Anda di halaman 1dari 14

METODE HERMENEUTIKA SOEKARNO

(SEBUAH USAHA PERUMUSAN AWAL)

A. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Tulisan ini berangkat dari sebuah kegelisahan. Kegelisahan atas dominasi pemikiran
Barat di Indonesia. Kegelisahan atas kebanggaan menggunakan pisau hermenutika Barat
untuk melihat segala sesuatu. Memang dalam beberapa hal tidak dapat dipungkiri bahwa
pemikir-pemikir barat mempunyai kemampuan analisa, refleksi, dan sistematisasi yang tinggi
dalam hal membangun hermeneutikanya. Namun di sisi lain, hal itu membuat apa yang
dimilki Indonesia hanya berperan sebagai objek tafsir. Padahal jika mengikuti apa yang
dikatakan Heidegger bahwa Filsafat itu sendiri bersifat (harus bersifat) hermeneutis 1, maka
sekaya filsafat nusantara, tentunya akan banyak ditemukan berbagai pandangan filsafat
nusantara dalam ber-hermeneutika. Dari persoalan itulah spirit tulisan ini mucul. Ingin
merumuskan metode hermeneutika yang khas Indonesia sehingga dapat menjadi subjek
dalam keilmuan.
Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan spirit tersebut, penulis memilih
Soekarno, Presiden RI pertama, sebagai model untuk dirumuskan hermeneutikanya.
Pemilihan ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari peran Sokarno sebagai penggali konsep
Pancasila, Presiden yang mempunyai pandangan ideologi tersendiri (Marhaenisme), dan
sebagai sosok yang cukup berpengaruh dalam sejarah umat manusia pada zamannya. Jika
Hermeneutika dapat dipahami secara longgar sebagai teori atau filsafat interpretasi makna,2
maka dengan tiga peran Soekarno tersebut, dalam pandangan penulis, dia mempunyai
kemampuan hermeneutik yang cukup matang dan dimungkinkan digali metodenya karena
pandangannya yang konsisten, jelas, dan cukup terpilah-pilah.
Saat interpretasi makna dipahami sebagai sebuah interpretasi terhadap teks, maka
tidak jarang Soekarno melakukan interpretasi-interpretasi terhadap teks-teks fiosofis maupun
kitab suci. Saat interpretasi dalam teks dianggap sebagai tekstur yang merajut realitas, maka

1 Lih. R.E. Palmer, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2005), 3.
2 Lih. J. Bleitcher, Hermeneutika Kontemporer (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2013)
vii.

Soekarno dengan lihai juga melakukan berbagai interpretasi.3 Bahkan dalam beberapa
kesempatan, Soekarno sendiri mengatakan bahwa marhaenisme (sebagai ideologi yang
dipegangnya) lebih merupakan suatu metode berpikir (dank methode).4 Sehingga
dimungkinkan untuk dilakukan, dikaji, dan dikritisi.
Alasan lain menjadikan Soekarno sebagai model adalah kebutuhan untuk kembali
melihat semangat para pemimpin negara sebagai usaha untuk mencari jati diri kebangsaan.
Dalam pengantar buku Dialog dengan Sejarah (2006) St. Sularto mengungkapkan betapa
urgennya kembali melihat hal itu:
Dalam keadaan demikian (krisis multidimensional yang seakan tanpa jalan keluar pen)
ajakan untuk berkaca pada teladan yang diberikan para bapak bangsa (founding fathers)
adalah upaya memperoleh kembali roh yang mereka tinggalkan untuk kita... Mengambil yang
baik adalah sebuah kebijaksanaan luhur, khususnya di tengah kebingungan kita mencari bahan
rujukan untuk suasana gonjang-ganjing sekarang.5

Sekarang yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara merumuskan hermenenutika


Soekarno? Perumusan ini tentunya bukanlah penelitian hermeneutika yang berusaha mencari
makna dalam teks-teks Soekarno dengan sudut pandang tertentu (misalnya menggunakan
hermeneutika historik Dilthey, atau fenomenologi Ricoeur) namun menemukan bagaimana
Soekarno menginterpretasi teks (dalam artian luas maupun sempit). Karena itu dalam hal ini
penulis lebih memperhatikan bagaimana alur berpikir Soekarno dalam menafsirkan sesuatu
(lebih lengkap akan dibahas dalam metode perumusan).
Untuk mempermudah cara kerja ini, penulis memilih teks Soekarno dalam buku
Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno (2006) yang berisi kumpulan pidato bung Karno
sekitar tahun 60an. Dari buku itu penulis akan berfokus pada lima pidato Bung Karno yang
dilontarkan dalam kursus Pancasila. Hal ini menjadi pilihan karena dalam pidato-pidato
tersebut Soekarno bukan berbicara pada khalayak umum melainkan dengan kader-kader
Pancasila yang sudah terdidik. Dengan posisi tersebut dia dengan mudah dapat berbicara
tentang teks-teks filsafati sebelumnya (melakukan interpretasi dengan lebih leluasa) sebagai
3 Fuad Hasan cukup menguraikan hal ini Lih. F. Hassan, Bung Karno Putra Fajar
Berlambang Gemini dalam Iman T.K. Rahadjo dan Herdianto WK (Eds) Bung
Karno Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku (Jakarta: Grasindo, 2001), 243253.
4 Lih. G.J. Aditjondro, Marhaenisme: Marxisme yang diterapkan di Indonesia,
atau Sinkretisme Ala Soekarno?Dalam pengantar Ign. G. Saksono, Marhaenisme
Bung Karno (Yogyakarta: Rumah Belajar Yabinkas, 2008), 11.
5 Lih. St. Sularto (Ed), Dialog dengan Sejarah; Soekarno Seratus Tahun (Jakarta:
Kompas, 2001), xvii.

usaha membandingkan berbagai ideologi dengan Pancasila. Selain itu, dalam kondisi pidato
tersebut Soekarno berusaha menafsirkan satu tema yaitu Pancasila, sehingga mengikuti alur
berpikir Soekarno dapat menjadi lebih mudah dan terarah.
b. Rumusan Masalah dan Tujuan
Rumusan masalah yang dapat ditarik dari latar berlakang tersebut adalah; bagaiamana
metode Soekarno dalam ber-hemeneutika? Sehingga tujuan dari tulisan ini adalah; untuk
menemukan metode Soekarno dalam ber-hermeneutika.
c. Metode Perumusan
Cukup sulit untuk menentukan model perumusan dalam topik ini. Sebagai usaha awal,
penelitian ini dapat dimasukkan sebagai model penelitian historis faktual mengenai teks
naskah.6 Bakker dan Zubair menjelaskan meodel penelitian ini sebagai berikut:
Objek penelitian ialah salah satu naskah atau buku filosofis yang klasik, dipandang menurut
teks yang harafiah. Buku itu diselidiki sebagai teks filosofis. Jadi tidak dipandang menurut
nilai sastra, atau menurut arti politis atau budaya, tetapi melulu sejauh membahasakan suatu
visi mengenai hakikat manusia dunia, tuhan, atau semuanya sekaligus.

Dengan melihat uraian itu maka yang dijadikan sebagai naskah klasik (objek material)
adalah lima pidato tentang Pancasila yang berada di buku Filsafat Pancasila menurut
Soekarno (2006). Sedangkan objek formal dalam penelitian ini adalah filsafat. Dengan
melihat hal itu maka langkah metodis yang digunakan peneliti tidak berbeda dengan penelitan
filosofis pada umumnya: 1) mengumpulkan kepustakaan, 2) membaca teks yang sudah
ditentukan, 3) menemukan pola-pola yang sama dalam alur berpikir Soekarno dalam
mencapai kesimpulan-kesimpulan interpretasinya, dan terakhir 4) merumuskan langkah
hermeneutis Soekarno.7
Untuk menemukan pola-pola dan merumuskan langkah hermeneutis Soekarno,
penulis menggunakan beberapa unsur metodis yang umum dalam penelitian filsafat. Unsur
itu antara lain:
a) Interpretasi: untuk merekonstruksi naskah dan menangkap arti dan nuansa yang
dimaksudkan secara khas. Dalam penelitian ini interpretasi dilakukan hanya sebatas untuk

6 Lih. A. Bakker dan A.C. Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:


Kanisius, 2013), 72-76.
7 Karena Filsafat harus bersifat hermenutis (Catatan no.1), hasil yang akan
dicapai oleh tulisan ini tidak akan jauh berbeda dengan metode berfilsafat
Soekarno secara umum. Akan dicari metode dalam artian luas sebagai cara
bertindak menurut sistem aturan tertentu dan dalam arti khusus yaitu meliputi
seluruh perjalanan dan perkembangan pengetahuan, seluruh urut-urutan dari
permulaan sampai kesimpulan Lih. A. Bakker, Metode-metode Filsafat (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1986),10.

memahami maksud Soekarno yang berhubungan dengan cara kerjanya mencapai sebuah
kesimpulan.
b) Induksi dan Deduksi: usaha ini adalah untuk memahami teks secara keseluruhan
dan utuh. Peneliti akan mencoba meneliti istilah-istilah dalam teks dan mencari
kesinambungannya, kemudian juga memahami ulang dengan berusaha memahaminya dari
unsur keseluruhan. Identifikasi juga dilakukan walau tidak ketak agat tidak terjebak pada
pemahaman makna dan melupakan perumusan.
c) Koherensi Intern: dengan unsur ini peneliti mencoba mencari keselarasan pola-pola
logis sistematis dari teks yang sudah ditentukan.
d) Holistika: agar tidak kehilangan acuan yang diinginkan oleh penulis (Soekarno)
teks asli, maka teks akan dilihat dalam rangka visi teks secara keseluruahan.
e) Kesinambungan Historis: unsur ini digunakan agar dapat melihat teks secara
historis. Hal ini dilakukan mengingat bahawa interpretasi yang dilakukan Soekarno tidak
pernah melepaskan aspek sosio-politik pada zaman dan daerahnya
f) Deskripsi: unsur metodis ini digunakan untuk memberikan berbagai argumentasi
pada setiap jawaban yang diberikan oleh penulis dalam usaha merumuskan teks tersebut.
Agar tetap pada koridor kerangka teoretis hermeneutika dan untuk mempermudah
perumusan langkah hermeneutis Soekarno secara lebih sistematis, maka di awal penulis akan
mencoba berangkat dan membandingkannya dengan kerangka metode Hermeneutika secara
umum (Bab B sub bab a) yang sudah dikembangkan oleh filsuf-filsuf yang secara eksplisit
mengemukakan teori tentang penafsiran teks.
B. PEMBAHASAN
a. Rumusan Metode tentang kerangka Metode Hermeneutik secara Umum
J. Bleicher membagi hermeneutika atas tiga jenis yaitu. 1) teori hermenutika, 2)
filsafat hermeneutika 3) hermeneutika kritik. Ketiga pembagian tersebut bergerak dalam skala
pembabagan waktu hermenutika modern. Tokoh-tokoh yang bisa kita sebut di dalam
pembabagan tersebut adalah F Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Georg
Gadamer, C.O Appel, Ricoeur, dan Habermas.
Sebagai sebuah teori interpretasi, hermeneutika dalam pekembangannya tidak hanya
fokus pada pembacaan atas teks kitab suci. Akan tetapi berkembanagn sebagai metode
penafsiran teks secara luas, seperti simbol, tanda keagamaan, sastra, seni dan lain-lain.8
Secara umum metode hermeneutika adalah proses yang bersifat triadik. Dalam proses
ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu
sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah
8 Lih. A.Y. Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Postmodernis (Bogor: Akademia,
2004), 104.

teks. Lalu ia harus meresapi isi teks sehingga yang pada mualnya yang lain kini menjadi aku
penafsir sendiri. Oleh karena itulah, dapat difahami bahwa mengerti secara sungguh-sungguh
hanya dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar. Suatu arti tidak akan
dikenal jika tidak direkonstruksi.9
Hermeneutika dibagi dalam subtilitas intelligendi, cara memahami, dan subtilitas
explicandi cara menerangkan. Dalam perkembangan selanjutnya J.J Rambach menambahkan
subtilitas

aplicandi

cara

menerapkan.

Ketiganya

membentuk

semacam lingkaran

pemahaman. Dengan istilah subtilitas berarti menekankan sebuah penghalusan rasa dalam
lingkaran pemahaman.10 Hermenutika barat secara metodologis selalu dirumuskan dalam
bentuk lingkaran pemahaman.
Tidak ada yang menyangkal bahwa istilah lingkaran hermenutik melekat secara erat
dalam pemikiran Schleiermacher. Menurutnya sebuah teks diproduksi denagn memakai kata
atau bahasa yang melukiskan kejadian di suatu waktu. Dengan begitu, sebuah teks tidak bisa
dilepaskan dari lingkaran konteksnya. Ketika sudah diajdikan karya tertulis teks tetap saja
meninggalkan jejak-jejak pemikiran dan perasaan penulisnya. Ada antisipasi pengertian atau
semacam pre-teks di sini. Gagasan yang sama bisa dijumpai pada Heidegger tentang pra
faham atau antisipasi bagi Dasein.11 Dengan cara pandang ini maka lingkaran hermeneutik
selain dipandang sebagai kerangka metode perumusan yang diwariskan dari Schleiermacher,
tetapi juga Heidegger yang kemudian dilanjutkan para pemikir lainya.
Maksud pengunaan struktur lingkaran dalam metode hermeneutika, adalah karena
hermeneutika menggunakan penalaran abduksi. Abduksi adalah metode yang menjelaskan
fakta berdasarkan asumsi-asumsi dan hipotesa mengenai suatu kemungkinan, yang belum
metupakan hukum tertentu. Lingkaran hermenutika menunjukan gerak dinamis, yang saling
memengaruhi antara penafsir dan teks.12
Dalam lingkaran hermeneutika penafsiran dipengaruhi oleh prakonsepsi dan praduga,
serta kecenderuangan penafsir. Pemahaman merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
9 Lih. E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,
1993), 31.
10 Lih. Martino G. Da Silva Gusmao, Hans Georg Gadamer (Yogyakarta: kanisius,
2013), 131.
11 Lih. A. Y. Lubis, Op Cit, 42.
12 Lih. Martino G. Da Silva Gusmao, OP Cit, 131.

sejarah, karena memalalui pemahaman subjek, pengalaman pribadi dan tradisi budaya yang
melingkari si pembuat teks dan si penafsir akan memebentuk praduga dan prakonsepsi
masing-masing.
Perumusan dalam bentuk lingkaran juga menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan
adalah gerak dinamis. Dalam gerak tersebut selalu ada batas cakrawala, yang karena segala
batas cakrawala tersebutlah pemutlakan akan kebenaran pengetahuan sebagai sesuatu yang
final harus dihindari. Segalanya masih bergerak dalam lingkaran, jika kita mencontohkan
model konstruksi pengetahuan seperti lingkaran hermeneutik.
Pengetahuan merupakan cakrawala, yang mau ataupun tidak mau membuat kita
bergerak terus mendekati cakrawala tersebut, itu jika benar rasa keingintahuan telah meresapi
jiwa kita. Begitu juga dengan penafsiran dan pemahaman adalah suatu cakrawala yang
berorientasi ke depan, namun dengan tidak mengabaikan cakrawala yang ada kini dan disini.
Kemudian yang terjadi penafsiran adalah peleburan satu atau lebih cakrawala. Itu semua
hanya, mungkin jika struktur metode hermeneutika menggunakan bentuk lingkaran. Jadi
hermeneutika tidak hanya sebagai upaya reproduksi akan tetapi produksi.
b. Metode Hermeneutika Soekarno
Setelah mencoba mempertimbangkan berbagai aspek yang ada pada teks, penulis
menemukan beberapa hal pokok yang menjadi metode Soekarno dalam berhermeneutika.
Ada sebuah catatan untuk pembaca bahwa metode Soekarno dilakukan dalam kebersamaan,
jadi akan sulit jika melihatnya dari satu sisi yang bertahap dan berurutan. Karena itu sebelum
melihatnya sebagai keseluruhan, penulis akan berusaha menampilkan aspek-aspek khas
tersebut secara terpisah.
Realitas Historis
Soekarno selalu memulai interpretasinya dengan melihat realitas historis terlebih
dahulu. Apakah yang dimaksud dengan realitas historis? Realitas adalah apa pun yang ada 13
dan historis adalah berpikir secara mensejarah. Akhiran s dalam bahasa Indoensia biasa
digunakan untuk mengatakan bahwa subjek melakukan predikat yang ditunjuk. Itulah yang
selalu dilakukan Soekarno saat menginterpretasikan teks. Dia melihat teks selalu dalam
hubungannya dengan jalan teks tersebut hidup mensejarah. Soekarno mencoba menelusuri
kembali perjalanan konsep-konsep yang dibicarakan. Melihat hal ini, sangat terlihat pengaruh
Hegel dan Marx dalam pemikiran Soekarno.

13 Lih. S. Blackburn, Kamus Filsafat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 737

Dalam teks tersebut Sokano menganalisis kapitalisme dengan melihat perkembangan


realitas historisnya:
Saudara-saudara yang mempelajari sejarah daripada revolusi Perancis orang Perancis
sendiri menyebutkan revolusinya itu La grande revolution, revolusi agung, de grote
revolutie akan mengerti bahwa revolusi Perancis ini adalah revolusi penyelenggaraan
daripada parlementaire democratie. Dulu sebelum revolusi itu pecah, alam pikiran manusia
di Perancis sudah puas dengan sistim politik feodal, puas dengan segala kekuasaan
ditentukan oleh sang raja. Tetapi pada suatu ketika dan ambillah perkataan ketikaini
tidak sebagai satu moment satu hari satu detik, tetapi satu ketika sejarah yang memakan
waktu berpuluh-puluh tahun pada satu ketika cara hidup, mencari makan, cara produksi di
Perancis itu berubah. Dan karena perubahan cara hidup dan cara produksi ini, maka rakyat
tidak puas lagi dengan sistem yang tadinya memuaskan hati mereka. Kemudian jadilah
revolusi. Dulu economische huishouding, perumah-tanggaan ekonomi sebelum
pertengahan abad ke-18, adalah satu huishouding yang tertutup, gesloten. Tiap-tiap kota itu
ada kaum tani yang memberi bahan makan kepada kota itu. Di dalam kota itu ada golongan
kecil yang membuat alat-alat, golongan kecil yang memperdagangkan ini dan itu, semuanya
gesloten. Di dalam alam yang demikian itu kekuasaan itu sama sekali di dalam tangan kaum
feodal, dengan dibantu oleh kaum yang di dalam revolusi Perancis dinamakan kelas ke-2;
kaum bangsawan dinamakan kelas ke-1, eerste stand. Kaum gereja bukan agama
organisasi daripada gereja, di masa itu kuat betul. Organisasi daripada gereja itu menjadi
kekuasaan di samping kekuasaan bangsawan, dan mereka ini dinamakan kelas ke-2, tweede
stand. Stand ke-1 dan ke-2 inilah yang memegang tampuk pimpinan pemerintahan. Tetapi
masyarakat yang tadinya tertutup di dalam gesloten huishoudingen makin lama makin
memecah. Geslotenheid-nya itu pecah. Kebutuhan hidup makin lama makin bertambah ...
Gampangnya bicara: apa yang dinamakan kapitalisme ingin tumbuh, ingin mendapatkan
kesempatan untuk berkembang biak ... pokok daripada kapitalisme ialah cara produksi
mempergunakan tenaga buruh, yang buruh ini membuat daripada sesuatu barang lain yang
lebih berharga daripada tadinya ... Meerwarde ini pokok daripada kapitalisme, entahlah
berupa apa (pp.249-251) ... keadaan Perancis pada satu ketika ketika dalam arti historis
periode berubah demikian (p.252) ... Nah, agar supaya productie-wijze yang demikian ini
bisa berjalan dengan selancar-lancarnya, timbullah bewust zijns, kesadaran-kesadaran,
alam-alam pikiran baru. Cara produksi yang berubah membawa perubahan di dalam alam
pikiran (p.253).

Dalam teks tersebut dapat dilihat Soekarno mencoba membawa kembali kata
Kapitalisme sebagai sebuah realitas historis. Kapitalisme lahir dari Feodalisme yang sudah
tidak disukai lagi di eropa. Sebagai sebuah bentuk pemberontakan atas Feodalisme dan bukan
sebagai sebuah sistem ekonomi yang sudah mapan seperti sekarang. Kapitalisme coba
dipahami sebagai ide yang baru lahir dan dipahami dengan kaitannya dengan siapa yang
menciptakan konsep tersebut dan untuk apa. Soekarno juga melihat hal-hal tersebut dari
aspek sosio-politis. Kemensejarahan itu dilihat sebaik mungkin untuk mengetahui sebesar apa
penyimpangan konsep yang terjadi di zaman sekarang.
Perbandingan
Hal yang khas dari Soekarno adalah bahwa saat menginterpretasikan suatu teks untuk
mencapai sebuah makna, Soekarno selalu berusaha membandingkannya dengan ajaran lain
yang mempunyai konsep serupa. Hal yang paling sering dia lakukan adalah melakukan

perbandingan kebudayaan timur dan kebudayaan barat. Dari perbandingan itu Soekarno
berusaha mendapatkan kelemahan dan keunggulan masing-masing konsep sehingga makna
yang diterima dapat menjadi jernih dan dimengerti secara keseluruhan dari realitas yang
mensejarah (berhubungan dengan aspek pertama).
Sebagai contoh dalam teks tersebut, sebelum Soekarno mencoba mencari makna dari
persatuan bahasa, dia melakukan dulu perbandingan berbagai perkembangan persatuan
bahasa di barat maupun di timur.
Di India sulit sekali dalam hal memahami bahasa sampai sekarang ada pertikaian hebat
dikalangan pemimpin-pemimpin India, mengenai apa yang harus dijadikan bahasa satu ini di
India. Shri Jawaharlal Nehru berkata, Marilah kita angkat bahasa Hindustani menjadi
bahasa yang satu itu. Tetapi banyak sekali daerah-daerah yang rakyatnya tidak paham bahasa
Hindustani. Ada lagi golongan lain yang berkata, Marilah kita angkat bahasa Urdu sebagai
bahasa satu daripada Negara india. Tetapi ditentang oleh banyak daerah-daerah yang tidak
paham bahasa Urdu, melainkan bahasa Hindu. Urdu itu adalah satu modifikasi daripada
bahasa Arab. Demikian sulitnya dalam memahami bahsa di India. Seorang pemimpin besar
India, yaitu Raja Gopalachari, yang dahulu tatkala India menjadi dominion, tahun 1947, india,
Benua India pecah menjadi dua yaitu India dan Pakistan. Dua-duanya dikepalai oleh
Gubernur Jendral. Raja Gopalachari berkata, Satu-satunya bahasa yang bisa dipakai sebagai
bahasa yang satu itu ialah bahsa Inggris. Perjuangan ini adalah perjuangan hebat yang mulai
pecah sejak tahun 1956-1957. (154)
Atau ambil Swiss. Swiss adalah satu bangsa yang menggunakan 3-4 bahasa. Ada satu
golongan swiss bicara Perancis, satu golongan lagi bicara Jerman, satu golongan lagi bicara
Italia. (155)

Penjernihan
Hal ini merupakan hal yang menjadi ciri khas dalam metode Soekarno. Soekarno saat
melakukan penglihatan secara realitas historis maupun dengan membandingkan beberapa
konsep yang berbeda, yang diinginkan oleh Soekarno adalah penjernihan konsep. Konsep
yang jernih itu menurut Soekarno dapat menuntun manusia ke arah yang lebih baik. Namun
yang dimaksud di sini lebih kepada sebuah konsep terarah yang benar-benar berusaha
menjernihkan suatu konsep-konsep penting.
Melihat teks tersebut, Soekarno selalu melakukan penjernihan itu dengan dua cara.
Menyusuri asal kata atau pandangan tokoh yang membuat konsep tersebut, atau lewat
perkembangan dalam realitas historisnya. Seperti pada teks ini, Soekarno melakukan
penjernihan terhadap kata Marxisme:
Jangan mengira bahwa marxisme itu harus dus komunisme. Tidak! Jangan mengira bahwa
marxisme itu dus Soska. Tidak! Marxisme itu adalah satu denkmethode, satu cara
pemikiran. Cara pemikiran untuk mengerti perkembangan bagaimana perjuangan harus
dijalankan, agar supaya bisa tercapai masyarakat yang adil. Ada orang yang dengan gampang
berkata: O, marxisme itu adalah materialisme. Marxisme adalah historis materialisme. Selalu
dilupakan perkataan historis. Marxisme adalah dus anti Tuhan. Mana kitab marxisme yang
berkata bahwa marxisme itu anti Tuhan? Marxisme adalah historis materialisme. Materialisme

itu adalah macam-macam, ada yang anti Tuhan, tetapi bukan historis materialisme. Yang anti
Tuhan itu materialisme lain, yaitu misalnya, materialismenya Feuerbach, filosofis
materialisme, wijsgering materialisme. Itu yang mengatakan bahwa segala pikiran, dus juga
alam gaib yang bernama Tuhan itu, bahwa itu adalah increitie, adalah perasaan dari pada
materie. Feuerbach pernah berkata: Tidak ada pikiran kalau tidak ada fosfor. Pikiran itu
adalah hasil daripada otak bekerja. Otak itu terdiri sebagian daripada fosfor; kalau tidak ada
dus fosfor di sini, tidak ada pikiran. Maka Feuerbach berkata: Tidak ada pikiran sonder fosfor.
Maka benar perkataan ini dari sudut filosofi materialisme, wijsgerig materialisme. Tetapi
marxisme bukan wijsgerig materialisme. Nah, historis materialisme itu apa? Itu adalah satu
cara pengertian, bahwa sejarah itu telah membuktikan, bahwa alam-alam pikiran yang
berjalan di dalam masyarakat itu adalah terbawa oleh bentuk daripada economische
verhoudingen, producti-wijze di dalam masyarakat. Itu adalah historis materialisme, jadi
bukan wijsgerig materialisme. Marx pernah berkata, Es ist das bewusztsein des benschen
dasz sein gesellaschaft liebensien, aber sein gesellschaft liebenseien das sein bewusztsein
bestimmt. Bukan brwustzijn, kesadaran manusia, alam pikir manusia itu yang menentukan
corak segala materiil masyarakat itu, cara produksi, cara mencari makan, dan lain-lain. Akan
tetapi sebaliknya cara produksi, cara ekonomi, cara mencari makan, dan lain-lain dari
masyarakat itulah yang menentukan bagaimana corak alam pikiran, kesadaran manusia. Ini
adalah marxisme (p.245-247).

Penjernihan khas Soekarno adalah menyapu bersih semua konsep yang ada di
jalanan. Dapat juga dikatakan penjernihannya adalah sebuah usaha terhadap kritik
pengetahuan common. Pengetahuan yang salah dalam menggeneralisasi. Dapat dilihat dalam
teks tersebut Soekarno membedakan Marxisme dengan Materialisme khas Feurbach yang
tidak historis dan Marxisme yang mengarah pada komunisme. Penjernihan ini lebih berupaya
untuk kembali ke konsep awal dengan menjernihkan konsep-konsep yang tidak asli.
Dialektika
Tiga aspek sebelumnya, yaitu melihat realitas historis, perbandingan, dan penjernihan
adalah upaya Soekarno untuk menafsirkan suatu teks sehingga dapat didialektikakan.
Dialektika yang ditemukan oleh penulis dalam teks tersebut adalah dialektika khas Hegelian
yang direkonstruksi menjadi dialektika Soekarno sendiri. Di beberapa titik juga ada
kemiripan dengan dialektika khas Marxisme namun juga ada perbedaannya.
Persamaan dengan Hegel adalah Soekarno memahami sebuah sejarah sebagai sebuah
aufgehoben. Sebagai sebuah jawaban yang lebih tinggi akibat bentrokan antara tesis dan
antitesis. Namun jawaban Soekarno tidak berakhir pada roh absolut yang menggerakkan
sejarah. Dari sini Soekarno berpisah dari Hegel dan berangkat pada dialektika meterialis yang
dikembangkan Marx, sejarah sebagai perjuangan kelas. Bukan sebagai aufgehoben antara roh
objektif dan roh subjektif sehingga lahir roh absolut mutlak melainkan sebagai kontradiksi
perjuangan kelas yang akhirnya membuat terhapusnya alienasi dan lahir masyarakat tanpa

kelas.14 Namun di saat yang sama dia juga berpisah dari Marx saat dia selalu memahami
sejarah sebagai sebuah proses interpretasi ulang terhadap sejarah. Sejarah selalu diinterpretasi
oleh sejarah. Soekarno tidak mengadopsi secara total konsep-konsep khas Marxian walaupun
dalam beberapa hal terlihat cukup mirip. Terlebih dalam konsepnya tentang perjuangan kaum
Marhaen. Namun kaum Marhen yang dilontarkan oleh Soekarno bukanlah kaum proletar
yang dimaksud oleh Marx.15
Dalam teks tersebut dapat ditemukan juga Soekarno menggunakan dialektika sebagai
sebuah pengejawantahan teori evolusi. Kehidupan yang berjalan secara evolusi berlangsung
dengan dialektika.
Rasa peri kemanusiaan adalah hasil daripada pertumbuhan rohani, hasil dari pada
pertumbuhan kebudayaan, hasil daripada pertumbuhan dari alam tingkat rendah ke taraf yang
lebih tinggi. Peri keemanusiaan adalah hasil daripada evolusi di dalam kalbunya manusia.
Kemanusiaan ada sejak zaman dulu. Zaman dulu sekali peri kemanusiaan belum seperti yang
kita kenal sekarang, bahkan tadi saya berkata : peri kemanusiaan sebagai hasil dari pada
evolusi. Apa yang pada sesuatu saat dikatakan jahat mungkin di lain waktu dikatakan baik
(p 195)

Bersama dengan aspek-aspek sebelumnya Soekarno mengartikan Peri Kemanusiaan


sebagai hasil dialektika. Unsur anti tesis dalam dialektika Soekarno biasanya menggunakan
penyesuaian terhadap kebudayaan khas Indonesia. Jadi semua konsep yang setelah dilihat
sejarahnya, dilakukan perbandingan, dilakukan penjernihan, selalu dilawankan dan
disesuaikan dengan keadaan kebudayaan, sosio dan politis Indonesia itu sendiri. Salah satu
hasil dialektika tersebut adalah Marhaenisme. Dan tentunya hasil dialektika tersebut tidak
mati sampai Soekarno. Soekarno membuka adanya kesempatan interpretasi ulang. Yang itu
hanya bisa terwujud dengan sejarah juga. Karena itulah reinterpretasi lahir dari sejarah, dan
akan terus berlangsung interpretasi terhadap sejarah secara evolusi dan dialektika dengan
sejarah juga. apa yang pada sesuatu saat dikatakan jahat mungkin di lain waktu dikatakan
baik.
14Uraian dialektika Hegel dan Marx penulis mengikuti F.B. Hardiman, Pemikiranpemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Jakarta: Erlangga, 2011), Hegel 157,
Marx 207-208.
15Dalam komentar yang dilontarkan F.Magnis Suseno, ditunjukkan secara lebih
rinci berbagai perbedaaan antara Marxisme, Leninisme, dan Soekarno. Komentar
itu semakin mendukung anggapan penulis bahwa saat perbedaan secara
ontologis terjadi, sangat dimungkinkan adanya perbedaan secara metode
hermeneutika khas Marxian dan Soekarno, Lih. F. M. Suseno, Di Seberang
Jembatan Emas, dalam St. Sularto, Dialog dengan Sejarah (Jakarta: Kompas,
2001), 137-150

Idealisasi
Tahap terakhir dan pamungkas dari metode hermeneutika Soekarno adalah bahwa
setiap teks dan tafsir itu harus dapat dijadikan sebuah sistem yang ideal. Tafsir terhadap
realitas adalah ideologi baru, yang itu harus berlaku dan dapat diterapkan di seluruh dunia,
dengan catatan walaupun dapat dilakukan dan diterapkan di seluruh dunia tapi tafsir tetap
tidak kebal terhadap sejarah, yang artinya juga tafsir harus berlaku umum tapi hanya pada
waktu itu.
Tafsir atas realitas adalah hasil yang sempurna dengan melihat berbagai aspek yang
sudah dibahas. Dalam teks tersebut terlihat bahwa tafsir Soekarno terhadap Pancasila adalah
idealisasi dari metode Hermeneutikanya. Seperti saat Soekarno mengatakan keadilan sosial,
dia melakukan idealisasi keadilan yang bukan lagi khas Marxian atau keadilan yang berakar
dari ke-Indonesiaan, tetapi hasil dari dialektika yang sudah dia idealisasi:
Sudah pernah saya katakan bahwa cita-cita dengan keadilan sosial ialah satu masyarakat
yang adil dan makmur. Saya tekankan adil dan makmur, makmur, dan adil, dengan
mempergunakan alat-alat industri, alat-alat teknologi yang modernKita senang kepada
industrialisme modern, asal tidak dikuasai sistem kapitalisme. Tetapi industrialisme modern
itu, kita pergunakan untuk kepentingan umum. Segala alat-alat modern kita pergunakan untuk
kepentingan umum.(hlm. 295-296)

Begitu juga atas tafsirnya terhadap Pancasila Sila ke Empat. Demokrasi yang
dia tafsirkan adalah demokrasi terpimpin. Akan terlihat bahwa demokrasi yang
dimaksud setelah berangkat dari kenyataan historis, pembandingan, penjernihan dan
dialektika, ada sebuah klaim idealisasi. Jadi walaupun di saat yang sama Soekarno
percaya adanya reinterpretasi, namun tafisr atas teks atau realitas, harus menjadi
sebuah idealisasi ide yang kuat dan berlaku umum.
Nah, dus Saudara-saudara, kita yang melihat segala cacat-cacat daripada productiewijze
daripada kapitalisme, melihat cacat-cacat parlementaire democratie, kitalah yang sebaliknya
sebagai amanat penderitaan daripada bangsa Indonesia; memikul kewajiban untuk
menyelenggarakan satu masyarakat yang bukan masyarakat kapitalisme, tetapi masyarakat
yang adil dan makmur ... Saya mengundang agar supaya meninggalkan alam demokrasi
liberal. Saya mengundang agar supaya meninggalkan cara berpikir ala parlementaire
democratie yang politik demokrasi tok. Saya mengundang agar supaya rakyat Indonesia itu
dalam menyusun ia punya demokrasi menaruhkan segala sesuatu di atas kepribadian bangsa
Indonesia sendiri. Maka oleh karena itu saya berkata: Demokrasi yang harus kita jalankan
adalah demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia sendiri ... Oleh karena itulah, di
waktu yang akhir-akhir ini supaya menganjurkan dijalankannya demokrasi terpimpin. Sekian.
(p.269-271)

Metode Soekarno sebagai Keseluruhan


Hasil penelusuran penulis menemukan bahwa metode Hermeneutika Soekarno tidak
bisa dipahami sebagai sebuah hal yang bertahap. Semuanya berlangsung dalam keseluruhan.

Jadi meskipun dapat dikatakan bertahap, kebertahapan itu harus dipahamai sebagai sebuah
unsur yang tidak terpisah dan harus menyatu dalam keseluruhan semua aspek hermeneutis.
Justru itulah ciri khas Soekarno, saat melakukan penglihatan terhadap realitas sejarah harus
ada pembandingan, harus ada penjernihan, harus ada dialektika. Saat melakukan
perbandingan harus ada penjernihan, harus melihat keadaan historis dan lain-lainnya. Dengan
cara tersebut barulah bisa metode hermeneutika Soekarno dapat dijalankan. Dapat digunakan
sebagai sebuah upaya untuk menafsirkan sebuah teks. Teks dalam artian ketat maupun tidak.
Teks dalam artian teks yang tertulis ataupun teks dalam artian realitas.
Saat melihat Soekarno, tidak boleh dilepaskan juga visi dia dalam menafsirkan
sesuatu. Tafsiran khas Soekarno selalu mengarah pada sebuah misi. Dan itu adalah aspek lain
yang ditemukan oleh peneliti. Bahwa setiap penafsiran harus memiliki sebuah misi. Sebuah
misi kemanusiaan untuk membangun dunia. Jika menggunakan metode khas Soekarno hal ini
tidak boleh dilepas, bahwa Soekarno menganggap hasil tafsirnya atas realitas yang dapat
dikatakan hal itu adalah Pancasila, berusaha dia wujudkan yang akhirnya dia usulkan sebagai
ideologi dunia di Sidang PBB. Bahkan dengan khas idealisasinya juga terlihat saat dia
menyinggung pernyataan Bertrand Russell bahwa selain Liberalisme dan Komunisme tidak
ada ideologi yang lain lagi.
Ahli filsafat Inggris Bertrand Russel pernah berkata bahwa umat manusia sekarang
terbagi dalam dua golongan. Yang satu menganut ajaran Declaration of American
Independence dari Thomas Jefferson. Golongan lainnya menganut ajaran Manifesto
Komunis. Maafkan, Lord Russel, akan tetapi saya kira tuan melupakan sesuatu
Sesuatu itu kami namakan Panca-Sila, ya Pancasila Pancasila mempunyai arti
universal dan dapat digunakan secara internasional16.
C. PENUTUP
Kita sekarang dihadapkan pada tantangan antara terpesona dan rasa malu. Sampai
kapan kita terus menggunakan metode ilmu-ilmu barat dalam perumusan ilmu pengetahuan
kita. Disekolah-sekolah ataupun dari buku kita benar-benar dibuat terpesona akan kokohnya
bagunan ilmu pengetahuan barat. Metode-metode pengetahuan barat seolah-olah telah
menjelaskan segala bentuk cara kerja ilmu pengetahuan.
Lantas dengan keterpesonaan itu kita digiring menemu titik getar yang menimbulkan
rasa malu, atau semacam kekerdilan diri. Langkah kaki kita adalah catatan kecil saja atas cara
kerja metode ilmu pengetahuan barat. Atas kondisi itu lantas kita harus keluar, merumuskan
16Lih. Soekarno, Membangun Dunia Kembali, dalam Garuda Emas Pancasila
sakti Eds. Bambang Rahrdjo dan Syamsuhadi (Jakarta: Yayasan Pembela Tanah
Air Pusat, tanpa tahun),201 -207.

metode sendiri. Tapi kita harus tetap tenang dan rasional, gerak perumusan metode kita tidak
bisa lari sepenuhnya dari cara kerja metode ilmu pengetahuan di barat. Kita tidak bisa
bergerak seenaknya sendiri. Dalam upaya mengikat kaki kita agar tidak bergerak seenaknya
sendiri dalam membanggun metode ilmu pengetahuan kita, tulisan ini dirumuskan. Memang
hanya singkat, tapi ini dirasa perlu untuk menjaga posisi kita diantara rasa malu dan hasrat
untuk mandiri dalam berilmu pengetahuan. Semoga tulisan ini dapat menjadi penyumbang
dalam usaha awal perumusan metode hermeneutis nusantara, terutama Soekarno sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Primer:
Soekarno. Pancasila Menurut Bung Karno. Ed. Floriberta Aning. Yogyakarta: Media
Presindo, 2006
Pendukung:
Bakker, Anton. Metode-Metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986
Bakker, Anton dan A.C. Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2013
Bleicher, J. Hermeneutika Kontemporer. Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2013
Gusmao, Martinho G. da Silva. Hans Georg Gadamer. Yogayakarta: Kanisius, 2013
Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat Ilmu dan Metode Postmodernis. Bogor: Akademia, 2004
Palmer, Richard E. Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2005
Rahardjo, I.T.K., dan Herdianto, WK. (Eds.). Bung Karno Bapakku, Guruku, Sahabatku,
Pemimpinku; Kenangan 100 tahun Bung Karno. Jakarta: Grasindo, 2001
Rahardjo, Bambang, dan Syamsuhadi (Eds.). Garuda Emas Pancasila Sakti. Jakarta: Yayasan
Pembela Tanah Air
Saksono, Ign. Gatut. Marhaenisme Bung Karno; Marxisme Ala Indonesia. Yogyakarta:
Rumah Belajar Yabinkas, 2008

Sularto, St. (Ed.) Dialog dengan Sejarah; Soekarno Seratus Tahun. Jakarta: Kompas, 2001
Sumaryono, E.. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogayakarta : Kanisius, 1993

Anda mungkin juga menyukai