Anda di halaman 1dari 12

I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan

Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian. 1.1. Latar Belakang Penelitian Kerupuk adalah produk makanan kering yang telah dikenal di Indonesia, makanan ini tersebar hampir ke segenap pelosok Indonesia serta digemari oleh semua lapisan masyarakat. Pemasaran kerupuk berkembang tidak hanya didalam negeri, tetapi juga di luar negeri seperti Nederland, Suriname, Amerika, Jepang, Hongkong, Singapura dan lain-lain (Wiriano, 1984). Kerupuk merupakan produk makanan kering hasil penggorengan dengan bahan dasar dari tapioka dengan atau tanpa bahan tambahan lain yang diijinkan. Kerupuk merupakan jenis makanan kecil yang mengalami pengembangan volume, membentuk produk yang berongga dan mempunyai densitas rendah selama penggorengan. Kerupuk pada umumnya terbuat dari bahan yang mengandung pati cukup tinggi (Harry, 1984). Definisi kerupuk dalam Standar Industri Indonesia (SII) nomor 0272-90 adalah produk makanan kering yang dibuat dari tapioka atau tepung sagu dengan atau tanpa tambahan bahan makanan atau bahan tambahan makanan lain yang diijinkan, yang harus disiapkan dengan cara menggoreng atau memanggang

sebelum disajikan (SII, 1990). Pengolahan kerupuk ini merupakan pencampuran tepung tapioka, tepung pisang dan bumbu-bumbu sampai diperoleh adonan yang homogen dan dilakukan pencetakan, pengukusan, pengeringan dan penggorengan. Pada proses ini yang paling penting adalah proses pencampuran, pengukusan dan proses pengorengan. Pengukusan penting dalam proses gelatinisasi adonan. Proses pemasakan pada pembuatan kerupuk ini juga merupakan proses penting, karena pada proses ini akan mempengaruhi pada produk akhir yang dihasilkan. Proses penggorengan yang baik dilakukan pada saat suhu minyak sudah cukup tinggi, pada proses penggorengan ini dipengaruhi juga dengan tingkat lama waktu penggorengan, biasanya suhu penggorengan yang dipakai adalah 177 sampai 221oC (Wiriano, 1984). Penggorengan merupakan proses pengolahan

bahan pangan yang paling efisien dibandingkan dengan pemanggangan atau perebusan karena menggunakan minyak sebagai bahan pemanas, selain menjadi luarnya renyah dan bagian dalamnya lembut. Tapioka adalah pati yang berasal dari ekstraksi umbi singkong. Pati tersebut sudah mengalami pencucian, pengeringan dan penggilingan. Tapioka banyak digunakan karena tapioka mempunyai daya ikat yang cukup tinggi dan membentuk struktur yang kuat. Tapioka mempunyai sifat higrokopis dan menyerap air, sehingga adonan menjadi kental, mudah kering dan kadar airnya berkurang. Tapioka sebagian besar terdiri dari pati yang tersusun atas dua komponen, yaitu amilosa 23% dan amilopektin 77%. Pati tersebut tidak larut

dalam air, tetapi jika ditambahkan air dan dilakukan pemanasan akan menyerap air dan mengembang, proses tersebut disebut gelatinisasi (Wijandi, 1976). Umumnya masyarakat mengenal dua jenis tapioka, yaitu tapioka kasar dan tapioka halus.Komponen gizi yang terdapat pada tapioka dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komponen Gizi Tapioka dalam Tiap 100 g Komponen Gizi Jumlah (%) Air Protein Lemak Karbohidrat Sumber : Direktorat Gizi, Depkes. RI., (2007). Pisang sebagai salah satu komoditas unggulan saat ini masih tetap merupakan kontributor utama (34,5%) terhadap produksi buah nasional. Jumlah produksi pisang di Indonesia cukup besar. dan sentra produksi pisang terdapat di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, Banten, NTT, dan Lampung. Produksi pisang di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Produksi Pisang di Jawa Barat 2004-2007 Tahun Produksi (Ton) 2004 2005 2006 2007 Sumber : Balai Pusat Statistik, (2007) Banyaknya pisang di pasar lokal dapat menurunkan harga bahan yang di jual. Oleh karena itu, perlu di cari alternatif pengolahan sebagai makanan olahan yang awet (Suhardiman, 1997). 1.456.159 1.439.779 1.157.446 1.618.616 12 0,5 0,3 86

Pisang merupakan buah-buahan yang tidak bersifat musiman dan selalu tersedia sepanjang tahun, sehingga mudah untuk mendapatkannya. Produksi pisang di Indonesia sangat besar sehingga harus ada cara untuk menanggulangi produksi buah pisang yang tidak terpasarkan dan belum sepenuhnya dimanfaatkan, maka perlu adanya usaha untuk pengembangan potensi dan pendayagunaan pisang agar dapat meningkat nilai ekonominya. Pembuatan kerupuk dapat memanfaatkan produksi pisang yang melimpah dan menambah nilai jual dari olahan pisang itu sendiri. Keadaan di atas memerlukan adanya suatu kombinasi antara penanganan pemasaran pisang segar dan pengolohan pisang menjadi berbagai produk olahan baik produk jadi maupun produk setengah jadi. Produk setengah jadi yang berprospek baik untuk dikembangkan adalah tepung pisang. Beberapa contoh produk olahan pisang seperti tepung pisang, sale pisang, kripik, dodol pisang, selai pisang dan aneka ragam kue (Satuhu, 2003). Salah satu jenis pisang yang dapat dijadikan tepung pisang adalah pisang kepok. Tepung pisang dibuat dari buah pisang yang masih mentah namun yang sudah cukup tua. Tepung pisang banyak dimanfaatkan sebagai campuran pada pembuatan roti, cake, kue kering, campuran tepung terigu, dan campuran makanan bayi. Pada dasarnya semua jenis buah pisang mentah dapat diolah menjadi tepung, tapi warna tepung yang dihasilkan bervariasi, karena dipengaruhi oleh tingkat ketuaan buah, jenis buah dan cara pengolahan. Baik pisang muda, pisang tua atau yang masak bisa dijadikan tepung, tetapi buah yang muda menuju

tua lebih cepat pembuatannya dikarenakan kadar air dan gulanya rendah, sehingga cepat dalam proses pengeringannya. Sedangkan yang masak agak lama, karena kadar patinya sudah berkurang. Biasanya buah yang masak keadaannya basah oleh kadar gula yang tinggi, sehingga memerlukan pengeringan yang lebih lama (Soedjono dan Sri Nuryani, 2001). Pada dasarnya semua jenis pisang dapat diolah menjadi tepung pisang, asal tingkat ketuaannya cukup. Tetapi sifat tepung pisang yang dihasilkan tidak sama untuk masing-masing jenis pisang. Pisang yang paling baik untuk dijadikan tepung pisang adalah pisang kepok dimana tepung yang dihasilkannya mempunyai warna lebih putih dibandingkan dengan yang dibuat dari pisang jenis lain. Pada penelitian ini digunakan pisang kepok dimana tingkat atau jumlah produksinya banyak, karena termasuk jenis pisang komersial sehingga banyak dibudidayakan oleh petani pisang. Sifat-sifat fisik dan kandungan kimia tepung pisang dari berbagai varietas pisang dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Sifat Fisik dan Kimia Tepung Pisang dari Berbagai Varietas Pisang Varietas Warna Kadar Air Kadar Asam Kaarbohidrat (%) (%) (%) Kepok Nangka Ambon Raja Bulu Siam Putih Putih coklat Putih abu-abu Putih coklat Kuning coklat 6,08 6,09 6,26 6,24 7,62 1,85 0,85 1,04 0,84 1,00 76,47 79,84 78,99 76,47 77,13

Sumber : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, (2007). Tepung pisang merupakan hasil proses pembuatan dari buah pisang yang

dihilangkan sebagian kadar airnya. Tepung pisang tersebut dapat dibuat secara langsung dari buah pisang yang dihancurkan dan kemudian dikeringkan, lalu dihaluskan (digiling) dengan tingkat kehalusan 80 mesh dan 60 mesh. Tepung pisang tersebut berfungsi sebagai pengganti (subtitusi) atau bahan campuran tepung tapioka dan terigu. Subtitusi tepung pisang terhadap tepung tapioka pada pembuatan kerupuk berkisar 10 100%, tergantung dari jenis yang dibuat. Pemanfaatan tepung pisang dalam subtitusi pembuatan bahan makanan tersebut diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu atau tepung tapioka. Ketergantungan terhadap salah satu pangan pokok khususnya terigu, menuntut masyarakat untuk menggali potensi pangan lokal yang ada disetiap daerah. Pisang (Musa paradisiaca) sebagai salah satu tanaman buah-buahan mempunyai potensi besar diolah menjadi tepung sebagai substitusi tepung terigu. Tepung pisang merupakan produk antara yang cukup prospektif dalam pengembangan sumber pangan lokal. Buah pisang cukup sesuai untuk diproses menjadi tepung mengingat bahwa komponen utama penyusunnya adalah karbohidrat 17,2 sampai 38% (BPTP, 2007). Tapioka mengandung amilosa 23 % dan amilopektin 77 %. Perbandingan amilosa dan amilopektin ini mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilosa, maka pati makin bersifat kering dan kurang lengket. Karakteristik dari kerupuk yang disukai oleh konsumen memiliki volume

pengembangan yang baik, kerenyahan yang baik dan penampakan menarik. Volume pengembangan kerupuk dipengaruhi oleh kadar amilopektinnya, dimana tapioka memiliki amilopektin yang tinggi. Pati tersebut tidak larut dalam air, tetapi jika ditambahkan air dan dilakukan pemanasan akan menyerap air dan mengembang, proses tersebut disebut gelatinisasi. Proses penggorengan kerupuk dilakukan pada suhu 160oC. Proses penggorengan kerupuk dimulai pada saat kerupuk mentah dimasukan kedalam wajan penggorengan. Setelah 4 sampai 10 detik kerupuk mulai mengalami perubahan bentuk dan pengembangan volume yang ditandai dengan bergeraknya kerupuk dengan cepat ke permukaan minyak yang disertai gelembung-gelembung udara yang pecah di permukaan minyak. 1.2. Indentifikasi Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang penelitian, maka masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh tingkat subtitusi tepung tapioka dengan tepung pisang terhadap karakteristik kerupuk pisang kepok. 2. Bagaimana pengaruh lama waktu penggorengan terhadap karakteristik kerupuk pisang kepok. 3. Bagaimana pengaruh interaksi antara subsitusi tepung tapioka dan tepung pisang dan lamanya waktu penggorengan terhadap karakteristik kerupuk pisang kepok. 1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah : 1. Untuk mencari tingkat substitusi yang tepat antara tepung tapioka dengan tepung pisang terhadap karakteristik kerupuk pisang kepok. 2. Untuk mencari waktu penggorengan yang tepat terhadap karakteristik kerupuk pisang kepok. 1.4. Manfaat Peneltian Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah : 1. Memberikan salah satu alternatif cara pemanfaatan tepung pisang dalam

bentuk kerupuk dengan mutu dan karakteristik yang lebih baik yang dapat di terima oleh konsumen. 2. Menambah penganekaragaman diversifikasi produk olahan pisang yang dapat meningkatkan nilai ekonomis pisang. 1.5. Kerangka Pemikiran Menurut SII (1990), kerupuk adalah hasil olahan produk makanan kecil yang terbuat dari tapioka dan bahan lain, dimana secara umum pembuatan kerupuk terdiri dari lima tahap penting yaitu pembuatan adonan, pencampuaran adonan, pengukusan, pencetakan dan pengeringan. Menurut Nabil (1983) dalam Solihat (2003) bahwa mekanisme kerenyahan kerupuk ini disebabkan oleh adanya pengembangan kerupuk saat dilakukan penggorengan, dimana fenomena pengembangan kerupuk terjadi disebabkan oleh terlepasnya air yang terikat dalam gel pati pada saat penggorengan. Air ini mulamula menjadi uap akibat meningkatnya suhu dan mendesak pati untuk keluar

sehingga terjadi pengosongan yang membentuk kantong-kantong udara pada kerupuk yang telah digoreng, adanya kantong-kantong inilah yang menyebabkan kerupuk menjadi renyah. Menurut Deviyanthi (2007) pada pembuatan kerupuk sagu dengan jagung didapat perbandingan tepung terigu dengan pati adalah 1: 3 terhadap rasa kerupuk sagu jagung yang dihasilkan. Menurut Erlyn (2007) kadar air untuk jenis sediaan ubi jalar pada perbandingan tapioka dengan tepung kacang koro adalah sebesar 6,15 %. Perbandingan tapioka, tepung kacang koro, dengan ubi jalar memberikan pengaruh nyata terhadap volume pengembangan kerupuk. Dimana hasil terbaik pada perlakuan (50% : 20% : 30%) sebesar 345,521%. Menurut Rahmawati, S (2008) semakin tinggi suhu yang digunakan maka semakin besar air yang menguap sehingga mengakibatkan semakin besar kadar abu yang di hasilkan. Selain itu juga penambahan bumbu seperti garam juga dapat meningkatkan kadar abu dari produk yang dihasilkan. Karena garam merupakan sumber mineral natrium dan klorida. Menurut Novriyanti (2003) pada pembuatan kerupuk ampas tahu dihasilkan perbandingan ampas tahu dan tapioka adalah 25% : 75% dengan suhu penggorengan 90C selama 10 detik terhadap warna ampas tahu yang dihasilkan, kerena semakin lama waktu penggorengan warna kerupuk semakin kusam. Sedangkan menurut Ratna Solihat (2003), kerupuk kulit ubi kayu terbaik dihasilkan dari perbandingan tapioka dan kulit ubi kayu adalah 30% : 70% dengan

lama waktu penggorengan 7 detik diperoleh karakteristik kerupuk kulit ubi kayu dengan tekstur yang renyah. Menurut Kardiah Dessy (1998), pada penelitian pembuatan kerupuk kimpul dengan suhu penggorengan 100C dengan perbandingan tepung tapioka dengan tepung ubi kimpul 25% : 75%, diperoleh kerupuk ubi kimpul dengan karakteristik yang baik, dimana tekstur kerupuk yang dihasilkan menyebabkan rongga-rongga lebih kecil sehingga tekstur yang dihasilkan lebih halus. Sebaliknya molekul amilopektin bersifat mudah mengembang. Proses yang menggunakan panas akhir-akhir ini banyak diterapkan pada bahan pangan yaitu proses pengukusan dengan tujuan untuk meningkatkan kelezatan makanan tersebut dan juga untuk meningkatkan umur simpan bahan pangan dan memperkecil timbulnya mikroorganisme yang timbul pada bahan pangan tersebut (Harris, 1989). Proses pengeringan kerupuk mentah bertujuan untuk menghasilkan bahan dengan kadar air tertentu. Kadar air yang terkandung dalam kerupuk mentah akan mempengaruhi kualitas dan kapasitas pengembangan kerupuk pada proses penggorengan selanjutnya. Menurut Wiriano (1984), pada proses penggorengan diperlukan tingkat kadar air tertentu dari kerupuk mentah untuk menghasilkan tekanan uap yang maksimum, sehingga gel pati pada kerupuk dapat mengembang. Pengeringan merupakan salah satu cara pengawetan pangan dalam jangka waktu yang lama dan mengurangi kadar air dengan pemanasan. Selain untuk mengawetkan juga untuk memudahkan dalam penyimpanan (Desroiser, 1988).

11

Penggorengan adalah pemasakan kerupuk mentah menjadi kerupuk matang yang siap dikomsumsi. Cara penggorengan yang umum digunakan adalah penggorengan dalam wajan dengan minyak goreng. Cara lain yang dapat di gunakan adalah penyangraian dengan pasir dan pemanggangan. Penggorengan dengan menggunakan minyak adalah suatu teknik

pengolahan pangan dimana bahan dimasukan kedalam minyak panas (163oC sampai 178oC) dan seluruh bagian permukaan bahan mendapat perlakuan panas yang sama, sehingga berwarna seragam menurut Hallstrom, (1980) dalam Wirakartakusumah (1992). Pemberian panas bertujuan untuk mendapatkan produk yang mudah dicerna dan cita rasanya baik (palatable), dengan penurunan kualitas yang minimum menurut Dagerskog, (1977) dalam Wirakartakusumah (1992). Menurut Zacharias, (1978) dalam Wirakartakusumah, (1992), pemberian panas memberi pengaruh positif terhadap protein dan karbohidrat sehingga mudah dicerna. 1.6. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian dalam kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis yang dapat diambil adalah sebagai berikut : 1. Diduga bahwa subtitusi tepung tapioka dengan tepung pisang dan lama waktu penggorengan dapat berpengaruh terhadap karakteristik kerupuk pisang kepok yang dihasilkan. 1.7. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium Teknologi Pangan Universitas

Pasundan Jl.Dr Setiabudhi No 193 Bandung.

Anda mungkin juga menyukai