Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji bagi Allah SWT Tuhan seru


sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul muatan perundangundangan dan peraturan perundang-undangan.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis memperoleh banyak bantuan dari
berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT bimbingan
dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini, serta kedua orang
tua, keluarga besar penulis, dan rekan-rekan mahasiswa Universitas Lampung
yang selalu berdoa dan memberikan motivasi kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangankekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar tulisan ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap
kerangka acuan makalah

ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan

kepada para pembaca pada umumnya dan pada penulis pada khusunya

DAFTAR ISI
Kata

Pengantar

1
Daftar

isi

2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar

Belakang

3
B. Rumusan

Masalah

3
C. Tujuan

Penulisan

3
BAB II PEMBAHASAN
A. Kajian
5
B. Muatan

Teori
peraturan

5
C. Pembentukan peraturan perundang - undangan

perundang-undangan
12

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
16
B. Saran
16
Daftar

pustaka

17

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengingat akan pentingnya arti sebuah pengaturan yang merupakan dasar
dari pembentukan peraturan perundang-undangan dalam mengatur hubungan antar
Negara dan warga Negara. peraturan perundang-undangan juga dapat dipahami
sebagai bagian dari social contrct (kontrak social) yang memuat aturan main
dalam berbangsa dan bernegara.serta satu-satunya peraturan yang di buat untuk
memberikan batasan-batasan tertentu terhadaap jalananya pemerinetahan.sehingga
dengan hal itu merupkan hal yang pentinglah kiranya bagi kita untuk mempeljari
dan memahami semua hal yang berhubungan dengan konstitusi dan perundangundangan.oleh kerena itu kami akan mencoba memeberikan sedikit gambaran
tentang konstitusi ini secara umum dan bagaimana peranannya dalam sebuah
Negara.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami memberikan suatu gambaran yang jelas tentang
muatan peraturan perundang-undangan
melalui penegakan hukum

dalam suatu negara yang dijalankan

dibawahnya,bagaimana keberadaan konstitusi ini

dalam sebuah negara,yang mana dalam prakteknya di indonesia peraturan


perundang-undangan ini pernah mangalami amandemen,tentang demokrasi di
negara hukum dan upaya menumbuhkan kesadaran penegakan hukum.

C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah agar pembaca
sekalian mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan konstitusi dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang setiap negara memilikinya termasuk juga
negara kita indonesia.yang mana dengan memiliki pemahaman tentang konstitusi
dan perundang-undangan ini kita sebagi generasi penerus bangsa akan mempunyai
arah dan pedoman yang jelas dalam melanjutkan pembangunan ini di masa yang
akan datang yang pada prinsipnya semua agenda penting kenegaraan, serta
prinsip dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, telah
tercoverdalam

konstitusi

dan

dilaksanakandalam

bentuk

perundang-

undangan.untuk itu kami rasa perlu dalam makalah ini mengajak rekan-rekan
sekalian untuk mempelari semua hal yang berhubungan dengan konstitusi ini dan
menumbuhkan kesadaran berkonstitusi kita sebagai warga Negara.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Teori
Muatan peraturan perundang-undangan, tolok ukurnya hanya dapat
dikonsepkan secara umum. Semakin tinggi kedudukan suatu peraturan perundangundangan, semakin abstrak dan mendasar materi muatannya. Begitu pula
sebaliknya, semakin rendah kedudukan suatu peraturan perundang-undangan,
semakin rinci dan konkrit pula materi muatannya. Kesemuanya itu mencerminkan
adanya tingkatan-tingkatan tentang materi muatan peraturan perundang-undangan
dimana undang-undang merupakan salah satu bentuk peraturan perundangundangan yang paling luas jangkauannya.
Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, mengatur materi muatan
yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal yang:
1. Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
a. Hak-hak asasi manusia
b. Hak dan kewajiban warga negara
c. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian
kekuasaan negara
d. Wilayah negara dan pembagian daerah
e. Kewarganegaraan dan kependudukan
f. Keuangan Negara
2. Diperintahkan oleh suatu Undang-undang untuk diatur dengan Undangundang.

B. Muatan Peraturan Perundang-undangan


Sedangkan materi muatan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang
sama dengan materi muatan undang-undang (Pasal 9 Undang-undang Nomor 10
Tahun 2004). Pasal 10 menyatakan bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah
berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Kemudian sesuai dengan tingkat hierarkinya, bahwa Peraturan Presiden berisi
materi yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi yang melaksanakan
Peraturan Pemerintah (Pasal 11). Mengenai Peraturan Derah dinyatakan dalam
Pasal 12 bahwa materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Materi muatan peraturan perundang-undangan juga mengandung asas-asas
yang harus ada dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Asas-asas n suatu
peraturan perundang-undangan, semakin rinci dan konkrit pula materi muatannya.
Kesemuanya itu mencerminkan adanya tingkatan-tingkatan tentang materi muatan
peraturan perundang-undangan dimana undang-undang merupakan salah satu
bentuk peraturan perundang-undangan yang paling luas jangkauannya.
Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, mengatur materi muatan
yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal yang:
1. Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
a. Hak-hak asasi manusia;
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undangundang Nomor 10 Tahun 2004. Ayat (1) sebagai berikut, Materi Muatan
Peraturan

Perandang-undangan

mengandung

asas

pengayoman,

kemanusian, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal


ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,
ketertiban dan kepastian hukum dan/atau keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan. Sedangkan ayat (2), menyatakan Selain asas sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat


berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan.
Apa yang dimaksudkan dengan asas-asas yang berlaku dalam materi
muatan peraturan perundang-undangan tersebut dijelaskan dalam
penjelasan Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut:
1. Asas pengayoman; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan
dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
2. Asas kemanusian; Bahwa setiap Materi Muatan
Perundang-undangan

harus

mencerminkan

Peraturan

perlindungan

dan

penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat


setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
3. Asas kebangsaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga
prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
4. Asas kekeluargaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
5. Asas kenusantaraan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh
wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundangundangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
6. Asas bhinneka tunggal ika; Bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya
khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

7. Asas keadilan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi
setiap warga negara tanpa kecuali.
8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; Bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,
antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
9. Asas ketertiban dan kepastian hukum; Bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban
dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
10. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan
individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Penjelasan Pasal 6 ayat (2) menjelaskan bahwa Yang dimaksud dengan
asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan, antara lain:
1. Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman
tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak
bersalah;
2. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain,
asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik.
Selain kedua ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 tersebut, pembentukan
peraturan perundang-undangan juga harus berpedoman, serta bersumber dan
berdasar pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Hal tersebut terdapat
dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang
dirumuskan sebagai berikut, Pasal 2 berbunyi, Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum Negara. Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) berbunyi, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar
dalam Peraturan Perundang-undangan. Kedua pasal tersebut dapat dipahami atau

dimaknai agar setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus sesuai


dengan Pancasila sebagai Cita Hukum (rechtsidee) dan Norma Dasar Negara,
sehingga kedua pasal tersebut berkaitan erat dengan Penjelasan Umum UUD
1945. Dari rumusan Penjelasan UUD 1945 menjadi jelaslah bahwa pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak lain adalah
Pancasila merupakan Norma Dasar Negara atau Norma Fundamental Negara
(Staatsfundamentalnorm) dan sekaligus merupakan Cita Hukum.
Pembukaan UUD 1945 sebagai suatu Norma Fundamental Negara, yang
menurut istilah Notonagoro merupakan Pokok Kaidah Fundamental Negara
Indonesia atau menurut Hans Nawiasky adalah Staatsfundamentalnorm, ialah
norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang
dasar dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahnya. Hakikat
hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi
atau undang-undang dasar. Ia terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau
undang-undang dasar. Sedangkan konstitusi, menurut Carl Schmitt merupakan
keputusan politik (eine Gessamtenschiedung uber Art und Form einer polistichen
Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa. Apabila Penjelasan UUD 1945
menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung Pembukaan UUD 1945
sebagai suatu Cita Hukum (Recthsidee), maka Pancasila adalah juga berfungsi
sebagai suatu pedoman dan sekaligus tolok ukur dalam mencapai tujuan-tujuan
masyarakat, yang dirumuskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Materi muatan Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang (Perpu) sama
dengan materi muatan Undang-Undang. Materimuatan Peraturan Pemerintah (PP)
berisi materi untuk menjalankanUndang-Undang sebagaimana mestinya. Materi
muatan Peraturan Presiden(Perpres) berisi materi yang diperintahkan oleh
Undang-Undangatau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Materi
muatan PeraturanDaerah (Perda) adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraanotonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi
khusus daerah sertapenjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi. Daritata urutan (hirarki) dan jenis di atas, tampak bahwa semakin ke
bawah, materimuatan peraturan masing-masing semakin mengkerucut.Dengan

mengkerucutnyamateri muatan, orang akan lebih mempermudah menentukan


materi muatan yang terbawah karena yang terakhir ini sebagai hasil residu
peraturan di atasnya.
Khusus untuk materi muatanPerda di atas harus dikaitkan dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah
menentukan pembagian urusan pemerintahan danpengaturan mengenai hak dan
kewajiban pemerintah daerah, dan urusan-urusanpemerintah daerah yang lain
yang menjadi kewenangan daerah untuk mengatur dalamPerdanya. Hal ini untuk
lebih mempermudah penentuan materi muatan, norma, danpenerapannya..
Sebagaimana digambarkan di atas, untuk mempermudahpenentuan materi
muatan peraturan perundang-undangan, digunakan penelaahansecara residu, di
samping pemahaman mengenai materi muatan itu sendiri. MateriMuatan
peraturan perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan
perundang-undangansesuai

dengan

jenis,

fungsi,

dan

hierarki

peraturan

perundang-undangan.
Di dalam ilmu peraturan perundang-undangan, telahdikenal teori berjenjang
yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkatperaturan, semakin meningkat
keabstrakannya. Sebaliknya, semakin rendah tingkatperaturan, semakin meningkat
kekonkritannya. Hipotesis yang dapat digambarkanadalah jika peraturan yang
paling rendah, penormaannya masih bersifat abstrak,maka peraturan tersebut
kemungkinan besar tidak bias dilaksanakan atauditegakkan secara langsung
karena masih memerlukan peraturan pelaksanaan ataupetunjuk pelaksanaan.
Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presidendan peraturan daerah,
seyogyanya langsung dapat dilaksanakan secara berjenjang,dengan catatan bahwa
materi muatan undang-undang disesuaikan lagi dengan macamundang-undang itu
sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa macam undang-undangterdiri atas:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

undang-undang hukum pidana


undang-undang hukum perdata
undang-undang hukum administrasi
undang-undang pengesahan
undang-undang penetapan
undang-undang arahan atau pedoman.

10

Materi muatanUndang-Undang Dasar (UUD), sudah barangtentu lebih


abstrak daripada materi muatan Undang-Undang. Keabstrakan UUD,biasanya
ditunjukkan oleh sifat keuniversalannya atau sifat keumumannya (normayang
umum dan perlu penjabaran oleh peraturan di bawahnya). Kadangkala,
sifattersebut juga mengandung suatu asas atau mempunyai norma asasi. Asasi
atautidak asasinya suatu norma, orang yang menyatakan itu dalam kesimpulan
tesisatau pendapatnya. Hal ini sering pula berlaku bagi undang-undang
karenaundang-undang sering menjadi kendaraan UUD sehingga muatannya
bersinggungan(tumpang tindih) dengan muatan UUD, terutama dengan macam
undang-undang yangberisi arahan atau pedoman.
Pada saat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HakAsasi Manusia
(HAM) diundangkan, orang banyak bertanya mengenai materi muatanUndangUndang tersebut apakah materi yang ada di dalamnya bukan materi muatanUUD
(kecuali pengaturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Pasal 9
Undang-Undangtentang HAM menentukan bahwa Setiap orang berhak untuk
hidup,

mempertahankanhidup,

dan

meningkatkan

taraf

kehidupannya.

Kemudian, Pasal 11 menentukan Setiaporang berhak membentuk suatu keluarga


dan melanjutkan keturunan melaluiperkawinan yang sah.
Jika kita akan membandingkan dengan KUHP, maka akantampak materi
muatan pada kedua Undang-Undang tersebut. Pasal 338 KUHPmenentukan
bahwa Barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain, dipidana denganpidana
.. Orang sudah harus menduga bahwa Pasal 338 tersebut sebagai cerminanatau
wujud dari ketentuan Setiap orang berhak untuk hidup (Pasal 9Undang-Undang
tentang HAM). Untuk membedakan kedua norma di atas terkait denganmateri
muatan adalah dengan melihat apakah norma tersebut langsung bisadilaksanakan
dan ditegakkan. Jika Bedu membunuh Amin, maka Bedu dikenakan Pasal338
KUHP, bukan Pasal 9 Undang-Undang tentang HAM. Sesuai dengan hukum
acarapidana (KUHAP), polisi dapat menangkap Bedu untuk ditahan dan
kemudian diprosesuntuk diajukan ke penuntut umum, lalu diajukan ke
persidangan.

11

Jika kita setuju dengan cara pemahaman residu,dikaitkan dengan tata


urutan peraturan perundang-undangan, maka seyogyanyaperaturan perundangundangan di bawah undang-undang juga harus lebih mudah ataulangsung
dilaksanakan (diterapkan) dan ditegakkan dibandingkan denganundang-undang itu
sendiri. Pembentuk peraturan perundang-undangan (di bawahUUD) harus
merancang

normanya

agar

substansi

peraturan

perundang-undangan

dapatlangsung diterapkan dan ditegakkan, yakni dengan menjauhkan diri


untukmerancang normanya kepada sifat universalitas dan asas-asas yang berlaku
umum(nasional). Perancang peratuarn perundang-undangan harus memikikirkan
bagaimanasuatu

peraturan

tidak

terlalu

banyak

berisi

delegasian

dari

peraturanperundang-undangan di atasnya sehingga tidak terjebak pada materi


muatan yanglebih abstrak. Agak aneh jika ada suatu peraturan perundangundangan di bawahundang-undang berisi asas-asas dan berisi hak dan kewajiban
yang membebanimasyarakat. Aneh juga jika suatu Perda menentukan bahwa
Setiap orang yangmelakukan penganiayaan terhadap orang lain yang
mengakibatkan luka dipidanadengan pidana.
Pemahaman residu tidak hanya terkait dengan pola diatas, melainkan juga
pada tata urutan yang secara formal telah ditentukan dalamPasal 7 UU P 3,
artinya, urutan tersebut menggambarkan makna deduktif materimuatan peraturan
perundang-undangan. Tata urutan peraturan semakin ke bawahsemakin konkret
dan langsung dapat dilaksanakan karena kesederhanaan materinya(walaupun
kadangkala peraturan di bawah, yang biasanya lebih teknis, sangatkompleks dan
rumit). Pemahaman residu juga terkait dengan macam norma danpenerapan
hukumnya.
a. Pembentukan peraturan perundang-undangan
b. Partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU
C. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Proses pembentukan undang-undang pada dasarnya dapat dilakukan dalam
berbagai model pilihan partisipasi sesuai dengan tingkat perkembangan politik
suatu negara. Partisipasi masyarakat ini akan tergant[2]ung dari kesadaran

12

masyarakat dalam tatanan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.


Untuk memberikan kejelasan lebih lanjut tentang pendekatan ini, menarik untuk
disimak uraian penulis dalam buku ini berkaitan dengan adanya pemahaman
terhadap masing-masing model partisipasi publik tersebut adalah sebagai berikut:

a. Model Pertama : Pure Representative Democracy


Dalam model partisipasi publik yang pertama ini, sifat partisipasi
masyarakatnya masih pure atau murni. Artinya, rakyat selaku warga negara
dalam suatu negara demokrasi keterlibatannya dalam pengambilan keputusan
publik dilakukan oleh wakil-wakil yang dipilih melalui pemilihan umum
untuk duduk dalam lembaga perwakilan. Dalam hal ini, masyarakat hanya
tinggal menerima saja apa yang akan diproduk oleh legislatur dalam
pembentukan UU.
b. Model Kedua : A Basic Model of Public Participation
Dalam model yang kedua ini digambarkan bahwa rakyat telah melakukan
interaksi keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan, tidak hanya
melalui pemilihan umum tetapi dalam waktu yang sama juga melakukan
kontak dengan lembaga perwakilan. Meskipun demikian model partisipasi ini
belum dapat dikatakan sebagai bentuk dan hakekat interaksi yang sebenarnya.
c. Model Ketiga : A Realism Model of Public Participation
Dalam model pilihan yang ketiga ini, public participation pelakupelakunya cenderung dilakukan dan didominasi oleh adanya kelompokkelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya yang diorganisir.
Publik, selain ikut dalam pemilihan umum juga melakukan interaksi dengan
lembaga perwakilan. Akan tetapi

tidak semua warga negara melakukan

public participation dalam bentuk membangun kontak interaksi dengan


lembaga perwakilan. Pelaku-pelaku public participation telah mengarah pada

13

kelompok-kelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya yang


diorganisir. Dengan demikian terdapat kecenderungan untuk memahami
public dalam konteks yang terbatas.
d. Model Keempat : The Possible Ideal for South Africa
Model alternatif yang diperkenalkan sebagai bentuk keempat dari
berbagai partisipasi masyarkat ini, merupakan perluasan dalam memasukkan
tiga kelompok partisipan, yaitu : those who are organized and strong; those
who are organized but weak; and those who are weak and unorganized.
Dengan menerapkan model ini, pemerintah dapat mengembangkan visi
strategis yang dapat ditujukan kepada ketiga kelompok tersebut secara
bersama-sama. Dalam model ini, pada gilirannya memunculkan dua
tambahan dimensi yaitu: a) dimensi peranan partai-partai politik dan partai
mayoritas; b) dimensi hubungan perwakilan dengan eksekutif.
Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. Latar
belakang menjelaskan mengenai perlunya suatu kajian yang mendalam dan
komprehensif

mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan

materi muatan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah


yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah dalam latar belakang mempunyai arah pada
penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis dan yuridis untuk mendukung
apakah penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah perlu dilakukan.
Identifikasi masalah memuat rumusan masalah yang ditemukan dan diuraikan
dalam Akademik. mencakup empat hal yang dimuat, yaitu :
1.

permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara

2.

dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi;


mengapa perlu Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, yang berarti
membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tersebut;

14

3.

apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis serta


yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan

4.

Peraturan Daerah; dan


apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan
dan arah pengaturan.

Tujuan perumusan disesuaikan dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang


dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.

merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa,


bernegara dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan

2.

tersebut;
merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan

3.

dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat;


merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis dan yuridis
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan

4.

Daerah; dan
merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah.

15

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hiraki peraturan perundang-undangan di indonesia menurut Undang-Undang
No 10/2004 tentang pembentukan peraturan perundang undangan :
1. UUD 1945
2. Undang-Undang
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah.
B. Saran
Sebagai generasi penerus bangsa kita harus tahu dan memahami akan
pentingnya konstitusi bagi negara,serta berusaha untuk mempelajari semua hal
yang berkaitan dengan konstitusi ini untuk dapat kita jadikan pedoman dalam
mengatasi setiap masalah dalam kapasitas kita sebagai warga negara.
Karena adanya konstitusi ini tidak lain di tujukan untuk menjamin hak asasi
kita sebagi warga negara agar kekuasaan tidak disalah gunakan dengan adanya
norma yang memberi arah terhadap jalannya pemerintahan sehingga para
penguasa tidak bisa berlaku semena-mena.

16

DAFTAR PUSTAKA
http://vjkeybot.wordpress.com/2012/04/14/materi-muatan-perundang-undangan/
http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/peraturan-perundang-undangan.html
http://pshk.law.uii.ac.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=136&Itemid=106
http://www.ditjenpp.org/kerja/prosruu.htm

17

Anda mungkin juga menyukai