell Pharmaceutical Laboratories, Bogor, Indonesia. Platelet count, erythrocyte, white
blood cell, platelet distribution width, and mean
corpuscular volume determined by semi-automated hematology analyzer MEK-6450K (Nihon
Kohden, Japan) and cell packs diluents (Nihon
Kohden, Japan) was provided by Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences, Dexa Medica.
Animals
For all experiments, adult Wistar rats were
purchased from Indoanilab (Bogor, Indonesia).
The rat were kept in the cages at 24oC, <70% relative humidity, with alternating 12-h lightdark
cycle (lights on from 06.00 to 18.00 h). They were
kept in standard polypropylene filter top cage and
allowed access to food and water ad libitum. All
experiments were reviewed and approved by the
Institutional Animal Care and Use Committees of
the Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences,
Dexa Medica (Cikarang, Indonesia).
Experimental protocols
Male Wistar rats (250-300g) were used for the
study. The rats were divided into 5 groups (n = 5,
each group), they are: Group A, as normal control,
were treated with normal saline; Group B were
treated with cyclophosphamide (25 mg/kg BW);
Group C were treated with cyclophosphamide
(50 mg/kg BW); Group D were treated with cyclophosphamide (100 mg/kg BW); and Group E
were treated with cyclophosphamide (150 mg/
kg BW) by subcutaneous injection once a day for
the first 3 consecutive days. All groups were investigated for 11 days. 100 l of blood was collected from tail every day (1 7th days of study).
Plasma collected using EDTA anticoagulant.
Platelet count, red blood cell, white blood cell,
platelet distribution width, and mean corpuscular volume were determined by semi-automated
hematology analyzer MEK-6450K. At the end of
the study period, the rats were euthanized with
sodium pentobarbital 150 mg/kg BW (IP) under
anesthesia (ketamine 80 mg/kg, and xylazine 7.5
mg/kg, i.p).
Jurnal Farmasi Indonesia n Vol. 6 No. 3 n Januari 2013
Statistical analysis
The data obtained were analyzed using one
way analysis of variance (ANOVA) followed by
post hoc test for multiple comparisons (Tukeys
HSD or Games-Howell test), using the statistical
package SPSS version 20 for Windows. Differen
ces were considered significant when p<0.05.
RESULTS
Platelet count
Blood cell analyses in comparison to all group;
Platelet count (Table 1); white blood cell (Table
2); platelet distribution width (Table 3), mean
corpuscular volume (Table 4); and red blood cell
(Table 5) did not change.
179
180
DISCUSSION
Since its discovery in 1958, cyclophosphamide
has been widely used in both clinical and experimental animal studies of cancer chemotherapy.
Acute events like bone-marrow toxicity, infections, haemorrhagic cystitis, gastrointestinal side
effects (nausea, vomiting) and hair loss were seen
as its side effects. Cyclophosphamide was used
as an inducer in the current study because of its
preliminary data suggesting its capacity as an inducer of stable thrombocytopenia (1)
181
REFERENCES
1. Hong N, Kong-yan L, Xiao-qi Z, Xue-ying F, Duan-
182
tinued, and pharmacologic equivalents with different chemical structures substituted as necessary. Patients who have severe thrombocytopenia
and wet purpura should be aggressively treated
with platelet transfusions because of the risk of
fatal intracranial or intrapulmonary hemorrhage
(10,11,12). Corticosteroids are often given, but
there is no evidence that they are helpful if the
thrombocytopenia is drug-induced. Intravenous
immune globulin (13) and plasma exchange(14)
have been used in acutely ill patients, but the be
nefit of these treatments is uncertain (10).
Though all four dosages successfully initiated
thrombocytopenia as the platelets count dropped
at the 7th day, the low dose (25 mg/kg BW) was
considered to be a suitable one that was of high
efficacy and low toxicity. Thus, Wistar rat challenged by subcutaneous injection of cyclophosphamide 25 mg/kg per day for 3 consecutive day
is one simple, feasible and stable rat thrombocytopenia model that could be used for pharmacodynamic test of drugs which pharmacologically
act as platelets count stimulator.
CONCLUSION
In conclusion, Wistar rat challenged by subcutaneous injection of cyclophosphamide 25 mg/kg
per day for 3 consecutive day is one simple, feasible and stable rat thrombocytopenia model.
ACKNOWLEDGEMENTS
thrombocytopenia
result-
12. Fireman Z, Yust I, Abramov AL. Lethal occult pultopenia. Chest 1981; 79:358-9.
183
Petunjuk
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
184
Jurnal Farmasi Indonesia menerima tulisan ilmiah berupa laporan hasil penelitian atau telaah pustaka yang berkaitan
dengan bidang kefarmasian.
Naskah diutamakan yang belum pernah diterbitkan di media lain, baik cetak maupun elektronik. Jika sudah pernah
disampaikan dalam suatu pertemuan ilmiah hendaknya diberi keterangan yang jelas mengenai nama, tempat, dan
tanggal berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia baku atau bahasa Inggris dengan huruf Cambria 11, disusun dengan
sistematika sebagai mana yang disarankan di bawah ini.
Judul dalam dua bahasa Indonesia dan Inggris, ditulis dengan huruf kapital diikuti huruf kecil, bold, singkat dan jelas
mencerminkan isi tulisan, tidak lebih dari 14 kata (bahasa Indonesia) atau 10 kata (bahasa Inggris).
Nama penulis tanpa gelar, diberi nomor superscript, diikuti alamat instansinya masing-masing dan sebutkan alamat
korespondensi kepada penulis lengkap dengan alamat e-mail.
Abstrak dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, masing-masing maksimum 200 kata, dilengkapi dengan kata
kunci (Keywords) 3-5 kata.
Isi/Batang Tubuh:
a. Untuk tulisan berupa artikel hasil penelitian (research article), disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Pendahuluan, Metodologi Penelitian (meliputi bahan, alat dan cara kerja), Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan
dan Saran, serta ucapan terima kasih.
b. Untuk tulisan bukan berupa laporan hasil penelitian (tinjauan pustaka atau komunikasi singkat), disusun dengan
sistematika sebagai berikut: Pendahuluan, bagian-bagian sesuai topik tulisan, serta Penutup berupa kesimpulan
dan saran, serta ucapan terima kasih.
Daftar Pustaka ditulis berurutan dengan nomor arab (1, 2, 3, dst.), sesuai urutan kemunculannya dalam naskah,
ditulis secara konsisten menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for
Manuscripts Submitted to Biomedical Journal (Ann Intern Med 1979; 90: 95-99).
Singkatan nama jurnal mengikuti ketentuan dalam Index Medicus; untuk nama jurnal yang tidak tercantum dalam
Index Medicus harap tidak disingkat.
1. Contoh: Cefalu WT, Padridge WM. Restrictive transport of a lipid-soluble peptide (cyclosporin) through the
blood-brain barrier. J Neurochem 1985; 45; 1954-1956.
Sitasi/rujukan kepustakaan dilakukan dengan sistem nomor yang diletakkan dalam tanda kurung.
2. Contoh: .........disusun oleh protein-protein membran, antara lain kadherin (5).
Cara penulisan:
a. Halaman judul diketik di awal naskah terdiri dari judul, nama penulis dan afiliasinya serta nama dan alamat
lengkap corresponding author.
b. Naskah diketik 1 spasi tidak bolak balik, ukuran kertas A4 dengan margin atas 4 cm, bawah 3 cm, kiri 4 cm, kanan
3 cm, minimum 8 halaman, maksimum 14 halaman tidak termasuk gambar/foto atau tabel.
c. Tabel harus utuh, jelas terbaca, dibuat dengan format tabel pada Microsoft Word diletakkan terpisah pada
halaman setelah daftar pustaka, diberi judul dan nomor tabel dengan angka arab 1, 2, 3... dst.
d. Gambar dibuat dengan format TIFF, JPG, JPEG, atau BMP, atau format Microsoft Excel/scatter plot untuk grafik,
dikirimkan tersendiri dalam file terpisah dengan keterangan yang jelas diberi nama file sesuai dengan nomor
urut gambar.
e. Judul gambar ditulis dalam format MS Word setelah halaman Tabel. Judul gambar dinomori dengan angka arab
(1,2,3,... dst).
Naskah dapat dikirim dalam bentuk cetakan (hard copy) dan berkas elektronik (dalam bentuk CD) melalui pos/
kurir atau diantar sendiri ke sekretariat jurnal. Berkas elektronik dapat dikirim melalui email ke alamat jfi@
ikatanapotekerindonesia.net atau jurnalfarmasiindonesia@gmail.com. Naskah dapat juga dikirimkan secara online
melalui jfi.iregway.com.
Naskah yang diterima akan disaring oleh Redaksi/Editor, kemudian direview oleh Mitra Bestari. Apabila diperlukan,
naskah akan diberi catatan dan dikembalikan kepada penulis untuk direvisi, untuk selanjutnya dikirimkan kembali
secara utuh kepada redaksi jurnal untuk diterbitkan.
Untuk penelitian klinis yang menggunakan subyek manusia, disertakan Ethical clearance.
Jurnal Farmasi Indonesia n Vol. 6 No. 3 n Januari 2013
Instructions
2. Preferred manuscript is that the paper has never been published in other media, both printed and electronic. If it has
ever been presented in a scientific meeting, a clear explanation of the name, place and date of the meeting should be
given.
3. Manuscripts are written in standard Indonesian or English with Cambria 11, compiled by systematics as described
below.
4. The title is written in a capital letter followed by lowercase letters, bold, not more than 14 words (Indonesian) or 10
words (English), concise and clearly reflect the content of the manuscript.
5. The authors name should be written without title, given the superscript numbers, followed by the affiliation and specify
complete address of corresponding author by e-mail address.
6. Abstract should be written in English and Indonesian respectively , with a maximum of 200 words, equipped with 3-5
keywords.
7. Contents / Body:
a. A research article should compile by the systematics as follows: Introduction, Research Methodology (includes
materials, equipment, and methods), Results and Discussion, Conclusions and Recommendations, as well as
acknowledgement.
b. A literature review or short communication) should follow systematics as Introduction, the sections of sub topics,
and Conclusions and/ or Recommendations, as well as acknowledgement.
8. References are written sequentially with Arabic numbers (1, 2, 3, ..), in the order of it appearance in the manuscript. It
should be written consistently in accordance with the Index Medicus Cummulated and / or the Uniform Requirements
for Manuscripts Submitted to Biomedical Journal (Ann Intern Med 1979; 90: 95-99).
9. Journal abbreviations should follow the provisions in Index Medicus; For journal that are not listed in Index Medicus
should not be abbreviated.
Example: Cefalu WT, Padridge WM. Restrictive transport of a lipid-soluble peptide (cyclosporin) through
the blood-brain barrier. J Neurochem 1985; 45; 1954-1956.
10. Citation should be written with Arabic number and placed in brackets.
a. Typed the title page at the beginning of the script consists of title, authors name and affiliation as well as the name
and complete address of corresponding author.
b. Typed the manuscript in 1 spacing in A4 paper with a top margin of 4 cm, bottom 3 cm, left 4, and right 3 cm. The
manuscript may consist of minimum of 8 pages and maximum of 14 pages excluding images/pictures or tables.
c. Tables must be intact, clearly legible, in Microsoft Word format, placed separately on the page after the list of
references, given the title and number of tables with Arabic numbers (1, 2, 3 ...).
d. Images/Figures should be made with the format of TIFF, JPG, JPEG, or BMP, or Microsoft Excel format/scatter plot
for graphic, submit ted in a separate file with a clear description of the file named according to the number of
Figures.
e. Figure legends should be written in MS Word format after the page of tables. Figure legends are numbered with
Arabic numbers (1,2,3, ... ).
12. Manuscripts can be submitted in hard copy and electronic version (on CD) by post /courier or delivered to the
secretariat of the journal by hand. Electronic files can be sent via email to jfi@ikatanapotekerindonesia.net or
jurnalfarmasiindonesia@gmail.com. Manucripts can also be submitted online through jfi.iregway.com.
13. Manuscript received will be screened by the Editor, and then reviewed, the manuscripts may be returned to the author
and noted to be revised, and be sent back to the editor for decision of acceptance for publication.
14. For clinical research using human subjects should include Ethical clearance.
Jurnal Farmasi Indonesia n Vol. 6 No. 3 n Januari 2013
185