Anda di halaman 1dari 20

CASE REPORT

EPILEPSI

Oleh:

Ledya Lusi Crista Simanjuntak (0761050021)


Sari Stefani Ginting ( 0761050109)

Pembimbing :

dr. Alfred Siahaan, Sp.A

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


Periode 22 Agustus 2011 22 Oktober 2011
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia
Jakarta

BAB. I

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Epilepsi dikenal sebagai salah satu penyakit tertua di dunia dan
menempati urutan kedua dari penyakit saraf setelah gangguan
peredaran darah otak. Dengan tatalaksana yang baik sebagian
besar penderita dapat terbebaskan dari penyakitnya, namun untuk
ini ditemukan banyak kendala, di Indonesia di antaranya kurangnya
dokter spesialis saraf, kurangnya keterampilan dokter umum dan
paramedis dalam menanggulangi penyakit ini. salah satu penyebab
dari kendala tadi adalah kurikulum yang minimal untuk penyakit ini.
1

Walaupun penyakit ini telah dikenal lama dalam masyarakat,


terbukti dengan adanya istilah-istilah bahasa dikenal untuk penyakit
ini seperti sawan, tapi pengertian akan penyakit ini masih kurang
bahkan salah sehingga penderita digolongkan dalam penyakit gila,
kutukan dan turunan sehingga penderita tidak diobati atau bahkan
disembunyikan. Akibatnya banyak penderita epilepsi yang tak
terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tepat sehingga
menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik
bagi penderita maupun keluarganya. 1
Di Indonesia belum ada data epidemiologis yang pasti tetapi
diperkirakan

ada

900.000-1.800.000

penderita,

sedangkan

penanggulangan penyakit ini belum merupakan prioritas dalam


Sistem Kesehatan Nasional. Karena cukup banyaknya penderita
epilepsi dan luasnya aspek medik dan psikososial, maka epilepsi
tetap

merupakan

keterampilan

para

masalah
dokter

kesehatan
dan

masyarakat

paramedis

sehingga

lainnya

dalam

penatalaksanaan penyakit ini perlu ditingkatkan. 1


Case repot
ini hanya membahas definisi, epidemiologi,
etiologi, , patogenesis, klasifikasi, diagnosis, penatalaksanaan dan
prognosis mengenai epilepsi.
TUJUAN PENULISAN
Penulisan case report ini bertujuan untuk:

Untuk mengingat kembali mengenai definisi, etiologi, pathogenesis,


klasifikasi dan penatalaksanaan dari epilepsi

BAB. II
KASUS
Seorang anak laki-laki berumur 13 tahun datang ke UGD RSU CIKINI
dengan keluhan utama kejang. Keluhan tambahan tidak ada.
Dari anamnesis didapatkan : Kurang lebih 3 jam SMRS pasien
mengalami kejang yang dirasakan selama 5 menit. Kejang yang
dialami pasien bersifat tonik. Sebelum kejang pasien terlihat
bengong, pandangan kosong, kejang
aktivitas

sebelum

kejang

pasien

tanpa didahului demam,


sedang

bermain

gitar

di

Gereja.Sebelumnya pasien pernah mengalami kejang sebanyak 4


kali dan tanpa disertai dengan demam. Pasien sudah berobat ke
dokter dan diberikan obat tapi pasien tidak teratur meminum obat.
Demam -, batuk-, pilek-, mual dan muntah-, makan dan minum
biasa. Pasien memiliki riwayat kejang dalam keluarga. Riwayat
kehamilan dan perkembangan pada pasien tampak normal. Riwayat
imnunisasi pasien lengkap.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis ,tandatanda vital,status lokalis

dalam batas normal.

Begitu juga pada

pemeriksaan neurologi tidak ditemukan adanya kelainan pada


pemeriksaan neurologi.
Pada hasil Laboratorium tidak ditemukan adanya kelainan dan
dalam batas normal.
Pemeriksaan yang dianjurkan untuk pasien adalah pemeriksaan
EEG.
Pentalaksanaan yang diberikan pada waktu masuk rumah sakit
adalah :
2

IVFD
IV/IM
MM/

: Kaen 3B 20 tetes/menit (makro)


: Cibital 75 mg
: Luminal 2 x 100 mg (untuk 2 hari)
Enervonce 1x1 caps

Dari
neurologi

hasil
dan

anamnesis,
dari

hasil

pemeriksaan
pemeriksaan

fisik,

pemeriksaan

laboratorium

dapat

disimpulkan untuk diagnosa pasien sementara adalah Obeservasi


Kejang
Pada perawatan hari kedua
Didapatkan bahwa pasien sudah tidak merasakan keluhan kejang
lagi tapi pasien merasa sedikit pusing. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan status generalis, tanda-tanda vital, status lokalis dalam
batas normal. Pada pemeriksaan neurologi juga tidak ditemukan
adalanya kelainan. Pasien juga sudah melakukan pemeriksaan EEG
dan di dapatkan hasilnya normal. Walaupun pasien sudah tidak
menunjukkan tanda-tanda kejang dan pada pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan neurologi di dapatkan
hasil normal, begitu juga dengan hasil pemeriksaan EEG normal
pasien masih tetap diobeservasi dan tetap dirawat di rumah sakit
dan tetap diberikan obat yang sama.

Pada pemeriksaan hari ketiga


Pasien sudah tidak mengeluh kejang. Pada pemeriksaan fisik,

pemeriksaan neurologi dalam batas normal. Karena setelah 2 hari


diobservasi pasien tidak menunjukkan gejala-gejala seperti kejang,
maka pasien sudah diperbolehkan untuk pulang. Saat pulang pasien
diberikan obat : Luminal 2x100 mg dan Enervonce 1x1

BAB III
KEPUSTAKAAN
DEFINISI
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri-ciri timbulnya gejalagejala yang datang dalam serangan, berulang-ulang yang disebabkan
lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf.

Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya


ditandai oleh berulanya kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan
psikososial.

ETIOLOGI
Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik
berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor
fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap
penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak, dapat
menyebabkan timbulnya bangkitan kejang.

Bila ditinjau dari faktor etiologis, maka epilepsi dibagi menjadi 2 kelompok
:

1. Epilepsi idiopatik
Sebagian besar pasien, penyebab epilepsi tidak diketahui dan biasanya
pasien tidak menunjukkan manifestasi cacat otak dan tidak bodoh.
Sebagian dari jenis idiopatik disebabkan oleh interaksi beberapa faktor
genetik. Kata idiopatik diperuntukkan bagi pasien epilepsi yang
menunjukkan bangkitan kejang umum sejak dari permulaan serangan.

Dengan

bertambah

majunya

pengetahuan

serta

kemampuan

diagnostik, maka golongan idiopatik makin berkurang. Umumnya faktor


genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik .
2. Epilepsi simtomatik
Hal ini dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan
intrakranial dan ekstrakranial. Penyebab intrakranial, misalnya anomali
kongenital, trauma otak, neoplasma otak, lesi iskemia, ensefalopati,
abses otak, jaringan parut. Penyebab yang bermula ekstrakranial dan
kemudian menganggu fungsi otak, misalnya: gagal jantung, gangguan
pernafasan,

gangguan

metabolisme

(hipoglikemia,

hiperglikemia,

uremia), gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat, gangguan


hidrasi (dehidrasi, hidrasi lebih). Kelainan struktural tidak cukup untuk
menimbulkan bangkitan epilepsi, harus dilacak faktor-faktor yang ikut
berperan dalam mencetuskan bangkitan epilepsi, contohnya, yang
mungkin berbeda pada tiap pasien adalah stress, demam, lapar,
hipoglikemia, kurang tidur, alkalosis oleh hiperventilasi, gangguan
emosional.
PATOGENESIS
Konsep terjadinya epilepsi telah dikemukakan satu abad yang lalu oleh
John Hughlings Jackson, bapak epilepsi modern. Pada fokus epilepsi di
korteks serebri terjadi letupan yang timbul kadang-kadang, secara tibatiba, berlebihan dan cepat; letupan ini menjadi bangkitan umum bila
neuron normal disekitarnya terkena pengaruh letupan tersebut. Konsep
ini masih tetap dianut dengan beberapa perubahan kecil. Adanya letupan
depolarisasi abnormal yang menjadi dasar diagnosis diferensial epilepsi
memang dapat dibuktikan. Terjadinya epilepsi sampai saat ini belum
terungkap secara rinci.
Beberapa faktor yang ikut berperan telah terungkap, misalnya :

Gangguan pada membran sel neuron

Potensial sel membran neuron bergantung pada permeabilitas sel


tersebut terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron
permeabel sekali terhadap ion kalium dan kurang permeabel
terhadap ion natrium, sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium
yang tinggi dan konsentrasi ion natrium yang rendah di dalam sel
pada

keadaan

normal.

Bila

keseimbangan

terganggu,

sifat

semipermeabel berubah, sehingga ion natrium dan kalium dapat


berdifusi melalui membran dan mengakibatkan perubahan kadar ion
dan perubahan kadar potensial yang menyertainya. Semua konvulsi,
apapun pencetus atau penyebabnya, disertai berkurangnya ion
kalium dan meningkatnya konsentrasi ion natrium di dalam sel.

Gangguan pada mekanisme inhibisi presinap dan pascasinap


Transmiter eksitasi (asetilkolin, asam glutamat) mengakibatkan
depolarisasi, zat transmiter inhibisi (GABA, glisin) menyebabkan
hiperpolarisasi

neuron

penerimanya.

Pada

keadaan

normal

didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan


keseimbangan

ini

dapat

mengakibatkan

terjadinya

bangkitan

kejang. Gangguan sintesis GABA menyebabkan eksitasi lebih unggul


dan dapat menimbulkan bangkitan epilepsi

Sel Glia
Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstrasel
disekitar neuron dan terminal presinap. Pada keadaan cedera, fungsi
glia

yang

terganggu

mengatur
dan

konsentrasi

mengakibatkan

ion

kalium

meningkatnya

ekstrasel

dapat

eksitabilitas

sel

neuron disekitarnya. Rasio yang tinggi antara kadar ion kalium


ekstrasel

dibanding

intrasel

dapat

mendepolarisasi

membran

neuron. Astroglia berfungsi membuang ion kalium yang berlebihan


sewaktu aktifnya sel neuron.

Bila sekelompok sel neuron tercetus maka didapatkan 3 kemungkinan :


1.

Aktivitas

ini

tidak

menjalar

ke

sekitarnya

melainkan terlokalisasi pada kelompok


2. Aktivitas menjalar sampai jarak tertentu, tetapi tidak melibatkan
seluruh otak kemudian menjumpai tahanan dan berhenti
3. Aktivitas menjalar ke seluruh otak kemudian berhenti
Pada keadaan 1 dan 2 didapatkan bangkitan epilepsi parsial,
sedangkan pada keadaan 3 didapatkan kejang umum. Jenis bangkitan
epilepsi bergantung kepada letak serta fungsi sel neuron yang berlepas
muatan listrik berlebih serta penjalarannya. Kontraksi otot somatik terjadi
bila lepas muatan melibatkan daerah motor di lobus frontalis. Gangguan
sensori akan terjadi bila struktur di lobus parietalis dan oksipitalis terlibat.
Kesadaran menghilang bila lepas muatan melibatkan batang otak dan
talapus. Sel neuron di serebelum, di bagian bawah batang otak dan di
medula spinalis tidak mampu mencetuskan bangkitan epilepsi.
Saat terjadi bangkitan kejang, aktivitas

pemompaan natrium

bertambah, dengan demikian kebutuhan akan senyawa ATP bertambah,


dengan kata lain kebutuhan oksigen dan glukosa meningkat, maka
peningkatan kebutuhan ini masih dapat dipenuhi. Namun bila kejang
berlangsung lama, ada kemungkinan kebutuhan akan oksigen dan glukosa
tidak terpenuhi, sehingga sel neuron dapat rusak atau mati.

MENEGAKKAN DIAGNOSA
a. ANAMNESIS
Pada anamnesis, yang pertama dilakukan adalah mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dengan maksud mendapat gambaran yang
setepat-tepatnya tentang sawan yang yang terjasi. Usaha untuk
mendapatkan gambaran bangkitan kejang yang diuraikan berikut ini
berdasarkan klasifikasi jenis bangkitan epilepsi Internasional 1981.
KLASIFIKASI BANGKITAN ATAU SERANGAN KEJANG

6, 8, 10

(International League Againts Epilepsi, 1981)


1.

Kejang Parsial
7

Kejang parsial merupakan kejang dengan onset lokal pada


satu bagian tubuh dan biasanya disertai dengan aura.
Kejang parsial timbul akibat abnormalitas aktivitas elektrik
otak yang terjadi pada salah satu hemisfer otak atau salah
satu bagian dari hemisfer otak.
Kejang parsial sederhana tidak disertai penurunan

2.

kesadaran
Kejang parsial kompleks disertai dengan penurunan

kesadaran
Kejang Umum
Kejang umum timbul akibat abnormalitas aktivitas elektrik
neuron yang terjadi pada seluruh hemisfer otak secara
simultan
Absens
Ciri khas serangan absens adalah durasi singkat, onset
dan terminasi mendadak, frekuensi

sangat

sering,

terkadang disertai gerakan klonik pada mata, dagu dan


bibir.

Mioklonik
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar
yang dapat umum atau terbatas pada wajah, batang
tubuh, satau atau lebih ekstremitas, atau satu grup otot.

Dapat berulang atau tunggal.


Klonik
Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya
terjadi kejang kelojot. dijumpai terutama sekali pada

anak.
Tonik
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan
ekstremitas

menetap

dalam

satu

posisi.

Biasanya

terdapat deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi,


dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah
menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena
tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup,

konjungtiva tidak sensitif, pupil dilatasi.


Tonik Klonik
8

Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik,

sesaat kemudian diikuti oleh gerakan klonik.


Atonik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi

secara

fragmentasi hanya kepala jatuh ke depan atau lengan


jatuh tergantung atau menyeluruh sehingga pasien
3.

terjatuh.
Kejang Tidak Dapat Diklasifikasi
Sebagian besar serangan yang terjadi pada bayi baru
lahir termasuk golongan ini.

b. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasanya.
c. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Perlu diperiksa kadar glukosa,

kalsium,magnesium,

natrium,

bilirubin, ureum dalam darah. Yang memudahkan timbulnya kejang


adalah

keadaaan

hipoglikemia,

hipomagnesemia,

hipo

atau

hipernatremia, hiperbilirubinemia, uremia. Penting pula diperiksa pH


darah karena alkalosis mungkin pula disertai kejang.

d. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Pada foto rontgen kepala sapat dilihat adanya kelainan-kelainan
pada

tengkorak.

Kalsifikasi

abnormal

dapat

dijumpai

pada

toksoplasmosis, meningioma. Sken tomografik olahan komputer


dapat lebih jelas menunjukkan kelainan-kelainan pada tengkorak
dan dalam rongga intrakranium.

e. PEMERIKSAAN PENUNJANG 5
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menunjang diagnosis epilepsi
adalah: 8
1. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrobrospinalis pada penderita epilepsi umumnya
normal.
2.

Pungsi

lumbal

dilakukan

pada

penderita

yang

dicurigai meningitis.
Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua penderita
epilepsi. EEG dapat mengkonfirmasi aktivitas epilepsi bahkan
dapat menunjang diagnosis klinis dengan baik, tetapi tidak
dapat menegakkan diagnosis secara pasti. Adanya kelainan
9

fokal

pada

EEG

menunjukan

kemungkinan

adanya

lesi

struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada


EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetika
atau metabolik.
Perlu diingat bahwa tidak selalu gangguan fungsi otak
dapat tercermin dalam rekaman EEG. EEG normal dapat
dijumpai pada anak yang nyata-nyata menderita kelainan
otak. Kira-kira 10% pasien epilepsi mempunyai EEG yang
normal.
Rekaman EEG dikatakan abnormal apabila :
Asimetris irama dan voltage gelombang pada daerah

yang sama dikedua hemisfer otak


Irama gelombang tidak teratur
Irama
gelombang
lebih
lambat

seharusnya
Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada

dibandingkan

anak yang normal, seperti gelombang tajam paku


(spike), paku-ombak, paku majemuk.
Pemeriksaan EEG berfungsi dalam mengklisifikasikan
tipe kejang dan menentukan terapi yang tepat. EEG harus
diulangi apabila kejang sering dan berat walaupun sedang
dalam pengobatan, apabila terjadi perubahan pola kejang
yang berarti atau apabila timbul defisit neurologi yang
progresif.
3.

Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan antara lain foto polos
kepala, angiografi serebral, CT-scan, MRI. Pada foto polos
kepala

dilihat

adanya

tanda-tanda

peninggian

tekanan

intrakranial, asimetris tengkorak, perkapuran abnormal tetapi


pemeriksaan ini sudah banyak ditinggalkan. Angiogarafi
dilakukan pada pasien yang akan dioperasi karena adanya
fokus epilepsi berupa tumor.
CT-scan dan MRI digunakan untuk mendeteksi adanya
malformasi otak kongenital. Indikasi CT-scan dan MRI antara
lain

kesulitan

dalam

mengontrol

kejang,

ditemukannya
10

kelainan neurologis yang progresif dalam pemeriksaan fisik,


perburukan dalam hasil EEG, curiga terhadap peningkatan
tekanan

intrakranial

dan

pada

kasus-kasus

dimana

dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan.

DIAGNOSIS BANDING
1. Sinkope
sinkope ialah

keadaan

kehilangan

kesadaran

sepintas

akibat

kekurangan aliran darah ke dalam otak dan anoksia. Sebabnya ialah


tensi darah yang menurun mendadak, biasanya ketika penderita
sedang berdiri. Pada 75% kasus-kasus terjadi akibat gangguan
emosi. Pada fase permulaan, penderita menjadi gelisah, tampak
pucat,

berkeringat,

merasa

pusing,

pandangan

mengelam.

Kesadaran menurun secara berangsur, nadi melemah, tekanan dara


rendah. Dengan diaringkan horizontal penderita segera membaik.

7, 8

2. Hipoglikemia
Hipoglikemia didahului rasa lapar, berkeringat, palpitasi, tremor,
mulut kering. Kesadaran dapat menurun perlahan-lahan.

3. Histeria
Kejang fungsional atau psikologis sering terdapat pada wanita
terutama antara 7-15 tahun. Serangan biasanya terjadi di hadapan
orang-orang yang hadir karena ingin menarik perhatian. Jarang
terjadi luka-luka akibat jatuh, mengompol atau perubahan pasca
serangan seperti terdapat pada epilepsi. Gerakan-gerakan yang
terjadi tidak menyerupai kejang tonik-klonik, tetapi bisa menyerupai
sindroma hiperventilasi. Timbulnya serangan sering berhubungaqn
dengan stress.

PENGOBATAN EPILEPSI
Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal
terendah. Yang terpenting adalah kadar obat antiepilepsi bebas yang
dapat menembus sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf
pusat.

11

Serangan epilepsi dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah
agar tidak kambuh. Obat tersebut disebut sebagai obat antikonvulsi atau
obat antiepilepsi.

Prinsip pengobatan epilepsi :

1. Mendiagnosis secara pasti, menentukan etiologi, jenis serangan dan


sindrom epilepsi
2.

Memulai pengobatan dengan satu jenis obat antiepilepsi


3. Penggantian obat antiepilepsi secara bertahap apabila obat antiepilepsi
yang pertama gagal

4.

Pemberian obat antiepilepsi sampai 1-2 tahun bebas kejang


OAE pilihan pertama dan kedua :

1.

2.

3.

4.

5.

9, 10

Serangan parsial (sederhana, kompleks dan umum sekunder)


OAE I

: Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin

OAE II

: Benzodiazepin, asam valproat

Serangn tonik klonik


OAE I

:Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin, asam valproat

OAE II

: Benzodiazepin, asam valproat

Serangan absens
OAE I

: Etosuksimid, asam valproat

OAE II

: Benzodiazepin

Serangan mioklonik
OAE I

: Benzodiazepin, asam valproat

OAE II

: Etosuksimid

Serangan tonik, klonik, atonik


Semua OAE kecuali etosuksinid
PENGHENTIAN OBAT ANTI EPILEPSI
Penghentian pemberian obat pada penderita epilepsi, dilakukan pada
keadaan keadaan sebagai berrikut:

Pada epilepsi yang sulit diatasi lakukan pemantauan yang intensif


untuk mencari diagnosis yang sebenarnya dan pengobatan yang
12

sesuai. Selain itu dipergunakan pemantauan EEG yang cermat dan


lebih lama dari 20 menit.
Epilepsi dicegah dengan perawatan pada masa prenatal dan perinatal.
Tindakan selanjutnya adalah diagnosis dan pengobatn dini semasa bayi
dengan OAE yang tepat. Bila pengobatan tidak memberikan efek sama
sekali,

dapat

dipertimbangkan

untuk

pembedahan.

Bila

pada

pemeriksaan PET scan pada anak dengan berbagai jenis epilepsi yang
berat ditemukan adanya hipometabolisme unilateral yang difus, maka
dapat dilakukan reseksi lokal sampai hemisferektomi.
Pertimbangan penghentian pengobatan didasarkan atas pertimbangan
keseimbangan antara resiko penggunaan OAE yang terus menerus
(intoksikasi kronis, efek teratogenik) dan resiko kemungkinan kambuh
serangan (cedera, pekerjaan). Penghentian pengobatan dilakukan
setelah bebas serangan selama 2 tahun atau lebih, perlahan-lahan
dalam waktu beberapa bulan (4-6 bulan atau 25% setiap 2-4 minggu),
diskusikan

kemungkinan

kekambuhan.

Risiko

kambuh

setelah

penghentian obat dalam 1 tahun pertama 25% dan menjadi 29% dalam
2 tahun. Kekambuhan terjadi 80% dalam tahun pertama.
Faktor yang mempengaruhi risiko kekambuhan : masa bebas serangan
sebelum penghentian obat singkat, banyak macam tipe serangan,
kejang tonik-klonik, perlu waktu lama untuk mencapai bebas serangan,
poloterapi, EEG abnormal, pemeriksaan neurologis abnormal, timbul
serangan pada saat penghentian obat.
PROGNOSIS
Penderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling
sedikit 2 tahun. Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat
dihentikan dan penderita tidak mengalami kejang lagi, dapat dikatakan
bahwa penderita telah mengalami remisi. 30% penderita tidak akan
mengalami remisi walau sudah minum obat teratur.

Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya kejang, etiologi,


tipe kejang, umur awal terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial

13

kompleks akan mengalami remisi pada hampir lebih dari 50% penderita.
Makin muda usia awal terjadinya kejang, remisi lebih sering terjadi.

Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun, juga
merupakan faktor yang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah
penghentian pengobatan tergantung pada faktor yang sama dengan
remisi kejang.

BAB. IV
ANALISA KASUS
Seorang anak laki laki usia 13 tahun dengan berat badan 50 kg, tinggi
badan 150 cm dirawat di RSU PGI CIKINI dengan keluhan utama kejang.
Setelah

dilakukan

pemeriksaan

fisik,

neurologis,

pemeriksaan

laboratorium dan EEG maka ditegakkan diagnosis kerja pasien adalah


EPILEPSI.
Pada anamnesis didapatkan :
Riwayat kejang berulang
dibuktikan

sebelum

masuk

tanpa
rumah

demam,
sakit

pada

pasien

kasus
pernah

14

mengalami kejang sebanyak 4 kali tanpa disertai dengan

demam.
Tidak terlihat adanya pasien terlihat gelisah, melakukan

gerakan atau sikap tidak biasa.


Berdasarkan teori yang dijelaskan bahwa pada epilepsi sering
diawali dengan Aura. Pada pasien ini terlihat adanya aura,
yaitu pasien terlihat bengong dan pandangannya kosong

sebelum terjadi kejang.


Manifestasi kejang yaitu tangan kiri pasien terlihat mengepal,
kaku, gemetar dan pasien masih bersuara pada saat kejang.
Pada saat kejang didapatkan mata tidak mendelik ke atas,
sehingga dapat diklasifikasikan pada tipe kejang parsial
sederhana gambaran tonik.

pada pasien ini, faktor etiologi adalah faktor idiopatik, yaitu


pada riwayat epilepsi pada keluarga. Karena menurut teori,
etiologi epilepsi dibagi menjadi idiopatik dan simptomatik.
Dan epilepsi yang disebabkan oleh faktor genetik masik dalam
klasifikasi epilepsi idiopatik.

Gangguan perkembangan psikomotor tidak dijumpai pada


pasien ini.

Kesimpulan : anamnesis bahwa didapatkan kesesuaian anamnesis pada


kasus dengan anamnesis pada teori yang dijelaskan
Pada pemeriksaan fisik didapatkan
Pada keadaan umum, tanda-tanda vital dan status generalis

secara sistematis adalah dalam batas normal


Pada pemeriksaan neurologi juga tidak terdpat adanya
kelainan.

Kesimpulan : bahwa didapatkan kesesuaian pemeriksaan fisik pada kasus


dengan pemeriksaan fisik pada teori yang dijelaskan.
Pada pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil dalam batas
normal. Pada teori dijelaskan bahwa pada kasus epilepsi
15

dilakukan

pemeriksaan

darah

untuk

mengetahui

faktor

etiologi. Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,


natrium, bilirubin, ureum dalam darah. Yang memudahkan
timbulnya kejang adalah keadaan hipoglikemia, hipokalemia,
hipomagnesemia, hipo atau hipernatremia, hiperbilirubinemia
dan uremia. Pada pasien ini tidak ditemukan peningkatan
atau penurunan kadar diatas, maka dapat disingkirkan
gangguan elektrolit dan hipoglikemia sebagai etiologi dari
epiepsi pada pasien ini.
Pada pemeriksaan EEG
Pada hasil pemeriksaan EEG didapatkan dalam batas normal.
EEG dapat mengkonfirmasi aktivitas epilepsi bahkan dapat
menunjang diagnosis klinis tepapi tidak dapat menegagkkan
diagnosis secara pasti. EEG normal dijumpai pada anak yang
menderita kelainan otak. Berdasarkan teori yang dijelaskan
pemeriksaan EEG dapat memberikan hasil normal, karena
sensitivitas interiktal EEG pada beberapa jenis kejang adalah
bervariasi. Beratnya EEG tidak selalu berhubungan dengan
gejala klinis.
Pada penatalaksanaan diberikan
Rawat inap untuk mengobservasi

kejang,

mengingat

serangan kejang yang berulang


IVFD Kaen 3B 20 tetes/menit : untuk memenuhi kebutuhan
cairan dan glukosa yang menurun akibat kejang.
Obat-obatan:
Pada pasien diberikan Luminal 2x100mg (oral) untuk
antikonvulsan

yang

long

acting

sehingga

untuk

mencegah kejang yang berulang dalam jangka waktu


yang lama, dengan cara memblokir pelepasan muatan
listrik di otak
Selama perawatan
Selama dirawat, pasien tidak pernah kejang, sehingga pasien
hanya dirawat 2 hari lalu kembali disarankan untuk berobat
jalan. Obat-obat yang dibawa saat pulang:
Luminal 2x100 mg
Enervonce 1x1 cap
16

Prognosis untuk pasien


Prognosis bagi pasien ini dubia ad malam mengingat onset
kejang yang dimulai saat pasien berusia 4 tahun disertai
kejang yang berlangsung saat pasien berumur 13 tahun yang
terjadi sebanyak 4 kali, dengan penyebab idiopatik. Ditambah
pasien pernah mendapatkan terapi obat sebelumnya tapi
pasien tidak minum obat secara teratur

BAB V
KESIMPULAN
Seorang anak laki laki usia 13 tahun dengan berat badan 50 kg, tinggi
badan 150 cm dirawat di RSU PGI CIKINI dengan keluhan utama kejang.
Setelah dilakukan observasi, dari anamnesis didapatkan riwayat kejang
berulang tanpa demam, pada kasus dibuktikan sebelum masuk rumah
sakit pasien pernah mengalami kejang sebanyak 4 kali tanpa disertai
dengan demam. Pada pasien ini terlihat adanya aura, yaitu pasien terlihat
bengong dan pandangannya kosong sebelum terjadi kejang.
17

Manifestasi kejang yaitu tangan kiri pasien terlihat mengepal, kaku,


gemetar dan pasien masih bersuara pada saat kejang. Pada saat kejang
didapatkan mata tidak mendelik ke atas, sehingga dapat diklasifikasikan
pada tipe kejang parsial sederhana gambaran tonik. Faktor etiologi
pada pasien ini adalah faktor idiopatik, yaitu pada riwayat epilepsi pada
keluarga.
Pada pemeriksaan fisik, neurologis, dan pemeriksaan laboratorium
tidak ditemukan adanya kelainan. Pada hasil pemeriksaan EEG didapatkan
hasil yang dalam batas normal. Dari semua hasil yang didapatkan, maka
ditegakkan diagnosis kerja pasien adalah EPILEPSI.
Dan diberikan penatalaksanaan Rawat inap untuk mengobservasi
kejang, mengingat serangan kejang yang berulang, IVFD Kaen 3B 20
tetes/menit : untuk memenuhi kebutuhan cairan dan glukosa yang
menurun akibat kejang. Dan diberikan obat Luminal 2x100mg (oral) dan
disarankan untuk berobat jalan dengan memberikan Luminal 2x100 mg
dan Enervonce 1x1 cap untuk dibawa pulang.
Prognosis bagi pasien ini dubia ad malam mengingat onset kejang
yang

dimulai

saat

pasien

berusia

tahun

disertai

kejang

yang

berlangsung saat pasien berumur 13 tahun yang terjadi sebanyak 4 kali,


dengan penyebab idiopatik. Ditambah pasien pernah mendapatkan terapi
obat sebelumnya tapi pasien tidak minum obat secara teratur

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Tjahjadi Petrus, Dikot Yustiani, Gunawan Dede. Gambaran Umum
Mengenai Epilepsi. Dalam: Harsono, penyunting. Kapita Selekta
Neurologi. Edisi-2. Yogyakarta: Gajahmada University Press; 2007:
h.119-133.

18

2. Syeban Zakiah, Markam S, Harahap Tagor. Epilepsi. Dalam: Markam


Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1. Tangerang:
Binarupa Akasara; 2009: h. 100-102.
3. Passat Jimmy. Epidemiologi Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim,
Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 1999: h.190-197.
4. Lumbantobing SM. Etiologi Dan Faal Sakitan Epilepsi. Dalam:
Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.197-203.
5. Soetomenggolo Taslim. Pemeriksaan Penunjang

Pada

Epilepsi.

Dalam: Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi


Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.223-226.
6. Ismael Sofyan. Klasifikasi Bangkitan Atau Serangan Kejang Pada
Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting.
Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.204-209.
7. Soetomenggolo Taslim. Kelainan Menyerupai Epilepsi. Dalam:
Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.209-214
8. Markam S, Gunawan S, Indrayana, Lazuardi S. Diagnostik Epilepsi.
Dalam: Markam Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi1. Tangerang: Binarupa Akasara; 2009: h. 103-113.

9.

Lazuardi Samuel. Pengobatan Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo

Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan


Penerbit IDAI; 1999: h.226-241.
10.
Haslam Robert. Sistem Saraf; Bab 543 Kejang-Kejang Pada
Masa Anak. Dalam: Nelson Waldo E, penyunting. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi-15. Volume-3, diterjemahkan oleh Wahab
Samik. Jakarta: EGC; 2000: h.2056-2060.

19

Anda mungkin juga menyukai