Anda di halaman 1dari 33

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pisang merupakan tanaman serbaguna karena semua bagian dari pisang
mulai dari bonggol dan jantung pisangnya dapat dimanfaatkan melalui proses
yang sederhana sehingga dimungkinkan dapat menaikan nilai tambah tanaman
pisang. Hal ini disebabkan pisang mudah ditanam, cepat tumbuh, cepat
berkembangbiak dan rata-rata pada umur 10-12 bulan sudah dapat diproduksi.
Di Indonesia pisang digemari bukan saja karena rasanya yang enak, namun
juga kandungan gizinya. Dari sekian banyak jenis pisang, terdapat satu varietas
pisang yang kurang dimanfaatkan secara luas yaitu pisang batu atau pisang klutuk.
Sampai saat ini penggunaan pisang batu masih terbatas, hal itu mengakibatkan
harga jual pisang batu ini jauh dibawah harga pisang yang lain seperti pisang
ambon, pisang mas, pisang kepok dan pisang raja.
Program penganekaragaman pangan dari buah pisang batu dilakukan
sebagai salah satu cara untuk memanfaatkan buah pisang batu yang berlimpah
pada musim panen dan mengembangkan produk pangan. Salah satu upaya
penganekaragaman pangan dari buah pisang batu yaitu pembuatan tepung pisang
batu. Tujuan dari pembuatan tepung pisang batu ini yaitu untuk dapat
disubstitusikan dengan produk lain yang disukai masyarakat.
Tepung pisang batu dapat digunakan sebagai pengganti tepung terigu atau
sebagai substitusi tepung terigu. Hal ini menjadi wujud pemanfaatan bahan
pangan lokal dari buah pisang batu. Tepung pisang batu ini dapat diolah atau
dicampur dengan tepung-tepung dan bahan lainnya menjadi produk yang
memiliki nilai ekonomi tinggi. Salah satu produk pangan olahan makanan yang
memanfaatkan tepung pisang batu sebagai pensubstitusi tepung terigu yaitu pada
pembuatan biskuit.
Biskuit merupakan salah satu produk pangan olahan makanan yang
berbahan baku utama tepung terigu. Biskuit ini juga merupakan makanan ringan
atau snack yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Produk ini merupakan
produk kering yang memiliki kadar air rendah. Pemanfaatan tepung pisang batu
sebagai pensubstitusi tepung terigu untuk bahan baku biskuit diharapkan dapat
mengurangi ketergantungan penggunaan tepung terigu dan juga dapat

meningkatkan nilai ekonomis dari pisang batu. Selain itu diharapkan juga dapat
memberikan informasi tentang kualitas biskuit yang dibuat dari tepung pisang
batu serta dapat menunjang program ketahanan pangan khususnya dalam program
diversifikasi pengolahan dan konsumsi pangan.
B. Tujuan
Untuk mengetahui sifat organoleptik biskuit coklat yang dibuat dari
campuran tepung pisang batu dan tepung terigu.

II.
A.

TINJAUAN PUSTAKA

Biskuit
Biskuit merupakan salah satu makanan ringan atau snack yang banyak

dikonsumsi oleh masyarakat. Produk ini merupakan produk kering yang memiliki
kadar air rendah. Saksono (2012) menyatakan bahwa berdasarkan data asosiasi
industri, tahun 2012 konsumsi biskuit diperkirakan meningkat 5% - 8% didorong
oleh kenaikan konsumsi domestik. Menurut SNI 01-2973-1992 biskuit adalah
produk yang diperoleh dengan memanggang adonan dari tepung terigu dengan

penambahan makanan lain dan dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan
pangan yang diizinkan.
Biskuit dikonsumsi oleh seluruh kalangan usia, baik bayi hingga dewasa
namun dengan jenis yang berbeda-beda. Namun, biskuit komersial yang beredar
dipasaran memiliki kandungan gizi yang kurang seimbang. Kebanyakan biskuit
memiliki kandungan karbohidrat dan lemak yang tinggi, sedangkan kandungan
protein yang relatif rendah. Biskuit merupakan jenis kue kering yang dibuat dari
adonan keras, berbentuk pipih, bila dipatahkan penampang potongannya
bertekstur padat, dapat berkadar lemak tinggi atau rendah. Konsumsi rata-rata kue
kering di kota besar dan pedesaan di Indonesia 0,40 kg/kapita/tahun (Subagjo,
2007).
Secara umum bahan pembuatan biskuit adalah tepung terigu biasanya
biskuit hanya mengandung zat gizi makro seperti karbohidrat, protein dan lemak
dan sedikit mengandung zat gizi lainnya seperti zat fosfor, kalsium dan zat besi.
Adanya teknologi fortifikasi diharapkan biskuit tidak lagi sekedar makanan ringan
yang mengandung zat gizi makro saja. Melalui penambahan substitusi dari
tepung-tepung lain selain tegung terigu diharapkan biskuit lebih memiliki
kandungan gizi yang lebih baik dibandingkan dengan pembuatan biskuit dengan
tepung terigu saja. Pembuatan biskuit akan dilakuan penambahan dengan tepung
pisang batu.
B.

Pisang
Pisang merupakan buah klimaterik, setelah dipetik buah pisang akan

mengalami kemasakan lebih lanjut dan buah pisang akan rusak jika tertunda
penggunaanya. Oleh karena itu untuk memperoleh produk yang lebih panjang
masa simpannya dan juga meningkatkan nilai ekonomisnya buah pisang dapat
diolah menjadi tepung pisang. Tepung pisang ini kemudian digunakan sebagai
bahan substitusi untuk membuat biskuit yang biasanya dibuat dengan
menggunakan tepung terigu. Biskuit dengan bahan yang disubstitusi tepung

pisang diharapkan akan menghasilkan biskuit dengan rasa yang manis dan aroma
pisang yang khas (Anonim, 2009).
Sulistyaningnis (2009) melaporkan bahwa tanaman pisang dikelompokkan
menjadi pisang liar dan pisang budidaya. Pisang liar umumnya mempunyai
banyak biji dan belum banyak dimanfaatkan. Salah satu jenis pisang liar adalah
Musa balbisiana colla atau pisang batu. Penelitian terdahulu diketahui kadar pati
resisten pisang batu lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pisang lainnya yaitu
sebesar 39,35% (Fiani, 1994).
Pisang batu merupakan tanaman jenis pisang yang memiliki banyak biji
dalam buahnya. Pisang merupakan buah manis yang banyak diminta sebagai buah
pencuci mulut. Buah yang memiliki berbagai macam jenis ini memang
mengandung banyak sekali nutrisi yang sangat berguna bagi tubuh kita, seperti
protein, lemak, karbohidrat, vitamin, hingga beragam meneral.
Pisang batu termasuk pisang kelas rendah. Umumnya pisang ini tidak
disukai karena bijinya yang banyak, kulitnya keras, dan tebal serta buahnya tidak
dapat dimakan dalam bentuk segar. Buah pisang batu muda yang kandungan
bijinya belum berkembang sering dimanfaatkan sebagai campuran rujak. Namun
buahnya yang masak, walau tidak dapat dimakan dalam bentuk segar mempunyai
rasa yang manis dan bau yang harum (Margono, 2000). Pisang batu yang
terlampau masak di pohonnya jarang digunakan dan terkadang dibiarkan busuk
begitu saja, dan ini sangat disayangkan sekali jika tidak dimanfaatkan.
Pisang ini mempunyai nama lain pisang klutuk, pisang biji, dan pisang
bereng. Pisang batu merupakan tanaman yang dijumpai sebagai tanaman liar atau
dibudidayakan, dan diduga bahwa pisang yang umum dibudidayakan sekarang
merupakan turunan dari Musa balbisana Colla dan Musa acuminate Colla yang
banyak memiliki keanekaragaman di Muangthai, Malaysia, Indonesia, dan Papua
Nugini (Anonim, 1977). Jika merupakan tanaman budidaya biasanya tidak
diambil daging buahnya tetapi diambil bagian daunnya sebagai kemasan
pembungkus karena daunnya lebih tebal (banyak mengandung lapisan lilin)

dibandingkan daun pisang jenis lain sehingga tidak mudah sobek atau rusak ketika
digunakan (Irbiati, 2002).
Pisang batu mentah sering digunakan sebagai obat untuk mengurangi
perasaan tidak enak di perut atau dispepsia. Best et al. (1984) dalam Pramono &
Sudarsono (1995) menyatakan bahwa pisang batu mempunyai efek mencegah
timbulnya ulkus pada tikus yang kemungkinan bekerjanya melalui stimulasi
pertumbuhan mukosa gastrointestinal.
Komposisi kimia daging buah pisang batu (Musa balbisiana Colla) hingga
saat ini belum diketahui dengan pasti. Namun demikian Tjandrasari (1991) telah
mendeteksi adanya kandungan steroid dalam ekstrak etanol aktif. Hal ini juga
diperkuat oleh Santoso et al. (1991) yang juga telah mendeteksi empat senyawa
sterol dalam serbuk pisang batu yang mempunyai kemungkinan manfaat klinik
pada uji klinis pendahuluan sebagai obat gastritis. Penelitian lebih lanjut
menunjukkan bahwa suatu senyawa kimia sitoindosida IV yang diisolasi dari
Musa paradisiaca L. Dapat memberikan efek antiulkus berupa penyembuhan luka
dan resistensi mukosa lambung (Bhattacharya & Ghosal, 1987).

III.

BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat


Bahan :
- Pisang batu (Musa balbisiana Colla) tua
- Tepung terigu merk Segitiga Biru
- Gula halus cap Ratu
- Soda kue merk Koepoe-Koepoe
- Margarin merk Blue Band
- Telur
- Coklat bubuk cap Van Houten

Garam halus
Vanili cap Tjapung
Bahan-bahan kimia lain yang digunakan untuk analisis

Alat
- Pisau
- Toples berukuran 10 L
- Baskom plastic
- Oven
- Mixer
- Gilingan pemipih
- Cetakan
- Timbangan
- Loyang alumunium
- Cawan porcelain
- Tanur
- Desikator
- Labu Kjeldal
- Alat destilasi lengkap dan alat-alat lain untuk analisis
B.

Metode Penelitian
Percobaan ini dilakukan dalam RAKL dengan faktor tunggal yang terdiri

dari enam taraf formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu dengan
perbandingan, yaitu 90 : 10 (F1), 85 : 15 (F2), 80 : 20 (F3), 75 : 25 (F4), 70 : 30
(F5) dan 65 : 35 (F6) dengan tiga kali ulangan. Data yang diperoleh diuji
kesamaan ragamnya dengan uji Bartlet dan kemenambahan data diuji dengan uji
Tuckey. Data dianalisis dengan sidik ragam untuk mendapatkan penduga ragam
galat. Analisis data dilanjutkan menggunakan uji BNJ pada taraf 5%.

IV.

PEMBAHASAN

Pisang adalah nama umum yang diberikan pada tumbuhan terna raksasa
berdaun besar memanjang dari suku Musaceae. Beberapa jenisnya (Musa
acuminate, M.balbisiana, dan M. paradisiaca) menghasilkan buah konsumsi yang
dinamakan sama. Buah ini tersusun dalam tandan dengan kelompok-kelompok
tersusun menjari, yang disebut sisir. Hampir semua buah pisang memiliki kulit
berwarna kuning ketika matang, meskipun beberapa yang berwarna jingga, merah,
hijau, ungu, atau bahkan hampir hitam. Buah pisang sebagai bahan pangan
merupakan sumber energi dan mineral, terutama kalium.
Pisang adalah buah yang sangat bergizi yang merupakan sumber vitamin,
mineral dan juga karbohidrat. Hampir semua jenis pisang diminati oleh
masyarakat baik itu dikonsusmsi langsung ataukah diolah terlebih dahulu. Akan
tetapi ada satu jenis pisang yang lebih banyak dihindari yakni pisang batu.
Pisang batu merupakan jenis pisang yang khas bukan karena rasanya yang
cenderung manis, tetapi karena daging buahnya dipenuhi dengan bebijian
berwarna hitam. Biji tersebut memiliki tekstur kulit yang kasar dan cangkang

yang keras. Nama pisang batu juga bersumber dari biji tersebut. Kehadiran biji
pada daging buah pisang batu ini membuat banyak orang menjauhinya sebab tentu
susah untuk menguyah pisang dengan benar. Di luar dari biji, sebenarnya daging
pisang batu memiliki rasa manis yang khas.
Oleh karena biji yang berlebih pada daging buahnya, pisang batu banyak
diajuhi orang-orang dan jarang dijadikan santapan. Di masyarakat, pisang batu
lebih populer digunakan sebagai obat sariawan, bahan pakan burung, bahan pakan
ternak, dan peruntukan lainnya. Sebagai bahan makanan, di Jawa Timur pisang
batu yang masih muda sering kali dipakai sebagai salah satu bumbu penyedap
masakan rujak uleg karena rasa sepetnya yang khas.

Mengingat keterbatasan pemanfaatan pisang jenis ini, tidak heran jika


kemudian ketersediaan pisang batu begitu melimpah. Hal ini memberi ide untuk
mengolah pisang batu agar bisa dinikmati. Salah satu produk olahan berbahan
pisang klutuk adalah biskuit.
Biskuit merupakan salah satu produk pangan olahan makanan yang
berbahan baku utama tepung terigu. Pemanfaatan tepung pisang batu sebagai
pensubstitusi tepung terigu untuk bahan baku biskuit
mengurangi ketergantungan

penggunaan

tepung

diharapkan

dapat

terigu dan juga dapat

meningkatkan nilai ekonomis pisang batu.


Pengujian Organoleptik
a.

Warna
Reaksi Maillard adalah reaksi antara karbohidrat khususnya gula pereduksi

dengan gugus amina primer. Hasilnya berupa produk berwarna cokelat yang
sering dikehendaki. Namun kadang-kadang malah menjadi pertanda penurunan
mutu. Reaksi maillard yang dikehendaki misalnya pada pemanggangan daging,
roti, menggoreng ubi jalar, singkong, dll. Reaksi Maillard yang tidak dikehendaki
misalnya pada pengeringan susu, telur. Gugus amino primer biasanya terdapat

pada bahan awal berupa asam amino. Reaksi Maillard berlangsung melalui tahap
berikut:
1. Aldosa (gula pereduksi) bereaksi dengan asam amino atau dengan
gugus amino dari protein sehingga dihasilkan basa Schiff.
2. Perubahan terjadi menurut reaksi amadori sehingga menjadi amino
ketosa.
3. Hasil reaksi amadori mengalami dehidrasi membentuk furfural dehida
dari pentosa atau hidroksil metil furfural dari heksosa.
4. Proses dehidrasi selanjutnya menghasilkan produk antara berupa
metil-dikarbonil yang diikuti penguraian menghasilkan reduktor dan
dikarboksil seperti metilglioksal, asetot, dan diasetil.
5. Aldehida-aldehida aktif dari 3 dan 4 terpolimerisasi

tanpa

mengikutsertakan gugus amino (disebut kondensasi aldol) atau dengan


gugusan amino membentuk senyawa berwarna cokelat yang disebut
melanoidin.
Reaksi maillard berlangsung cepat pada suasana alkalis dan dalam bentuk
larutan. Meskipun demikian, pada kadar air bahan 13% sudah terjadi
pencokelatan. Gula non reduksi tidak dapat melakukan reaksi Maillard selama
tidak terjadi pemecahan ikatan glikosida yang dapat membebaskan monosakarida
dengan gugus pereduksi. Aldopentosa lebih reaktif daripada aldoheksosa.
Fruktosa dalam keadaan murni tidak akan mengalami kondensasi dengan asam
amino.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan formulasi tepung


pisang batu dan tepung terigu berpengaruh sangat nyata terhadap warna
biskuit. Tabel 2 menunjukkan semakin banyak proporsi tepung pisang batu
yang digunakan, maka penilaian panelis terhadap warna biskuit semakin
menurun. Penurunan intensitas warna pada biskuit tepung pisang disebabkan
karena peningkatan proporsi tepung pisang yang digunakan.
Penurunan intensitas warna pada biskuit tepung pisang batu disebabkan
karena tepung pisang batu memiliki pH yang rendah dibandingkan pH tepung
terigu, yaitu 5,08 (pH terigu 5,97) (data belum dipublikasikan). Oleh karena
itu penambahan proporsi tepung pisang batu pada biskuit menyebabkan pH
adonan biskuit menurun sehingga reaksi Maillard tidak berjalan dengan baik.
b.

Kerenyahan
Shortening mempengaruhi pengkerutan dan keempukan terhadap produk

yang dipanggang, dan juga sebagai pelumas dalam pencegahan pengembangan


protein yang berlebihan selama pembuatan adonan biskuit (Desrosier, 1988).
Penambahan shortening ini berfungsi untuk memperbaiki tekstur, meningkatkan
kelezatan

dan

keempukan,

memperbaiki

aerasi

sehingga

produk

bisa

mengembang, memperbaiki cita rasa dan juga sebagai pengemulsi untuk


mempertahankan kelembaban (Ketaren, 1986).

Telur yang digunakan dalam pembuatan adonan biskuit adalah telur segar
yang sebelumnya dilakukan pemisahan antara putih dan kuning telur. Telur yang
digunakan dalam pembuatan adonan biskuit hanya bagian kuningnya saja karena
mengandung lesitin yang mempunyai daya pengemulsi dan dapat memberikan cita
rasa, sedangkan bagian putih telur digunakan sebagai bahan dalam pembuatan
krim untuk biskuit jenis bunga gem (Winarno, 1991).
Selain digunakan kuning telur untuk keperluan sebagai pengemulsi juga
digunakan lesitin yang berasal dari kedelai. Hal tersebut dilakukan karena daya
simpan dari telur sendiri tidak terlalu lama serta ketersediaan telur juga terbatas
sehingga digunakan pula lesitin yang berasal dari kedelai (Winarno, 1991).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan formulasi tepung


pisang batu dan tepung terigu berpengaruh sangat nyata terhadap kerenyahan
biskuit. Tabel 3 menunjukkan semakin banyak proporsi tepung pisang batu
yang digunakan, maka penilaian panelis terhadap kerenyahan biskuit semakin
menurun. Hal ini disebabkan penggunaan tepung pisang batu dalam pembuatan
biskuit menurunkan efek shortening yang diberikan oleh margarin, karena
tepung pisang batu memiliki daya serap minyak yang tinggi, yaitu 23,5% (data
belum dipublikasikan).
Margarin yang ditambahkan dalam masing-masing formulasi memiliki
jumlah yang sama, yaitu 21% dari total bahan yang digunakan sehingga
peningkatan penggunaan tepung pisang batu akan menyerap lemak yang

sebagian besar berasal dari margarin. Hal ini menyebabkan menurunnya efek
shortening pada adonan karena kurangnya lemak yang dibutuhkan oleh
adonan untuk memberikan efek shortening sehingga adonan yang dihasilkan
untuk masing-masing formulasi memiliki tingkat kekerasan atau kekalisan
yang

berbeda-beda.

Oleh

karena

itu

tingkat kerenyahan

biskuit

yang

dihasilkan akan semakin keras seiring dengan penurunan efek shortening dan
peningkatan penggunaan tepung pisang batu.
Selain itu, penggunaan telur yang hanya sebesar 11% dari total bahan
yang digunakan juga tidak mampu meningkatkan tekstur biskuit, karena
menurut Matz dan Matz (1978), telur dapat melembutkan tekstur biskuit
dengan daya emulsi dari lesitin yang terdapat

dalam

kuning

telur

dan

pembentukan adonan yang kompak karena adanya daya ikat dari putih telur.
Selain itu lesitin dalam adonan biskuit dapat menambah efek shortening dari
lemak sehingga peningkatan penggunaan telur dapat memperbaiki tekstur
biskuit yang dihasilkan.
c.

Rasa (Tingkat Kemanisan)


Gula merupakan bahan penting dalam pembuatan adonan biskuit karena

memberikan rasa manis terhadap produk yang dihasilkan, memberikan tekstur


yang bagus, mengatur fermentasi serta warna yang lebih baik. Gula yang
digunakan adalah gula kristal (sukrosa) dan dekstrosa (Eliason, 1996).
Gula yang digunakan sebagai penabur di atas biskuit, gula cair, gula
khusus (gula cair fermentasi) merupakan gula khusus merupakan gula kristal
yang dicairkan dan didalamnya telah dibiakkan yeast selama kurang lebih tiga
hari. Fungsi dari gula fermentasi ini adalah agar biskuit yang dihasilkan memiliki
aroma (flavor) yang berbeda. Gula halus berasal dari gula kristal (sukrosa) yang
diolah secara khusus (dihaluskan) sebelum digunakan. Sedangkan dekstrosa
merupakan produk yang sudah tersedia di pasaran (Eliason, 1996).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan formulasi tepung


pisang batu dan tepung terigu tidak berpengaruh terhadap skor rasa manis biskuit.
Tepung pisang dan tepung terigu memiliki rasa yang cenderung tawar
sehingga perbandingan tepung pisang dan tepung terigu yang digunakan
dalam pembuatan biskuit tidak mempengaruhi rasa biskuit yang dihasilkan.
Rasa manis biskuit tepung pisang batu berasal dari penambahan gula halus
sebanyak 40% dari total bahan yang digunakan untuk masing-masing
formulasi sehingga rasa biskuit yang dihasilkan untuk seluruh perlakuan tidak
berbeda nyata.

d.

Penerimaan Keseluruhan
Penerimaan keseluruhan merupakan parameter yang dinilai panelis

terhadap keseluruhan kombinasi dari parameter sebelumnya, yaitu rasa, tekstur,


dan warna dari biskuit tepung pisang. Penurunan skor ini berkaitan dengan
penambahan penggunaan tepung pisang batu yang juga menurunkan penilaian
panelis terhadap warna dan kerenyahan biskuit yang dihasilkan. Semakin
tinggi penambahan tepung pisang batu yang digunakan, maka warna biskuit
yang dihasilkan cenderung kurang menarik dan tekstur yang dihasilkan tidak

renyah sehingga warna

dan

kerenyahan

merupakan

parameter yang

mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap biskuit.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan formulasi tepung


pisang batu dan tepung terigu berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat
kesukaan

panelis terhadap biskuit. Uji BNJ 5% menunjukkan bahwa

skor

tingkat kesukaan panelis terhadap biskuit pada penggunaan tepung pisang


sebesar 65-85% dari total tepung yang digunakan tidak berbeda nyata, tetapi
berbeda nyata dengan tingkat kesukaan produk biskuit yang menggunakan
tepung pisang sebesar 90% dari total tepung yang digunakan.

e.

Potensi Komersialisasi
Penilaian potensi komersialisasi dilakukan setelah panelis menilai

penerimaan keseluruhan atau tingkat kesukaan panelis terhadap biskuit dengan


cara meminta pendapat panelis tentang potensi komersialisasi biskuit.
Pendapat

panelis

terhadap

potensi komersialisasi biskuit

juga

dipengaruhi oleh penilaian tingkat kesukaan atau penerimaan keseluruhan


panelis terhadap biskuit dari masing-masing perlakuan. Semakin tinggi tingkat
kesukaan panelis

terhadap biskuit dari masing-masing formulasi, maka

menurut panelis semakin tinggi pula potensi komersialisasi biskuit untuk


dikembangkan.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan formulasi tepung


pisang batu dan tepung terigu berpengaruh sangat nyata terhadap pendapat
panelis tentang potensi komersialisasi biskuit tepung pisang batu.
f.

Pemilihan Perlakuan Terbaik


Uji organoleptik merupakan pengujian terhadap bahan makanan

berdasarkan kesukaan dan kemauan untuk mempegunakan suatu produk. Uji


organoleptik atau uji indera atau uji sensori sendiri merupakan cara pengujian
dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya
penerimaan terhadap produk. Pengujian organoleptik mempunyai peranan penting
dalam penerapan mutu. Pengujian organoleptik dapat memberikan indikasi
kebusukan, kemunduran mutu dan kerusakan lainnya dari produk.
Dalam uji organoleptik harus dilakukan dengan cermat karena memiliki
kelebihan dan kelemahan. Uji organoleptik memiliki relevansi yang tinggi dengan
mutu produk karena berhubungan langsung dengan selera konsumen. Selain itu,
metode ini cukup mudah dan cepat untuk dilakukan, hasil pengukuran dan
pengamatannya juga cepat diperoleh. Dengan demikian, uji organoleptik dapat
membantu analisis usaha untuk meningkatkan produksi atau pemasarannya.

Pada penelitian ini, penentuan perlakuan terbaik berdasarkan hasil


skor

uji organoleptik

yang

meliputi

warna,

rasa, tekstur, penerimaan

keseluruhan, dan potensi komersialisasi.

Tabel 7 menunjukkan bahwa untuk parameter

warna, tekstur, rasa,

penerimaan keseluruhan dan potensi komersialisasi formulasi tepung pisang


batu dan tepung terigu dengan perbandingan F6, F5, F4, F3 dan F2 65:35
tidak berbeda nyata. Melihat pengoptimalan pemanfaatan tepung pisang batu
dalam pembuatan biskuit dan nilai organoleptik yang dihasilkan, maka
formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu dengan perbandingan 85:15
(F2) dijadikan sebagai perlakuan terbaik.
Karakteristik biskuit F2 yang dimiliki secara berturut - turut,

yaitu

berwarna coklat, bertekstur agak renyah, dan memiliki rasa agak manis.
Penerimaan keseluruhan untuk formulasi F2 (85:15) adalah agak suka dan
menurut

panelis

biskuit

F2

komersialisasi.
g.

Uji Pembeda Duo-Trio

agak

potensial untuk karakteristik potensi

Uji duo trio termasuk dalam kelompok pengujian pembedaan (difference


test). Pengujian pembedaan digunakan untuk menilai pengaruh macam macam
perlakuan modifikasi proses atau bahan dalam pengolahan pangan bagi industri,
atau untuk mengetahui adanya oerbedaan atau persamaan antara duo produk dari
komoditi yang sama. Yang terakhir ini terutama dari segi konsumen.
Uji duo trio bertujuan untuk mencari perbedaan yang kecil. Setiap panelis
disajikan tiga contoh (dua contoh dari produk yang sama dan satu contoh dari
produk yang berbeda). Uji duo trio hampir sama dengan uji segitiga, tetapi dalam
uji ini dari awal sudah ditentukan pembanding yang dibandingkan dengan kedua
contoh lainnya. Dalam penyajiannya, contoh ketiganya disajikan bersamaan.
Panelis diminta untuk memilih satu diantara 2 contoh lain yang beda dengan
pembanding (reference).
Uji duo trio adalah uji yang digunakan untuk mendeteksi adanya
perbedaan yang kecil antara dua contoh. Uji ini relatif lebih mudah karena adanya
contoh baku dalam pengujian. Biasanya Uji Duo-trio digunakan untuk melihat
perlakuan baru terhadap mutu produk ataupun menilai keseragaman mutu bahan.
Pengujian pembedaan digunakan untuk menetapkan apakah ada perbedaan
sifat sensorik atau organoleptik antara dua contoh. Meskipun demikian dalam
pengujian dapat saja sejumlah contoh disajikan bersama tetapi merupakan untuk
melaksanakan pembedaan selalu dua contoh yang dapat dipertentangkan.
(Soekarto, 1985).
Pengujian duo-trio ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan dua buah sampel atau mendeteksi. Perbedaan sifat yang tingkat
perbedaannya hanya sedikit, misalnya untuk mendeteksi perbedaan sifat-sifat hasil
yang diperoleh dari dua kondisi yang sedikit berbeda. Uji duo-trio merupakan
salah satu uji pembeda.Uji pembeda ini biasanya digunakanuntuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan antara sampel yangdisajikan. Pada duo-trio ini digunakan
sampel pembanding. (Kartika,dkk., 1987).

Contoh pembanding dalam pengujian duo-trio merupakan hal yang sangat


penting dalam pegujian, terutama dalam pengujian pemilihan dan skalar. Jika
contoh pembanding diberikan, yang perlu diperhatikan bahwa yang terutama
dijadikan faktor pembanding adalah satu ataulebih sifat sensorik dari bahan
pembanding itu. Oleh karena itu, sifat lain yang tidak dijadikan faktor
pembanding harus diusahakan sama dengan contoh yang diujikan. Hal tersebut
dilakukan agar semua panelis tahu sensorik apa yang diujikan dan tidak terjadi
kekeliruan atau salah paham antara pengelola pengujian dengan panelis.
Pengujian pembedaan digunakan untuk menilai pengaruh macam-macam
perlakuan modifikasi proses atau bahan dalam pengolahan pangan bagi industri,
atau untuk mengetahui adanya perbedaan atau persamaan antara dua produk dari
komoditi yang sama. Yang terakhir ini terutama dari segi konsumen (Soekarto,
1985).
Uji duo-trio di dalam industri pangan dapat digunakan salah satunya
adalah untuk reformulasi suatu produk baru, sehingga dapat diketahui ada atau
tidaknya perbedaan antara produk lama dan baru. Kelemahan uji duo trio adalah
sulit mendeskripsikan sampel yang sama dengan pembanding karena panelis akan
sulit untuk mengingat secara detail bahan yang sedang dianalisis, biasanya uji ini
dapat dilakukan dengan mudah oleh seseorang yang memiliki daya ingat yang
tinggi.
Biskuit dengan formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu
dengan perbandingan 85:15 (F2) merupakan biskuit yang memiliki perlakuan
terbaik dibandingkan dengan biskuit berbahan baku 100% tepung terigu
dengan menggunakan uji pembedaan duo trio yang meliputi warna, rasa, dan
tekstur. Hasil dari penilaian uji pembedaan duo trio dapat dilihat pada Tabel 8.

Uji duo trio dilakukan oleh 20 orang panelis semi terlatih. Biskuit berkode
sampel 375 adalah biskuit yang sama dengan R atau biskuit

kontrolnya,

sedangkan biskuit berkode 029 adalah biskuit tepung pisang batu (F2).
Menurut Meilgaard et al. (2007), uji pembedaan duo trio dengan 20 orang
panelis harus memiliki penilaian benar minimal 15 orang panelis pada =
0,05.
Tabel 15 menunjukkan bahwa sebanyak 17 panelis menjawab benar
bahwa warna biskuit F2 berbeda dengan biskuit R dan 3 panelis menjawab
salah. Sebanyak 15 panelis menjawab benar bahwa rasa dan tekstur biskuit
F2 berbeda dengan biskuit R dan 5 panelis menjawab salah Hal ini
menunjukkan bahwa biskuit dengan penggunaan tepung pisang batu sebanyak
85% dari total tepung yang digunakan (F2) berbeda dengan biskuit kontrolnya
(R) yang terbuat dari 100% tepung terigu baik dari segi warna, rasa atau
tekstur.

h.

Analisis Proksimat
Analisis

proksimat

adalah

suatu

metoda

analisis

kimia

untuk

mengidentifikasi kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat


pada suatu zat makanan dari bahan pakan atau pangan. Analisis proksimat

memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas pakan atau bahan pangan terutama
pada standar zat makanan yang seharusnya terkandung di dalamnya.
Hasil analisis proksimat biskuit formulasi tepung pisang batu dan
tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2)dapat dilihat pada Tabel 9.

1.

Kadar Air
Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan

fungsinya tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Air juga merupakan
komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi
penampakannya, tekstur, serta cita rasa makanan kita, bahkan dalam bahan
makanan kering sekalipun, seperti buah kering, tepung, serta biji-bijian
terkandung air dalam jumlah tertentu (Winarno, 1989).
Di dalam bahan pangan terdapat air dalam bentuk (1) Air Bebas, yaitu air
yang berada di permukaan benda padat dan sifatnya mudah diuapkan, (2) Air
terikat, yaitu air yang terikat secara fisik menurut sistem kapiler atau air absorpsi
karena adanya tenaga penyerapan, (3) Air terikat secara kimia, yaitu air yang
berada dalam bahan dalam bentuk air kristal dan air yang terikat dalam system
dispersi koloid. Peranan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi aktivitas metabolisme seperti misalnya aktivitas enzim,
aktivitas mikroba, dan aktivitas kimiawi, yaitu terjadinya ketengikan, dan reaksireaksi nonenzimatis, sehingga menimbulkan perubahan sifat-sifat organoleptik,

penampakan, tekstur dan citarasa serta nilai gizinya. Cara mencegah pertumbuhan
mikroba dapat dilakukan dengan cara mengganggu lingkungan hidupnya, dengan
cara mengubah suhu, kadar air substrat (aw), pH, kadar oksigen, komposisi
substrat, serta penggunaan bahan pengawet anti mikroba (Muchtadi, 2003).
Di dalam analisis bahan pangan, biasanya kadar air bahan dinyatakan
dalam persen berat kering. Hal ini disebabkan perhitungan berdasarkan berat
basah mempunyai kelemahan yaitu berat basah bahan selalu berubah-ubah setiap
saat, sedangkan berat bahan kering selalu tetap.
Biskuit yang dibuat dari tepung pisang batu dan tepung terigu dengan
perbandingan 85:15 (F2) mempunyai kadar air sebesar 1,42%.

Hal ini

berarti kadar air biskuit F2 telah memenuhi syarat mutu SNI biskuit, yaitu
maksimal 5%.
Kadar

air

pada

biskuit merupakan

karakteristik

yang

akan

mempengaruhi penerimaan konsumen terutama terhadap tekstur atau tingkat


kerenyahan biskuit. Biskuit tepung pisang memiliki kadar air yang cukup
rendah karena biskuit diproses dengan cara pemanggangan pada suhu 1500C
sehingga proses pemanggangan mampu menguapkan dan menurunkan jumlah
kadar air dalam adonan biskuit.
Selain itu kadar air yang rendah diharapkan mampu meningkatkan
masa simpan suatu produk sehingga biskuit menjadi lebih tahan lama, karena
menurut Winarno (1992), sebagian air dalam bahan harus dihilangkan dengan
beberapa cara seperti pengeringan untuk memperpanjang daya tahan suatu
bahan.

2.

Kadar Abu
Abu adalah zat organic sisa hasil pembakaran suatu bahan organic.

Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macan bahan dan cara
pengabuanya.

Kadar abu ada hubunganya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang
terdapat dalam suatu bahan terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua
macam garam yaitu garam organic dan garam anorganik. Yang termasuk dalam
garam organic misalnya garam-garam asam mallat, oksalat, asetat, pektat.
Sedngkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfat, karbonat,
klorida, sulfat, nitrat. Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral
berbentuk sebagai senyawaan komplek yang bersifat organis. Apabila akan
ditentukan jumlah mineralnya dalambentuk aslinya sangatlah sulit, oleh karena itu
biasanya dilakukan dengan menentukan sisa-sisa pembakaran garam mineral
tersebut, yang dikenal dengan pengabuan.
Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan sebagai
berikut:
a. Untuk menentukan baik tidaknya suatu proses penggolahan.
b. Untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan.
c. Untuk memperkirakann kandungan buah yang digunakan untuk membuat
jelly. Kandungan abu juga dapat dipakai untuk menentukan atau
membedakan fruit uinegar (asli) atau sintesis.
d. Sebagai parameter nilai bahan pada makanan. Adanya kandungan abu
yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir
atau kotoran lain.
Penentuan kadar abu adalah mengoksidasikan senyawa organik pada suhu
yang tinggi, yaitu sekitar 500-600C dan melakukan penimbangan zat yang
tinggal setelah proses pembakaran tersebut. Lama pengabuan tiap bahan berbeda
beda dan berkisar antara 2-8 jam. Pengabuan dilakukan pada alat pengabuan yaitu
tanur yang dapat diatur suhunya. Pengabuan diangap selesai apa bila diperoleh
sisa pembakaran yang umumnya bewarna putih abu-abu dan beratnya konstan
dengan selang waktu 30 menit. Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam
keadan dingin,untuk itu krus yang berisi abu diambil dari dalam tanur harus lebih
dahulu dimasukan ke dalam oven bersuhu 105C agar suhunya turun
menyesuaikan degan suhu didalam oven,barulah dimasukkan kedalam desikator

sampai dingin,barulah abunya dapat ditimbang hingga hasil timbangannya


konstan.
Biskuit yang dibuat dari tepung pisang batu dan tepung terigu dengan
perbandingan 85:15 (F2) mempunyai kadar abu sebesar 2,57% dan berada di
atas batas maksimal kadar abu dalam SNI biskuit, yaitu maksimal 1,6%. Hal ini
disebabkan karena tepung pisang batu memiliki kadar abu yang lebih tinggi
di bandingkan tepung terigu. Kadar abu tepung pisang batu adalah 5,3 %
(Musita et al., 2009), sedangkan menurut SNI 3751-2009, kadar abu maksimal
tepung terigu yang digunakan untuk bahan makanan adalah 0,70%.
Selain itu proporsi tepung yang digunakan pada pembuatan biskuit F2
juga lebih banyak tepung pisang batu, yaitu 85% dan tepung terigu yang
hanya 15% sehingga menyebabkan kadar abu biskuit F2 relatif cukup tinggi.
3.

Kadar Lemak
Biskuit yang dibuat dari formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu

dengan perbandingan 85:15 (F2) mempunyai kadar lemak sebesar 20,71%


dan telah memenuhi syarat mutu kadar lemak dalam SNI biskuit, yaitu minimal
9,5%. Kadar lemak yang cukup tinggi pada biskuit F2 disebabkan karena
penggunaan bahan baku yang banyak mengandung lemak seperti margarin dan
coklat bubuk.
Margarin memiliki kadar lemak yang tinggi, yaitu min 80% (SNI
3541-2002) dan penggunaannya sebanyak 21% dari seluruh total bahan yang
digunakan dalam pembuatan biskuit, sedangkan menurut Mulato, et al. (2008)
coklat bubuk memiliki kandungan lemak sebesar 10-22%.
Oleh karena itu biskuit yang dihasilkan memiliki kandungan lemak
yang relatif tinggi. Lemak dan minyak hampir terdapat didalam semua bahan
pangan dengan kandungan yang berbeda-beda. Lemak dan minyak sering
ditambahkandengan

sengaja kedalam bahan pangan dengan tujuan seperti

memperbaiki tekstur dan citarasa bahan pangan .

4.

Kadar Protein
Biskuit yang dibuat dari formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu

dengan perbandingan 85:15 (F2) menghasilkan kadar protein sebesar 5,66%


dan belum memenuhi syarat mutu kadar protein dalam SNI biskuit, yaitu
minimal 9%. Hal ini disebabkan karena tepung pisang batu memiliki kadar
protein yang lebih rendah di bandingkan tepung terigu. Kadar protein tepung
pisang batu adalah 4,8% (Musita et al., 2009), sedangkan kadar protein
tepung terigu menurut Situngkir (2010) adalah 10,69% dan penggunaanya
pun hanya 15% dari total tepung yang digunakan.
Selain itu penambahan jumlah protein juga diperoleh dari penggunaan
telur, tetapi penggunaan telur dalam adonan biskuit hanya sebesar 11% dari
seluruh total bahan yang digunakan sehingga belum mampu memenuhi jumlah
kadar protein biskuit yang sesuai SNI.
Menurut Racmawan (2008), proses pemanggangan dengan suhu tinggi
dapat menyebabkan protein menurun akibat terjadinya degradasi protein dan
reaksi antara

gugus

amino

dengan

gula

pereduksi. Racmawan (2008)

melaporkan bahwa proses pemanggangan menurunkan kadar protein sereal


tepung ubi dan tepung kacang hijau yang seharusnya 8-12% menjadi 35,6%, karena menurut Winarno (1992), pada saat pemanggangan dapat terjadi
proses pencoklatan non-enzimatis, yaitu reaksi antara asam- asam amino
dengan gula pereduksi pada bahan.

5.

Kadar Karbohidrat by difference


Analisis kadar karbohidrat biskuit yang dibuat dari tepung pisang

batu dan tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2) dilakukan dengan
menggunakan metode by difference. kadar karbohidrat biskuit F2 adalah
69,64%. Nilai ini sedikit berada di bawah batas minimum SNI biskuit yang

mana menetapkan kadar karbohidrat minimal biskuit

adalah

70%.

Kadar

karbohidrat tepung pisang batu memang lebih rendah, yaitu 47,6-49,8%


(Musita et al., 2009) jika dibandingkan dengan kadar karbohidrat tepung
terigu, yaitu 75,36% (Situngkir, 2010).
Selain itu tambahan jumlah karbohidrat pada biskuit juga diperoleh
dari gula yang ditambahkan sebesar 40% dari total bahan yang digunakan,
walaupun biskuit tepung pisang batu belum dapat mencapai batas minimal
kadar karbohidrat pada SNI biskuit 2973-1992.
Karbohidrat merupakan

sumber

kalori

utama

bagi manusia.

Karbohidrat juga berperan dalam menentukan karakteristik bahan makanan,


misalnya rasa, warna, dan tekstur (Winarno, 1992).
6.

Glikemik Indeks (GI)


Indeks Glikemik adalah angka yang menunjukkan potensi peningkatan

gula darah dari karbohidrat yang tersedia pada suatu pangan atau secara sederhana
dapat dikatakan sebagai tingkatan atau rangking pangan menurut efeknya terhadap
kadar glukosa darah.
Hasil analisis gikemik indeks (GI) biskuit yang dibuat dari tepung
pisang batu dan tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2) menghasilkan
kadar gikemik indeks sebesar 21,06%. Glikemik indeks (GI) merupakan
indeks atau tingkatan pangan menurut efeknya dalam meningkatkan kadar gula
darah dalam tubuh.
Nilai glikemik indeks dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tinggi jika
nilai GI (70-100), menengah (55-69), dan rendah ( <55) (Miller et al., 1996). Hal
ini mengindikasikan bahwa biskuit F2 termasuk pangan yang memiliki nilai
glikemik indeks rendah (<55). Menurut Widowati

(2007),

pangan yang

(GI) rendah

memiliki

nilai

glikemik

indeks

mengkonsumsi
membuat

peningkatan kadar gula dalam darah berlangsung lambat dan kenaikan gula
darahnya rendah. Hal ini akan cocok bagi penderita diabetes melitus yang

membutuhkan makanan dengan daya cerna yang lambat, yaitu yang memiliki
nilai glikemik indeks (GI) rendah.
Oleh karena itu, biskuit formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu
ini

mempunyai

potensi

untuk dikembangkan

sebagai

makanan

yang

kemungkinan dapat mengurangi peningkatan gula darah dalam tubuh. Salah


satu contoh camilan sehat yang dibuat dari tepung kacang kedelai, yang
telah dikomersialisasikan, memiliki nilai GI 23-28% (Anonim, 2012).
Biskuit substitusi residu pati jagung terfermentasi dengan tepung terigu
(90:10) memiliki nilai GI 40% (Seprina, 2010), sedangkan nilai glikemik
indeks dari cookies dan donat yang dibuat dari tepung bekatul terturut-turut
adalah 31% dan 39% (Saputra, 2008). Biskuit yang dibuat dari tepung pisang
batu ternyata memiliki nilai GI yang lebih rendah dibandingkan beberapa
contoh produk makanan terebut sehingga dapat dikembangkan menjadi camilan
sehat.
7.

Kadar Serat Pangan (dietary fiber)


Hasil kadar serat pangan biskuit formulasi tepung pisang batu dengan

tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2) dapat dilihat pada Tabel 10.

Dietary fiber merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan


terhadap proses hidrolisis
(Winarno, 1992).

oleh

enzim

dalam

lambung

dan usus

kecil

Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa biskuit F2 memiliki kadar serat


pangan tidak larut (IDF) yang lebih besar dibandingkan kadar serat pangan
larut (SDF). Serat pangan tidak larut yang tinggi dalam tepung pisang batu
banyak diperoleh dari biji pisang batu yang diikutkan pada proses pembuatan
tepung pisang batu, sedangkan serat pangan larut diperoleh dari kadar pektin
dan FOS yang terdapat didalam daging pisang batu.
Serat pangan adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna
oleh enzim-enzim pencernaan. Serat pangan total (total dietary fiber) terdiri dari
komponen serat pangan larut (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut
(insoluble dietary fiber).
Gum dan pektin merupakan sumber serat pangan larut dan surnber serat
pangan tidak larut adalah selulosa, lignin, dan sebagian besar hemiselulosa.
Serat pangan banyak memberikan efek menyehatkan pada tubuhseperti
mencegah timbulnya senyawa karsinogenik penyebab kanker usus besar,
diabetes, dan obesitas (Muchtadi, 2001).
8.

Total Fenol
Hasil analisis total fenol biskuit F2, tepung pisang batu dan biskuit

berbahan baku 100% tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 11.

Hampir semua tanaman mengandung senyawa-senyawa fenol yang


bentuknya berbeda-beda satu sama lainnya. Fenol umumnya terdapat dalam
bentuk asam fenolik, flavonoid, asam kumarat, dan asam tannat.

Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa biskuit formulasi tepung pisang


batu dan tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2) menghasilkan total
fenol yang lebih besar dari biskuit yang hanya berbahan baku tepung terigu.
Hal ini menyatakan bahwa substitusi tepung pisang batu dalam pembuatan
biskuit mampu menaikkan nilai total fenol yang terkandung dalam biskuit.
Total fenol tepung pisang batu menunjukkan nilai yang lebih tinggi
dibandingkan nilai total fenol biskuit F2. Penurunan jumlah fenol pada biskuit
F2 dari total fenol tepung pisang batu diduga karena terjadinya degradasi fenol
selama proses pengolahan tepung pisang batu menjadi biskuit dan juga karena
pencampuran

dengan tepung terigu. Senyawa fenol yang dipanaskan pada

suhu 600C dapat menurunkan kandungan beberapa jenis senyawa fenol secara
nyata (Subeki, 1998).

V.

KESIMPULAN

Hasil uji organoleptik biskuit dengan formulasi tepung pisang batu dan
tepung terigu perbandingan 90:10 (F1), 85:15 (F2), 80:20 (F3), 75:25 (F4), 70:30

(F5), dan 65:35 (F6) berbeda nyata pada tekstur, warna, penerimaan keseluruhan,
potensi komersialisasi, dan tidak berbeda nyata pada rasa. Biskuit formulasi 85:15
(F2) ditetapkan sebagai perlakuan terbaik berdasarkan nilai organoleptik yang
dihasilkan dan optimalisasi pemanfaatan tepung pisang batu dengan karakteristik
berwarna coklat, bertekstur agak renyah, memiliki rasa agak manis, agak disukai
panelis dan agak potensial untuk dikembangkan. Hasil analisis proksimat biskuit
formulasi 85:15 (F2) adalah kadar air 1,4%, kadar abu 2,6%, kadar lemak 20,7%,
kadar protein 5,7%, kadar karbohidrat 69,6%, glikemik indeks (GI) 21,1%, serat
pangan total 32,3% dan total fenol 2,8 ppm.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymousa. 2002. http://food product design.com /archive/20000506 cs htm.
Diakses tanggal 20 September 2014.

Anonymousb. 2006. Kraker dan Cookies. www.ebookpangan.com. Diakses


tanggal 20 September 2014.
Anonymousc.2005.http://www.iptek.net.id/ind/warintek/pengolahanpangan.idx.ph
p. Diakses tanggal 20 September 2014.
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of Assosiaciation of Official
Analytical Chemists. AOAC Inc. Washington DC.1141 hal.
Asp, N.G., C.G. Johanson, H. Halimer, and M. Siljestrom. 1983. Rapid Enzimatic
Assay of Insoluble and Soluble Dietary Fiber. Journal Agricultural Food
Chemistry. Vol 33 (3): hal 476-482. Dalam : Annisa Seprina. 2010. Kajian
Substitusi Tepung Terigu dan Residu Ekstraksi Pati Jagung (Zea mayz L.)
dalam Pembuatan Biskuit Berserat. Skripsi Universitas Lampung. Bandar
Lampung.
Astawan, M. 2001. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta.
Catrien, Y.S. Surya dan T. Ertanto. 2008. Reaksi Maillard Pada Produk Pangan.
PKM Institute Pertanian Bogor. Bogor.
De Man, J, M. 1997. Kimia Makanan. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Desrosier, Norman, W. 1988. Technology of Food Preservation. AVI Publishing
Company Inc. Diterjemahkan oleh Muchcadi Muljohardjo. Teknologi
Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Driyani, Y. 2007. Biscuit Crackers Substitusi Tepung Tempe Kedelai Sebagai
Alternatif Makanan Kecil Bergizi Tinggi. Skripsi Universitas Negeri
Semarang. Semarang.
Eliason, A,C. 1996. Carbohidrates in Food. Marcel Dekker Inc. New York.
Faridi, H. 1994. The Science of Cookie and Cracker Production. Capman and
Hall. New York.
Fellous, P, J. 1990. Food Processing and Technology, Principles and Practise.
Ellis Harwod. New York.
Fiani, A. dan A. Denian. 1994. Teknologi Budidaya Pisang. Dalam: Proseding
Seminar Penelitian Tanaman Pangan no 05 1994 Balai Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pertanian Sub Balai Penelitian Tanaman Pangan
Solok Hal 65 - 67.

Hadiwiyoto,S. 1993. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-Bijian. Jurusan


Teknologi Pangan dan Gizi. ITB Bandung.
Hui, A, Y. 1992. Encyclopedia of Food and Technology. John Wiley and sons
Company Inc. New York.
Kanisius 2002. Istilah Pangan dan Nutrisi oleh Tim Penulis Laboratorium kimiaBiokimia Pangan Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
Maltz, S, A. 1992. Cookie and Cracker Technology. AVI Publishing Company Inc.
London.
Saputra, I. 2008. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Cookies dan Donat
Tepung Terigu yang Disubstitusi Parsial dengan Tepung Bekatul, Skripsi
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Seprina, A. 2010. Kajian Substitusi Tepung Terigu dan Residu Ekstraksi Pati
Jagung
(Zea mayz L.) dalam Pembuatan Biskuit Berserat. Skripsi
Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Subagjo, A. 2007. Manajemen Pengolahan Kue & Roti. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Subeki. 1998. Pengaruh Cara Pemasakan Terhadap Kandungan Antioksidan
Beberapa Macam Sayuran Serta Daya Serap dan Retensinya Pada Tikus
Percobaan. Tesis Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Utami,I,S. 1991. Pengolahan Roti, PAU Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Winarno, F, G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

TUGAS TERSTRUKTUR
TEKNOLOGI PRODUK BAKERY

KARAKTERISTIK BISKUIT COKLAT DARI CAMPURAN TEPUNG


PISANG BATU (Musa balbisiana colla) DAN TEPUNG TERIGU PADA
BERBAGAI TINGKAT SUBSTITUSI

Disusun oleh :
Fika Puspita

A1M102001

Dwi Apriyanti K

A1M012002

Fitri Wulandari

A1M012003

Rizki Mawarny

A1M012004

Tiffany Gumilang W

A1M012005

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2014

Anda mungkin juga menyukai