Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan keprihatinan global, nasional, dan regional. Hal ini terungkap
dalam dokumen-dokumen MDGs, target RJPM dan renstrada pemda provinsi maupun
kabupaten/kota. Semua dokumen itu mengekspresikan kehendak bersama untuk menurunkan
angka kemiskinan. Tetapi apa kriteria yang perlu digunakan untuk menentukan kemiskinan?
Di Indonesia penghitungan angka kemiskinan yang resmi menggunakan hanya satu kriteria
atau satu variabel yaitu pengeluaran (sebagai pendekatan untuk pendapatan) sebagaimana
yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS). Seseorang dikategorikan miskin jika nilai
pengeluarannya lebih kecil dari batas nilai tertentu (threshold) yang dikenal sebagai garis
kemiskinan (poverty line). Banyak yang menilai definisi operasional itu terlalu sederhana dan
penilaian semacam itu beralasan (justified) mengingat luasnya dimensi kemiskinan. Bahwa
kemiskinan menggambarkan kekurangan pendapatan atau daya beli sebagai dampak dari
kekurangan aksesibilitas dan atau kepemilikan modal ekonomi jelas dan tak terbantahkan.
Tetapi juga tak-terbantahkan bahwa kemiskinan juga merefleksikan kekurangan berbagai
modal lainnya termasuk modal sosial, modal manusia dan modal politik.
Modal sosial, termasuk jejaring sosial yang memampukan mengakses sumberdaya
ekonomi dan sumberdaya lainnya
Modal manusia, termasuk tingkat terdidik yang memampukan mengakses informasi
mengenai peluang peluang ekonomi dan kemudahan-kemudahan publik
Modal politik, termasuk jejaring kekuasaan untuk menyalurkan aspirasi dan
kepentingan. Singkatnya, kemiskinan berdimensi sangat luas.
Selain adanya kemiskinan, permukiman kumuh juga merupakan salah satu masalah sosial
di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk
mengatasinya, namun masih saja banyak kita jumpai permukiman masyarakat miskin di
hampir setiap sudut kota yang disertai dengan ketidaktertiban dalam hidup bermasyarakat di
perkotaan. Misalnya yaitu, pendirian rumah maupun kios dagang secara liar di lahan-lahan
pinggir jalan sehingga mengganggu ketertiban lalu lintas yang akhirnya menimbulkan
kemacetan jalanan kota. Masyarakat miskin di perkotaan itu unik dengan berbagai
problematika sosialnya sehingga perlu mengupas akar masalah dan merumuskan solusi

terbaik bagi kesejahteraan mereka. Dapat dijelaskan bahwa bukanlah kemauan mereka untuk
menjadi sumber masalah bagi kota namun karena faktor-faktor ketidakberdayaanlah yang
membuat mereka terpaksa menjadi ancaman bagi eksistensi kota yang mensejahterahkan.
Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman masyarakat miskin
tersebut adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti
disingkirkan. Terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slum area sering
dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Dimensi Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan
dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan
dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses
terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang
memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya
dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang
telah mapan.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan seharihari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini
dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan,
dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk
pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan,
karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada
bidang ekonomi.
Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna
"memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi
di seluruh dunia.
Definisi-definisi yang terkandung dalam teori kemiskinan tidak selalu lengkap
mencakup seluruh aspek. Definisi dibuat tergantung dari latar belakang dan tujuan, juga

tergantung dari sudut mana definisi tersebut ditinjaunya, untuk kepentingan apa definisi
tersebut dibuat. Biasanya definisi-definisi tersebut akan saling melengkapi antara yang satu
dengan yang lainnya.

Definisi kemiskinan dilihat dari beberapa segi :


1. Dilihat dari standar kebutuhan hidup yang layak/pemenuhan kebutuhan
pokok
Golongan ini mengatakan bahwa kemiskinan itu adalah tidak terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan pokok/dasar disebabkan karena adanya kekurangan barangbarang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk memenuhi standar hidup
yang layak. Ini merupakan kemiskinan absolut/ mutlak yakni tidak terpenuhinya
standar kebutuhan pokok / dasar.
2. Dilihat dari segi pendapatan / income
Kemisikinan oleh golongan ini dilukiskan sebagai kurangnya pandapatan/
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.
3. Dilihat dari segi kesempatan / opportunity
Kemiskinan adalah karena ketidaksamaan kesempatan untuk meraih basis
kekuasaan sosial meliputi :
a. Ketrampilan yang memadai.
b. Informasi/pengetahuan-pengetahuan yang berguna bagi kemajuan hidup.
4

c. Jaringan-jaringan sosial / social network.


d. Organisasi-organisasi sosial dan politik.
e. Sumber-sumber modal yang diperlukan bagi peningkatan pengembangan
kehidupan.
4. Dilihat dari segi keadaan/ kondisi
Kemiskinan sebagai suatu kondisi/keadaan yang bisa dicirikan dengan :
a. Kelaparan/kekurangan makan dan gizi.
b. Pakaian dan perumahan yang tidak memadai.
c. Tingkat pendidikan yang rendah.
d. Sangat sedikitnya kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
pokok.

5. Dilihat dari segi penguasaan terhadap sumber-sumber


Menurut golongan ini kemiskinan merupakan keterlantaran yang disebabkan oleh
penyebaran yang tidak merata dan sumber-sumber (malldistribution of
resources), termasuk didalamnya pendapatan / income.
6. Kemiskinan menurut Drewnowski

Drewnowski (Epi Supiadi:2003) mencoba menggunakan indikator-indiktor sosial


untuk mengukur tingkat-tingkat kehidupan (the level of living index). Menurutnya
terdapat tiga tingkatan kebutuhan untuk menentukan tingkat kehidupan seseorang
:
a. Kehidupan fisik dasar (basic fisical needs), yang meliputi gizi/nutrisi,
perlindungan/ perumahan (shelter/housing) dan kesehatan.
b. Kebutuhan budaya dasar (basic cultural needs), yang meliputi pendidikan,
penggunaan waktu luang dan rekreasi dan jaminan sosial (social security).
c. High income, yang meliputi pendapatan yang surplus atau melebihi
takarannya.
Definisi kemiskinan dilihat dari beberapa konsep ialah :
1. BAPPENAS
Tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermatabat.
2. BPS
Bilamana jumlah rupiah yang dikeluarkan atau dibelanjakan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi kurang dari 2.100 kalori perkapita.
3. Bank Dunia
Tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan 1,00 dolar AS
perhari.
4. BKKBN
keluarga miskin jika :

a. Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut keyakinannya.


b. Tidak mampu makan dua kali sehari.
c. Tidak memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja atau sekolah dan
berpergian.
d. Tidak bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah.
e. Mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.
B. Penyebab Kemiskinan
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dapat dikategorikan dalam dua hal
berikut ini :
1. Faktor Internal (dari dalam diri individu)
Yaitu berupa kekurangmampuan dalam hal :
a. Fisik misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan.
b. Intelektual misalnya kurangnya pengetahuan, kebodohan, kekurangtahuan
informasi.
c. Mental

emosional

misalnya

malas,

mudah

menyerah,

putus

asa

temperamental.
d. Spritual misalnya tidak jujur, penipu, serakah, tidak disiplin.
e. Sosial psikologis misalnya kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi/
stres, kurang relasi, kurang mampu mencari dukungan.
f. Ketrampilan misalnya tidak mempunyai keahlian yang sesuai dengan
permintaan lapangan kerja.
7

g. Asset misalnya tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah,
tabungan, kendaraan dan modal kerja.
2. Faktor Eksternal (berada di luar diri individu atau keluarga)
Yang menyebabkan terjadinya kemiskinan antara lain:
a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar.
b. Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah.
c. Terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan kurang terlindunginya usahausaha sektor informal.
d. Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga yang
tidak mendukung sektor usaha mikro.
e. Belum terciptanya sistim ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil
masyarakat banyak.
f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum
optimal seperti zakat.
g. Dampak sosial negatif dari program penyesuaian struktural (structural
Adjusment Program/ SAP).
h. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan.
i. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil atau daerah bencana.
j. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material.
k. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata.
l. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin.
8

C. Indikator Kemiskinan
Untuk pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin maka diperlukan
indikator yang lebih merefleksikan tingkat kemiskinan yang sesungguhnya di masyarakat.
Indikator untuk menentukan fakir miskin tersebut ialah :
1. Penghasilan rendah atau berada dibawah garis sangat miskin yang diukur dari
tingkat pengeluaran perorangan perbulan berdasarkan standar BPS per wilayah
propinsi dan kabupaten/ kota.
2. Ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/
beras untuk miskin/ santunan sosial).
3. Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga pertahun
(hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap perorang pertahun).
4. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga
yang sakit.
5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya.
6. Tidak memiliki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual
untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kali batas garis
sangat miskin.
7. Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari 40
tahun akibat tidak mampu mengobati penyakit sejak awal.
8. Ada anggota keluarga usia 15 tahun keatas yang buta huruf.
9. Tinggal dirumah yang tidak layak huni.
10. Luas rumah kurang dari 4 m2.

11. Kesulitan air bersih.


12. Rumah tidak mempunyai sirkulasi udara.
13. Sanitasi lingkungan yang kumuh (tidak sehat).
Indikator tersebut sifatnya multidimensi, artinya setiap keluarga fakir miskin dapat
berbeda tingkat kedalaman kemiskinannya. Semakin banyak kriteria yang terpenuhi semakin
fakir keluarga tersebut dan harus diprioritaskan penanganannya.
Menurut

Ellis G.P.R yang dikutip oleh ICMI Pusat (1995:31) dimensi-dimensi

kemiskinan terkait dengan:


1) Dimensi ekonomi yaitu sandang. Pangan, perumahan, kesehatan;
2) Dimensi sosial dan budaya yaitu kantong-kantong kemiskinan, apatis, fatalistik,
ketidakberdayaan;
3) Dimensi struktural atau politik, yakni tidak memiliki sarana politik, tidak
memiliki kekuatan politik dan berada dalam status paling bawah.
Menurut David Cox yang dikutip Edi Suharto (2009:1-6) membagi kemiskinan dalam
beberapa dimensi:
a. Kemiskinan yang diakibatkan oleh globalisasi. Globalisasi melahirkan negara
pemenag dan negara kalah. Pemenang umumnya adalah negara-negaramaju.
Sedangkan negara-negara berkembang seringkali terpinggirkan oleh persaingan
dan pasar beas yang meruakan prasyarat globalisasi
b. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan sub system
(kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan perdesaan (kemiskinan
akibat peminggiran perdesaan dalam proses pembangunan) kemiskinan perkotaan
(kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan
pembangunan di perkotaan).
c. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak dan
kelompok minoritas akibat kondisi sosial yang tidak menguntungkan mereka
seperti diskriminasi atau eksploitasi ekonomi.
10

d. Kemiskinan konsekuensi. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain


atau faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan,
lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.
Menurut

Lembaga penelitian SMERU dan badan Koordinasi Penanggulangan

Kemiskinan (BKPK) yang dikutip oleh Departemen Sosial (2003:7-8) yang dimaksudkan
dengan dimensi kemiskinan sebagai berikut:
a. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang
dan papan)
b. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,
pendidikan, sanitasi dan transportasi)
c. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk
d.
e.
f.
g.

pendidikan dan keluarga)


Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal.
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam.
Tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat.
Tidak adanya akses terhadap lapangan pekerjaan dan mata pencaharian yang

berkesinambungan
h. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
i. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban
kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil)
Menurut Edi Suharto (2008:15-18) kemiskinan sejatinya menyangkut pula dimensi
material, sosial, kultural, institusional, dan struktural. Secara konseptual kemiskinan dapat
diakibatkan oleh empat faktor, yakni :

1. Faktor Individual
Tekait dengan aspek patologis, termasuk konidisi fisik dan patologis si miskin. Orang
miskin oleh perilaku, pilihan atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam menghadapi
kehidupan.

11

2. Faktor Sosial
Kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi miskin. Misalnya
diskriminasi berdasarkan usia, gender, etnis menyebabkan seseorang menjadi miskin
keluarga si miskin yang biasanya menyebabkan kemiskinan antar generasi.
3. Faktor Kultural
Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara khusus
sering menunjuk pada konsep kemiskinan struktural atau budaya kemiskinan yang
menghbungkan kemiskinan dengan dengan kebiasan hidup atau mentalis.
4. Faktor Struktural
Menunjuk pada struktur atau sistem yang tidak adil, tidak sensitif dan tidak accessible
sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin.
Ada tiga ciri yang menonjol dari kemiskinan di Indonesia, yakni:
Pertama, banyak rumah tangga yang berada disekitar garis kemiskinan nasional, yang
setara dengan pendapatan perkapita sebesar 1,55 USD per hari, sehingga banyak penduduk
yang meskipun tergolong tidak miskin tetapi rentan terhadap kemiskinan.
Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan, sehingga tidak menggambarkan
batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari
segi pendapatan dapat dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap
pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia.
Ketiga, mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar
daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia.
Fakta-fakta tentang dimensi kemiskinan di Indonesia antara lain:
1) Banyak Penduduk Indonesia Rentan Terhadap Kemiskinan
Angka kemiskinan nasional menyembunyikan sejumlah besar penduduk yang hidup
sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional. Hampir 42% dari seluruh rakyat Indonesia
12

hidup diantara garis kemiskinan 1 hingga 2 USD per hari, suatu aspek kemiskinan yang luar
biasa dan menentukan di Indonesia. Analisis menunjukkan bahwa perbedaan antara orang
miskin dan yang hampir miskin sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa strategi
pengentasan kemiskinan hendaknya dipusatkan pada perbaikan kesejahteraan mereka yang
masuk dalam dua kelompok kuintil berpenghasilan paling rendah. Hal ini juga berarti bahwa
kerentanan untuk jatuh miskin sangat tinggi di Indonesia. Walaupun hasil survey BPS pada
tahun 2004 menunjukkan hanya sebesar 16,7% penduduk Indonesia yang tergolong miskin,
namun harus diketahui pula bahwa lebih dari 59% dari mereka pernah jatuh miskin dalam
periode satu tahun sebelum survei dilaksanakan. Data terakhir juga mengindikasikan tingkat
pergerakan tinggi (masuk dan keluar) kemiskinan selama periode tersebut, lebih dari 38%
rumah tangga miskin pada tahun 2004 tidak miskin pada tahun 2003.
2) Kemiskinan Dari Segi Non-Pendapatan Adalah Masalah Yang Lebih Serius
Dibandingkan Dari Kemiskinan Dari Segi Pendapatan.
Apabila kita memperhitungkan semua dimensi kesejahteraan, antara lain: konsumsi yang
memadai, kerentanan yang berkurang, pendidikan, kesehatan dan akses terhadap
infrastruktur dasar, maka hampir separuh rakyat Indonesia dapat dianggap telah mengalami
paling sedikit satu jenis kemiskinan. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia memang telah
mencapai beberapa kemajuan di bidang pengembangan manusia. Telah terjadi perbaikan
nyata pencapaian pendidikan pada tingkat sekolah dasar; perbaikan dalam cakupan
pelayanan kesehatan dasar (khususnya dalam hal bantuan persalinan dan imunisasi); dan
pengurangan sangat besar dalam angka kematian anak. Akan tetapi, untuk beberapa indikator
yang terkait dengan MDGs, Indonesia gagal mencapai kemajuan yang berarti dan tertinggal
dari negara-negara lain di kawasan yang sama.

Bidang-bidang khusus yang patut diwaspadai adalah:


1. Angka gizi buruk (malnutrisi) yang tinggi dan bahkan meningkat pada tahuntahun terakhir: seperempat anak di bawah usia lima tahun menderita gizi buruk di
Indonesia, dengan angka gizi buruk tetap sama dalam tahun tahun terakhir
kendati telah terjadi penurunan angka kemiskinan.

13

2. Kesehatan ibu yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara di


kawasan yang sama terlihat dari angka kematian ibu di Indonesia sebesar 307 per
100.000 kelahiran hidup, atau bisa dikatakan tiga kali lebih besar dari Vietnam
dan enam kali lebih besar dari Cina dan Malaysia. Indikator lain adalah fakta
bahwa hanya sekitar 72% persalinan dibantu oleh bidan terlatih.
3. Lemahnya hasil pendidikan. Angka melanjutkan dari sekolah dasar ke sekolah
menengah masih rendah, khususnya di antara penduduk miskin: di antara
kelompok umur 16-18 tahun pada kuintil termiskin, hanya 55% yang lulus SMP,
sedangkan angka untuk kuintil terkaya adalah 89% untuk kohor yang sama.
4. Rendahnya akses terhadap air bersih, khususnya di antara penduduk miskin.
Untuk kuintil paling rendah, hanya sebanyak 48% yang memiliki akses air bersih
di daerah pedesaan, sedangkan untuk perkotaan adalah sebanyak 78 %.
5. Akses terhadap sanitasi merupakan masalah sangat penting. Sebanyak 80%
penduduk miskin di pedesaan dan 59% penduduk miskin di perkotaan tidak
memiliki akses terhadap tangki septik, sementara itu hanya kurang dari satu %
dari seluruh penduduk Indonesia yang terlayani oleh saluran pembuangan kotoran
berpipa.
3) Perbedaan antar daerah yang besar di bidang kemiskinan.
Keragaman antar daerah merupakan ciri khas Indonesia, di antaranya tercerminkan
dengan adanya perbedaan antara daerah pedesaan dan perkotaan. Di pedesaan, terdapat
sekitar 57 % dari orang miskin di Indonesia yang juga seringkali tidak memiliki akses
terhadap pelayanan infrastruktur dasar: hanya sekitar 50% masyarakat miskin di pedesaan
mempunyai akses terhadap sumber air bersih, dibandingkan dengan 80% bagi masyarakat
miskin di perkotaan. Tetapi yang penting, dengan melintasi kepulauan Indonesia yang sangat
luas, akan ditemui perbedaan dalam kantong-kantong kemiskinan di dalam daerah itu sendiri.
Misalnya, angka kemiskinan di Jawa/Bali adalah 15,7%, sedangkan di Papua adalah 38,7%.
Pelayanan dasar juga tidak merata antar daerah, karena kurangnya sarana di daerahdaerah terpencil. Di Jawa, rata-rata jarak rumah tangga ke puskesmas terdekat adalah empat
km, sedangkan di Papua 32 km. Sementara itu, 66% warga termiskin di Jawa/Bali
mempunyai akses terhadap air bersih, sedangkan untuk Kalimantan hanya 35% dan untuk
Papua hanya 9%. Tantangan yang dihadapi oleh pemerintah, yakni walaupun tingkat
14

kemiskinan jauh lebih tinggi di Indonesia Bagian Timur dan di daerah-daerah terpencil,
tetapi kebanyakan dari rakyat miskin hidup di Indonesia Bagian Barat yang berpenduduk
padat. Contohnya, walaupun angka kemiskinan di Jawa/Bali relatif rendah, pulau-pulau
tersebut dihuni oleh 57% dari jumlah total rakyat miskin Indonesia, dibandingkan dengan
Papua, yang hanya memiliki 3 % dari jumlah total rakyat miskin.
D. Pengertian dan Karakteristik Permukiman Kumuh
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat
merupakan kawasan perkotaan dan perdesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal/hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Sedangkan kata kumuh menurut kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai kotor atau
cemar. Jadi, bukan padat, rapat, becek, bau, reyot, atau tidak teraturnya, tetapi justru
kotornya yang menjadikan sesuatu dapat dikatakan kumuh.
Menurut Johan Silas Permukiman Kumuh dapat diartikan menjadi dua bagian, yang
pertama ialah kawasan yang proses pembentukannya karena keterbatasan kota dalam
menampung perkembangan kota sehingga timbul kompetisi dalam menggunakan lahan
perkotaan. Sedangkan kawasan permukiman berkepadatan tinggi merupakan embrio
permukiman kumuh. Dan yang kedua ialah kawasan yang lokasi penyebarannya secara
geografis terdesak perkembangan kota yang semula baik, lambat laun menjadi kumuh. Yang
menjadi penyebabnya adalah mobilitas sosial ekonomi yang stagnan.

Karakteristik Permukiman Kumuh : (Menurut Johan Silas)


1. Keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, ratarata 6 m2/orang. Sedangkan fasilitas kekotaan secara langsung tidak terlayani
karena tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan permukiman
yang ada, maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya.
2. Permukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat
mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas
keterjangkauan) baik membeli atau menyewa. Manfaat permukiman
15

disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga murah adalah kesempatan


mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi.Hampir setiap orang tanpa syarat
yang bertele-tele pada setiap saat dan tingkat kemampuan membayar
apapun, selalu dapat diterima dan berdiam di sana, termasuk masyarakat
residu seperti residivis, WTS dan lain-lain.
Kriteria Umum Permukiman Kumuh:
1. Mandiri dan produktif dalam banyak aspek, namun terletak pada tempat
yang perlu dibenahi.
2. Keadaan fisik hunian minim dan perkembangannya lambat. Meskipun
terbatas, namun masih dapat ditingkatkan.
3. Para penghuni lingkungan permukiman kumuh pada umumnya bermata
pencaharian tidak tetap dalam usaha non formal dengan tingkat pendidikan
rendah.
4. Pada umumnya penghuni mengalami kemacetan mobilitas pada tingkat yang
paling bawah, meskipun tidak miskin serta tidak menunggu bantuan
pemerintah, kecuali dibuka peluang untuk mendorong mobilitas tersebut.
5. Ada kemungkinan dilayani oleh berbagai fasilitas kota dalam kesatuan
program pembangunan kota pada umumnya.
6. Kehadirannya perlu dilihat dan diperlukan sebagai bagian sistem kota yang
satu, tetapi tidak semua begitu saja dapat dianggap permanen.

Kriteria Khusus Permukiman Kumuh:


1. Berada di lokasi tidak legal
2. Dengan keadaan fisik yang substandar, penghasilan penghuninya amat
rendah (miskin)
3. Tidak dapat dilayani berbagai fasilitas kota
4. Tidak diingini kehadirannya oleh umum, (kecuali yang berkepentingan)
5. Permukiman kumuh selalu menempati lahan dekat pasar kerja (non formal),
ada sistem angkutan yang memadai dan dapat dimanfaatkan secara umum
walau tidak selalu murah.
E. Sebab dan Proses Terbentuknya Permukiman Kumuh
a. Sebab Terbentuknya Permukiman Kumuh

16

Dalam perkembangan suatu kota, sangat erat kaitannya dengan mobilitas penduduknya.
Masyarakat yang mampu, cenderung memilih tempat huniannya keluar dari pusat kota.
Sedangkan bagi masyarakat yang kurang mampu akan cenderung memilih tempat tinggal di
pusat kota, khususnya kelompok masyarakat urbanisasi yang ingin mencari pekerjaan dikota.
Kelompok masyarakat inilah yang karena tidak tersedianya fasilitas perumahan yang
terjangkau oleh kantong mereka serta kebutuhan akan akses ke tempat usaha, menjadi
penyebab timbulnya lingkungan pemukiman kumuh di perkotaan. Latar belakang lain yang
erat kaitannya dengan tumbuhnya permukiman kumuh adalah akibat dari ledakan penduduk
di kota-kota besar, baik karena urbanisasi maupun karena kelahiran yang tidak terkendali.
Lebih lanjut, hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk
dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan permukiman-permukiman baru,
sehingga para pendatang akan mencari alternatif tinggal di permukiman kumuh untuk
mempertahankan kehidupan di kota.

Faktor-faktor Penyebab Adanya Perkampungan Kumuh

Adanya perkampungan kumuh di tengah perkotaan disebabkan oleh beberapa


faktor sebagai berikut:

1. Mobilitas Penduduk
Masyarakat yang mampu, cenderung memilih tempat huniannya keluar dari pusat
kota. Sedangkan bagi masyarakat yang kurang mampu akan cenderung memilih
tempat tinggal di pusat kota, khususnya kelompok masyarakat urbanisasi yang
ingin mencari pekerjaan dikota. Kelompok masyarakat inilah yang karena tidak
tersedianya fasilitas perumahan yang terjangkau oleh kantong mereka serta
kebutuhan akan akses ke tempat usaha, menjadi penyebab timbulnya lingkungan
pemukiman kumuh di perkotaan.
2. Ledakan Penduduk di Kota-Kota Besar
Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk dengan
kemampuan pemerintah untuk menyediakan permukiman-permukiman baru,
17

sehingga para pendatang akan mencari alternatif tinggal di permukiman kumuh


untuk mempertahankan kehidupan di kota.
3. Fenomena Inundasi
Inundasi di kota-kota besar tidak hanya disebabkan oleh bentuk lahan yang relatif
rendah, tetapi juga direklamasinya daerah kantong-kantong air. Terbentuknya
genangan air di pinggiran kota, lebih disebabkan akibatnya adanya reklamasi
penimbunan rawa dan sungai. Hal itu berdampak pengaturan arus sungai menjadi
kurang lancar. Saat musim hujan, airnya akan mengalir kemana-mana hingga
menuju ke pemukiman yang membangun rumah di daerah reklamasi ini dan
menyebabkan pemukiman menjadi kumuh.
4. Urbanisasi
Penduduk yang menempati pemukiman kumuh di kota-kota besar adalah kaum
migran yang pada umumnya berpenghasilan rendah yang tidak dapat mencukupi
kebutuhan hidupnya di daerah asal. Dari keadaan ekonomi yang buruk,
masyarakat desa terdorong untuk datang kekota-kota terdekat dengan harapan
akan mendapatkan pekerjaan dalam rangka usaha melakukan perbaikan kualitas
hidupnya. Sasaran tempat tinggal para pendatang pada umumnya di pusat-pusat
perdagangan, seperti pasar kota, perkampungan pinggir kota, dan disekitar
bantaran sungai kota. Kepadatan penduduk di daerah-daerah ini cenderung
semakin meningkat dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan
asal daerah. Perhatian utama pada penghuni permukiman ini adalah kerja keras
mencari nafkah atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar tetap
bertahan hidup, dan bahkan tidak sedikit warga setempat yang menjadi
pengangguran. Sehingga tanggung jawab terhadap disiplin lingkungan, norma
sosial dan hukum, kesehatan, solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi
terabaikan dan kurang diperhatikan.
5. Tata-kelola Pemerintahan (Governance)

18

Tata-kelola pemerintah yang kurang baik dapat memicu pertumbuhan


permukiman kumuh. Pemerintah seringkali tidak mengakui hak masyarakat
miskin dan melibatkan mereka dalam proses perencanaan. Hal ini justru
mendukung pertumbuhan permukiman kumuh. Respon pemerintah yang lamban
dalam menanggapi urbanisasi juga memicu pertumbuhan kumuh. Urbanisasi
membutuhkan perumahan yang terjangkau yang justru tidak mampu disediakan
pemerintah atau swasta. Karena ketidaktersediaan hunian terjangkau, masyarakat
miskin mencari peluang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya akan hunian
dengan menempati tanah dan membangun gubuknya, atau menyewa rumah petak
yang ada tanpa mempedulikan status tanahnya. Sikap pemerintah terhadap
urbanisasi bervariasi ada yang membuat kebijakan kota tertutup (seperti
Jakarta di tahun 1970-an), ada yang menggusur masyarakat miskin di
permukiman liar (masih terjadi di Indonesia), ada pula yang pasif dan cenderung
mendiamkan pertumbuhan permukiman spontan karena tidak mempunyai
instrumen untuk menanganinya. Catatan statistik terkait penghuni permukiman
kumuh yang berstatus liar (squatter) belum jelas atau kadang-kadang tidak ada
karena pencatatan penduduk oleh pemerintah dianggap oleh para penghuni liar
sebagai salah satu bentuk pengakuan pemerintah terhadap keberadaan mereka di
kota.
b. Proses Terbentuknya Permukiman Kumuh
Dimulai dengan dibangunnya perumahan oleh sektor non-formal, baik secara perorangan
maupun dibangunkan oleh orang lain. Pada proses pembangunan oleh sektor non-formal
tersebut mengakibatkan munculnya lingkungan perumahan kumuh, yang padat, tidak teratur
dan tidak memiliki prasarana dan sarana lingkungan yang memenuhi standar teknis dan
kesehatan.
F. Masalah-masalah yang Timbul Akibat Permukiman Kumuh
Perumahan kumuh dapat mengakibatkan berbagai dampak. Dari segi pemerintahan,
pemerintah dianggap dan dipandang tidak cakap dan tidak peduli dalam menangani
pelayanan terhadap masyarakat. Sementara pada dampak sosial, dimana sebagian masyarakat
19

kumuh adalah masyarakat berpenghasilan rendah dengan kemampuan ekonomi menengah ke


bawah dianggap sebagai sumber ketidakteraturan dan ketidakpatuhan terhadap norma-norma
sosial. Terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slum area. Daerah ini
sering dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat
merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber
penyakit sosial lainnya.
Penduduk di permukiman kumuh tersebut memiliki persamaan, terutama dari segi latar
belakang sosial ekonomi-pendidikan yang rendah, keahlian terbatas dan kemampuan adaptasi
lingkungan (kota) yang kurang memadai. Kondisi kualitas kehidupan yang serba marjinal ini
ternyata mengakibatkan semakin banyaknya penyimpangan perilaku penduduk penghuninya.
Hal ini dapat diketahui dari tatacara kehidupan sehari-hari, seperti mengemis, berjudi,
mencopet dan melakukan berbagai jenis penipuan. Terjadinya perilaku menyimpang ini
karena sulitnya mencari atau menciptakan pekerjaan sendiri dengan keahlian dan
kemampuan yang terbatas, selain itu juga karena menerima kenyataan bahwa impian yang
mereka harapkan mengenai kehidupan di kota tidak sesuai dan ternyata tidak dapat
memperbaiki kehidupan mereka.
Mereka pada umumnya tidak cukup memiliki kamampuan untuk mendapatkan pekerjaan
yang layak, disebabkan kurangnya keterampilan, tanpa modal usaha, tempat tinggal tak
menentu, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, rendahnya daya adaptasi
sosial ekonomi dan pola kehidupan kota. Kondisi yang serba terlanjur, kekurangan dan
semakin memprihatinkan itu mendorong para pendatang tersebut untuk hidup seadanya,
termasuk tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Permukiman kumuh umumnya di pusat-pusat perdagangan, seperti pasar kota,
perkampungan pinggir kota, dan disekitar bantaran sungai kota. Kepadatan penduduk di
daerah-daerah ini cenderung semakin meningkat dengan berbagai latar belakang sosial,
ekonomi, budaya dan asal daerah. Perhatian utama pada penghuni permukiman ini adalah
kerja keras mencari nafkah atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar tetap
bertahan hidup, dan bahkan tidak sedikit warga setempat yang menjadi pengangguran.
20

Sehingga tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan,
solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang diperhatikan.
Oleh karena para pemukim pada umumnya terdiri dari golongan-golongan yang tidak
berhasil mencapai kehidupan yang layak, maka tidak sedikit menjadi pengangguran,
gelandangan, pengemis, yang sangat rentan terhadap terjadinya perilaku menyimpang dan
berbagai tindak kejahatan, baik antar penghuni itu sendiri maupun terhadap masyarakat
lingkungan sekitanya. Kondisi kehidupan yang sedang mengalami benturan antara
perkembangan teknologi dengan keterbatasan potensi sumber daya yang tersedia, juga turut
membuka celah timbulnya perilaku menyimpang dan tindak kejahatan dari para penghuni
pemukiman kumuh tersebut. Kecenderungan terjadinya perilaku menyimpang (deviant
behaviour) ini juga diperkuat oleh pola kehidupan kota yang lebih mementingkan diri sendiri
atau kelompokya yang acapkali bertentangan dengan nilai-nilai moral dan norma-norma
sosial dalam masyarakat.
Perilaku menyimpang pada umumnya sering dijumpai pada permukiman kumuh adalah
perilaku yang bertentangan dengan norma-norma sosial, tradisi dan kelaziman yang berlaku
sebagaimana kehendak sebagian besar anggota masyarakat. Wujud perilaku menyimpang di
permukiman kumuh ini berupa perbuatan tidak disiplin lingkungan seperti membuang
sampah dan kotoran di sembarang tempat. Kecuali itu, juga termasuk perbuatan menghindari
pajak, tidak memiliki KTP dan menghindar dari kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti
gotong-royong dan kegiatan sosial lainnya. Bagi kalangan remaja dan pengangguran,
biasanya penyimpangan perilakunya berupa mabuk-mabukan, minum obat terlarang,
pelacuran, adu ayam, bercumbu di depan umum, memutar blue film, begadang dan berjoget
di pinggir jalan dengan musik keras sampai pagi, mencorat-coret tembok/bangunan fasilitas
umum, dan lain-lain. Akibat lebih lanjut perilaku menyimpang tersebut bisa mengarah
kepada tindakan kejahatan / kriminal seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan,
penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, perkelahian, melakukan pungutan
liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya.
Keadaan seperti itu cenderung menimbulkan masalah-masalah baru yang menyangkut:
21

a) Masalah persediaan ruang yang semakin terbatas terutama masalah permukiman


untuk golongan ekonomi lemah dan masalah penyediaan lapangan pekerjaan di
daerah perkotaan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya perilaku
menyimpang;
b) Masalah adanya kekaburan norma pada masyarakat migran di perkotaan dan
adaptasi penduduk desa di kota;
c) Masalah perilaku menyimpang sebagai akibat dari adanya kekaburan atau
ketiadaan norma pada masyarakat migran di perkotaan. Disamping itu juga
pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan lapangan pekerjaan di wilayah
perkotaan mengakibatkan semakin banyaknya pertumbuhan pemukimanpemukiman kumuh yang menyertainya dan menghiasi areal perkotaan tanpa
penataan yang berarti.
Masalah yang terjadi akibat adanya permukiman kumuh ini, khususnya dikota-kota besar
diantaranya wajah perkotaan menjadi memburuk dan kotor, planologi penertiban bangunan
sukar dijalankan, banjir, penyakit menular dan kebakaran sering melanda permukiman ini.
Disisi lain bahwa kehidupan penghuninya terus merosot baik kesehatannya, maupun sosial
kehidupan mereka yang terus terhimpit jauh dibawah garis kemiskinan (Sri Soewasti
Susanto, 1974)
Secara umum permasalahan yang sering terjadi di daerah permukiman kumuh
adalah:
1. Ukuran bangunan yang sangat sempit, tidak memenuhi standard untuk bangunan
layak huni
2. Rumah yang berhimpitan satu sama lain membuat wilayah permukiman rawan
akan bahaya kebakaran
3. Sarana jalan yang sempit dan tidak memadai
4. Tidak tersedianya jaringan drainase

22

5. Kurangnya pasokan air bersih


6. Jaringan listrik yang semrawut
7. Fasilitas MCK yang tidak memadai
G. Upaya Mengatasi Permukiman Kumuh
Cara Mengatasi Permukiman Kumuh:
1. Program Perbaikan Kampung, yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi
kesehatan lingkungan dan sarana lingkungan yang ada.
2. Program uji coba peremajaan lingkungan kumuh, yang dilakukan dengan
membongkar lingkungan kumuh dan perumahan kumuh yang ada serta
menggantinya dengan rumah susun yang memenuhi syarat.
Yang di usahakan adalah: perkembangan ekonomi makro, pembangunan ekonomi,
pembangunan prasarana, pembangunan sumber daya manusia, pembangunan regional dan
sumber daya alam, pembangunan hukum, penerangan, politik, hankam dan administrasi
negara, kerja sama luar negeri, pembiayaan dalam bidang pembangunan, pusat data dan
informasi perencanaan pembangunan, pusat pembinaan pendidikan dan pelatihan
perencanaan pembangunan (pusbindiklatren), program pembangunan nasional (propenas),
badan koordinasi tata ruang nasional, landasan/acuan/dokumen pembangunan nasional,
hubungan eksternal.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kemiskinan merupakan salah satu penyebab timbulnya pemukiman kumuh di kawasan
perkotaan. Pada dasarnya kemiskinan dapat ditanggulangi dengan adanya pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan pemerataan, peningkatan lapangan pekerjaan dan pendapatan
kelompok miskin serta peningkatan pelayanan dasar bagi kelompok miskin dan
pengembangan institusi penanggulangan kemiskinan. Peningkatan pelayanan dasar ini dapat

23

diwujudkan dengan peningkatan air bersih, sanitasi, penyediaan serta usaha perbaikan
perumahan dan lingkungan pemukiman pada umumnya.
Tumbuhnya permukiman kumuh adalah akibat dari ledakan penduduk di kota-kota besar,
baik karena urbanisasi maupun karena kelahiran yang tidak terkendali. Lebih lanjut, hal ini
mengakibatkan ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk dengan kemampuan
pemerintah untuk menyediakan permukiman-permukiman baru, sehingga para pendatang
akan mencari alternatif tinggal di permukiman kumuh untuk mempertahankan kehidupan di
kota. Terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slum area. Daerah ini
sering dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat
merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber
penyakit sosial lainnya.
Secara umum permasalahan yang sering terjadi di daerah permukiman kumuh adalah:
ukuran bangunan yang sangat sempit, tidak memenuhi standard untuk bangunan layak huni,
rumah yang berhimpitan satu sama lain membuat wilayah permukiman rawan akan bahaya
kebakaran, sarana jalan yang sempit dan tidak memadai, tidak tersedianya jaringan drainase,
kurangnya suplai air bersih, jaringan listrik yang semrawut, dan fasilitas MCK yang tidak
memadai.
Cara Mengatasi Permukiman Kumuh:
1. Program Perbaikan Kampung, yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi
kesehatan lingkungan dan sarana lingkungan yang ada.
2. Program uji coba peremajaan lingkungan kumuh, yang dilakukan dengan
membongkar lingkungan kumuh dan perumahan kumuh yang ada serta
menggantinya dengan rumah susun yang memenuhi syarat.
B. Saran
Pemerintah selain memberikan program rumah susun dan pembangunan sanitasi gratis
bagi masyarakat miskin, juga harus memberikan lapangan pekerjaan ataupun memberikan
pelatihan keterampilan kerja serta modal usaha seperti kredit mikro bagi mereka yang belum
punya pekerjaan agar mereka bisa membuka tempat usaha sendiri sehingga dapat
mengurangi pengangguran. Selain itu pemerintah juga sebaiknya menerapkan pengelolaan
kampung entrepreneur bagi daerah-daerah yang selama ini dianggap sebagai kantong24

kantong kemiskinan, sehingga selain warga-warga di daerah tersebut dibina untuk menjadi
entrepreneur, kampung tersebut pun dapat dijadikan sebagai tempat wisata edukatif sehingga
dapat memberikan pemasukkan bagi pemerintah daerahnya masing-masing.

25

Anda mungkin juga menyukai