Anda di halaman 1dari 12

ASPEK FARMAKOKINETIK KLINIK BEBERAPA OBAT BERPOTENSI

HEPATOTOKSIK PADA PASIEN RAWAT INAP di BANGSAL PARU


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
PERIODE OKTOBER 2011- JANUARI 2012
Oleh : Intan Julita*)
Korespondensi : aidj2@yahoo.co.id
Farmakokinetik klinik merupakan aplikasi konsep farmakokinetik pada dunia pengobatan dalam rangka
mewujudkan terapi obat yang aman dan efektif pada seorang pasien (farmakoterapi) sehingga keberhasilan
pengobatan dapat dicapai. Karena perbedaan antara pasien dalam farmakokinetik (ADME) maupun perubahan
kondisi patologik pasien, maka sulit merancang aturan dosis tepat. Adanya korelasi yang kuat antara konsentrasi
obat dengan respon farmakologinya memungkinkan prinsip farmakokinetika dapat ditetapkan pada kondisi
pasien yang sebenarnya. Obat berpotensi hepatotoksik adalah obat yang dapat menginduksi kerusakan hati atau
biasanya disebut (drug induced liver injury). Penelitian ini dilakukan pada pasien rawat inap di bangsal paru
RSUP DR. M. DJAMIL Padang selama 4 bulan (Oktober 2011-Januari 2012). Jenis data yang diambil meliputi
masalah-masalah aspek farmakokinetik yang ditemukan terkait dengan penggunaan obat berpotensi
hepatotoksik yaitu aspek kesesuaian dosis, keefektifan terapi, efek samping yang merugikan, efek toksik dan
interaksi. Data dianalisa secara statistik deskriptif serta dilakukan perhitungan jumlah persentase dan disajikan
dalam bentuk tabulasi dan diagram. Dari penelitian ini didapatkan penggunaan beberapa obat berpotensi
hepatotoksik yaitu parasetamol, OAT (rifampisin, isoniazod, pirazinamid, ethambutol, rantidin, lansoprazol,
tramadol, kortikosteroid (metilprednisolon, dexametason, prednison dan aminophilin. Child pugh Score lengkap
didapat dari 17% pasien dan 83% tidak lengkap. Dari 17% pasien berada pada rentang score 7-9 (kerusakan hati
sedang). Dari penelitian juga didapat 100% pasien mengalami gejala subjektifitas dan objektifitas kerusakan
fungsi hati. Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa belum adanya penerapan aspek farmakokinetik klinik pada
pasien yang menggunakan obat berpotensi hepatotoksik yang dirawat di bangsal paru RSUP. DR. M. Djamil
Padang.

PENDAHULUAN
Hati merupakan organ sensitif. Salah satu
fungsinya yang penting adalah melindungi tubuh
terhadap terjadinya penumpukan zat berbahaya
yang masuk dari luar, seperti obat atau herbal
tertentu. Banyak diantara obat yang bersifat larut
dalam lemak dan tidak mudah diekresikan.
Metabolisme tubuh akan memproses obat melalui
hati. Untuk itu, organ hati memiliki sistem enzim
pada mikrosomnya yang dapat melakukan
biotransformasi (dari obat) sehingga terbentuk
metabolit yang lebih mudah larut dalam air dan
dapat dikeluarkan melalui urin atau empedu.
Banyak penyakit yang memang bisa diatasi dengan
berbagai obat. Obat-obatan tetap merupakan bahan
kimia yang sangat mungkin mempengaruhi fungsi
organ dalam tubuh, terutama hati. Berdasarkan
keterangan diatas, tidak mengherankan bila hati
mempunyai kemungkinan yang cukup besar untuk
dirusak oleh obat. Lazimnya, istilah yang
digunakan untuk obat penyebab kerusakan hati
disebut obat penginduksi kerusakan hati (drug
induced liver injury). Sedangkan efeknya disebut
hepatotoksik atau toksik ke hepar (hati). Prevalensi
kerusakan hati akibat obat sangat tinggi, mulai dari

kerusakan yang tidak permanen namun dapat


berlangsung lama dan fatal (Setiabudy,1979;
Suasono, 1985).
Hepatotoksisitas akibat obat harus selalu
dipertimbangkan sebagai kemungkinan penyebab
penyakit hati. Sebuah survei dari Acute Liver
Failure Study Group (ALFSG) yang dilakukan
pada pasien rawat inap di 17 rumah sakit Amerika
Serikat menunjukan bahwa obat yang diresepkan
(termasuk asetaminofen) menyebabkan > 50%
kasus gagal hati akut. Saat ini, efek hepatotoksik
merupakan
alasan
utama
terhentinya
pengembangan obat lebih lanjut dan ditariknya obat
yang telah disetujui oleh FDA dari pasaran
(Andrade, et al, 2007). Salah satu alasan penarikan
obat di pasaran adalah karena obat-obat tersebut
menyebabkan peningkatan kadar enzim-enzim di
hati (Dipiro, 2005).
Farmakokinetika adalah ilmu yang
mempelajari kinetika obat, yang dalam hal ini
berarti kinetika obat dalam tubuh. Proses-proses
yang akan menentukan kinetika obat dalam tubuh
meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme
dan ekskresi. Untuk bidang farmasi klinik,
farmakokinetika berperan penting dalam memilih
rute pemberian obat yang paling tepat, penetapan

dosis yang tepat untuk setiap individu (dosage


regimen
individualization),
menerangkan
mekanisme interaksi obat, baik antara obat dengan
obat maupun antara obat dengan makanan atau
minuman (Cahyati, 1985; Santoso, 1985).
METODOLOGI
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Bangsal Paru
RSUP DR. M. Djamil Padang. Waktu penelitian
dilakukan kurang lebih selama 4 bulan dari
Oktober 2011 sampai dengan Januari 2012.
Jenis Penelitian

dikelompokan berdasarkan nilai Child Pugh Score.


Obat-obat yang diterima dari masing-masing
kelompok dievaluasi bedasarkan faktor obat-obat
dengan indeks terapi sempit, obat-obat yang
dimetabolisme terutama di hati, serta obat-obat
yang memiliki efek hepatotoksik. Analisa dosis,
interaksi dan efek samping obat yang diterima
pasien untuk melihat peningkatan intensitas efek
samping atau munculnya efek toksik obat yang
menyebabkan penurunan fungsi hati. Data
dianalisis secara deskriptif serta dilakukan
perhitungan jumlah persentase dan disajikan dalam
bentuk tabulasi dan diagram.
Tabel 1. Child Pugh score

Jenis Penelitian
Penelitian
ini
dilakukan
dengan
menggunakan data observasi prospektif
pada
pasien rawat inap
yang menggunakan obat
berpotensi hepatotoksik di Bangsal Paru RSUP DR.
M. Djamil Padang.
Jenis Data
1. Data Kuantitatif
Meliputi persentase penggunaan obat berpotensi
hepatotoksik dan persentase obat-obat yang
berinteraksi
dengan
obat
berpotensi
hepatotoksik di Bangsal Paru RSUP. DR. M.
Djamil Padang.
2. Data Kualitatif
Meliputi
masalah-masalah
aspek
farmakokinetik yang ditemukan terkait dengan
penggunaan obat berpotensi hepatotoksik yaitu
aspek kesesuaian dosis,
efek terapi, efek
samping yang merugikan, efek toksik dan
interaksi yang terjadi akibat pemberian fenitoin
yang bermakna klinik.
Pengumpulan Data
Data yang diambil adalah data rekam
medik pasien yang menggunakan obat
berpotensi hepatotoksik (obat- obat dengan
indeks terapi sempit, obat-obat yang
dimetabolisme terutama di hati, serta obat-obat
yang memiliki efek hepatotoksik) dan dan
observasi langsung kepada pasien atau keluarga
pasien yang dirawat inap di bangsal paru RSUP
Dr. M. Djamil Padang. Kemudian obat yang
digunakan dicatat pada formulir yang tersedia.
Adapun data yang dibutuhkan pada rekam
medik antara lain: nama pasien, jenis kelamin,
umur, obat yang digunakan, kadar SGPT, kadar
SGOT, waktu prothrombin, kadar albumin
darah, kadar bilirubin total, asites, ensepalopati
hepatika dan data-data lain yang diperlukan.
Analisa Data
Data dianalisa menggunakan penilaian Child Pugh
Score. Pasien dikelompokan berdasarkan obat
berpotensi hepatotoksik yang digunakan lalu

Tes/ Gejala
Total Bilirubin
(mu mol/dL)
Serum
Albumin
(g/dL)
Prothrombin time
(seconprolong over
control)
Asites
Hepatic
Encephalopathy

Skor 1
poin
<2.0

Skor 2
poin
2.0-3.0

Skor
poin
>3.0

>3.5

2.8-3.5

<2.8

<4

4-6

>6

Tidak
ada
Tidak
ada

Slight

Moderate

Moderate

Severe

HASIL
Hasil yang diperoleh dari penggunaan obat
berpotensi hepatotoksik di Bangsal Paru RSUP.
DR. M. Djamil Padang selama bulan Oktober 2011
hingga bulan Januari 2012 adalah sebagai berikut :
1. Jumlah pasien yang dirawat inap di Bangsal
Paru RSUP. DR. M. Djamil Padang selama
bulan Oktober 2011 hingga bulan Januari 2012
adalah 172 orang dan yang menggunakan obat
berpotensi hepatotoksik berjumlah 81 orang
dengan persentase 47%. Dari 81 pasien
diperoleh data pasien laki-laki berjumlah 60
orang (74%), dan data pasien perempuan
berjumlah 21 orang (26%). Dari 81 pasien
diperoleh data usia <25 tahun adalah 12% (10
orang) , usia 26-35 tahun adalah 16% ( 13
orang), usia 36-45 tahun adalah 12% (10
orang), usia 46-55 tahun adalah 17% (14
orang), usia 56-65 tahun adalah 29% (23
orang), dan usia >65 tahun adalah 14% (11
orang).
2. Berdasarkan data yang ada, obat berpotensi
hepatotoksik yang digunakan di Bangsal Paru
RSUP. DR. M. Djamil Padang: Obat berpotensi
hepatotoksik
adalah
Parasetamol.
Obat
berpotensi hepatotoksik yang dimetabolisme
terutama dihati adalah Obat OAT (rifampisin;
isoniazid, pirazynamid, ethambutol), ranitidin,
lansoprazol, tramadol, kortikosteroid (metyl
prednisolon; dexametason; prednison). Obat

3.

4.

5.

6.

berpotensi hepatotoksik yang merupakan obat


indeks terapi sempit adalah Aminophilin.
Persentase jumlah pasien yang menggunakan
obat
berpotensi
hepatotoksik
yang
dimetabolisme terutama di hati adalah 32%.
Persentase jumlah pasien yang menggunakan
obat berpotensi hepatotoksik adalah 11%.
Persentase jumlah pasien yang menggunakan
obat berpotensi hepatotoksik yang merupakan
obat indeks terapi sempit 0%. Persentase jumlah
pasien yang menggunakan obat berpotensi
hepatotoksik lebih dari satu kategori
(kombinasi) adalah 57%.
Persentase jumlah kelengkapan komponen
parameter Child-Pugh. Berdasarkan data
prospektif pasien yang dirawat selama bulan
Oktober 2011 hingga bulan Januari 2012 di
Bangsal Paru RSUP. DR. M. Djamil Padang
diperoleh data komponen parameter Child-Pugh
yang lengkap adalah 17% (14 orang) dan yang
tidak lengkap adalah 83% (67 orang). Dari data
tersebut diperoleh pengelompokan rentang skor
nilai Child Pugh kelas A (< 7 poin), kelas B (79 poin), dan kelas C (10-15 poin) masingmasing sebesar 0%, 100% dan 0%.
Berdasarkan data SGPT/ALT didapatkan 1
orang (1%) pasien mengalami hepatotoksisitas
grade IV, 1 orang (1%) pasien mengalami
hepatotoksisitas grade III, 1 orang (1%) pasien
mengalami hepatotoksisitas grade II, 14 orang
(17%) pasien mengalami hepatotoksisitas grade
I, pasien yang tidak mengalami hepatotoksisitas
ada 53 orang (66%). Sedangkan data SGPT
yang tidak tersedia adalah 14% (11 orang).
a. Persentase
jumlah
pasien
yang
mengalami
gejala
subjektif
hepatotoksisitas.
Berdasarkan
hasil
observasi pada pasien diperoleh 100%
(81
orang)
mengalami
gejala
subjektifitas hepatotoksisitas. Gejala
subjektif meliputi keadaan lemah,
penurunan berat badan, mual/muntah,
perut terasa tidak nyaman, demam,
kebingungan, penurunan nafsu makan
dan rentan terhadap pendarahan.
b. Persentase
jumlah
pasien
yang
mengalami
gejala
objektif
hepatotoksisitas. Berdasarkan hasil
observasi pada pasien diperoleh 100%
(74 orang) mengalami gejala objektif
hepatotoksisitas dan 7 orang tidak
tersedia data laboratorium klinis
sehingga tidak bisa diartikan secara
klinis. Gejala objektifif meliputi
peningkatan kadar SGPT dan SGOT,
peningkatan kadar ALP, penurunan
serum albumin, penurunan serum protein
total, peningkatan kadar bilirubin dan
peningkatan watu protombin.

7.

8.

Aminophilin merupakan obat indeks terapi


sempit untuk itu, perlu dilakukan perhitungan
dosis sesuai dengan keadaan klinis pasien.
Pasien yang menggunakan aminophilin
sebanyak 24 orang pasien (3 orang oral dan
21 orang intravena.
a. Perhitungan dosis aminophilin intravena
berdasarkan loading dose. Berdasarkan
dosis yang direkomendasikan didapatkan
persentase loading dose aminophilin
terdapat 10% loading dose berlebih,
76% loading dose kurang dan 14%
loading dose tepat. Berdasarkan klirens
(Cl) dan konsentrasi steady state (Css)
didapatkan 19% loading dose berlebih,
71% loading dose kurang dan 10%
loading dose tepat.
b. Perhitungan dosis aminophilin intravena
berdasarkan dosis lanjutan (maintenance
dose).
Berdasarkan
dosis
yang
direkomendasikan didapatkan persentase
dosis lanjutan aminophilin terdapat 33%
dosis lanjutan berlebih, 67% dosis
lanjutan kurang dan 0% dosis lanjutan
tepat. Berdasarkan klirens (Cl) dan
konsentrasi steady state (Css) didapatkan
persentase dosis lanjutan aminophilin
terdapat 10% dosis lanjutan berlebih,
71% dosis lanjutan kurang dan 19%
dosis lanjutan tepat
c. Perhitungan dosis aminophilin oral
berdasarkan
dosis
yang
direkomendasikan didapatkan persentase
25% dosis berlebih, 50% dosis kurang
dan 25% dosis tepat. Berdasarkan
klirens (Cl) dan konsentrasi steady state
(Css) didapatkan persentase 25% dosis
berlebih, 50% dosis kurang dan 25%
dosis tepat.
Persentase interaksi obat yang terjadi pada
pasien, ditemukan sebanyak 65%. Obatobat yang berinteraksi antara lain OAT dan
parasetamol (6 kasus), OAT dan antasida ( 2
kasus), OAT dan kortokosteroid (4 kasus),
OAT dan aminophilin ( 1 kasus), OAT dan
ondansentron ( 1 kasus), ranitidin dan
antasida
(11
kasus),
ranitidin
dan
aminophilin (6 kasus), ranitidin dan
sefalosporin (17 kasus), ranitidin dan
diltiazem (1 kasus), kortikosteroid dan
antasida (1 kasus), kortikosteroid dan
aminophilin ( 19 kasus), aminophilin dan
azitromisin (5 kasus), zat besi dan antasida (3
kasus).

PEMBAHASAN
Penelitian Aspek Farmakokinetik Klinik
beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik pada
pasien Bangsal Paru RSUP DR. M. Djamil Padang
bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi

obat-obat yang berpotensi hepatotoksik yang


digunakan pada pasien yang mengakibatkan
penurunan fungsi hati. Penelitian ini dilakukan agar
dapat menghindari terjadinya penurunan fungsi hati
dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Gambaran Umum Pasien
Pengambilan data penelitian secara
prospektif di Bangsal Paru RSUP. DR. M. Djamil
rentang waktu bulan Oktober 2011 hingga bulan
Januari 2012 yaitu pasien yang menggunakan obat
berpotensi hepatotoksik. Sampel penelitian yang
diambil dengan melihat obat hepatotoksik yang
digunakan dan data laboratorium klinik pasien
yaitu serum protein total, serum albumin, total
bilirubin, alkaline phospatase (ALP), SGPT/ALT,
SGOT/AST,dan lain-lain. Pada penelitian ini
diperoleh sampel sebanyak 81 orang pasien dengan
persentase sebanyak 74% laki-laki (60 orang) dan
26% perempuan (21orang) dimana persentase
pasien laki-laki lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Dari penelitian didapat penyakit yang
dirawat inap di Bangsal Paru RSUP. DR. M.
Djamil Padang adalah TBC,PPOK, Kanker
bronkogenik dan Asma. Dari data ini dapat
disimpulkan bahwa laki-laki lebih rentan terkena
penyakit tersebut karena beberapa faktor resiko
seperti merokok. Di Indonesia prevalensi merokok
pada laki-laki dilaporkan sekitar 50-70 %
(Sajinaniasa, Bagiada & Ngurah, 2010).
Pada penelitian ini juga diperoleh data
demografi berdasarkan usia dimana didapatkan 6
kelompok umur pasien yaitu 10 orang pasien
berumur < 25 tahun (12%), 13 orang pasien
berumur 26-35 tahun (16%), 10 orang pasien
berumur 36-45 tahun (12%), 14 orang pasien
berumur 46-55 tahun (17%), 23 orang pasien
berumur 56-65 tahun (29%), 11 orang pasien
berumur >65 tahun. Pada pasien dengan usia lanjut
diperlukan perhatian lebih lanjut dikarenakan aliran
darah ke hati pada pasien umur >60 tahun
berkurang hingga 50-60% dibandingkan pasien
usia muda sekitar 20-30 tahun (Katzung, 2004).
Kemampuan hati untuk memetabolisme obat tidak
akan sama berdasarkan perbedaan umur untuk
semua jenis obat. Salah satu contohnya dalam
penelitian ini adalah perhitungan dosis aminophilin
yang diberikan pada pasien usia lanjut karena t1/2
pada geriatri berubah menjadi 12 jam yang pada
usia dewasa hanya 8 jam.
Gambaran Penggunaan Obat Berpotensi
Hepatotoksik
Dalam penelitian ini ditemukan beberapa
macam penyakit yang menggunakan obat
berpotensi hepatotoksik antara lain tuberkolosis
paru (TBC), asma bronkial, penyakit paru obstruksi
kronis (PPOK), efusi pleura, pneumothorax, dan
kanker bronkogenik. Untuk TBC prinsip
pengobatan nya adalah farmakologi dan non

farmakologi. Non farmakologi dapat dilakukan


dengan cara perbaikan gizi pasien serta melakukan
pendidikan kesehatan. Berdasarkan standar terapi
RSUP Dr. M. Djamil Padang, terapi farmakologi
dilakukan dengan cara pemberian obat anti
tuberkolosis (OAT) lini I yaitu rifampisin,
isoniazid, etambutol, pirazinamid dan streptomisin.
Namun jika terjadi resistensi, pengobatan dapat
dilanjutkan dengan lini II yaitu kanamisin,
amikasin, kinolon, makrolid dan ko amosiklav
(masih dalam penelitian), selain itu pasien perlu
diberikan hepatoprotektor seperti Curcuma. Dosis
OAT yang digunakan ditentukan berdasarkan berat
badan pasien (PFT RSUP Dr. M. Djamil Padang,
2007). Terapi farmakologi dan non farmakologi
harus berjalan seiringan demi kesembuhan pasien
karena pengobatan TBC diperlukan waktu yang
cukup lama.
Dari hasil observasi didapatkan, 24 orang
pasien menggunakan OAT. OAT yang digunakan
adalah OAT FDC (Fixed Dose Combination). OAT
FDC didesain dengan dosis tetap dengan tujuan
untuk meningkatkan kepatuhan pasien sehingga
pengobatan menjadi lebih sederhana dan
menurunkan tingkat MDR (Multi Drug Resistance)
(Soepandi, 2009; Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2002). Penentuan dosis OAT FDC ini
didesain berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang
efektif atau masih termasuk dalam batas dosis
terapi dan non toksik (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2002). Aplikasi klinis ke pasien OAT
FDC diberikan berdasarkan berat badan. Namun,
kelemahan dalam menggunakan OAT FDC ini, jika
terjadi efek samping tidak bisa ditentukan obat
mana yang menyebabkan terjadinya efek samping
termasuk hepatotoksisitas. Selama pengamatan
dalam penelitian, terapi pada pasien TBC sudah
sesuai dengan standar terapi rumah sakit namun
tidak semua pasien penerima OAT mendapatkan
hepatoprotektor. Pasien mendapatkan OAT FDC
kat I 1x3 tab dan FDC kat II 1x3 tab. Selain terapi
OAT pasien TBC juga diberikan beberapa terapi
simptomatis untuk mengatasi keluhan yang terjadi.
Pemakaian obat anti tuberkulosis (OAT)
dapat menimbulkan berbagai macam efek samping.
Salah satu efek samping yang cukup serius adalah
efek hepatotoksik. Mekanisme pasti OAT
menyebabkan hepatotoksisitas tidak diketahui
secara
pasti.
Isoniazid
menyebabkan
hepatotoksisitas dianggap sebagai reaksi yang tidak
diketahui (idiosinkratik). Reaksi idiosinkratik
merupakan efek samping obat yang tidak
berhubungan dengan sifat farmakologi obat.
Hepatotoksisitas terjadi tergantung dosis pada
individu tertentu, tetapi hepatotoksisitas tidak
terjadi
pada
setiap
individu.
Isoniazid
menyebabkan hepatotoksisitas bukan merupakan
dari reaksi hipersensitivitas atau alergi, tetapi dari
metabolit yang beracun (Tostmann, et al, 2007).

Ada beberapa ahli yang menyimpulkan bahwa


terjadi reaksi hipersensitivitas, namun ada juga
yang mengatakan terjadinya kelainan metabolisme
terhadap individu- individu yang rentan. Reaksi
hipersensitivitas biasanya muncul 1-5 minggu pada
masa terapi, sedangkan kelainan metabolisme dapat
muncul dalam masa terapi 1 minggu-setahum atau
lebih. Dari hasil pengamatan memang terbukti
bahwa hepatotoksisitas karena OAT tidak terjadi
pada semua pasien yang mengkonsumsi OAT.
Walaupun demikian, pemantauan terhadap faal
fungsi hati tetap dianjurkan.
Pada asma bronkial juga diperlukan
penanganan farmakologi dan non farmakologi.
Pada serangan akut, berdasarkan PFT RSUP Dr. M.
Djamil terapi non farmakologi dapat dilakukan
dengan cara memberikan oksigen dan terapi cairan.
Terapi farmakologi dimulai dari bronkodilator
yaitu agonis -2 kerja singkat inhalasi (misalnya
salbutamol nebules) atau dengan agonis -2 kerja
singkat injeksi (misalnya terbutalin injeksi) atau
kombinasi agonis -2 kerja singkat dan
antikolinergik inhalasi (misalnya salbutamol dan
ipratropium
bromida).
Lalu
penggunaan
kortikosteroid seperti metilprednisolon injeksi,
budesonide inhalahasi atau fluticasone propionat
inhalasi. Kemudian lakukan nilai ulang setelah
observasi satu jam (PFT Paru RSUP Dr. M. Djamil
Padang, 2007). Pada kasus serangan akut,
pengamatan tidak bisa dilakukan karena biasanya
terjadi di Instalasi Gawat Darurat (IGD), setelah
pasien normal baru dipindahkan keruang
perawatan. Setelah pasien dirawat terapinya adalah
bronkodilator yaitu agonis -2 kerja singkat
inhalasi (misalnya salbutamol nebules) atau agonis
-2 kerja singkat injeksi (misalnya terbutalin) atau
kombinasi agonis -2 kerja singkat dan
antikolinergik inhalasi (misalnya salbutamol dan
ipratropium bromida). Kortikosteroid seperti
metilprednisolon injeksi, budesonide inhalahasi
atau fluticasone propionat inhalasi. Dari hasil
pengamatan di lapangan penanganan pada pasien
asma tidak sesuai dengan standar terapi rumah
sakit. Penanganan asma diruang rawatan selalu
dimulai dengan pemberian aminophilin drip
dilanjutkan dengan pemberian Combivent (
Ipatropium bromida 0,5 mg, salbutamol sulfat 2,5
mg) atau Ventolin (salbutamol sulfat) 4-6x unit
vial dose . Setelah drip biasanya dilanjutkan dengan
aminophilin tablet atau salbutamol tablet. Selain itu
pasien
juga
diberikan
metilprednisolon,
dexametason atau prednison.
Aminophilin merupakan obat dengan
indeks terapi sempit untuk itu, penetapan dosis
pada pasien harus dilakukan sesuai dengan kondisi
klinis pasien. Dari hasil pengamatan didapat bahwa
penentuan dosis aminophilin pada pasien hanya
berdasarkan pengamatan dokter, tidak pernah
dilakukan perhitungan dosis sesuai dengan berat
badan dan pertimbangan kondisi lainya. Hal ini

sangat beresiko meningkatkan terjadi toksisitas


aminophilin. Aminophilin dieliminasi terutama
oleh hati (>90%). Metabolisme terutama oleh
enzim CYPIA2 dan sebagian lagi dalam jumlah
yang lebih kecil dimetabolisme oleh CYP3A dan
CYP2E. Sekitar 10% dari dosis aminophilin
ditemukan di urine sebagai obat utuh. Sebenarnya,
aminophilin mengikuti farmakokinetik non linear.
Namun, untuk menetapkan dosis pada pasien,
konsep dan persamaan farmakokinetik linear dapat
digunakan untuk menghitung dosis dan untuk
memperkirakan konsentrasi serum. Kadang-kadang
serum aminophilin meningkat lebih dari yang
diperkirakan karena alasan yang tidak diketahui,
dan farmakokinetik non linear dapat menjelaskan
hal tersebut (Bauer, 2008).
Dengan fungsi hati normal dan tanpa
penyakit t1/2 aminophilin 8 jam (range: 6-12 jam)
dan volume distribusinya 0,5 L/Kg (range: 0,4-0,6
L/Kg). Banyak penyakit yang mengubah
farmakokinetik dan dosis aminophilin yang
dibutuhkan, tetapi volume distribusi tetap stabil
~0,5 L/Kg dalam situasi ini (Bauer, 2008).
Pasien dengan sirosis hati atau akut
hepatitis dapat menurunkan klirens aminophilin
menjadi rata-rata t1/2 nya 24 jam. Namun, efek dari
penyakit hati terhadap farmakokinetik aminophilin
sangat bervariasi dan sangat sulit untuk diprediksi
secara akurat. Pasien dengan penyakit hati dapat
memiliki klearens atau t/12 aminophilin yang
normal atau sedikit tidak normal. Indeks kerusakan
hati dapat diperoleh dengan klasifikasi child pugh
pada pasien. Bila child pugh skor lebih dari 8,
inisial dosis aminophilin harus diturunkan (t1/2= 24
jam). Konsentrasi serum aminophilin dan efek
samping yang muncul harus dimonitor sesering
mungkin pada pasien dengan sirosis hati (Bauer,
2008).
Setelah dilakukan perhitungan dosis
aminophilin yang harus diterima berdasarkan dosis
yang direkomendasikan, dari 25 orang pasien (4
orang oral dan 21 orang intravena). Persentase yang
menerima dosis aminophilin secara intravena
terdapat 33% dosis lanjutan berlebih, 67% dosis
lanjutan kurang, dan 0% dosis lanjutan tepat.
Sedangkan persentase loading dose aminophilin
terdapat 10% loading dose berlebih, 76% loading
dose kurang dan 14% loading dose tepat. Pada
penggunaan aminophilin oral didapatkan persentase
25% dosis berlebih, 50% dosis kurang dan 25%
dosis tepat.
Sedangkan perhitungan berdasarkan nilai
klirens (Cl) dan konsentrasi serum (Css) didapat
persentase yang menerima dosis aminophilin secara
intravena terdapat 33% dosis lanjutan berlebih,
67% dosis lanjutan kurang, dan 0% dosis lanjutan
tepat. Sedangkan persentase loading dose
aminophilin terdapat 10% loading dose berlebih,
71% loading dose kurang dan 19% loading dose
tepat. Pemberian aminophilin secara oral

didapatkan 2 orang pasien (50%) kekurangan dosis,


1 orang pasien (25%) kelebihan dosis dan 1 orang
pasien (25%) dosis tepat. Pada penggunaan
aminophilin oral didapatkan persentase 25% dosis
berlebih, 50% dosis kurang dan 25% dosis tepat
Perhitungan dosis sudah dilakukan berdasarkan
fungsi hati pasien. Setelah dilakukan pengamatan
di Bangsal Paru pemberian loading dose dilakukan
selama 8-12 jam. Hal ini merupakan kesalahan
karena seharusnya pemberian loading dose
aminophilin dilakukan selama 20-30 menit. Setelah
itu baru diberikan dosis lanjutan sesuai dengan
berat badan pasien. Dari hasil diatas juga dapat
disimpulkan bahwa dosis aminophilin yang
diberikan lebih banyak kekurangan dosis,
seharusnya dosis dihitung dengan benar sesuai
dengan kondisi klinis pasien dan juga
mempertimbangkan interaksi obat yang terjadi.
Tabel I. Data perhitungan dosis aminophilin intravena
berdasarkan dosis yang direkomendasikan
No

Dosis yang diberikan

Dosis
seharusnya*
Loading
Dosis
dose
lanjutan
(mg)
(mg/jam)
444
60,1

Loading
dose
(mg)
360

Dosis
lanjutan
(mg/jam)
45

240

30

270

192

24

324

4
5
6

180
240
240

22,5
30
20

228
240
250

Kesimpulan
Loading
dose

Dosis
lanjutan

Dosis seharusnya*

Kesimpulan

diberikan
Loadin

Dosis

Loading

Dosis

Loading

Dosis

g dose

lanjutan

dose

lanjutan

dose

lanjutan

(mg)

(mg/jam)

1.

360

(mg)

45

(mg/jam)

435-870

60,3-120,6

Kurang

Kurang

2.

240

30

264-529

43,1-86,3

Kurang

Kurang

3.

192

24

317-635

44-88

Kurang

Kurang

4.

180

22,5

188-376

10,8-21,6

Kurang

Lebih

5.

240

30

235-470

13,5-27

Tepat

Lebih

6.

240

20

235-470

13,5-27

Tepat

Tepat

7.

216

27

282-564

39,1-75,5

Kurang

Kurang

8.

240

30

329-658

45,6-91,3

Kurang

Kurang

9.

168

21

188-376

10,8-21,7

Kurang

Tepat

10

144

18

188-376

26,0-52,0

Kurang

Kurang

11

288

24

276-552

38,3-76,6

Lebih

Kurang

12

192

24

205-411

28,5-57

Kurang

Kurang

13

192

24

176-352

24,4-48,9

Lebih

Tepat

14

240

30

352-705

48,9-97,8

Kurang

Kurang

Kurang

Lebih

15

192

16

188-376

26-52

Tepat

Kurang

25,4

Kurang

Kurang

16

192

16

305-611

42,3-84,7

Kurang

Kurang

Lebih

17

240

30

352-705

48,9-97,8

Kurang

Kurang

Kurang

18

192

24

235-470

13,5-27

Kurang

Tepat

19

240

30

264-529

36,6-73,3

Kurang

Kurang

20

300

25

294-588

40,7-81,5

Tepat

Kurang

21

192

24

205-411

28,5-57

Kurang

Kurang

13,4
32,9
14,1

Kurang
Tepat
Kurang

Lebih

288

20

Kurang

Lebih

240

30

324

40

Kurang

Kurang

168

21

200

13,4

Kurang

Lebih

1.

144

18

228

31,2

Kurang

Kurang

11

288

24

282

38,7

Lebih

Kurang

12

192

24

210

28,8

Kurang

Kurang

13

192

24

180

14,1

Lebih

Lebih

14

240

30

360

49,4

Kurang

Kurang

15

192

16

192

26,3

Tepat

Kurang

16

192

16

312

24,4

Kurang

Kurang

17

240

30

360

49,4

Kurang

Kurang

18

192

24

240

32,9

Kurang

Kurang

19

240

30

270

21,1

Kurang

Lebih

20

300

25

300

41,1

Tepat

Kurang

21

192

24

210

28,8

Kurang

Kurang

Tabel II. Data perhitungan dosis aminophilin oral


berdasarkan dosis yang direkomendasikan

1.
2.
3.
4.

Dosis yang

21,1

27

Dosis
seharusnya *
(mg)
3x 188
3x 200
3x 68
3x150

No

Kurang

216

Dosis yang
diberikan
(mg)
3x150
3x 150
3x150
3x150

Data perhitungan dosis aminophilin


intravena berdasarkan klirens(Cl) dan
konsentrasi steady state (Css).

Kurang

No

Tabel III.

Kesimpulan

Kurang
Kurang
Lebih
Tepat

Tabel IV

Data perhitungan dosis aminophilin


oral
berdasarkan
berdasarkan
klearens (Cl) dan konsentrasi
steady state (Css).
No

1.
2.
3.
4.

Dosis
yang
diberikan
(mg)
3x150
3x 150
3x150
3x150

Dosis
seharusnya*
(mg)

Kesimpulan

3x 326-652
3x 122-244
3x 48,9-97,8
3x 221-442

Kurang
Tepat
Lebih
Kurang

*Hasil Perhitungan
Dalam penelitian ini kortikosteroid yang
digunakan adalah metilprednisolon, dexametason
dan
prednison.
Untuk
penggunaan
metilprednisolon telah sesuai dengan standar
terapi rumah sakit, tapi untuk penggunaan
dexametason dan prednison tidak sesuai dengan
standar rumah sakit. Kortikosteroid digunakan
secara luas untuk mengobati berbagai jenis
penyakit. Secara umum, obat ini dianggap aman
untuk organ
hati, namun, laporan terbaru

menunjukkan
bahwa
dosis
tinggi
metilprednisolon (MP) dapat menyebabkan
kerusakan hati yang parah. Sebuah kasus
melaporkan metilprednisolon dosis tinggi
menyebabkan gangguan fungsi hati yang parah,
menyebabkan hepatitis akut (Gutkowski, Chwist
& Hartleb, 2011). Dilaporkan seorang wanita
berusia 24 tahun menerima 0,5 g/ hari
metilprednisolon selama 6 hari, total dosis 3 g.
Empat minggu kemudian, pasien dirawat kembali
dengan diagnosa hepatitis akut, pasien tidak
mengkomsumsi
obat
apapun
selain
metilprednisolon. Dilaporkan 13 kasus dengan
kejadian yang sama (Gutkowski, Chwist &
Hartleb, 2011). Metilprednisolon dimetabolisme
oleh sitokrom P450 3A4 (CYP3A4), dan
metabolitnya dieliminasi di ginjal (Gutkowski,
Chwist & Hartleb, 2011). Jika kortikosteroid
diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi
hati harus dilakukan monitoring fungsi hati dan
tanda- tanda terjadinya hepatitis secara ketat
sehingga pengobatan dapat dimulai dengan cepat
dan
tepat.
Meskipun
jarang
terjadi,
hepatotoksisitas
yang
disebabkan
oleh
metilprednisolon harus dipertimbangkan pada
pasien yang mengalami peningkatan aktivitas
enzim ini saat menerima kortikosteroid (Topal, et
al,
2006).
Sementara
itu,
penggunaan
dexametason dan prednison belum ditemukan
laporan klinis mengenai hepatotoksisitas. Dari
hasil pengamatan di Bangsal Paru RSUP. DR. M.
Djamil Padang, dosis yang digunakan untuk
metilprednisolon adalah 2x125 mg atau 2x62,5
mg setelah itu dilakukan tappering off. Dosis
yang digunakan masih relatif aman dan tidak
terlalu
tinggi.
Kortikosteroid
terbukti
hepatotoksik bila digunakan dalam dosis tinggi
dan dalam jangka waktu lama.
Pasien dengan diagnosa PPOK menurut
standar terapi pada saat serangan akut perlu
dilakukan terapi non farmakologi meliputi terapi
oksigen, cairan, nutrisi dan rehabilitasi fisik dan
respirasi serta perlu dilakukan evaluasi progsessifiti
penyakit. Terapi farmakologi meliputi pemberian
bronkodilator seperti agonis 2 kerja singkat dan
antikolinergik inhalasi atau golongan xantin.
Setelah itu bisa diberikan kortikosteroid
(metilprednisolon, budesonide atau fluticasone
propionat) (PFT Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang,
2007). Dari hasil pengamatan penanganan terhadap
pasien PPOK di rumah sakit telah sesuai dengan
strandart terapi. Pasien biasanya diberikan
aminophilin drip bersamaan dengan kortikosteroid.
Selain itu, pasien juga diberikan beberapa terapi
simptomatis untuk mengatasi keluhan yang terjadi.
Efusi pleura adalah terdapatnya cairan
dalam rongga pleura, biasanya terjadi akibat
tuberkolosis
atau
keganasan.
Sedangkan
pneumothorax adalah adanya udara bebas di dalam
rongga pleura antara dinding dada dan paru. Terapi

farmakologi efusi pleura dan pneumothorax


disesuaikan dengan penyebabnya. Selain itu perlu
dilakukan pemeriksaan cairan pleura, bila cairan
cukup banyak dilakukan pemasangan selang WSD
(Water Seal Drainage). WSD merupakan suatu
tindakan invasive yang dilakukan untuk
mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari
rongga pleura, rongga thorax dan mediastinum
dengan menggunakan pipa penghubung. Lalu
diberi analgetik seperti asam mefenamat atau
tramadol atau ketoprofen suppositoria (PFT Paru
RSUP Dr. M. Djamil Padang, 2007). Dari hasil
pengamatan diperoleh penanganan pada pasien
dengan efusi pleura dan pneumothorax sudah
sesuai dengan standar terapi,pasien diberi obat
sesuai dengan penyebabnya misalnya terjadi karena
TBC maka pasien diberikan OAT. Selain itu juga
dilakukan pemasangan selang WSD. Untuk
mengatasi nyeri pada pasien juga diberikan
analgetik yang sesuai standar terapi yaitu asam
mefenamat 3x500mg/ hari atau tramadol 2x1 tablet/
hari.
Untuk
CAP
(community
acqired
pneumonia) dan HAP (hospital aqired pneumonia)
menurut standar terapi rumah sakit penangananya
dilakukan secara farmakologi dan non farmakologi.
Terapi non farmakologi dilakukan dengan cara
istitrahat, O2, dan terapi cairan. Sedangkan untuk
farmakologi nya diberi terapi antibiotik, awalnya
antibiotik bersifat empirik seperti ko-amoksiklav,
ciprofloksasin,
levofloksasin,
azitromisin,
eritromisin atau metronidazol baik injeksi maupun
oral (PFT RSUP Dr. M. Djamil Padang, 2007).
Dari hasil pengamatan di lapangan penanganan
CAP dan HAP tidak sesuai dengan standar terapi
karena antibiotika yang digunakan sebagai empirik
adalah golongan sefalosforin seperti ceftazidin atau
ceftriakson. Setelah tujuh hari atau setelah hasil
kultur antibiotika didapatkan baru kemudian
diganti dengan antibiotika yang sesuai dengan
standar terapi atau hasil kultur.
Penatalaksanaan kanker bronkogenik,
pilihan terapinya tergantung dari jenis hispatologi,
stage klinik, performa status dan kemampuan
ekonomi (PFT Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang,
2007). Dari hasil pengamatan di rumah sakit,
penanganan lebih mengarah pada pembedahan,
radioterapi dan kemoterapi.
Dari hasil pengamatan di lapangan, ada
beberapa obat berpotensi hepatotoksik yang juga
digunakan pada pasien sebagai terapi simptomatik
seperti lansoprazol dan ranitidin untuk mengatasi
keluhan saluran pencernaan, tramadol sebagai
analgetik dan parasetamol sebagai antipiretik.
Lansoprazol merupakan golongan obat
penghambat pompa proton yang digunakan untuk
penanganan penyakit tukak duodenal, tukak
gastrik, tukak peptik, dan ulcrative. Bersihan
lansoprazol akan menurun pada pasien lanjut usia
dan pasien penyakit hati (Hussein, et al, 2008).

Dari hasil penelitian diperoleh dosis yang


digunakan pada semua pasien dilapangan adalah 1x
30 mg/hari, seharusnya dosis lansoprazol diberikan
sesuai dengan fungsi hati pasien tidak
disamaratakan. Dosis lansoprazol adalah 15-30
mg/hari setelah dikurangi 25% maka didapatkan
dosis lansoprazol adalah 11,25-22,50 mg sekali
pakai.
Ranitidin merupakan golongan obat
penghambat reseptor H2 yang digunakan untuk
pengobatan tukak duodenum dengan cara
menghambat pengeluaran cairan asam lambung.
Penggunaannya harus hati-hati pada lanjut usia dan
pasien gangguan fungsi hati (Ehrenpreis &
Ehrenpreis, 2001). Dosis ranitidin adalah 150 mg
dan dosis maximumnya 6 g/hari (Ehrenpreis &
Ehrenpreis, 2001). Dari hasil pengamatan di
Bangsal Paru RSUP. DR. M. Djamil Padang, dosis
ranitidin yang digunakan adalah 150 mg dua kali
sehari (oral) dan 2x 50 mg (intravena) berarti dosis
ini cukup aman bagi pasien gangguan fungsi hati.
Ada
beberapa
laporan
kasus
tentang
hepatotoksisitas dari ranitidin (Liberopoulos, et al,
2002). Sebuah kasus ditemukan bahwa antagonisH2 tidak memberikan efek pada pasien sirosis hati
tetapi tidak ada penjelasan atas efek tersebut
(Walker, et al, 1989).
Dalam strandart terapi rumah sakit
analgesik yang digunakan adalah asam mefenamat,
tramadol, atau ketoprofen (Pronalges), dan untuk
kanker bronkogenik terkadang diperlukan MST
(morphine). Menurut pengamatan pemberian
analgetik sudah sesuai dengan standar rumah sakit,
selain itu analgetik hanya digunakan jika
diperlukan. Tramadol merupakan golongan obat
analgesik opioid dengan mekanisme kerja tramadol
akan berikatan dengan reseptor opioid dan juga
menghambat aktivitas norepineprine dan serotonin
(Ehrenpreis & Ehrenpreis, 2001). Penggunaan
tramadol harus dengan peringatan bila digunakan
pada pasien gangguan fungsi hati dan ginjal
(Martindale, 2009). Dosis tramadol adalah 50100
mg tiap 46 jam dan dosis maximum adalah 400
mg/hari. Dari hasil penelitian, tramadol yang
digunakan adalah Zaldiar (tramadol 37,5 mg ;
parasetamol 325 mg) 3x1 tab/ hari kalau perlu,
berarti dosis ini cukup aman bagi pasien. Namun,
tetap diperlukan pengawasan terhadap fungsi hati
pasien.
Parasetamol merupakan obat golongan
analgetik
dan
antipiretik.
Parasetamol
dimetabolisme terutama di hati. Pada dosis 10-15 g
parasetamol dapat menyebabkan kerusakan parah
pada sel hati dan nekrosis tubular ginjal. Kerusakan
fungsi hati secara umum dapat terjadi dalam waktu
72-96 jam setelah menggunakan parasetamol dosis
tinggi dengan kerusakan seperti kegagalan fungsi
hati, ensephalopati, koma, dan bahkan kematian.
Pengukuran
konsentrasi
serum
aspartate
aminotransferase dan alanine aminotransferase juga

dapat digunakan dalam pangamatan (Whitcomb &


Block, 1994). Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi,
parasetamol harus digunakan secara hati-hati dan
aman pada pasien dengan gangguan fungsi hati
(Benson, Koof & Toolman, 2005). Dosis
parasetamol 0,5-1 g 3-4x/ hari maksimum 4g/ hari.
Hasil pengamatan di Bangsal Paru RSUP. DR. M.
Djamil Padang, dosis parasetamol yang digunakan
adalah 3x500 mg tablet kalau perlu. Dosis yang
digunakan masih relatif aman pada pasien.
Sebaiknya penggunaan parasetamol pada pasien
gangguan fungsi hati diganti dengan Sistenol yang
relatif lebih aman atau dipertimbangkan
penggunaan antipiretik lain.
Analisa Child Pugh Score dan Hasil
Laboratorium Klinik
Penentuan nilai Child-Pugh merupakan
indikator atas kemampuan pasien untuk
memetabolisme obat yang dieliminasi pada hati.
Dengan kata lain, nilai Child-Pugh digunakan
untuk menentukan dosis dosis awal obat yang
dieliminasi melalui hati (Dipiro, 2005). Dari hasil
penelitian, nilai Child Pugh tidak dapat dilakukan
secara sempurna, karena tidak semua komponen
ada. Pemeriksaan laboratorium klinik di Bangsal
Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang tidak selalu
dilakukan secara berkala. Jika kondisi klinik pasien
dianggap baik-baik saja, pemeriksaan tidak
dilakukan. Sedangkan jika kondisi klinik pasien
terganggu baru dilakukan pemeriksaan. Komponen
yang sering tidak diperiksa adalah protombine time.
Sehingga, penentuan nilai Child Pugh hanya
berasal dari data yang tersedia (2-5 komponen).
Dari hasil pengamatan di Bangsal Paru RSUP. DR.
M. Djamil Padang didapatkan pengelompokan
rentang skor nilai Child-Pugh berdasarkan besar
pengurangan dosis pada data prospektif dengan
rentang waktu bulan Oktober tahun 2011 hingga
bulan Januari 2012 menunjukan nilai skor ChildPugh 7-9 (kelas B) adalah 100% (14 orang)
sedangkan sisanya data yang diperoleh tidak
lengkap. Nilai Child-Pugh dengan poin 7-9
menggambarkan penurunan yang sedang pada
dosis obat awal (~25%) untuk bahan yang
dimetabolisme pada hati (60%), dan pada poin 10
atau lebih mengindikasikan penurunan yang
signifikan pada pemberian dosis awal (~50%)
dibutuhkan untuk obat yang metabolisme utamanya
pada hati (Dipiro, 2005). Berdasarkan data yang
didapat, terdapat beberapa kasus yang memerlukan
perhatian penting dalam pemberian dosis obat-obat
yang dapat mempengaruhi fungsi hati pasien.
Tabel V. Persentase kelengkapan parameter Child
Pugh Score
Parameter Child

Jumlah

Persentase

Pugh
Lengkap

14

17%

Tidak lengkap

67

83%

World
Health
Organization
mengklasifikasikan hepatotoksik menjadi 4 gradasi.
Grade I ditandai dengan peningkatan SGPT 1,252,5 normal, grade II SGPT meningkat 2,6-5
normal, grade III SGPT meningkat 5,1-10 normal
dan grade IV bila SGPT meningkat > 10 normal
(Prihatni, et al, 2005;Tostman, et al, 2008). Dari
hasil pengamatan di Bangsal Paru RSUP. DR. M.
Djamil Padang didapatkan pengelompokan pasien
berdasarkan kadar SGPT menunjukan pasien yang
mengalami hepatotoksisitas grade I adalah 17% (14
orang), grade II adalah 1% (1 orang), grade III
adalah 1% (1 orang), grade IV adalah 1 % (1
orang) dan yang tidak mengalami hepatotoksisitas
adalah 66% (53 orang) Berdasarkan data yang
didapat, terdapat beberapa kasus yang memerlukan
perhatian penting dalam menentukan terapi yang
cocok pada pasien.
Tabel VI. Persentase hepatotoksisitas berdasarkan
kadar SGPT
Hepatotoksisitas

Jumlah

Persentase

Tidak terdapat data SGPT

11

14%

Tidak Hepatotoksisitas

53

66%

Hepatotoksisitas grade I

14

17%

Hepatotoksisitas grade II

1%

Hepatotoksisitas grade III

1%

Hepatotoksisitas grade IV

1%

Selain parameter diatas penelitian ini juga


menentukan gejala subjektifitas gangguan fungsi
hati. Gejala subjektif ini merupakan gejala-gejala
awal terjadinya penurunan fungsi hati. Gejala
subjektif meliputi keadaan lemah, penurunan berat
badan, mual/muntah, perut terasa tidak nyaman,
sedikit demam, kebingungan, penurunan nafsu
makan dan rentan terhadap pendarahan (Siregar. C
& Kumolosasi. E, 2005). Dari data yang didapat
100% pasien Bangsal Paru mengalami gejala
subjektif hepatotoksik dengan rincian lemah terjadi
pada 38% pasien (31 orang), penurunan berat
badan terjadi pada 88% pasien (71 orang),
mual/muntah terjadi pada 18% pasien (16 orang),
perut tidak nyaman terjadi pada 28% pasien (23
orang), demam terjadi pada 54% (44 orang),
kebingungan tidak terjadi pada pasien, penurunan
nafsu makan terjadi pada 47% pasien (38 orang)
dan rentan pendarahan terjadi pada 25% pasien (20
orang).
Gejala objektif juga terjadi pada 100%
pasien. Gejala objektif dapat dilihat dari data
laboratorium klinik yaitu peningkatan kadar SGPT
dan SGOT yang terjadi pada 24% pasien (18
orang). SGPT merupakan enzim yang terutama
ditemukan dalam sel hati yang dapat membantu
metabolisme protein, dalam kondisi normal kadar

SGPT rendah didalam darah, sedangkan SGOT


berperan dalam metabolisme alanine, jika
ditemukan dengan kadar yang tinggi dalam darah
mengindikasikan
adanya
kerusakan
hati.
Peningkatan kadar ALP yang terjadi pada 20%
pasien (15 orang), penurunan serum albumin terjadi
pada 91% pasien (67 orang) dan penurunan serum
protein total yang terjadi pada 58% pasien (43
orang), kadar albumin dan protein total
menunjukan kemampuan hati untuk memproduksi
protein untuk memerangi infeksi dan menjaga
fungsi lainnya. Berkurangnya kadar dari nilai
normal mengindikasikan adanya kerusakan hati.
Peningkatan kadar bilirubin yang terjadi pada 18%
pasien (13 orang), dan peningkatan waktu
protombin yang terjadi pada 19% (14 orang). Dari
data ini dapat disimpulkan bahwa sangat
pentingnya pemeriksaan fungsi hati secara berkala
bila pasien mengkonsumsi obat berpotensi
hepatotoksik. Hepatotoksisitas
memang tidak
terjadi pada setiap pasien, tetapi kejadian nya dapat
berlangsung parah dan bila tidak dikenali secara
dini dapat menyebabkan kematian.
Efektifitas, Efek Samping dan Interaksi Obat
Efektifitas obat berpotensi hepatotoksik
dalam penelitian ini tidak bisa diukur dengan suatu
nilai yang pasti. Seperti efektifitas OAT baru dapat
diukur minimal setelah 8 minggu mengkonsumsi
OAT secara teratur. Efektifitas dapat dilihat
melalui pemeriksaan BTA sputum pasien.
Sementara itu waktu rawatan pasien tidak selama
itu. Efektifitas obat hepatotoksik yang lain seperti
ranitidin, lansoprazol, dan kortikosteroid tidak
dapat diukur. Dari hasil pengamatan umumnya
pasien tidak merasakan keluhan lagi setelah
mengkonsumsi obat seperti setelah mengkonsumsi
ranitidin dan lansoprazol, perut pasien berkurang
nyerinya. Efektifitas aminophilin dapat dilihat dari
berkurangnya sesak nafas pasien. Umumnya, sesak
nafas pasien akan berkurang setelah mengkonsumsi
aminophilin.
Pada penelitian ini didapatkan banyaknya
pasien pulang paksa. Dari hasil pengamatan yang
dilakukan, ada beberapa alasan yang menyebabkan
pasien pulang paksa termasuk didalamnya pasien
merasa tidak ada perkembangan terhadap
kondisinya selain alasan-alasan lain seperti biaya,
merasa sudah sembuh (bisa dirawat jalan) atau
pindah ke RS lain. Dalam hal ini, perlu
dipertanyakan keefektifan terapi yang diberikan,
umumnya pasien penyakit paru memerlukan waktu
yang cukup lama untuk menegakkan diagnosa
pasien contohnya pada pasien TBC, harus
dilakukan pemeriksaan BTA sebanyak 3x berturutturut baru diagnosa bisa ditegakkan dan baru bisa
diberikan obat sesuai dengan penyakitnya. Juga
pada pasien kanker bronkogenik, diperlukan
pemeriksaan yang menghabiskan waktu untuk
menentukan tindakan selanjutnya pada pasien.

Begitu juga dengan masa pengobatan yang


berlangsung lama. Banyak diantara pasien tidak
cukup sabar untuk menjalani hal ini dan
menganggap
kondisi
mereka
tidak
ada
perkembangan. Seharusnya hal ini dapat diatasi
dengan komunikasi yang baik antara dokter atau
tenaga kepaniteraan klinik yang lain dengan pasien.
Selain itu, ada juga pasien yang menolak keputusan
dokter seperti pemasangan selang WSD atau
tindakan pembedahan.
Alasan lain yang juga menjadi alasan
utama adalah biaya, banyak pasien umum yang
tidak bisa melanjutkan pengobatan karena memang
umumnya merupakan masyarakat kelas bawah.
Ada juga pasien yang merasa sudah sembuh dan
bisa dirawat jalan, hal ini banyak terjadi pada
pasien TBC, kebanyakan mereka minta dirawat
jalan saja setelah tinggal sementara di rumah sakit.
Ada juga beberapa orang pasien yang memutuskan
pindah rumah sakit atau pindah ke kelas yang lebih
baik. Keputusan ini didasari adanya ketidakpuasan
terhadap pelayanan rumah sakit.
Dari
alasan-alasan
diatas,
dapat
disimpulkan banyaknya pasien yang pulang paksa
bukan karena terapi yang diberikan tidak efektif
tetapi karena adanya faktor-faktor lain yang
mengganggu kenyamanan pasien selama rawatan.
Hal ini seharusnya jadi perhatian bagi pihak rumah
sakit, seharusnya dokter bisa menjalin komunikasi
yang baik sehingga pasien bisa mengerti dengan
tindakan yang dilakukan. Selain itu, juga pelayanan
keperawatan juga menjadi salah satu faktor yang
penting.
Efek samping dari beberapa obat yang
diterima pasien ini dapat ditoleransi dengan baik
dan bersifat ringan. Adanya gejala efek samping
pada pasien relatif rendah bahkan bisa dikatakan
tidak ada. Karena berdasarkan hasil wawancara
terhadap pasien, pasien tidak merasakan efek
apapun setelah memakan semua jenis obat. Efek
samping yang terlihat hanya pada penggunaan
OAT yaitu timbulnya gatal dan kemerahan (rash)
pada kulit yang muncul pada salah satu pasien
yang bisa diatasi dengan pemberian antihistamin.
Selain itu juga timbulnya rasa terbakar pada kaki
yang terjadi pada satu orang pasien dan hal ini bisa
diatasi dengan pemberian vitamib B6 (piridoksin).
Interaksi obat pada pasien rawat inap Paru
RSUP. DR. M. Djamil Padang, terjadi pada 65,43%
pasien. Komplikasi penyakit yang diderita oleh
pasien menyebabkan penggunaan polifarmasi tidak
dapat dihindari. Dari data, terlihat adanya
polifarmasi dalam artian pemakaian banyak obat
sekaligus pada pasien. Hal ini akan meningkatkan
insiden terjadi efek samping dan toksisitas yang
tidak diinginkan akibat adanya interaksi obat
(Dollery, 2006). Interaksi obat terjadi ketika agen
terapetik
berubah
konsentrasi
(interaksi
farmakokinetik) atau adanya efek biologis dari
agen lainnya (interaksi farmakodinamik). Interaksi

farmakokinetik dapat terjadi pada tingkat absorpsi,


distribusi, atau bersihan dari senyawa obat
(Fradgley, 2004). Dari data yang ada mayoritas
interaksi yang terjadi tidak terlalu membahayakan
atau berpengaruh terhadap klinis pasien. Interaksi
yang terjadi umumnya bernilai signifikan 4 dan 5.
Namun terdapat beberapa interaksi dengan nilai
signifikan 1 yaitu : OAT (Rifampisin) dengan
Kortikosteroid dan dengan nilai signifikan 2 yaitu :
OAT (Rifampisin) dengan Aminophilin, OAT
(Rifampisin)
dengan
Ondansentron
dan
Aminophilin
dengan
Azitromisin.
Pada
pembahasan interaksi obat ini tidak dilakukan
terhadap semua pasien pembahasan lebih lanjut
hanya dilakukan pada pasien yang mengalami
interaksi dengan nilai signifikan 1 dan 2.
Interaksi antara rifampisin dengan
kortikosteroid bernilai signifikan 1. Interaksi ini
terjadi pada empat pasien. Rifampisin akan
meningkatkan metabolisme dari kortikosteroid di
hati sehingga menyebabkan terjadinya penurunan
efek farmakologis dari kortikosteroid. Sebaiknya
pemakaian kedua obat ini secara bersamaan
dihindari. Namun, jika pemakaian bersama tidak
dapat dihindari, pasien harus dikontrol secara ketat
dan dosis kortikosteroid harus ditingkatkan dua kali
lipat setelah penambahan rifampisin 300 mg/hari
(Tatro, 2008).
Interaksi rifampisin dengan aminophilin
bernilai signifikan 2. Rifampisin akan menginduksi
metabolisme
aminophilin
sehingga
terjadi
penurunan level aminophilin dan perburukan
gejala-gejala penyakit paru. Pada pasien yang
menerima kombinasi obat ini harus dilakukan
monitoring yang ketat terhadap pasien ketika
pasien mulai atau berhenti menggunakan
rifampisin. Selain itu, diperlukan juga penyesuaian
dosis sesuai dengan keadaan pasien (Tatro, 2008).
Interaksi rifampisin dengan ondansentron
dengan nilai signifikan 2. Rifampisin diduga
menginduksi enzim CYP3A4 yang bertanggung
jawab terhadap metabolisme ondansentron. Hal ini
menyebabkan penurunan konsentrasi plasma
ondansentron sehingga efek antiemetik akan
menurun. Sebaiknya kombinasi ini dihindari dan
jika diduga terjadi interaksi, pertimbangkan
penggunaan antiemetik yang lain (Tatro, 2008).
Interaksi ini terjadi pada seorang pasien yang
mengalami mual dan muntah, pada pasien
diberikan ondansentron dengan dosis 2x1 ampul
lalu empat hari kemudian diganti dengan 2x1 tab.
Pada pasien ini mungkin saja terjadi interaksi ini,
ditandai dengan lamanya keluhan mual dan muntah
ini berlangsung.
Interaksi aminophilin dengan azitromisin
bernilai
signifikan
2.
Azitromisin
akan
meningkatkan serum aminophilin dengan resiko
toksisitas. Antibiotik makrolida ini akan
menghambat metabolisme aminophilin, sedangkan
aminophilin akan menurunkan bioavabilitas dan

meningkatkan klirens ginjal dari antibiotik


makrolida oral. Jika obat ini digunakan secara
bersamaan harus lakukan monitoring secara ketat
terhadap kadar serum aminophilin. Lakukan
penyesuain dosis sesuai kondisi pasien. Sebaiknya,
dipertimbangkan menggunakan antibiotik lain
(Tatro, 2008). Pada kelima pasien yang mengalami
interaksi ini, dosis aminophilin yang diterima
memang kurang, tetapi dapat mengantisipasi
interaksi dengan azitromisin yang dapat
meningkatkan kadar aminophilin dalam plasma
(signifikansi 2). Hal ini dikonfirmasi dengan tidak
terlihatnya
tanda-tanda
toksisitas
atau
meningkatnya intensitas efek samping aminophilin
pada kelima pasien tersebut.

tidak lengkap, hanya terdiri dari 2- 4 komponen


Child Pugh Score.
3. Pada beberapa pasien yang sudah mengalami
penurunan fungsi hati masih menerima
polifarmasi sampai 19 jenis obat yang dapat
berpotensi
hepatotoksik.
Seharusnya
pengobatan disesuaikan dengan kondisi pasien
sehingga kualitas hidup pasien dapat
ditingkatkan.
4. Perhitungan dosis aminophilin belum dilakukan
secara benar. Seharusnya dosis aminophilin
dihitung berdasarkan kondisi klinik pasien,
bukan hanya berdasarkan berat badan.
5. Pada seluruh pasien (100%) dijumpai gejala
subjektif dan gejala objektifitas kerusakan
fungsi hati.

Tabel VII. Daftar interaksi obat yang terjadi


No

1.

2.

3.

4.

Jenis obat yang berinteraksi

Mekanisme

Tingkat

Onset

Interaksi

Signifikasi

Isoniazid Parasetamol

Unknown

Delayed

Rifamfisin Parasetamol

Farmakodinamik

Delayed

Isoniazid Antasida

Farmakodinamik

Rapid

Etambutol Antasida

Farmakokinetik

Delayed

Jumlah
Kasus

OAT Parasetamol

OAT Antasida

OAT Kortikosteroid

Isoniazid Kortikosteroid

Unknown

Delayed

Rifamfisin Kortikosteroid

Farmakodinamik

Delayed

OAT Aminophilin

Rifamfisin Aminophilin

Farmakodinamik

Delayed

Isoniazid Aminophilin

Farmakodinamik

delayed

Rifamfisin Ondansentron

Farmakodinamik

delayed

6.

Ranitidin Antasida

Unknown

delayed

11

7.

Ranitidin Aminophilin

Farmakodinamik

delayed

8.

Ranitidin Sefalosporin

Unknown

rapid

17

9.

Ranitidin Diltiazem

Farmakodinamik

rapid

10.

Kortikosteroid Antasida

Unknown

delayed

Unknown

rapid

19

5.

11.

OAT Ondansentron

Kortikosteroid

Aminophilin
12.

Aminophilin Azitromisin

Farmakokinetik

delayed

13.

Zat besi Antasida

Farmakokinetik

delayed

KESIMPULAN
1. Penggunaan obat berpotensi hepatotoksik pada
pasien rawat inap di bangsal paru RSUP DR.
M. Djamil Padang belum mempertimbangkan
aspek farmakokinetik klinik.
2. Perhitungan Child Pugh Score yang lengkap
hanya dijumpai pada 14 orang pasien (17%)
berada pada rentang nilai 7-9 (kerusakan hati
sedang), pada 67 orang pasien lainya (83%)

DAFTAR PUSTAKA
Andrade, R. J., Robles, M., Castener, A.
F., Ortega, S. L., Vega, M. C. L., Lucena, M. I.
2007. Assessment of drug-induced hepatotoxicity
in clinical practice : A challenge for
gastroenterologist. World Jornal of Gastroenterol
21: 13 (3): 329-340.
Bauer, L.A. 2008. Applied Clinical
Pharmacokinetics (2nd ed); The McGraw-Hill
Companies.
Benson, G.D., Koff, R.S., Tolman, K.G.
2005. The therapeutic use of acetaminophen in
patients with liver disease. Am. J. Ther, 12: 133
41.
Cahyati,
Y.
1985.
Pengantar
Farmakokinetika. Cermin Dunia Kedokteran 15: 17.
Di Piro, J.T. 2005. Pharmacotherapy : A
Pathophysiologic Approach. (6th ed.). US :
McGraw-Hill Companies.
Dollery, Sir colin. 2006. Therapeutic
Drugs. Volume 2. Churchill Livingstone. London.
Ehrenpreis. S, & Ehrenpreis. E. D. 2001.
Clinicians handbook of Prescription Drugs:
McGraw-Hill Companies.
Fradgley, S. 2004. Interaksi Obat.
Dalam : Aslam M., Tan CK., Prayitno A. Farmasi
Klinis: Menuju Pengobatan Rasional dan
Penghargaan Pilihan Pasien. PT Elex Media
Kompusindo Kelompok Gramedia. Jakarta.,119134.
Gutkowski, K., Chwist, A., Hartleb, M.
2011. Liver Injury Induced by High-Dose
metylprednisolone Therapy : A Case Report and
Brief Review of the Literature. Hepat Mon. 11(8):
656-61
Hussein,
Z.,
Granneman,
G.R.,
Mukherjee, D, 2008. Age-related differences in the
pharmacokinetics and pharmacodynamics of
lansoprazole. Br. J. Clin. Pharmacol, 36: 3918.

Katzung, B.G. 2004. Farmakologi Dasar


dan Klinik. Edisi kedelapan, Penerjemah: Agoes,
A.Salemba Medika : Jakarta.
Kenward, T dan Tan, C.K. 2004.
Penggunaan Obat Pada Gangguan Hati. Dalam:
Farmasi Klinis: Menuju Pengobatan Rasional dan
Penghargaan Pilihan Pasien. Editor : Aslam M.,
Tan CK., Prayitno A. PT Elex Media Kompusindo
Kelompok Gramedia. Jakarta., 155-173.
Liberopoulos, E.N., Nonni, A.B.,
Tsianos, E.V., Elisaf, M.S. 2002. Possible
ranitidine-induced cholestatic jaundice. Ann.
Pharmacother, 36: 172.
Santoso, B. 1985. Farmakokinetika
Klinik. Cermin Dunia Kedokteran 37: 8-12.
Sajinadiyasa, I.G.K., Bagiada, I.M.,
Ngurah, R.I.B. 2010. Prevalensi dan Risiko
Merokok Terhadap Penyakit di Polokilinik Paru
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
Jurnal Penyakit Dalam 11 (2).
Setiabudy, R. 1979. Hepatitis karena
obat. Cermin Dunia Kedokteran 15: 8-12.
Suasono, B. 1985. Obat Hepatotoksik
pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran 40: 31-33.
Soepandi, P.Z. 2009. Obat Anti
Tuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap. Cermin
Dunia Kedokteran. 358-361
Panitia Farmasi dan Terapi (PFT). 2007.
Panduan Diagnosa dan Terapi Rumah Sakit RSUP
DR. M. Djamil Padang. Padang
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
2002. Tuberkulosis Pedoman dan Penatalaksanaan
di Indonesia.
Prihatni, D., et al. 2005. Efek
Hepatotoksik Anti Tuberkulosis Terhadap Kadar
Aspartate
Aminotransferase
dan
Alanine
Aminotransferase Serum Penderita Tuberkulosis
Paru. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory 12:1-5.
Tatro, S. David. 2008. Drug Interaction
Facts, Wolters Kluwer Healts, United
State
of Anerica
Topal, F., Ersan. O., Sabiye.A., Metin.
K.,
Osman,
Y.,
Emin.
A.
2006.
Methylprednisolone-induced toxic hepatitis. Ann
Pharmacother 40(10): 1868-1871.
Tostman, A., Martin, J.B., Rob, E.A.,
Wiel, C.M. de Lange., Andre, J.A.M. van der Ven.,
Richard, D. 2007. Antituberculosis drug- induced
hepatotoxicity : concise up-to-date review. Journal
of Gastroenterology and Hepatology 23 : 192-202.
Walker, S., Krishna, D.R., Klotz, U.,
Bode, J.C. 1989. Frequent non-response to
histamine H receptor antagonists in cirrhotics.
Gut, 30: 11059.
Whitcomb, D.C & Block, G.D. 1994.
Association of acetaminophen hepatotoxicity with
fasting and ethanol use. JAMA, 272: 184550.

Anda mungkin juga menyukai