Anda di halaman 1dari 15

Pendekatan Whole Language: Alternatif Penyajian Pelajaran Membaca

pada Tingkat Awal


Abstract

Reading is an activity that provides many benefits. However, it has not become a habit
even more culture in Indonesian society. Some efforts to make reading a habit needs to be done
since the beginning. Development of reading at the beginning of the school is important. In this
context, the activities of reading needs to be presented in an interesting and meaningful in order
to foster children's reading interests. Whole Language approach offers learning reading strategies
and procedures that appropriate for the child at the beginning of the school level. These
procedures present the integrated reading instruction strategy involving aspects of symbols,
systems, and contexts that are in line with the thematic learning paradigm.
Keywords: Whole Language Approach, the beginning school level children, reading
Pendahuluan
Telah menjadi kesepakatan umum bahwa membaca memberikan banyak manfaat.
Manfaat membaca dapat dirasakan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam
jangka pendek, pada saat seorang membaca dan segera setelah selesai membaca ia telah
memperoleh pengetahuan baru dari apa yang dibacanya. Sementara itu, dalam jangka panjang
kemampuan seseorang dalam membaca akan memberikan berbagai keuntungan bagi dirinya,
bahkan pada gilirannya dapat memberikan manfaat bagi orang lain dan masyarakat dalam
lingkup yang lebih luas. Dalam suatu artikel di sebuah webside dideskrpsikan keuntungan atau
yang dapat diperoleh dari kegiatan membaca, yaitu sebagai stimulasi mental, mengurangi stres,
memperluas kosakata, meningkatkan memori, memperkuat keterampilan berpikir analitis,
meningkatkan fokus dan konsentrasi, meningkatkan keterampilan menulis, menciptakan
ketenangan, dan memberikan hiburan dengan cuma-cuma (http://www.lifehack.org) .
Keuntungan-keuntungan membaca sebagaimana dikemukakan, tampaknya belum mampu
mendorong tumbuhnya minat baca dalam masyarakat kita. Masyarakat Indonesia dewasa ini
kurang gemar membaca. Masyarakat justru lebih tertarik pada budaya menonton yang
pertumbuhannya sangat pesat dan jauh meninggalkan budaya membaca. Budaya ini terbentuk
dengan kehadiran televisi pada hampir setiap keluarga. Sayangnya, budaya menonton lebih
banyak mengarah pada acara-acara yang berisi hiburan dibandingkan dengan yang memuat
pengetahuan dan segi-segi pendidikan. Kondisi seperti ini terjadi pada semua kelompok usia,
dari anak-anak, remaja, sampai orang tua dan pada sebagian besar lembaga, mulai dari keluarga,
sekolah, dan masyarakat.
Semua pihak bertanggung jawab dalam mencari solusi atas permasalahan rendahnya
minat membaca. Keluarga, sekolah, pemerintah, dan seluruh anggota masyarakat perlu
memberikan sumbangan pemikiran serta upaya-upaya praktis yang mengarah pada tumbuhnya
kesadaran, minat, dan kegemaran membaca, yang tentunya dimulai dari membuat diri sendiri
menjadi seorang pembaca.
Lembaga pendidikan, dalam hal ini sekolah, termasuk sekolah dasar dan lembaga
pendidikan di bawahnya, perlu merancang ulang program pembelajaran membaca yang
berlangsung selama ini. Para guru perlu meninjau kembali materi dan strategi pembelajaran
membaca yang digunakan. Iriyanto (2012:44) mengajukan saran kepada para guru untuk

melakukan perenungan ulang (recontemplation) atas apa-apa yang selama ini sudah dilakukan,
terutama terkait dengan paradigma proses dan hasil belajar yang selama ini diyakini.
Ditengarai praktik pembelajaran membaca di sekolah menjadi salah satu penyebab belum
tumbuhnya kebiasaan membaca di kalangan siswa. Bisa jadi, siswa belum berminat membaca
karena mereka belum mendapatkan pengalaman menarik dalam kegiatan membaca.
Pembelajaran membaca belum disajikan secara menarik dan masih cenderung bersifat
konvensional. Pada umumnya kegiatan membaca di kelas berlangsung dalam urutan kegiatan
membaca teks, menjawab pertanyaan, menemukan ide pokok, dan mengungkapkan kembali isi
bacaan. Di sisi lain, kegiatan membaca yang melibatkan aspek sensori, aspek perseptual, aspek
urutan, aspek asosiasi, aspek eksperensial, aspek belajar, dan aspek berpikir (Burn et.al., 1999)
menuntut penanganan yang tepat mengingat kompleksitas aktivitas yang berlangsung di
dalamnya.
Anak-anak yang masih duduk di level awal sekolah merupakan subjek program
pembinaan minat dan kemampuan baca yang potensial karena anak-anak ini berada dalam
periode perkembangan ideal. Dryden (dalam Martutuk, 2009) mengemukakan bahwa hasil
penelitian menunjukkan 50 persen kemampuan belajar seseorang ditentukan pada empat tahun
pertama, 30 persen sebelum mencapai usia delapan tahun, dan sisanya pada usia setelah itu.
Berdasarkan informasi tersebut dimungkinkan tindakan yang tepat dalam rangka menumbuhkan
minat dan kemampuan membaca anak-anak akan menghasilkan generasi gemar membaca yang
cerdas.
Pendekatan Whole Language menawarkan berbagai kegiatan membaca yang dapat
diterapkan pada tingkat awal, seperti di PAUD dan sekolah dasar. Pendekatan ini melihat
bahasa sebagai suatu keutuhan dengan penekanan pada aspek membaca dan menulis.
Komponen-komponen Whole Language seperti reading aloud, shared reading, dan guided
reading dinilai dapat memfasilitasi terciptanya pembelajaran membaca yang menarik dan
bermakna. Strategi-strategi membaca tersebut menyajikan kegiatan yang bervariasi dan
menjangkau berbagai aspek, yakni aspek kebahasaan, aspek keterampilan berbahasa, dan aspek
sosiokultural. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Goodman (2005:10 ) bahwa bahasa tidak
dapat digunakan untuk berkomunikasi tanpa sistem yang menyeluruh dalam konteks
penggunaannya. Jadi, bahasa harus memiliki simbol, sistem, dan konteks penggunaan.
Paparan dalam makalah ini dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang
komponen-komponen Whole Language sebagai alternatif penyajian pelajaran membaca di
tingkat awal yang dipandang dapat memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya minat dan
kemampuan membaca di kalangan anak-anak. Informasi yang disampaikan menyangkut segi
perkembangan anak, kegiatan membaca, dan pendekatan Whole Language dalam pembelajaran
membaca.
1. Perkembangan Anak
Anak dalam tulisan ini mengacu pada anak usia taman kanak-kanak sampai dengan usia
sekolah dasar (6 s.d. 12 tahun), sesuai dengan pandangan Monks dkk. (1998:177). Terdapat
berbagai potensi anak yang dapat dikenali dari perilaku mereka. Potensi-potensi tersebut di
antaranya menyangkut aspek kognitif, sosial-emosional, dan bahasa.

A. Perkembangan Kognitif
Dworetzky (1990:241) menyatakan bahwa potensi kognitif anak meliputi perhatian,
persepsi, ingatan, perkembangan bahasa, pemecahan masalah, kreativitas, imajinasi, harapan,
intensi, dan keyakinan. Sementara itu, Vygotsky (1978) berpendapat bahwa anak dilahirkan
dengan membawa serangkaian fungsi kognitif dasar seperti kemampuan untuk memperhatikan,
merasa, dan mengingat sesuatu.
Salah satu teori perkembangan kognitif yang banyak diacu dalam berbagai karya dan
forum ilmiah adalah yang dikemukakan oleh Piaget (1951). Menurutnya perkembangan kognitif
anak berlangsung melalui beberapa periode, yakni periode sensori motor (0-2 tahun),
praoperasional (2-7 tahun), operasi konkret (7-11 tahun), dan operasi formal (11 tahun ke atas).
Pada periode sensori motor perkembangan kognitif ditunjukkan oleh berbagai bentuk
aktivitas motorik sebagai reaksi stimulasi sensorik. Dalam periode ini yang penting adalah
tindakan konkret, bukan tindakan imajiner. Periode ini terbagi lagi ke dalam 6 tahap
perkembangan yang lebih spesifik.
Periode praoperasional di antaranya ditandai oleh cara berpikir yang bersifat egosentris
dan sangat memusat. Anak belum mampu berpikir dengan mengambil perspektif orang lain.
Anak juga hanya memusatkan pikiran dan perhatiannya hanya pada satu dimensi saja. Pada
periode ini anak sudah mampu berpura-pura. Ia mampu menirukan tingkah laku yang dilihatnya.
Periode operasi konkret ditandai dengan kemampuan menggunakan kaidah-kaidah logika
untuk memecahkan masalah. Selama periode ini proses berpikir anak menjadi lebih kompeten,
lebih fleksibel, dan lebih dapat menunjukkan kemampuan di dalam memahami dan menerapkan
bentuk-bentuk ukuran, kebalikan, urutan kemampuan, urutan klasifikasi, dan penggunaan angka.
Pada periode operasi formal anak sudah memiliki kemampuan merampatkan hal-hal yang
bersifat konkret ke dalam gagasan-gagasan abstrak atau yang bersifat hipotetik. Hal ini
ditunjukkan oleh adanya kemampuan anak di dalam memahami konsep-konsep seperti keadilan,
kepribadian, dan kebenaran.
Berdasarkan pembagian periode perkembangan kognitif yang dikemukakan Piaget
tersebut, anak-anak yang duduk di bangku taman kanak-kanak dapat dikategorikan ke dalam
periode praoperasional. Pada periode ini cara berpikir anak masih diwarnai perspektif pribadi.
Sementara itu, anak usia sekolah dasar dapat dikategorikan ke dalam kelompok anak yang
berada pada periode operasi konkret. Menurut Monks dkk. (1998:178) pada periode ini anak
telah masak sekolah. Artinya, anak siap masuk sekolah karena sudah memiliki persyaratan yang
membuatnya mampu menjalani proses belajar formal. Dijelaskan bahwa selain usia, kriteria yang
juga berhubungan dengan kemasakan tersebut adalah kemampuan anak untuk bekerja sama
dengan anak-anak lain, kemampuan anak dalam mengadakan pengamatan secara analitis, dan
kematangan jasmaniah.
B. Perkembangan Sosial-Emosional
Goleman (1995) menyatakan bahwa kecerdasan sosial-emosional berkaitan dengan
kemampuan seseorang di dalam memahami dan mengendalikan perasaannya, menanggapi secara
tepat perasaan orang lain, dan memahami serta memelihara hubungan baik dengan orang lain.
Dari sini dapat dilihat bahwa kecerdasan sosial-emosional memiliki kedudukan penting di dalam
perkembangan individu, terutama menyangkut hubungan antarindividu dan terbukanya berbagai
peluang dan kesempatan seseorang untuk mengembangkan potensinya secara maksimal. Gardner
(1993) menyebut kecerdasan sosial-emosional ini dengan kecerdasan interpersonal. `

Perkembangan sosial anak usia sekolah ditandai dengan meluasnya lingkungan sosial
(Monks dkk., 1998:183). Anak mulai masuk ke lingkungan di luar lingkungan keluarga.
Lingkungan tersebut dapat berupa lingkungan sekolah atau lingkungan bermain. Di lingkungan
barunya anak berinteraksi dengan orang-orang serta anak-anak lainnya yang pada gilirannya
akan memberikan pengaruh pada perkembangan pribadi, termasuk emosinya.
Menurut Dworetzky (1990) bagian terpenting dari perkembangan sosial-emosional
adalah prilaku prososial yang meliputi kerja sama dan tolong-menolong. Kerja sama muncul
secara spontan pada anak-anak sekitar usia 4-5 tahun. Pada usia 7-11 tahun kerja sama mulai
menghilang dan digantikan kecenderungan untuk bersaing. Kenyataan ini perlu ditanggapi oleh
sekolah, misalnya dengan cara menyajikan model pembelajaran yang bersifat kooperatif agar
nilai-nilai sosial-emosional tetap terjaga di tengah-tengah situasi persaingan yang sehat.
Selanjutnya, perilaku tolong-menolong diwujudkan dalam bentuk pemberian bantuan, layanan,
keterampilan, dan informasi yang diperlukan orang lain. Anak cenderung memberikan
pertolongan jika ia merasa memiliki kemampuan dan mengetahui cara untuk membantu orang
lain. Oleh karena itu, proses pendidikan hendaknya menempatkan anak pada kondisi yang dapat
membuat mereka saling menolong sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Perilaku menolong pada diri anak timbul karena anak memiliki empati. Empati
ditunjukkan oleh kemampuan untuk berbagi rasa, pikiran, dan perilaku dengan orang lain.
Menurut Hoffman (1979) empati anak usia SD pada awalnya ditandai oleh pengetahuan bahwa
seseorang dalam keadaan susah, anak belum dapat merespon secara tepat karena ia tidak
menyadari jika seseorang mungkin memiliki kebutuhan yang berbeda dari dirinya. Baru pada
usia 7-11 tahun anak dapat merespon secara tepat kesusuhan orang lain. Anak sudah mampu
membayangkan dirinya pada posisi orang lain.
Perkembangan sosial-emosional anak dapat diamati dari perilaku, termasuk perilaku
berbahasanya. Cara bertutur dan pilihan kata mereka merefleksikan kecerdasan sosialemosionalnya. Anak dapat menyatakan pandangan, sikap, serta perasaannya melalui bahasa yang
berupa ungkapan-ungkapan verbal.
C. Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa tidak terlepas dari perkembangan kognitif. Bahasa memiliki peran
yang penting dalam perkembangan kognitif anak. Sebaliknya, kognisi juga berpengaruh terhadap
perkembangan kemampuan berbahasanya. Vigotsky (1978) berpendapat bahwa bahasa membuat
pikiran atau gagasan menjadi mungkin. Di sini bahasa dilihat sebagai sarana untuk berpikir dan
memecahkan masalah.
Pembicaraan tentang perkembangan bahasa anak usia sekolah tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan bahasa pada masa-masa sebelumnya. Penguasaan bahasa anak usia sekolah ini
diperoleh setelah mereka melalui serangkaian tahap pemerolehan dengan ciri-ciri khas yang
melekat.
Menurut Monks dkk. (1998) awal mula anak berbicara terwujud ke dalam aktivitas
meraban atau mengoceh. Tahap ini dimulai pada usia sekitar 3 bulan. Meraban pada umumnya
merupakan ekspresi perasaan positif yang berlawanan dengan menangis sebagai ungkapan
perasaan negatif. Pada usia sekitar 6 bulan ocehan anak sudah mulai memiliki fungsi
komunikatif. Meraban berarti mereaksi kontak verbal dari orang lain.
Ocehan anak sudah memuat bunyi-bunyi yang berupa fonem-fonem tertentu.
Selanjutnya, fonem-fonem ini digabung menjadi kombinasi suara yang kompleks. Pada usia

sekitar 1 tahun anak sudah dapat mengucapkan kata-kata yang pada umumnya diawali dengan
gabungan konsonan bilabial dan vokal, seperti mama dan papa.
Pada tahap selanjutnya, anak menggunakan satu kata sebagai sarana berkomunikasi yang
sejajar dengan kalimat. Jika anak mengucapkan mama dapat berarti kue ini untuk mama atau
kemungkinan makna lain yang semestinya terwadahi dalam bentuk kalimat.
Pada usia sekitar 1,5 tahun muncullah kalimat dua kata yang oleh Dworetzky (1990)
disebut ujaran telegrafik karena terdiri dari dua kata bermorfem bebas tanpa kata fungsi yang
mirip dengan bahasa yang digunakan dalam telegram. Dari segi makna, kalimat dua kata ini juga
mewakili gagasan utuh seperti yang lazimnya dimuat di dalam kalimat.
Pada tahap berikutnya, anak mulai dapat mengucapkan kalimat tiga kata. Ini terjadi pada
usia antara 2-2,5 tahun. Meskipun secara struktural pada mulanya masih mirip dengan kalimat
dua kata, pada akhirnya terjadi diferensiasi pada kelompok kata yang menunjukkan kecakapan
verbal anak. Pada tahap ini struktur sintaksis bahasa anak berkembang semakin kompleks yang
ditunjukkan oleh rangkaian kata-kata dalam kalimat serta perubahan bentuk-bentuk kata yang
digunakan. Kondisi ini sudah mengarah kepada bentuk kalimat orang dewasa.
Menurut Vigotzky (1978) anak usia 2-6 tahun menghasilkan ujaran egosentris, yaitu
ujaran yang dihasilkan anak dengan perspektif diri sendiri. Anak tidak mempertimbangkan
ujarannya dari perspektif pendengar sebab anak berasumsi secara egosentris bahwa perspektif
pendengar sama dengan perspektifnya. Ujaran egosentris ini akan hilang sejalan dengan
hilangnya egosentrisme anak. Perkembangan bahasa anak selanjutnya banyak diperoleh dari
interaksi sosial. Di sini ujaran orang dewasa banyak memicu kegiatan berfikir dan berbahasa
anak-anak.
Anak usia sekolah telah memiliki kecerdasan bahasa. Kenyataan ini dikuatkan oleh
Gardner (1993) yang menyatakan bahwa kecerdasan berbahasa anak terlihat secara signifikan
pada usia 4 tahun. Pada usia ini kecerdasan berbahasa anak ditandai dengan kemampuan
menggunakan sarana retorika atau gaya bahasa, menggunakan majas, menceritakan cerita singkat
tentang petualangannya dan orang-orang yang ditemuinya, mengubah register tuturan
berdasarkan mitra tuturnya, serta berkelakar dengan menggunakan bentuk-bentuk metalinguistik
sederhana. Dijelaskan pula bahwa pada usia ini anak telah memiliki kepekaan linguistik yang di
antaranya meliputi kepekaan memahami makna kata, menyusun kata, dan memainkan bunyibunyi. Potensi bahasa yang tampak sejak usia sekitar empat tahun ini lebih berkembang dan
lebih kompleks ketika anak berada pada usia sekolah.
Terdapat beberapa hasil penelitian yang mendukung kenyataan bahwa kemampuan
berbahasa anak usia sekolah berkembang lebih kompleks. Ghazali (2000) menemukan bahwa
anak usia sekolah sudah mampu menggunakan kalimat-kalimat kompleks dengan tingkat
kerumitan yang berkembang secara bertahap. Mujiyono (1996) yang mengkaji implikatur
percakapan anak SD menemukan kenyataan bahwa bentuk lingual implikatur percakapan anak
SD sudah bervariasi dan kompleks.
2. Model Proses Membaca
Membaca pada dasarnya adalah proses mengkonstruksi makna. Proses ini bukanlah
proses yang sederhana, melainkan suatu proses yang kompleks melibatkan banyak aspek.
Kondisi ini telah mnarik perhatian dan mendorong para peneliti untuk memahami bagaimana
makna atau pesan teks dibangun oleh seorang pembaca selama proses membaca. Dalam

kaitannya dengan hal tersebut, pada bagian ini diuraikan beberapa model proses membaca
sebagaimana dipaparkan oleh Cox (1999).
A. Model Linier
Model membaca linier juga disebut model bottom-up (bawah-atas). Model ini melihat
membaca sebagai proses yang dimulai dari bagian-bagian ke keseluruhan. Pertama, pembaca
belajar untuk mengenal huruf, diikuti oleh kata, dan kemudian kata dalam konteks, sampai
akhirnya mulai memahami apa yang dibaca. Proses membaca dipilah menjadi serangkaian
keterampilan yang lebih sederhana untuk sub keterampilan yang lebih luas. Dengan demikian,
tugas pembaca adalah untuk mengetahui makna dari teks seperti yang dimaksudkan oleh penulis
melalui pemahaman unsur-unsur linguistik dari unsur terkecil.
Urutan keterampilan dari yang kecil atau sederhana kepada subketerampilan yang lebih
luas dalam proses membaca membawa konsekuensi pada praktik pembelajaran membaca.
Membaca perlu diajarkan dengan struktur tertentu yang meliputi kesiapan, pengenalan kata,
makna kata, dan pemahaman. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa sebelum memulai
membaca, perlu diyakini bahwa siswa telah memiliki kesiapan membaca seperti motivasi ,
kesiapan fisik, serta kesiapan yang berupa pengetahuan awal kebahasaan dan pengetahuan
umum. Langkah selanjutnya, dikenalkan kata-kata yang tentunya dibarengi dengan pengenalan
huruf, baru siswa dibimbing untuk memahami makna kata-kata tersebut.
Model proses membaca linier ini lebih lebih banyak berkaitkan dengan pembaca dasar
(pemula). Pembaca pemula menghadapi satu set buku yang di dalamnya terdapat tujuan dan
aktivitas yang tersusun secara hirakkhis. Semua siswa membaca buku yang sama, dalam urutan
yang sama, sementara guru melakukan langkah-langkah pembelajaran sesuai dengan urutan
materi dan keterampilan dengan bantuan sebuah buku panduan. Buku-buku yang disajikan
memuat berbagai cerita terpilih yang menjadi materi pokok pembelajaran. Guru mengikuti
petunjuk dalam panduan guru untuk mengajarkan sub keterampilan terpisah yang dinilai perlu
dalam belajar membaca. Siswa melengkapi buku kerja dan lembar kerja untuk melatih
keterampilan yang diajarkan sebagaimana direncanakan dalam panduan guru.
B. Model Psikolinguistik
Model psikolinguistik disebut juga dengan model top-down. Model ini memandang
kegiatan membaca sebagai bagian dari perkembangan bahasa dan proses pengujian hipotesis.
Dalam hal ini pekerjaan pembaca adalah membuat prediksi tentang makna apa yang sedang
dibaca. Goodman (dalam Cox, 1999) menggunakan istilah "psycholinguistc guessing game
untuk menggambarkan pembaca ketika mengolah informasi saat membaca. Ketika menciptakan
makna, secara bersamaan seorang pembaca menguji dan menerima atau menolak hipotesis.
Model psikolinguistik sejalan dengan pandangan pendekatan Whole Language dalam
pembelajaran bahasa. Pandangan Whole Language yang relevan dengan membaca dikemukakan
Goodman sebagai berikut.
(1) Kemampuan keaksaraan berkembang dari keseluruhan kepada bagian-bagian
sepanjang penggunaan bahasa yang fungsional, bermakna, dan relevan.
(2) Pembaca membangun makna selagi membaca, menggunakan pengalaman
sebelumnya

(3) Pembaca memprdiksi, menyeleksi, mengkonfirmasi, dan mengoreksi apa yang harus
dipahami dari teks.
(4) Dalam bahasa tulis terdapat tiga sistem bahasa yang saling berhubungan yakni
grapoponik (pola bunyi dan huruf), sintaksis, dan semantik yang dalam proses
pembelajaran tidak dapat dipisahkan.
(5) Pemahaman makna selalu menjadi tujuan seorang pembaca.
C. Model Transaksional
Model yang dikembangkan Louise Rosenbalt ini menggambarkan membaca sebagai
sebuah transaksi antara seorang pembaca dengan sebuah teks yang terjadi pada waktu dan
konteks tertentu. Dalam hal ini makna tidak semata-mata datang dari teks atau pembaca saja,
melainkan diperoleh selama terjadinya interaksi antara keduanya. Pembaca bersifat aktif,
sementara teks hanya terdiri atas tanda-tanda sampai pembaca melakukan transaksi dengan teks
tersebut. Metode dan materi pembelajaran membaca yang merefleksikan pandangan model ini
adalah pendekatan pengalaman berbahasa (Language Experience Approach) dan metode
metode berbasis sastra seperti reading aloud dan sustained silent reading.
D. Model Interaktif
Model interaktif memandang membaca sebagai sebuah interaksi antara pembaca dengan
teks. Model ini dilandasi oleh teori skema yang menjelaskan bagaimana pembelajar memperoleh,
menyimpan, dan menggunakan pengetahuan dalam bentuk skema. Tugas pembaca adalah
membuat hubungan yang bermakna antara informasi baru dengan pengetahuan awal (skemata)
dan untuk menggunakan strategi membacanya sendiri selama mengkonstruksi makna dati teks.
Dalam teori skema seorang pembaca manangkap sebuah makna jika ia dapat membawa ke dalam
pikiran skema yang terkait dengan objek dan peristiwa yang dideskripsikan di dalam pesan.
Model yang dilandasi teori skema ini berlangsung dalam kedua proses, yakni bottom-up
dan top-down yang tercermin dalam pendekatan yang menekankan pengajaran membaca
langsung dari keterampilan mengidentifikasi kata, kemampuan kosakata, serta pemahaman
makna kata. Strategi-strategi tersebut mencakup pengaktifan pengetahuan awal, dan
pengembangan konsep, strategi bertanya guru dan strategi bertanya sendiri dari pembaca,
meringkas, ide-ide representasi grafikal untuk mengajarkan struktur cerita, dan menggunakan
buku-buku pedoman. Model interaktif ini dapat mendorong pembelajar untuk menjadi pembaca
independen yang dapat memonitor pikiran sendiri selama membaca dan menghubungkan
pengetahuan awal dengan teks yang dibaca.
3. Membaca dalam Perspektif Whole Language
Whole Language dinyatakan sebagai perangkat wawasan yang mengarahkan kerangka
pikir praktisi dalam menentukan bahasa sebagai meteri pelajaran, isi pembelajaran, dan proses
pembelajaran dengan melihat bahasa sebagai sesuatu yang utuh dan terpadu (Puspita, 2007).
Menurut Goodman (2005:10) orang dapat saja berpikir bahwa bahasa merupakan komposisi
bunyi, huruf, kata, dan kalimat. Akan tetapi, bahasa tidak dapat digunakan untuk berkomunikasi
tanpa sistem yang menyeluruh dalam konteks penggunaannya. Jadi, bahasa harus memiliki
simbol, sistem, dan konteks penggunaan. Selanjutnya, dikemukakan oleh Goodman bahwa pada
dasarnya bahasa dipelajari dari satu kesatuan ke bagian-bagian. Pertama-tama orang
menggunakan tuturan utuh, kemudian melihat dan mengembangkan bagian-bagian, lalu mulai
meneliti dan melihat hubungan di antaranya dan menangkap makna utuhnya. Bagian-bagian

dapat dipelajari di dalam kesatuan tuturan (wacana) dalam konteks komunikasi nyata.
Pengembangan wawasan Whole Language diilhami konsep konstrutivisme, Language
Experience Approach (LEA), dan progresivisme dalam pendidikan.yang melihat bahwa siswa
membentuk sendiri pengetahuannya melalui peran aktifnya dalam belajar secara utuh dan
terpadu (Roberts, 1996). Sementara itu, penentuan materi dan isi pembelajarannya dilandasi oleh
fungsionalisme dan semiotika.
Filosofi Whole Language bersifat kompleks. Filosofi tersebut diambil dari pendidikan,
linguistik, psikologi, sosiologi, dan antropologi. Whole Language adalah sebuah pendekatan
konstruktivistik dalam pendidikan. Guru-guru yang mengakomodasi pendekatan ini menekankan
bahwa siswa membentuk sendiri pengetahuannya. Para tokoh dan guru yang menganut
pendekatan ini tidak percaya bahwa murid belajar secara efektif dengan menganalisis bagian
kecil dari sistem, seperti belajar tentang huruf-huruf pada alfabet.
Pembelajaran konstruktivistik melihat peristiwa belajar sebagai pengalaman kognitif
yang unik atas perspektif pembelajar sendiri dan pengetahuan awal yang berbentuk kerangka
untuk pengetahuan baru.Menurut pendekatan ini pengajaran membaca berfokus pada usaha
membantu anak dalam membuat makna dari apa yang mereka baca serta dalam mengekspresikan
makna ke dalam tulisan. Beberapa aspek penting dari filosofi whole language mencakup
penekanan pada karya sastra yang berkualitas, berfokus pada keragaman budaya, dan perpaduan
pengajaran keaksaraan dengan wilayah isi. Pada kesempatan lain Richard & Rodgers (2001)
memaparkan hasil lacakan Bergeron terhadap sejumlah artikel tentang pendekatan Whole
Language. Dari upaya pelacakan tersebut dapat dikemukakan ciri-ciri pendekatan tersebut, yakni
penggunaan karya sastra, penekanan pada proses menulis, mendorong kerjasama antarsiswa, dan
perhatian pada sikap siswa. Karya sastra banyak digunakan sebagai materi pembelajaran.
Melalui karya sastra siswa dapat berlatih menggunakan bahasa, sekaligus memahami aspekaspek kebahasaan. Pengajaran membaca Whole Language memberikan banyak kesempatan
kepada anak untuk membaca baik secara mandiri, dengan teman sebaya dalam kelompok kecil,
maupun dibacakan oleh guru. Kesempatan seperti ini memang diperlukan oleh anak mengingat
membaca melibatkan keterampilan yang sangat kompleks yang mencakup (1) keterampilan
mekanis: keterampilan huruf, unsur-unsur linguistik, hubungan pola ejaan, dan bunyi; (2)
keterampilan pemahaman meliputi makna leksikal, gramatikal, dan retorika; (3) pemahaman
maksud dan tujuan penulis; dan (4) evaluasi bentuk dan isi (Broughton, 2004).
Pembel
ajaran membaca dalam pendekatan whole language dilaksanakan melalui
penyajian topik atau tema (Goodman, 2005:32). Tema-tema tersebut dapat meliputi tema sain,
sosial, sastra atau integrasi di antara ketiganya. Sebuah tema memfasilitasi penemuan dan
penggunaan bahasa, serta pengembangan kognitif. Siswa dilibatkan dalam perencanaan dan
diberikan pilihan aktivitas-aktivitas yang otentik dan relevan dalam pembelajaran yang
produktif.
Para guru yang menggunakan pendekatan Whole Language melihat bahwa anak-anak
belajar membaca melalui menulis atau sebaliknya.Siswa didorong untuk membaca dan menulis

untuk tujuan yang nyata dengan teks nonfiksi. Pendekatan Whole Language untuk pembelajaran
membaca juga menekankan kecintaan terhadap karya sastra dan penggunaan teks-teks terpilih
untuk membantu siswa menumbuhkembangkan kecintaan tersebut. Pembelajaran membaca tidak
terlalu menekankan ejaan dan gramatika terhadap anak-anak pada kelas atau level awal. Filosofi
Whole Language menekankan upaya siswa untuk membuat dan melacak makna dalam bahasa.
Oleh karena itu, guru-guru tidak berfokus pada koreksi terhadap kesalahan teknis yang dibuat
oleh siswa. Para guru lebih cenderung mendengarkan dan melihat kesalahan-kesalahan siswa,
menggunakan informasi yang diperoleh tersebut untuk penilaian formatif, kemudian merancang
tindakan yang dapat membantu anak untuk memperoleh bentuk dan struktur yang tepat.
. Puspita (2007) mengemukakan bahwa Whole Language adalah cara untuk menyatukan
pandangan tentang bahasa, tentang pembelajaran, dan tentang pihak-pihak yang terlibat dalam
pembelajaran. Dalam hal ini pihak-pihak yang dimaksud adalah siswa dan guru.
Isi pembelajaran bahasa meliputi keterampilan (1) membaca, (2) menulis, (3) menyimak,
dan (4) wicara dengan berfokus pada kemampuan membaca dan menulis. Whole Language
dimulai dengan menumbuhkan lingkungan belajar yang kondusif dan di dalamnya keterampilan
bahasa diajarkan secara terpadu. Routman dan Froese (dalam Suratinah dan Prakoso, 2003)
mengemukakan delapan komponen Whole Language, 5 di antaranya berfokus pada membaca,
yaitu reading aloud, sustained silent reading, shared reading, guided reading, dan independent
reading. Sementara 3 lainnya berfokus pada menulis, yaitu journal writing, guided writing, dan
independent writing. Reading aloud adalah kegiatan membaca keras dengan intonasi yang benar
yang dilakukan guru. Kegiatan membaca ini penting untuk kelas rendah. Siswa dapat menyimak
contoh bacaan yang baik. Sustained silent reading adalah membaca dalam hati dengan materi
bacaan yang dipilih sendiri oleh siswa. Shared reading adalah kegiatan membaca bersama antara
guru dengan siswa dengan materi bacaan yang sama. Guided reading adalah membaca bersama
oleh siswa dengan bimbingan guru dalam menjawab pertanyaan dan berdiskusi seputar isi
bacaan. Independent reading adalah kegiatan membaca yang memberikan kesempatan kepada
siswa untuk memilih sendiri materi yang akan dibacanya. Siswa bertanggung jawab terhadap
bacaan yang dipilihnya.
Kelima prosedur pembelajaran membaca dalam komponen whole language tersebut
dalam praktiknya menunjukkan keterpaduan berbagai aspek kebahasaan dan keterampilan
berbahasa. Richards dan Rodgers (2007:111) mendeskripsikan aktivitas yang sering ditemui
dalam kelas whole language, yaitu membaca dan menulis secara individual maupun kelompok,
menulis jurnal, konferensi menulis , buku tulisan siswa, dan menulis cerita. Keempat aktivitas ini
sejalan dengan komponen Whole Language yang dikemukakan sebelumnya. Aktivitas membaca
individual dan kelompok mengarah pada 5 jenis membaca, sementara menulis jurnal, konferensi
menulis, buku tulisan siswa, dan menulis cerita sejajar dengan 3 komponen menulis.
4. Prosedur Pembelajaran Membaca di Tingkat Awal dengan Pendekatan Whole
Language
Prosedur yang dipaparkan pada bagian ini tidak hanya dimaksudkan untuk menjadi
alternatif pilihan kegiatan membaca di sekolah, melainkan juga dapat diaplikasikan atau
diadaptasi untuk kepentingan membaca pada lembanga nonformal, termasuk di dalamnya PAUD
dan keluarga. Paparan yang disajikan sebatas contoh implementasi dari sebagian komponen

Whole Language, yakni membaca bersama (shared reading) dan membaca terbimbing (guided
reading).
Membaca bersama merupakan tonggak program keaksaraan yang seimbang
(http://www.k12reader.com/). Melalui kegiatan membaca bersama, anak-anak mendapatkan
kesempatan berkembang dalam berbagai aspek, baik aspek kognitif, sosial-emosional, dan dalam
pemerolehan bahasa. Kegiatan membaca ini juga memberikan peluang bagi anak untuk
mendapatkan pengalaman membaca yang menyenangkan. Anak-anak berkumpul mengelilingi
guru, tumbuh rasa kebersamaan, dan mereka merasa termotivasi serta percaya diri dalam
melakukan kegiatan membaca dalam lingkungan yang penuh antusiasme. Beragam strategi
ditawarkan dalam membaca bersama. Hal tersebut bergantung pada kebutuhan konteks cerita dan
jenis genre dari teks yang disajikan.
Holdway (dalam Cox 1999:279) mengemukakan langkah-langkah membaca bersama.
Langkah-langkah tersebut meliputi latihan pembuka (opening warm-up), kesukaan lama (old
favorite), permainan bahasa (language game), cerita baru (new story), dan pilihan respon
(response options).
Berikut deskripsi langkah-langkah membaca bersama dan membaca terbimbing yang
diadaptasi dari Cox (1999).

A. Membaca bersama (Shared Reading): Cerita tentang Kera dan Kura-kura

(1) Latihan pembuka


(a) Membaca sajak terkenal
(b) Membaca puisi baru
(2) Kesukaan lama
(a) Membaca cerita Kancil dan Kera serta menanyakan ke anak-anak apa yang mereka
pikirkan dari ceritatersebut.
(b) Mengajar keterampilan dalam konteks: misalnya, kata yang dimulai dengan huruf k dan
kata dengan rima ra.
(c) Mengajak siswa memahami struktur cerita. Mengidentifikasi bagian cerita, seperti
masalah pembukaan, isi, dan bagian akhir cerita.
(d) Meminta siswa untuk mengungkapkan kembali cerita-cerita lain dengan mengikuti pola
yang sama.
(e) Bermain peran dan dramatisasi cerita, memilih siswa untuk memainkan beberapa peran,
seperti kancil, petani, orang-orangan.

(f) Mendorong partisipasi serempak, sebagian siswa bernyanyi lagu Kancil, sebagian
bertepuk tangan, sebagian menari, atau secara bersamaan bernyanyi sambil bertepuk
tangan dan menari.
(3) Permainan Bahasa
(a) Menggunakan kata dengan huruf awal k, membuat pola piramida abjad:
kata benda
kata benda kata sifat
kata benda kata sifat kata kerja
kata benda kata sifat kata kerja keterngan

kera
kera putih
kera putih berlari
kera putih berlari kencang

(b) Membuat sajak alfabet, menggunakan kata-kata yang memiliki rima ra


Sajak abjad
Ini kera
Ini kura-kura
Kera bertemu kura-kura
(4) Cerita baru
(a) Memperkenalkan cerita baru: Kera dan Kura-kura
(b) Melihat kata-kata baru dalam konteks.
(5) Pilihan Respon
(a) Memilih siswa untuk memilih sendiri bacaan yang memuat cerita hewan.
(b) Membuat karya seni: meminta siswa membuat berbagai bentuk gambar yang terkait
dengan cerita dengan teknik cap jempol atau dengan menggunakan lukisan jari-jari.
(c) Menulis: siswa dapat menulis apa pun yang mereka inginkan, misalnya menulis ulang
bagian-bagian cerita atau menulis huruf-huruf tertentu.
(d) Bermain "guru": hal ini dapat berupa kegiatan membaca bersama dalam suatu kelompok
atau membaca secara bergiliran dialog dalam cerita yang dipelajari.
B. Membaca Terbimbing (Guided Reading)
Langkah-langkah membaca terbimbing dapat dipilah ke dalam tiga tahap, yakni
sebelum, selama, dan sesudah membaca.
Sebelum Membaca
(1) Memilih buku. Pemilihan buku ini bertujuan untuk mendapatkan cerita yang sesuai
dengan kebutuhan dan karakteristik siswa.
(2) Memperkenalkan buku. Kepada siswa ditunjukkan sampul, dibacakan judul dan
pengarangnya.

(3) Membuat prediksi. Siswa diberi pertanyaan seperti Menurut kalian bercerita tentang
apa buku ini? Mengapa kalian berpikir demikian?
(4) Mengaktifkan pengetahuan awal: Siswa ditanya apa yang dia ketahui tentang sesuatu
yang ada pada judul cerita, apa yang diketahui siswa tentang penulis cerita, dan
tentang apa saja yang mereka ketahui terkait dengan cerita yang akan dibaca.
(5) Papan kata: tulislah prediksi, pengetahuan awal, dan ide-ide siswa di papan tulis dan
bubuhkan nama di belakang komentar mereka.
Selama Membaca
(6) Mengamati membaca: arahkan siswa untuk membaca dalam hati dua halaman
pertama dari buku cerita terpilih dan guru mengamati mereka serta memberikan
jawaban atas pertanyaan siswa tentang cerita dan kata-kata di dalamnya.
(7) Memferifikasi prediksi dan membuat prediksi baru. Siswa diminta untuk
memferifikasi prediksi yang telah dibuat, lalu membuat prediksi baru apa yang akan
terjadi dalam cerita selanjutnya. Prediksi baru ini dituangkan di papan tulis.
(8) Melanjutkan membaca dan memprediksi: Pada tahap ini secara berulang dilakukan
kegiatan membaca, memverifikasi, dan memprediksi sesuai dengan tahapan dalam
cerita yang dibaca, sampai siswa selesai membaca seluruh bagian cerita.

Sesudah Membaca
(9) Mendiskusikan cerita: Siswa diminta untuk menjelaskan tentang prediksi, verifikasi,
ide, pertanyaan, tanggapan pribadi, atau hubungan isi cerita dengan kehidupan
mereka.
(10) Membaca ulang: Siswa didorong untuk membacakan bagian-bagian yang menarik
perhatiannya, seperti bagian yang sesuai atau tidak sesuai dengan prediksinya. Pada
tahap ini juga dapat didiskusikan perbedaan ide di antara siswa.
(11) Mengajar pelajaran mini: Pada tahap ini siswa diajak untuk mengidentifikasi dan
belajar tentang aspek-aspek linguistik dari teks cerita yang telah dibaca.
(12) Memperluas pelajaran melalui menulis: Guru dapat membuat kerangka tulisan
yang diisi oleh siswa terkait dengan cerita dan pengalamannya. Tulisan mereka juga

dapat dilengkapi dengan gambar. Selanjutnya, hasil kerja siswa disatukan menjadi
buku dan dibaca pada pertemuan berikutnya.
Kedua contoh prosedur pembelajaran membaca yang dipaparkan sejalan dengan
pandangan konstruktivistik. Menurut teori ini proses belajar harus menekankan
keterlibatan anak, menyenangkan, dan memungkinkan mereka berinteraksi dengan
lingkungannya. Dengan kondisi seperti ini dimungkinkan kegiatan membaca di sekolah
dapat menarik perhatian anak, memotivasi mereka untuk terlibat, berpartisipasi secara
total dalam kegiatan, dan pada gilirannya kegiatan membaca akan mereka rasakan
sebagai suatu kebutuhan. Prosedur pembelajaran membaca tersebut juga sejalan dengan
paradigma pembelajaran tematik yang mengemas pelajaran secara terintegrasi dengan
tema tertentu sebagai pengikatnya. Dengan struktur dan isi pembelajaran sebagaimana
digambarkan, terbuka lebar peluang bagi guru untuk merancang pembelajaran tematik
melalui pemberdayaan teks dan kegiatan membaca.
5. Simpulan dan Saran
Minat dan kemampuan membaca perlu dikembangkan sejak dini. Anak-anak yang berada
di tingkat awal sekolah perlu mendapatkan perhatian sekaligus layanan maksimal dalam kegiatan
membaca agar pada saatnya nanti mereka tumbuh menjadi generasi pembaca yang dapat berbuat
banyak untuk kepentingan bangsa dan negara tercinta. Penyajian pelajaran membaca melalui
pendekatan Whole Language, melalui komponen-komponennya, menawarkan prosedur kegiatan
membaca yang sesuai untuk anak-anak. Prosedur yang ditawarkan didasarkan pada paradigma
konstruktivistik dengan menyajikan kegiatan membaca integratif yang mencakup aspek sistem,
simbol, dan konteks.
Para pelaku dan pemerhati pendidikan perlu melakukan refleksi terhadap pembelajaran
membaca yang dilangsungkan selama ini. Apakah penyajian kegiatan membaca sudah memenuhi
kebutuhan anak-anak dan apakah sudah membawa anak-anak pada perkembangan kompetensi
membaca yang bermakna? Hasil refleksi tersebut mungkin menghendaki dilakukannya upaya
pembenahan. Contoh penyajian pelajaran membaca yang dipaparkan dapat diadaptasi atau paling
tidak digunakan sebagai sumber inspirasi bagi pengembangan strategi pembelajaran membaca di
kelas.

Daftar Pustaka

Bomengen, Monica. 2010. Understanding The Whole Language Approach to Teaching Reading.
http://www.readinghorizons.com/blog/post/2010/09/23/What-is-the-Whole-LanguageeApproach-to- Teaching-Reading.aspx (2 Januari 2014).
Broughton, Donn. Reading In The Content Area. Dalam J. Estill, Alexander (ed)
Teaching Reading. Boston:Scott, Foresmen and Company.Fowler, Alastair. 2006. How to
Write. Oxford: Oxford University Press.
Burn, Paul C., Betty D Rue, & Elinor P Roos. 1999. Teaching Reading in Todays
Elementary Schools. Boston: Houghton Miflin Company.
Cox, Carole. 1999. Teaching Language Arts. A Student-and Response-Centered Classroom.
Dworetzky, J.P. 1990. Introduction to Psychology Development. St. Paul: West Publishing
Company.
Goleman, D. 1995. Emotional Intelegence Why it Can Matter More Than IQ. New York: Bantam
Books.
Goodman, Ken. 2005. What Whole in Whole Language, 20Th Anniversary Edition. Barkley: RDR
Books.
Hoffman, M.L. 1979. Development of Moral Thought, Feeling, and Behavior. American
Psychologist. No. 34: Hal. 958-966.
Iriyanto, H.D. 2012. Learning Metamorphoses Hebat Gurunya Dahsyat Muridnya. Penerbit
Erlangga.
Martutik, A. 2009. Mendirikan dan Mengelola PAUD. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P. & Haditono. 1998. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam
Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Piaget, J. 1951. The Psychology of Intelligence. Diterjemahkan oleh Piercy, Malcolm dan
Berlyne, D.E. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
Pulasky, Mary Ann Spencer. 1980. Understanding Piaget. New York: Harper & Row Publisher.
Puspita, Linda. 2007. Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas
Richard, Jack C.& Rodgers, Theodore S. 2001. Approaches and Method in Language Teaching.
Cambridge: Cambridge University Press.
Suratinah dan Prakoso, Teguh. 2003. Pendekatan Pembelakajran Bahasa dan Sastra
Indonesia SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

(http://www.lifehack.org)/articles/lifestyle/10-benefits-reading-why-you-should-readeveryday.html May 21 by Lana Winter-Hbert in Leisure, Lifestyle | 9K Shares) (2 Januari 2014)


(http://www.k12reader.com/)shared-reading-%E2%80%93-a-critical-component-of-balancedliteracy-instruction/).

Anda mungkin juga menyukai