Anda di halaman 1dari 135

Jurnal Ekonomi Pembangunan

Vol. 9, No. 2, Desember 2008, hal. 121 - 136


TERAKREDITASI. SK Dikti No.55a / DIKTI / Kep / 2006

ISSN 1411- 6081

Volume 9, No. 2, Desember 2008

DAFTAR ISI
Dampak Ketidakstabilan Nilai Tukar Rupiah terhadap Permintaan Uang M2
di Indonesia
Etty Puji Lestari ...... 121 - 136
Analisis Peranan Sektor Industri terhadap Perekonomian Jawa Tengah Tahun 2000
dan Tahun 2004 (Analisis Input Output)
Didit Purnomo dan Devi Istiqomah .. 137 - 155
Analisis Perubahan Kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika
Triyono .... 156 - 167
Produktivitas Lahan dan Biaya Usahatani Tanaman Pangan
di Kabupaten Gunung Kidul
Suwarto ....... 168 - 183
Analisis Kompetensi Produk Unggulan Daerah pada Batik Tulis dan Cap Solo
di Dati II Kota Surakarta
Daryono Soebagiyo dan M. Wahyudi ...... 184 - 197
Analisis Dampak Otonomi Daerah terhadap Strategi Pengembangan Perguruan
Tinggi Swasta (PTS) di Kabupaten Sleman
Rudy Badrudin ... 198 - 215
Peran Aktif Wanita dalam Peningkatan Pendapatan Rumah tangga Miskin:
Studi Kasus pada Wanita Pemecah Batu di Pucanganak Kecamatan Tugu Trenggalek
Sugeng Haryanto .... 216 - 227
The Competitiveness of Soybean Production in Blitar-East Java, Indonesia
Moh. Azis Arisudi dan Salfarina Abdul Gapor ........ 228 - 247

Jurnal Ekonomi Pembangunan


Vol. 9, No. 2, Desember 2008, hal. 121 - 136

DAMPAK KETIDAKSTABILAN NILAI TUKAR RUPIAH


TERHADAP PERMINTAAN UANG M2 DI INDONESIA
Etty Puji Lestari
Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka, Jakarta
E mail: ettypl@mail.ut.ac.id

ABSTRACT
This article attempts to estimate demand for M2 money in Indonesia using time
series non-stationary technique in 1997.1 - 2006.4. There are four methods are used
in research, first, VAR estimation used to forecast model which have interaction of
data time series. Second, function impulse response to see response from every
variable to structural innovation of the other variables at the same time. Third,
variance decomposition to know dissociating variation change of shock from each
variable to other variables in model. Fourth method, ADL ECM to see long-range
adjustment in variable, before and after addition of variable. The result, there are
non-stationary condition in the time series data in the research. Result of VAR
estimation show that there is no causality relation two ways among fifth of variable.
From impulse, response known that response of M2 variable to other variable very
fluctuative but finally the condition will return to stabilize.
Keywords: instability of exchange rate, M2 money, vector autoregression
PENDAHULUAN
Perekonomian Indonesia masih menunjukkan
kinerja yang cukup baik sampai awal tahun
1997 yang ditandai oleh menguatnya beberapa indikator makro ekonomi. Pada tahun
1996, tingkat pertumbuhan ekonomi masih
mencapai 7,8 persen per tahun dan investasi
langsung luar negeri mencapai $6,5 juta pada
tahun fiskal 1996/1997. Sementara itu cadangan devisa resmi pemerintah mencapai $20
juta pada bulan Maret 1997, serta tingkat
depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika
masih terpelihara pada kisaran 3-5 persen
(Bank Indonesia, 1997).
Krisis ekonomi dan keuangan yang
awalnya melanda Thailand berdampak pada
perekonomian negara-negara ASEAN, ter-

masuk Indonesia. Perekonomian Indonesia


mulai mengalami perubahan yang signifikan
setelah pada pertengahan tahun 1997 muncul
masalah yang menghantam perdagangan
valuta asing di kawasan Asia, yang diawali
dengan guncangan pasar valuta asing di
Thailand dan kemudian menjalar ke pasar
valuta asing negara-negara lain termasuk
Indonesia. Pada akhir periode tahun 1997,
depresiasi riil nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS mencapai angka 68,7 persen. Pada
saat keseimbangan eksternal tergangggu,
terjadi pula ketidakseimbangan internal.
Kenaikan harga barang-barang secara otomatis akan memperbesar angka inflasi. Pada
akhir tahun 1997 angka inflasi mencapai 11,1
persen per tahun dan terus meningkat hingga

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

122

Pertumbuhan Ekonomi
100

80

Persen

60

40

20

0
1992

1994

1996

1998

2000

2002

2004

2006

2008

-20

Tahun
inflasi

pertumbuhan PDB riil

Gambar 1. Laju Inflasi dan Pertumbuhan PDB Riil

mencapai 168,32 persen per tahun pada tahun


berikutnya (Bank Indonesia, 1999).
Pada kasus Indonesia, krisis nilai tukar
mata uang Rupiah terhadap dolar, terus
menular ke sektor-sektor lainnya hingga
menimbulkan krisis ekonomi. Pada akhir
tahun 1997, pertumbuhan ekonomi tahunan
(PDB riil) tercatat sebesar 4,7 persen sedang
pada akhir tahun 1998 turun sebesar -13,2
persen (Gambar 1). Sebelum terjadinya krisis
ekonomi, antara tahun 1990 sampai 1996,
pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata
mencapai 8 persen. Setelah terjadinya krisis
ekonomi tahun 1997 maka pertumbuhan
ekonomi Indonesia antara tahun 2000 sampai
2006 menurun dengan rata-rata 4,86 persen.
Perekonomian Indonesia mulai dikatakan membaik pada tahun 2000 yang dibuktikan dengan adanya penurunan inflasi dari
77,63 persen pada tahun 1998 menjadi 2,01
pada tahun 2000, namun kembali meningkat
pada tahun 2002 sebanyak 12,55 persen.
Membaiknya kinerja ini juga diikuti oleh
meningkatnya pendapatan perkapita masya-

rakat (percapita gross national product)


yaitu dari 4.49 juta rupiah pada tahun 1998
dan 5,78 juta rupiah (2000) menjadi 6,86 juta
rupiah pada tahun 2001 (BPS, 2003). Pemulihan kondisi tersebut ditunjang oleh membaiknya infrastuktur yang ada serta
kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintah baik fiskal maupun moneter.
Kondisi non stasioner tersebut menunjukkan bahwa secara teoritis terdapat masalah yang berkaitan dengan stabilitas. Stabilitas merupakan syarat utama dari stasioneritas
data, terutama data time series. Kondisi non
stasioner terjadi jika nilai rata-rata (mean),
variance dan covariance tidak konsisten
sepanjang waktu. Stabilisasi pada data time
series berhubungan erat dengan stabilitas
ekonomi makro. Jika ada permasalahan yang
berhubungan dengan variabel non stasioner
maka hasil estimasi akan mengalami regresi
lancung (spurious regression atau spurious
correlation problem). Sejauh ini perdebatan
akademik menyangkut kelancungan pertama
kali dikemukakan oleh Granger dan Newbold
pada tahun 1974 dan tahun 1977 serta dikaji

Etty Puji Lestari - Dampak Ketidakstabilan Nilai Tukar Rupiah


lebih lanjut oleh Phillips pada tahun 1986.
Dampak yang ditimbulkan oleh regresi
lancung antara lain: koefisien penaksir tidak
efisien, peramalan berdasarkan regresi tersebut akan meleset dan uji baku umum menjadi
tidak sahih (Insukindro, 1991).
Untuk mencapai stabilisasi ekonomi
maka diperlukan target-antara di antaranya
jumlah uang beredar. Di sisi lain pengendalian jumlah uang beredar (JUB) sulit diukur.
Pengendalian JUB berkaitan erat dengan
perilaku permintaan uang masyarakat terutama untuk jangka panjang. Salah satu
variabel penentu yang cukup berarti dalam
dalam teori ekonomi adalah kurs atau nilai
tukar yang sifatnya fluktuatif. Variabel ini
menjadi lebih dominan pada masa krisis.
Perekonomian suatu negara dikatakan bebas
dari krisis apabila mampu mencapai nilai
kurs yang stabil.
Berangkat dari kondisi yang sangat fluktuatif tersebut, maka artikel ini ingin menganalisis permintaan uang di Indonesia dengan
teknik time series non stasioner pada saat
terjadi ketidakstabilan nilai tukar pada tahun
1997.12006.4; menganalisis perilaku variabel penentu permintaan uang yang memiliki
karakteristik yang sangat fluktuatif di
Indonesia terutama setelah Bank Indonesia
mengenakan sistem kurs mengambang bebas;
dan mengukur besarnya kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) jangka panjang
permintaan uang.

123

terhadap luar negeri bebas dilakukan oleh


masyarakat Indonesia. Masyarakat telah
dibebaskan untuk memegang valuta asing
dengan sistem kurs mengambang terkendali
(managed floating exchange rate) sejak awal
tahun 1980-an dan sekarang sistem kurs
mengambang penuh (free floating exchange
rate). Kebijakan ini memungkinkan masyarakat di dalam negeri untuk merelokasikan
kekayaannya dengan memasukkan mata uang
asing sebagai salah satu bentuk kekayaan
yang dipegang sehingga memungkinkan
maksimisasi return dari asset yang mereka
pegang.
Perdebatan pemilihan variabel kunci
dalam menjelaskan perilaku permintaan uang
tidak terlalu banyak variasinya. Penelitian
yang dilakukan oleh Hendry dan Erricson
(1991) dan Mizao (1997) menggunakan 4
variabel yaitu M, , Y dan R yang masingmasing menunjukkan M1 riil, tingkat laju
inflasi, output riil, dan tingkat bunga berjangka. Selanjutnya melihat kondisi keterbukaan
yang dialami Indonesia sejak awal tahun
1980-an maka berbeda dengan penelitian
Morimune dan Zhao (1997), model dapat
diperluas untuk memasukkan variabel nilai
tukar dan permintaan uangnya dipilih M2
karena memiliki skala yang lebih luas
dibandingkan M1. Model penelitian ini dapat
dituliskan sebagai berikut:

M d = f (Yt , ER t , rt , Inf t )
dimana

METODE PENELITIAN
Model Estimasi Permintaan Uang
Penggunaan model perekonomian terbuka
dapat diterima untuk kasus permintaan uang
di Indonesia, mengingat bahwa transaksi

Md adalah permintaan uang M2


Yt adalah output atau pendapatan nasional riil
ERt adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar
rt adalah tingkat suku bunga pasar dan
Inft adalah tingkat inflasi.

124

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Statistik dan Keuangan Indonesia, Bank
Indonesia, International Financial Statistic
(IFS), World Bank dan beberapa sumber literatur lainnya. Rentang waktu yang digunakan
dalam penelitian adalah mulai tahun 1997.1
sampai 2006.4.
Penelitian ini menggunakan 4 (empat)
metode estimasi, yaitu pertama, Vector Autoregression/VAR untuk melihat estimasi hubungan dalam jangka panjang. Metode VAR
diyakini mampu melakukan peramalan yang
lebih baik dibandingkan model persamaan
struktural. Metode kedua adalah melakukan
pengujian terhadap impulse response function untuk melihat respon dari setiap variabel
terhadap struktural inovasi variabel lainnya
dalam model pada periode waktu bersamaan.
Metode ketiga adalah menguji variance decomposition yang berguna untuk memisahkan variasi perubahan shock dari setiap
variabel terhadap variabel lain dalam model.
Metode terakhir yang dipakai adalah melakukan estimasi model ADL ECM. Metode
estimasi ini merupakan turunan dari model
VAR atau metode estimasi VAR yang
memasukkan variabel tambahan (ECT) ke
dalam analisis. Tujuannya adalah untuk melihat penyesuaian jangka panjang dalam variabel yang diamati sebelum dan sesudah
penambahan variabel.
Uji Akar Unit Autoregressive
Tujuan uji akar unit adalah untuk mengetahui
ada tidaknya akar unit (komponen random
walk). Uji akar unit yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dua uji yang dikembangkan oleh Dickey dan Fuller (1981). Uji
akar unit dapat dipandang sebagai uji stasio-

neritas karena pada prinsipnya uji tersebut


dimaksudkan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari model otoregressif yang
ditaksir memiliki nilai satu atau tidak.
Namun demikian model otoregresif memiliki
distribusi yang tidak baku seperti uji t dan uji
f yang tidak cukup layak digunakan untuk
menguji hipotesa. Uji tersebut dikembangkan
dengan penaksiran otoregresif sebagai
berikut:

X t = + X t 1 + u t

.(1)

dimana parameter untuk data time series


diasumsikan positip. Xt menjadi non stasioner jika parameter sama dengan atau lebih
dari satu. Time series persamaan 1 stasioner
jika < 1. Proses pengujiannya dilakukan
dengan mengaplikasikan OLS ke dalam per-

nilai
samaan 1 sehingga kita mendapatkan
estimasi dari . Selanjutnya dilakukan uji t
(t-test) pada hipotesis nol Ho: =1 melawan

merupakan standar error


Ha: <1. Jika
maka uji statistik (t-statistik/
estimasi dari
TS) dirumuskan sebagai berikut:
TS =

1
s

.(2)

penolakan Ho berimplikasi pada data yang


stasioner.
Kajian yang dilakukan oleh D.A Dickey
dan W.F Fuller (1981) dilakukan dengan
menulis persamaan 1 menjadi:

X t = + * X t 1 + u t ,

* = 1

.(3)

Etty Puji Lestari - Dampak Ketidakstabilan Nilai Tukar Rupiah


dengan pengujian Ho: =1 melawan Ha: <
1 dalam persamaan 1 sama dengan pengujian
Ho: *=0 melawan Ha: *<0 pada persamaan 3. Pengujian yang terakhir terakhir
sering disebut uji akar unit (unit root test).
Dickey-Fuller telah mengembangkan sebuah
simulasi dengan menabulasi distribusi t-rasio
sampel besar dengan menguji hipotesa nol
(Ho) yaitu *=0. Mereka menemukan adanya bias ke bawah (downward biased) distribusi t rasio pada nol seperti jika estimator

* yang tidak bias tetapi pada nilai


OLS
yang kurang dari nol (lihat Thomas,
1997:406 dan 412, Greene, 2000: 750).

Pada situasi seperti ini dihasilkan t-rasio


dengan simbol t1*.t1* yang disebut sebagai
statistic DF (Dickey Fuller statistic). Beberapa nilai kritis Dickey Fuller untuk t1* ditunjukkan pada Tabel 1.
Penelitian ini menggunakan uji akar-akar
unit yang dikembangkan oleh Dickey &
Fuller (1981, hal 1057-1072). Tima series
yang memiliki akar unit biasa disebut sebagai
random walk time series (Gujarati, 728). Uji
ini dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan
memasukkan konstanta tetapi tidak memasukkan trend dan dengan memasukkan
konstanta dan trend.

125

bentuk hubungan jangka panjang. Metode


lainnya adalah Vector Autoregression (VAR)
yang diperkenalkan oleh Sims (1980).
Metode ini didasarkan atas reaksi terhadap
pendekatan ekonometri tradisional untuk
menangani model simultan (multi-equation
simultaneous models). Kunci penting dari
metode ini adalah pembagian variabelvariabel menjadi variabel endogen ke dalam
model dan variabel yang diperlakukan sebagai variabel eksogen (Litterman, 1985).
VAR sering digunakan untuk meramalkan model yang memiliki data time series
yang saling berhubungan (interrelated time
series) dan digunakan untuk menganalisis
dampak dari variabel pengganggu (random
disturbances) yang dinamis. Kriteria pengujian secara statistik dilakukan dengan uji
parsial (uji-t) dan uji goodness of fit; t tabel(2
tail, = 0.05,) = 1.960. Uji goodness of fit
dilakukan dengan melihat koefisien determinasinya (R2). Uji ini bertujuan untuk mengukur seberapa besar variasi dari variabelvariabel independen dapat menjelaskan
variabel dependen.
Model VAR yang digunakan dalam
penelitian ini sebagai berikut:

Yt = Yt 1 + t

.(4)

Estimasi Jangka Panjang dengan Var

dimana vektor Yt = Yt , Z t . Lakukan turu-

Analisis kointegrasi sering digunakan sebagai salah satu metode dalam menentukan

nan pertama (first difference) menjadi:

Tabel 1. Nilai Kritis untuk t1*


Nilai kritis dari t1*
Tingkat sig 0,01
Tingkat sig 0,05
Tingkat sig. 0,10

Jumlah sample n
25

50

100

500

-3.75
-3.00
-2.63

-3.58
-2.93
-2.60

-3.51
-2.89
-2.58

-3.44
-2.87
-2.57

-3.43
-2.86
-2.57

Nilai t biasa
(n=)
-2.33
-1.65
-1.28

126

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

y t y t 1 = ( 1)y t 1 + t t dan

yt = y t 1 + t

.(5)

Jika semua variabel terintegrasi I(1),


maka semua variabel M pada sisi kiri adalah
I(0). Matrik menghasilkan kombinasi
linier dari variabel dalam Yt. namun tidak
semua kombinasi linier terkointegrasi meskipun model representasi VAR dipastikan ada.
Jika model ini diasumsikan sebagai
unrestricted VAR maka hasil matriks
koefisien harus diperingkat. Implikasinya,
jika variabel benar-benar terkointegrasi maka
koefisien matriksnya tidak akan kehilangan
kesesuaiannya (goodnes of fit) (Greene,
2000:794).
Menurut Morimune dan Zhao (1997),
jika Xt menjadi kolom vektor dari sejumlah p
komponen dengan I(1), maka sistem yang
dapat ditulis dalam jumlah order VAR yang
terbatas (restricted VAR) seperti berikut:

X t = + x t 1 + ... + Tk x t k + t .(6)
dimana t = 1,2,3t dan t independen,
E( t ) = 0 dan covariance ( t ) = . Model
koreksi kesalahan (ECM) terjadi ketika
matrik dibatasi. Hanya variabel xt
yang menunjukkan masih ada hubungan
jangka panjang dimana masing-masing variabel tidak berubah nilainya. Dalam jangka
pendek variabel xt tidak cocok dengan
keseimbangan masa lalu dan sisi kiri adalah
penyesuaian dari ketidakcocokannya (Gujarati, 1995).

Impulse Response Function dari Model


Var
Impulse Response Function menggambarkan
respon dari setiap variabel terhadap struktural inovasi variabel lainnya dalam model
pada periode waktu bersamaan. Estimasi
impulse response dapat dilihat pada saat ini
dan akan datang. Selanjutnya model VAR
dapat ditulis sebagai suatu vektor rata-rata
bergerak atau VMA (vector moving average). Jika dituliskan dalam bentuk matriks
aljabar dari bentuk standar VAR maka akan
didapat persamaan berikut:

y t y a11
z = z + a
t i =0 22

a12 e1t i
a 22 e2t i

.(7)

dimana {yt} dan {zt} mempunyai hubungan


dengan {e1t} dan {e2t} secara berurutan.
Dengan menggunakan {yt} dan {zt}, selanjutnya dengan menggunakan operasi matriks
aljabar maka vector error dapat ditentukan
menjadi:
e1t
1
e = [1 /(1 b12 b21 )] b
21
2t

b12 yt
1 zt

...(8)

Moving average representation dalam


persamaan (4) dan (5) dapat ditulis dengan
kaitan {yt} dan {zt} secara berulang menjadi:

y t y 11 (i ) 12 (i ) yt i
z = z + (i ) (i )
22
zt 1
t i = 0 21
.(9)
Empat satuan koefisien 11(i), 12(i), 21(i),
dan 22(i) inilah yang disebut dengan
impulse response function (IRF).

Etty Puji Lestari - Dampak Ketidakstabilan Nilai Tukar Rupiah

127

Yt+n et yt+n = 11 (0) yt+n + 11 (1) yt+n-1 +

dimana:
ij( i )

= efek dari struktural shock pada y


dan z
ij( 0 ) = impact multipliers
ij( i ) = cumulative multipliers
ij( i ) = pada saat n = long run
multipliers
Variance Decomposition dari M2

... + 11 (n-1) yt+1


12 (0) zt+n + 12 (1) zt+n-1 +
... + 12 (n-1) zt+1

Variance dari forecast error Yt+n periode n


ke depan adalah y (n)2, dimana:
y(n)2 = 2y [11(0)2 + 11(1)2 + ... + 11(n-1)2]

Variance decomposition memisahkan variasi


perubahan shock dari setiap variabel terhadap
variabel lain dalam model. Setiap variabel
perubahan dalam model diasumsikan tidak
berkorelasi. Variance decomposition menggambarkan besarnya sumbangan pengaruh
dari suatu variabel perubahan terhadap variabel lain dalam model. Bentuk VMA dari
variabel x pada satu periode di depan dituliskan sebagai berikut:

+ 2z [12(0)2 + 12(1)2 + ...


+ 12(n-1)2]

2y [11(0)2 + 11(1)2 + ... + 11(n-1)2] / y(n)2


.(15)

.(10)

i =1

Forecast error pada satu periode ke


depan adalah:

Sedangkan forecast error variance decomposition pada shock z adalah:


2z [11(0)2 + 11(1)2 + ... + 11(n-1)2] / y(n)2
.(16)

E t X t +1 = X + i t +1i

.(14)

forecast error variance decomposition adalah


proporsi dari y(n)2 terhadap shock y dan
shock z. Sehingga forecast error variance
decomposition pada shock y adalah:

X t +1 = X + i t +1i

.(13)

.(11)

i =1

Estimasi Model ADL ECM


Peramalan satu periode kedepan dilambangkan dengan 0 t+1 . Forecast error pada
periode n ke depan adalah:

X t + n E t X t +1 = X + i t +1i .(12)
i =1

Forecast error pada n periode ke depan


untuk variabel y adalah:

Penelitian ini menggunakan model ADL


ECM (Autoregressive Distributed Lag Error
Correction Models) untuk mengestimasi
fungsi permintaan uang seperti yang dipakai
oleh Hendry et al, yaitu:

Yt = 0 + 1Yt 1 + 0 X t + 1X t 1 + t ..(17)
persamaan ini kemudian ditransformasikan
kedalam bentuk ECM menjadi

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

128

Yt = 0 + *1 (Yt 1 X t 1 ) +
0 X t + t

(18)

Bentuk ECM ini berbeda dengan bentuk


VAR turunan atau VAR yang memasukkan
Xt atau Xt yang disetarakan dengan variabel
dependen. Secara umum model ADL dituliskan sebagai berikut:
m

Yt = 0 + i Yt 1 + jiXjti + t t
i=1

i=1 i=0

...(19)
dimana p merupakan indeks variabel penjelas
yang masing-masing memiliki distribusi
kelambanan. Model ADL dapat ditransformasikan dalam bentuk ECM namun disetarakan dengan termin tambahan (extra term)
X jt , j = 1,..p yang sangat berguna dalam
studi empiris. Tetapi termin tambahan X jt
membuat estimasi menjadi bermasalah ketika

dapat berkorelasi dengan error term dari


regresi. Model ADL secara konsisten dapat
diestimasi dengan teknik variabel tambahan.

HASIL PENELITIAN DAN


PEMBAHASAN
Berdasar hasil estimasi, diketahui bahwa
nilai t-statistik atau nilai hitung ADF untuk
variabel M2, pendapatan nasional, dan suku
bunga sudah stasioner pada derajat kepercayaan satu persen, sedangkan variabel inflasi
stasioner pada derajat kepercayaan lima
persen. Dalam uji ini hanya variabel kurs
yang tidak lolos uji akar unit sehingga harus
diteruskan dengan uji derajat integrasi satu.
Hal ini menunjukkan ada masalah dengan
akar unit yang menggambarkan situasi non
stasioner. Untuk selanjutnya perlu dilakukan
uji derajat integrasi untuk mengetahui pada
derajat ke berapa data-data tersebut stasioner.
Hasil selengkapnya uji akar unit dapat dilihat
pada Tabel 2.

Tabel 2. Uji Akar Unit dan Uji Derajat Integrasi I


VARIABEL

UJI AKAR UNIT

M2

2.707622
(lolos)

3.572500
(lolos)

ER

0.673967
(tidak lolos)

INF

-2.073001
(lolos)

-3.154925
(lolos)

Sumber: data di olah

DERAJAT INTEGRASI 1

1.708373
(lolos)

NILAI KRITIS ADF


Derajat kepercayaan (%)

t statistik

1
5
10
1
5
10
1
5
10
1
5
10
1
5
10

-2.627238
-1.949856
-1.611469
-2.628961
-1.950117
-1.611339
-2.627238
-1.949856
-1.611469
-2.625606
-1.949609
-1.611593
-2.641672
-1.952066
-1.610400

Etty Puji Lestari - Dampak Ketidakstabilan Nilai Tukar Rupiah


Dari hasil perhitungan secara keseluruhan disimpulkan bahwa pengujian ini tidak
perlu diteruskan ke uji kointegrasi. Namun
demikian menurut Wickens & Brusch
(1988), ECM standar dari model yang
dikembangkan oleh Domowitz dan El
Badawi (1987) sudah sahih dan dapat
digunakan untuk melakukan inferensi.
Penentuan Lag Optimal Model Var
Untuk dapat melakukan estimasi model VAR
maka perlu ditentukan seberapa banyak
variabel lag length dibutuhkan dalam model.
Di dalam model autoregresi dimana peran
waktu sangat berpengaruh maka peranan lag
didalam model menjadi sangat penting.
Penentuan lag length juga bertujuan untuk
mendapatkan model yang tepat untuk
diestimasi, dimana model tersebut ditentukan
oleh banyaknya jumlah lag yang digunakan.
Beberapa rumus yang biasa dipakai
untuk menentukan lag optimal disajikan
dalam Tabel 3.

129

Tabel 3. Penentuan Lag Optimal


Kriteria
Final Prediction
Error (FPE)
Akaike Information
Criterion (AIC)
Schwarz
Information
Criterion (SIC)
Hannan-Quinn
Information
Criterion (HQ)

Rumus

RSS
T X
RSS
T X

RSS
T X

T +k
T k

e (2k / T )

T kj / T

RSS
2k / T
T X (ln T )

Hasil dari uji kelambanan optimal VAR


nampak dalam Tabel 4. Tanda (*) bintang
menunjukkan rekomendasi kelambanan (lag)
dari masing-masing kriteria statistik yang
dipakai. Dari hasil perhitungan diperoleh
hasil bahwa empat dari lima kriteria pengujian kelambanan optimal di atas (LR, FPE,
AIC, dan HQ) menunjukkan lag optimal
sebesar tiga kuartal dan hanya satu dari
kriteria yaitu SC yang menyarankan dua
kuartal. Dengan hasil ini maka kelambanan

Tabel 4. Hasil Uji Kelambanan Optimal Var


VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: M2 INF R XR Y
Exogenous variables: C
Date: 11/23/07 Time: 10:12
Sample: 1997:1 2006:4
Included observations: 33
Lag
LogL
LR
0
256.0274
NA
1
403.8607
241.9091
2
468.0934
85.64361
3
510.4817
43.67280*
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion

FPE
1.70E-13
1.01E-16
1.05E-17
5.01E-18*

AIC
-15.21378
-22.65823
-25.03597
-26.08980*

SC
-14.98704
-21.29776
-22.54179*
-22.46191

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

130

Hasil Estimasi Var

variabel memiliki nilai koefisien determinasi


di atas 84 persen, artinya sebanyak lebih dari
84 persen variasi variabel independen mampu menjelaskan variabel dependennya.

Setelah dilakukan uji akar unit, uji derajat


integrasi dan uji kelambanan optimal, berikutnya dilakukan estimasi dengan metode
VAR untuk melihat estimasi jangka panjangnya. Hasil estimasi model VAR selengkapnya disajikan pada Tabel 5. Keseluruhan

Pengujian parsial dengan uji-t diketahui


memiliki 3 (tiga) hubungan antarvariabel
yang lolos uji-t, yaitu M2(-1)M2, InfY(1), InfY(-2), InfY(-3), RR(-3), R
Y(-3), XR R(-3), YY(-2), YY(-3),
Y R(-1), Y(R-3), YY(-3). Dari hasil

(lag) optimal yang disarankan dipakai dalam


model VAR adalah sebesar 3 kuartal.

Tabel 5. Hasil Perhitungan VAR


Vector Autoregression Estimates
Date: 11/23/07 Time: 10:18
Sample(adjusted): 1998:4 2006:4
Included observations: 33 after adjusting endpoints
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
M2

INF

XR

M2(-1)

0.783374
(0.37096)
[ 2.11176]

1.844524
(1.29575)
[ 1.42351]

0.251858
(0.27842)
[ 0.90460]

-0.468354
(0.69119)
[-0.67761]

0.044517
(0.37265)
[ 0.11946]

M2(-2)

0.101779
(0.45664)
[ 0.22288]

-2.377601
(1.59505)
[-1.49061]

-0.153366
(0.34273)
[-0.44748]

1.043349
(0.85084)
[ 1.22626]

0.678514
(0.45873)
[ 1.47913]

M2(-3)

-0.105720
(0.32894)
[-0.32140]

-1.172032
(1.14898)
[-1.02006]

-0.384822
(0.24688)
[-1.55873]

-0.423674
(0.61289)
[-0.69127]

0.555252
(0.33044)
[ 1.68035]

INF(-1)

0.016692
(0.05924)
[ 0.28175]

0.597428
(0.20694)
[ 2.88695]

0.044956
(0.04447)
[ 1.01104]

-0.057750
(0.11039)
[-0.52316]

0.016844
(0.05951)
[ 0.28302]

INF(-2)

-0.011220
(0.06488)
[-0.17294]

-0.438280
(0.22663)
[-1.93391]

0.007151
(0.04870)
[ 0.14686]

0.005899
(0.12089)
[ 0.04880]

-0.028079
(0.06518)
[-0.43082]

INF(-3)

0.026202
(0.04825)
[ 0.54307]

0.155418
(0.16853)
[ 0.92221]

-0.050401
(0.03621)
[-1.39185]

-0.001466
(0.08990)
[-0.01630]

-0.039886
(0.04847)
[-0.82294]

R(-1)

-0.035488
(0.27803)
[-0.12764]

0.583482
(0.97115)
[ 0.60081]

-0.047829
(0.20867)
[-0.22920]

-0.044903
(0.51804)
[-0.08668]

1.039238
(0.27930)
[ 3.72091]

R(-2)

-0.078593
(0.38304)
[-0.20518]

-1.580649
(1.33797)
[-1.18138]

0.389580
(0.28749)
[ 1.35511]

0.849796
(0.71371)
[ 1.19068]

-0.308423
(0.38479)
[-0.80153]

Etty Puji Lestari - Dampak Ketidakstabilan Nilai Tukar Rupiah

131

R(-3)

-0.001224
(0.29013)
[-0.00422]

1.600961
(1.01341)
[ 1.57978]

0.575622
(0.21775)
[ 2.64349]

-1.621212
(0.54057)
[-2.99905]

-0.945592
(0.29145)
[-3.24446]

XR(-1)

-0.176861
(0.18946)
[-0.93351]

-0.173906
(0.66178)
[-0.26279]

0.139247
(0.14220)
[ 0.97926]

0.569632
(0.35301)
[ 1.61365]

0.119205
(0.19032)
[ 0.62633]

XR(-2)

0.054334
(0.20502)
[ 0.26503]

0.982400
(0.71612)
[ 1.37184]

0.074591
(0.15387)
[ 0.48476]

-0.322684
(0.38199)
[-0.84473]

-0.381226
(0.20595)
[-1.85106]

XR(-3)

0.017595
(0.13497)
[ 0.13037]

-0.197403
(0.47143)
[-0.41873]

0.137369
(0.10130)
[ 1.35609]

0.047209
(0.25147)
[ 0.18773]

0.026610
(0.13558)
[ 0.19627]

Y(-1)

0.237431
(0.23503)
[ 1.01022]

2.356010
(0.82096)
[ 2.86984]

-0.063190
(0.17640)
[-0.35822]

-0.535039
(0.43792)
[-1.22178]

0.409370
(0.23610)
[ 1.73388]

Y(-2)

-0.103522
(0.30269)
[-0.34200]

-2.557144
(1.05730)
[-2.41856]

0.018346
(0.22718)
[ 0.08075]

1.142768
(0.56399)
[ 2.02622]

0.390319
(0.30407)
[ 1.28364]

Y(-3)

-0.001688
(0.15802)
[-0.01068]

1.416462
(0.55198)
[ 2.56615]

0.243388
(0.11860)
[ 2.05211]

-0.900841
(0.29444)
[-3.05952]

-0.699599
(0.15875)
[-4.40706]

1.796884
(1.74706)
[ 1.02852]
0.990984
0.983029
0.003030
0.013350
124.5714
106.5544
-5.488144
-4.762565
14.94122
0.102480

5.118083
(6.10247)
[ 0.83869]
0.930770
0.869685
0.036968
0.046633
15.23727
65.27937
-2.986628
-2.261049
0.102758
0.129179

-0.023133
(1.31124)
[-0.01764]
0.979846
0.962063
0.001707
0.010020
55.09962
116.0241
-6.062068
-5.336488
0.185773
0.051444

4.989832
(3.25520)
[ 1.53288]
0.846529
0.711114
0.010519
0.024875
6.251360
86.01784
-4.243506
-3.517926
3.953862
0.046281

-4.886436
(1.75502)
[-2.78425]
0.996698
0.993785
0.003058
0.013411
342.1365
106.4043
-5.479048
-4.753469
14.67097
0.170120

R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent

Determinant Residual Covariance


Log Likelihood (d.f. adjusted)
Akaike Information Criteria
Schwarz Criteria

6.94E-19
455.7600
-22.77333
-19.14543

Sumber : Data diolah


Keterangan:
- Angka dalam kurung menunjukkan nilai t-stat.
- Tanda * menunjukan signifikan pada derajat 5%.

tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa


tidak ditemukan hubungan kausalitas dua
arah di antara kelima variabel tersebut.

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

132

Pengujian Impulse Response dari Var


Impulse Response Function menggambarkan
respon dari setiap variabel terhadap struktural inovasi variabel lainnya dalam model
pada periode waktu bersamaan. Estimasi
impulse response dapat dilihat pada masa
sekarang dan diwaktu yang akan datang.
Berdasarkan gambar 2 dapat dilihat
bahwa respon variabel M2 terhadap inflasi
adalah ketika ada shock dari kenaikkan
inflasi maka dampaknya terhadap permintaan
uang M2 mula-mula mengalami penurunan
pada kuartal ke-2 kemudian naik dan
mencapai titik tertingginya pada kuartal ke-4
setelah itu turun dan stabil setelah kuartal ke
10. Walaupun kenaikannya semakin lama
semakin besar sampai dengan periode kuartal
ke-10 namun kenaikan tersebut tidak mencapai titik keseimbangan.

Jika dilihat pada respon permintaan uang


M2 terhadap suku bunga maka ketika ada
kenaikkan suku bunga maka dampaknya
cukup fluktuatif (naik turun) dan mulai stabil
pada kuartal ke 11 walaupun tidak mencapai
titik keseimbangan. Sementara itu respon M2
terhadap variabel kurs adalah ketika ada
shock kenaikan nilai tukar maka dampaknya
akan mengalami penurunan permintaan uang
M2 yang besarannya cukup fluktuatif dan
mulai stabil setelah kuartal ke-8.
Dari gambar 2 tersebut juga dapat dilihat
bahwa respon variabel permintaan uang M2
terhadap pendapatan nasional adalah apabila
ada kenaikan shock dari variabel pendapatan
nasional maka akan berdampak terhadap
peningkatan permintaan uang M2 yang
besarannya cukup fluktuatif. Pergerakan ini
mulai stabil pada kuartal ke 8.

Response to Cholesk y One S.D. Innovations 2 S.E.


Response of M 2 to INF

Response of M2 to R

.008

.008

.004

.004

.000

.000

-.004

-.004

-.008

-.008
2

10

12

14

16

18

20

Response of M2 to XR

10

12

14

16

18

20

16

18

20

Response of M2 to Y

.008

.008

.004

.004

.000

.000

-.004

-.004

-.008

-.008
2

10

12

14

16

18

20

Gambar 2. Impulse Response dari VAR

10

12

14

Etty Puji Lestari - Dampak Ketidakstabilan Nilai Tukar Rupiah


Variance Decomposition dari M2
Dari hasil analisis diketahui bahwa kontribusi shock variabel inflasi terhadap permintaan uang M2 mula-mula hanya sebesar 5,12
persen pada kuartal ke-2 setelah itu mengalami kenaikan dan mencapai titik tertingginya
pada kuartal ke-5 sebesar 52,26 persen
setelah itu kontribusinya mengalami keadaan
yang fluktuatif dan setelah kuartal ke-12
kondisinya cenderung menurun. Kontribusi
shock variabel tingkat bunga terhadap
permintaan uang M2 sebesar 43,73 persen,
setelah itu kontribusinya selalu mengalami
penurunan, sampai dengan periode kuartal
ke-20 kontribusinya menjadi sebesar 15,8
persen.
Kontribusi shock variabel nilai tukar
terhadap permintaan uang M2 sebesar 0,55
persen, setelah itu kontribusinya selalu
mengalami kenaikan. Sampai dengan periode

133

kuartal ke-10 kontribusinya sebesar 1,13


persen namun terus mengalami penurunan.
Kontribusi shock variabel pendapatan nasional terhadap permintaan uang M2 sebesar
2,05 persen pada kuartal kedua, setelah itu
kontribusinya selalu mengalami kenaikan,
sampai dengan periode kuartal ke-20
kontribusinya menjadi sebesar 5,42 persen.
Estimasi Model ADL ECM
Nilai ECT yang diperoleh dari hasil estimasi
dengan metode kemungkinan terbesar (maximum likelihood methods) periode 1997.1.2006.4 seperti terlihat dalam persamaan 20.
ECTt-1 = M2t-1 0.992216 Yt-1
.(20)

0.102853 XRt-1

Setelah didapatkan nilai ECT-nya selan-

Tabel 6. Variance Decomposition dari M2


Period

S.E.

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

0.013350
0.015438
0.018161
0.019645
0.021823
0.024060
0.025671
0.027307
0.028899
0.030400
0.032042
0.033581
0.035130
0.036721
0.038253
0.039796
0.041324
0.042813
0.044307
0.045776

M2

INF

100.0000
0.000000
0.000000
97.31852
0.051243
0.020625
94.96562
0.044148
0.437314
93.94593
0.500858
0.380871
93.44062
0.522639
0.331059
93.67414
0.430552
0.287892
93.65795
0.393043
0.253987
93.39646
0.365960
0.237812
93.30018
0.398452
0.215920
93.11123
0.436917
0.196797
93.02633
0.434180
0.195401
93.00438
0.441786
0.185527
92.95221
0.441626
0.182093
92.95073
0.433587
0.181513
92.96421
0.430030
0.175938
92.96678
0.420388
0.173802
92.98871
0.412407
0.170359
92.99650
0.407306
0.165528
93.00097
0.401069
0.162298
93.00743
0.397324
0.158005
Cholesky Ordering: M2 INF R XR Y

XR

0.000000
0.557130
0.444897
0.508195
0.616973
0.612195
0.849843
1.004539
1.068344
1.139797
1.128380
1.119366
1.111660
1.082086
1.065414
1.048806
1.032688
1.026657
1.019942
1.016614

0.000000
2.052477
4.108023
4.664150
5.088714
4.995224
4.845173
4.995226
5.017104
5.115263
5.215709
5.248945
5.312411
5.352081
5.364405
5.390225
5.395835
5.404008
5.415724
5.420625

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

134

jutnya dilakukan estimasi ADL ECM dengan


simulasi pertama yaitu memasukkan ECT
tetapi tanpa variabel kurs, sehingga didapatkan hasil seperti pada persamaan 21.

DM2 = 0.067259 DY + 0.004331 DINF +


(0.624268)
(1.004939)

DM2 = - 0.002147 ECTt-1 + 0.068736 DY +


(-0.042568)
(0.599131)

R2 = 0.530;

0.004333 DINF - 0.145937DR


(0.143676)
(0.990927)
..(21)
R2 = 0.530476; DW = 1.615692;
JB(2) = 2.0294
Angka koreksi kesalahan (error correction term) atau ECTt-1 memiliki koefisien
yang negatif yang menunjukkan adanya
penyesuaian menuju keseimbangan jangka
panjang (long run equilibrium) dengan nilai
t-statistik yang tidak signifikan. Koefisien
ECT lebih kecil dari keseluruhan koefisien
masing-masing variabel. Hal ini menunjukkan kecepatan penyesuaian menuju keseimbangan jangka panjang lebih rendah dari
kecepatan penyesuaian pendapatan nasional
(DY), inflasi (DINF) dan suku bunga (DR).
Tanda pada regressor sesuai dengan
hipotesis dimana pendapatan nasional (LYR)
memiliki tanda positif. Tingkat inflasi
alamiah (rate of inflation naturally) memiliki
koefisien positif yang dampaknya akan
menambah tingkat keseimbangan permintaan
uang M2 di Indonesia ketika terjadi tingkat
inflasi yang meningkat.
Simulasi yang kedua adalah dengan
menghilangkan ECT dan variabel kurs,
didapatkan hasil estimasi seperti disajikan
pada persamaan 22.

0.145596DIR
(0.145767)

(22)

DW = 1.61

Dari hasil estimasi di atas, dapat disimpulkan bahwa ketidakseimbangan jangka


pendek (short run disequilibrium) tidak berpengaruh pada angka koefisien yang diestimasi ketika kecepatan penyesuaian menuju
keseimbangan jangka panjang kecil (bisa
dilihat angka koefisien ECT pada simulasi 1
di atas yang sebesar -0.002). Hal ini bisa
ditunjukkan koefisien pendapatan nasional
berubah dari 0.068 menjadi 0.067, koefisien
inflasi tidak berubah (0.00433) dan variabel
suku bunga berubah dari 0.145 menjadi
0.146.
Simulasi yang ketiga adalah dengan
memasukkan ECT dan variabel kelambanan
kurs, didapatkan hasil estimasi sebagai
berikut:
DM2 = - 0.008258 ECT + 0.079827 DY +
(-0.202947)

(0.862622)

0.218982 DXR + 0.012486 DINF


(4.331162)

-0.015018DR

(0.511945)

.(23)

(0.122563)

R2 =0.035;

DW = 1.23

Dari hasil estimasi tersebut, ditemukan


bahwa nilai koefisien yang diestimasi tidak
berubah banyak dari hasil estimasi mulamula. Nilai kelambanan dari variabel kurs
DXR signifikan. Hal ini menunjukkan

Etty Puji Lestari - Dampak Ketidakstabilan Nilai Tukar Rupiah


masyarakat akan melakukan keseimbangan
portofolionya dalam mengalokasikan asetasetnya utamanya dalam bentuk aset-aset luar
negeri (terutama dollar).
Dari hasil estimasi di atas diakui bahwa
kemampuan nilai tukar atau kurs dalam menjelaskan variasi ketidakseimbangan jangka
pendek permintaan uang tidaklah terlalu
efektif karena model ECM nya sendiri tidak
memberikan hasil yang signifikan. Kesimpulan ini sama dengan yang dikemukakan
oleh Baba, et.al (1992) dan Morimune dan
Zhao (1997). Hubungan antara nilai tukar
dan jumlah uang beredar tergantung pada
harapan (expectation) pemegang uang
sehingga sulit untuk mempertahankan hubungan yang stabil antara nilai tukar dan
permintaan uang M2.
Dalam kondisi semacam ini, masyarakat
Indonesia pada periode penelitian cenderung
berpendapat bahwa memegang uang bukan
hanya untuk tujuan transaksi, tetapi lebih
kepada tujuan untuk berjaga-jaga, bahkan
tidak tertutup kemungkinan untuk motif
spekulasi. Selama masa krisis ini, mata uang
asing khususnya dolar menjadi salah satu alat
bagi para pelaku ekonomi untuk menimbun
kekayaan bahkan mampu meningkatkan nilai
atau harga assetnya (kekayaan) terutama bagi
para spekulan.

KESIMPULAN
Dari hasil analisis dapat ditarik tiga kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat kondisi non stasionaritas terhadap data time series (runtun waktu)
dalam periode penelitian sehingga
menyebabkan stabilitas ekonomi makro
sulit dicapai.

135

2. Kecepatan penyesuaian menuju keseimbangan di antara variabel-variabel permintaan uang riil, pendapatan nasional,
kurs, inflasi dan suku bunga membutuhkan waktu tiga kuartal dan tidak ditemukan hubungan kausalitas dua arah di
antara kelima variabel yang dipakai
dalam penelitian. Sementara itu dari
impulse response diketahui bahwa respon
variabel M2 terhadap empat variabel
lainnya sangat fluktuatif terutama ketika
variabel lain mengalami shock, namun
kondisi ini pada akhirnya akan kembali
stabil.
3. Hubungan antara nilai tukar dan jumlah
uang beredar di Indonesia selama periode
pengamatan tergantung pada harapan
(expectation) pemegang uang sehingga
sulit untuk mempertahankan hubungan
yang stabil antara nilai tukar dan permintaan uang M2. Masyarakat Indonesia
cenderung berpendapat bahwa memegang uang bukan hanya untuk tujuan
transaksi, tetapi lebih kepada tujuan
untuk berjaga-jaga, bahkan tidak tertutup
kemungkinan untuk motif spekulasi.
Dua kebijakan yang direkomendasikan
antara lain pertama, otoritas moneter diharapkan mampu mengontrol keberadaan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
uang termasuk kurs, inflasi, suku bunga dan
pendapatan nasional. Hal ini dilakukan agar
pertumbuhan permintaan uang dapat dilakukan dengan stabil. Saran kedua, strategi
dengan target nilai kurs layak dipertimbangkan terutama pada kondisi ketidakstabilan
permintaan uang yang diakibatkan oleh
adanya kurs yang sangat fluktuatif. Target
nilai kurs merupakan target yang sederhana.
Untuk itu keberadaan Bank Sentral dibutuhkan untuk mempertahankan nilai tukar

136

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

yang tetap agar mata uang dari negara yang


banyak melakukan perdagangan (baskets of
trading partner currencies) terjaga tingkat
kestabilannya.

DAFTAR PUSTAKA
Baba, Y., D.F. Hendry, dan R.M. Starr, 1992,
The Demand for M1 in the USA, 19601988. Review Economic Studies. 59. 2561.
Badan Pusat Statistik. 2003. Indikator Ekonomi. www.bps.go.id
Bank Indonesia. 1997. Laporan Tahunan
Bank Indonesia. www.bi.go.id
Bank Indonesia. 1999. Laporan Tahunan
Bank Indonesia. www.bi.go.id
Dickey, D.P., dan W.A., Fuller. 1981. Likelihood Ratio Statistics for Autoregressive Time Series with a Unit Root.
Econometrica (Journal). 49. 1057
1072.
Domowitz, I, dan Elbadawi. 1987. An Error
Correction Approach to Money Demand: The Case of Sudan. Journal of
Development Economics. 25.257-275.
Dutton, D.S dan Gramm, W.P. 1973. Transaction Cost, The Wage Rate dan The
Demand for Money. American Economic Review. No. 63, 652-665

Greene, W.H. 2000. Econometric Analysis.


Fourth Edition. Prentice Hall
Gujarati, D., 2003. Basic Econometric. Fifth
Edition. New Jersey: McGraw-Hill, Inc.
Handoyo, R.D. (2002). Permintaan Uang M1
Asean-4, Singapura, Thailand, Malaysia
dan Indonesia, 1980.11999.4, Estimasi
Data Non Stasioner. Tesis. Universitas
Gadjah Mada, tidak dipublikasikan.
Hendry, D., dan Ericson N. 1991. Econometric Analysis U.K. Money Demand in
Monetary Trends in the United States
and the United Kingdom. The American
Economic Review. 81. 1-80.
Insukindro. 1991. Regresi Linier Lancung
dalam Analisis Ekonomi: Suatu tinjauan
dengan Studi Kasus Indonesia. Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia. 18-23.
Insukindro. 1998. Sindrum R2 dalam Analisis
Regresi Linier Runtun Waktu. Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia. 7, 1-17
Morimune, K dan Zhao,G.Q. 1997. Non Stationary Estimation of the Japanese
Money Demand Function. Journal of
Economic Research. 2.1-28
Wickens, M.R., dan Brusch T.S.1988. The
Dynamics Specification, The Long-run
and Estimation of Transformed Regression Models. Economic Journal. 98.
(Suplemen). 189-205.

Jurnal Ekonomi Pembangunan


Vol. 9, No. 2, Desember 2008, hal. 137 - 155

ANALISIS PERANAN SEKTOR INDUSTRI TERHADAP


PEREKONOMIAN JAWA TENGAH TAHUN 2000 DAN TAHUN 2004
(ANALISIS INPUT OUTPUT)
Didit Purnomo 1
Devi Istiqomah 1
1

Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta


E-mail: didiet_p@yahoo.com

ABSTRACT
This research aim to analyse role of industrial sector to other economy sectors in
Central Java and the role in Central Java economy. Research method, which
applied that, is Input Output Analysis Model (Analysis I-O), accompanied by
analysis of role of production sector and output creator of Central Java economy,
backward and forward linkage index analysis, and key sector analysis. Data which
used that is I-O table of Central Java year 2000 and year 2004 with classification
19 sector is obtained from Central Java BPS. Research result indicate that
industrial sector role is seen enough dominant in Central Java economy in the year
2000 and 2004. From the result, author suggests government so that more give
priority to industrial sectors that become key sector in Central Java in the year
2000 and 2004.
Keywords: backward and forward linkage, key sector
PENDAHULUAN
Sejak terjadinya krisis ekonomi yang mulai
dirasakan sejak bulan Juni 1997, membuat
pembangunan ekonomi di Indonesia mengalami stagnasi, bahkan di beberapa bidang
mengalami kemunduran. Dalam menghadapi
era globalisasi dan perdagangan bebas,
Indonesia dituntut untuk siap bersaing
dengan negara-negara lain. Agar bisa bersaing dengan negara lain, sebelumnya
Indonesia harus memantapkan terlebih
dahulu perekonomian yang goncang akibat
krisis multidimensi yang berkepanjangan.
Fundamental perekonomian yang kuat akan
meningkatkan kesiapan pemerintah dalam
menghadapi era globalisasi. Pembangunan

ekonomi secara nasional tidak bisa terlepas


dari pembangunan ekonomi secara regional.
Pada hakekatnya pembangunan regional
merupakan pelaksanaan dari pembangunan
nasional pada wilayah tertentu yang disesuaikan dengan kemampuan fisik, sosial ekonomi
regional tersebut, serta harus tunduk pada
peraturan tertentu. Demi keberhasilan pembangunan ekonomi regional itulah, maka
pemerintah memberlakukan otonomi daerah.
Otonomi daerah merupakan kewenangan
daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat. Ini karena daerah akan diberi
peran yang lebih besar melalui penyerahan

138

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

semua urusan pemerintahan serta sumbersumber keuangannya, kecuali kewenangan


dalam politik politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama dan perencanaan sosial. Ketidakmampuan keuangan pusat akibat krisis ekonomi,
mengakibatkan daerah diberikan wewenang
untuk mencari sumber-sumber pendapatan
dan mengurus kebutuhan sendiri agar beban
pusat menjadi berkurang.
Menurut Kamaluddin (1987:46), maksud
dan tujuan yang hakiki dari otonomi daerah
dan desentralisasi daerah adalah:
1. Mengurangi beban pemerintah pusat dan
campurtangannya tentang masalah-masalah tingkat lokal atau daerah di samping
itu memberi peluang untuk koordinasi
pelaksanaan pada tingkat lokal tersebut.
2. Meningkatkan pengertian serta dukungan
pusat dalam kebutuhan usaha pembangunan daerah.
3. Penyusunan program-program pembangunan untuk perbaikan dan penyempurnaan sosial ekonomi pada tingkat lokal
akan menjadi realistis.
4. Melatih dan mengajar masyarakat untuk
bisa mengatur dan mengatur rumah
tangganya.
5. Terciptanya pembinaan dan pengembangan daerah dalam rangka kesatuan
nasional.
Di era otonomi daerah ini setiap wilayah
atau daerah dituntut untuk bisa mencari,
mengelola dan mengidentifikasi kemampuan
daerah bersangkutan. Untuk itu perlu adanya
perencanaan pembangunan yang tepat
dengan memperhatikan potensi ekonomi
yang dimilikinya.
Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah
tahun 2005 yang ditunjukkan oleh laju per-

tumbuhan Produk Domestik Regional Bruto


(PDRB) atas dasar harga konstan 2000,
semakin membaik dari tahun sebelumnya,
yaitu 5,35 persen (2004 = 5,13%). Hal cukup
beralasan mengingat kondisi perekonomian

relatif terus membaik selama tahun 2001


sampai tahun 2005.
Sedangkan, saat ini perekonomian Provinsi Jawa Tengah terus mengalami pertumbuhan, yaitu pada tahun 2003 (4,98 persen),
tahun 2004 (5,13 persen) dan tahun 2005
(5,43 persen). Pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah mengandalkan berbagai
sektor antara lain Pertanian (5,33 persen),
Pertambangan (2,73 persen), Industri (6,41
persen), Listrik, Gas, dan Air Bersih (8,65
persen), Gedung (7,84 persen), Perdagangan,
Hotel, dan Restoran (2,63 persen), Transportasi dan Komunikasi (4,67 persen),
Keuangan (2,67 persen), dan Jasa (5,58
persen). Sebagai cara untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi yang signifikan,
menciptakan lapangan kerja, mengurangi
kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan
penduduk, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa
Tengah mentargetkan komposisi investasi
dari Pemerintah Daerah sebesar 25 persen
dan investasi swasta sebesar 75 persen (BPS
Jawa Tengah, 2006).
Untuk mencapai tujuan dan sasaran
pembangunan dan daerah, khususnya pembangunan ekonomi di Jawa Tengah dan untuk
dapat memanfaatkan sumberdaya ekonomi
daerah secara optimal, maka pembangunan
daerah dapat disusun menurut tujuan antar
sektor. Perencanaan sektoral dimaksudkan
untuk pengembangan sektor-sektor tertentu
disesuaikan dengan keadaan dan potensi
masing-masing sektor dan juga tujuan pembangunan yang ingin dicapai.

Didit dan Devi Analisis Peranan Sektor Industri

139

Dengan menggunakan Tabel InputOutput (I-O) Jawa Tengah tahun 2000 dan
2004 akan dijabarkan sektor-sektor yang
menjadi sektor industri di Jawa Tengah.
Selanjutnya diharapkan dapat dipakai sebagai
informasi yang komprehensif agar tepat guna
dan tepat sasaran bagi perekonomian Jawa
Tengah.

sangat penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi itu sendiri


bukan tujuan akhir, melainkan hanya
merupakan salah satu strategi yang harus
ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna mancapai tingkat
pendapatan perkapita yang tinggi (Tambunan, 2001)

Pembangunan ekonomi daerah adalah


suatu proses dimana pemerintah daerah
mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada
membentuk suatu pola kemitraan antara
pemerintah daerah dengan sektor swasta
untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru
dan merangsang perkembangan kegiatan
ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam
wilayah tersebut (Arsyad, 1999)

Industri mempunyai peranan sebagai


sektor pemimpin maksudnya dengan adanya
pembangunan industri maka akan memacu
dan mengangkat pembangunan sektor-sektor
lainnya seperti sektor pertanian dan jasa.
Sebagai misal pertumbuhan sektor industri
yang pesat akan merangsang pertumbuhan
sektor pertanian untuk menyediakan bahanbahan baku bagi suatu industri. Dengan
adanya industri tersebut memungkinkan juga
berkembangnya sektor jasa.

Untuk mempercepat pengembangan perekonomian daerah, maka perlu memperbesar


penanaman investasi pada lapangan usaha
yang memiliki keterkaitan yang besar
terhadap lapangan usaha lainnya. Dengan
demikian akan dapat mendorong lapangan
usaha lainnya yang mendukung lapangan
usaha yang dijadikan kunci atau leading
tersebut, sehingga akan bisa meningkatkan
produksi regional secara keseluruhan melalui
dampak multipliernya. (Ropingi dan Dany
Artanto, 2002).
Industrialisasi merupakan suatu proses
interaksi antara pengembangan teknologi,
inovasi spesialisasi, dalam produksi dan
perdagangan antarnegara yang pada akhirnya
sejalan dengan peningkatan pendapatan
perkapita mendorong perubahan struktur
ekonomi. Industrialisasi sering juga diartikan
sebagai suatu proses modernisasi ekonomi
yang mencakup semua sektor ekonomi yang
mencakup semua ekonomi yang ada yang
terkait langsung maupun tidak langsung
dengan industri manufaktur. Walaupun

Menurut Hirschman, pertumbuhan yang


cepat dari satu atau beberapa industri mendorong perluasan industri-industri lainnya
yang terkait dengan sektor industri yang
tumbuh lebih dulu. Dalam sektor produksi
mekanisme pendorong pembangunan (inducement mechanisme) yang tercipta sebagai
akibat dari adanya hubungan antara berbagai
industri dalam menyediakan barang-barang
yang digunakan sebagai bahan mentah bagi
industri lainnya, dibedakan menjadi dua
macam yaitu pengaruh keterkaitan ke belakang (backward linkage effect) dan pengaruh keterkaitan ke depan (forward linkage
effect). Pengaruh keterkaitan ke belakang
maksudnya tingkat rangsangan yang diciptakan oleh pembangunan suatu industri terhadap perkembangan industri lainnya. Sedangkan pengaruh keterkaitan ke depan adalah
tingkat rangsangan yang dihasilkan oleh industri yang pertama bagi input mereka
(Arsyad, 1999).

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

140

METODE PENELITIAN
Data dan Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder yaitu Tabel Input
Output perekonomian Jawa Tengah tahun
2000 dan Tahun 2004. Tabel input output
disajikan dalam bentuk matriks yang
diklasifikasikan menjadi 19 sektor perekonomian. Data tabel input output perekonomian
Jawa Tengah tahun 2000 dan tahun 2004
diperoleh dari Badan Pusat Statistik Jawa
Tengah dan dari instansi terkait lainnya.
Metode dan Alat Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Model Input-Output.
Model input-output pertama kali dikembangkan oleh Wassily Leontief pada tahun 1930an. Idenya sangat sederhana namun mampu
menjadi salah satu alat analisis yang ampuh
dalam melihat hubungan antarsektor dalam
perekonomian (Nazara, 1997:48). Komponen
yang paling penting dalam analisis input output adalah inverse matriks tabel input output,
yang sering disebut sebagai inverse Leontif
(Miller, 1999:15). Matriks ini mengandung
informasi penting tentang bagaimana kenaikan produksi dari suatu sektor (industri) akan
menyebabkan berkembangnya sektor-sektor
lainnya. Matriks kebalikan Leontif merangkum seluruh dampak dari perubahan produksi suatu sektor terhadap total produksi sektorsektor lainya ke dalam koefisien-koefisien
yang disebut sebagai multiplier (ij). Multiplier ini adalah angka-angka yang terlihat di
dalam matriks (1-A)-1. Adapun analisis yang
akan dihitung dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:

a. Analisis Keterkaitan ke Depan.


b. Analisis Keterkaitan ke Belakang.
c. Analisis Sektor Kunci Menggunakan
Forward dan Backward Process.
Konsep Dasar Input Output
Jhingan (1996:751) menyebutkan bahwa
analisis input output juga merupakan variasi
terbaik keseimbangan umum yang mempunyai tiga unsur utama. Pertama, melalui
analisis input output memusatkan perhatiannya pada perekonomian dalam keadaan
seimbang. Kedua, tidak memusatkan perhatian pada analisis permintaan tetapi masalah
teknis produksi. Ketiga, analisis ini didasarkan pada penelitian empiris.
Ada beberapa manfaat yang dapat
diperoleh dari penggunaan model input
output. Pertama, melalui model ini dapat
diperkirakan dampak permintaan akhir terhadap output, nilai tambah, impor, penerimaan
pajak dan kesempatan kerja yang ditawarkan
diberbagai sektor produksi yang ada. Kedua,
sektor-sektor yang pengaruhnya paling
dominan terhadap pertumbuhan ekonomi dan
sektor-sektor yang paling peka terhadap
perekonomian dapat diketahui melalui analisis input output. Ketiga, model input output
juga dapat digunakan untuk melihat komposisi penyediaan dan penggunaan barang dan
jasa, terutama dalam analisis terhadap
kebutuhan impor dan kemungkinan subtitusinya. Keempat, dengan menggunakan model
ini dapat dilihat konsistensi dan kelemahan
berbagai data statistik yang pada gilirannya
dapat dijadikan sebagai landasan perbaikan,
penyempurnaan dan pengembangan lebih
lanjut. Kelima, penyusunan proyeksi variabel-variabel ekonomi makro dapat dilakukan
dengan memanfaatkan model input output.
Keenam, model ini berguna dalam mengana-

Didit dan Devi Analisis Peranan Sektor Industri

141
bahwa total efek dari kegiatan produksi
di berbagai sektor merupakan penjumlahan dari efek pada masing- masing
kegiatan.

lisis perubahan harga yang dapat ditinjau dari


pengaruh secara langsung dan tidak langsung
dalam perubahan harga input terhadap harga
output (Tabel Input Output Indonesia,
2000:5).

Berdasarkan asumsi tersebut, maka tabel


input output sebagai model kuantitatif memiliki keterbatasan, yaitu bahwa koefisien input
atau koefisien teknis diasumsikan tetap
(konstan) sepanjang periode analisis atau
proyeksi. Maka produsen tidak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau
mengubah proses produksi. Karena koefisien
teknis dianggap konstan, maka teknologi
yang digunakan oleh sektor-sektor ekonomi
dalam proses produksi pun dianggap konstan.
Akibatnya perubahan kuantitas dan harga
input akan selalu sebanding dengan perubahan kuantitas dan harga output. Walaupun
mengandung keterbatasan, model input ouput
tetap merupakan alat analisis ekonomi yang
lengkap dan komprehensip (Tabel I-O
Indonesia, 2000:3).

Suatu tabel input output menyajikan


informasi tentang transaksi barang dan jasa
yang terjadi pada semua sektor yang ada
dalam perekonomian, dengan bentuk penyajian berupa matriks. Dalam suatu Tabel Input
Ouput yang bersifat terbuka dan statis,
transaksi yang digunakan dalam penyusunan
tabel input output harus memenuhi tiga
asumsi dasar, yaitu (Tabel Input Output
Indonesia, 2000:3):
1. Keseragaman (homogeneity), yaitu asumsi bahwa setiap sektor ekonomi hanya
memproduksi satu jenis barang dan jasa
dengan susunan input tunggal (seragam)
dan tidak ada subtitusi otomatis terhadap
input dari sektor yang berbeda.
2. Kesebandingan (proportionality), yaitu
asumsi bahwa hubungan antara input dan
ouput pada setiap sektor produksi merupakan fungsi linier, artinya kenaikan dan
penurunan output suatu sektor akan
sebanding dengan kenaikan dan penurunan input dari sektor yang bersangkutan.

Pada Tabel 1 disajikan contoh Tabel I-O


untuk sistem perekonomian yang terdiri dari
tiga sektor produksi yaitu sektor 1, 2, dan 3.
Dari gambaran tersebut tampak bahwa
penyusunan angka-angka dalam bentuk
matriks memperlihatkan suatu jalinan yang
saling kait dari berbagai kegiatan antarsektor.
Sebagai ilustrasi dapat diamati proses

3. Penjumlahan (additivity), yaitu asumsi

Tabel 1. Bagan Tabel Input Output Sistem Perekonomian dengan Tiga Sektor Produksi
Permintaan Antara Sektor Produksi

Alokasi Output Input


Antara

Permintaan
Akhir

Jumlah
Output

X11

X12

X13

F1

X1

2
3

X22
X32
V2

X23
X33
V3

F2
F3

X2
X3

Input Primer

X21
X31
V1

Jumlah Input

X1

X2

X3

Input
Antara

Sektor
Produksi

142

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

pengalokasian output pada Tabel 1 Output


sektor 1 pada tabel tersebut adalah sebesar
X1 dan didistribusikan sepanjang baris
sebesar X11, X12, dan X13 masing-masing
untuk memenuhi permintaan antara sektor 1,
2, dan 3, sedangkan sisanya sebesar F1
digunakan untuk memenuhi permintaan
akhir.
Begitu juga dengan output sektor 2 dan 3
masing-masing sebesar X2 dan X3, dapat
dilihat dengan cara yang sama dalam proses
pengalokasian output sektor 1 (Tabel I-O
DKI Jakarta, 2000:65).

An1X1 + an2X2 + ... + anj Xj ... + ann Xn + Fn +


En = Xn + Mn
.(2)
Persamaan (2) disederhanakan ke dalam
persamaan matriks menjadi sebagai berikut:
Ax + F + E =X + M

.(3)

dimana

Cara Perhitungan
X11 + Xi2 + ... + X1j ... + X1n + F1 + E1 =
X1 + M1
X21 + X22 + ... + X2j ... + X2n + F2 + E2 =
X2 + M2
Xi1 + Xi2 + ... + Xij ... + Xin + Fi + Ei =
Xi + M3
.... .... ....
Xn1 + Xn2 + .... + XnJ + ... + Xnn + Fn + En =
Xn + Mn
.(1)
Di sini Xij adalah jumlah output sektor i
yang diminta sektor j sebagai input bagi
produksi output sektor j (permintaan antara),
Fi adalah permintaan akhir domestik terhadap
output sektor i, Ei adalah ekspor atau
permintaan akhir luar negeri atau daerah, Xi
adalah total sektor i dan Mi adalah jumlah
sektor i. Dengan mensubstitusikan Xij maka
persamaan (1) di atas akan menjadi:
a11X1 + a12X2 + ... + a1j Xj ... + a1n Xn + F1 +
E1 = X1 + M1 a21X1 + a22X2 + ... + a2j Xj ... +
a2n Xn + F2 + E2 = X2 + M2 ai1X1 + ai2 X2 + ...
+ aij Xj ... + ain Xn + Fi + Ei = Xi + Mi
.... .... ....

A disebut matriks koefisien teknologi, matrik


yang menunjukkan technological input structure antarsektor perekonomian aij dibaca
sebagai jumlah output sektor i yang dibutuhkan sektor j untuk memproduksi satu unit
output sektor j (Xij/Xj).
Persamaan (3) di atas adalah persamaan
identitas untuk analisis input output dengan
perlakuan impor secara kompetitif. Impor
setiap sektor ekonomi dianggap proporsional
terhadap tingkat konsumsi domestik terhadap
output sektor tersebut. Misalnya ditentukan
proporsi ini sebagai koefisien import, maka
koefisien suatu sektor ekonomi dapat dihitung sebagai berikut:
=

impor
permintaan antara + permintaan akhir

atau
=

ij

+F

sehingga i =

( X

ij

+F

Didit dan Devi Analisis Peranan Sektor Industri


Dengan demikian persamaan AX + F + E =
X + M dapat diubah menjadi:
X = AX + F + E AX F

..........(4)

Selanjutnya suku yang mengandung X


dipindahkan ke sebelah kiri tanda persamaan, menjadi:
X AX + AX = F F + E

..........(5)

[I (I ) A]X = (I ) F + E

.......(6)

(I A)-1 adalah invers matriks leontief, (I


A)-1 F adalah output yang disebabkan oleh
domestik (Final Demand) dan (I A)-1 E
adalah output yang disebabkan oleh ekspor
(Foreign Final Demand). Domestik Final
Demand biasanya terdiri dari elemen konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, dan investasi. Matriks Inverse Leontief
sering dilambangkan sebagai B, dengan elemen matriknya bij dibaca sebagai besarnya
output sektor i yang disebabkan oleh permintaan di sektor j sebesar satu unit.

Maka X dalam persamaan (4) di atas berubah


menjadi:

Analisis Data dengan Matriks Inverse


Leontief

X = [I (I )A]-1[(I )F + E]

1. Analisis Indeks Total Keterkaitan

...........(7)

X = [I (I )A]-1 adalah invers yang


digunakan dalam analisis seperti diketahui
dari persamaan (7) persamaan ini terbentuk
dari dua bagian:
X = [I (I )A]-1 (I )F, tanpa dengan
ekspor
..........(8)
X = [I (I )A]-1 E, hanya ekspor ... (9)
X = AX + F + E

.........(10)

Selanjutnya suku yang mengandung


matriks X dipindahkan ke sebelah kiri
tanda persamaan:
X AX = F + E

..........(11)

(I A)X = F + E

..........(12)

143

Indeks total keterkaitan digunakan sebagai


dasar perumusan strategi pembangunan ekonomi dengan melihat keterkaitan antar sektor
dalam suatu sistem perekonomian. Menurut
Rasmussen indeks total keterkaitan meliputi
indeks total keterkaitan ke belakang dan
indeks total keterkaitan ke depan. Indeks
total keterkaitan ke belakang suatu industri
atau suatu sektor menunjukkan hubungan
keterkaitan tentang pengaruh yang ditimbulkan oleh satu unit permintaan akhir pada
sektor tersebut terhadap total pembelian input
semua sektor di dalam suatu perekonomian.
Indeks total keterkaitan ke depan
menunjukkan hubungan keterkaitan tentang
pengaruh yang ditimbulkan oleh satu unit
permintaan akhir suatu sektor terhadap total
penjualan output semua sektor di dalam suatu
perekonomian.

Maka X dalam persamaan (4) berubah menjadi:

2. Indeks Total Keterkaitan ke Belakang

X = (I A)-1 (F + E)

Konsep ini diartikan sebagai kemampuan


suatu sektor untuk meningkatkan pertumbuhan industri hulunya. Indeks total keterkaitan

..........(13)

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

144

ke belakang disebut juga sebagai indeks daya


penyebaran (power of dispersion) yang digunakan untuk mengukur kaitan ke belakang.
Rumus untuk mencari nilai indeks total
keterkaitan ke belakang yaitu:

BL j =

FL i =

Xa

i =1
n n

ij

i =1 j=1

dimana:

b ij

FLi = indeks total keterkaitan ke depan


sektor i

i =1
n n

ij

ij

= unsur matriks kebalikan Leontief

i =1 j=1

dimana:
BLj = indeks total keterkaitan ke belakang
sektor j
ij =

unsur matriks kebalikan Leontief

Besaran BLj dapat mempunyai nilai sama


dengan 1, lebih besar 1 atau lebih kecil 1.
Bila BLj = 1 hal tersebut berarti bahwa daya
penyebaran sektor j sama dengan rata-rata
penyebaran seluruh sektor ekonomi. Bila BLj
> 1 hal tersebut berarti daya penyebaran
sektor j berada di atas rata-rata daya penyebaran seluruh sektor ekonomi. Sebaliknya,
bila BLj < 1 hal tersebut berarti bahwa daya
penyebaran sektor j lebih rendah dari ratarata daya penyebaran seluruh sektor ekonomi.
3. Indeks Total Keterkaitan ke Depan
Konsep ini diartikan sebagai kemampuan
suatu sektor untuk mendorong pertumbuhan
produksi sektor-sektor lain yang memakai
input dari sektor ini. Total keterkaitan ke
depan disebut juga sebagai indeks derajat
kepekaan (degree of sensitivity) yang digunakan untuk mengukur kaitan ke depan. Rumus
untuk mencari nilai indeks total keterkaitan
ke depan yaitu:

Nilai FLi dapat bernilai sama dengan 1, lebih


besar 1 atau lebih kecil 1. Bila FLi = 1 hal
tersebut berarti bahwa derajat kepekaan
sektor I sama dengan rata-rata derajat
kepekaan seluruh sektor ekonomi. Bila Fli >
1 hal tersebut berarti derajat kepekaan sektor
i lebih tinggi dari derajat kepekaan seluruh
sektor ekonomi. Sebaliknya, bila FLi < 1 hal
tersebut berarti bahwa derajat kepekaan
sektor i dibawah rata-rata derajat kepekaan
seluruh sektor ekonomi.
4. Analisis Sektor Kunci Menggunakan
Forward dan Backward Process
Dari analisis I-O dapat dilihat sektor-sektor
kunci yang memiliki backward linkages
(keterkaitan ke belakang) atau disebut juga
derajat kepekaan yang tinggi dan forward
linkages (keterkaitan ke depan) atau daya
sebar yang tinggi. Sektor yang mempunyai
daya penyebaran tinggi menunjukan sektor
tersebut mempunyai daya dorong yang cukup
kuat dibandingkan sektor lainnya. Sedangkan
sektor yang mempunyai derajat kepekaan
yang tinggi menunjukkan bahwa sektor
tersebut mempunyai ketergantungan yang
tinggi terhadap sektor lain. Sektor kunci
didefinisikan sebagai sektor yang memegang
peranan penting dalam menggerakkan roda
perekonomian dan ditentukan berdasarkan

Didit dan Devi Analisis Peranan Sektor Industri


indeks total keterkaitan ke belakang dan ke
depan. Sektor kunci adalah sektor yang
memiliki indeks total keterkaitan ke belakang
dan ke depan lebih besar dari satu.

HASIL PENELITIAN DAN


PEMBAHASAN
Hasil Analisis Indeks Keterkaitan Ke
Depan
Indeks total keterkaitan ke depan yang
memiliki nilai lebih besar dari satu menunjukkan bahwa sektor tersebut mempunyai
kemampuan yang kuat untuk mendorong
pertumbuhan output industri hilirnya atau
dengan kata lain kemampuan sektor tersebut
untuk mendorong pertumbuhan produksi
sektor-sektor lain yang memakai input dari
sektor ini. Output yang dihasilkan oleh sektor
tersebut merupakan komoditi intermedier,
dalam artian merupakan bahan baku bagi
industri-industri dan sektor-sektor perekonomian lainnya. Nilai tersebut juga menunjukkan besarnya peranan sektor industri tersebut
dalam mendorong pertumbuhan perekonomian di Jawa Tengah. Dari hasil olah data
tabel Input Output Jawa Tengah Tahun 2000
maka dapat diperoleh indeks derajat kepekaan atau indeks keterkaitan ke depan. Dalam

145

Tabel 2 menyajikan tujuh sektor yang memiliki nilai indeks total keterkaitan ke depan
terbesar berdasarkan tabel input output Jawa
Tengah Tahun 2000.
Dari hasil olahan data tabel input output
Jawa Tengah tahun 2000, sektor industri
lainnya memiliki nilai indeks paling besar
yaitu dengan nilai 3,14516. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa bila terjadi kenaikan
permintaan akhir atas sektor-sektor lain sebesar satu unit maka sektor industri lainnya
akan mengalami peningkatan output sebesar
3,14516 unit. sektor industri makanan,
minuman dan tembakau sebesar 1,24356,
sektor industri pengilangan minyak 1,00214.
Sedangkan sektor lainnya hanya pelengkap
yaitu sektor pertambangan dan penggalian
yang memiliki nilai indeks total keterkaitan
ke depan atau indeks daya kepekaan sebesar
1,40276, sektor perdagangan dengan nilai
1,26291, sektor lembaga keuangan, real
estate dan jasa perdagangan sebesar 1,06582
dan sektor pengangkutan dan komunikasi
sebesar 1,00164. Output yang dihasilkan oleh
sektor tersebut merupakan komoditi intermedier, dalam artian merupakan bahan baku
bagi industri-industri dan sektor-sektor perekonomian lainnya.

Tabel 2. Tujuh Sektor dengan Indeks Total Keterkaitan Ke Depan Terbesar Menurut Tabel Input
Output Tahun 2000
No

Kode I-O

Sektor

Indeks DK

1
2
3
4
5
6
7

9
7
13
8
16
10
15

Industri lainnya
Pertambangan dan penggalian
Perdagangan
Industri Makanan, Minuman, dan Tembakau
Lembaga Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan
Industri Pengilangan Minyak
Pengangkutan dan Komunikasi

3,14516
1,42076
1,26291
1,24356
1,06582
1,00214
1,00164

Sumber: Tabel Input Output Jawa Tengah Tahun 2000, diolah.

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

146

Tabel 3. Empat Sektor dengan Indeks Total Keterkaitan Ke Depan Terbesar Menurut
Tabel Input Output Tahun 2004
No

Kode I-O

1
2
3
4

7
9
8
13

Sektor
Pertambangan dan Penggalian
Industri lainnya
Industri Makanan, Minuman, dan Tembakau
Perdagangan

Indeks DK
4,07757
1,98493
1,17136
1,39055

Sumber: Tabel Input Output Jawa Tengah Tahun 2004, diolah

Sedangkan dari hasil olahan data tabel


input output Jawa Tengah tahun 2004, juga
dapat diperoleh indeks derajat kepekaan atau
indeks keterkaitan ke depan yang disajikan
dalam Tabel 3.
Dari hasil olah data tabel input output
Jawa Tengah tahun 2004, sektor industri
lainnya yang memiliki nilai indeks total
keterkaitan ke depan atau indeks daya kepekaan sebesar 1,98493, selanjutnya sektor
industri makanan, minuman dan tembakau
dengan nilai 1,17136 maka sektor industri
pada tahun 2004 mengalami penurunan.
Sedangkan sektor lainnya yang sebagai
pelengkap yaitu sektor pertambangan dan
penggalian memiliki nilai indeks paling besar
yaitu dengan nilai 4,07757. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa bila terjadi kenaikan
permintaan akhir atas sektor-sektor lain sebesar satu unit maka sektor pertambangan dan
penggalian akan mengalami peningkatan output sebesar 4,07757 unit dan sektor perdagangan sebesar 1,39055. Dimana semua sektorsektor tersebut yang memiliki nilai indeks
total keterkaitan ke depan lebih besar dari
satu merupakan sektor-sektor yang mampu
meningkatkan pertumbuhan produksi sektorsektor lain yang menggunakan input dari
sektor ini.
Dari hasil olahan tabel input-output Jawa
Tengah tahun 2000 dan 2004, terlihat sektor

industri yang mempunyai indeks total keterkaitan ke depan pada tahun 2004 menurun
dari tahun 2000. Di tahun 2000 terdapat tujuh
sektor yang mempunyai indeks keterkaitan
ke depan atau derajat kepekaan, antara lain
sektor Industri lainnya, sektor pertambangan
dan penggalian, sektor perdagangan, sektor
industri makanan, minuman dan tembakau,
sektor, lembaga keuangan, real estate dan
jasa perusahaan, sektor industri pengilangan
minyak dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Sedangkan pada tahun 2004, hanya
terdapat empat sektor yang mempunyai
derajat kepekaan lebih dari satu yaitu sektor
pertambangan dan penggalian, sektor industri
lainnya, industri makanan minuman dan
tembakau dan sektor perdagangan. Selanjutnya sektor industri lainnya pada tahun 2000
mempunyai nilai 3,14516 dan menurun
secara tajam pada tahun 2004 manjadi
1,98493. Sektor industri Makanan, Minuman
dan Tembakau pada tahun 2000 sebesar
1,24356 dan pada tahun 2004 meningkat
menjadi 1,17136. Industri Pengilangan
Minyak pada tahun 2004 tidak mempunyai
indeks derajat kepekaan yang tinggi.
Pada Tabel 4 disajikan hasil indeks
keterkaitan ke depan pada tahun 2000 dan
2004 sebagai perbandingan.

Didit dan Devi Analisis Peranan Sektor Industri

147

diperoleh indeks daya penyebaran atau


indeks keterkaitan ke belakang seperti yang
disajikan dalam Tabel 5.

Hasil Analisis Indeks Keterkaitan


ke Belakang
Indeks total keterkaitan ke belakang
yang memiliki nilai lebih besar dari satu
tersebut menunjukkan bahwa sektor-sektor
industri mempunyai kemampuan yang kuat
untuk menarik pertumbuhan output sektor
hulunya. Nilai indeks lebih besar dari satu
menunjukkan daya penyebaran di sektor
industri berada di atas rata-rata daya penyebaran seluruh sektor perekonomian di Jawa
Tengah. Dari hasil olah data tabel Input
Output Jawa Tengah Tahun 2000 maka dapat

Sektor industri lainnya merupakan sektor


yang memiliki nilai indeks keterkaitan ke
belakang yang paling tinggi yaitu sebesar
1,65850, artinya apabila terjadi kenaikan
permintaan akhir terhadap sektor industri
lainnya sebesar satu unit maka untuk sektorsektor ekonomi lainnya yang ada di Jawa
Tengah akan mengalami pertumbuhan output
sebesar 1,65850 unit. Begitu juga dengan
sektor-sektor industri lain yang memiliki

Tabel 4. Indeks Total Keterkaitan Ke Depan Terbesar Menurut Tabel Input Output
Tahun 2000 dan 2004
2000
No

Kode
I-O

2
3

2004

Sektor

Indeks DK

No

Kode
I-O

Sektor

Indeks DK

Industri lainnya

3,14516

4,07757

7
13

Pertambangan dan Penggalian


Perdagangan

1,42076
1,26291

2
3

9
8

1,24356

13

16

6
7

10
15

Industri Makanan, Minuman,


dan Tembakau
Lembaga Keuangan, Real
Estate, dan Jasa Perusahaan
Industri Pengilangan Minyak
Pengangkutan dan Komunikasi

Pertambangan dan
Penggalian
Industri Lainnya
Industri Makanan,
Minuman, dan Tembakau
Perdagangan

1,98493

1,06582
1,00214
1,00164

Sumber: Tabel Input Output Jawa Tengah Tahun 2000 dan 2004, diolah.

Tabel 5. Delapan Sektor dengan Indeks Total Keterkaitan Ke Belakang Terbesar


Menurut Tabel Input Output Tahun 2000
No

Kode I-O

1
2
3
4
5
6
7
8

9
12
11
8
14
10
18
15

Sektor
Industri Lainnya
Bangunan
Listrik, Gas, dan Air Minum
Industri Makanan, Minuman, dan Tembakau
Restoran dan Hotel
Industri Pengilangan Minyak
Jasa-jasa
Pengangkutan dan Komunikasi

Indeks DP
1,65850
1,30056
1,26897
1,22679
1,20395
1,16144
1,03612
1,01495

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

148

nilai indeks keterkaitan ke belakang yang


lebih besar dari satu antara lain sektor sektor
industri makanan, minuman dan tembakau
sebesar 1,22629, sektor industri pengilangan
minyak sebesar 1,16144. Sektor industri
yang mempunyai daya penyebaran tinggi
menunjukan sektor tersebut mempunyai daya
dorong yang cukup kuat dibandingkan sektor
lainya.
Berdasarkan Tabel 6 maka peranan
sektor industri terhadap sektor perekonomian
terlihat dominan pada perekonomian Jawa
Tengah. Semua kelompok sektor industri
Pada tahun 2000 yaitu sektor industri makanan, minuman dan tembakau, sektor industri
lainnya, sektor industri pengilangan minyak
kesemuanya menjadi sektor unggulan.
Sektor-sektor industri inilah yang memegang
peranan penting dalam menggerakkan roda
perekonomian Jawa Tengah pada tahun
2000. Sektor industri makanan, minuman dan
tembakau memiliki nilai indeks daya penyebaran sebesar 1,22629 dan nilai indeks daya
kepekaan sebesar 1,24356. Besaran tersebut
menunjukkan apabila terjadi kenaikan permintaan akhir terhadap sektor industri
makanan. minuman dan tembakau sebesar
satu unit maka sektor-sektor ekonomi lainnya
yang ada di Jawa Tengah akan mengalami
peningkatan output sebesar 1,22629 unit.
Sebaliknya, apabila terjadi kenaikan permintaan akhir atas sektor-sektor ekonomi lainnya
sebesar satu unit maka sektor industri maka-

nan, minuman dan tembakau akan mengalami peningkatan output sebesar 1,24356 unit.
Selanjutnya industri lainnya yang memiliki
nilai indeks daya penyebaran sebesar
1,65850 dan nilai indeks daya kepekaannya
sebesar 3,14516. Nilai kedua indeks pada
sektor industri lainnya ini menunjukkan
bahwa apabila terjadi kenaikan permintaan
akhir terhadap sektor industri lainnya sebesar
satu unit maka sektor-sektor ekonomi lainnya
yang ada di Jawa Tengah akan mengalami
peningkatan output sebesar 1,65850 unit.
Sebaliknya, apabila terjadi kenaikan permintaan akhir atas sektor-sektor ekonomi lainnya
sebesar satu unit maka sektor listrik dan gas
akan mengalami peningkatan output sebesar
3,14516 unit. Selanjutnya, industri pengilangan minyak yang memiliki nilai indeks daya
penyebaran sebesar 1,11644 dan nilai indeks
daya kepekaannya sebesar 1,00214. Nilai
kedua indeks pada sektor industri pengilangan minyak ini menunjukkan bahwa apabila
terjadi kenaikan permintaan akhir terhadap
sektor industri pengilangan minyak sebesar
satu unit maka sektor-sektor ekonomi lainnya
yang ada di Jawa Tengah akan mengalami
peningkatan output sebesar 1,11644 unit.
Sebaliknya, apabila terjadi kenaikan permintaan akhir atas sektor-sektor ekonomi lainnya
sebesar satu unit maka sektor industri pengilangan minyak akan mengalami peningkatan
output sebesar 1,00214 unit.

Tabel 6. Sektor Industri Perekonomian Jawa Tengah Menurut Tabel Input Output Jawa Tengah
Tahun 2000
No
1
2
3

Kode I-O
8
9
10

Sektor
Industri Makanan, Minuman, dan Tembakau
Industri lainnya
Industri Pengilangan Minyak

Sumber: Tabel Input Output Jawa Tengah Tahun 2000, diolah.

Indeks DK
1,24356
3,14516
1,00214

Indeks DP
1,22629
1,65850
1,16144

Didit dan Devi Analisis Peranan Sektor Industri


Berdasarkan Tabel 7 hanya terdapat dua
sektor perekonomian yang menjadi sektor
industri perekonomian Jawa Tengah pada
tahun 2004 yaitu sektor indutri makanan,
minuman dan tembakau, dan sektor industri
lainnya. Sektor-sektor inilah yang memegang
peranan penting dalam menggerakkan roda
perekonomian Jawa Tengah pada tahun
2004. Sektor industri makanan, minuman dan
tembakau memiliki nilai indeks daya
penyebaran sebesar 1,20178 dan nilai indeks
daya kepekaan sebesar 1,17136. Besaran
tersebut menunjukkan apabila terjadi
kenaikan permintaan akhir terhadap sektor
industri makanan, minuman dan tembakau
sebesar satu unit maka sektor-sektor ekonomi
lainnya yang ada di Jawa Tengah akan
mengalami peningkatan output sebesar
1,20178 unit. Sebaliknya, apabila terjadi
kenaikan permintaan akhir atas sektor-sektor
ekonomi lainnya sebesar satu unit maka
sektor indutri makanan, minuman dan
tembakau akan mengalami peningkatan
output sebesar 1,17136 unit. Selanjutnya
industri lainnya yang memiliki nilai indeks
daya penyebaran sebesar 1,42724 dan nilai
indeks daya kepekaannya sebesar 1,98493.
Nilai kedua indeks pada sektor industri
lainnya ini menunjukkan bahwa apabila
terjadi kenaikan permintaan akhir terhadap
sektor industri lainnya sebesar satu unit maka
sektor-sektor ekonomi lainnya yang ada di
Jawa Tengah akan mengalami peningkatan
output sebesar 1,98493 unit. Sebaliknya,

149

apabila terjadi kenaikan permintaan akhir


atas sektor-sektor ekonomi lainnya sebesar
satu unit maka sektor listrik dan gas akan
mengalami peningkatan output sebesar
1,42724 unit. Sedangkan sektor industri
pengilangan minyak pada tahun 2004 tidak
menjadi sektor kunci. Dalam pembangunan
di Jawa Tengah untuk memacu pertumbuhan
ekonomi di Jawa Tengah, maka sektor-sektor
tersebut layak untuk diprioritaskan. Hal ini
dikarenakan sektor-sektor tersebut memiliki
daya dorong yang kuat terhadap penciptaan
sektor-sektor ekonomi lainnya dan juga
memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap
perubahan permintaan akhir dari sektorsektor ekonomi lainnya.
Pada tahun 2000 terdapat empat sektor
yang menjadi sektor industri perkonomian
Jawa Tengah antara lain sektor industri
makanan, minuman dan tembakau, sektor
industri lainnya, sektor industri pengilangan
minyak, dan sektor pengangkutan dan
komunikasi. Sedangkan pada tahun 2004
hanya menjadi dua sektor yaitu sektor
industri makanan, minuman dan tembakau
dan sektor industri lainnya. Dalam Tabel 8
disajikan perbandingan sektor industri Jawa
Tengah pada tahun 2000 dan 2004.
Interpretasi ekonomi dimaksudkan untuk
menginterpretasikan hasil analisis berdasarkan ilmu-ilmu ekomomi terhadap keseluruhan hasil analisis. Dari analisis mengenai
sektor industri perekonomian Jawa Tengah

Tabel 7. Sektor Industri Perekonomian Jawa Tengah


No

Kode I-O

Sektor

Indeks DK

Indeks DP

Industri Makanan, Minuman, dan Tembakau

1,17136

1,20178

Industri Lainnya

1,98493

1,42724

Menurut Tabel Input Output Jawa Tengah Tahun 2004

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

150

Tabel 8. Sektor Industri yang Menjadi Sektor Kunci Perekonomian Jawa Tengah Menurut Tabel
Input Output Jawa Tengah Tahun 2000 dan 2004
2004
Kode I-O

Sektor

2000
Indeks
DK

Indeks DP

Kode I-O

Sektor

Indeks
DK

Indeks
DP

Industri
Makanan,
Minuman, dan
Tembakau

1,17136

1,20178

Industri Makanan,
Minuman, dan
Tembakau

1,24356

1,22629

Industri Lainnya

1,98493

1,42724

Industri Lainnya

3,14516

1,65850

10

Industri
Pengilangan
Minyak

1,00214

1,16144

Sumber: Tabel Input Output Jawa Tengah Tahun 2000 dan 2004, diolah

tahun 2000 dan 2004 maka dapat dilakukan


interpretasi ekonomi berdasarkan hasil analisis nilai tambah bruto, analisis indeks keterkaitan ke belakang, analisis indeks keterkaitan ke depan dan analisis sektor kunci.
Komponen upah dan gaji sebagai
pembentuk nilai tambah bruto pada tahun
2000 yang diciptakan oleh kegiatan ekonomi
di Jawa Tengah mencapai Rp. 33.893.355,43
juta atau sebesar 28,78 persen dari total
Rp.117.750.498,96 juta di tahun 2000 dan
meningkat sebesar Rp. 58.450.517,29 juta
dan memberikan kontribusi 30,21 persen
pada tahun 2004 dengan nilai total
Rp.193.435.263,05 juta. Namun ternyata
komponen upah dan gaji ternyata relatif lebih
rendah bila dibandingkan dengan surplus
usaha, surplus usaha yang diterima oleh
pengusaha satu setengah kali lebih besar
dibandingkan komponen upah dan gaji.
Komponen surplus usaha memberikan
kontribusi sebesar 57,86 persen atau senilai
Rp. 68.133.212,52 juta pada tahun 2000, dan
meskipun pada tahun 2004 menurun menjadi
51,92 persen dengan nilai Rp.100.442.999,19
juta. Padahal upah dan gaji merupakan satu-

satunya komponen nilai tambah yang bisa


langsung diterima oleh pekerja. Surplus
usaha sendiri belum tentu dapat langsung
dinikmati oleh masyarakat, karena surplus
usaha tersebut sebagian ada yang tersimpan
atau ditanam di perusahaan dalam bentuk
laba yang ditahan. Dalam surplus usaha
termasuk juga bagian pendapatan dari tenaga
kerja yang tidak dibayar.
Nilai indeks keterkaitan ke depan atau
indeks daya kepekaan pada tahun 2000
terdapat tujuh sektor yang mempunyai indeks
keterkaitan ke depan atau derajat kepekaan,
antara lain sektor Industri lainnya, sektor
pertambangan dan penggalian, sektor perdagangan, sektor industri makanan, minuman
dan tembakau, sektor, lembaga keuangan,
real estate dan jasa perusahaan, sektor
industri pengilangan minyak dan sektor
pengangkutan dan komunikasi.
Sedangkan pada tahun 2004, hanya terdapat empat sektor yang mempunyai derajat
kepekaan lebih dari satu yaitu sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri lainnya, industri makanan minuman dan tembakau dan sektor perdagangan. Sektor

Didit dan Devi Analisis Peranan Sektor Industri


Industri lainnya memberikan kontribusinya
yang paling tinggi dibandingkan dengan
sektor lainnya pada tahun 2000 sebesar
3,14516. Nilai ini berarti menunjukkan
pengaruh sektor industri lainnya apabila
terjadi kenaikan permintaan akhir atas sektorsektor lain sebesar satu juta maka sektor
industri lainnya akan mengalami peningkatan
output sebesar 3,14516. Sedangkan pada
tahun 2004 sektor yang memiliki indeks
keterkaitan ke depan atau daya kepekaan
tinggi adalah sektor yang pertambangan dan
penggalian sebesar 4,07757. Nilai ini berarti
menunjukkan pengaruh sektor pertambangan
dan penggalian apabila terjadi kenaikan
permintaan akhir atas sektor-sektor lain
sebesar satu juta maka sektor pertambangan
dan penggalian akan mengalami peningkatan
output sebesar 4,07757. Output yang
dihasilkan merupakan komoditi intermedier,
dalam artian merupakan bahan baku bagi
industri-industri dan sektor-sektor perekonomian lainnya.
Nilai indeks keterkaitan ke belakang
atau daya penyebaran pada tahun 2000
terdapat delapan sektor antara lain industri
lainnya, bangunan listrik, gas dan air minum,
industri makanan, minuman dan tembakau,
restoran dan hotel, industri pengilangan
minyak, jasa-jasa, pengangkutan dan komunikasi. Sektor yang mempunyai nilai indek
penyebaran paling tinggi pada tahun 2000
adalah sektor Industri lainnya yang memberikan kontribusi sebesar 1,65850 yang artinya
apabila terjadi kenaikan permintaan akhir
terhadap sektor industri lainnya sebesar satu
unit maka untuk sektor-sektor ekonomi lainnya yang ada di Jawa Tengah akan mengalami pertumbuhan output sebesar 1,65850
unit. Sedangkan pada tahun 2004, sektor
industri pengilangan minyak merupakan

151

sektor yang memiliki nilai indeks keterkaitan


ke belakang yang paling tinggi yaitu sebesar
2,30278, artinya apabila terjadi kenaikan
permintaan akhir terhadap sektor industri
pengilangan minyak sebesar satu unit maka
untuk sektor-sektor ekonomi lainnya yang
ada di Jawa Tengah akan mengalami pertumbuhan output sebesar 2,30278 unit. Sektor
yang mempunyai daya penyebaran tinggi
menunjukan sektor tersebut mempunyai daya
dorong yang cukup kuat dibandingkan sektor
lainnya.
Peranan sektor industri dalam dalam
tabel input output Jawa Tengah pada tahun
2000 dan 2004 mempunyai peranan yang
cukup signifikan dalam proses produksi.
Terlihat dari beberapa sektor industri menjadi
sektor kunci perekonomian Jawa Tengah.
Pada tahun 2000 sektor industri makanan,
minuman, dan tembakau menyumbang
sebesar Rp. 27.744.377,35 juta dengan
indeks keterkaitan ke depan sebesar 1,24356
dan ke belakang sebesar 1,22629 atau sebesar
13,4 persen dari jumlah output. Selanjutnya
industri
lainnya
menyumbang
Rp.
27.901.202,3 juta dengan indeks keterkaitan
ke depan sebesar 3,14516 dan ke belakang
sebesar 1,65850 atau sebesar 13,48 persen
dari jumlah output. Sedangkan sektor industri
penanggulangan minyak menyumbang Rp.
11.101.830,81 juta dengan indeks keterkaitan
ke depan sebesar 1,00214 dan ke belakang
sebesar 1,16144 atau sebesar 5,36 persen dari
jumlah output. Dalam hasil analisis pada
tahun 2004 sektor industri makanan,
minuman dan tembakau menyumbang
sebesar Rp. 47.409.368,92 juta dengan
indeks keterkaitan ke depan sebesar 1.17136
dan ke belakang sebesar 1.20178 atau sebesar
22,9 persen dari jumlah output. Selanjutnya
industri
lainnya
menyumbang
Rp.

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

152

49.280.413,96 juta dengan indeks keterkaitan


ke depan sebesar 1.98493 dan ke belakang
sebesar 1.42724 atau sebesar 23,8 persen dari
jumlah output. Pada 2004 industri
pengilangan minyak tidak termasuk menjadi
sektor kunci karena mengalami penurunan
dari tahun 2000.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis input output
dengan menggunakan Tabel Input Output
Jawa Tengah tahun 2000 dan tahun 2004
tentang peranan sektor industri terhadap
perekonomian Jawa Tengah tahun 2000 dan
tahun 2004 maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Komponen pembentuk nilai tambah bruto
dengan peranan terbesar adalah surplus
usaha. Pada tahun 2000 peranan komponen ini dalam pembentukan nilai tambah
di Jawa Tengah adalah sebesar 57,86
persen
dengan
nilai
sebesar
Rp.68.133.212,52 juta dan pada tahun
2004 menurun menjadi 51,92 persen
dengan nilai sebesar Rp.100.442.999,19
juta.
2. Jumlah permintaan akhir yang tercipta
masing-masing pada tahun 2000 dan
2004 adalah sebesar Rp. 272.703.047 juta
dan Rp.170.021.068 juta. Komponen
konsumsi rumah tangga menjadi pengguna PDRB terbesar selama kurun waktu
tersebut. Bila pada tahun 2000 sebanyak
55,38 persen PDRB Jawa Tengah
digunakan untuk memenuhi konsumsi
rumah tangga maka pada tahun 2004
meningkat menjadi sekitar 65,25 persen.
Sebaliknya, terjadi penurunan persentase
penggunaan PDRB untuk pembentukan
modal tetap bruto. Pada tahun 2000

sebanyak 17,13 persen PDRB digunakan


untuk investasi melalui pembentukan
modal tetap bruto namun pada tahun
2004 persentasenya turun menjadi hanya
sebesar 16,81 persen. Sementara itu
ekspor netto Jawa Tengah mengalami
sedikit peningkatan. Pada tahun 2000
komponen ekspor netto PDRB menunjukkan peranan sebesar 8,50 persen
namun pada tahun 2004 peranannya
meningkat cukup signifikan, yakni
menjadi 10,63 persen.
3. Nilai indeks keterkaitan ke depan atau
indeks daya kepekaan pada tahun 2000
terdapat tujuh sektor yang mempunyai
indeks keterkaitan ke depan atau derajat
kepekaan, antara lain sektor Industri lainnya, sektor pertambangan dan penggalian, sektor perdagangan, sektor industri makanan, minuman dan tembakau,
sektor, lembaga keuangan, real estate dan
jasa perusahaan, sektor industri pengilangan minyak dan sektor pengangkutan
dan komunikasi. Sedangkan pada tahun
2004, hanya terdapat empat sektor yang
mempunyai derajat kepekaan lebih dari
satu yaitu sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri lainnya, industri
makanan minuman dan tembakau dan
sektor perdagangan. Sektor Industri lainnya memberikan kontribusinya yang
paling tinggi dibandingkan dengan sektor
lainnya pada tahun 2000 sebesar
3,14516. Nilai ini berarti menunjukkan
pegaruh sektor industri lainnya apabila
terjadi kenaikan permintaan akhir atas
sektor-sektor lain sebesar satu juta maka
sektor industri lainnya akan mengalami
peningkatan output sebesar Rp. 3,14516
juta. Sedangkan pada tahun 2004 sektor
yang memiliki indeks keterkaitan ke

Didit dan Devi Analisis Peranan Sektor Industri


depan atau daya kepekaan tinggi adalah
sektor yang pertambangan dan penggalian sebesar 4,07757. Nilai ini berarti
menunjukkan pengaruh sektor pertambangan dan penggalian apabila terjadi
kenaikan permintaan akhir atas sektorsektor lain sebesar satu juta maka sektor
pertambangan dan penggalian akan
mengalami peningkatan output sebesar
Rp. 4,07757 juta.
4. Nilai indeks keterkaitan ke belakang atau
daya penyebaran pada tahun 2000 terdapat delapan sektor antara lain industri
lainnya, bangunan listrik, gas dan air
minum, industri makanan, minuman dan
tembakau, restoran dan hotel, industri
pengilangan minyak, jasa-jasa, pengangkutan dan komunikasi. Sektor yang
mempunyai nilai indeks penyebaran
paling tinggi pada tahun 2000 adalah
sektor industri lainnya yang memberikan
kontribusi sebesar 1,65850 yang artinya
apabila terjadi kenaikan permintaan akhir
terhadap sektor industri lainnya sebesar
satu unit maka untuk sektor-sektor ekonomi lainnya yang ada di Jawa Tengah
akan mengalami pertumbuhan output
sebesar 1,65850 unit. Sedangkan pada
tahun 2004, sektor industri pengilangan
minyak merupakan sektor yang memiliki
nilai indeks keterkaitan ke belakang yang
paling tinggi yaitu sebesar 2,30278,
artinya apabila terjadi kenaikan permintaan akhir terhadap sektor industri pengilangan minyak sebesar satu unit maka
untuk sektor-sektor ekonomi lainnya
yang ada di Jawa Tengah akan mengalami pertumbuhan output sebesar 2,30278
unit.
5. Sektor kunci perekonomian Jawa Tengah
pada tahun 2000 yaitu sektor indutri

153
makanan, minuman dan tembakau, sektor
industri lainnya, sektor industri pengilangan minyak dan sektor pengangkutan
dan komunikasi. Sektor-sektor inilah
yang memegang peranan penting dalam
menggerakkan roda perekonomian Jawa
Tengah pada tahun 2000. Sedangkan
tahun 2004 hanya terdapat dua sektor
perekonomian yang menjadi sektor kunci
perekonomian Jawa Tengah yaitu sektor
industri makanan, minuman dan tembakau, dan sektor industri lainnya. Ini
memperlihatkan bahwa terjadi penurunan
dalam perekonomian Jawa Tengah pada
tahun 2004 bila dibandingkan dengan
tahun 2000.

6. Peranan sektor industri dalam dalam


tabel input output Jawa Tengah pada
tahun 2000 dan 2004 mempunyai
peranan yang cukup signifikan dalam
proses produksi. Terlihat dari beberapa
sektor industri menjadi sektor kunci
perekonomian Jawa Tengah. Pada tahun
2000 sektor industri makanan, minuman
dan tembakau menyumbang sebesar
Rp.27.744.377,35 juta dengan indeks
keterkaitan ke depan sebesar 1,24356 dan
ke belakang sebesar 1,22629 atau sebesar
13,4 persen dari jumlah output. Selanjutnya industri lainnya menyumbang
Rp.27.901.202,3 juta dengan indeks
keterkaitan ke depan sebesar 3,14516 dan
ke belakang sebesar 1,65850 atau sebesar
13,48 persen dari jumlah output.
Sedangkan sektor industri pengilangan
minyak menyumbang Rp. 11.101.830,81
juta dengan indeks keterkaitan ke depan
sebesar 1,00214 dan ke belakang sebesar
1,16144 atau sebesar 5,36 persen dari
jumlah output. Dalam hasil analisis pada
tahun 2004 sektor industri makanan,

154

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008


minuman dan tembakau menyumbang
sebesar Rp.47.409.368,92 juta dengan
indeks keterkaitan ke depan sebesar
1.17136 dan ke belakang sebesar 1.20178
atau sebesar 22,9 persen dari jumlah
output. Selanjutnya industri lainnya
menyumbang Rp.49.280.413,96 juta
dengan indeks keterkaitan ke depan
sebesar 1.98493 dan ke belakang sebesar
1.42724 atau sebesar 23,8 persen dari
jumlah output. Pada 2004 industri pengilangan minyak tidak termasuk menjadi
sektor kunci karena mengalami penurunan dari tahun 2000.

Dari kesimpulan di atas, dapat dikemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat
bermanfaat bagi pengambilan kebijakan
pemerintah dan bagi penelitian selanjutnya.
1. Sektor industri makanan, minuman dan
tembakau, dan sektor industri lainnya
perlu mendapat perhatian dari pemerintah
Jawa Tengah karena sektor industri
makanan, minuman dan tembakau, sektor
industri lainnya sangat berperan dalam
memacu pertumbuhan ekonomi di Jawa
Tengah pada tahun 2000 dan 2004.
Sektor industri makanan, minuman dan
tembakau, dan sektor industri lainnya
memiliki daya dorong yang kuat terhadap
penciptaan sektor-sektor ekonomi lainnya dan juga memiliki sensitivitas yang
tinggi terhadap perubahan permintaan
akhir dari sektor-sektor ekonomi lainnya.
2. Pemerintah provinsi Jawa Tengah juga
harus memberikan perhatian lebih terhadap sektor industri pengilangan minyak
yang pada tahun 2000 menjadi sektor
kunci namun pada tahun 2004 sektor
tersebut tidak lagi menjadi sektor kunci.

3. Sektor-sektor lain yang pada tahun 2000


dan 2004 memiliki indeks keterkaitan ke
depan atau daya kepekaan yang tinggi
seperti sektor industri lainnya, sektor
pertambangan dan penggalian, sektor
perdagangan, sektor, lembaga keuangan,
real estate dan jasa perusahaan di usahakan juga agar menjadi sektor kunci pada
tahun-tahun selanjutnya, dengan memberikan regulasi khusus dari pemerintah
Jawa Tengah.
4. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya
menambahkan beberapa analisis lagi
sehingga benar-benar dapat menganalisis
sebuah peranan sektor ekonomi terhadap
perekonomian Jawa Tengah.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2002. Analisis Lanjutan Tabel Input-Output DKI Jakarta
2000: Tinjauan Perekonomian. BPS:
DKI Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2000. Kerangka Teori
dan Analisis Tabel Input Output. BPS:
DKI Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2000. Tabel Input
Output Indonesia Tahun 2000. BPS:
DKI Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2003. Tabel Input
Output Indonesia Updating 2003. BPS:
DKI Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2000. Tabel Input
Output Jawa Tengah Tahun 2000. BPS:
Jawa Tengah.
Badan Pusat Statistik. 2004. Tabel Input
Output Jawa Tengah Tahun 2004.
Badan Pusat Statistik: Jawa Tengah.

Didit dan Devi Analisis Peranan Sektor Industri


Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Sosial
dan Kependudukan Jawa Tengah. Hasil
Susenas 2003. Semarang: BPS Jawa
Tengah.
Arsyad, Lincoln. 1999. Ekonomi Pembayaran. Yogyakarta: Bagian Penerbitan
STIE YKPN.
Jhingan, M.L. 1998. Beberapa Masalah
Perencanaan Pembangunan Daerah.
Jakarta: Rajawali Press.
Miller, Ronald E, dan Peter H. Blair. 1999.
Input Output Analysis: Foundation and
Extensions, New Jersey: Prentice Hall.

155

Nazara, Suahasil. 1997. Analisis Input Output. Jakarta: Lembaga Penerbitan FE


UI.
Kamaluddin, R. 1987. Beberapa Aspek Pembangunan Nasional dan Pembangunan
Daerah. Jakarta: LPFE-UI.
Tambunan, Tulus, 2001. Industri di Negara
Berkembang Kami Indonesia. Jakarta:
Ghalia.

Jurnal Ekonomi Pembangunan


Vol. 9, No. 2, Desember 2008, hal. 156 - 167

ANALISIS PERUBAHAN KURS RUPIAH


TERHADAP DOLLAR AMERIKA
Triyono
Fakultas Ekonomi Universitas Muhammmadiyah Surakarta
E mail: triums@yahoo.com.sg

ABSTRACT
This research analyse influence of money supply, inflation, SBI rate of interest, and
import to Indonesia Rupiah exchange rate to US Dollar. In analysis, used multiple
regression analysis instrument with model Error Correction Model (ECM). With
this method obtained equation of regression in long-run and short-run equilibrium.
In the long run equilibrium model, covered series of adjustment process that
bringing every shock to equilibrium. In other word, in the long run very possibly
performed full adjustment to every changes in arising out. Estimation result from
regression ECM and long-run analysis indicate that inflation variable, SBI rate of
interest, and import have significant influence with positive direction to exchange
rate. While variable JUB have influence with negative direction to exchange rate.
Keywords: exchange rate, ECM, monetary tight policy
PENDAHULUAN
Perbedaan nilai tukar mata uang suatu negara
(kurs) pada prinsipnya ditentukan oleh besarnya permintaan dan penawaran mata uang
tersebut (Levi, 1996:129). Kurs merupakan
salah satu harga yang lebih penting dalam
perekonomian terbuka, karena ditentukan
oleh adanya kseimbangan antara permintaan
dan penawaran yang terjadi di pasar, mengingat pengaruhnya yang besar bagi neraca
transaksi berjalan maupun bagi variabelvariabel makro ekonomi lainnya. Kurs dapat
dijadikan alat untuk mengukur kondisi
perekonomian suatu negara. Pertumbuhan
nilai mata uang yang stabil menunjukkan
bahwa negara tersebut memiliki kondisi
ekonomi yang relatif baik atau stabil
(Salvator, 1997:10). Ketidakstabilan nilai
tukar ini mempengaruhi arus modal atau

investasi dan pedagangan Internasional.


Indonesia sebagai negara yang banyak
mengimpor bahan baku industri mengalami
dampak dan ketidakstabilan kurs ini, yang
dapat dilihat dari rnelonjaknya biaya produksi sehingga menyebabkan harga barangbarang milik Indonesia mengalami peningkatan. Dengan melemahnya rupiah menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi
goyah dan dilanda krisis ekonomi dan kepercayaan terhadap mata uang dalam negeri.
Sistem devisa bebas dan ditambah
dengan penerapan sistem floating exchange
rate di Indonesia sejak tahun 1997, menyebabkan pergerakan nilai tukar di pasar
menjadi sangat rentan oleh pengaruh faktorfaktor ekonomi maupun non ekonomi. Sebagai contoh pertumbuhan nilai mata uang
rupiah terhadap dolar AS pada era sebelum

Triyono - Analisis Perubahan Kurs Rupiah


krisis melanda Indonesia dan kawasan Asia
lainya masih relatif stabil. Jika dibandingkan
dengan masa sebelum krisis, semenjak krisis
ini terjadi lonjakan kurs dolar AS berada
diantara Rp6.700 - Rp9.530 sedangkan periode 1981- 1996 di bawah Rp2.500 (Bank
Indonesia, 2000).
Melalui mekanisme transmisi, inflasi
serta suku bunga domestik bisa turun ke
tingkat yang rendah. Sebaliknya, dengan
menguatnya dolar AS belakangan, nilai
Rupiah merosot dan berpotensi mendongkrak
inflasi. Pergerakan nilai tukar yang fluktuatif
ini mempengaruhi perilaku masyarakat
dalam memegang uang, selain faktor-faktor
yang lain seperti tingkat suku bunga dan
inflasi. Kondisi ini didukung oleb laju inflasi
yang meningkat tajam dan menurunnya
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan
nasional.
Tingkat suku bunga yang tinggi, akan
menyerap jumlah uang yang beredar di
masyarakat. Sebaliknya jika tingkat suku
bunga terlalu rendah maka jumlah uang yang
beredar di masyarakat akan bertambah
karena orang lebih suka memutarkan uang
pada sektor-sektor produktif dari pada
menabung. Dalam hal ini tingkat suku bunga
merupakan instrumen konvensional untuk
mengendalikan inflasi (Khalawaty, 200:144).
Dari latar belakang yang telah diuraikan
di atas, penelitian ini menganalisis mengenai
bagaimana pengaruh jumlah uang beredar
(JUB), inflasi, suku bunga (SBI), dan impor,
pada kurs rupiah terhadap dollar AS.
Landasan teori dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Pengertian Kurs
Kurs (Exchange Rate) adalah pertukaran
antara dua mata uang yang berbeda, yaitu

157
merupakan perbandingan nilai atau harga
antara kedua mata uang tersebut. Perbandingan nilai inilah sering disebut dengan kurs
(exchange rate). Nilai tukar biasanya
berubah-ubah, perubahan kurs dapat berupa
depresiasi dan apresiasi. Depresiasi mata
uang rupiah terhadap dolar AS artinya suatu
penurunan harga dollarAS terhadap rupiah.
Depresiasi mata uang negara membuat harga
barang-barang domestik menjadi lebih murah
bagi fihak luar negeri. Sedang apresiasi
rupiah terhadap dollar AS adalah kenaikan
rupiah terhadap dollar AS. Apresiasi mata
uang suatu negara membuat harga barangbarang domestik menjadi lebih mahal bagi
fihak luar negeri (Sukirno, 1981:297). Kurs
rupiah terhadap dollar AS memainkan peranan sentrel dalam perdagangan internasional,
karena kurs rupiah terhadap dollar AS
memungkinkan kita untuk membandingkan
harga semua barang dan jasa yang dihasilkan
berbagai negara. Kurs valuta asing dapat
diklasifikasikan kedalam kurs jual dan kurs
beli. Selisih dari penjualan dan pembelian
merupakan pendapatan bagi pedagang valuta
asing. Sedang bila ditinjau dari waktu yang
dibutuhkan dalam menyerahkan valuta asing
setelah transaksi kurs dapat diklasifikasikan
dalam kurs spot dan kurs berjalan (forward
exchange).
Semua transaksi valuta asing yang berlangsung seketika atau langsung di mana
kedua belah pihak sepakat untuk saling
membayar secepatnya saat itu atau paling
lambat dua hari setelah transaksi, disebut
kurs spot (spot exchange rate). Sedangkan
kesepakatannya disebut transaksi spot. Beberapa kesepakatan sering seringkali secara
khusus menetapkan tanggal lebih dari dua
hari, misalnya 30 hari, 90 hari,atau 180 hari
atau bahkan beberapa tahun. Kurs yang

158

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

menjadi dasar bagi transaksi semacam ini di


sebut kurs berjangka (forward exchange
rate).
2. Sistem Kurs dan Dasar Pertimbangan
Penetapannya
Pada dasarnya terdapat lima jenis system
kurs utama yang berlaku (Kuncoro,1996:27)
yaitu: sistem kurs mengambang (floating
exchang rate), kurs tertambat (pegged exchange rate), kurs tertambat merangkak
(crawling pegs), sekeranjang mata uang
(basket of currencies), kurs tetap (fixed exchange rate).
Pada jenis sistem kurs mengambang,
kurs ditentukan oleh mekanisme pasar
dengan atau tanpa adanya campur tangan
pemerintah dalam upaya stabilisasi melalui
kebijakan moneter apabila ada terdapat
campur tangan pemerintah maka system ini
termasuk mengambang terkendali (managed
floating exchange rate).
Pada sistem kurs tertambat, suatu negara
menambatkan nilai mata uangnya dengan
sesuatu atau sekelompok mata uang negara
lainnya yang merupakan negara mitra dagang
utama dari negara yang bersangkutan, ini
berarti mata uang negara tersebut bergerak
mengikuti mata uang dari negara yang
menjadi tambatannya.
Sistem kurs tertambat merangkak, di
mana negara melakukan sedikit perubahan
terhadap mata uangnya secara periodik
dengan tujuan untuk bergerak ke arah suatu
nilai tertentu dalam rentang waktu tertentu.
Keuntungan utama dari sistem ini adalah
negara dapat mengukur penyelesaian kursnya
dalam periode yang lebih lama jika di
banding dengan system kurs terambat.

Sistem sekeranjang mata uang, keuntungannya adalah sistem ini menawarkan


stabilisasi mata uang suatu negara karena
pergerakan mata uangnya disebar dalam
sekeranjang mata uang. Mata uang yang di
masukan dalam keranjang biasanya ditentukan oleh besarnya peranannya dalam membiayai perdagangan negara tertentu.
Sistem kurs tetap, dimana negara menetapkan dan mengumumkan suatu kurs tertentu atas mata uangnya dan menjaga kurs
dengan cara membeli atau menjual valas
dalam jumlah yang tidak terbatas dalam kurs
tersebut. Bagi negara yang sangat rentan
terhadap gangguan eksternal, misalnya
memiliki ketergantungan tinggi terhadap
sektor luar negeri maupun gangguan internal,
seperti sering mengalami gangguan alam,
menetapkan kurs tetap merupakan suatu
kebijakan yang beresiko tinggi.
3. Hubungan antara Kurs dengan Jumlah
Uang Beredar
Bahwa peredaran reserve valuta asing (neraca pembayaran) timbul sebagai akibat kelebihan permintaan atau penawaran uang.
Apabila terdapat kelebihan jumlah uang
beredar maka neraca pembayaran akan defisit
dan sebaliknya apabila terdapat kelebihan
permintaan uang, neraca pembayaran akan
surplus kelebihan jumlah uang beredar akan
mengakibatkan masyarakat membelanjakan
kelebihan ini, misalnya untuk impor atau
membeli surat-surat berharga luar negeri
sehingga terjadi aliran modal keluar, yang
berarti permintaan akan valas naik sedangkan
permintaan mata uang sendiri turun (Nopirin,
1997: 222). Jika pemerintah menambah uang
beredar akan menurunkan tingkat bunga dan
merangsang investasi keluar negeri sehingga
terjadi aliran modal keluar pada giliran kurs

Triyono - Analisis Perubahan Kurs Rupiah


valuta asing naik (apresiasi). Dengan
menaiknya penawaran uang atau atau jumlah
uang beredar akan menaikkan harga barang
yang diukur dengan (term of money) sekaligus akan menaikkan harga valuta asing yang
diukur dengan mata uang domestik (Herlambang, dkk, 2001)
a. Hubungan Inflasi dengan Kurs
Nilai tukar dibedakan menjadi dua yaitu
nilai tukar nominal dan nilai tukar riil.
Nilai tukar nominal menunjukkan harga
relatif mata uang dan dua negara, sedangkan nilai tukar riil menunjukkan tingkat
ukuran (rate) suatu barang dapat diperdagangkan antar negara. Jika nilai tukar riil
tinggi berarti harga produk luar negeri
relatif murah dan harga produk domestik
relatif mahal. Persentase perubahan nilai
tukar nominal sama dengan persentase
perubahan nilai tukar riil ditambah perbedaan inflasi antara inflasi luar negeri
dengan inflasi domestik (persentase perubahan harga inflasi). Jika suatu negara
luar negeri lebih tinggi inflasinya dibandingkan domestik (Indonesia) maka
Rupiah akan ditukarkan dengan lebih
banyak valas. Jika inflasi meningkat
untuk membeli valuta asing yang sama
jumlahnya harus ditukar dengan Rupiah
yang makin banyak atau depresiasi
Rupiah (Herlambang, dkk, 2001 : 282)
b. Hubungan Suku Bunga dengan Kurs
Kebijakan yang dapat digunakan untuk
mencapai sasaran stabilitas harga atau
pertumbuhan ekonomi adalah kebijakankebijakan moneter dengan menggunakan
instrumen moneter (suku bunga atau
agregat moneter). Salah satu jalur yang
digunakan adalah jalur nilai tukar,

159
berpendapat bahwa pengetatan moneter
yang mendorong peningkatan suku bunga
akan mengakibatkan apresiasi nilai tukar
karena adanya pemasukan modal dan
luar negeri (Arifin, 1998: 4).
c. Hubungan Nilai Impor dengan Kurs
Di dalam pasar bebas perubahan kurs
tergantung pada beberapa faktor yang
mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing. Bahwa valuta asing
diperlukan guna melakukan transaksi
pembayaran keluar negeri (impor).
Makin tinggi tingkat pertumbuhan pendapatan (relatif terhadap negara lain) makin
besar kemampuan untuk impor makin
besar pula permintaan akan valuta asing.
Kurs valuta asing cenderung meningkat
dan harga mata uang sendiri turun.
Demikian juga inflasi akan menyebabkan
impor naik dan ekspor turun kemudian
akan menyebabkan valuta asing naik.
(Nopirin, 1997: 148)
Berdasarkan perumusan masalah yang
ada, maka dapat diambil suatu hipotesis yang
merupakan jawaban yang bersifat sementara
dan masih harus diuji kebenarannya sebagai
berikut;
1. Jumlah uang beredar berpengaruh positif
terhadap kurs Rupiah terhadap dollar AS.
2. Tingkat Suku Bunga SBI berpengaruh
negatif terhadap kurs Rupiah terhadap
dollar AS.
3. Besarnya inflasi berpengaruh positif terhadap kurs Rupiah terhadap dollar AS.
4. Besarnya nilai impor berpengaruh negatif
terhadap kurs Rupiah terhadap dollar AS.

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

160

METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dan satu variabel terikat yaitu
kurs dan empat variabel bebas yaltu jumlah
uang yang beredar, inflasi, tingkat suku
bunga SBI, dan nilai impor. Data sekunder
ini bersumber pada Bank Indonesia (BI) dan
beberapa pustaka lainnya.
Definisi Operasional Variabel
1. Kurs
Kurs atau nilai tukar mata uang (exchange rate) merupakan harga suatu
mata uang terhadap mata uang lain.
Dalam penelitian digunakan nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS. Diukur dalam
satuan rupiah (Rp/$ ).
2. Tingkat Inflasi (INF)
Inflasi adalah kenaikan harga-harga
barang kebutuhan umum yang terjadi
secara terus-menerus. Inflasi diukur
dalam satuan persen (%)
3. Jumlah uang yang beredar (JUB)
Jumlah uang yang beredar adalah uang
dalam arti sempit yang terjadi dari uang
kartal dan uang giral yang dipegang oleh
masyarakat. Data jumlah uang yang beredar yang digunakan diukur dalam satuan
rupiah.
4. Tingkat Suku Bunga SBI (SBI)
Tingkat suku bunga SBI adalah rata-rata
persentase suku bunga SBI yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Data suku
bunga yang digunakan diukur dalam
satuan persen.

5. Nilai Impor (M)


Nilai impor adalah jumlah masukan hasil
perdagangan dari luar ke dalam negeri
selama rentang waktu tertentu. Diukur
dalam satuan juta $US dan telah diubah
menjadi satuan rupiah.
Metode Analisis Data
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda. Model yang
digunakan adalah Error Correction Model
(ECM) yang formulasi jangka panjang sebagai berikut:
Log kurst = 0 + 1 LogJUBt + 2 JNFt +
3 SBIt + 4 LogMt + Ut
dimana:
1, 2 , 3, 4 = koefisien jangka panjang
Sementara hubungan jangka pendek
dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

1 DLogJUBt + 2 DJNFt + 3 SDBIt+


4 Dlog
D Log kurs = Mt (LogKurst-1 - 0 1LogJUBt-1 + 2INFt-t +
3SB1t-1 + 4LogMt-1 ) + Ut
dimana:

1, 2, 3, 4 = parameter jangka panjang


s = parameter penyesuaian
Parameterisasi persamaan jangka pendek
dapat menghasilkan bentuk persamaan:

Triyono - Analisis Perubahan Kurs Rupiah


y0+ y1DLogJUBt + y2DINFt + y3DSBIt + y4D

161
jat integrasi (Integration Test) sampai
memperoleh data yang stasioner.

D Log Kurst = LogMt, + y5LogJUBt-1 +


y6JNFt-1+ y7SBIt-1 +y8LogMt-1 +
y9ECT + Ut
ECT = LogJUBt-1 + 1NFt-1 + SBIt-1 +
LogMt-1 - LogKurst-1
Keterangan:
D Log kurs =
D log JUB =
D INF
=
D SBI
=
D Log M =
Log JUBt-1 =
INF t-1
SBI

=
=

Log M t-1
ECT
Ut
D
t

=
=
=
=
=

Kurs rupiah terhadap dolar AS


Jumlah Uang Beredar
Inflasi
Tingkat Suku Bunga SRI
Nilai Impor
Kelambanan Jumlah Uang
Beredar (JUB)
Kelambanan Inflasi
Kelambanan Tingkat Suku
Bunga (SBI)
Kelambanan Nilai Impor
Error Correction Term
residual
perubahan
periode waktu

Uji dalam Penelitian


1. Uji Stasioneritas
Uji ini terdiri dari:
a. Uji Akar-Akar Unit (Unit Root Test)
Uji akar-akar unit ini dimaksudkan untuk
menentukan stasioner tidaknya sebuah
variabel. Data dikatakan stasioner bila
data tersebut mendekati rata-ratanya dan
tidak terpengaruh waktu. Apabila data
yang diamati dalam uji akar-akar unit
(Unit Root Test) ternyata belum stasioner
maka harus dilanjutkan dengan uji dera-

b. Uji Kointegrasi (Cointegration Test)


Uji kointegrasi adalah uji ada tidaknya
hubungan jangka panjang antara variabel
bebas dan terikat, uji ini merupakan
kelanjutan dari uji akar-akar unit (Unit
Root Test) dan uji derajat integrasi
(Integration Test).
2. Uji Asumsi Klasik
a. Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas terjadi apabila variasi
Ut tidak konstan atau sering berubahubah seiring dengan berubahnya nilai
variabel independen (Gujarati, 2002:61).
Untuk melacak keberadaan heteroskedastisitas dalam penelitian ini digunakan uji
White.
b. Autokorelasi
Autokorelasi dapat diidentifikasi sebagai
korelasi antara anggota serangkaian
observasi. Dalam penelitian ini menggunakan uji Breusch Godfrey.
c. Uji Normalitas
Asumsi normalitas gangguan Ut adalah
penting sekali mengingat uji validitas
pengaruh variabel independen baik secara serempak (uji F) maupun sendirisendiri (uji t) dan estimasi nilai variabel
dependen mensyaratkan hal ini. Apabila
asumsi ini tidak terpenuhi, maka kedua
uji ini dan estimasi nilai variabel dependen adalah tidak valid untuk sampel kecil
atau tertentu (Gujarati, 2002:143). Uji
normalitas Ut yang digunakan dalam
penelitian ini adalah uji Jarque Bera.

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

162

d. Uji Spesifikasi Model (Uji RamseyReset)


Uji spesifikasi model pada dasarnya
digunakan untuk asumsi (CLRM) tentang
linearitas model, sehingga sering disebut
uji linearitas model. Pada penelitian ini
digunakan uji Ramsey-Reset yang terkenal dengan sebutan uji kesalahan spesifikasi umum.
3. Uji Statistik
a. Uji F (F Test)
Uji F dilakukan untuk mengetahui apakah model yang digunakan eksis atau
tidak.
b. R2 (Koefisien Determinasi Majemuk)
Koefisien determinasi merupakan proporsi atau prosedur total varian dependen
yang dijelaskan oleh variabel independen. Nilai R2 terletak antara 0 dan 1.
c. Uji Validitas Pengaruh
Untuk menggunakan fungsi validitas pengaruh dari variabel independen terhadap
variabel dependen digunakan uji t. Uji t
statistik ini bertujuan untuk mengetahui

besarnya pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen secara dua sisi (two tail).

HASIL PENELITIAN DAN


PEMBAHASAN
Pengujian dengan Error Correction Model
(ECM)
Model ECM (Error Correction Model) merupakan model ekonometrik yang digunakan
untuk mencari persamaan regresi keseimbangan jangka panjang dan jangka pendek.
Dalam penelitian ini hasil estimasi regresi
seperti nampak pada Tabel 1.
Dari hasil Error Correction Model
(ECM) nampak bahwa nilai ECT sebesar
0,483191 pada derajat = 5%. Hal ini berarti
nilai ECT tersebut sudah memenuhi kriteria
yaitu 0<ECT<1. Dengan kata lain model
ECM dalam penelitian ini dapat dipakai
untuk menganalisis pengaruh variabel bebas
yaitu inflasi, JUB, SBI, dan impor (M)
terhadap variabel tidak bebas yaitu kurs. Dari
hasil analisis regresi ECM bila ditulis dalam
bentuk persamaan linier sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Analisis Model ECM


Variabel

Koefisien

Std. error

T. Ststistik

Prob

C
D(INF)
D(LNM)
D(SBI)
D(LNJUB)
INF(-1)
LNM(-1)
SBI(-1)
LNJUB(-1)
ECT

3.546013
-0.000168
0.041126
0.011526
0.749601
-0.482204
-0.371070
-0.483551
-0.545433
0.483191

1.795917
0.002526
0.031006
0.017263
0.274389
0.156806
0.134930
0.155602
0.197522
0.156966

1.974485
-0.066645
1.326398
0.667668
2.731896
-3.075165
-2.750087
-3.107607
-2.761380
3.078313

0.0595
0.9474
0.1967
0.5105
0.0114
0.0050
0.0109
0.0047
0.0106
0.0050

Sumber: Data sekunder diolah

Triyono - Analisis Perubahan Kurs Rupiah


D(LKURS)= 3,54601288
0,0001683258664* D(INF) +
0,04112572539*D(LN M) +
0,01152604922*D(SBI) =
0,7496011781*D(LN JUB)
0,4822037777*INF(-1)
0,371069781*LN M(-1)
0,4835505342*SBI(-1)
0,5454332375*LN JUB(-1)+
0,4831908372*ECT

163
2
tabel

= 27,587 >

2
hitung
= 13,798244 berar-

ti tidak ada masalah heteroskedastisitas.


2. Autokorelasi
Dalam penelitian ini digunakan uji Breusch
Godfrey dengan kesimpulan:
2
2
hitung
= 6,718503 < tabel =7,81473 berarti

dalam model tidak terdapat masalah autokorelasi.


3. Normalitas t

Keterangan:
* = signifikan pada = 0,05

Model tersebut merupakan model jangka


pendek. Model jangka panjang harus melihat
keseimbangan dimana di dalamnya tercakup
serangkaian proses penyesuaian yang membawa setiap shock kepada equilibrium.
Dengan kata lain dalam jangka panjang
memungkinkan mengadakan penyesuaian
penuh untuk setiap perubahan yang timbul.
(Lihat Tabel 2)

Uji normalitas t dalam pembahasan ini


menggunakan Uji Jarque-Bera dengan
kesimpulan: nilai statistik Jarque-Bera =
0,289995 lebih kecil dari

Spesifikasi Model
Dalam penelitian ini digunakan uji RamseyReset. Karena Fhitung = 2,18131 < Ftabel = 3,40
berarti model linier.

1. Heteroskedastisitas
Untuk mendeteksi masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan Uji
White dengan kesimpulan, karena nilai

Tabel 2. Koefisien Regresi Jangka Panjang

C
INF(-1)
JUB(-1)
SBI(-1)
M(-1)

Perhitungan
3,546013/0,490864
-0,482204 + 0,490564/0,490864
-0,545433 + 0.490864/0,490864
-0,483551 + 0,490564/0,490864
-0,371070 + 0,490564/0,490864

Sumber: Data sekunder diolah

5,99146

berarti distribusi t normal

Uji Asumsi Klasik

Variabel

02, 05;3 =

= 7,22402
= 0,01764
= -0,11117
= 0,01490
= 0,24405

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

164

Tabel 4. Koefisien Regresi dalam Jangka


Pendek dan Jangka Panjang

Uji Statistik
1. Uji t

Variabel

Tabel 3. Hasil Uji t


Nama
Variabel

t hitung

t tabel

Kesimpulan

Inflasi

-0,066645

2,056

JUB
SBI

2,731896
0,66768

2,056
2,056

Import

1,326398

2,056

Inflasi-1
JUB-1

-3,075165
-2,761380

-2,056
-2,056

Tidak
berpengaruh
Berpengaruh
Tidak
berpengaruh
Tidak
berpengaruh
Berpengaruh
Berpengaruh

SBI-1
Impor-1

-3,107607
-2,750087

-2,056
-2,056

Berpengaruh
Berpengaruh

ECT

3,078313

2,056

Berpengaruh

C
D(INF)
D(LNM)
D(SBI)
D(LNJUB)
INF(-1)
LNM(-1)
SBI(-1)
LNJUB(-1)
ECT

Koefisien Regresi
Jangka
Panjang

Jangka
Pendek

3.546013
-0.000168
0.041126
0.011526
0.749601
-0.482204
-0.371070
-0.483551
-0.545433
0.483191

7,22402
0,01764
0,24405
0,01490
-0,11117
-

Sumber: Data sekunder yang diolah

2. Uji F

1. Inflasi

Dengan
kesimpulan:
Karena
Fhitung=
2,678083 > Ftabel = 2,27 berarti model yang
dipakai adalah eksis.

Dari hasil analisis jangka pendek variabel


inflasi tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap kurs. Sedangkan dari
hasil perhitungan jangka panjang variabel
inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kurs, sebesar 0.01764 dengan arah
positif yang berarti naiknya variabel inflasi
mengakibatkan naiknya variabel kurs sebesar
0,01764 atau 1,764 persen.

3. Koefisien Determinasi (R2)


Nilai R2 = 0,490864 berarti besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen sebesar 49,0864 persen, sedang
sisanya sebesar 50,9136 persen menggambarkan pengaruh dari variabel-variabel di
luar model.
Interpretasi Ekonomi
Analisis regresi baik model jangka pendek
maupun jangka panjang disajikan dalam
Tabel 4 yang selanjutnya dilakukan interpretasi ekonomi.
Interprestasi terhadap masing-masing
nilai koefisien regresi variabel bebas adalah:

2. JUB
Hasil analisis jangka pendek variabel JUB
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kurs sebesar 0,749601 dengan arah
positif yang berarti naiknya variabel JUB
akan mengakibatkan naiknya variabel kurs
sebesar 0,74601 atau 74,601 persen. Sedangkan perhitungan jangka panjang variabel JUB
berpengaruh signifikan terhadap kurs sebesar
-0,11117 dengan arah negatif artinya turun-

Triyono - Analisis Perubahan Kurs Rupiah


nya variabel JUB akan mengakibatkan naiknya variabel kurs sebesar 11,117 persen.
3. SBI
Hasil analisis jangka pendek variabel SBI
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
kurs. Sedangkan dan perhitungan jangka
panjang variabel SBI berpengaruh secara
signifikan terhadap kurs sebesar 0,01490
dengan arah positif artinya naiknya variabel
SBI akan mengakibatkan naiknya variabel
kurs sebesar 1,49 persen
4. Impor (M)
Hasil analisis jangka pendek variabel impor
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
kurs. Sedangkan dari perhitungan jangka
panjang variabel impor berpengaruh secara
signifikan terhadap kurs sebesar 0,24405
dengan arah positif yang berarti naiknya
variabel impor (M) akan mengakibatkan
naiknya kurs sebesar 0,24405 atau 24,405
persen.
5. ECT
Signifikansi pada tingkat = 0,05 dengan
nilai koefisien sebesar 0,483191. Hal ini
menunjukkan proporsi ketidakseimbangan
dalam variabel kurs sebelum disesuaikan
pada periode sekarang adalah 0,519125. nilai
koefisien tersebut dapat menjelaskan fenomena jangka panjang.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil regresi model ECM (Error
Correction Model) mengenai pengaruh
inflasi, JUB, SBI, dan impor (M) terhadap
kurs, maka dapat disimpulkan adalah sebagai
berikut:

165
1. Berdasarkan hasil uji stasioneritas
menunjukkan bahwa variabel impor
sudah stasioner pada derajat = 5%.
Sedangkan variabel kurs, inflasi, JUB
dan SBI tidak stasioner pada derajat =
5%.
2. Berdasarkan uji kointegrasi menunjukkan
bahwa inflasi, impor, SBI dan JUB tidak
berkointegrasi terhadap kurs pada derajat
kepercayaan = 5%.
3. Berdasarkan uji derajat integrasi menunjukkan bahwa variabel kurs, inflasi, JUB,
SBI dan impor stasioner pada derajat =
5%.
4. Berdasarkan hasil estimasi regresi ECM
dan analisis jangka panjang variabel
inflasi, SBI dan impor mempunyai
pengaruh yang signifikan pada = 0,05
dengan arah positif terhadap kurs.
Sementara variabel JUB mempunyai
pengaruh dengan arah negatif terhadap
kurs pada = 0,05.
5. Berdasarkan hasil pengujian asumsi
klasik, tidak ditemukan masalah heteroskedastisitas dan autokorelasi dalam
model. Model yang digunakan dalam uji
normalitas tidak terdapat penyimpangan,
sehingga dapat dikatakan bahwa distribusi Ut normal. Dalam uji linieritas
menunjukkan spesifikasi model benar.
6. Hasil analisis dengan uji t diketahui
bahwa regresi jangka pendek variabel
inflasi, SBI dan impor tidak signifikan
terhadap kurs pada = 5%, sementara
variabel JUB berpengaruh secara signifikan terhadap kurs pada = 5%. Dalam
regresi jangka panjang variabel inflasi,
JUB, SBI, dan impor berpengaruh secara
signifikan terhadap kurs pada = 5%.

166

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

7. Koefisien determinasi (R2) menunjukkan


bahwa variabel inflasi, JUB, SBI dan
impor memberikan kontribusinya sebesar
49,0864 persen terhadap kurs, sedangkan
sisanya 50,9136 persen dipengaruhi oleh
variabel bebas lain di luar model yang
digunakan.
8. Variabel ECT (Error Correction Term)
signifikan pada tingkat = 5% dengan
nilai koefisien regresi sebesar 0,483191.
Berdasarkan hasil-hasil kesimpulan di
atas, penulis memberikan beberapa saran
sebagai berikut:
1. Kebijakan untuk menjaga inflasi yang
rendah dalam jangka panjang melalui
pengetatan moneter (monetary tight
policy) untuk mengurangi jumlah uang
beredar dan ini akan menimbulkan tingkat inflasi yang menurun. Kebijakan
menurunkan tingkat inflasi dapat dilakukan dengan melihat penyebab terjadinya
inflasi tersebut apakah demand pull
inflation atau cost push inflation. Pengetatan moneter ini juga akan meningkatkan suku bunga yang berakibatkan
menguatnya kurs rupiah karena adanya
peningkatan pemasukan aliran modal luar
negeri.
2. Pemerintah agar melakukan usaha-usaha
agar nilai tukar tetap terkendali. Upaya
ini harus didukung dengan memperkuat
cadangan devisa terletak dahulu melalui
peningkatan ekspor dan meminimalkan
impor.
3. Dalam penelitian seperti ini yang mungkin dilakukan untuk selanjutnya yaitu
menambah variabel ekonomi lainnya
dengan beberapa metode yang berbeda
sehingga kita dapat membandingkan
hasilnya. Selanjutnya diharapkan peneli-

tian ini dapat dijadikan sebagai penunjang untuk penelitian selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Adias, Levi lqbal. 2003. Analisis Fluktuasi
Kurs Rupiah terhadap Dollar AS.
Skripsi. Tidak Diterbitkan. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret
Bank Indonesia. Beberapa tahun edisi, Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia.
Jakarta: BI
Bank Indonesia. Beberapa tahun edisi.
Laporan Tahunan. Jakarta: BI
Arifin, Samsjul. 1998. Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan. Vol.1 No.3,
Desember hal 1-16
Boediono. 2000. Ekonomi Mikro. Yogyakarta: BPFE UGM.
Gujarati, Damodar. 2002. Ekonometrika
Dasar. Jakarta: Erlangga
Herlambang, Sugiarto dan Baskara Said
Kelana. 2001. Ekonorni Makro: Teori
Analisis dan Kebijakan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
I Swatini, Fidya. 2003. Analisis Nilai Tukar
Rupiah terhadap Dollar AS dan Faktorfktor yang Mempengaruhinya. Skripsi.
Tidak Diterbitkan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Kuncoro, Mudrajad. 1996. Manajemen
Keuangan internasional. Edisi pertama.
Yogyakarta: BPFE UGM
Levi, Maurice D. 1996. Keuangan Internasional. Yogyakarta: Andi Offset
Levi, Maurice D. 2001. Keuangan Internasional. Yogyakarta: Andi Offset
Nastain. 2003. Analisis Pengaruh Pendapatan Nasional, Laju Inflasi, Tingkat

Triyono - Analisis Perubahan Kurs Rupiah


Suku Bunga dan Jumlah Uang Beredar
terhadap Nilai Tukar Rupiah terhadap
Dollar AS Periode 1985-2001. Skripsi.
Tidak Diterbitkan.Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Nopirin. 1997. Ekonomi Moneter. Buku I.
Yogyakarta: BPFE UGM
Purnomo, Didit dan Wahyudi. 2003. Hubungan Kausalitas Defisit Neraca Transaksi Berjalan dengan Kurs di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan.
Vol. 4. No. 1, Juni. hal 18-29 Surakarta:
BPPE FE UMS
Setyowati, Eni, dan Soepatini. 2004. Analisis
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai
Tukar Rupiah terhadap Dollar AS
dengan Pendekatan Neraca Pembayaran
(Pendekatan Engle Granger Error Correction Model). Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 5. No.2, Desember hal
147-159, Surakarta: BPPE FE UMS.

167
Sukirno, Sadono. 2000. Makro Ekonorni
Modern Perkembangan Pemikiran dari
Klasik Hingga Keynesian Baru. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Susilo, Y. Sri; Sigit Triandaru dan A. Totok
Budi Santoso. 2000. Bank dan Lembaga
Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat.
Utomo, Yuni Prihadi. 2005. Penurunan
Model Estimasi Jangka Pendek ECM.
Surakarta (makalah tidak diterbitkan).

Jurnal Ekonomi Pembangunan


Vol. 9, No. 2, Desember 2008, hal. 168 - 183

PRODUKTIVITAS LAHAN DAN BIAYA USAHATANI TANAMAN


PANGAN DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL
Suwarto
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta
E mail: suwar_uns@yahoo.co.id

ABSTRACT
This research aims to investigate land productivity and cost of production of food
crops farm in Gunung Kidul. The result of this research found that using labor,
fertilizer, and manure increases the land productivity. Similar to, farmers education
increases the land productivity. Based on dummy variables, the household labor
increases the land productivity. The self-owned land productivity is higher than the
rented one belonging to HB, land productivity of forestation department loan is
lower than the rented one belonging to HB. Prices of labor, phosphate fertilizer, and
organic manure increases the production cost of food crops farm. Based on dummy
variables, the production cost of food crops farm LKP rented land is higher than one
from other land institution. On the contrary, the cost of production of food crops
farmland forestation department loan is lower than one from other land institution.
Keywords: land productivity, food crops, production cost
PENDAHULUAN
Berusahatani adalah suatu kegiatan untuk
memperoleh produksi dan pendapatan di
bidang pertanian. Pendapatan berupa selisih
nilai produksi atas biaya-biaya yang secara
eksplisist dikeluarkan petani dalam usahatani. Dalam hal ini salah satu cara yang dapat
dilakukan petani dalam efisiensi usahatani
yaitu dengan meminimumkan biaya untuk
suatu tingkat produksi tertentu (Nicholson,
1998)
Lahan sebagai faktor produksi penting
yang ketersediaannya terbatas dan terdistribusi tidak merata menimbulkan kerjasama
antara pemilik lahan luas dengan petani
berlahan sempit atau petani tidak berlahan
dalam suatu kelembagaan lahan (Fujimoto,
1996; Sangwan, 2000; Sharma, 2000;

Hartono et al., 2001). Kelembagaan lahan


yaitu aturan-aturan kerjasama yang disepakati dan dipatuhi oleh suatu masyarakat.
Kebutuhan tenaga kerja pada usahatani
fluktuatif selaras musim dan pertumbuhan
tanaman. Para petani terbiasa hidup dengan
saling membantu, kerjasama tenaga kerja
tersebut melembaga menjadi kelembagaan
tenaga kerja. Kelembagaan tenaga kerja di
dalamnya terkandung kaidah-kaidah baik
formal atau informal yang mengatur penggunaan tenaga kerja dalam suatu masyarakat.
Kelembagaan lahan dan tenaga kerja
dapat berpengaruh terhadap produktivitas
lahan dan biaya usahatani. Debertin (1986)
menjelaskan bahwa jika biaya sewa lahan
harus dibayar di muka, maka akan mengurangi kemampuan penyewa membeli input

Suwarto - Produktivitas Lahan dan Biaya Usahatani

169

produksi. Pengaruh modernisasi terhadap


kelembagaan tenaga kerja, diungkapkan oleh
Iwamoto et al. (Hartono, 2003) bahwa
modernisasi berdampak melemahkan kelembagaan tenaga kerja non upahan yang
berlandaskan sistem kegotong-royongan dan
kebersamaan, seperti sambatan dan bawon.
Kelembagaan tenaga kerja non upahan yang
sebelum ini menolong petani kecil karena
murah kini banyak digantikan dengan
pengupahan yang komersial.

Constant Elasticity of Substitution (CES),


fungsi transcendental, dan fungsi translog.
Dari fungsi produksi yang telah dikembangkan banyak ahli di antaranya Sri Widodo
(1986) dan Soekartawi (1994) menjelaskan
bahwa fungsi produksi Cobb Douglas
merupakan fungsi produksi yang banyak
dipergunakan. Pada awalnya diperkenalkan
tahun 1928 fungsi tersebut menurut Debertin
(1986) hanya meliputi dua input variabel.

Diduga produktivitas lahan dan biaya


usahatani tanaman pangan tumpang sari para
petani dipengaruhi oleh penggunaan input
dan kelembagaan.

Y = AX1X21-

Selaras dengan permasalahan yang


dikemukakan diatas, penelitian ini bertujuan
mengetahui produktivitas lahan dan biaya
usahatani tanaman pangan tumpang sari di
Kabupaten Gunung Kidul.
Landasan teori dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Produktivitas Usahatani
Produktivitas adalah rasio dari total output
dengan input yang dipergunakan dalam
produksi (Heady, 2002). Selanjutnya Heady
(2002) menjelaskan bahwa berkenaan dengan
lahan, produktivitas lahan berkesesuaian
dengan kapasitas lahan untuk menyerap input
produksi dan menghasilkan output dalam
produksi pertanian.
Konsep dasar yang dipergunakan untuk
menganalisis produktivitas adalah fungsi
produksi. Dewasa ini telah banyak fungsi
produksi yang dikembangkan dan dipergunakan. Soekartawi (1994) menjelaskan bahwa
fungsi-fungsi yang sering dipergunakan yaitu
fungsi linier, fungsi kuadratik, fungsi
produksi Cobb-Douglas, fungsi produksi

.(1)

Keterangan:
Y = produksi,
X1 = tenaga kerja,
X2 = modal.
Dalam perkembangannya, fungsi produksi Cobb-Douglas dapat meliputi atas dua
atau lebih variabel bebas, disebut dengan
fungsi produksi tipe Cobb-Douglas yang
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Y = aX1b1 X2b2, ...Xibi, ... Xnbn

.(2)

Keterangan:
Y = variabel dependen (output),
X = variabel independen (input),
a dan b = koefisien yang diduga.
Untuk memudahkan proses perhitungan,
persamaan dua (2) diubah ke dalam bentuk
linier yaitu dengan melogaritmakan persamaan tersebut dalam bentuk double natural
logaritma (ln) menjadi sebagai berikut:
Ln Y = ln a + b1 ln X1 + b2 ln X2 + ... +
bn ln Xn

.(3)

170

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

Secara umum fungsi produksi CobbDouglas memiliki kelebihan yaitu: (1) penyelesaiannya relatif mudah, karena dengan
mudah dapat ditransfer ke bentuk linier, (2)
hasil pendugaan garis melalui fungsi CobbDouglas akan menghasilkan koefisien regresi
yang berguna sebagai penunjuk besarnya
elastisitas, (3) penjumlahan dari elastisitas
tersebut menunjukkan besarnya return to
scale.
Selanjutnya, merujuk pada Jatileksono
(1993), untuk menganalisis hasil penelitian,
output tanaman pangan (Y) yang heterogen
seperti padi, jagung, kedele, dan kacang
tanah, maka Y diukur dalam nilai produksi.
Nilai produksi adalah perkalian output (Y)
dengan harga output (Py). Perbedaan nilai
output per petani dalam hal ini menggambarkan perbedaan kualitas output pada setiap
petani. Untuk mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap produktivitas lahan
tanaman pangan, dilakukan dengan analisis
fungsi produksi. Produksi tanaman pangan
sebagai output (Y) dipengaruhi oleh input
faktor produksi yaitu: lahan (A), tenaga kerja
(L), modal lancar (C), lingkungan fisik
usahatani (E), teknologi (T), dan karakteristik
petani (S). Dalam jangka pendek teknologi
dianggap sama, dengan demikian fungsi
produksi dapat dirumuskan sebagai:
Y= F(A, L, C, E, S)

. (4)

Fungsi ini dianggap memenuhi asumsi


baku untuk fungsi produksi, dan dalam satu
kali proses produksi tanaman pangan,
diasumsikan bahwa A, E, T, dan S adalah
variabel-variabel eksogen.

2. Biaya Produksi
Salah satu cara yang dapat dilakukan petani
dalam efisiensi usahatani yaitu dengan meminimumkan biaya untuk suatu tingkat
produksi tertentu. Diasumsikan bahwa dalam
produksi dipergunakan faktor produksi
modal (K), dan tenaga kerja (L), maka
minimasi biaya dapat dirumuskan sebagai:
Minimasi C = wL + rK

.(5)

Subject to, F(K,L) = Y0

.(6)

Dalam hal ini w = tingkat upah tenaga kerja,


r = bunga modal, Y0 = tingkat produksi yang
diinginkan.
Menggunakan fungsi produksi tipe
Cobb-Douglas, fungsi produksi dapat dirumuskan:
F(K, L) = AKL

.(7)

Merujuk kepada Pindyck dan Rubinfeld


(2001), upaya minimasi biaya untuk
memproduksi sebesar Y0, dengan modal (K),
dan tenaga kerja (L) dapat dinotasikan
dengan Lagrangian sebagai berikut:
= wL + rK (AKL - Y0)

.......(8)

Derivasi terhadap L, K dan , dan


menyamakan turunannya dengan nol, maka
diperoleh:
/L = w (AKL-1) = 0

.......(9)

/K = r (AK-1L ) = 0

.......(10)

/ = AKL Y0 = 0

.......(11)

Suwarto - Produktivitas Lahan dan Biaya Usahatani


Dari persamaan 9 diperoleh:

171

Jika persamaan 12 disubstitusikan ke


persamaan 10 maka diperoleh:

Besarnya biaya total untuk output Y


selanjutnya dapat diperoleh dengan mensubstitusikan persamaan 17 untuk K dan 18
untuk L pada persamaan 5, yaitu C = wL +
rK. Dengan operasi aljabar secara sederhana
diperoleh:

rAKL-1 = wAK-1L

.......(13)

C = w /(+ ) r /(+ ) [(/) / (+ ) +

atau L = rK/w

.......(14)

= w/AKL-1

.......(12)

(/) - /(+ ) ](Y/A)1/(+ )

.(19)

Selanjutnya menggunakan persamaan 14


untuk mengeliminasi L dari persamaan 11
diperoleh:

Selanjutnya jika + = 1, kondisi constant returns to scale, maka persamaan 19


dapat disederhanakan sebagai berikut:

AK r K / w = Y0

.......(15)

C = w r [(/) +( /) - ](1/A)Y .(20)

Persamaan 15 dapat disederhanakan


menjadi:

Fungsi biaya tersebut menunjukkan


bahwa total biaya akan meningkat jika total
produksi ditingkatkan hingga suatu tingkat
tertentu, atau akan berubah jika tingkat upah
dan bunga modal berubah. Sejalan dengan
teori tersebut, Silberberg (1978) merumuskan
fungsi biaya sebagai berikut:

K+ = (w/ r) Y0/A

.......(16)

atau K = [(w/ r) /(+ ) ](Y0/A)1/(+ ) .... (17)


Persamaan 17 berarti modal minimal
yang dapat dipergunakan untuk memproduksi sejumlah Y0. Selanjutnya minimasi biaya
tenaga kerja dapat diperoleh dengan mensubstitusikan persamaan 17 ke dalam persamaan
14 yaitu sebagai berikut:
L = [(r/w) / (+ ) ](Y0/A)1/(+ )

.......(18)

Dalam hal ini jika tingkat upah (w)


secara relatif meningkat terhadap bunga
modal (r) maka petani akan memilih lebih
padat modal, dengan mengurangi penggunaan tenaga kerja, dan sebaliknya. Jika
teknologi budidaya meningkat, bertambah
baik, maka penggunaan biaya modal dan
tenaga kerja per satu satuan output menurun.

C = f(Y, pi, ..., pn)

.(21)

Keterangan:
C = biaya produksi,
Y = tingkat produksi,
pi, ..., pn = harga input X1, ..., Xn.
Dalam bentuk fungsi produksi CobbDouglas, maka fungsi biaya tersebut dapat
diformulasikan sebagai berikut:
C = A Y (pi) i

.......(22)

Dalam bentuk logaritma natural, persamaan 22 dapat disajikan sebagai berikut:

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

172
m

Ln C = Ln A + Ln Y +

lnp

.(23)

i =1

Keterangan:
C =
A =
Y =
i, i

biaya produksi,
intersep,
produksi,
= koefisien regresi.

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada dua dusun di
Kabupaten Gunung Kidul wilayah tenggara,
yaitu di Dusun Widoro Wuni, Desa Balong,
Kecamatan Girisubo dan di Dusun Candisari,
Desa Hargosari, Kecamatan Tanjungsari.
Semua petani di kedua dusun yaitu 88 KK di
Dusun Widoro Wuni dan 137 KK di Dusun
Candisari dijadikan responden. Dusun
Widoro Wuni relatif jauh dari pembinaan dan
relatif jauh dari pasar, kurang lebih 37 km
tenggara dari ibukota kabupaten. Dusun
Candisari kurang lebih 12 km, sebelah
tenggara dari ibu kota kabupaten relatif dekat
dengan pusat pembinan, mudah mengakses
pasar. Pengumpulan data primer penelitian
ini dilakukan dari bulan Agustus 2005 hingga
Desember 2005.
Responden menurut kelembagaan lahan
meliputi petani pemilik penggarap, penyewa
lahan lungguh-kas desa-pengarem-arem-dan
milik perseorangan (LKP), penyewa lahan
Hamengku Buwono (HB), dan peminjam
lahan kehutanan (berusahatani di antara
tanaman jati muda milik kehutanan). Menurut kelembagaan tenaga kerja pada usahatani,
petani dapat dikelompokkan atas petani
pengguna tenaga kerja upahan, royongan

(upah dibayar setelah panen, yaitu pada


waktu bodo atau Idul Fitri, rasul yaitu acara
selamatan bersih desa, dan pada waktu
17an), arisan atau RTan, sambatan, dan yang
hanya menggunakan tenaga sendiri. Di
samping itu, menurut pekerjaan luar usahatani, petani dapat dibedakan atas pedagang
dan penyedia jasa, tukang dan pengrajin,
buruh tani, dan tani saja yaitu tidak memiliki
pekerjaan luar usahatani.
Metode Analisis data
Untuk menguji pengaruh kelembagaan lahan,
kelembagaan tenaga kerja, dan faktor-faktor
lainnya terhadap produktivitas lahan tanaman
pangan disusun model 1 regresi berganda
sebagai berikut:
ln Q/A = ln + 1 lnX1 + 2 ln X2 +3 ln X3 +
4 ln X4 + 5 lnX5 + 6 ln X6 +
7 ln X7 + 1 D1 + 2 D2 + 3 D3 +
4 D4 + 5 D5 +6 D6 + 7 D7 +
8 D8 + 9 D9 + 10 D10 +

.(1)

Keterangan:
Q/A = produktivitas lahan (ribu rupiah/ha),
= intersep,
i = koefisien regresi (i=1 s/d 7),
i = koefisien variabel dummy (i=1 s/d 10),
X1 = luas lahan tanaman pangan (ha),
X2 = tenaga kerja (HOK/ha),
X3 = pupuk nitrogen(kg/ha),
X4 = pupuk phosfat (kg/ha),
X5 = pupuk organik (kg/ha),
X6 = pendidikan Kepala Keluarga (tahun),
X7 = umur Kepala Keluarga (tahun),
Dummy kelembagaan lahan,
D1 = 1 jika pemilik penggarap,

Suwarto - Produktivitas Lahan dan Biaya Usahatani


D1
D2
D2
D3
D3

=
=
=
=
=

Keterangan:

0 jika lainnya,
1 jika sewa lahan LKP,
0 jika lainnya,
1 jika pinjam lahan Kehutanan,
0 jika lainnya,

CTP = biaya produksi usahatani tanaman


pangan (ribu rupiah/ha),
= intersep,
i = koefisien regresi (i=1 s/d 9),
i = koefisien variabel dummy (i = 1 s/d
10),
X1 = upah tenaga kerja (ribu rupiah/HOK),
X2 = harga pupuk nitrogen (ribu rupiah/kg)
X3 = harga pupuk phosfat(ribu rupiah/ kg),
X4 = harga pupuk organik(ribu rupiah/ kg),
X5 = jumlah tenaga kerja keluarga (orang),
X6 = luas lahan tanaman pangan (ha),
X7 = produktivitas lahan (ribu rupiah/ha/
tahun),
X8 = pendidikan Kepala Keluarga (tahun),
X9 = umur Kepala Keluarga (tahun),

Dummy kelembagaan tenaga kerja,


D4 = 1 jika tenaga upahan,
D4 = 0 jika lainnya,
D5 = 1 jika tenaga kerja royongan,
D5 = 0 jika lainnya,
D6 = 1 jika arisan atau RTan,
D6 = 0 jika lainnya,
D7 = 1 jika tenaga kerja sambatan,
D7 = 0 jika lainnya,
Dummy pekerjaan luar usahatani,
D8 = 1 jika pedagang dan jasa,
D8 = 0 jika lainnya,
D9 = 1 jika tukang dan perajin,
D9 = 0 jika lainnya,
Dummy lingkungan usahatani,
D10 = 1 jika tempat tinggal dekat dengan
kota,
D10 = 0 jika lainnya,
= error term
Untuk menguji pengaruh kelembagaan
lahan, kelembagaan tenaga kerja, dan faktorfaktor lainnya terhadap biaya produksi
usahatani disusun model 2 regresi berganda
sebagai berikut:
ln CTP = ln + 1 lnX1 + 2 ln X2 + 3 ln X3 +
4 ln X4 + 5 lnX5 + 6 ln X6 +
7 ln X7 + 8 lnX8 + 9 ln X9 +
1 D1 + 2 D2 + 3 D3 + 4 D4 +
5 D5 + 6 D6 + 7 D7 + 8 D8 +
9 D9 + 10 D10 +

173

.......(2)

Dummy kelembagaan lahan,


D1 = 1 jika pemilik penggarap,
D1 = 0 jika lainnya,
D2 = 1 jika sewa lahan LKP,
D2 = 0 jika lainnya,
D3 = 1 jika pinjam lahan Kehutanan,
D3 = 0 jika lainnya,
Dummy kelembagaan tenaga kerja pada
usahatani,
D4 = 1 jika tenaga kerja upahan,
D4 = 0 jika lainnya,
D5 = 1 jika tenaga kerja royongan,
D5 = 0 jika lainnya,
D6 = 1 jika arisan atau RTan,
D6 = 0 jika lainnya,
D7 = 1 jika tenaga kerja sambatan,
D7 = 0 jika lainnya,

Dummy pekerjaan luar usahatani,


D8 = 1 jika pedagang dan jasa,
D8 = 0 jika lainnya,
D9 = 1 jika tukang dan perajin,
D9 = 0 jika lainnya,

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

174

Dummy lingkungan usahatani,


D10 = 1 jika tempat tinggal dekat dengan

HASIL PENELITIAN DAN


PEMBAHASAN

pasar atau kota,


Produktivitas Lahan Tanaman Pangan

D10 = 0 jika lainnya,


= error term
Pengujian Model Regresi
Pengujian model regresi berganda atas data
cross section yang dipergunakan untuk mengetahui apakah tidak terdapat pelanggaran
terhadap asumsi klasik yaitu adanya multikolinearitas dan heteroskedastisitas. Jika terdapat pelanggaran terhadap kaidah tersebut
maka harus dilakukan pengobatan. Selanjutnya pengujian kesesuaian model dilakukan
meliputi adjusted R2, uji F dan uji t (Greene,
2003 dan Gujarati, 2003).

Sebagaimana data pada Tabel 1, produktivitas lahan tanaman pangan para petani yang
dekat kota, sesuai kelembagaan lahan ratarata Rp3.742.000,- per ha per tahun oleh para
petani penyewa LKP relatif lebih besar dari
produktivitas lahan tanaman pangan bagi
para petani dalam kelembagaan lahan lainnya. Demikian pula produktivitas lahan
tanaman pangan petani penyewa LKP yang
jauh dari kota Rp4.523.000,- per ha per tahun
relatif lebih besar dari produktivitas lahan
tanaman pangan bagi para petani dalam
kelembagaan lahan lainnya.
Produktivitas lahan tanaman pangan para
petani yang dekat kota, sesuai kelembagaan

Tabel 1. Rata-rata Produktivitas Lahan Berdasarkan Kelembagaan Lahan dan Tenaga Kerja
di Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2005 dalam Ribuan Rupiah per ha
Kelembagaan Lahan
Kel. Naker.
Milik

Sewa LKP

Sewa LHB

Pnj. Lhut

Rata-rata

Relatif dekat dengan kota atau pasar, mudah mengakses perkerjaan luar usahatani (1)
Upahan
3.760
3.540
0
2.390
Royongan
3.510
3.654
3.090
1.652
Arisan/RTan
3.497
2.738
2.630
1.648
Sambatan
3.336
0
0
0
Sendiri
4.277
4.346
2.902
2.284
Rata-rata (1)
3.189
3.742
2.332
1.742
Relatif jauh dari kota atau pasar, sulit mengakses perkerjaan luar usahatani (2)
Upahan
3.257
0
2.994
0
Royongan
2.621
0
2.731
0
Arisan/RTan
3.466
0
3.076
0
Sambatan
2.714
0
0
0
Sendiri
3.768
4.523
3.335
0
Rata-rata (2)
3.357
4.523
3.158
0
3.251
3.829
2.927
1.742
Rata2 (1&2)
Sumber: Analisis Data Primer
Keterangan: LKP= lahan lungguh, Kas Desa, pengarem-arem, dan milik perseorangan,
LHB = lahan milik Hamengku Buwono, Pnj. Lhut = pinjam lahan milik Kehutanan

3.688
3.343
3.352
3.336
4.071
3.525
3.239
2.648
3.384
2.714
3.669
3.330
3.449

Suwarto - Produktivitas Lahan dan Biaya Usahatani

175

tenaga kerja rata-rata Rp4.071.000,- per ha


per tahun oleh para petani yang mengerjakan
sendiri usahataninya, relatif lebih besar dari
produktivitas lahan tanaman pangan bagi
para petani dalam kelembagaan tenaga kerja
lainnya. Demikian pula produktivitas lahan
tanaman pangan petani yang mengerjakan
sendiri usahataninya, yang jauh dari kota,
rata-rata Rp3.669.000,- per ha per tahun
relatif lebih besar dari produktivitas lahan
tanaman pangan bagi para petani dalam
kelembagaan tenaga kerja lainnya.

tersebut menunjukkan pentingnya intensifikasi pemeliharaan tanaman pada lahan yang


sercara umum tidak subur dan relatif terpencar tersebut. Elastisitas produktivitas lahan
atas penggunaan tenaga kerja 0,077, berarti
peningkatan penggunaan tenaga kerja dapat
meningkatkan produktivitas lahan. Dewasa
ini para petani rata-rata mengalokasikan 486
HOK/ha/tahun, dengan 300 HOK/ha/tahun
tenaga kerja keluarga untuk usahataninya.
Penggunaan tenaga kerja yang tinggi dimaksudkan petani sebagai upaya intensifikasi.

Model yang disusun untuk menjelaskan


faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas lahan (model 1) mendapatkan F-tabel
nyata pada taraf kesalahan 5 persen, dan
tidak terdapat multicollinearity. Nilai korelasi antarvariabel bebas terbesar 0,504 yaitu
antara pendidikan dan umur kepala keluarga.
Adjusted R2 sebesar 0,45 yang berarti bahwa
45 persen variasi produktivitas lahan dapat
dijelaskan oleh variabel-variabel bebas pada
model yang disusun. Namun model mengindikasikan adanya heteroscedasticity, hal tersebut ditunjukkan oleh hasil test heteroscedasticity pada model varlin, stdlin, dan
mult nyata. Untuk mengatasi pelanggaran
terhadap kaidah heteroscedasticity tersebut
dilakukan dengan menggunakan regresi
model heteroscedasticity. Nilai Likelihood
Ratio (LR) nyata pada taraf kesalahan
5persen, dan ketiga model heteroscedasticity
(varlin, stdlin, dan mult) dapat memperbaiki
model OLS. Model heteroscedasticity dengan
mult mendapatkan 13 koefisien regresi nyata
dipergunakan untuk menjelaskan model
regresi.

Sejalan dengan penggunaan tenaga


kerja, penggunaan pupuk nitrogen, pupuk
phosfat dan pupuk organik juga meningkatkan produktivitas lahan. Secara berturut-turut
elastisitas produktivitas lahan atas ketiga
variabel tersebut yaitu 0,041; 0,011; dan
0,093, dan dosis pupuk yang digunakan para
petani rata-rata berturut-turut 170kg/ha,
8kg/ha, dan 2.802 kg/ha. Dalam hal ini
peningkatan penggunaan pupuk organik,
yang umumnya adalah milik petani sendiri
penting untuk meningkatkan produktivitas
lahan bagi daerah yang berlahan kering dan
kurang subur tersebut

Elastisitas produktivitas lahan atas luas


lahan tanaman pangan -0,146 berarti peningkatan luas penguasaan lahan tanaman pangan
akan menurunkan produktivitas lahan. Hal

Dari karakteristik petani yang diteliti,


pada tingkat kesalahan 5 persen pendidikan
petani berpengaruh nyata, meningkatkan
produktivitas lahan. Hasil penelitian ini
sejalan dengan pendapat Mugniesyah dan
Mizuno (2003) bahwa tingkat pendidikan
penting dalam pengelolaan input produksi.
Namun hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa umur petani tidak berpengaruh nyata
terhadap produktivitas lahan. Rata-rata para
petani berumur 51 tahun, para petani telah
disosialisaikan pada usahatani sejak kecil,
sehingga dengan kelembagaan lahan, tenaga
kerja, dan teknologi budidaya yang dipergunakan para petani dewasa ini, bertambahnya

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

176

umur petani tidak meningkatkan produktivitas lahan.


Menurut kelembagaan lahan diketahui
bahwa produktivitas lahan pemilik-penggarap pada tingkat kesalahan 5 persen lebih
tinggi dari produktivitas lahan pada kelembagaan lahan lainnya. Hal tersebut dapat
mengindikasikan bahwa teknis budidaya para
petani pemilik penggarap lebih baik. Sebaliknya produktivitas lahan petani peminjam
lahan Kehutanan lebih rendah dari produktivitas lahan petani pada kelembagaan lahan
lainnya. Lebih rendahnya produktivitas lahan

pinjaman lahan Kehutanan (berusahatani di


antara pohon jati muda), hal tersebut dapat
disebabkan perbedaan kesesuaian persyaratan
tumbuh. Persaingan antara tanaman pangan
dengan tanaman jati akan semakin besar
dengan semakin rapat dan bertambahnya
umur tanaman jati dan akan menurunkan
produktivitas tanaman pangan. Produktivitas
lahan penyewa lahan LKP pada tingkat
kesalahan 5 persen tidak berbeda dengan
produktivitas lahan para petani lainnya. Hasil
analisis tersebut menyiratkan bahwa perbedaan produktivitas lahan secara relatif (Tabel 2)
antara petani penyewa LKP dengan produkti-

Tabel 2. Hasil Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Lahan


Tanaman Pangan (Ln Ribu Rp/ha) di Kabupaten Gunung Kidul
Tahun 2005
Model
Variabel
Ln lahan tan. pangan (ha)
Ln tenaga kerja (HOK/ha)
Ln pupuk nitrogen (kg/ha)
Ln pupuk phosfat (kg/ha)
Ln pupuk organik (kg/ha)
Ln pendidikan KK (tahun)
Ln umur KK (tahun)
Dummy Kel.lahan
- Pemilik penggarap
- Sewa LKP
- Pinjam lahan Kehutanan
Dummy kel. Tenaga kerja
- Upahan
- Royongan
- Arisan atau RTan
- Sambatan
Dummy pekerjaan luar UT
- Pedagang dan jasa
- Tukang & pengrajin
Dummy lingkungan UT
- Relatif dekat kota
Konstanta
Adjusted R2

OLS

Heteros. (mult)

Koef. Reg.

t-hit.

Koef. Reg.

t-hit.

-0,136*
0,109*
0,026
0,007
0,113*
0,014
0,002

-4,473
2,695
1,694
1,820
2,279
1,581
0,036

-0,146*
0,077*
0,041*
0,011*
0,093*
0,017*
0,057

-5,733
2,365
2,352
4,309
2,286
2,115
1,054

0,119*
0,174
-0,393*

2,879
0,935
-4,152

0,106*
0,057
-0,353*

3,194
1,142
-5,844

-0,071
-0,150*
-0,100*
-0,155*

-1,409
-3,189
-2,300
-2,252

-0,128*
-0,152*
-0,153*
-0,170*

-3,009
-4,082
-4,019
-2,473

0,020
-0,018

0,531
-0,563

0,063
-0,033

1,888
1,172

0,092*
6,244*
0,448
F-hitung

2,754
13,23

0,086*
6,316*
0,448
LR=84,44*

2,811
16,17

11,709*

Sumber: Analisis Data Primer


Keterangan: LKP = lahan lungguh, Kas Desa, pengarem-arem, dan milik perseorangan, RT= rumah tangga,
UT= usahatani, *)= nyata pada 5%.

Suwarto - Produktivitas Lahan dan Biaya Usahatani


vitas lahan para petani lainnya ternyata tidak
nyata. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
variasi produktivitas lahan LKP yang besar.
Menurut kelembagaan tenaga kerja,
diketahui bahwa produktivitas lahan yang
menggunakan tenaga kerja upahan, royongan, arisan atau RTan, dan sambatan sesuai
data pada Tabel 1 lebih rendah dari produktivitas lahan pada kelembagaan tenaga kerja
lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa
penggunaan tenaga kerja keluarga lebih baik
dari penggunaan tenaga kerja luar keluarga.
Di samping itu, para petani yang tidak menggunakan tenaga kerja luar keluarga rata-rata
berlahan sempit, para petani tersebut dapat
memelihara tanaman secara lebih intensif.
Dilihat dari pekerjaan luar usahatani,
petani sebagai pedagang dan penyedia jasa,
tukang dan perajin mendapatkan produktivitas lahan tidak berbeda dengan produktivitas
lahan petani lainnya. Hal tersebut menyiratkan bahwa kesempatan bekerja pada luar
usahatani yang sekarang ini belum menghambat aktivitas para petani berusahatani,
karena rata-rata luas penguasaan lahan
pangan hanya 0,42 ha.
Menurut dummy lokasi, diketahui para
petani yang dekat dengan kota (mudah
mengakses pasar atau pekerjaan luar usahatani) mendapatkan produktivitas lahan lebih
besar dari produktivitas lahan para petani
yang jauh dari kota atau pasar. Rata-rata
produktivitas lahan para petani dekat kota
Rp3.525.000,- per ha per tahun dan produktivitas lahan para petani yang jauh dari kota
atau pasar sebesar Rp3.330.000,- per ha per
tahun. Hal tersebut di antaranya dapat
berkenaan dengan kelembagaan lahan dan
penggunaan input produksi. Para petani dekat
kota 117 KK atau 85 persen dari seluruh
petani tersebut adalah petani pemilik pengga-

177

rap yang dalam hal ini lebih banyak dari para


petani pemilik penggarap yang jauh dari kota
yaitu 78 persen. Para petani relatif lebih
dekat dengan kota (pusat pembinaan), menggunakan biaya produksi yang lebih besar
yaitu Rp1.036.000,- per ha per tahun lebih
tinggi dari penggunaan biaya produksi para
petani yang jauh dari kota yaitu Rp950.000,per ha per tahun. Biaya tersebut di antaranya
untuk pembelian pupuk nitrogen dan pupuk
phosfat. Rata-rata biaya pembelian pupuk
tersebut per ha per tahun sebesar
Rp210.362,- untuk para petani dekat kota dan
Rp178.293,- untuk para petani yang jauh dari
kota.
Biaya Produksi Usahatani Tanaman
Pangan
Biaya produksi usahatani sebagai faktor
penting yang berpengaruh terhadap pendapatan usahatani. Biaya produksi usahatani
tanaman pangan para petani sesuai kelembagaan lahan rata-rata Rp1.611.000,- dan
Rp1.422.000,- per ha per tahun oleh para
petani penyewa lahan LKP secara berturutturut yang dekat dan yang jauh dari kota.
Secara relatif biaya produksi usahatani
tanaman pangan per ha per tahun tersebut
lebih besar dari biaya tersebut bagi para
petani dalam kelembagaan lahan lainnya
pada masing-masing wilayah tempat tinggal
petani.
Biaya produksi usahatani lahan tanaman
pangan para petani yang dekat kota, sesuai
kelembagaan
tenaga
kerja
rata-rata
Rp1.272.000,- per ha per tahun oleh para
petani yang menggunakan tenaga kerja
upahan dalam usahataninya, relatif lebih
besar dari biaya produksi usahatani tanaman
pangan bagi para petani dalam kelembagaan

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

178

tenaga kerja lainnya. Biaya produksi usahatani lahan tanaman pangan petani yang
menggunakan tenaga kerja royongan, yang
jauh dari kota, rata-rata Rp905.000,- per ha
per tahun relatif lebih besar dari biaya
produksi usahatani tanaman pangan bagi para
petani dalam kelembagaan tenaga kerja
lainnya.
Pengaruh kelembagaan lahan, tenaga
kerja dan faktor-faktor lainnya terhadap
biaya produksi tanaman pangan disajikan
data hasil analisis fungsi biaya pada Tabel 3.
Model yang disusun untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi variasi biaya
produksi tanaman pangan (model 2) mendapatkan F-Tabel nyata pada taraf kesalahan 5
persen, dan tidak terdapat multicollinearity.
Nilai korelasi antarvariabel bebas terbesar

0,534 yaitu antara tingkat upah tenaga kerja


luar keluarga dengan luas lahan tanaman
pangan. Variabel-variabel bebas pada model
yang disusun mampu menjelaskan 48persen
dari variasi total biaya produksi tanaman
pangan sebagaimana nilai adjusted R2.
Namun model mengindikasikan adanya
heteroscedasticity, hal tersebut ditunjukkan
oleh hasil test heteroscedasticity nyata.
Untuk mengatasi pelanggaran terhadap
kaidah homoscedaticity tersebut dilakukan
perbaikan dengan menggunakan regresi
model heteroscedasticity. Nilai Likelihood
Ratio (LR) nyata pada taraf kesalahan
5persen, dan model heteroscedasticity
dengan varlin, stdlin, mult, dan depvar dapat
memperbaiki model OLS. Model heteroscedasticity (varlin) mendapatkan 8 koefisien
regresi nyata (lebih banyak) pada taraf

Tabel 3. Rata-rata Biaya Produksi Usahatani Tanaman Pangan per ha Berdasarkan


Kelembagaan Lahan dan Tenaga Kerja di Kabupaten Gunung Kidul
Tahun 2005 dalam Ribuan Rupiah
Kelembagaan Lahan
Kel. Naker.
Milik

Sewa LKP

Sewa LHB

Pnj. LHut

Rata-rata

Relatif dekat dengan kota atau pasar, mudah mengakses perkerjaan luar usahatani (1)
Upahan
1.215
1.868
0
1.334
1.272
Royongan
1.051
1.425
866
566
1.041
Arisan/RTan
995
1.419
814
537
977
Sambatan
749
0
0
0
749
Sendiri
786
1.628
718
418
877
Rata-rata (1)
1.018
1.611
794
684
1.029
Relatif jauh dari kota atau pasar, sulit mengakses perkerjaan luar usahatani (2)
895
0
575
0
873
Upahan
Royongan
900
0
920
0
905
Arisan/RTan
801
0
881
0
818
Sambatan
701
0
0
0
701
Sendiri
832
1.422
708
0
814
Rata-rata (2)
836
1.422
774
0
830
950
1.590
780
684
951
Rata2 (1&2)
Sumber: Analisis Data Primer
Keterangan: LKP= lahan lungguh, Kas Desa, pengarem-arem, dan milik perseorangan, LHB = lahan milik
Hamengku Buwono, Pnj. Lhut = pinjam lahan milik Kehutanan

Suwarto - Produktivitas Lahan dan Biaya Usahatani

179

Tabel 4. Hasil Analisis Fungsi Biaya Produksi Usahatani Tanaman Pangan (Ln Ribu Rp/ha)
di Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2005
Model
Variabel
Ln upah naker. (ribuRp/HOK)
Ln harga pupuk N (ribuRp/kg)
Ln harga pupuk P (ribuRp/kg)
Ln harga pupuk org (ribuRp/kg)
Ln jum. kel. kerja (orang)
Ln luas lahan pangan (m2)
Ln produktvitas lhn (ribuRp/ha)
Ln pendidikan KK(tahun)
Ln Umur KK (tahun)
Dummy Kel.lahan
- Pemilik penggarap
- Sewa LKP
- Pinjam lahan Kehutanan
Dummy kel. Tenaga kerja
- Upahan
- Royongan
- Arisan atau RTan
- Sambatan
Dummy pekerjaan luar UT
- Pedagang dan jasa
- Tukang & pengrajin
Dummy lingkungan UT
- Relatif dekat ko ta
Konstanta
adjusted R2

OLS

Heteros. (Varlin)

Koef. Reg.

t-hit.

Koef. Reg.

t-hit.

0,038
0,114
0,018*
0,400*
-0,012
-0,028
0,305*
0,021
0,112

1,793
0,501
2,943
5,347
-0,253
-0,706
3,676
1,959
1,471

0,040*
0,010
0,021*
0,460*
-0,021
-0,046
0,309*
0,015
0,127*

2,095
0,061
4,161
10,37
-0,508
-1,359
4,674
1,770
2,112

0,011
0,528*
-0,150

0,204
5,425
-1,207

0,018
0,513*
-0,244*

0,461
6,827
-2,345

0,171*
0,102
0,017
0,002

2,209
1,353
0,242
0,020

0,153*
0,093
-0,006
-0,017

2,215
1,439
-0,100
-0,200

0,050
0,025

1,091
0,612

0,048
0,009

1,237
0,277

0,008
5,168*
0,484
F-hitung

0,195
5,549

0,006
5,435*
0,484
LR=101*

0,190
7,323

12,06*

Sumber: Analisis Data Primer


Keterangan: LKP = lahan lungguh, Kas Desa, pengarem-arem, dan milik perseorangan, RT= rumah tangga,
UT= usahatani, *)= nyata pada = 5%.

kesalahan 5 persen, selanjutnya dipergunakan


untuk menjelaskan model regresi.
Elastisitas biaya produksi usahatani
tanaman pangan per ha atas tingkat upah
tenaga kerja positif nyata yaitu 0,040. Berarti
jika tingkat upah tenaga kerja per ha naik 10
persen maka biaya produksi usahatani per ha
akan naik 0,4 persen. Pada umumnya para
petani menggunakan tenaga kerja luar
keluarga di samping memperhatikan tingkat
upah, juga waktu pembayarannya. Seperti

para petani yang menggunakan tenaga kerja


royongan, di samping tingkat upah sama
dengan upah tunai, juga membayar upahnya
setelah panen, namun penggunaannya harus
melalui kelompok kerja.
Elastisitas biaya produksi usahatani tanaman pangan per ha atas harga pupuk phosfat
positif yaitu 0,021. Berarti jika harga pupuk
phosfat naik 10 persen maka biaya usahatani
per ha akan naik 0,21 persen. Harga pupuk
phosfat Rp1.600 per kg, harga pupuk tersebut

180

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

dinilai mahal. Tidak banyak petani yang


menggunakan pupuk phosfat, dalam hal ini
dosis pupuk phosfat para petani rata-rata baru
8 kg/ha/ tahun. Berbeda dengan dosis pemupukan nitrogen (urea) yang rata-rata 170
kg/ha/ tahun. Penggunaan pupuk yang tidak
berimbang tersebut perlu diteliti, jangan
sampai karena pengaruh penggunaan pupuk
phosfat yang tidak segera tampak sebagaimana pengaruh pupuk urea sehingga pupuk
phosfat banyak ditinggalkan oleh petani.
Harga pupuk nitrogen, urea Rp1.100 per
kg belum berpengaruh nyata terhadap biaya
produksi usahatani tanaman pangan. Hal tersebut dapat berkenaan dengan sifat-sifat
pupuk nitrogen dan kebutuhan unsur hara
tersebut pada tanaman pangan. Pupuk nitrogen bersifat mobile, mudah tercuci oleh air
hujan atau menguap karena panas matahari,
sehingga diperlukan cara pemupukan yang
benar supaya terserap dengan baik oleh
tanaman. Pada sisi lainnya pupuk nitrogen
sangat diperlukan tanaman, karena ketersediaannya terbatas dan esensial bagi pertumbuhan tanaman.
Elastisitas biaya produksi usahatani
tanaman pangan per ha atas harga pupuk
organik positif yaitu 0,460. Berarti jika harga
pupuk organik naik 10persen maka biaya
usahatani per ha akan naik 4,60 persen. Hal
tersebut menunjukkan walaupun harga pupuk
organik murah, kurang lebih Rp70,-/kg,
namun karena dipergunakan secara luas oleh
para petani maka kenaikan harga pupuk
tersebut meningkatkan biaya produksi secara
nyata.
Elastisitas biaya produksi terhadap jumlah tenaga kerja keluarga negatif, namun
tidak nyata. Hal tersebut diduga berkaitan
dengan kelembagaan tenaga kerja pada usahatani. Pada satu sisi tenaga kerja keluarga

sebagai faktor produksi yang tidak dibayar,


pada sisi lain dalam kelembagaan tenaga
kerja (arisan atau RTan) terdapat pertukaran
faktor produksi tersebut. Para petani yang
berlahan sempitpun menggunakan tenaga
kerja luar keluarga. Demikian pula, elastisitas
biaya produksi terhadap luas lahan tanaman
pangan negatif, namun tidak nyata. Rata-rata
luas penguasaan lahan tanaman pangan para
petani rata-rata 0,42 ha, dalam hal ini jika
luas lahan tanaman pangan ditingkatkan
diduga intensitas pemeliharaan tanaman oleh
para petani belum menurun.
Elastisitas biaya produksi tanaman
pangan per ha terhadap produktivitas lahan
positif yaitu 0,309. Berarti jika produktivitas
lahan menghendaki meningkat 10persen
maka pembudidayaan tanaman harus lebih
intensif, dengan biaya produksi per ha
meningkat 3,09 persen. Dalam hal ini para
petani sebenarnya telah berupaya membudidayakan tanaman dengan baik, walaupun
diutarakan banyak petani mengenai ketidakberdayaan petani dalam menanggulangi
serangan hama dan penyakit, keterbatasan
modal, dan pengaruh faktor alam seperti
curah hujan.
Elastisitas biaya produksi usahatani
tanaman pangan terhadap tingkat pendidikan
positif tetapi tidak nyata pada tingkat kesalahan 5 persen, dan nyata pada tingkat
kesalahan 5 persen pada model perbaikan
heteroscedasticity (depvar). Dalam hal ini
terdapat indikasi bahwa meningkatnya pendidikan petani meningkatkan biaya produksi
usahatani tanaman pangan, seperti meningkatnya penggunaan tenaga kerja luar keluarga. Di samping itu, dewasa ini sebagian
petani yang berpendidikan SLTA banyak
yang berusaha mendapatkan pekerjaan non
usahatani. Demikian pula elastisitas biaya

Suwarto - Produktivitas Lahan dan Biaya Usahatani

181

produksi terhadap tingkat umur petani positif


dan nyata. Hasil penelitian mengindikasikan
peningkatan umur petani meningkatkan
penggunaan tenaga kerja luar keluarga.
Dalam hal ini dapat dipahami bahwa banyak
pekerjaan usahatani yang memerlukan bantuan petani lainnya, seperti dalam persiapan
tanam, mengangkut input produksi seperti
pupuk kandang, dan hasil panen.

lainnya tidak berbeda. Hal tersebut karena


para petani pemilik penggarap tidak mengeluarkan biaya sewa lahan sebagaimana para
petani penyewa LKP, dan penyewa lahan
HB. Pada sisi lain, petani pemilik penggarap
memperoleh produktivitas lahan lebih besar
dari produktivitas lahan para petani lainnya
yang dapat berpengaruh pada biaya produksi
(Tabel 2).

Berdasarkan kelembagaan lahan, biaya


produksi usahatani tanaman pangan per ha
petani penyewa LKP lebih besar dari biaya
tersebut pada para petani lainnya. Hal
tersebut karena biaya sewa lahan LKP cukup
besar, dalam hal ini lebih besar dari biaya
sewa lahan HB (Tabel 5).

Biaya produksi usahatani tanaman


pangan per ha sesuai kelembagaan tenaga
kerja pada usahatani diketahui bahwa biaya
tersebut bagi petani yang menggunakan
tenaga kerja upahan sesuai data pada Tabel 3
bagi para petani yang relatif dekat kota, lebih
besar dari biaya produksi usahatani tanaman
pangan per ha para petani dalam kelembagaan tenaga kerja lainnya. Dalam hal ini para
petani yang menggunakan tenaga kerja
upahan secara relatif juga lebih banyak
menggunakan biaya tenaga kerja borongan
dari penggunaan biaya tenaga tersebut pada
petani lainnya.

Biaya produksi usahatani tanaman


pangan per ha petani peminjam lahan Kehutanan lebih rendah dari biaya tersebut pada
petani dalam kelembagaan lahan lainnya.
Dalam hal ini karena petani peminjam lahan
Kehutanan tidak membayar sewa, dan pada
sisi lain produktivitas lahan pinjaman kehutanan lebih rendah dari produktivitas lahan
para petani lainnya (Tabel 2). Antara biaya
produksi usahatani tanaman pangan per ha
petani pemilik penggarap dengan biaya
produksi usahatani tersebut pada petani

Biaya produksi usahatani per ha petani


yang menggunakan tenaga kerja royongan,
arisan atau RTan, dan sambatan, masingmasing tidak berbeda dengan biaya tersebut
pada petani lainnya. Hal tersebut sebagai

Tabel 5. Rata-rata Luas Lahan dan Nilai Sewa Lahan per Tahun Para Petani di Kabupaten
Gunung Kidul Tahun 2005
Kelembagaan Lahan
Lokasi

Dekat kota
Jauh kota
Jumlah

Lahan LKP

Lahan HB

(ha)

Sewa ribuRp

ribuRp/ha

(ha)

Sewa ribuRp

ribuRp/ha)

3,08
1,64
4,72

2.240
950
3.190

727
579
676

2,200
8,040
10,240

292
954
1.246

133
119
122

Sumber: Analisis Data Primer


Keterangan: LKP= lahan lungguh, Kas Desa, pengarem-arem dan milik perseorangan, HB = Hamengku Buwono

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

182

akumulasi dari semua biaya yang dikeluarkan


para petani yang secara keseluruhan tidak
berbeda.
Dilihat dari pekerjaan luar usahatani,
total biaya produksi usahatani per ha antara
para petani sebagai pedagang dan penyedia
jasa, tukang dan perajin dengan biaya tersebut pada para petani lainnya tidak berbeda.
Demikian pula antara biaya produksi usahatani tanaman pangan per ha para petani yang
dekat dengan kota atau pasar tidak berbeda
dengan biaya usahatani tersebut bagi para
petani yang jauh dari kota atau pasar Hal
tersebut dapat mencerminkan akumulasi dari
keseluruhan biaya produksi usahatani tanaman pangan per ha para petani tersebut secara
keseluruhan tidak berbeda.

KESIMPULAN
1. Penggunaan tenaga kerja, pupuk nitrogen, pupuk phosfat, dan pupuk organik
meningkatkan produktivitas lahan. Tingkat pendidikan berpengaruh nyata terhadap produktivitas lahan, namun umur
petani tidak berpengaruh nyata terhadap
produktivitas lahan. Produktivitas lahan
para petani pemilik penggarap lebih
tinggi dari produktivitas lahan petani
lainnya. Sebaliknya, produktivitas lahan
para petani peminjam lahan Kehutanan
lebih rendah dari produktivitas lahan
petani lainnya. Produktivitas lahan para
petani penyewa LKP tidak berbeda
dengan produktivitas lahan petani lainnya. Produktivitas lahan para petani yang
mengerjakan sendiri usahataninya lebih
tinggi dari produktivitas lahan petani
yang menggunakan tenaga kerja luar
keluarga. Produktivitas lahan para petani
yang dekat pasar atau kota lebih tinggi

dari produktivitas lahan para petani yang


jauh dari pasar atau kota.
2. Tingkat upah tenaga kerja, harga pupuk
P, dan harga pupuk organik meningkatkan biaya produksi tanaman pangan.
Demikian pula umur petani berpengaruh
terhadap biaya produksi tanaman pangan.
Biaya produksi tanaman pangan petani
penyewa LKP lebih besar dari biaya
tersebut bagi para petani petani lainnya.
Sebaliknya biaya produksi tanaman
pangan petani peminjam lahan Kehutanan lebih kecil dari biaya tersebut bagi
para petani lainnya. Biaya produksi tanaman pangan petani yang menggunakan
tenaga kerja upahan lebih besar dari
biaya tersebut bagi para petani lainnya.
Biaya produksi tanaman pangan petani
yang menggunakan tenaga kerja royongan, arisan atau RTan, dan sambatan tidak
berbeda dengan biaya tersebut bagi para
petani lainnya. Demikian pula biaya produksi tanaman pangan petani sebagai
pedagang dan penyedia jasa, tukang dan
perajin tidak berbeda dengan biaya tersebut bagi para petani sebagai buruh tani
dan yang tidak bekerja pada luar usahatani.
Implikasi kebijakan dari penelitian ini
sebagai berikut:
a. Petani peminjam lahan Kehutanan
menguasai lahan sempit, dengan tingkat
produktivitas rendah, maka diperlukan
upaya pemberian konsesi luas penguasaan lahan yang lebih memadai serta
pemberdayaan usahatani.
b. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga
menurunkan produktivitas lahan, oleh
karena itu diperlukan pemberdayaan terhadap kelembagaan tenaga kerja pada

Suwarto - Produktivitas Lahan dan Biaya Usahatani


usahatani, utamanya terhadap tenaga
kerja wanita yang selama ini dominan
dalam perannya sebagai tenaga kerja
dalam kelompok kerja.

DAFTAR PUSTAKA
Fujimoto. 1996. Rice Land Ownership and
Tenancy System in Southeast Asia:
Facts and Issues Based on Ten Village
Studies. The Developing Economics.
Institute of Developing Economics, Tokyo, Japan. 34 (3): 281-315.
Greene, W.H., 2003. Econometric Analysis.
Fifth Ed. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall.
Gudjarati, D.N., 2003. Basic Econometrics,
Forth Ed. Boston: McGraw Hill.
Hartono, S., N. Iwamoto, and S. Fukui, 2001.
Characteristics of Farm Household Economy and Its Flexibility, a Case Study
in Central Java Villages. Proceedings of
the 1st Seminar, Toward Harmonization
between Development and Environmental Conservation in Biological
Production, February 21-23, 2001,
Yayoi Auditorium Graduate School of
Agricultural and Life Sciences, the
University of Tokyo, Japan: 23-30.
Hartono, S., 2003. Pengembangan Bisnis
Petani Kecil. Sri Widodo (Ed). Peranan
Agribisnis Usaha Kecil dan Menengah
untuk Memperkokoh Ekonomi Nasional.
Yogyakarta: Liberty: 11-26.
Heady, O.E., and J.H. Dillon, 2002. Agricultural Production. Ames, Iowa: Iowa
State University Press.
Jatileksono, T., 1993. Ketimpangan Pendapatan di Pedesaan: Kasus Daerah Padi

183
di Lampung. Jurnal Ekonomi Indonesia, Jakarta. 2 (1): 51-73.

Mugniesyah, S.S.M. and K. Mizuno, 2003.


Gender, Poverty and Peasant Household
Survival Strategies a Case Study in Dry
Land Village in West Java. Proceedings
of the 1st Seminar, Toward Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological
Production, February 21-23, 2001,
Yayoi Auditorium Graduate School of
Agricultural and Life Sciences, Tokyo:
The University of Tokyo: 63-78.
Nicholson, W., 1998. Microeconomic Theory, Basic Principles and Extensions,
Seventh Edition. Fort worth Philadelphia: The Dryden Press, Harcourt Brace
Collage Publishers.
Pindyck, R.S and D.L. Rubinfeld. 2001. Microeconomics. Fifth Edition. London,
New York: Prentice Hall International,
Inc.
Sangwan, S.S., 2000. Emerging Credit Demand of Tenants in Haryana. Indian
Journal of Agricultural Economics.
Mumbai: Indian Society of Agricultural
Economics. 55 (3): 317-330.
Sharma, H.R., 2000. Tenancy Relation in
Rural India: A Temporal and CrossSectional Analysis. Indian Journal of
Agricultural Economics. Mumbai: Indian Society of Agricultural Economics.
55 (3): 295-307
Sri Widodo. 1986. An Econometric Study of
Rice Production Efficiency among Rice
Farmers in Irrigated Lowland Villages
in Java, Indonesia. Disertasi S3. Tokyo
University of Agriculture.

Jurnal Ekonomi Pembangunan


Vol. 9, No. 2, Desember 2008, hal. 184 - 197

ANALISIS KOMPETENSI PRODUK UNGGULAN DAERAH PADA


BATIK TULIS DAN CAP SOLO DI DATI II KOTA SURAKARTA
Daryono Soebagiyo 1
M. Wahyudi 1
1
Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta
E mail: dsoebagyo@yahoo.com

ABSTRACT
This research concerning local prominent product competency of batik tulis and
batik cap in Surakarta. Two kinds of these batik are production of small and middle
scale industry (IKM Batik) where IKM Batik has became one of economy prime activator in Surakarta. In this research, writers apply research methods as follows:
Bayes approach technique for getting priority prominent product rank, Analytical
Hierarchy Process (AHP) by using Expert Choice Software, with aim to know
prominent competency of IKM in Surakarta, and Value Chain Economic Analysis
started with chain mapping to priority prominent product which appertained as main
rank. Research result indicates that competency approach in local industrial development relevant enough for increasing local competitiveness and finally increasing
national competitiveness. It can be happened considering that competency approach
try to exploit local excess and excellence uniquely.
Keywords: bayers method, analytical hierarchy process, chain mapping
PENDAHULUAN
Kebijakan pembangunan industri jangka
menengah saat ini (2004-2009) diarahkan
pada pengembangan dan penumbuhan kluster-kluster industri, yang sementara ini
berjumlah sepuluh kelompok industri, yaitu:
(i) industri makanan dan minuman, (ii)
industri pengolahan hasil laut, (iii) industri
tekstil dan produk tekstil, (iv) industri alas
kaki, (v) industri kelapa sawit, (vi) industri
barang kayu (termasuk rotan), (vii) industri
karet dan barang karet, (viii) industri pulp
dan kertas, (ix) industri mesin listrik dan
peralatannya, (x) serta industri petrokimia.
Dalam kebijakan pembangunan industri,
pengembangan sepuluh kluster industri inti

dilakukan secara komprehensif dan integratif,


yang didukung secara simultan dengan
pengembangan industri terkait (related
industries) dan industri penunjang (supporting industries). Dalam pelaksanaannya, pembangunan industri dimaksud seharusnya juga
dilakukan dengan sinergi dan terintegrasi
dengan pembangunan sektor lain seperti
pertanian dan jasa. Dukungan kelembagaan
juga harus bersinergi dengan dengan koordinasi kelembagaan terkait lainnya.
Dengan mempertimbangkan kondisi
pembangunan industri, baik di tingkat nasional maupun daerah, dan dalam rangka
peningkatan daya saing, maka pembangunan
industri dilaksanakan dengan melakukan

Daryono dan Wahyudi - Analisis Kompetensi Unggulan Daerah


sinergi antara perencanaan di tingkat nasional
atau pusat dan perencanaan di tingkat daerah.
Hal ini dilakukan dengan dua pendekatan
sekaligus, yaitu pendekatan top down dan
pendekatan bottom up. Pendekatan top down
pembangunan industri direncanakan dengan
memperhatikan prioritas yang ditentukan
secara nasional dan diikuti oleh partisipasi
daerah. Hal ini biasa dikenal dengan
pembangunan berdasarkan disain (by design)
nasional. Pendekatan bottom up dilakukan
dengan penetapan kompetensi inti yang
merupakan keunggulan daerah. Penggunaan
kompetensi inti sebagai unggulan daerah ini
dimaksudkan agar daerah memiliki daya
saing dan meningkatkan daya saingnya.
Praktek perencanaan dengan dua pendekatan ini tercermin dari pelaksanaan rencana
pembangunan industri. Berdasarkan disain
nasional, kebijakan industri secara nasional
dilakukan dengan menentukan industri prioritas, yaitu dikenalkannya 32 industri prioritas dengan pendekatan kluster. Kemudian,
secara bottom up, pemerintah telah secara
aktif melakukan sosialisasi dan mengajak
daerah berpartisipasi dalam pembangunan
kompetensi pada setiap daerah prioritas.
Penggunaan kompetensi dalam pembangunan industri daerah cukup relevan untuk
tujuan peningkatan daya saing daerah dan
akhirnya juga peningkatan daya saing
nasional. Hal ini dapat terjadi mengingat
bahwa pendekatan kompetensi berusaha
mengeksploitasi kelebihan dan keunggulan
daerah secara unik. Kompetensi di sini didefinisikan sebagai kumpulan keterampilan dan
teknologi yang memungkinkan suatu organisasi dapat menyediakan manfaat tersendiri
secara unik kepada pelanggannya. Hal ini
diterjemahkan dalam pembangunan industri
daerah dengan mencoba melakukan eksploi-

185

tasi sumberdaya dan kemampuan organisasi


secara unik. Keunikan ini merupakan nilai
tersendiri yang tidak dimiliki daerah lain, dan
oleh karena itu akan menjadi keuntungan
bagi daerah yang memilikinya. Penerapan
kompetensi secara nasional dapat diterjemahkan dengan memperkenalkan satu produk
unik pada setiap daerah yang berbeda. Hal ini
dilakukan agar seluruh sumberdaya dan
kemampuan yang dimiliki daerah tersebut
terfokus pada upaya untuk menciptakan
kompetensi yang bersifat unik.
Sesuai dengan sumber dan perkembangan konsep kompetensi, maka dalam usaha
membangun kompetensi (baik berupa
produk, layanan atau komoditi) seharusnya
memperhatikan kriteria-kriteria yang relevan
dengan kebutuhan peningkatan daya saing,
yaitu keunikan (dan sulit ditiru), kemampuan
memberi manfaat lebih, atau kemampuan
memberi keuntungan dengan korbanan yang
lebih efisien.
Pada konteks daerah, pemilihan kompetensi seharusnya mempertimbangkan kondisi
daerah dengan tetap memperhatikan kriteria
persaingan seperti: adanya nilai tambah yang
tinggi, adanya sifat yang unik, adanya keterkaitan dan peluang untuk bersaing di pasar
luar daerah (bahkan internasional). Dengan
kata lain, pemilihan dan penentuan kompetensi seharusnya memberi dampak yang
besar dalam memberi stimulus perekonomian
daerah. Yang lebih penting lagi hal tersebut
harus dilakukan dengan memperhatikan
kemampuan sumberdaya daerah.
Surakarta merupakan kota yang memiliki banyak IKM, di mana IKM di Surakarta
adalah sebagai penggerak utama ekonomi
masyarakat. Data IKM Surakarta pada tahun
2007 mencapai 80 persen jumlah usaha
dengan kontribusi penyerapan tenaga kerja

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

186

mencapai lebih dari 95 persen. Untuk usaha


menengah di Surakarta terdapat kurang lebih
85 unit usaha menyerap 10.608 orang dengan
nilai investasi sebesar Rp.45.870.748.000.
Usaha kecil sebanyak 1.061 unit menyerap
tenaga kerja 24.954 orang dengan nilai

investasi sebesar Rp.57.895.790.000 dan


sektor informal meliputi 4.070 unit usaha
digerakkan oleh 12.055 tenaga kerja dengan
investasi sebesar Rp.15.071.040.000 (Tabel
1)
Perkembangan sektor industri di kota

Tabel 1. Data Industri Kota Surakarta Tahun 2006


No.
1.
2
3.
4.

Uraian
Industri Kecil
Industri menengah
Industri besar
Non Formal
Jumlah

Tenaga Kerja

Nilai Investasi

Nilai Produksi

24.954
7.560
10.608
12.055
55.177

57.895.790
45.870.748
297.795.960
15.071.040
416.633.538

4.239.889.800
1.127.798.350
1.017.089.000
1.592.397.420
7.977.174.570

Jumlah Unit Usaha


1061
85
41
4.070
5.257

Sumber: Rencana Pengembangan Industri di Surakarta, Disperindag. 2007.

Tabel 2. Produk IKM Kota Surakarta


No

Nama Produk/Industri

Nilai
Produksi/
tahun (000)

Investasi

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26

Alat Musik
Batik dan Produk Batik
Bengkel
Elastik
Fiber Glass
Foto Stodio
Handicraft
Kapur Semut
Kaset
Kemasan
Kimia
Kosmetik
Logam
Makanan
Mebel
Mesin Industri
Obat-obatan
Pengolahan Hasil Bumi
Percetakan
Plastik
Pupuk
Rokok Kretek
Shuttle Cock
Tekstil dan Produk Tekstil
Timbangan
Transportasi

270.225
48.008.448.000
480.334.240
120.000
1.000
4.400
997.800
30.000
33.000
188.000
1.000
1.095.000
12.720
180.544.134,5
2.789.000
342.000
2.750.000
6.300
9.152.955
6.394.012,5
7.500
245.000
96.000
25.271.415.000
72.750
22.000

138.380.000
672.333.340
772.350.000
104.000.000
30.000.000
40.000.000
389.837.000
16.000.000
21.500.000
32.040.000
24.500.000
152.232.500
53.415.000
3.386.740.000
2.048.751.000
175.600.000
50.000.000
40.000.000
3.220.009.500
8.802.650.000
60.000.000
40.650.000
38.800.000
663.385.000
251.560.000
40.000.000

Unit
Usaha
2
7
13
1
1
1
5
1
1
3
1
3
2
37
5
3
1
1
23
7
1
1
1
10
4
1

Jumlah
Tenaga Kerja
68
108
91
10
5
4
20
2
1
11
41
12
8
142
105
25
5
4
194
1.088
3
6
5
2.523
34
7

Kapasitas
Produksi/
tahun
3.603
480.084.480
12.008.356
24.000
200
220
16.630
60.000
3.000
37.600
2
73.000
636
361.088.269
5.578
456
50.000
180
9.152.955
852.535
100
700.000
96.000
336.952.200
4.850
400

Daryono dan Wahyudi - Analisis Kompetensi Unggulan Daerah


Surakarta, di masa datang dititikberatkan
pada industri kecil dan kerajinan rakyat. Data
Desperindag yang dikumpulkan saat prasurvei yang dilakukan oleh peneliti (2007)
menunjukkan bahwa jumlah industri kecil di
kota Solo mencapai 3.821 industri, sedang
industri besar dan menengah ada 56 industri
dengan tenaga kerja yang terserap berjumlah
38.765 orang. Dari beberapa jenis industri
yang ada di kota Surakarta (Solo) terdapat
produk unggulan yaitu; usaha batik dan konveksi Beberapa produk komoditi Industri
Kecil Menengah (IKM) tersebut terlihat
dalam Tabel 2.
Dengan melihat persoalan tersebut
maka, penelitian ini akan mencoba menganalisis Kompetensi Unggulan Daerah pada
Produk Batik Tulis dan Batik Cap Solo di
Dati II Kota Surakarta.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini diketengahkan bahwa
kompetensi IKM daerah Kota Surakarta
adalah keunggulan yang dimiliki daerah yang
unik meliputi aspek Keterampilan Manusia,
Sumber Daya Alam, Lingkungan, Budaya,
dan Prospek Pasar, baik untuk produk primer
maupun produk olahan.
Adapun ciri-ciri kompetensi inti daerah
terdiri dari 3 yaitu:
1. Memiliki akses potensial ke berbagai
pasar kompetensi daerah harus dapat
mengembangkan produk atau jasa baru
2. Kompetensi daerah harus menciptakan
kontribusi nyata untuk mendapatkan
manfaat produk akhir.
3. Kompetensi daerah seharusnya memiliki
sesuatu yang sulit ditiru oleh kompetitor
lain/daerah lain, dengan kata lain bersifat
unik.

187

Metode dan alat analisis yang dipergunakan dalam pengkajian kompetensi unggulan IKM Kota Surakarta dilakukan dengan
menggunakan teknik pendekatan:
a. Metode Bayes, guna memperoleh
peringkat produk unggulan prioritas.
b. Analytical Hierarchy Process (AHP)
dengan mengaplikasikan Software Expert
Choice, yang bertujuan untuk mengetahui Kompetensi Unggulan IKM Daerah
Kota Surakarta
c. Analisis Ekonomi Rantai Nilai, yang
dimulai dengan melakukan pemetaan
rantai (chain map) atas produk unggulan
priotitas yang tergolong sebagai peringkat utama, dengan menggambarkan secara garis besar tahapan mulai dari input
hingga pemasaran produk sampai ke
tangan konsumen. Kemudian masingmasing mata rantai nilai diidentifikasi
apa yang menjadi kekuatan atau kompetensinya. Untuk selanjutnya dikuantifikasi dan dinilai Analisis Ekonomi Rantai
Nilainya.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Profil Industri Kecil dan Menengah
Usaha kecil dan menengah idealnya memang
membutuhkan peran dan campur tangan dari
pemerintah dalam peningkatan kemampuan
bersaing. Sungguhpun demikian, yang perlu
diperhatikan adalah bahwa kemampuan di
sini bukan dalam arti kemampuan untuk
bersaing dengan usaha/industri besar, tetapi
lebih pada kemampuan untuk memprediksi
lingkungan usaha dan kemampuan untuk
mengantisipasi kondisi lingkungan tersebut.
Terdapat karakteristik khusus dari suatu

188

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

produk yang cocok untuk industri kecil dan


ada kelompok produk yang cocok untuk
industri besar. Industri kecil tidak akan
mampu bertahan pada kelompok produk
yang cocok untuk industri besar. Dan
sebaliknya, industri besar tidak akan tertarik
untuk masuk dan bersaing dalam kelompok
produk yang cocok untuk industri kecil,
karena dengan pertimbangan efisiensi skala
usaha. (Stanley dan Morse, 1965).
Peran kebijakan pemerintah bukan saja
pada pemberian modal, tetapi lebih pada
membina kemampuan industri kecil dan
membuat suatu kondisi yang mendorong
kemampuan industri kecil dalam mengakses
modal atau dengan kata lain, pemerintah
harus membina kemampuan industri kecil
dalam menghitung modal optimum yang
diperlukan, kemampuan menyusun suatu
proposal pendanaan ke lembaga-lembaga
pemberi modal, serta mengeluarkan kebijakan atau peraturan yang lebih memihak
industri kecil dalam pemberian kredit.
Menurut Haeruman (2000), bahwa tantangan
bagi dunia usaha, terutama pengembangan
IKM, mencakup aspek yang luas, antara
lain;(1) Peningkatan kualitas SDM dalam hal
kemampuan manajemen, organisasi dan teknologi, (2) Kompetensi kewirausahaan, (3)
Akses yang lebih luas terhadap permodalan,
(4) Informasi pasar yang transparan, (5)
Faktor input produksi lainnya, dan (6) Iklim
usaha yang sehat yang mendukung inovasi,
kewirausahaan dan praktek bisnis serta
persaingan yang sehat.
Namun permasalahan yang dihadapi
oleh pemerintah dalam upaya pengembangan
wirausaha industri kecil menengah yang
tangguh adalah pemilihan dan penetapan
strategi (program) untuk dua kondisi yang
berbeda. Kondisi yang dimaksud adalah: (i)

mengembangkan pengusaha yang sudah ada


supaya menjadi tangguh, atau (ii) mengembangkan wirausaha baru yang tangguh.
Strategi (program) pengembangan untuk
kedua kondisi tersebut haruslah berbeda
(spesifik). Bahkan strategi pengembangan
untuk pengusaha yang sudah ada pun tidak
dapat dilakukan dengan penyeragaman.
Apa yang disebutkan oleh Haeruman di atas
adalah kondisi yang digeneralisasi. Tiap jenis
usaha, bahkan tiap pengusaha pada jenis
yang sama akan mempunyai permasalahan
yang berbeda. Diperlukan suatu studi yang
matang dan mendalam (diagnosis) untuk
mengetahui apa sebenarnya permasalahan
yang dihadapi oleh industri kecil menengah
yang akan dibina. Tanpa studi dan perencanaan yang matang, maka usaha program
pengembangan (meski dengan niat yang
baik) akan menemui banyak kendala, misalnya: (a) salah sasaran, (b) sia-sia (mubazir),
dan (c) banyak manipulasi dalam implementasinya. Kasus munculnya koperasi dan
industri kecil menengah dadakan ketika
diluncurkan kebijakan kredit tanpa bunga
(kredit dengan bunga yang rendah), dapat
dijadikan salah satu contoh kegagalan usaha
pengembangan insustri kecil menengah yang
dilakukan pemerintah.
Keunggulan Berbasis Kompetensi
Perkembangan terbaru tentang paradigma
perusahaan atau organisasi yang berbasis
sumberdaya adalah adanya fokus pada suatu
basis, sesuai yang melampaui asset-asset
tangible dan intangible, tentang keunggulan
berbasis sumberdaya, yaitu kompetensi.
Dalam kerangka ini, perusahaan fokus pada
kompetensi inti. Suatu kompetensi inti dapat
didefinisikan sebagai seperangkat ketrampil-

Daryono dan Wahyudi - Analisis Kompetensi Unggulan Daerah


an dan teknologi yang terintegrasi. Suatu
kompetensi perusahaan bukan suatu hal yang
sama dengan ketrampilan individu personelnya, tetapi merupakan integrasi dari keterampilan-keterampilan yang ada. Hal ini juga
tidak sama dengan sumberdaya, sebab kompetensi lebih merupakan suatu asset. Perusahaan, jaringan distribusi, brand kesemuanya
merupakan asset (dan sumberdaya), Sungguhpun demikian, suatu kemampuan khusus
untuk mengelola perusahaan, jaringan distribusi, atau brand adalah merupakan kompetensi.

189

Kota Solo
Kota Solo adalah kota yang memiliki banyak
industri kecil menengah, sebagai penggerak
utama ekonomi masyarakat, yang memberi
Kontribusi besar bagi pendapatan daerah dan
memegang peranan penting bagi pertumbuhan perekonomian daerah. (Tabel 3)
Usaha/Industri Kecil dan Menengah di
kota Solo yang banyak jumlahnya dan
macam produknya. Yang tercatat di data
laporan Disperindag Kota Solo terdapat 26
macam produk. Prioritas. Tetapi dari 26
macam produk prioritas tersebut terdapat 7
produk yang potensial dapat dikembangkan
di Kota Solo.

Suatu kompetensi dapat dikatakan disini


apabila memenuhi syarat syarat tertentu.
Yang utama, syarat untuk kompetensi adalah
keterbukaan terhadap pasar baru, kemungkinan-kemungkinan baru, sifat yang adaptif.
Manager suatu perusahaan yang memiliki
suatu kompetensi harus berpikir tentang
bagaimana seperangkat ketrampilan yang
terintegrasi diterapkan pada domain-domain
produk baru. Oleh karena itu pandangan yang
berbasis kompetensi berangkat dari fokus
pada strategi level bisnis dan mulai
menghadapi strategi level korporasi, dan
menentukan jenis usaha (bisnis) yang tepat.

Industri kecil menengah yang paling


menonjol yang diutamakan bagi Kota
Surakarta apabila ditilik dari besarnya nilai
produksi dan besarnya nilai investasi tentunya adalah Batik dan Produk Batik, Tekstil
dan Produk Tekstil serta Makanan yang
menghasilkan berbagai aneka makanan dan
makanan ringan. Ketiga produk ini merupakan trade mark bagi Kota Surakarta atau
Solo, dari sisi Produksi yang dihasilkan
daerah (Tabel 4)

Gambaran Industri Kecil dan Menengah

Suatu studi penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis yang sama untuk menen-

Tabel 3. Produk Industri Kecil Menengah di Kota Solo


No

Nama Produk/Industri

Nilai Produksi/
tahun

Investasi

Unit
Usaha

1
2
3
4
5
6
7

Batik dan Produk Batik


Logam/Besi
Makanan
Mebel
Percetakan
Plastik
Tekstil dan Produk Tekstil

48.008.448.000.000
12.720.000
180.544.134.500
2.789.000.000
9.152.955.000
6.394.012.500
25.271.415.000.000

672.333.340
53.415.000
3.386.740.000
2.048.751.000
3.220.009.500
8.802.650.000
663.385.000

7
2
37
5
23
7
10

Sumber: Disperindag Kota Solo 2006

Jumlah
Tenaga Kerja
108
8
142
105
194
1.088
2.523

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

190

tukan Kriteria dan kompetensi Kota Solo


dengan melihat produk-produk potensial
yang dapat dikembangkan bagi daerah kota
Solo dari 26 macam produk unggulan daerah.
Dari kontribusi data yang di cover dari Disperindag Kota Solo menunjukkan bahwa,
muncul paparan kriteria Kesepakatan 7
produk prioritas unggulan bagi kota Solo,
yaitu; Batik dan produk Batik, Tekstil dan
Produk tekstil, Makanan, Percetakan,
Plastik, Mebel dan logam/besi (2007).
Suatu alasan mengapa prioritas produk
unggulan yang terpilih adalah produk-produk
tersebut adalah; (1) dapat menyerap tenaga
kerja yang banyak (2) nilai produksinya
tinggi (3) image tentang produk tersebut
adalah menjadi trade-mark bagi kota Solo.
Dari 7 prioritas produk unggulan daerah kota
Solo selanjutnya dimunculkan produk unggulan utama yang menjadi pertimbangan
penentuan kriteria untuk memunculkan
produk inti unggulan Kota Solo yaitu: Batik
dan Produk Batik.
Langkah selanjutnya adalah melakukan

uji kuesioner dan diskusi dengan narasumber


kompeten yang memiliki kewenangan serta
konsern terhadap produk kompetensi daerah.
Selanjutnya dilakukan kriteria pembobotan,
di mana memunculkan suatu produk kompetensi unggulan dengan komponennya seperti;
keterampilan staf, manajemen brand, daya
inovasi, kesetiaan kerja, jaminan kualitas,
desain, tenaga kerja banyak, sumber daya
lingkungan yang tidak merusak, manajemen
harga, daya adopsi, manajemen jaringan dan
lain sebagainya.
Peta Rantai Nilai Produk Unggulan
Prioritas
Produk kompetensi unggulan prioritas ditemukan dari kompetensi-kompetensi produk
unggulan yang telah diidentifikasi. di mana
kriteria pemilihannya adalah dengan mempertimbangkan:

Keunikan
Daya saing
Keterbukaan terhadap pasar baru
Manfaat yang lebih baik bagi pelanggan
Berdasarkan kategori kompenen-kom-

Tabel 4. Matriks Keputusan Ranking Produk Unggulan


Kriteria
No

Alternatif Produk/
Industri

1
2
3
4
5
6
7

Bobot Kriteria
Batik dan Produk Batik
Logam/Besi
Makanan
Mebel
Percetakan
Plastik
Tekstil dan Produk
Tekstil

Nilai
Produksi

Investasi/
Unit

Jml
Tenaga
Kerja

Preferensi
Nara
Sumber

0,3
5
1
4
1
3
2
5

0,2
3
1
2
5
4
5
1

0,2
2
1
3
1
4
5
5

0,3
4,728708045
2,956154917
4,472135955
3,590938482
3,109843949
1,414213562
3,827710282

Sumber: hasil penghitungan dengan analisis Bayes dari data primer dan sekunder

Nilai
Alternatif
1
3,918612414
1,586846475
3,541640786
2,577281545
3,432953185
3,024264069
3,848313085

Peringkat

1
7
3
6
4
5
2

Daryono dan Wahyudi - Analisis Kompetensi Unggulan Daerah


ponen tersebut akhirnya penentuan kriteria,
memunculkan Batik dan produk batik sebagai produk kompetensi unggulan Kota Solo.
Melalui penghitungan Analytic Hierarchy Process ditemukan bahwa pada batik dan
produk batik memiliki in-konsistensi nilai
bervariasi antara 0,1 hingga sampai 0,09.
Artinya dari kajian analisis ditemukan semua
kriteria dan kompetensi batik dan produk
batik memiliki manfaat kepentingan yang
ideal sesuai dengan harapan dari produk
kompetensi unggulan prioritas kota Surakarta.
Dari kajian analisis ditemukan semua
kriteria dan kompetensi unggulan batik dan
produk batik memiliki manfaat kepentingan
yang ideal sesuai dengan harapan dari produk
unggulan prioritas kota Surakarta. Tabel 5
menunjukkan kriteria kompetensi unggulan
prioritas batik dan produk batik yang
memiliki kriteria-kriteria paling menonjol
adalah dari sisi keunikan memiliki skor 0,356
serta sisi daya saing dengan skor 0,226.
Sedangkan kriteria unik dimungkinkan dapat
muncul karena produk ini memiliki suatu
nilai lebih dan tidak mudah ditiru, sedang
daya saing disini produk tersebut apabila
diperbandingkan dengan produk sejenis
memiliki kelebihan layak jual laku keras di
pasaran.
Kriteria produk unggulan batik dan produk batik memiliki in-konsistensi relatif baik
sebesar 0,09 masih kurang dari 0,1 sedang
skor pembobotan dari masing-masing kriteria
yang ada berkisar antara 0,102 sampai 0,356.

191

Tabel 5. Kriteria Prioritas Kompetensi Unggulan


Batik dan Produk Batik
No

Goal/Kriteria

Skor Bobot

1.
2.
3.
4.
5.

Unik
Daya Saing
Kekuatan
Manfaat
Keterbukaan

0,356
0,226
0,169
0,147
0,102

Keterangan: Inconsistency ratio 0,09

Tabel 6. Produk Unggulan Batik dan Produk Batik


dengan Kriteria Unik
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Goal/Kompetensi
Karakteristik
Desain
Manajemen jaringan Distribusi
Manajemen Brand
Keterampilan Staf
Disiplin Pekerja
Daya Inovasi

Skor
Bobot
0,215
0,211
0,199
0,142
0,119
0,059
0,055

Keterangan: Inconsistency ratio 0,02

Unggulan batik dan produk batik dengan


kriteria unik ini memiliki kompetensi utama
yang cukup baik dan kuat pada karakteristik
dengan bobot 0,215 dan desain dengan bobot
0,211 yang memiliki in-konsistensi 0,02
Tabel 7. Produk Unggulan Batik dan Produk Batik
dengan Kriteria Daya Saing
No

Goal/Kompetensi

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Daya Inovasi
Desain
Keterampilan Staff
Jaminan Kualitas
Manajemen Brand
Tenaga kerja banyak
Kesetiaan pekerja

Skor Bobot
0,348
0,173
0,126
0,124
0,091
0,074
0,064

Keterangan: Inconsistency ratio 0,09

Unggulan batik dan produk batik dengan


kriteria daya saing memiliki kriteria dominan
di kompetensi utama pada daya inovasi
dengan bobot sebesar 0,348 dan desain

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

192

dengan bobot sebesar 0,173 dengan rasio inkonsistensi 0,09.


Tabel 8. Produk Unggulan Batik dan Produk Batik
dengan Kriteria Keterbukaan
No

Goal/Kompetensi

Skor Bobot

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Daya Inovasi
Manajemen harga
Daya Adopsi
Disiplin Pekerja
Keterampilan Staf
Desain
SDA melimpah

0,260
0,251
0,162
0,107
0,099
0,068
0,053

Keterangan: Inconsistency ratio 0,05

Demikian juga di unggulan batik dan


produk batik dengan kriteria keterbukaan
pasar, memiliki kompetensi intu utama dalam
daya inovasi dengan bobot 0,260 dan kompetensi manajemen harga dengan skor bobot
0,251 dengan rasio in-konsistensi 0,05.
Hasil analisis Analytic Hierarchy
Process selanjutnya mencoba memaparkan
kompetensi unggulan untuk batik dan produk
batik, dengan kriteria manfaat akan memliki
kompetensi utama/kuat di manajemen harga
dengan bobot sebesar 0,355 dan daya adopsi
dengan bobot sebesar 0,257. dengan rasio inkonsistensi 0,04.
Tabel 9. Produk Unggulan Batik dan Produk Batik
dengan Kriteria Manfaat
No

Goal/Kompetensi

Skor Bobot

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Manajemen harga
Daya Adopsi
Tenaga kerja banyak
Daya Inovasi
Desain
Manajemen Brand
Manajemen Jaringan Distribusi

0,355
0,257
0,125
0,108
0,064
0,047
0,045

Keterangan: Inconsistency ratio 0,04

Dianalisis unggulan batik dan produk


batik dengan kriteria kekuatan ternyata
memiliki kompetensi kuat/utama pada sisi
karakteristik di mana memiliki bobot sebesar
0,292 dan desain dengan bobot sebesar
0,181. Karakteristik batik Solo motifnya
sangat tradisional, batik Solo dari warna,
motif punya karateristik dan kualitas lebih
bagus dari daerah lain di Indonesia.
Demikian pula dalam rasa desain, batik dan
produk batik Solo sama dengan daerah lain,
hanya saja batik Solo memiliki motif
unggulan corak klasik yang memiliki cita
rasa makna tersendiri.
Tabel 10. Produk Unggulan Batik dan Produk Batik
dengan Kriteria Kekuatan
No

Goal/Kompetensi

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Karakteristik
Desain
Manajemen jaringan Distribusi
Manajemen Brand
Keterampilan Staf
Disiplin Pekerja
Daya Inovasi

Skor Bobot
0,292
0,181
0,145
0,125
0,107
0,103
0,046

Keterangan: Inconsistency ratio 0,1

Batik dan produk batik Solo sebenarnya


sama dengan daerah lain, sungguhpun demikian batik dan produk batik Solo memiliki
motif kompetensi unggulan produk dengan
corak klasik, terasa sangat kental makna
filosofis.
Dari hasil penelitian lapangan yang
dilakukan penelitian ini menunjukkan bahwa
batik dan produk batik Solo diutamakan
pada:
1. Karakter, desain serta daya inovasi di
mana hal ini merupakan unsur dominan
bagi andalan batik dan produk batik tulis
dan cap Solo,

Daryono dan Wahyudi - Analisis Kompetensi Unggulan Daerah


2. Sumber daya manusia dengan kriteria
banyak; seperti disiplin kerja serta
keterampilan staf yang baik,
3. Daya saing akan dapat memiliki kompetensi unggulan yang ditunjang dengan
manajemen harga relatif kompetitif serta
manajemen jaringan distribusi yang baik
Analisis Supply Chain Management pada
Batik dan Produk Batik
Menurut Schroeder (2000), supply chain
management adalah strategi untuk merencanakan, mengelola dan mengawasi aliran
barang-jasa dan informasi dari pemasok,
perusahaan, distribusi sampai dengan konsumen akhir dengan kualitas yang terjaga
sepanjang waktu. Secara sederhana sebuah
Supply Chain Management dapat diringkas
seperti nampak dalam Gambar 1.
Aktivitas pendukung
Aktivitas pendukung dalam sebuah rantai
nilai terdiri dari empat aktivitas, yaitu antara
lain kesetiaan kerja, manajemen brand, tenaga kerja yang banyak serta SDA yang tidak
merusak. Bagi Batik dan Produk Batik Solo
yang menjadi prioritas utama dalam rantai
nilai aktivitas pendukung adalah sebagai
berikut:
1. Kesetiaan Kerja secara teoritis adalah
lamanya SDM bekerja di mana dalam
usaha pembatikan dan produk batik
pekerja memiliki suatu ciri unsur kese-

Pemasok

Perusahaan

193

tiaan/ketaatan kepada juragan/pengusaha


dapat diatur dari turnovernya. Hubungan
spesifik antara majikan dan pekerja ini
memberikan dampak positif terwujudnya
daya saing yang kuat bagi batik dan
produk batik di daerah kota Surakarta.
loyalitas pekerja batik sangat tinggi,
karena mereka bekerjanya mengandalkan
perasaan dalam hal mendesain sampai
mengerjakan proses produksi hanya
memang karena tingkat pendidikan yang
tidak begitu tinggi, agak susah dalam
mengatur disiplin kerja mereka, ini
menyangkut tingkat pendidikan yang
relatif kurang. Proses pembatikan apalagi
batik tradisional sampai modern, SDMnya menggunakan banyak perasaan,
sungguhpun tingkat pendidikan relatif
kurang tinggi, demikian itu tentunya
perusahaan yang unggul akan dapat
mengatur loyalitas dalam bentuk pengaturan waktu, misalnya dengan cara model
pekerja borongan. Kalau menggunakan
sistem part time nampaknya sulit untuk
dikerjakan. Karena proses pembatikan ini
akan berbeda dengan di tekstil.
2. Manajemen Brand, adalah penggunaan
merek dan pengelolaannya adalah merupakan suatu wujud pencitraan bagi
produk batik, yang dapat memberikan
sentuhan nilai tambah batik dan produk
batik Solo. Ternyata batik Solo memiliki
karakter sendiri di mata konsumennya.
Batik Solo secara tidak langsung sudah
memiliki keungulan karena Solo merupa-

Distributor

Gambar 1. Supply Chain Management

Konsumen
akhir

194

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008


kan salah satu daerah penghasil produk
batik besar di Indonesia. Image nama
lama sampai sekarang masih dominan
mempengaruhi pencitraannya bagi konsumen. Banyak orang-orang dari luar
daerah Surakarta memiliki cita rasa
bahwa batik itu ya, adanya di Solo.
Branding batik Solo dapat dikatakan
memiliki sisi unggul.

3. Tenaga kerja yang banyak adalah merupakan jumlah tenaga kerja dalam industri
batik dan produk batik.. Berdasarkan
hasil FGD kompetensi tenaga kerja
dalam kaitannya dengan produk batik
IKM di Kota Surakarta relatif cukup
besar mengingat tenaga kerja di lingkup
pembatikan ini memiliki keterkaitan
dengan penyerapan tenaga kerja di sektor
lain di mana ada tenaga kerja yang
berlainan sifatnya. Batik dapat menyerap
TK di bahan material dan. proses prapembatikan ternyata sudah dapat membu-

ka peluang tenaga kerja di sektor/industri


yang lain.
4. SDA di sini adalah merupakan sumber
daya alam yang ramah lingkungan, sifatnya tidak merusak. Batik dan Produk
batik memerlukan komponen hasil olahan dari SDA seperti gondorukem serta
bahan pewarna alam. Gondorukem
diambil getahnya tetapi pohonnya tetap
dilestarikan, sedang bahan pewarna alam
diambil dari sulur-sulurnya atau daundaunnya eksistensi pohonnya tetap
dilestarikan.
Peta Rantai Nilai (Chain Map) Produk
Unggulan Prioritas peringkat pertama yang
terindikasi di wilayah Kota Surakarta, yaitu
Batik dan Produk Batik, Dengan spesifikasi
batik tulis dan batik cap, dalam bentuk bagan
skematis sederhana dapat dideskripsikan
seperti dalam Gambar 2.
Aliran barang dan jasa serta informasi
dalam IKM komponen batik dan produk

Gambar 2. Simulasi Analisis Ekonomi Peta Rantai Nilai dan Nilai Tambah (Added Value)
Kompetensi: Batik Tulis dan Batik Cap

Daryono dan Wahyudi - Analisis Kompetensi Unggulan Daerah


batik di Kota Surakarta belum sempurna. Hal
ini dikarenakan dari komponen Supply Chain
Management IKM pembatikan di Surakarta
terkonsentrasi sebagian besar di wilayah
Kecamatan Laweyan dan Kecamatan Pasar
Kliwon, utamanya di Kampung Laweyan dan
Kampung Kauman Pasar Kliwon, serta
sebagian di daerah Kampung Sewu.
Para pelaku IKM batik dan produk batik
ini hanya menguasai aliran barang dan jasa
serta informasi di tingkat perusahaan/pabrik/
bengkel kerja, sementara untuk pasokan
bahan baku seperti; malam/lilin, obat batik
(terbuat dari bahan baku alamnya Gondorukem dan pewarna alam yang didapat dari
pohonan yang diambil sulur atau daunnya)
dan juga distribusi, menunjukkan kondisi
ketergantungan mereka pada pihak lain
sangat besar, sungguhpun persediaan bahan
cukup memadai.

195

karakteristik, desain dan daya inovasi,


serta makna filosofis atas motifnya.
2. Batik dan produk batik kota Solo dalam
proses pengerjaannya memerlukan kemampuan teknik membatik yang baik.
Itulah sebabnya mengapa batik dan
produk batik tulis dan cap Solo dikatakan
memiliki keunikan, karena mampu
bersaing dengan kompetitor di daerah/
wilayah Indonesia lainnya, buktinya
batik Solo masih eksis sampai saat ini.
3. Batik dan produk batik kota Solo memiliki pangsa pasar Asia, Amerika, Afrika
serta Eropa. Untuk pangsa pasar
Amerika, Afrika dan Eropa, Batik yang
diinginkan batik bermotif sederhana,
yang penting motif gambar pada kain
tersebut dilakukan dengan proses batik.

Idealnya dalam sebuah industri pembatikan yang berdaya saing tinggi maka setiap
komponen dalam Supply Chain Management
bisa dikontrol atau diantisipasi terutama dari
aliran informasi. Semakin lemah kontrol
perusahaan, pabrik atau bengkel kerja pembatikan seperti di kota Solo terhadap informasi dalam mata rantai Supply Chain Management, maka industri kecil menengah
pembatikan di daerah Solo akan semakin
rentan dengan ketidakpastian.

4. Seiring dengan diadakannya mem-patent


kan motif batik Solo, gelar acara Solo
Batik Carnival, Srawung Batik, serta
event-event yang berkaitan dengan
promosi batik Solo, seyogyanyalah ada
kajian lanjut dalam upaya pemberian
ruang pas serta kebijakan yang perlu dari
pemerintah daerah kota Surakarta dan
instansi terkait lainnya, agar supaya batik
dan produk batik tulis serta batik cap
Solo benar-benar menjadi produk kompetensi unggulan nyata, bukannya produk
semu yang dipaksakan.

KESIMPULAN

Saran-saran yang diajukan dari penelitian ini sebagai berikut

1. Batik dan produk batik yang memiliki


peringkat pertama dalam produk unggulan industri kecil menengah di kota
Surakarta atau Solo yang memiliki
keunikan dalam motif, sungguhpun motif
yang ada sangat banyak, tetapi memiliki
kompetensi unggulan dominan dalam

Pertama, perlu dilakukan survey lapangan


untuk memperoleh data yang sebenarnya
mengenai persoalan kompetensi unggulan.
Tidak hanya didasarkan pada data yang
sudah ada di instansi tertentu. Data instansi
hanya sebagai alat pengontrol saja. Kedua,
Seharusnya jangan hanya menentukan pro-

196

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

duk kompetensi unggulan IKM dari jenis


barangnya saja tetapi, memasukkan juga
produk jasa, karena di kota (kebanyakan kota
besar) untuk produk unggulan IKM dari
barang biasanya kurang bisa diandalkan.
Sehingga perlu produk unggulan bersifat
jasa, hal itu karena kebanyakan produk yang
dihasilkan adalah jasa. Ketiga, membangun
produk kompetensi unggulan bagi daerah
diperlukan komitmen, kebijakan pemerintah
dan asosiasi pengusaha/industri/bengkel
kerja IKM.
DAFTAR PUSTAKA
Akita, Takahiro dan Armida S. Alisjahbana,
2001, The Economic Crisis and Regional Inequality in Indonesia, Makalah
seminar, Jakarta.
Amurwaraharja, Indra Permana, 2003, Analisis Teknologi Pengolahan Sampah
dengan Proses Hirarki Analitik dan
Metoda Valuasi Kontingensi, Bogor:
Program Pascasarjana IPB.
Azis, Iwan Jaya, 1997, Analytic Hierarchy
Process,in the Benefit Cost Framework:
A Post Evaluation of the Trans Sentra
Highway Project, European Journal of
Operation Research, 48 (1990): 38-48
North Holland.
Badan Pusat Statistik. tt. Surakarta dalam
Angka, Surakarta: BPS Kanwil Surakarta.
Blodgers Communications, tt. Analytic Hierarchy Process (AHP), Tutorial,
RFID.
Disperindag. 2007. Rencana Pengembangan
Industri di Surakarta. Surakarta: Bagian
Penerbitan Disperindag.

Disperindag. tt. Laporan Data Industri


Daerah, Surakarta: Disperindag Kota
Surakarta.
Garcia dan Soelistianingsih, 1998, Pengaruh
Variabel Modal Manusia, Fertilitas
Total, Selain Pangsa Sektor Minyak dan
Gas dalam PDRB untuk Mengukur
Ketersediaan Sumber Daya Alam terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah,
Penelitian, Jakarta
Haeruman, 2000, Tantangan Bagi Dunia
Usaha Pengembangan Industri Kecil
Indonesia Human Development Report,
2002, Regional Economics Development
Islam, Iyanatul, 2005, Ketidakmerataan
Antardaerah di Indonesia, School of
International Business and Asian Studies, Griffith University, Australia.
Kurniawan Bangun Nur Cahyo, 2006, Multicriteria Decision Making Methot for
the Determination of Collection Priority
of land and Property Tax (PBB) by
Letter Force, Geodesi FTSL, ITB.
Porter, M. E. 1985. Competitive Advantage
Creating and Sustaining Superior Performance. New York: The Free Press.
Porter, M. E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York: Free Press.
Saaty, Thomas. L, 1989, Decision Making,
Reading and Number Crunching, Decision Sciences 20 (2).
Saaty, Thomas. L, 1993, Pengambilan Keputusan bagi para Pemimpin, Proses
Hirarki Analitik untuk Pengambilan
Keputusan dalam Situasi yang Kompleks, Manajemen No.14, Jakarta: PT.
Pustaka Binaman Pressindo.

Daryono dan Wahyudi - Analisis Kompetensi Unggulan Daerah


Schroeder, 2000, Supply Chain Management,
New York: PrenticeHall.
Subekti, Nanang, 2005, Pertumbuhan Ekonomi Regional, Makalah Seminar, Jakarta.
Soebagiyo, Daryono, 2002, Perspektif Kota
Surakarta dalam Wacana menjadikan
Sebagai Ibukota Propinsi, Makalah
Seminar Dialog Ekonomi Regional,
IMM, Surakarta.
Soebagiyo, Daryono, 2001, Model Perencanaan Ekonomi Melalui Metode
Pengambilan Keputusan dengan AHP
(Analytic Hierarchy Process), Jurnal
Ekonomi Pembangunan Vol 2. No.1
Juni 2001 Surakarta: BPPE FE UMS
Subagiyo, Daryono. 2007. Pengembangan
UKM Yang Berdasarkan Kompetensi di

197

Kota Surakarta. Hasil Riset Diseminasi


Pengkajian Kompetensi Inti Daerah.
Surakarta.
Teknomo Kardi, Hendro Siswanto, Sebastianus Ari Yudhanto, 1999, Penggunaan
Metode Analytic Hierarchy Process
dalam Menganalisa Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pemilihan Modal ke
Kampus, Dimensi Teknik Sipil, Vol.1,
No,1, Maret 1999, Universitas Kristen
Petra, Surabaya.
World Bank, 2005, Indonesia Policy Briefs,
Mendukung Usaha Kecil dan Menengah, Washington DC: The World
Bank.

Jurnal Ekonomi Pembangunan


Vol. 9, No. 2, Desember 2008, hal. 198 - 215

ANALISIS DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP


STRATEGI PENGEMBANGAN PERGURUAN TINGGI SWASTA
(PTS) DI KABUPATEN SLEMAN
Rudy Badrudin
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta
E mail: rudy@stieykpn.ac.id

ABSTRACT
This research analyze the effect of regional autonomy to the interest of colleges
student candidate to continue studying in Sleman Regency which researchs samples
for major programs chosen was Accounting, Management, and Economics in UII,
UAJY, UPNVY, and STIE YKPN. The result of research with Boston Consulting
Group (BCG) Matrix shows that each major program in four universities and
college was in different quadrant. Therefore, each university and college has to
choose different development strategic specifically even for each major programs in
each university and college, so that the major programs in four universities and
college in Sleman Regency could grow and rise.
Keywords: development strategy, BCG matrix
PENDAHULUAN
Prospek pendidikan tinggi di Kabupaten
Sleman didasarkan perkembangan pendidikan tinggi di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta yang terjadi sesudah tahun 2001
karena pada kurun waktu tersebut telah
terjadi beberapa peristiwa nasional maupun
regional yang berdampak terhadap perkembangan dunia pendidikan. Beberapa peristiwa
tersebut di antaranya, krisis ekonomi tahun
1998, diberlakukannya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah pada tahun 2001,
diberlakukannya Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional pada tahun 2003, dan
isu-isu negatif misalnya tentang narkoba dan
mahasiswa/pelajar dan sex bebas di kalangan
mahasiswa di Yogyakarta dan Sleman. Di
antara beberapa peristiwa tersebut, diduga
pemberlakuan Undang-Undang Otonomi

Daerah per 1 Januari 2001 menjadi faktorfaktor penyebab turunnya minat orang tua
untuk menyekolahkan anak-anaknya kuliah
di Yogyakarta dan Sleman.
Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun
1998 telah berdampak pada peningkatan
jumlah pengangguran sehingga menjadi
faktor negatif bagi orang tua dalam kemampuannya membiayai biaya pendidikan tinggi
bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, orang
tua akan berpikir realistis dalam arti akan
lebih memprioritaskan sumber keuangannya
untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Di
samping itu, krisis ekonomi tersebut juga
menurunkan kemampuan daya serap perusahaan dalam merekrut karyawan sehingga
orang tua juga akan berpikir realistis untuk
menyekolahkan anak-anaknya kuliah kalau
setelah lulus dari perguruan tinggi hanya

Rudy Badrudin Analisis Dampak Otonomi Daerah


menjadi penganggur. Diberlakukannya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah pada
tahun 2001 yang lalu mengakibatkan beberapa daerah berlomba-lomba untuk mendirikan
perguruan tinggi. Di samping itu, undangundang tersebut juga memunculkan pandangan sempit tentang fanatisme daerah yaitu
pemerintah daerah hanya menerima calon
pegawainya yang lulus dari perguruan tinggi
di wilayah tersebut. Kedua hal ini tentunya
akan berdampak negatif bagi perguruan
tinggi di Kabupaten Sleman dalam penerimaan mahasiswa baru.
Keterbatasan pemerintah pusat dalam
membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sektor pendidikan khususnya pendidikan tinggi mengakibatkan beberapa perguruan tinggi negeri di antaranya
Universitas Gadjah Mada (UGM) berubah
statusnya menjadi badan hukum milik negara
(BHMN). Status UGM menjadi BHMN yang
dimulai pada tahun 2003 mengakibatkan
UGM memiliki otoritas yang lebih besar
dalam format penerimaan mahasiswa baru,
penyusunan dan penetapkan kurikulum, serta
menjadi lebih mandiri dalam menetapkan
kebijakan pembiayaan pendidikan. Berdasarkan otoritas yang dimiliki UGM diharapkan
UGM lebih mampu dalam memperoleh input
calon mahasiswa baru (kualitas dan kuantitas) dan lebih fleksibel dalam menggali
berbagai potensi sumber dana untuk pembiayaan operasional dan pengembangan UGM.
Pembiayaan APBN sektor pendidikan
khususnya pendidikan tinggi membutuhkan
anggaran pendidikan yang cukup besar.
Berdasarkan perhitungan Dirjen Dikti, ratarata biaya pendidikan seorang mahasiswa S-1
mencapai Rp9.000.000 per tahun. Rata-rata
biaya pendidikan per tahun yang cukup besar
tersebut tidak mungkin ditanggung oleh

199

pemerintah sendiri, artinya bagi perguruan


tinggi negeri seperti UGM yang memiliki
2.300 dosen yang terdiri dari 28 persen
doktor, 52 persen master, dan 20 persen
sarjana dari 18 fakultas dengan 71 program
studi perlu mengundang partisipasi orang tua
mahasiswa dan masyarakat dalam membiayai
biaya pendidikan tersebut.
Otoritas UGM yang semakin besar
dalam menyusun dan menetapkan kurikulum,
serta menjadi lebih mandiri dalam menetapkan kebijakan pembiayaan pendidikan
mengakibatkan biaya pendidikan di UGM
menjadi terkesan mahal. Sebagai gambaran,
seorang mahasiswa S-1 UGM non-eksakta
mengeluarkan biaya pendidikan sekitar
Rp8.500.000 per tahun sedangkan seorang
mahasiswa S-1 UGM eksakta mengeluarkan
biaya pendidikan sekitar Rp9.900.000 per
tahun. Untuk mahasiswa S-1 UGM Fakultas
Kedokteran mengeluarkan biaya pendidikan
Rp12.100.000 per tahun. Biaya pendidikan
itu di luar SPMA (dibayar sekali selama
menjadi mahasiswa) yang bervariatif per
program studi per fakultas. Misalnya, SPMA
Fakultas
Biologi
bervariasi
antara
Rp1.000.000 (alternatif 1), Rp2.000.000
(alternatif 2), Rp4.000.000 (alternatif 3), dan
Rp6.000.000 (alternatif 4). Fakultas Ekonomi
dan Kedokteran merupakan dua fakultas
yang mematok SPMA paling mahal, dari
termurah Rp10.000.000 sampai dengan
termahal Rp50.000.000. Sebagai pembanding, seorang mahasiswa baru PTS ternama
di Kabupaten Sleman pada tahun 2003,
membayar biaya pendidikan SPP Tetap
Rp1.000.000 per semester, SPP Variabel
Rp40.000 per sks, dan Sumbangan Pengembangan
Akademik
(SPA)
minimum
Rp8.000.000.

200

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

Otoritas yang dimiliki UGM dalam


penerimaan mahasiswa baru mulai diterapkan pada tahun 2003, yaitu dengan mengadakan perubahan format ujian masuk. Format
ujian masuk tahun sebelumnya adalah calon
mahasiswa baru yang melalui jalur tes harus
mengikuti ujian seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) yang diselenggarakan
bersama dengan perguruan tinggi negeri lain
secara nasional, sedangkan calon mahasiswa
baru yang melalui jalur penjaringan bibit
berprestasi dan penjaringan dengan sistem
kemitraan (Sistem Penjaringan atau SP)
harus mengikuti seleksi yang diselenggarakan tersendiri oleh fakultas di lingkungan
UGM. Semua seleksi tersebut (SPMB dan
SP) diselenggarakan setelah waktu pengumuman kelulusan SMU, sedangkan pengumuman hasil seleksi SPMB dan SP perguruan tinggi negeri (UGM) dilaksanakan pada
akhir bulan Juli atau awal bulan Agustus.
Seluruh mahasiswa baru yang diterima di
UGM, baik melalui jalur SPMB maupun SP
harus membayar Sumbangan Pembinaan
Pendidikan (SPP) sebesar Rp500.000 per
semester dan Biaya Operasional Pendidikan
(BOP) sebesar Rp500.00 untuk mahasiswa
fakultas non-eksakta dan sebesar Rp750.000
untuk mahasiswa fakultas eksakta.
Format ujian masuk mulai tahun 2003
adalah calon mahasiswa baru yang melalui
jalur tes harus mengikuti ujian masuk UGM
yang pelaksanaannya dilakukan oleh UGM
sendiri (disebut Ujian Masuk UGM atau UM
UGM) dan bersama dengan perguruan tinggi
negeri lain secara nasional (disebut SPMB).
Seleksi melalui jalur UM UGM menerima 75
persen dari rencana 6.000 mahasiswa baru
(4.000 mahasiswa baru melalui jalur UM
UGM dan 500 mahasiswa melalui jalur SP),
sedangkan seleksi melalui jalur SPMB mene-

rima 25 persen dari rencana 6.000 mahasiswa


baru (1.500 mahasiswa baru). Seleksi
penerimaan mahasiswa baru melalui UM
UGM diselenggarakan sebelum waktu
pengumuman kelulusan SMU (diselenggarakan di 17 kota di Indonesia pada tanggal 22
dan 23 April 2003). Pengumuman hasil
seleksi ujian masuk melalui jalur UM UGM
akan dilakukan pada akhir Mei 2003. Bagi
calon mahasiswa baru yang tidak diterima
melalui jalur UM UGM masih diberi
kesempatan untuk mengikuti seleksi melalui
jalur SPMB yang akan diselenggarakan pada
bulan Juni 2003. Pengumuman hasil seleksi
ujian masuk melalui jalur SPMB (UGM)
dilakukan pada akhir bulan Juli atau awal
bulan Agustus. Seluruh mahasiswa baru yang
diterima di UGM melalui seleksi UM UGM
dan SPMB harus membayar Sumbangan
Pembinaan Pendidikan (SPP) sebesar
Rp500.000 per semester dan Biaya
Operasional Pendidikan (BOP) sebesar
Rp500.00 untuk mahasiswa fakultas noneksakta dan sebesar Rp750.000 untuk
mahasiswa fakultas eksakta. Di samping
membayar SPP dan BOP, mahasiswa baru
juga harus membayar Sumbangan Pengembangan Mutu Akademik (SPMA) minimum
sebesar Rp5.000.000 (bagi yang mampu) dan
bebas terbatas (bagi yang memenuhi
persyaratan akademis tetapi tidak mampu
secara ekonomi).
Khusus bagi calon mahasiswa baru yang
diterima melalui jalur Program Swadaya,
biaya pendidikan yang harus dibayarkan
meliputi SPP sebesar Rp1.500.000 per
semester, BOP sebesar 50.000 per sks, dan
SPMA yang bervariatif terganting jenis
program studi dan fakultas yang dipilih
(minimum Rp5.000.000). Model pembiayaan

Rudy Badrudin Analisis Dampak Otonomi Daerah


pendidikan di UGM untuk mahasiswa baru
tahun 2003 ditunjukkan pada Tabel 1.
Secara keseluruhan, ada 5 perguruan
tinggi negeri yang berdomisili di Kabupaten
Sleman, yaitu Universitas Gadjah Mada
(UGM), Universitas Negeri Yogyakarta
(UNY), Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga, Akademi Angkatan Udara

201

(AAU) Adisucipto, dan Sekolah Tinggi


Pertanahan Negara (STPN). Data jumlah
mahasiswa baru yang mendaftar, diterima,
dan jumlah keseluruhan di 5 perguruan tinggi
negeri tersebut pada tahun 2002 ditunjukkan
pada Tabel 2.
Prediksi pendidikan tinggi perguruan
tinggi swasta untuk jumlah mahasiswa

Tabel 1. Biaya Pendidikan untuk Mahasiswa Baru UGM Tahun 2003


Nomor

Keterangan

SPP

Rp500.000/semester

Rp1.500.000/semester

BOP

Rp500.000/semester (non-eksakta)
Rp750.000/semester (eksakta)

Rp50.000/sks (khusus bagi program studi Teknik


Pertanian Rp100.000/sks)

SPMA

1. Rp1.000.000 s.d. Rp4.000.000


(Bebas terbatas bagi calon
mahasiswa yang memenuhi
persyaratan akademis, tetapi tidak
mampu secara ekonomi).

Program Reguler

2. Minimum Rp5.000.000 (bagi yang


mampu)

Pola
Seleksi

1. Penjaringan Bibit Berprestasi


2. Penjaringan Sistem Kemitraan
3. Seleksi Tulis (UM UGM dan
SPMB)

Program Swadaya

No.

Program Studi

Fakultas

SPMA
minimum
(Rp000.000)

1
2
3
4
5
6

Ilmu Filsafat
Ilmu Hukum
Ilmu Komputer
Kimia
Psikologi
Program Lain

Filsafat
Hukum
MIPA
MIPA
Psikologi
Studinya

5
5
8
6
5
10

Seleksi Tulis yang waktunya tergantung fakultas


penyelenggara program swadaya.

Sumber: http://web.ugm.ac.id/um-ugm/um-ugm-php.

Tabel 2. Jumlah Mahasiswa Baru yang Mendaftar, Diterima, dan Jumlah


Mahasiswa Total di Perguruan Tinggi Negeri, Tahun 2002
2002

Nomor

PTS

1
2
3
4
5

UGM
UNY
UIN SUKA
AAU ADISUCIPTO
STPN

193.496
2.930
1.763
926

8.098
4.697
2.190
162
301

50.172
10.453
10.650
452
717

Jumlah

199.115

15.448

72.444

Pendaftar

Diterima

Sumber: Sleman dalam Angka Tahun 2002, BPS Kabupaten Sleman

Jumlah Total

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

202

pendaftar, mahasiswa baru yang diterima,


dan mahasiswa total mempunyai kecenderungan menurun pada tahun 2005-2009.
Beberapa faktor sebagai penyebab turunnya
mahasiswa pendaftar, mahasiswa baru yang
diterima, dan mahasiswa total adalah mahalnya biaya pendidikan dan isu narkoba yang
terjadi di Yogyakarta dan Sleman. Mahalnya
biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri
maupun swasta dirasakan di berbagai kota di
Indonesia, termasuk Yogyakarta dan Sleman.
Beberapa tahun yang lalu, Yogyakarta dan
Sleman dikenal sebagai Kota Pendidikan
dengan biaya hidup yang relatif murah
dibandingkan dengan kota-kota lainnya.
Tetapi sebutan itu tidak berlaku lagi sekarang. Hal ini dibuktikan dengan hasil survei
terhadap 875 orang yang dilakukan oleh
Litbang Kompas pada tahun 2003 diperoleh
hasil sebagai berikut (Tabel 3)
Tabel 3. Survei Biaya Pendidikan di Perguruan
Tinggi di Berbagai Kota, Tahun 2003
Kota
Responden
Jakarta
Yogyakarta
(Sleman)
Surabaya
Medan
Padang
Banjarmasin
Pontianak
Manado
Makassar
Jayapura

Murah
(%)

Sedang
(%)

Mahal
(%)

6,9
0,0

22,1
5,1

71,0
94,9

6,9
11,4
38,5
15,0
13,6
12,5
7,0
30,4

24,4
24,3
23,1
45,0
45,5
8,3
20,9
8,7

68,8
64,3
38,5
40,0
40,9
79,2
72,1
60,9

Sumber: Kompas, 22 Juni 2003, hal. 32.

Berdasarkan Tabel 3, nampak tidak ada


responden yang mengatakan bahwa biaya
pendidikan di perguruan tinggi di kota Yogyakarta dan Sleman murah dan nampak seba-

nyak 94,9 persen responden mengatakan


bahwa biaya pendidikan di perguruan tinggi
di kota Yogyakarta dan Sleman mahal.
Mahalnya biaya pendidikan di perguruan
tinggi di Yogyakarta dan Sleman akan berdampak terhadap turunnya daya saing kota
Yogyakarta dan Sleman dalam kompetisi
penerimaan mahasiswa baru.
Mahalnya biaya pendidikan di Yogyakarta dan Sleman dibuktikan pula dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Bank
Indonesia (BI) Yogyakarta, yaitu selama
tahun 2000-2002 biaya hidup mahasiswa di
Yogyakarta rata-rata naik 8,78 persen per
tahun dan di tahun 2003 diperkirakan naik
9,12 persen sehingga biaya hidup mahasiswa
tahun 2002 yang sebanyak Rp8,83 juta per
tahun menjadi Rp9,63 juta per tahun pada
tahun 2003 atau sebanyak Rp802.549 per
bulan. Komponen terbesar yang mengakibatkan kenaikan biaya hidup mahasiswa pada
tahun 2003 adalah kenaikan biaya pendidikan
sebanyak 11,11 persen dan kenaikan biaya
kos sebanyak 8,11 persen (Kompas, 12 April
2004, hal. A). Turunnya jumlah penerimaan
mahasiswa baru yang berdampak terhadap
jumlah mahasiswa total pada akhirnya akan
berdampak terhadap roda perekonomian
Propinsi DIY. Hal ini dibuktikan dengan
hasil survei BI pada triwulan II tahun 2003
yang menunjukkan bahwa banyaknya uang
yang dibelanjakan oleh mahasiswa dalam 1
tahun mencapai Rp2,94 triliun atau 17,7
persen dari perputaran uang di Yogyakarta
dan Sleman.
Promosi negatif (depromotion) bagi
penerimaan mahasiswa baru di Yogyakarta
dan Sleman, selain faktor biaya pendidikan
juga isu Yogyakarta dan Sleman sebagai kota
narkoba nomor 3 di Indonesia. Menurut
Dinas Sosial Propinsi DIY, di DIY ada lebih

Rudy Badrudin Analisis Dampak Otonomi Daerah

203

Tabel 4. Jumlah Mahasiswa Pendaftar, Diterima, dan Total di Perguruan Tinggi Swasta
Propinsi DIY, Tahun 2001-2003
Nomor

Jenis PTS

2001

2002

2003

Pendaf- Diterima Jumlah Pendaf- Diterima Jumlah Pendaf- Diterima Jumlah


tar
Total
tar
Total
tar
Total
1
2
3
4
5

Universitas
98,179
Institut
3,146
Sekolah Tinggi 17,297
Politeknik
1,813
8,163
Akademi

27,408 107,469 87,948


2,153
7,530 2,880
11,866 38,092 16,263
1,274
405 3,913
5,238 14,404 9,010

22,844 91,846 88,272


1,879 4,790 2,671
8,712 24,242 16,606
2,598 3,457 4,426
4,844 12,799 8,626

34,274 118,039
2,000 8,715
11,151 39,272
2,383 6,607
5,164 16,146

Total

47,939 167,900 120,014

40,877 137,134 20,601

54,972 188,779

28,598

Sumber: Kopertis V Propinsi DIY. Data diolah

kurang 24.000 orang pengguna narkoba dan


50 persennya adalah pelajar dan mahasiswa.
Jumlah yang cukup banyak tersebut akan
semakin meningkat di tahun-tahun mendatang apabila tidak ada upaya pencegahan
untuk itu. Perda DIY Nomor 3 tahun 2000
tentang Penanggulangan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Aditif
hanya menjadi macan ompong yang
kurang mempunyai kekuatan dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba. Hal ini dapat
kita lihat dalam praktiknya apakah perguruan
tinggi sudah melakukan seleksi terhadap
mahasiswa baru berkaitan dengan tes narkoba (Kedaulatan Rakyat, 27-29 April 2004,
hal. 20).
Apabila data jumlah mahasiswa pendaftar, mahasiswa baru yang diterima, dan
mahasiswa total PTS di Kopertis Wilayah V
Propinsi DI Yogyakarta selama tahun 20012003 dikelompokkan berdasarkan jenis pendidikan tinggi menurut universitas, institut,
sekolah tinggi, politeknik, dan akademi maka
akan nampak data PTS pada Tabel 4.

Berdasarkan Tabel 4, nampak jumlah


pendaftar selama tahun 2001-2002 semakin
menurun. Penurunan jumlah pendaftar bagi
perguruan tinggi swasta akan berdampak
pada pola seleksi penerimaan mahasiswa
baru yang semakin tidak berkualitas apabila
perguruan tinggi swasta mempertahankan
jumlah mahasiswa yang diterima. Artinya
rasio jumlah mahasiswa pendaftar dan yang
diterima akan semakin meningkat angka
persentasenya. Hal ini ditunjukkan pada
Tabel 5.
Berdasarkan Tabel 5, nampak total rasio
mahasiswa pendaftar dan diterima selama
tahun 2001-2003 persentasenya semakin
meningkat, yaitu dari 37,28 persen pada
tahun 2001 menjadi 45,58 persen pada tahun
2003. Pola peningkatan rasio ini berlaku juga
untuk seluruh jenis pendidikan tinggi, kecuali
jenis politeknik yang rasionya semakin
menurun, yaitu dari 70,27 persen pada tahun
2001, 66,39 persen pada tahun 2002, dan
53,80 persen pada tahun 2003. Hal ini
menunjukkan bahwa pendidikan tinggi jenis
politeknik merupakan jenis pendidikan tinggi

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

204

Tabel 5. Rasio Jumlah Mahasiswa Pendaftar dan Diterima di Kopertis V, Tahun 2001-2003
Nomor

1
2
3
4
5

Jenis
PTS
Universitas
Institut
SekolahTinggi
Politeknik
Akademi
TOTAL

2001

2002

2003

Pendaftar Diterima Rasio Pendaftar Diterima Rasio Pendaftar Diterima


98,179
3,146
17,297
1,813
8,163
128,598

27,408
2,153
11,866
1,274
5,238

27.92%
68.44%
68.60%
70.27%
64.17%

87,948
2,880
16,263
3,913
9,010

47,939 37.28%

120,014

22,844
1,879
8,712
2,598
4,844

25.97%
65.24%
53.57%
66.39%
53.76%

88,272
2,671
16,606
4,426
8,626

40,877 34.06%

120,601

34,274
2,000
11,151
2,383
5,164

Rasio
38.83%
74.88%
67.15%
53.8%
59.87%

54,972 45.58%

Sumber: Kopertis V Propinsi DIY. Data diolah berdasarkan Tabel 4.

yang paling diminati para lulusan SMA


karena kurikulumnya lebih aplikatif daripada
jenis pendidikan tinggi lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak otonomi daerah terhadap strategi pengembangan perguruan tinggi swasta
(PTS) di Kabupaten Sleman. Penelitian
dilakukan dengan menggunakan sampel
empat PTS besar berdasarkan jumlah mahasiswa dan berlokasi yang saling berdekatan
di Kecamatan Depok. Penelitian dilakukan
berdasarkan perkembangan data jumlah
mahasiswa baru setelah pemberlakuan otonomi daerah per 1 Januari 2001, yaitu mulai
tahun 2002 sampai dengan 2007.
METODE PENELITIAN
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) menghadapi
perubahan eksternal yang sangat cepat.
Perubahan eksternal tersebut mengakibatkan
persaingan antarperguruan tinggi negeri dan
swasta menjadi sangat ketat. PTS yang dapat
memilih strategi yang tepat akan mampu
memenangkan persaingan tersebut. Untuk
mengantisipasi perubahan yang sangat cepat
tersebut, PTS harus mampu menerapkan

model manajemen dengan paradigma baru


karena dengan paradigma baru, manajemen
PTS dapat melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas yang ditujukan untuk memenuhi customer satisfaction (kepuasan perusahaan perekrut lulusan PTS). Paradigma baru
diperlukan untuk mengatasi perubahan yang
terjadi dalam lingkungan eksternal dan
bagaimana mengelola perubahan tersebut.
Managerial paradigm menunjukkan cara
orang berpikir dan bertindak dalam mengelola perguruan tinggi. Apabila dalam
mengelola PTS, pengurus PTS menghadapi
kenyataan-kenyataan yang dapat mengancam
kelangsungan hidup dan prospek PTS di
masa depan, maka pengurus PTS perlu untuk
segera mengubah paradigmanya dengan
paradigma baru (Bounds, Greg, et al., 1994,
hal. 28). Pergeseran paradigma tersebut
ditujukan untuk menyediakan superior customer value melalui customer value strategy,
organizational systems, dan continuous improvement.
Customer value strategy adalah strategi
bisnis yang berupa penawaran nilai kepada
customer yang di dalamnya tidak hanya
berupa produk, tetapi juga berupa karakte-

Rudy Badrudin Analisis Dampak Otonomi Daerah


ristik produk, pendistribusian produk, dan
sebagainya (Bounds, Greg, et al., 1994, hal.
29). Customer value adalah kombinasi manfaat yang berasal dari suatu produk dan
pengorbanan yang diperlukan customer
dalam memenuhi kebutuhannya atau selisih
antara manfaat yang diperoleh customer dari
penggunaan produk dengan pengorbanan
yang dilakukan customer untuk memperoleh
manfaat tersebut. Salah satu pergeseran paradigma dari paradigma lama ke paradigma
baru dalam customer value strategy adalah
tentang topik tentang kualitas. Dalam paradigma lama, manajemen mendefinisikan kualitas dengan pencapaian yang telah ditentukan. Kualitas dijamin dengan seleksi produk
sebelum dikirim ke customer. Manajemen
membuat tradeoff antara kualitas, biaya, dan
skedul. Dalam paradigma baru manajemen
mendefinisikan bahwa kualitas produk hanya
merupakan salah satu bagian dari customer
value. Manajemen mencari sinergi antara
kualitas, biaya, dan skedul. Untuk memiliki
kemampuan bertahan, berkembang, dan
memenangkan persaingan yang ketat dalam
era bisnis global, organisasi bisnis harus
mengarahkan semua kegiatannya untuk
menghasilkan customer value.
Organizational systems adalah sarana
yang menyediakan customer value. Termasuk dalam sistem ini adalah input material
dan sumberdaya manusia, teknologi proses,
metode operasi dan praktik kerja, aliran
aktivitas kerja, aliran informasi, dan proses
pengambilan keputusan. Dalam organizational systems, ada pergeseran paradigma dalam
memandang cross functional approach,
tehnologi, pelibatan karyawan, manajemen
sumberdaya manusia,definisi peraturan,
kultur, dan struktur. Misalnya, paradigma
baru dalam memandang teknologi adalah

205

teknologi digunakan untuk mengurangi kompleksitas masalah terlebih dengan menggunakan teknologi yang otomatis dan serba
komputer dan manajemen menggunakan
teknologi hanya untuk mengotimalkan sistem
yang menghasilkan customer value. Paradigma baru dalam memandang pelibatan
karyawan adalah karyawan dilibatkan dalam
kegiatan PTS yang berfokus pada strategi
untuk memuasi customer. Pelibatan karyawan dilakukan dengan cara memperdayakan
mereka melalui continuous improvement,
agar mampu memberikan kontribusi bagi
PTS dan menghasilkan kepuasan customer.
Continuous improvement digunakan
untuk mengelola perubahan dalam lingkungan eksternal agar PTS dapat membuat
keadaan menjadi lebih baik. Improvement
dalam paradigma lama dilakukan yang utama
pada pengembangan produk baru dan reaksi
terhadap masalah yang muncul. Improvement
dalam paradigma baru dilakukan pada setiap
waktu dan di manapun. Manajemen secara
proaktif mengadakan perbaikan pada setiap
ada kesempatan meskipun tidak ada masalah
yang muncul. PTS menggunakan continuous
improvement secara berkelanjutan terhadap
proses dan sistem yang digunakan untuk
menghasilkan customer value dengan tingkat
improvement yang lebih pesat dibandingkan
improvement yang dilakukan PTS pesaing.
Intensitas superior customer value
melalui customer value strategy, organizational systems, dan continuous improvement
ditentukan oleh keunggulan masing-masing
PTS yang dapat dianalisis menggunakan
matriks pertumbuhan-pangsa pasar (growthshare matrix GS Matrix). GS Matrix atau
Boston Consultant Group Matrix/BCG
Matrix memiliki empat kuadran yang
dipisahkan oleh dua sumbu, yaitu sumbu

206

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

vertikal dan sumbu horisontal. Sumbu vertikal menunjukkan kontribusi PTS terhadap
PTS keseluruhan di Kabupaten Sleman dan
sumbu horisontal menunjukkan laju pertumbuhan PTS. Kontribusi suatu PTS diukur dari
kontribusi persentase jumlah mahasiswa PTS
tersebut terhadap jumlah mahasiswa PTS
keseluruhan di Kabupaten Sleman. Sedangkan laju pertumbuhan PTS diukur dari persentase perubahan jumlah mahasiswa PTS
tersebut dari tahun ke tahun.
Andriani, Lis HR (2001), menggunakan
BCG Matrix untuk meneliti 9 (sembilan)
PTS di Kota Surabaya yang mempunyai
Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen
dengan status terakreditasi B berdasarkan
data Direktori Kopertis Wilayah VII, Tahun
1999. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan posisi keunggulan kompetitif masingmasing PTS berdasarkan faktor-faktor keberhasilan kritis internal maupun eksternal yang
dimilikinya, serta menentukan strategi apa
yang paling sesuai untuk diterapkan berdasarkan posisi tersebut. Penelitian ini
menggunakan metode analisis kualitatif,
yaitu analisis BCG Matrix. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pertama, Unika Widya
Mandala, UK Petra, dan Ubaya berada pada
posisi yang sangat menguntungkan yaitu
terletak di kuadran 1, sementara keenam PTS
lainnya berada pada kuadran 2, yang berarti
memiliki posisi cukup menguntungkan.
Kedua, alternatif strategi yang dapat diterapkan untuk masing-masing PTS adalah sebagai berikut: Unika Widya Mandala sebaiknya
melakukan strategi pengembangan pasar;
Untag, UPB, UPN "Veteran" Surabaya, dan
Ubhara dianjurkan untuk menerapkan
strategi pengembangan produk; Unitomo
dengan strategi integrasi ke belakang; Unipra
menggunakan strategi penetrasi pasar; dan

UK Petra dan Ubaya sebaiknya melaksanakan strategi integrasi horizontal. Strategi


tersebut dapat dijadikan acuan penyusunan
strategi jangka panjang dalam rangka
pengembangan masing-masing PTS, sehingga diharapkan pengembangannya akan semakin terarah, terfokus, efektif, dan efisien
dalam mencapai visi dan misi organisasi.
Algifari dan Rudy Badrudin (2003: 203213), melakukan penelitian untuk menguraikan strategi yang dapat digunakan pemerintah daerah dalam memanfaatkan keterbatasan
sumberdaya untuk memperoleh hasil pembangunan yang optimal. Strategi tersebut
berkaitan dengan pengidentifikasian karakteristik lokasi (dalam hal ini kecamatan),
kemudian memasukkan kecamatan tersebut
ke dalam suatu kelompok tertentu. Tujuannya adalah untuk menentukan strategi pembangunan yang cocok bagi masing-masing
kelompok kecamatan. Pengelompokan kecamatan dilakukan dengan menggunakan
model Growth-Share BCG Matrix. Setiap
kecamatan diidentifikasi pertumbuhan ekonomi (growth) dan kontribusi (share) PDRB
kecamatan terhadap PDRB kabupaten. Hasil
identifikasi menunjukkan bahwa tidak satu
pun kecamatan di Kabupaten Sleman yang
memiliki pertumbuhan tinggi dan kontribusi
tinggi. Kecamatan Cangkringan, Ngemplak,
Pakem, Prambanan, dan Turi memiliki
kontribusi yang tinggi bagi PDRB kabupaten,
namun pertumbuhan ekonominya rendah.
Kecamatan Depok, Gamping, Malti, Ngaglik,
dan Sleman memiliki pertumbuhan ekonomi
tinggi, namun kontribusi bagi PDRB kabupaten rendah. Sedangkan kecamatan Berbah,
Godean, Kalasan, Minggi, Moyudan, Seyegan, dan Tempel termasuk ke dalam kelompok yang memberikan kontribusi rendah bagi

Rudy Badrudin Analisis Dampak Otonomi Daerah


PDRB kabupaten dan juga memiliki pertumbuhan ekonomi yang rendah.
Prasetiyo, Yudo Agus (2004), melakukan penelitian tentang Analisis Penetapan
Strategi Perusahaan Guna Meningkatkan
Daya Saing Pada PT Cipta Niaga Dengan
Analisis SWOT, BCG Matrix, dan analisis
lainnya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dalam kondisi persaingan bisnis yang
sangat ketat seperti saat ini dibutuhkan
informasi yang cepat dan metode analisis
yang akurat. Pada persaingan yang semakin
ketat karena keadaan pasar yang terbuka dan
kondisi ekonomi yang belum stabil diperlukan strategi yang tepat untuk melanjutkan
kelangsungan perusahaan untuk meningkatkan daya saing perusahaan PT Cipta Niaga
Palembang yang bergerak pada bidang distribusi barang-barang kebutuhan rumah
tangga (customer good).Sebagai kompetitor,
PT A bergerak dalam bidang yang sama.
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini
adalah untuk menganalisis tingkat pemasaran
dan menentukan strategi yang tepat untuk
meningkatkan daya saing terhadap perusahaan yang sejenis yang ada pada pasar
domestik. Perumusan strategi perusahaan
dilakukan dengan menggunakan analisis
SWOT, BCG Matrix, dan analsis lainnya.
Penerapan metode tersebut dilakukan dengan
evaluasi dan analisis terhadap keadaan intern
dan ekstern perusahaan yang meliputi
peluang, ancaman, kekuatan, kelemahan,
kekuatan bisnis, daya tarik industri, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kedua perusahaan. Berdasarkan hasil
evaluasi diperoleh alternatif strategi untuk
masing-masing perusahaan, yaitu untuk PT
Cipta Niaga adalah strategi market growth
dan untuk PT A adalah strategi market development.

207

Dalam rangka merangsang pertumbuhan


ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup
masyarakat, Pemerintah Kabupaten Sleman
menerapkan pemasaran wilayah (marketing
place) bagi fokus potensi ETI (Education,
Tourism dan Investment). Strategi ini diperlukan sebagai value indicator yang akan
memberikan pesan yang kuat kepada stakeholder. Kabupaten Sleman sebagai daerah
tujuan pendidikan mempunyai atmosfer
intelektual yang sangat kuat. Di Kabupaten
Sleman terdapat 37 perguruan tinggi yang
terdiri dari 5 Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
dan 32 Perguruan Tinggi Swasta (PTS),
dengan mahasiswa lebih dari 150.000 orang,
terkonsentrasi di Kecamatan Depok (4 PTN
dan 19 PTS).
Perguruan tinggi tersebut tumbuh
dengan mahasiswa berasal dari berbagai benua untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu
dalam berbagai tingkatan strata. Sebagai
barometer pendidikan, Kabupaten Sleman
mempunyai fasilitas dan infrastruktur yang
lengkap dan modern. Sistem pendidikan
dikembangkan dengan konsep link and
match yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pasar kerja. Secara umum, perguruan tinggi di Kabupatan Sleman berorientasi
pada pembentukan intellectual skill, communications skill, dan interpersonal skill untuk
menghasilkan sumber daya manusia (SDM)
yang memiliki etos kerja profesional yang
dibutuhkan di era bisnis global. Untuk itu,
Kabupaten Sleman menyediakan zona dan
fasilitas pembangunan kampus yang dapat
mendukung proses belajar mengajar seperti
student housing, auditorium, fasilitas olah
raga indoor/outdoor, jaringan infrastuktur,
dan utilitas. Sistem informasi juga diciptakan
untuk membangun networking antara kampus
dengan customer.

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

208

PTS di Kabupaten Sleman memiliki


karakteristik berbeda satu sama lain. Perbedaan karakteristik ini disebabkan perbedaan
sumberdaya yang dimiliki, baik sumberdaya
fisik, sumber daya non fisik (sumberdaya
manusia), ataupun sumber modal. Sumberdaya yang dimiliki oleh suatu PTS menentukan jenis produk/kegiatan yang difokuskan
untuk dikembangkan. Pemilihan jenis produk/kegiatan PTS yang akan dikembangkan
didasarkan pada keunggulan yang dimiliki
oleh PTS tersebut. Keunggulan dapat diperoleh dari sumberdaya spesifik yang dimiliki.
Jika suatu PTS memiliki sumberdaya yang
spesifik dan tidak dimiliki oleh PTS lain,
baik jenis, mutu, maupun jumlahnya menunjukkan bahwa PTS tersebut memiliki keunggulan memproduksi produk yang menggunakan input utama sumberdaya tersebut.
Pemilihan terhadap produk yang memiliki
keunggulan untuk dikembangkan oleh PTS,
berarti PTS tersebut melakukan spesialisasi.
Spesialisasi dalam kegiatan sektor sangat
penting, mengingat sumberdaya yang dimiliki oleh PTS sangat terbatas. Dengan

melakukan spesialisasi diharapkan penggunaan sumberdaya yang dimiliki PTS tidak


mubajir.
Salah satu cara untuk mengetahui suatu
PTS memiliki keunggulan di antara PTS-PTS
yang lain adalah dengan menggunakan
matriks pertumbuhan-pangsa pasar (growthshare matrix GS Matrix). GS Matrix atau
Boston Consultant Group Matrix /BCG Matrix memiliki empat kuadran yang dipisahkan
oleh dua sumbu, yaitu sumbu vertikal dan
sumbu horisontal. Sumbu vertikal menunjukkan kontribusi PTS terhadap PTS keseluruhan di Kabupaten Sleman dan sumbu horisontal menunjukkan laju pertumbuhan PTS.
Kontribusi suatu PTS diukur dari kontribusi
persentase jumlah mahasiswa PTS tersebut
terhadap jumlah mahasiswa PTS keseluruhan
di Kabupaten Sleman. Sedangkan laju pertumbuhan PTS diukur dari persentase perubahan jumlah mahasiswa PTS tersebut dari
tahun ke tahun.
Lingkaran-lingkaran pada GS Matrix
menunjukkan kontribusi dan laju pertumbu-

Kontribusi PTS
Tinggi (di atas rerata kontribusi
PTS)

Rendah (di bawah rerata kontribusi


PTS)

Tinggi
(di atas rerata
pertumbuhan PTS)

Laju
Pertumbuhan
PTS

Rendah
(di bawah rerata
pertumbuhan PTS)

Gambar 1. Matriks BCG PTS di Kabupaten Sleman

Rudy Badrudin Analisis Dampak Otonomi Daerah

209

gram Strata 1 (S-1) Fakultas Ekonomi


dengan program studi Akuntansi, Manajemen, dan Ekonomi Pembangunan sehingga
dapat dibandingkan antara keempat PTS
tersebut, maka sebagai obyek penelitian
adalah jumlah mahasiswa baru S-1 program
studi Akuntansi, Manajemen, dan Ekonomi
Pembangunan. Berdasarkan data yang diakses dari Departemen Pendidikan Nasional
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi diperoleh data yang tersaji dalam Tabel 6.

han PTS. Masing-masing PTS dikelompokkan berdasarkan tinggi rendahnya kontribusi


dan pertumbuhan masing-masing PTS. PTS
yang memiliki kontribusi jumlah mahasiswa
di atas kontribusi jumlah mahasiswa rerata
dikelompokkan ke dalam PTS yang memiliki
kontribusi tinggi, dan sebaliknya. Demikian
juga dengan pengelompokkan PTS berdasarkan pertumbuhan jumlah mahasiswa. PTS
yang memiliki pertumbuhan jumlah mahasiswa di atas rerata pertumbuhan jumah
mahasiswa semua PTS dikelompokkan ke
dalam kelompok PTS yang memiliki pertumbuhan tinggi, dan sebaliknya.

Berdasarkan Tabel 6, nampak masingmasing program studi di PTS tersebut


memiliki perkembangan jumlah mahasiswa
baru selama tahun 2002-2007 yang berbeda.
Perbedaan ini disebabkan masing-masing
program studi (PS) di PTS tersebut memiliki
karakteristik yang berbeda satu sama lain
karena perbedaan sumberdaya yang dimiliki,
baik sumberdaya fisik, sumber daya non fisik
(sumberdaya manusia), ataupun sumber
modal. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti
menyimpulkan bahwa:

PTS yang dipilih sebagai sampel dalam


penelitian ini adakah empat PTS besar berdasarkan jumlah mahasiswa dan berlokasi
yang saling berdekatan di Kecamatan Depok,
yaitu Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Yogyakarta (UPNVY), dan Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan
Negara Yogyakarta (STIE YKPN). Oleh
karena keempat PTS tersebut memiliki Pro-

Tabel 6. Jumlah Mahasiswa Baru Empat PTS di Kabupaten Sleman, Tahun 2002-2007
Program Studi (PS)

2002

S-1 Akuntansi
S-1 Manajemen
S-1 Ekonomi Pemb.

444
502
122

2003

2004

2005

2006

2007

413
509
125

452
486
105

447
487
77

524
399
39

497
368
71

272
296
52

276
272
27

283
274
30

231
238
31

320
541
57

320
386
47

278
371
69

566
337
22

500
275
6

295
127
5

379
168
11

UII

S-1 Akuntansi
S-1 Manajemen
S-1 Ekonomi Pemb.
S-1 Akuntansi
S-1 Manajemen
S-1 Ekonomi Pemb.
S-1 Akuntansi
S-1 Manajemen
S-1 Ekonomi Pemb.
Sumber: http://www.evaluasi.or.id.

UAJY
314
283
306
300
57
142
UPNVY
363
413
845
769
239
139
STIEYKPN
594
509
579
418
23
15

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

210

H1: ada perbedaan rata-rata kontribusi


jumlah mahasiswa baru pada program studi
Akuntansi di UII, UAJY, UPNVY, dan STIE
YKPN.
H2: ada perbedaan rata-rata kontribusi
jumlah mahasiswa baru pada program studi
Manajemen di UII, UAJY, UPNVY, dan
STIE YKPN.
H3: ada perbedaan rata-rata kontribusi
jumlah mahasiswa baru pada program studi
Ekonomi Pembangunan di UII, UAJY,
UPNVY, dan STIE YKPN.
H4: ada perbedaan rata-rata pertumbuhan jumlah mahasiswa baru pada program
studi Akuntansi di UII, UAJY, UPNVY, dan
STIE YKPN.
H5: ada perbedaan rata-rata pertumbuhan jumlah mahasiswa baru pada program
studi Manajemen di UII, UAJY, UPNVY,
dan STIE YKPN.
H6: ada perbedaan rata-rata pertumbuhan jumlah mahasiswa baru pada program

studi Ekonomi Pembangunan di UII, UAJY,


UPNVY, dan STIE YKPN.
Pengujian hipotesis dilakukan menggunakan model anova satu arah. Model arah ini
digunakan untuk pengujian perbedaan antara
k rata-rata sampel apabila subyek-subyek
penelitian ditentukan secara random pada
setiap grup atau kelompok perlakuan yang
ditentukan (Subiyakto, 2004: 41). Dalam
penelitian ini ditetapkan sebesar 5 persen.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Berdasarkan data jumlah mahasiswa baru
selama tahun 2002-2007 pada masingmasing program studi di PTS tersebut (Tabel
6), maka dapat dihitung kontribusi jumlah
mahasiswa baru selama tahun 2002-2007
pada masing-masing program studi di PTS
tersebut yang hasilnya ditunjukkan pada
Tabel 7.
Berdasarkan data jumlah mahasiswa
baru selama tahun 2002-2007 pada masing-

Tabel 7. Kontribusi Jumlah Mahasiswa Baru Empat PTS di Kabupaten Sleman,


Tahun 2002-2007
Program Studi (PS)

2002

2003

S-1 Akuntansi
S-1 Manajemen
S-1 Ekonomi Pemb.

25.89%
22.49%
27.66%

25.53%
25.50%
29.69%

S-1 Akuntansi
S-1 Manajemen
S-1 Ekonomi Pemb.

18.31%
13.71%
12.93%

17.49%
15.03%
33.73%

S-1 Akuntansi
S-1 Manajemen
S-1 Ekonomi Pemb.

21.17%
37.86%
54.20%

25.53%
38.53%
33.02%

S-1 Akuntansi
S-1 Manajemen
S-1 Ekonomi Pemb.

34.64%
25.94%
5.22%

31.46%
20.94%
3.56%

Sumber: Diolah dari Tabel 6.

2004
UII
28.07%
29.28%
44.49%
UAJY
16.89%
17.83%
22.03%
UPNVY
19.88%
32.59%
24.15%
STIE YKPN
35.16%
20.30%
9.32%

2005

2006

2007

rata-rata

28.97%
34.30%
49.04%

37.97%
34.07%
27.27%

44.90%
47.55%
62.83%

31.89%
32.20%
40.17%

17.89%
19.15%
17.20%

20.51%
23.40%
20.98%

20.87%
30.75%
27.43%

18.66%
19.98%
22.38%

20.74%
27.18%
29.94%

20.14%
31.68%
48.25%

0.00%
0.00%
0.00%

17.91%
27.97%
31.59%

32.40%
19.37%
3.82%

21.38%
10.85%
3.50%

34.24%
21.71%
9.73%

31.54%
19.85%
5.86%

Rudy Badrudin Analisis Dampak Otonomi Daerah

211

Berdasarkan data pada Tabel 7 dan


Tabel 8, maka dapat disarikan nilai kualitatif
kontribusi dan pertumbuhan jumlah mahasiswa empat PTS di Kabupaten Sleman
seperti yang nampak pada Tabel 9.

masing program studi di PTS tersebut (Tabel


6), maka dapat dihitung pertumbuhan jumlah
mahasiswa baru selama tahun 2002-2007
pada masing-masing program studi di PTS
tersebut yang hasilnya ditunjukkan pada
Tabel 8.

Berdasarkan Tabel 9, maka dapat di-

Tabel 8. Pertumbuhan Jumlah Mahasiswa Baru Empat PTS di Kabupaten Sleman,


Tahun 2002-2007
Program Studi (PS)

2003

2004

2005

2006

2007

rata-rata

17.23%
-18.07%
-49.35%

-5.15%
-7.77%
82.05%

2.69%
-5.75%
-1.50%

2.54%
0.74%
11.11%

-18.37%
-13.14%
3.33%

-5.63%
-4.76%
10.42%

-13.13%
-3.89%
46.81%

-5.47%
-17.79%
-17.89%

-41.00%
-53.82%
-16.67%

28.47%
32.28%
120.00%

-5.46%
-17.42%
8.50%

UII
S-1 Akuntansi
S-1 Manajemen
S-1 Ekonomi Pemb.

-6.98%
1.39%
2.46%

S-1 Akuntansi
S-1 Manajemen
S-1 Ekonomi Pemb.

-9.87%
-1.96%
149.12%

S-1 Akuntansi
S-1 Manajemen
S-1 Ekonomi Pemb.

13.77%
-8.99%
-41.84%

S-1 Akuntansi
S-1 Manajemen
S-1 Ekonomi Pemb.

-14.31%
-27.81%
-34.78%

9.44%
-1.11%
-4.52%
0.21%
-16.00% -26.67%
UAJY
-3.89%
1.47%
-1.33%
-8.11%
-63.38% -48.08%
UPNVY
-22.52%
0.00%
-29.65% -28.65%
-58.99% -17.54%
STIE YKPN
11.20% -11.66%
-19.38% -18.40%
46.67% -72.73%

Sumber: Diolah dari Tabel 6.

Tabel 9. Pertumbuhan dan Kontribusi Empat PTS di Kabupaten Sleman, 2002-2007


Program Studi
S-1 Akuntansi
S-1 Manajemen
S-1 Ekonomi Pemb.
S-1 Akuntansi
S-1 Manajemen
S-1 Ekonomi Pemb.
S-1 Akuntansi
S-1 Manajemen
S-1 Ekonomi Pemb.
S-1 Akuntansi
S-1 Manajemen
S-1 Ekonomi Pemb.
Sumber: Diolah dari Tabel 7 dan Tabel 8.

Pertumbuhan
UII
tinggi
tinggi
rendah
UAJY
rendah
tinggi
tinggi
UPNVY
rendah
rendah
rendah
STIE YKPN
rendah
rendah
tinggi

Kontribusi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
rendah
Rendah

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

212

berarti signifikan pada = 0,05. Ini berarti


hipotesis yang menyatakan bahwa ada
perbedaan rata-rata kontribusi jumlah
mahasiswa baru pada program studi
Ekonomi Pembangunan di UII, UAJY,
UPNVY, dan STIE YKPN diterima.

gambarkan posisi masing-masing Program


Studi Akuntansi, Manajemen, dan Ekonomi
Pembangunan di UII, UAJY, UPNVY, dan
STIE YKPN dalam Matriks BCG seperti
yang nampak pada Gambar 2.
Hasil pengujian hipotesis untuk mengetahui signifikan tidaknya perbedaan rata-rata
kontribusi dan pertumbuhan jumlah mahasiswa baru pada masing-masing program
studi Akuntansi, Manajemen, dan Ekonomi
Pembangunan di UII, UAJY, UPNVY, dan
STIE YKPN dengan Anova satu arah pada
tingkat signifikansi sebesar 0,05 . (Tabel 9)

Nilai F test H4 adalah 0,29 dengan nilai


P value = 0,8313 yang berarti tidak signifikan pada = 0,05. Ini berarti hipotesis yang
menyatakan bahwa ada perbedaan rata-rata
pertumbuhan jumlah mahasiswa baru pada
program studi Akuntansi di UII, UAJY,
UPNVY, dan STIE YKPN ditolak. Nilai F
test H5 adalah 0,62 dengan nilai P value =
0,6135 yang berarti tidak signifikan pada =
0,05. Ini berarti hipotesis yang menyatakan
bahwa ada perbedaan rata-rata pertumbuhan
jumlah mahasiswa baru pada program studi
Manajemen di UII, UAJY, UPNVY, dan
STIE YKPN ditolak. Nilai F test H6 adalah
0,15 dengan nilai P value = 0,9274 yang berarti tidak signifikan pada = 0,05. Ini berarti
hipotesis yang menyatakan bahwa ada perbedaan rata-rata pertumbuhan jumlah mahasiswa baru pada program studi Ekonomi
Pembangunan di UII, UAJY, UPNVY, dan
STIE YKPN ditolak

Berdasarkan Tabel 10 nampak nilai F


test H1 adalah 8,41 dengan nilai P value =
0,0008 yang berarti signifikan pada = 0,05.
Ini berarti hipotesis yang menyatakan bahwa
ada perbedaan rata-rata kontribusi jumlah
mahasiswa baru pada program studi Akuntansi di UII, UAJY, UPNVY, dan STIE
YKPN diterima. Nilai F test H2 adalah 2,59
dengan nilai P value = 0,0816 yang berarti
tidak signifikan pada = 0,05.
Ini berarti hipotesis yang menyatakan
bahwa ada perbedaan rata-rata kontribusi
jumlah mahasiswa baru pada program studi
Manajemen di UII, UAJY, UPNVY, dan
STIE YKPN ditolak. Nilai F test H3 adalah
8,07 dengan nilai P value = 0,0010 yang

Berdasarkan Gambar 2, PTS yang terletak pada kuadran satu (bergambar ?) menunjukkan bahwa PTS tersebut mempunyai

Tabel 10. Hasil Pengujian Hipotesis dengan Anova


Hipotesis

F test

P value

H1
H2
H3
H4
H5
H6

8,41
2,59
8,07
0,29
0,62
0,15

0,0008
0,0816
0,0010
0,8313
0,6135
0,9274

Sumber: Tabel 7 dan 8. Data diolah.

Pengujian
signifikan
tidak signifikan
signifikan
tidak signifikan
tidak signifikan
tidak signifikan

Rudy Badrudin Analisis Dampak Otonomi Daerah


kontribusi rendah, tetapi laju pertumbuhan
tinggi. PTS yang terletak pada kuadran satu
ini memiliki peluang pasar yang besar. Hal
ini ditunjukkan oleh pertumbuhan yang
tinggi di PTS ini. Dengan demikian, PS
Manajemen dan PS Ekonomi Pembangunan
UAJY, serta PS Ekonomi Pembangunan
STIE YKPN yang terletak pada kuadran satu
ini berpotensi untuk dikembangkan. Strategi
pengembangan PTS ini adalah dengan
menambah modal.
PTS yang terletak pada kuadran dua
(bergambar ) menunjukkan bahwa PTS
tersebut memiliki laju pertumbuhan tinggi
dan kontribusi tinggi. Dengan demikian, PTS
tersebut merupakan PTS yang memiliki potensi berkembang, karena PTS tersebut
berada pada pasar yang memiliki laju pertumbuhan tinggi. Selain itu, PTS itu juga
memberikan kontribusi tinggi. Strategi
pengembangan PS Akuntansi dan PS Manajemen UII yang berada pada kuadran dua
adalah memperbesar permodalan untuk melayani permintaan dari laju pertumbuhan
pasar yang tinggi dan berusaha mempertahankan kontribusi yang telah dimiliki.
PTS yang terletak pada kuadran tiga
(bergambar 4) merupakan PTS yang berhasil, karena PTS tersebut memiliki kontribusi
yang tinggi, walaupun laju pertumbuhan relatif rendah. PTS yang terletak pada kuadran
tiga tidak memerlukan investasi besar. Hal
ini disebabkan laju pertumbuhan pasar juga
relatif rendah. Jika diinginkan memperbesar
investasi PTS tersebut, pengelola PS Ekonomi Pembangunan UII, PS Manajemen dan
PS Ekonomi Pembangunan UPNVY, serta
PS Akuntansi STIE YKPN harus berusaha
menciptakan pasar atau mencari pasar baru
bagi produk-produk PTS tersebut.

213

PTS yang terletak pada kuadran empat


(bergambar ) dapat diartikan bahwa PTS
tersebut memiliki potensi yang rendah,
karena PTS tersebut memiliki pertumbuhan
pasar rendah dan memberikan kontribusi
yang rendah pula. PTS tersebut memiliki
tingkat keunggulan yang relatif rendah,
sehingga PTS tersebut hanya mampu menyerap sebagian kecil permintaan pasar. Investasi pada PTS tersebut tidak dapat memberikan
prospek yang baik, karena laju pertumbuhan
PTS tersebut juga rendah. Strategi pengembangan PS Akuntansi UAJY, PS Akuntansi
UPNVY, dan PS Manajemen STIE YKPN
yang berada pada kuadran empat adalah
dengan melakukan diversifikasi produk
untuk menciptakan pasar baru atau mencari
pasar di luar pasar yang sudah ada.
Berdasarkan Tabel 10, nampak H1 dan
H3 diterima sedang H2 ditolak secara signifikan pada = 5% . Perbedaan rata-rata kontribusi jumlah mahasiswa baru pada program
studi Akuntansi di UII, UAJY, UPNVY, dan
STIE YKPN terjadi karena perbedaan sumberdaya yang dimiliki, baik sumberdaya
fisik, sumber daya non fisik (sumberdaya
manusia), ataupun sumber modal. Sumberdaya yang dimiliki oleh suatu PS menentukan jenis produk/kegiatan yang difokuskan
untuk dikembangkan. Sebagai contoh, perbedaan pada aspek kuantitas dan kualitas dosen
PS Akuntansi di antara keempat PTS tersebut
mengakibatkan perbedaan dalam penawaran
jenis produk pengembangan, yaitu Program
Magister Akuntansi (MAKSI) dan Program
Pendidikan Profesi Akuntansi (PPA) yang
hanya ditawarkan oleh PS Akuntansi STIE
YKPN. Demikian juga dengan perbedaan
rata-rata kontribusi jumlah mahasiswa baru
pada program studi Ekonomi Pembangunan
di UII, UAJY, UPNVY, dan STIE YKPN

214

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

terjadi karena perbedaan sumberdaya yang


dimiliki. Sebagai contoh, perbedaan dalam
penawaran jenis produk pengembangan,
yaitu Program Magister Ekonomi Pembangunan (MEP) yang hanya ditawarkan oleh
PS Ekonomi Pembangunan UPNVY dan
Program Doktor Ilmu Ekonomi yang hanya
ditawarkan oleh PS Ekonomi Pembangunan
UII. Tidak adanya perbedaan rata-rata kontribusi jumlah mahasiswa baru pada program
studi Manajemen di UII, UAJY, UPNVY,
dan STIE YKPN terjadi karena keempat PTS
tersebut tidak memiliki perbedaan dalam
penawaran jenis produk pengembangan,
yaitu Program Magister Manajemen (MM)
karena keempat PTS semuanya menawarkan
Program MM.
Berdasarkan Tabel 10, nampak H4, H5,
dan H6 ditolak secara signifikan pada =
5%. Tidak adanya perbedaan rata-rata
pertumbuhan jumlah mahasiswa baru pada
program studi Akuntansi, Manajemen, dan
Ekonomi Pembangunan di UII, UAJY,
UPNVY, dan STIE YKPN karena sebagai
PTS yang besar di Kabupaten Sleman,
keempat PTS tersebut memiliki keterbatasan
dalam memperoleh input (calon mahasiswa)
yang relatif sebagian besar berasal dari luar
Propinsi DIY. Dampak otonomi daerah, telah
menimbulkan penurunan terhadap minat
calon mahasiswa untuk melanjutkan kuliah
di DIY pada umumnya dan Kabupaten
Sleman pada khususnya karena di berbagai
kota/kabupaten di luar Propinsi DIY telah
tumbuh dan berkembang berbagai PT. Oleh
karena itu, agar PTS di Kabupaten Sleman
mampu tumbuh dan berkembang maka
masing-masing PTS harus memilih strategi
pengembangan PTS yang spesifik berbeda
bahkan untuk masing-masing PS di masingmasing PTS.

KESIMPULAN
Dampak otonomi daerah telah menimbulkan
penurunan terhadap minat calon mahasiswa
untuk melanjutkan kuliah di DIY pada
umumnya dan Kabupaten Sleman pada
khususnya karena di berbagai kota/kabupaten
di luar Propinsi DIY telah tumbuh dan
berkembang berbagai PT. Oleh karena itu,
agar PTS di Kabupaten Sleman mampu tumbuh dan berkembang maka masing-masing
PTS harus memilih strategi pengembangan
PTS yang spesifik berbeda bahkan untuk
masing-masing PS di masing-masing PTS.
Perbedaan rata-rata kontribusi jumlah
mahasiswa baru pada PS Akuntansi dan
Ekonomi Pembangunan di UII, UAJY,
UPNVY, dan STIE YKPN terjadi karena
perbedaan sumberdaya yang dimiliki, baik
sumberdaya fisik, sumber daya non fisik
(sumberdaya manusia), ataupun sumber
modal. Sumberdaya yang dimiliki oleh suatu
PS menentukan jenis produk/kegiatan yang
difokuskan untuk dikembangkan. Tidak adanya perbedaan rata-rata pertumbuhan jumlah
mahasiswa baru pada PS Akuntansi, Manajemen, dan Ekonomi Pembangunan di UII,
UAJY, UPNVY, dan STIE YKPN karena
sebagai PTS yang besar di Kabupaten
Sleman, keempat PTS tersebut memiliki
keterbatasan dalam memperoleh input (calon
mahasiswa) yang relatif sebagian besar
berasal dari luar Propinsi DIY.
Saran-saran yang diajukan dari hasil
penelitian ini sebagai berikut:
Penelitian ini menggunakan sampel PS
Akuntansi, Manajemen, dan Ekonomi Pembangunan 4 PTS di Kabupaten Sleman,
Propinsi DIY. Mempertimbangkan di Kabupaten Sleman terdapat 37 perguruan tinggi
yang terdiri dari 5 Perguruan Tinggi Negeri

Rudy Badrudin Analisis Dampak Otonomi Daerah


(PTN) dan 32 Perguruan Tinggi Swasta
(PTS), dengan mahasiswa lebih dari 150.000
orang, terkonsentrasi di Kecamatan Depok
sebanyak 4 PTN dan 19 PTS, maka dalam
penelitian berikutnya hendaknya memperbanyak jumlah PTS dengan memasukkan
PTS yang dianggap kecil dalam jumlah
mahasiswanya. Penambahan obyek penelitian sangat penting untuk mengetahui dampak otonomi daerah terhadap strategi
pengembangan PTS besar dan kecil di
Kabupaten Sleman.

DAFTAR PUSTAKA
Algifari dan Rudy Badrudin. Desember 2003,
Strategi Pengembangan Kecamatan
Menggunakan Growth-Share Boston
Consulting Group (Bcg) Matrix (Studi
Kasus di Kabupaten Sleman, DIY.
Jurnal Akuntansi & Manajemen (JAM).
Vol. XVII, No. 3: 203-213.
Andriani, Lis, HR. Januari 2001. Analisis
Strategi Perguruan Tinggi: Telaah Faktor
Eksternal dan Internal Sebagai Dasar
Penentuan Posisi Keunggulan Kompetitif dan Pemilihan Strategi: Kasus FE
Jurusan Manajemen pada 9 Perguruan
Tinggi Swasta di Kota Surabaya. Jurnal
Ekonomi. Fakultas Ekonomi Universitas
Airlangga. Diakses dari http://www.unair.ac.id.
Bounds, Greg, et. al. 1994. Beyond Total Quality Management: Toward the Emerging
Paradigm. Singapore: McGraw-Hill.
Badan Pusat Statistik. 2002. Sleman dalam
Angka. Sleman: BPS.
http://web.ugm.ac.id/um-ugm/um-ugm-php.
http://www.evaluasi.or.id.

215

Kate, Ashcroft. (1995). The Lecturers Guide


to Quality and Standards in Colleges
and Universities. London: The Falmer
Press.
Kedaulatan Rakyat, 2004, 27-29 April. Seleksi
terhadap Mahasiswa Baru Berkaitan
dengan Tes Narkoba.
Kompas, 2004, 12 April. Biaya Pendidikan di
Yogyakarta: Laporan Hasil Penelitian
Bank Indonesia (BI) Yogyakarta, Tahun
2000-2002. Hlm. A
Kompas, 2003, 22 Juni. Survei Biaya Pendidikan di Perguruan Tinggi di Berbagai
Kota. hlm 32.
Kopertis Wilayah V. Laporan Jumlah Mahasiswa Tahun 2001-2003. Yogyakarta:
Kopertis.
M. Zainuddin dan Susy Puspitasari (2001).
Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan Tinggi. Bahan Pelatihan Pekerti
PAU. Jakarta: Dirjen Dikti.
Maisyaroh, Arifa dan Debora Anggraini
(2005). Kompetisi dan Strategi dalam
Membangun Perguruan Tinggi pada era
Globalisasi. Jurnal Manajemen STIEMCE.
Prasetiyo, Yudo Agus (2004). Analisis Penetapan Strategi Perusahaan Guna Meningkatkan Daya Saing Pada PT Cipta Niaga
dengan Analisis SWOT. Jurnal Kompilasi. STT Musi Palembang. Diakses dari
http//:www.musi.ac.id
Supriyono, RA. (1998). Manajemen Strategi
dan Kebijaksanaan Bisnis. Ed. 2. Yogyakarta: BPFE UGM.

Jurnal Ekonomi Pembangunan


Vol. 9, No. 2, Desember 2008, hal. 216 - 227
PERAN AKTIF WANITA DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN RUMAH
TANGGA MISKIN: STUDI KASUS PADA WANITA PEMECAH BATU DI
PUCANGANAK KECAMATAN TUGU TRENGGALEK *
Sugeng Haryanto
Program D3 Keuangan dan Perbankan Universitas Merdeka Malang
E mail: p3et@yahoo.com

ABSTRACT
This research explain how women share actively in the effort increasing earnings of
the household. This research done with taking sample at the stone crusher women in
Kecamatan Tugu Kabupaten Trenggalek. Women have potency in giving contribution of earnings of household, especially impecunious household. In impecunious
household, women household member plunge to job market for adding earnings
household felt insufficient. Women contribution can be told as safety valve or supporter for impecunious household to fulfill everyday basic need. This research aim
1) for analyzing contribution of earnings of stone crusher worker women to earnings of family, 2) to know usage of earnings of stone crusher worker women, 3) to
know in working which poured by stone crusher worker women. Research finding
indicate that women who work as stone crusher have enough significant earnings
contribution to earnings of family.
Keywords: stone crusher women, earning contribution, outpouring time
PENDAHULUAN
Fenomena yang menarik pada rumah tangga
miskin dalam mempertahankan hidup dengan
tingkat kehidupan yang layak, yaitu pertama
pada sisi pengeluaran melakukan penghematan pada pengeluaran yang dirasakan dapat
ditunda, pengeluaran-pengeluaran yang berkaitan dengan transportasi sedapat mungkin
dihindari atau dikurangi. Kedua, pada sisi
pendapatan rumah tangga pada rumah tangga
miskin telah memaksa mereka untuk melakukan pengoptimalan pendapatan melalui
pengerahan sumber daya ekonomi yang dimiliki. Upaya ini dilakukan dalam upaya

untuk tetap dapat mempertahankan tingkat


kesejahteraan atau kehidupan yang layak.
Namun demikan upaya ini tidak semuanya
mampu untuk dapat mempertahankan pada
tingkat kehidupan yang layak.
Dalam keluarga miskin, pada umumnya
seluruh sumber daya manusia dikerahkan
untuk memperoleh penghasilan, sebagai
upaya pemenuhan pokok sehari-hari. Oleh
sebab itu dalam keluarga miskin menganggur
merupakan sesuatu yang mahal, karena anggota keluarga lain yang bekerja atau menjadi
beban tanggungan anggota rumah tangga
lain. Mereka tidak sempat menganggur dan

* Penelitian ini merupakan penelitian SKW yang dibiayai oleh DIKTI tahun 2007

Sugeng Haryanto - Peran Aktif Wanita dalam Peningkatan Pendapatan

217

mereka bersedia melakukan pekerjaan apapun, terutama sektor informal yang tidak
membutuhkan keahlian tertentu, mudah
untuk dimasuki, luwes, dan tidak membutuhkan modal yang besar.

wanita pemecah batu terhadap pendapatan


keluarga, 2) Untuk mengetahui penggunaan
pendapatan pekerja wanita pemecah batu, 3)
Untuk mengetahui curahan waktu kerja
pekerja wanita pemecah batu.

Berkaitan dengan pengerahan sumber


daya ekonomi yang dimiliki rumah tangga
miskin, maka telah menuntut wanita sebagai
istri untuk dapat menopang ketahanan ekonomi keluarga. Kondisi demikian merupakan
dorongan yang kuat bagi wanita untuk
bekerja di luar rumah. Dalam beberapa tahun
terakhir ini keterlibatan wanita pada sektor
publik menunjukkan angka yang terus
meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa
motivasi wanita untuk bekerja di sektor
publik semakin tinggi.

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini


sebagai berikut:

Wanita pada rumah tangga miskin, ratarata mempunyai tingkat pendidikan yang
relatif rendah karena kondisi ekonomi yang
melatarbelakanginya. Wanita ini masuk ke
pasar kerja dengan tingkat pendidikan rendah
dan ketrampilan rendah. Wanita dengan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah
inilah yang justru banyak masuk ke lapangan
kerja, terutama pada sektor informal dengan
motivasi menambah pendapatan keluarga.
Di daerah Pucanganak Kecamatan Tugu
Trenggalek banyak dijumpai keluarga yang
bekerja sebagai pemecah batu, selain sebagai
petani. Dengan kondisi tanah yang berbukit
mengakibatkan areal pertanian menjadi terbatas, mereka banyak bekerja sebagai pemecah batu yang berada di sekitar sungai di
daerah tersebut. Pekerjaan sebagai pemecah
batu menjadi dominan karena tingkat keterampilan yang dimiliki sangat terbatas dan
pendidikan yang rata-rata memang rendah.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) untuk
mengetahui kontribusi pendapatan pekerja

1. Gender Inequality
Gender diartikan merupakan konstruksi
sosial-kultural yang membedakan karakteristik maskulin dan feminin. Gender membagi
atribut dan pekerjaan menjadi maskulin dan
feminin. Secara realitas sosial menunjukkan
bahwa pembagian peran berdasarkan gender
melahirkan keadaan yang tidak seimbang, di
mana wanita menjadi tersubordinasi oleh
laki-laki yang disebut sebagai ketimpangan
gender.
Analisis gender dalam kegiatan ekonomi
todak dapat dipisahkan dari analisis tentang
keluarga. Ekonomi dan keluarga merupakan
dua lembaga yang saling berhubungan sekalipun tampak keduanya terpisah satu sama
yang lainnya. Ketidakseimbangan berdasarkan gender (Gender Inequality) mengacu
pada ketidakseimbangan pada akses ke
sumber-sumber yang langka dalam masyarakat. Sunmber yang penting yang ada di
masyarakat ini antara lain meliputi kekuasaan
atasmaterial, jasa, prestise, peran dalam
masyarakat, kesempatan memperoleh pendidikan, kesempatan memperoleh pekerjaan
dan sebagainya. Pendapat tentang ketimpangan gender ini tampaknya kurang memperhatikan aspek sosial budaya yang mengkonstruksi terjadinya ketimpangan tersebut.

218

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

2. Pekerja Wanita dan Motivasi Kerja


Wanita mempunyai potensi dalam memberikan kontribusi pendapatan rumah tangga,
khususnya rumah tangga miskin. Dalam
rumah tangga miskin anggota rumah tangga
wanita terjun ke pasar kerja untuk menambah
pendapatan rumah tangga yang dirasakan
tidak cukup.
Peningkatan partisipasi wanita dalam
kegiatan ekonomi karena: pertama, adanya
perubahan pandangan dan sikap masyarakat
tentang sama pentingnya pendidikan bagi
kaum wanita dan pria, serta makin disadarinya perlunya kaum wanita ikut berpartisipasi dalam pembangunan, kedua, adanya
kemauan wanita untuk bermandiri dalam
bidang ekonomi yaitu berusaha membiayai
kebutuhan hidupnya dan mungkin juga kebutuhan hidup dari orang-orang yang menjadi tanggungannya dengan penghasilan
sendiri. Kemungkinan lain yang menyebabkan peningkatan partisipasi wanita dalam
angkatan kerja adalah makin luasnya kesempatan kerja yang bisa menyerap pekerja
wanita, misalnya munculnya kerajinan
tangan dan industri ringan.
Wanita mempunyai potensi dalam memberikan kontribusi pendapatan rumah tangga,
khususnya rumah tangga miskin. Dalam
rumah tangga miskin anggota rumah tangga
wanita terjun ke pasar kerja untuk menambah
pendapatan rumah tangga yang dirasakan
tidak cukup. Hasil penelitian yang dilakukan
Mariun (2004) menunjukkan dari 53,44 persen perempuan yang bekerja, 72,79 persen
adalah pekerja tetap, artinya perempuan
mempunyai kepastian dalam memperoleh
pendapatan. Yuniarti dan Haryanto (2005)
pendapatan para pekerja wanita pada industri
sandang mempunyai kontribusi yang signifi-

kan terhadap peningkatan pendapatan keluarga. Kontribusi perempuan dapat dikatakan


sebagai katup pengaman (savety valve) atau
penopang bagi rumah tangga miskin untuk
memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
Wanita Indonesia terutama di pedesaan
sebagai sumber daya manusia cukup nyata
partisipasinya khususnya dalam memenuhi
fungsi keluarga dan rumah tangga bersama
pria. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
peran serta wanita dalam berbagai industri di
beberapa daerah cukup besar dan menentukan, dengan pengelolaan usaha yang bersifat
mandiri (Lestari, dkk: 1997).
Potensi yang dimiliki wanita untuk
menopang ekonomi keluarga memang cukup
besar. Namun demikian wanita tidak menonjolkan diri atau mengklaim bahwa mereka
menjadi penyangga utama ekonomi keluarga.
Temuan penelitian yang dilakukan oleh
Wibowo (2002) pada pedagang tradisional di
Semarang menunjukkan bahwa kaum wanita
pedagang tetap tidak ingin menonjolkan diri
atau mengklaim bahwa aktivitasnya sebagai
pedagang adalah utama (pokok), melainkan
hanya sekedar mendukung kegiatan suami,
waluapun tidak menutup kemungkinan penghasilan mereka jauh lebih besar daripada apa
yang diperoleh oleh suami mereka.
Gambaran mengenai pembagian kerja
rumah tangga berdasarkan jenis kelamin
tersebut merupakan sebagian kecil bukti yang
mencerminkan ketidak seimbangan peran
produktif dan peran reproduktif antara wanita
dan pria. Gambaran seperti ini banyak
terdapat di berbagai masyarakat, dan keadaan
seperti ini tampak kurang menguntungkan
wanita dalam meraih kesempatan melakukan
kegiatan-kegiatan produktifnya.

Sugeng Haryanto - Peran Aktif Wanita dalam Peningkatan Pendapatan


3. Wanita dan Kegiatan Sosial
Dalam kehidupan bermasyarakat interaksi
antara keluarga merupakan bagian yang
sangat penting. Hubungan antaranggota keluarga dalam kehidupan bermasyakat dalam
bentuk seperti pertemuan rukun tetangga
(RT), Dasa wisma, pertemuan yang bersifat
kegamaan seperti tahlilan merupakan hal
dipandang sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat.
Pertemuan-pertemuan dalam rangka kehidupan sosial bermasyarakat tentunya akan
merupakan suatu bentuk penyisihan tersendiri bagi seseorang yang harus mencari
nafkah jauh dari tempat tinggalnya. Bagi
keluarga yang relatif miskin, seringkali
wanita sebagai seorang ibu dituntut untuk
juga bekerja. Bagi wanita yang bekerja
seperti ini tentunya pengaturan waktu akan
sangat penting sekali antara bekerja dengan
kegiatan sosial kemasyarakatan.
Ketika seseorang tidak mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan, maka seringkali
seseorang akan merasa diasingkan dari lingkungannya. Hal ini tentunya bagi masyarakat
yang miskin yang rata-rata tinggal di suatu
perkampungan merupakan beban yang sangat
berat.
4. Pendapatan keluarga wanita
Sumber utama pendapatan bagi pekerja
wanita adalah upah dan tunjangan-tunjangan
kesejahteraan lain yang diperoleh oleh
pekerja. Sebagaimana diketahui regulasi pemerintah untuk mengatur UMR tetapi
kondisi demikian tentunya akan sangat sulit
diterapkan pada industri-industri kecil atau
menengah dimana jam kerja dalam sehari
masih jauh di bawah standar jam kerja. Upah
dalam industri kecil dan menengah semata-

219

mata mengandalkan mekanisme harga. Pekerja wanita di industri kecil dan menengah
di kota akan membandingkan dengan upah
yang diterimanya sebagai pekerja pada sektor
lain pada wilayah opportunity-nya. Maksudnya adalah level-level jabatan pekerjaan yang
tingkat kemudahan memperolehnya.
Beberapa penelitian seperti Ardjani
(2003) di IRT sandang merupakan persepsi
pekerja terhadap upah pada wilayah opportunity pekerjaaan itu sendiri. Upah yang
diperoleh pekerja IRT pada IRT sandang
menunjukkan lebih tinggi dibandingkan
dengan upah yang diperoleh pada IRT bidang
lain. Temuan ini, walaupun belum sangat
meyakinkan tetapi merupakan suatu surprise.
Ardjani (2003) menemukan bahwa 20,7
persen menyatakan IRT lebih tinggi, 63 persen menyatakan sama saja dan hanya 16 persen yang menyatakan lebih kecil upah yang
mereka terima dari IRT dibandingkan dengan
upah buruh industri yang sama yang diintervensi pemerintah. UMR pada tahun penelitian Rp1.350,- per hari. Rata-rata penerimaan
IRT sandang di Baliu ntuk bordir, konveksi
dan tenun adalah Rp8.786,- Rp11.180,- dan
Rp10.175,- perminggu.Harga beras Rp500,perkilogram pada saat penelitian.
Penelitian di IRT yang dilakukan oleh
Ken (1994) di Sulawesi menunjukkan pendapatan buruh lebih rendah dibandingkan
dengan umur dan juga upah industrial.
Keadaan ini diterima dengan dikonversi
dengan kombinasi berbagai pendapatan, juga
karena dapat dilakukan di desa/dekat rumah
serta pendapatan non uang.
5. Sektor Informal
Sektor informal merupakan unit usaha yang
berskala kecil yang menghasilkan dan

220

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

mendistribusikan barang dan jasa dengan


tujuan menciptakan kesempatan kerja bagi
dirinya sendiri Sektor informal ini sering
disebut juga dengan aktivitas informal, kesempatan kerja yang diciptakan (self employment), ekonomi di bawah tanah (underground economy), causal work, shadow
economy (Subarsono, 1998).
Menurut Tobing (2002) umumnya yang
terlibat dalam sektor informal adalah berpendidikan rendah, miskin tidak terampil dan
kebanyakan para migran, kurang mampu
mengartikulasikan dan menetapkan kebutuhannya. Karena itu cakrawala mereka terbatas untuk memberi kesempatan kerja dan
menghasilkan pendapatan langsung bagi
dirinya sendiri, tidak memaksimasi profit.
Berkaitan dengan memaksimasi profit tidak
selamanya benar, sebab sebagian besar sektor
informal ternyata mempunyai falsafah profit
motive (Effendi, 1997).
Aktivitas sektor informal ditandai
dengan: a) mudah untuk memasukinya, b)
bersumber pada sumber daya lokal, c) usaha
milik sendiri d) operasinya dalam skala kecil,
e) padat karya dan teknologinya bersifat
adaptif, f) ketrampilan diperoleh dari luar
sistem sekolah, g) tidak tersentuh langsung
oleh regulasi pemerintah, h) pasarnya bersifat
kompetitif (Gilbert dan Glugler: 1996: 96).
Perspektif pelaku ekonomi dapat dibedakan kedalam dua kelompok besar, yaitu
sektor usaha formal dan sektor informal.
Sektor formal diasosiasikan dengan usaha
baik kecil, menengah maupun besar yang
memiliki badan hukum dan menjadi bagian
dari sistem ekonomi formal. Sektor informal
adalah sektor ekonomi yang ditandai dengan
ketiadaan badan hukum serta ruang gerak
yang di luar kerangka aturan yang legal.

Usaha sektor informal adalah uasaha mikro


dan juga usaha kecil (Binaswadaya, 2002).
Subarsono
(1996)
mengemukakan
karakteristik sektor informal adalah: a) sektor
informal ini mudah dimasuki, b) tidak memerlukan ijin untuk beroperasi, c) menggunakan tehnologi sederhana dan padat tenaga
kerja d) tidak ada akses keinstitut keuangan
formal, e) beroperasi dalam skala kecil dan
biasanya milik keluarga, f) unit usahanya
tidak terorganisir, g) kesempatan kerja di
sektor ini tidak terproteksi sebab tidak diatur
oleh peraturan pemerintah.
Mengapa seseorang memasuki sektor informal? Ada faktor yang menyebabkan sektor informal muncul, misalnya karena proses
memperoleh kesempatan untuk memasuki
sektor formal ternyata memerlukan biaya
transaksi yang terlalu tinggi bagi sebagian
besar masyarakat urban dan rural. Motif
usaha seseorang masuk sektor informal
adalah alasan ekonomi (Winarno, 1996).
Sektor informal saat ini semakin berkembang, sebagian akibat dari keterpurukan
sektor formal, banyak angkatan kerja yaang
terpental dari sektor formal (Wahyudi, 2001).
Sektor informal telah mampu menjadi katup
pengaman bagi perkembangan angkatan
kerja yang setiap tahun terus mengalami
peningkatan (Haryanto, 2000) .
Keberadaan sektor informal saat ini
menjadi sangat penting karena beberapa faktor. Sektor informal selain sebagai penyedia
lapangan kerja, juga keberadaan dan kemampuan sektor informal ini bertahan di perkotaan tanpa bantuan dari pemerintah adalah
karena kebutuhan akan berbagai macam
pruduk dan jasa yang dihasilkan oleh sektor
informal ini. Selain itu sektor formalpun
membutuhkan keberadaan sektor informal ini
dan sektor informal dan formal saling

Sugeng Haryanto - Peran Aktif Wanita dalam Peningkatan Pendapatan


berkaitan dan melengkapi. Peran sektor
informal sebagai basis ekonomi kerakyatan
di beberapa kawasan kota besar memegang
fungsi strategis sebagai sector resccue dan
penyangga yang menyelamatkan subsistensi
sebagian besar penduduk yang hidup di
bawah urban stress (Wahyudi, 2001).
METODE PENELITIAN
Definisi Operasional Variabel
1. Pendapatan rumah tangga, yang dimaksud dengan pendapatan rumah tangga
dalam penelitian ini adalah jumlah rupiah
yang diperoleh oleh istri dan suami dari
bekerja, yang diukur dengan rupiah ratarata perminggunya.
2. Pekerja wanita, yang dimaksud dengan
pekerja wanita dalam penelitian ini
adalah wanita yang bekerja sebagai pemecah batu kali di daerah Pucanganak
Kecamatan Tugu Trenggalek.
3. Peran aktif wanita, yang dimaksud engan
peran aktif wanita dalam penelitian ini
adalah curahan waktu rata-rata perhari
yang diberikan wanita untuk bekerja
sebagai pemecah batu untuk memperoleh
pendapatan dalam bentuk rupiah.
4. Rumah tangga miskin, yang dimaksud
dengan rumah tangga miskin dalam
penelitian diguna indikator rumah tangga
penerima Bantuan Tunai Langsung
(BLT).
Jenis data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data
primer, yang berupa data pekerja wanita sebagai pemecah batu di Desa Pucang anak
Kecamatan Tugu Trenggalek, Waktu bekerja,
kegiatan sosial kemasyarakatan, pendapatan
dari hasil penjualan batu pecahan, penda-

221

patan seluruh keluarga, jumlah anak dan data


lainnya.
Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah wanita
pemecah batu di Desa Pucanganak Kecamatan Tugu Trenggalek. Sampel diambil secara
diambil dengan menggunakan metode purposive random sampling, yaitu sebagai berikut: Menentukan pekerja wanita sebaga
pemecah batu yang yang berada di beberapa
perdukuhan berada di Daerah Pucanganak,
kemudian menentukan pekerja waniat sebagai pemecah batu yang menjadi sampel secara random.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Desa Pucanganak Kecamatan Tugu Trenggalek. Penentuan lokasi ini didasari bahwa daerah ini
tanahnya relatif kurang subur dengan topografi yang berbukit-bukit serta tanah pertaniannya relatif sempit. Sehingga meraka
banyak memfaatkan potensui alam berupa
batuan di sungai untuk dijual sebagai bahan
bangunan.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan
melalui:
Kuesioner terbimbing, yaitu penyebaran
kuesioner dengan memberikan bimbingan secara langsung kepada responden.
Hal ini dilakukan karena mayoritas responden yang kemampuan membaca dan
menulisnya yang rendah.
Wawancara mendalam (in-depth interviewing, wawancara ini dilakukan untuk
memperdalam informasi dari para responden

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

222

Observasi langsung, dua metode ini


(wawancara secara mendalam dan observasi langsung) sejalan dengan teknik observasi pasif.

Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan analisis deskriptif kuantitatif, yaitu dengan melakukan penalaran logis. Data temuan lapangan disusun
secara sistematis yang menunjukkan bagaimana peran aktif wanita dalam peningkatan
ekonomi rumah tangga.

para wanita ini rata-rata rendah dan bahkan


tidak pernah mengenyam dunia pendidikan
formal. Hampir 97 persen hanya maksimum
berpendidikan SD, dimana 33.33 persen
tidak pernah sekolah dan 30 persen pernah
sekolah di SD dan 33.33 lulus SD. Sedangkan yang pernah dekolah sampai SMP hanya
3.33 persen.

Tidak Lulus
SMP,
3.33%

Lulus SD,
33.33%

Tidak lulus
SD,
30.00%

HASIL PENELITIAN DAN


PEMBAHASAN
Tidak sekolah

Usia para wanita pemecah batu ini di atas 25


tahun, bahkan ada yang usianya sudah lanjut
di atas 60 tahun. Wanita pemecah batu yang
usianya antara 26-40 tahun sebanyak 20
persen, 41 tahun sampai dengan 50 tahun 30
persen dan 51 tahun sampai dengan 60 tahun
30 persen serta 10 persen telah berusia di atas
60 tahun.
50.00%

40.00%

40.00%

30.00%

30.00%

20.00%

20.00%
10.00%
0.00%

10.00%
0.00%
Kurang 26 s/d 40 41 s/d 50 51 tahun lebih dari
dari 25
tahun
tahun
s/d 60 60 tahun
tahun
Tahun

Sumber: Data primer

Gambar 1. Usia Wanita Pemecah Batu


Dari pekerjaan yang mereka lakukan,
dimana pekerjaan ini relatif tidak mengandalkan keterampilan dan sering orang
menganggap merupakan pekerjaan kasar dan
berat, dan usia responden maka pendidikana

Tidak
sekolah,
33.33%

Tidak lulus SD

Lulus SD

Tidak Lulus SMP

Sumber: Data primer

Gambar 2. Pendidikan Wanita Pemecah Batu


Pekerjaan suami para pemecah batu
cukup bervariasi, yaitu sebagai petani atau
buruh tani sebanyak 33,3 persen, sebagai
tukang atau kuli bangunan 33,3 persen dan
sebagai pemecah batu juga sebanyak 20 persen sedangkan sisanya adalah lainnya. Sebagai petani dan buruh tani mereka biasanya
pada saat tidak ada pekerjaan di sawah akan
bekerja juga sebagai pemecah batu demikian
juga halnya untuk pekerjaan sebagai kuli
bangunan.
Pekerjaan suami menunjukkan bahwa
rata-rata pekerjaan mereka merupakan petani
dan atau pekerjaan-pekerjaan yang tidak
menuntut keahlian atau tingkat pendidikan
tertentu. Hal ini tidak terlepas dari kondisi
keluarga mereka yang rata-rata berasal dari
petani yang kurang mampu, sehingga berdampak pada tingkat pendidikan dan keahlian yang mereka miliki. Hal ini selanjutnya

Sugeng Haryanto - Peran Aktif Wanita dalam Peningkatan Pendapatan


akan berpengaruh pada pekerjaan yang
mereka lakukan atau mereka peroleh.
40.00%

Tabel 1. Rata-rata Pendapatan Suami


perminggu
Pendapatan

35.71%

35.71%

30.00%
21.43%
20.00%
7.14%

10.00%

223

Kurang dari 40.000


Rp 40.000-60.000
Rp 61.000-80.000
Rp 81.000-100.000
Lebih dari 100.000

Jumlah
12
13
3
0
0

0.00%
Petani dan
buruh tani

Tukang
Bangunan

Pemecah
Batu

Lainnya

Sumber: Data primer

Gambar 3. Pekerjaan Suami Wanita Pemecah


Batu
Kontribusi Pendapatan Pekerja Wanita
Pemecah Batu terhadap Pendapatan
Keluarga
Pendapatan merupakan uang yang diterima
seseorang karena seseorang bekerja. Pendapatan keluarga terdiri dari pendapatan yang
diperoleh oleh suami yang bekerja ditambah
dengan pendapatan yang diperoleh karena
istri yang bekerja.
Besarnya pendapatan suami para pekerja
wanita ini disajikan pada tabel 1. Pendapatan
ini dihitung selama satu minggu. Pendapatan
suami yang besarnya kurang dari Rp40.000
sebanyak 12 orang dan antara Rp40.000
sampai dengan Rp60.000 sebanyak 13 orang.
Banyak pendapatan yang berkisar diangka
tersebut dikarenakan pekerjaan yang sifatnya
dipertanian dan bangunan relatif tidak dapat
dipastikan sepanjang waktu. Sehingga responden membuat pendapatan tersebut adalah
rata-ratanya.

Pendapatan suami yang relatif tinggi,


yaitu lebih dari Rp 61.000 karena mereka
merasakan suami mereka bekerja relatif
kontinue. Jam kerja suami para pekerja
wanita rata-rata perminggu berkisar antara 3
sampai dengan 5 jam sebanyak 5 orang
sedangkan yang bekerja antara 5 sampai
dengan 8 sebanyak 20 orang dan lebih dari
8 jam sebanyak 5 orang. Rendahnya jumlah
jam kerja ini mereka rasakan karena untuk
yang bekerja di sektor pertanian pekerjaannya tidak rutin sepanjang waktu.
Sedangkan yang bekerja di sektor
bangunan juga merasa tidak kontinyu.
Rendahnya jumlah jam kerja ini berpengaruh pada tingkat pendapatan yang mereka
peroleh. Selain sumber pendapatan yang
berasal dari suami dan istri ada juga sumber pendapatan yang berasal dari anak. 67
persen menyatakan ada sumber pendapatan
yang berasal dari anak, sedangkan 33
persen tidak ada sumber pendapatan selain
dari suami dan istri.
Besarnya pendapatan yang diperoleh
oleh wanita yang bekerja sebagai pemecah
batu rata-rata perminggu rata-rata sebesar
53,57 persen
berkisar
Rp40.000
Rp60.000. Tingkat pendapatan pekerja
wanita pemecah batu secara keseluruhan
disajikan pada Gambar 4.

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

224

Jumlah Responden

60

53.57

50
40

35.71

30
17.86

20
10
0

Lebih dari
100.000

Rp 81.000100.00

Rp 61.00080.00

Rp 40.00060.00

Kurang dari
40.000

desa yang mempunyai rasa nrima, selain


kebutuhan mereka yang tidak begitu besar.
Kebutuhan yang tidak begitu besar tersebut
karena anak-anak mereka yang sudah
bekerja atau anak mereka masih kecil,
sehingga kebutuhannya juga belum begitu
besar.

Pendapatan

Gambar 4. Tingkat Pendapatan Wanita


Pemecah Batu Perminggu

Tabel 2. Pendapatan yang Diperoleh Wanita


Pekerja
Keterangan

Dilihat dari tingkat pendapatan yang


diperoleh oleh istri yang bekerja sebagai
pemecah batu menunjukkan relatif cukup
tinggi dengan untuk ukuran didesa. Hal ini
mengingat pekerjaan tersebut berada di dekat
rumah, sehingga sang istri tidak harus
meninggalkan pekerjaan-pekerjaan rumah.
Artinya pekerjaan rumah masih dapat dilakukan sambil bekerja untuk menambah pendapatan kelaurga. Para wanita ini menganggap pekerjaan sebagai pemecah batu sebagai
bentuk ketimbang ganggur neng omah.
Tanggapan suami terhadap istri yang
bekerja di luar rumah ini dianggap sebagai
suatu yang wajar bagi mereka. Hal ini
mengingat pekerjaan di luar rumah tersebut
lokasi tidak jauh dari rumah, bahkan ada
yang hanya terletak dihalaman rumahnya.
Sehingga sang suami juga tidak takut jika
sang istri meninggalkan pekerjaan-pekerjaan
domestiknya.
Pendapatan yang diperoleh oleh pekerja
wanita tersebut menurut mereka dirasakan sudah cukup. Responden yang menyatakan pendapatan tersebut cukup sebesar
73,33 persen dan 16 persen memadai,
hanya 10 persen menyatakan masih kurang.
Pendapatan yang dirasakan sudah
memadai atau cukup tersebut mereka orang

Sudah memadai
Cukup
Kurang

Jumlah
5
22
3
30

Prosentase
16.67%
73.33%
10.00%
100%

Sumber Data Primer

Dalam masyarakat bawah atau miskin


anggota keluarga merupakan suatu sumber
daya yang harus dimanfaatkan untuk dapat
bekerja, baik itu untuk menyelesaikan
pekerjaaan rumah tangga maupun pekerjaan
yang mempunyai potensi untuk menambah
ekonomi atau pendapatan keluarga. Walaupun pekerjaan-pekerjaan yang hanya menghasilkan upah atau pendapatan yang rendah.
Hal ini bagi keluarga miskin dianggap
sebagai suatu yang sudah menguntungkan.
Karena adanya anggapan ketimbang nganggur ono ngomah. Pada keluarga yang miskin
biasanya pekerjaan-pekerjaan domestik cenderung hanya terbatas pada memasak untuk
keluarga dan mencuci pakaian serta membersihkan rumah, hal itu dapat dilakukan
pagi hari atau bahkan anak-anak mereka
sudah dapat membantu untuk menyelesaikan
pekerjaan domestik tersebut.

Sugeng Haryanto - Peran Aktif Wanita dalam Peningkatan Pendapatan


Penggunaan Pendapatan Pekerja Wanita
Pemecah Batu
Pendapatan yang diterima oleh suami dan
istri tidak ada pemisahan, dimana pendapatan suami selalu diberikan kepada istri.
Pendapatan yang mereka peroleh mereka
anggap sebagai pendapatan keluarga.
Sehingga penggunaan pendapatan juga merupakan penggunaan atau belanja untuk
kebutuhan keluarga. Penggunaan untuk kebutuhan keluarga tersebut, antara lain untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari,
untuk kebutuhan sekolah dan juga untuk
kebutuhan yang sifatnya sosial, seperti
arisan, bowo (menyumbang orang yang
punya hajatan).

Tabel 3. Penggunaan Pendapatan Keluarga


Keterangan Penggunaan
Penggunaan Pendapatan

225

pribadi. Penghasilan mereka digunakan


untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara
bersama. Hal ini sangat terkait dengan kebiasaan yang ada di masyarakat terutama
pedesaan bahwa tanggung jawab untuk
mengatur rumah tangga merupakan tanggungjawab wanita atau istri.
Curahan Waktu Kerja Pekerja Wanita
Pemecah Batu
Para wanita pemecah batu ini rata-rata
bekerja sebagai pemecah batu sehari selama
5 sampai dengan 8 jam (73,33 persen).
Namun demikian waktu yang dialokasikan
tersebut relatif flrksibel. Hal ini karena
pekerjaan tersebut tidak menuntut jam
yanbg pasti, selain merupakan pekerjaannya
sendiri. (Lihat gambar 5)

Jumlah

Jumlah
80

73.33

70

Kebutuhan rumah tangga


Biaya sekolah anak
Arisan dan sosial lainnya

30
20
30

60
50
40
30
20
10
0

1 s/d 3 jam

Penggunaan pendapatan yang terbesar


rata-rata untuk mencukupi kebutuhan rumah
tangga sehari-hari. Sedangkan biaya sekolah
hanya temporer, yaitu setiap bulan untuk
membayar SPP, sedangkan uang saku
anak juga tidak begitu besar. Selain itu
juga digunakan untuk kebutuhan arisan di
lingkungannya
masing-masing,
untuk
menyelenggarakan kegiatan kendurian juga
biasanya mereka lakukan.
Dilihat dari distribusi penggunaan pendapatan istri atau wanita menunjukkan
bahwa belum ada atau tidak banyak wanita
yang menggunakan penghasilannya untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri secara

16.67

10
0
3-< 5 jam

5-< 8jam

8 jam atau
lebih

Gambar 5. Curahan Waktu Wanita Pemecah


Batu

Jam kerja yang lebih dari 8 jam berjumlah 16,67 persen, hal ini biasanya
mereka sudah bekerja pagi-pagi sekali,
karena ada pesanan batu pecahan. Namun
demikian jumlah jam kerja yang panjang
ini tidak dilakukan setiap hari, hanya
kadang-kadang saja.
Curahan waktu yang relatif banyak
tersebut, sebenarnya juga tidak mengganggu kegiatan keluarga, seperti mengasuh
anak atau kegiatan keluarga yang lainnya.

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

226

Hal ini karena lokasi pekerjaan untuk memecah batu tersebut berada dekat dengan
rumahnya. Selain itu pekerjaan tersebut
tidak ada sifat pemaksaan waktunya. Mereka dapat bekerja sesuai dengan keinginannya sendiri. Sehingga jika dirasakan ada
pekerjaan di rumah atau keperluan lainnya,
maka pekerjaan pemecah batu tersebut
dapat ditinggal.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pendapatan yang diperoleh oleh pekerja
wanita tersebut menurut mereka dirasakan sudah cukup. Kontribusi pendapatan pekerja wanita terhadap pendapatan suami cukup signifikan.
2. Pendapatan wanita pemecah batu juga
merupakan pendapatan keluarga. Penggunaan pendapatan merupakan penggunaan atau belanja untuk kebutuhan
keluarga. Penggunaan untuk kebutuhan
keluarga tersebut, antara lain untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari,
untuk kebutuhan sekolah dan juga untuk kebutuhan yang sifatnya sosial,
seperti arisan, bowo (menyumbang orang
yang punya hajatan).
3. Para wanita pemecah batu ini rata-rata
bekerja sebagai pemecah batu sehari selama 5 sampai dengan 8 jam (73,33
persen). Namun demikian waktu yang
dialokasikan tersebut relatif fleksibel.
Berdasarkan temuan penelitian saran
yang dapat disampaikan yaitu adanya
pembinaan kemampuan dan keterampilan
bagi pekerja wanita, sehingga dapat
mengembangkan keterampilan yang lain.

Hal ini karena pekerjaan pemecahan batu


tersebut jangka panjang akan merusak
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Arjani, Ni Luh. 2002. Gender dan Permasalahannya. Pusat Studi Wanita Universitas Udayana.
Arjani, Ni Luh. 2003. Ketimpangan Gender
di Beberapa Bidang Pembangunan di
Bali. Jurnal Studi Jender Vol. III No. 2
Tahun 2003
Binaswadaya. 2002. Masalah UKM dan
Peran LSM. Buletin 19 Februari 2002.
Effendi, Abbas. 1997. Transformasi Struktural dan Kesejahteraan Masyarakat
Pedesaan. Jurnal Populasi. Vol. 8 No. 2
Gilbert, allen dan Gugler, Josef. 1996. Property and Development: Urbanization in
the Third World. Terjemahan Anshori.
Tiara Wacana Yogyakarta.
Haryono, Suyono.1997. Saatnya Wanita
(desa) Terjun ke Dunia Usaha. Warta
Demografi Th 27 No. 4.
Indaryani, Mamik. 1997. Peran Wanita
dalam Menunjang Ekonomi dalam
Rumah Tangga Miskin: Studi Kasus di
Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah. Warta Demografi Th
27. No. 4.
Jenskin, M. 1993. Extending Social Security
Protection to the Entire Population:
Problem and Issues. International
Social Security Review.
Ken, Suratyah dkk. 1994. Marginalisasi
Pekerja Wanita di Pedesaan: Studi Kasus pada IRT Pangan di Sulsel.
Yogyakarta: PPK UGM.

Sugeng Haryanto - Peran Aktif Wanita dalam Peningkatan Pendapatan


Kusdiati,Veronica. 2002. Peran Wanita Konsep Mitra Setara. Sebuah Kajian Teoritik dan Empirik Wanita Pedagang
Pasar Tradisional di kota Semarang.
Seri Kajian Ilmiah Vol. 11 No. 3.
Lestari, Rahayu Endah. Santoso, Imam. Sulastri, Dwi Rina. 1997. Kontribusi
Wanita dalam Agribisnis Gula Semut di
Kabupaten Blitar Propinsi Jawa Timur.
Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Vol.
9 No. 1 Februari.
Mariun, N. Badrun. 2004. Kontribusi Perempuan pada Peningkatan Pendapatan
Rumah Tangga Miskin: Studi Kasus di
4 Kabupaten/ Kota. Warta Demografi
Tahun 34 No. 3
Setiaji, Bambang. 1996. Wanita Pekerja IRT:
Kesejahtaraan dan Perlindungan Hak.
Akademika No. 01. Th. XIV Solo:
UMS.
Setiawati, Rike dan Amin, Sophia. 2001.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja Wanita pada
Industri Kecil di kota Jambi. Jurnal
Pemberdayaan Perempuan Vol. 1 No. 2
Desember.
Setyowati, Yuningtyas. 1996. Pengaruh
Tingkat Sosial Ekonomi (SES) Keluarga
Terhadap Tingkat Peranan Pencarian
Nafkah Karya Penelitian Atmajaya
Yogyakarta Edisi 6 tahun VI September.
Sriyuningsih, Niniek. Sekartdji, Kartini.
Jadmiko. Dwi Sriyanto. 1998. Diskriminasi terhadap Pekerja Perempuan dalam
Kebijakan Manajemen Perusahaan
Garmen dan Tekstil di Kotamadya Se-

227

marang. Majalah Penelitian Lembaga


Penelitian UNDIP Th X No. 37, Maret.
Subarsono. 1996. Toward Managing the Informal Sector for Urban Economic Development: Government Policy and the
Informal Sector. Thesis, the Flinder
University of South Australia, Adelaide.
Suprapti, Redjeki, Sri dan Hatatiati. 2001.
Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga Keluarga Miskin di Pedesaan Kecamatan
Mranggen, Kabupaten Demak. Jurnal
Pemberdayaan Perempuan Vol. 1. No.
2 Desember.
Tobing, Erwin. 2002. Reorientasi Pembenahan Sektor Informal.
Wibowo, B Junianto. 2002. Profil Wanita
Pedagang Kecil di Tinjau dari Aspek
Ekonomi (Studi kasus pada Tiga Pasar
Tradisional di kota Semarang, yaitu
Pasar Gayam, pasar Damar dan pasar
Mangkang). Seri Kajian Ilmiah Vol. 11
No. 3
Winarno, Agung. 1996. Profil Usaha Sektor
Informal di Jombang. Trisula Jurnal
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan
Agama No. 1 Pebruari Universitas Darul Ulum Jombang.
www.theindonesiainstitute.org. Diakses 3 Pebruari 2003.
Yuniarti, Sari dan Haryanto, Sugeng. 2005.
Pekerja Wanita pada Industri Rumah
Tangga Sandang dan Kontribusinya
Terhadap pendapatan Rumah tangga di
Kecamatan Sukun Malang. Jurnal
Penelitian Universitas Merdeka Malang
Vol. XVII Nomor 2 Tahun 2005.

Jurnal Ekonomi Pembangunan


Vol. 9, No. 2, Desember 2008, hal. 228 - 247

THE COMPETITIVENESS OF SOYBEAN PRODUCTION IN


BLITAR-EAST JAVA, INDONESIA
Moh. Azis Arisudi 1
Salfarina Abdul Gapor 1
1
School of Social Sciences USM, Malaysia
E-mail: moh_azis@yahoo.com

ABSTRACT
In East Java Province, the government still provides subsidy to soybean production
in the form of soft credit to production inputs. Since the government budget and
subsidy have been limited, efficiency in production, marketing and trade become
crucial issues. The conducted research will try to achieve some research objectives
as follows: Analyzing soybean farmer income in the Blitar District at the different
cropping system; Obtaining analysis on comparative advantage and competitiveness of soybean by different cropping system; analyzing influences of social price
changes to farmers income due to public investment; and analyzing government
policy impact on farmers income due to market/actual price development. The
research uses Policy Analysis Matrix to obtain competitiveness rate, efficiency and
impact of government policy on soybean production under multi-cropping system
and different ecological zones in the Blitar district.
Keywords: competitiveness, Policy Analysis Matrix
INTRODUCTION
In Indonesia, soybean has an important role
in providing national food supply. It is not
only a protein source, but also sources of
mineral, vitamin and fat. In 100 gram of soybean consists of 33.3 g protein, 15 g fat, 213
mg calcium, 0.65 vitamin B1, 0.23 mg vitamin B2 and vitamin C (Hermana, 1998). So,
the high stock of soybean in a country will
increase the nutrient of society through high
consumption of soybean and its processed
products such as tofu, tempe, and soy sauce.
Demand for soybean increases gradually,
since industrial sector based on soybean
product has been growing significantly. As
input for processing industry, demand for
soybean in the country tends to increase pro-

gressively in the form of bean and processed


ones.
Table 1 shows the consumption rate for
soybean and its kinds in kg per capita in
urban and rural from 1990 to 2004. Urban
people consume more soybean than rural
people on the average especially for processing products, e.g. tempe, tofu. The trend
of tempe and tofu consumption increased
both in rural and in urban areas in that
period. In 1990, tofu consumption was 3.43
kg/capita and in 1996 became 3.92 kg/capita
and this increased continually 5.36 kg/capita
in 2000. Compared to other foods, soybean is
consumed more by both rural and urban
people. Rice consumption decreased from
112.9 kg/capita in 2000 to 105.7 kg/capita in

M. Azis and Salfarina - The Competitiveness of Soybean Production

229

Table 1. Soybean Consumption by Kinds in Indonesia 1990-2004 (kg, capita, year)


Year

Kind of Product

Rural

Urban

Urban+Rural

1990

0.16
2.60
3.48
0.05

0.05
6.19
5.36
0.10

0.10
3.43
3.90
0.05

1996

2000

2004

Bean
Tofu
Tempe
Others
Bean
Tofu
Tempe
Others
Bean
Tofu
Tempe
Others
Bean
Tofu
Tempe
Others

0.18
3.23
3.73
0.04
0.10
4.63
5.41
0.10
0.11
5.03
6.20
0.12

0.07
5.97
5.60
0.09
0.10
6.66
6.81
0.16
0.12
7.02
7.51
0.19

0.15
3.92
4.22
0.05
0.10
5.36
5.88
0.13
0.53
6.03
6.86
0.15

Sources: Central Bureau of Statistic (1990, 2000, 2004)

2004. However, fresh fish consumed in urban


area increased from 15.1 kg/capita to 18.2
kg/capita in the period. In rural areas the
situation was not so different, fish consumption increased from 10 kg/capita to 13.5
kg/capita (Central Bureau of Statistic 2004).
In general, we can say that people will
take protein not only from meat but also from
other sources as long as the price of meat and
other main foods still can be covered. In
other words, the consumption pattern will be
determined by their income. In 2004, soybean consumption of three different income
groups was different significantly, i.e., 13.3
kg, 21.1 kg, 29.3 kg per capita (Central
Bureau of Statistic 2004). This reality shows
us that the high-income group consumed
more soybeans than less income group. So,
we can expect that the soybean market can be
extended when economy and income per
capita are improved.

Soybean import is used as food material


for veterinary and industry. The volume of
soybean import in 2001 was 800,000 ton and
in 2002 increased 807,000 ton and increased
746,000 ton in 2003. In the period 20012003, the import volume of soybean
increased continually. The average national
production was 1,211 kg /ha in 2003 and this
is below laboratorial production of 2,0003,000 kg/ha 2002 (Department of agricultural, 2004). This indicates that government
efforts in increasing soybean production are
still far from successful. The low productivity were caused by low technical practice,
low technology transformation, agricultural
management that has less orientation to business. These all lead to low domestic production and increased import of soybean periodically.
The efforts for increasing efficiency
should take consideration optimal resource
use. Not only optimal resource use can lead

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

230

to increase production costs, other factors


include uncertainty factors such as weather
and disease. Low production consequently
can cause low income. Price is also a significant factor that can influence farmers
income. Price and production fluctuation lead
to farmers irrational decision in risk (risk
averter) especially among small farmers
(Monke and Pearson 1994, Timmer 1988).
Other factors such as socio and economic
factors can also influence farmers habit from
making rational choice. Table 2 below
explains the development of soybean
according to average production, and import
from 2000 to 2004.
Table 2 shows that soybean production
tends to decrease about 0.81 percent annually. A reduction of land under soybean cultivation at a rate of 52% annually also caused
the decrease. Meanwhile, the productivity is
relative stagnant or decreases about 0.29%
annually. In Java, soybean production area
decreases continuously due to demand for
land use as a result of population stress while
in outer islands are relatively stabile. Moreover, total demand for soybean either for
food and veterinary increased about 2.21%
per year. Due to progressive increasing
demand compared to domestic supply.
Some constraints are still taking place in

increasing domestic production, namely:


1. Land extension is limited due to different
land acidity in the country,
2. Most of the newly extended land are hilly
and wavy, so it leads to easy erosion,
3. Low adoption and assessment of technology at the farmer level and fluctuation of
prices.
Therefore government intervention is
still needed in soybean production and trade.
Theoretically, there is still debate on necessity of government intervention and market
mechanism. There are some reasons why
market mechanism in agricultural product
cannot work properly, namely:
1. Asymmetry of information, especially in
less developing countries the current
price cannot characterize level of efficiency of the product and the producers
do not react to current prices;
2. Agricultural products depend highly on
climate, season and areas. So, the producers can respond to the market prices
as long as climate and season can be
changed and transferred.
As we all know, since 2001 the government of Indonesia has introduced a new policy the so called decentralization policy.
This policy has influenced structure of the

Table 2. Area, Production, Productivity, Supply, and Demand for Soybean from 2000-2004
Year

Area
(ha)

Productivity
(kg/ha)

Production
(000 ton)

Supply
(000 ton)

Demand
(000 ton)

Gap
(000 ton)

2000
2001
2002
2003
2004

1,272
1,265
1,258
1,252
1,245

1,184
1,180
1,177
1,173
1,170

1,506
1,493
1,481
1,469
1,457

1,355
1,344
1,333
1,322
1,311

2,255
2,312
2,369
2,428
2,488

-900
-968
-1,036
-1,106
-1,177

Source: Central Bureau of Statistic, 2004

M. Azis and Salfarina - The Competitiveness of Soybean Production

231

Indonesian economy. This policy also provides opportunity for a province to determine
the main agricultural products that can support their regional economic development.

provincial needs for soybean cannot be


fulfilled by local soybean production and
substantial amounts of beans and meal are
imported to fulfill this gap.

Since East Java province is been famous


as food supplier for national production,
some agendas in developing agricultural
sector have been set up. There the provincial
government has established an integrated
development between agricultural and industrial sector. It is expected that agricultural
product can support industrial development
program or in other words, it should be a
linkage between both sectors closely. From
this point of view, agricultural product mapping is really needed to ensure an efficient
industrial development program. Other aspects that can be very important in developing regional economy are increasing competitiveness of agricultural and industrial
product.

Government still provide subsidy to


soybean production in the form of soft credit
to production inputs. Since government
budget and subsidy have been limited, efficiency in production, marketing and trade
become crucial issues. A high efficiency will
increase farmer income. It means new (appropriate) technology should reduce production costs and increase efficiency. The new
technology applied is seed WILIS 2000
and irrigation land (Lodagung Irrigation).

Increasing competitiveness depends


strongly on production process, marketing,
and trade. An efficient production process,
marketing and trade can stimulate and determine competitiveness of products. Provincial
government of Blitar has determined that
soybean can be selected as main product of
the local. The province has also high production of soybean and the soybean processing
industries such as soy sauce, tofu and tempe.
For tofu and tempe, most of industries are
small-scale enterprises and the number of
these industries is enormous throughout the
region. We can see that the demand for soybean in the province is still higher than provincial production of soybean.
Policies issues from this researchs are as
follows; They expect that soybean production will stimulate significant economic
growth in East Java Province. East Javas

The proposed research will develop farm


budgets for soybeans with different applied
technology that will show the profitability of
soybean production. With these results in
hand, conclusions can be drawn about the
likelihood that the proposed policies will
meet the governments objective of reducing
dependency on imported soybeans.
The research will try to achieve some
research objectives as follows:
1. Analyzing soybean farmer income in
Blitar District at the different cropping
system;
2. Obtaining analysis on comparative
advantage and competitiveness of soybean by different cropping system;
3. Analyzing influences of social price
changes to farmers income due to public
investment;
4. Analyzing government policy impact on
farmers income due to market/actual
price development;
Whereas research implications as follows:

232

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

1. The result of the research will provide


information to the provincial and district
government. The expanded data with
new technology of different kinds of
investments could be used as alternative
policy to increase the soybean production.
2. Technical change resulting from support
of soybeans would improve the efficiency of the system and increase the
soybean farmers income.
Theoretical concepts in this research as
follows:
1. A Framework for Agricultural Policy
Analysis
Everyone involved in agricultural policy and
project analysis should have a clear way of
thinking about evaluating decisions. On what
grounds can one alternative be judged better
than another? How much policy is enough?
Is economic efficiency the only thing that
matters? For rational decision-making to take
place, each of us needs a clear and logical
way to evaluate policy options. In an ideal
setting, everyone would have a similar way
of approaching policy decisions. Then disagreements would be limited to genuine differences of opinion rather than including also
misunderstandings about approaches to
problem solving. This chapter sets out a general logical approach for carrying out agricultural policy analysis. The specifics of the
Policy Analysis Matrix (PAM) then are
introduced in succeeding chapters.
A well-understood framework for agricultural policy analysis is needed for decision-makers and interest groups to understand the consequences of policy actions
(Pearson, 2003). The clarity of definitions is

critical in policy analysis. What is meant by


the term, framework for agricultural policy
analysis? A framework is an organized and
consistent approach for clear thinking. Without it, policy debate can quickly reduce to
misunderstanding and emotionalism. A
framework is designed to permit the study of
linkages in economic systems. Good economic analysis is fascinating for economists,
frustrating for non-economists, and relevant
for everyone because it focuses on linkages
within an economy on why one groups
actions influence others in the system. Agricultural refers to the production and consumption of commodities that are produced
by cultivating crops or raising livestock.
Policies are government actions intended to
change behavior of producers and consumers. Analysis consists of the evaluation of
government decisions to change economic
behavior. A framework for agricultural policy analysis, therefore, is a logical system for
analyzing public policies affecting producers,
marketers, and consumers of crops and livestock products.
2. Four Components of a Policy Framework
The four central components in the framework for agricultural policy analysis proposed in this book are objectives, constraints,
policies, and strategies (Pearson, 2003). Objectives are the desired goals of economic
policy as defined by the policy makers. Government officials wish to achieve certain
ends when they intervene in economies.
Constraints are the economic realities that
limit what can be accomplished. If land is
used to grow rice, it is not available to produce an alternative crop in that production
season. Policies are the instruments that governments can use to change economic out-

M. Azis and Salfarina - The Competitiveness of Soybean Production


comes. Effective policies change the behavior of producers, marketers, and consumers
and create new economic outcomes. Strategies are the sets of policy instruments that
government officials can use to achieve their
objectives. Each strategy is enacted through
the introduction of a coordinated set of policies.
The strategies of policy makers consist
of sets of policies that are intended to
improve economic outcomes (as judged by
the policy makers). The selected policies
work through the constraints set by economic
parameters. The constraints set by supply,
demand, and world price conditions, either
further or impede the attainment of objectives. An assessment of the impact on objectives permits an evaluation of the appropriateness of given strategies. Governments thus
form agricultural strategies by choosing a set
of policies to further their objectives subject
to the constraints on the agricultural economy. With this logical picture in mind, it is
important to review each of the four components in more detail.
3. Fundamental Objectives of Policy Analysis
Most goals of government policy fall under
one of three fundamental objectives efficiency, equity, or security. Efficiency is
achieved when the allocation of scarce
resources in an economy produces the maximum amount of income and the allocation of
goods and services brings highest consumer
satisfaction. Equity refers to the distribution
of income among groups or regions that are
targeted by policy makers. Typically, greater
equity is achieved by more even distribution
of income. However, because policy refers to

233

government actions, the policy makers (and


indirectly voters in a democracy) define
equity. Security is furthered when political
and economic stability allows producers and
consumers to minimize adjustment costs.
Food security refers to the availability of
food supplies at affordable and stable prices.
In this framework, any goal that a policymaker is hoping achieve through government
intervention will be incorporated within one
of the three fundamental objectives efficiency, equity, and security.
Trade-offs arise when one objective can
be furthered only if another is impeded that
is, when gains for one goal result in losses
for another. When trade-offs exist, policymakers have to place weights on the conflicted objectives by determining how
much they value gains from one objective
versus losses associated with a second objective. Policy makers not economic analysts
have the responsibility to make these value
judgments and assign weights to objectives.
These government officials have the ultimate
responsibility to be accountable for their
policy actions. In the rare instances when
trade-offs do not arise, policy analysis and
policy making are easy. The desired result is
to move forward to the extent that resources
permit. Typically, however, trade-offs do
exist. Then economic analysts need to evaluate policies, and policy makers need to make
decisions by placing weights on objectives.
The weights have to add to one (e.g., an individual policy maker might place weights of
0.6 on efficiency, 0.3 on equity, and 0.1 on
security).
4. Constraints that Limit Agricultural Policy
The scope for agricultural policy is defined
by three basic constraints supply, demand,

234

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

and world prices. Supply, national production, is limited by the availability of resources (land, labor, and capital), technologies, relative input prices, and management
capabilities. These parameters are the components of production functions and thus
limit the ability of the economy to produce
agricultural commodities. Demand, national
consumption, is limited by population,
income, tastes, and relative output prices.
These parameters are the components of
demand functions and thus limit the ability of
the economy to consume agricultural products.
World prices, for internationally tradable
outputs and inputs, define and limit the
opportunities to import to increase domestic
supply and to export to increase markets for
domestic production. These three economic
parameters define the market for an agricultural commodity and are the fundamental
forces that influence price formation and the
allocation of resources. The economic constraints lead to trade-offs in policy making.
5. Categories of Polices Affecting Agriculture
Policies influencing the agricultural sector
fall into one of three categories agricultural
price policies, macro-economic policies, or
public investment policies (National Planning Development Board, 2001). Agricultural price policies are commodity specific.
Each price policy targets only one commodity (e.g., rice) at a time. Price policies also
can influence agricultural inputs. Macro-economic policies are nation-wide in coverage.
Macro policies thus affect all commodities
simultaneously. Public investment policies
allocate capital expenditures from the public

budget. They can affect various agricultural


groups producers, traders, and consumers
differently because they are specific to the
areas where the investment occurs.
6. Agricultural Price Policy Instruments
All agricultural price policy instruments create transfers either to or from the producers
or consumers of the affected commodity and
the government budget. Some price policies
affect only two of these three groups,
whereas other instruments affect all three
groups. In all instances, at least one group
loses and at least one other group benefits.
Policy analysts need to consider three categories of agricultural rice policy instruments
taxes and subsidies, international trade restrictions, and direct controls.
Taxes and subsidies on agricultural
commodities result in transfers between the
public budget and producers and consumers.
Taxes transfer resources to the government,
whereas subsidies transfer resources away
from the government. For example, a direct
production subsidy transfers resources from
the government budget to agricultural producers.
International trade restrictions are taxes
or quotas that limit either imports or exports.
By restricting trade, these price policy instruments change domestic price levels. Import restrictions raise domestic prices above
comparable world prices, whereas export
restrictions lower domestic prices beneath
comparable world prices.
Direct controls are government regulations of prices, marketing margins, or cropping choices. Typically, direct controls must
be accompanied by trade restrictions or
taxes/subsidies to be effective. Otherwise,

M. Azis and Salfarina - The Competitiveness of Soybean Production


black markets of illegal trade render the
direct controls ineffective. Occasionally,
some governments have sufficient police
power to enforce direct controls in the absence of accompanying trade regulations.
Direct controls of cropping choices can be
enforced, for example, if the government
allocates irrigation water or purchased inputs.
7. Macro-economic
Agriculture.

Policies

Affecting

Agricultural producers and consumers are


heavily influenced by macro-economic polices even though they often have little influence over the setting of these nation-wide
policies. Three categories of macro-economic
policies monetary and fiscal policies,
foreign exchange rate policies, and factor
price, natural resource, and land use policies
affect agriculture (Timmer, Falcon, and
Pearson, 1983).
Monetary and fiscal policies are the core
of macro-economic policy because together
they influence the level of economic activity
and the rate of price inflation in the national
economy, as measured by increases in
indexes of consumer or producer prices.
Monetary policies refer to controls over the
rate of increase in the countrys supply of
money and hence the aggregate demand in
the economy. If the supply of money is
increased faster than the growth of aggregate
goods and services, inflationary pressure
ensues. Fiscal policies refer to the balance
between the government taxing policies that
raise government revenue and the public
expenditure policies that use that revenue.
When government spending exceeds revenue, the government runs a fiscal deficit.
That result creates inflation if the govern-

235

ment covers the deficit by expanding the


money supply.
Foreign exchange rate policies directly
affect agricultural prices and costs. The foreign exchange rate is the conversion ratio at
which domestic currency exchanges for foreign currency. Most agricultural commodities are traded internationally, and most
countries either import or export a portion of
their agricultural demand or supply. For internationally tradable commodities, the world
price sets the domestic price in the absence
of trade restrictions. The exchange rate thus
directly influences the price of an agricultural
commodity because the domestic price (in
local currency) of a tradable commodity is
equal to the world price (in foreign currency)
times the exchange rate (the ratio of domestic
to foreign currency).
Factor price policies directly affect agricultural costs of production. The primary
factors of production are land, labor, and
capital. Land and labor costs typically make
up a substantial portion of the costs of producing most agricultural commodities in
developing countries. Governments often
enact macro policies that affect land rental
rates, wage rates, or interest rates throughout
the economy. Other factor price policies,
such as minimum wage floors or interest rate
ceilings, influence some sectors more than
others. Some governments introduce special
policies to attempt to control land uses or to
govern the exploitation of natural resources,
such as minerals or water. These macro policies can also influence the costs of agricultural production.

236

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

8. Public Investment Policies Influencing


Agriculture.
The third category of policies affecting agriculture includes public investments from the
countrys capital budget in infrastructure,
human capital, and research and technology.
Public investments in infrastructure can raise
returns to agricultural producers or lower
agricultural costs of production. Infrastructure refers to essential capital assets, such as
roads, ports, and irrigation networks, which
would be underprovided by the private sector. These assets are known as public
goods, and they require public spending
from the governments capital budget. Investments in infrastructure are by nature particular to specific regions and benefit mostly
the producers and consumers who live in
those regions. Public investment policy is
complicated by the fact that infrastructure
must be maintained and renewed.
Public investments in human capital
include a wide range of spending from the
governments capital budget to improve the
skill levels and health of agricultural producers and consumers. Investments in formal
schools, training and extension centers, public health facilities, human nutrition education, and clinics and hospitals are examples
of public capital spending that could raise the
level of human capital in the agricultural
sector. These investments are critical for
long-term development, but they often take
many years to show dividends in agriculture.
Public investments in research and technology are another example of public
goods that directly benefit agricultural producers and consumers. Countries that enjoy
rapid agricultural growth typically invest
heavily in agricultural research to breed or
adapt high-yielding varieties of food and

cash crops developed in international


research centers abroad. These miracle
seeds often require new agricultural
production technologies, utilizing better
water control and more intensive application
of purchased inputs. For some commodities,
the technological breakthroughs, funded by
public investment, are in agricultural processing rather than in farming.

RESEARCH METHOD
The research will be based on different kinds
of empirical analytical studies that focus on
the:
1. Evaluation of influences of the macro
economic performance and policy on
soybean development at the local government level;
2. Evaluation of soybean market and local
regulation on domestic trade as impact of
national policy on soybean development.
This will illustrate the problems and
challenges on increasing soybean production and lastly how the farmer
increases their income.
In general, the stratified sample survey
method is applied at the micro level to obtain
primary data, while secondary data could be
collected from government agencies and
central bureau of statistics at various levels.
The survey was carried out in the Blitar
district of East Java because the reason the
region is a center of food production (especially soybean) in East Java province. In the
district, we have selected 4 sub-districts,
namely: Binangun, Panggung Rejo, Kademangan, Wonotirto, and Bakung.
Using a questionnaire with structured or
open interview of a number of sample res-

M. Azis and Salfarina - The Competitiveness of Soybean Production


pondents, i.e., soybean farmers, traders, and
government officials have been collected as
primary data. The place of interview was
basically at the fields and the efforts were
made to obtain a comfortable or neutral
type of interview, to establish a relation of
confidence and also to allow questions to be
posed on delicate problem fields, individual
experiences and personal opinions.
Apart from the respondents, several
other key-informants who are particularly
knowledgeable about the matters and socioeconomic situation of such regions, were also
interviewed to collect valuable information.
In addition, individual in-depth interviews
were also needed to obtain more detailed
information. The person interviewed was free
to voice his/her own concerns in an unstructured interview. The interviewer relied on
open questions to introduce topics of interest,
without the interviewer imposing his or her
ideas. Data and information gained from field
observation and by interviewing some keyinformants turned out to be valuable for this
study.
Secondary data are, to a limited extent,
also very important to support this study. The
kind of secondary data such as Gross
Domestic Regional Product, population density, infrastructure, land areas, production
rate of soybean and productivity are issued
by the Department of Agriculture, the Central
Bureau of Statistics or the Regional Planning
Development Board. According to previous
experiences, we should be careful with these
different sources of data. For example, data
published by a source could have a different
value when published by other ones. To
overcome this problem, we should be
consistent in selecting and collecting the
data.

237

The survey was designed to generate


data in relation to the following aspects:
1. Production, intermediate input and production input aspect;
2. Post-harvest activities including marketing, transportation cost and other costs
that influenced the end price such as police tariff (illegally); and
3. External factors such as government policy (subsidies), CIF price and other
charges in port (non-formal).
Research Area
District Blitar consists broadly 1,628.58 km2
of 267.58 km2 settlement area (kampong),
336.12 km2 rice field, 490.29 km2 dry land,
143.93 km2 plantation, 325.18 km2 forest
area, 13.20 km2 desert and 52,50 km2 which
consist of other types of land. District Blitar
lay in coordinate 111 40 - 112 10' Longitude East and 7 09' Transversal South. Topography of district Blitar have highest position 800 meter and the lowest 40 meter of sea
surface (Central Bureau of Statistic of Blitar
District, 2004).
Regional boundary of district Blitar is as
follows:
North boundary is district Kediri and
Malang district;
Southern is Indonesian ocean;
Eastern is Malang district; and
Western is Tulungagung and Kediri
Economic Structure of Research Area
District Blitar is one of the 38 Sub-Province
existing in East Java Province that have been
deemed particularly suitable for intensive
agriculture. They have special potential for
such sectors as livestock production, fishery,

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

238

plantation, and food crops. Approximately 67


percent of the District is farm land growing
rice and dry land crops. The remaining 33
percent consists of plantations, forests, and
mining operations.
Soybean Prices in Blitar District
Empirically the national price of soybean
since 1990 to 1996 has been increasing moderately, on the average 3.7% annually. Therefore, it can be concluded that over this
period, the price of soybean was relative
stable. Four months after the financial crisis
(mid of 1997), the prices of all goods exhibited uncontrolled increases. This multidimensional crisis changed consumption behavior
throughout the country. Soybean products
also increased in price. In August 1998, the
domestic soybean price was 2,300 Rp per kg.
The imported soybean price was 3,500 Rp
per kg. At these prices, domestic soybeans
had a competitive advantage.

Table 4. Soybean Prices in Blitar District,


November 2004
No

Sub-District

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Udanawu
Nlegok
Sanan Kulon
Wates
Kanigoro
Wonotirto
Gandusari
Selopuro
Srengat
Kesamben
Kademangan
Wonodadi
Binangun
Sutojayan
Panggung Rejo
Bakung
Ponggok
Selorejo
Wlingi
Talun
Doko

Price at
Producer
level (Rp)
3,500

2,950
4,300
3,050
3,300
3,300
2,800
2,800
2,800
2,900
2,900
3,500
2,900

Price at
Consumer
level (Rp)
3,600
3,450
4,000
3,000
4,500
3,225
3,200
3,250
3,400
3,800
4,200
2,900
2,925
3,050
3,200
3,900
3,100
3,500
3,300
3,300

Source: Survey

Table 3. Domestic and Import Prices of


Soybean from 1990 to 2008
Year

Domestic
Soybean (Rp/kg)

Import Soybean
(Rp/kg)

1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
2007
2008

847
905
833
1,010
1,087
995
1,092
5,450
7,500

489.63
518.39
536.46
482.72
646.60
663.93
803.17
6,200
8,400

Source: Central Bureau of Statistic (1990, 1995, 2007),


Statistic of Agr 2008

Soybean Cropping System in District


Blitar
Several cropping systems exists in Blitar
District:
1. Irrigated Paddy Field
SeptemberDecember

JanuaryMay

JuneAugust

Paddy

Paddy

Soybean

Source: Survey

The first paddy season is started early in the


rainy season. It lasts from September to
December, the so called as Musim Padi
Raja. The second Paddy Season can be

M. Azis and Salfarina - The Competitiveness of Soybean Production


started in January to May when the dry
season starts. This season is called as
Musim Padi Gadu. Empirically, gadu
season often results a better harvest than
Musim Padi Raja.
2. Wet Paddy Field
SeptemberNovember
Soybean +
Corn

DecemberApril
Paddy

May-August

Soybean+Corn+
Chili or Peanut+
Corn+ Chili

The Study Areas


In this part, the characteristics of study areas
within the District of Blitar will be described.
Irrigated and non-irrigated-land were used to
determinate sample design. Moreover, the
dividing line of these areas is the market
distance from the central market and infrastructure. The study areas are structured from
the specific region to the region situated at
the longest distance from the central market.
Graphically, these study areas are showed by
Figure 1.

Source: Survey

Central Market

Note: Another alternative crop is sugarcane, especially as a


substitute for peanuts, corn and chili.

Areas near or influenced


by central market growth

3. Dry Land
DecemberMarch

AprilAugust

SeptemberNovember

Soybean + Corn +
Chili or Soybean +
Corn + paddy

Soybean +
Corn + Chili
Or Soybean +
Corn + Maize

Maize or off

239

Areas far from the central


market
Areas far from the central
market and having rural
characteristics predominantly

Figure 1. The Four Study Areas and Their


Distance from the Central Market

Source: Survey

The survey showed that, at the peak of the


dry season in September and November,
many dry lands were not used productively.
The only work on them was in preparation
for the next plantation. The research sample
contained all of the cropping patterns
described above. For the purpose of the
study, cropping systems were divided into
four groups. These groups made it possible to
compare the following categories:
1. Traditional technology vs. improved
technology
2. Irrigated land vs. non-irrigated (dry land)
3. Multi-cropping vs. monoculture

Method of Analysis
The method of analysis that is used in this
research is Policy Analysis Matrix (PAM).
This is to obtain competitiveness rate, efficiency and impact of government policy on
soybean production under multi-cropping
system and different ecological zones in the
Blitar district. The various cropping systems
can be depicted in Figure 2.
Based on the real condition, soybeancropping system can be divided into seven
kinds:
1. Soybean production by traditional system
2. Soybean production by using technology

240

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008


1. Soybean production
by traditional system

2. Soybean production
by using technology

4. Soybean production
by using technology
at non irrigated land

3. Soybean production
by using technology
at irrigated land

5. Soybean production by
using technology at irrigated
land with monoculture

6. Soybean production by
using technology at irrigated
land with multi cropping

7. Soybean production by
using technology at non
irrigated land with multi
cropping

Source: Survey

Figure 2. Various Soybean Cropping System at Blitar District

3. Soybean production by using technology


at irrigated land
4. Soybean production by using technology
at non irrigated land
5. Soybean production by using technology
toward monoculture system at irrigated
land
6. Soybean production by using technology
toward multi-cropping system at irrigated
land
7. Soybean production by using technology
toward multi-cropping system at nonirrigated land
Sample is selected from population
proportionally. The total number of sample is
70 where by 10 samples are from each
cropping systems as mentioned. Table 4
Policy Analysis Matrix (PAM) and its
components will be explained properly.

Table 4. Policy Analysis Matrix


Costs
Revenue

Tradable
input

Domestic
Input

Profit

Private
Price

Social
Price

Policy
Impact

Note: I= A E; J= B F; K= C G; L= D-H
DRCR: G/(E-F); NPCO= A/E; NPCI= B/F;
EPC= (A-B)/(E-F)

Private Profit (D)


Private profit is used to show how much
profit that can be obtained by soybean farmer
per area (e.g. ha) based on private price

M. Azis and Salfarina - The Competitiveness of Soybean Production

241

DISCUSSION

Social Profit (H)


Social profit can be seen through difference
between output produced and input tradable
and non-tradable based on social price.
Output Transfer (I)
Output transfer is transfer receipt by producers through output price. The output price is
influenced by government policy. The more
output transfer value, the higher the support
of the government policy.
Input Transfer (J)
Input transfer shows the number of transfer
receipt by soybean producers through input
price. The higher input transfer, the cheaper
input price paid by producers.
Factor Transfer (K)
Factor transfer is transfer receipt by producers through domestic input factor. The higher
factor transfer, the lower factor price paid by
producer
Net Transfer (L)
Net transfer is used to show whether the government policies have positive or negative
transfer on production system of soybean. A
positive net transfer mean supporting of government on the soybean production system, a
negative is opposite one.

Because of the various cropping systems and


different ecological zones in Blitar district, a
number of PAM models have been developed. The traditional system is one in which
soybean farmers use traditional seed that is of
low quality. These seeds are bought at the
local market. Most of them are unbranded
and are only for household consumption.
Traditional soybean farmers rarely use composite fertilizer, and they harvest only once
per year.
Improved technology systems use high
quality seed (WILIS 2000). This seed has
already proved that it can increase productivity significantly. Improved technology can
be found on both irrigated and non-irrigated
land. It can also be used in both monoculture
and multi-culture cropping systems.
The results of Policy Analysis Matrix
(PAM) calculation of soybean by using traditional technology is depicted as follows:
Based on Table 5, it can be seen that
obtained private revenue was Rp.3,162,431,
and social revenues in amount of Rp.3,286,766. There is a divergence and it can
be seen from lower private revenue than
social revenue. It is especially caused by
trading system, where the soybean farmers
sell not directly to the market but the buyers
come and determine the soybean price

Table 5. PAM Calculation by Using Traditional System


Cost
Revenues
Private prices
Social prices
Effect of divergences and efficient policy
Sources: own calculation

3,162,431
3,286,766
-124,335

Profit

Tradable input

Domestic factor

844,480
786,501
57,979

1,829,366
1,921,335
-91,969

488,585
578,910
-90,325

242

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

directly at the location (farm or farmer


house). It causes farmer revenue to become
less than social revenue. This is due to long
market distance and most of the farmers have
no transportation tools such as motor cycle or
even a car to sell their products directly to the
market.
Private profit in the amount of Rp.488,585 shows an actual profit that will be
receipted by the farmers with cropping system no technology application. This number
is smaller than profit obtained in the cropping system with technology. This is caused
by lack of knowledge of the farmers in how
to plant properly and time and number of
fertilizer needed. They just plant without any
technical consideration.
The social profit Rp.-578,910 shows that
the system has very strong efficiency or
comparative advantage (shown by high social
profits, 18 percents of social revenue). This
results also shows that soybean production,
even with traditional technology, does not
require any protection or subsidy to obtain
high excess profit. This is a very important
result in according with false claims of
farmer organizations that soybeans farmer
cannot compete with import soybean if they
do not receive protection.
Output transfer shows a negative value
at the amount of Rp.-124,335. It means that
the output value receipted by the farmers in
hectare is lower than the social value or
divergence. This is caused by the farmers
who prefer selling to a small trader with
lower price, rather than to the market or soybean trader.
Input transfer is Rp.-57,979 which is
higher payment of tradable input from social
input prices. This is caused by farmer pay-

ment through credit system from kiosks and


also implicit tax (leakages) of tradable input
subsidy.
Factor transfer is of Rp.-91,969.- is
meant input factor costs (working capital,
rent of land, and wages) paid by the farmers
lower than it should be. This is caused by
implicit subsidy and transfer of resources in
soybean production. Based on field observation, as we all know in year 2000-2001
government provided cheap credit program
the so-called Kredit Usaha Tani (KUT).
Unfortunately, many of farmers mentioned
that they had never received any credit from
the government. So, the low factor costs are
mostly caused by land rent paid by the
farmer cheaper than the social price. This is
caused by low motivation of the people to
become a farmer. Many of them move to the
city (urban area) to get more opportunity in
economic activities.
The results of Policy Analysis Matrix
(PAM) of cultivating soybean using technology can be seen in Table 6.
In this case, technology means an application of high yield seed quality and appropriate fertilizer composition. The land with
this characteristic is normally located in flat
areas, while traditional technology is mostly
applied in rough areas that can be planted
only once a year.
Based on the research PAM analysis,
soybean production by using technology has
a better private profit and output. This information can be seen in Table 6. From table, it
can be seen that private profit is
Rp.1,816,034 shows actual profit obtained by
farmers in the cropping system by using
technology. Meanwhile, social profit in
amount Rp.1,925,282 means the real profit

M. Azis and Salfarina - The Competitiveness of Soybean Production

243

Table 6. PAM Calculation Cropping System by Using Technology


Cost
Revenues

Profit
Tradable input

Private prices
Social prices
Effect of divergences and efficient policy

5,351,807
5,463,245
- 111,438

Domestic factor

1,433,113
1,496,532
-63,419

2,102,660
2,041,431
61,229

1,816,034
1,925,282
- 109,248

# Based on researcher calculation

that should be obtained by the farmers (based


on social price) in amount Rp.1,925,282.
Value of social profit is higher than private one. This means a policy distortion and
market failure. The form of market failure is
factor market imperfection (inadequate
development of institutions to provide competitive services and full information) and
negative externality where there are many
local labors work at overseas as TKI (Indonesian labor in overseas) and TKW (Woman
labor in overseas). It causes the farmers to
pay the higher wage rate than social wage
rate.
Output transfer obtained from cropping
system by using technology shows a negative
value Rp.111,438. It means revenue obtained
by the farmers in one ha lower than social
revenue. It is caused by price received lower
than market price. This is mostly caused by
trading system (oligopsony).
Input transfer in amount Rp.-63,419
shows that farmers have to pay tradable input
less than social input prices. This number is
different with the value of transfer input that
has a positive value. This is caused especially
by government subsidy on input, namely
high yield seed input WILIS 2000 (high variety) and some extensions for increasing production.

Factor transfer in amount Rp.-61,229


shows input factor costs (involve cost of
working capital, rent of land, wages) expensed by the farmers higher than it should
be (social price). Negative value of factor
transfer shows imperfect market mechanism
due to negative externality such as abundant
of labors who work at overseas. This leads to
increase local wage rate (due to labor scarcity). Another factor is the lack of rural
financial intermediary. There is no financial
institution that cannot provide a cheap credit
for the farmers. Consequently, the farmers
have to pay high interest rate. Negative net
transfer Rp.109,248 means that cropping
system by using technology is still disincentive as effect of policy distortion and market
failure.
3.000.000
2.500.000
2.000.000
1.500.000
1.000.000
500.000
0
1
Private profits

Social profits

Figure 3. The Private and Social Profit from


the Seven Systems

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

244

From the Figure 3, we can see that


soybean with using technology (PAM 2, 3, 4,
5, 6, 7) have a better private and social profit
than cropping system 1 (traditional one). The
both cropping system 3 and 4 are using
technology, but cropping system 4 has
private and social profit higher than system
3. This is due to location of land. System 3
locates in irrigated land, while system 4 at
non-irrigated ones. So, it can be concluded
that soybean is more appropriate in non-irrigated land (dry land).
Cropping system 5 and 6 are using technology, system 5 located in irrigated land and
system 6 in non-irrigated land. But, system 6
has private and social profit higher. This is
due to a different cropping culture, system 5
applies monoculture, while system 6 multicropping. So, it can be said that multi-cropping is more profitable than monoculture
system. System 4 and 7 has the same social
and private profit. This is caused by the both
have similar characteristics. They use technology and implemented at non-irrigated
land.

CONCLUSION
The explanation above has showed some
findings that can be mentioned as follows:
1. In general, soybean market is still in efficient or imperfect mechanism. This is
due to lack of information, weakness of
institution, regulation and policy distortion. In other words, the government
policy is still disincentive to the market.
So, it needs government policy to provide a perfect market mechanism such as
making the information fluently and
transparent, developing institution sup-

ported or needed by the local farmers,


traders and consumers.
2. Based on PAM calculation, using
technology (applied seed WILIS 2000)
can provide a higher profit both private
and social.
3. The farmer still sees possibilities to get a
high profit for the soybean business
based on PAM analysis, especially
through multi cropping and imposing
technology. It can be seen at PAM 4
(technology and non-irrigated land) and
PAM 7 (technology, multi-cropping and
non-irrigated land) the highest profit can
be achieved. So, the more multi cropping
and technology implementation, the more
efficient the cropping system or higher
profit can be achieved easily.
4. Based on the analysis, the seven PAM
systems provide a high social profit. It
means that government subsidy and protection to soybean production is not so
important. In other words, the domestic
soybean production is still competitive
against imported soybean.
5. Low private revenue is caused by lower
price received.
6. A high cost of tradable input is also
caused by trading system which farmers
take tradable input before harvest time in
kiosks and will pay after harvest time
with higher price consequently.
7. In general, domestic factor paid by the
farmers is lower than social price. It is
caused by a cheaper land rent than social
price.
From this research result, policy recommendation given by writer is as follows:

M. Azis and Salfarina - The Competitiveness of Soybean Production


1. The government should provide a policy
that can promote all stakeholders in the
soybean production system such as farmers, wholesalers, and government. The
government should play an equity role
in enhancing and distributing welfare
among stakeholders. We can see that
government policy only concerns on input market but less on output market. So,
as input of further industries (tempe, tofu,
soy sauce) a higher soybean price will influence the industries negatively.
2. As answer for globalization, efficiency or
higher profit (with the same land area)
will be an important factor to realize it.
Multi cropping system is a good way to
achieve this objective, but the farmer
should have a good combination among
crops (soybean and corn).
3. Reducing illegal levies and making information fluently among stakeholders will
absolutely influence positively soybean
business. The coordination of each
dinas in the government plays a key
role in obtaining a positive condition in
realizing competitive market.
4. Application of technology in form of
imposing high seed quality (WILIS
2000) in soybean production provides a
better yield. It means that government
should disseminate using of this seed and
its positive effect to soybean production.
5. Moreover, government should develop a
financial institution that can fulfill farmer
needs for competitive credit since many
non formal credit institutions have existed to provide credit with high interest
rate. So, government should provide

245

more opportunities to the farmers accessing credit.


REFERENCES
Central Bureau of Statistic, Blitar District.
2004. Blitar in Figure 2003/2004. Blitar: Statistic of Blitar District.
Central Bureau of Statistic. 2000. Indonesia
in Figure 1999/2000. Jakarta: Statistic
of Indonesia.
Central Bureau of Statistic. 2004. Indonesia
in Figure 2003/2004. Jakarta: Statistic
of Indonesia.
Central Bureau of Statistic.1990. Indonesia
in Figure 1989/1990. Jakarta: Statistic
of Indonesia.
Department of Agricultural. 2004. Agricultural data base. Jakarta: Pusdatin.
Hermana. 1998. Commodity Price Instability
in Developing Countries.
Monke. E.A and Pearson S.R, 1994. The
Policy Analysis Matrix for Agricultural
Development. Cornell University Press.
National Planning Development Board.
2001. An Approach to Macro Food
Policy. Working Paper No. 6, March
2002. Jakarta
Pearson, S. 2003. Applications of the Policy
Analysis Matrix in Indonesian Agricultural. Working paper
Timmer, Falcon, and Pearson, 1983. Food
Policy Analysis (hereafter FPA), New
York.
Timmer. C. Peter. 1988, The Agricultural
Transformation, Handbook of Development Economics, Volume 1. Cornell
University Press.

246

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008


ATTACHMENTS
Table 7. Cropping System by Using Technology at Irrigated Land (PAM 3)
Cost
Revenues
Private prices
Social prices
Effect of divergences and efficient policy

3,524,255
4,050,747
-526,492

Profit
Tradable input

Domestic factor

1,102,447
760,719
251,728

1,785,543
1,955,141
-169,598

726,265
1,334,887
-608,622

Table 8. Cropping System by Using Technology at Non-Irrigated Land (PAM 4)


Cost
Revenues
Private prices
Social prices
Effect of divergences and efficient policy

6,381,802
6,875,742
-493,940

Tradable input

Domestic factor

1,930,778
2,232,344
-301,566

2,419,778
2,127,721
292,057

Profit
2,031,246
2,515,677
-484,431

Table 9. Cropping System by Using Technology at Irrigated Land on Monoculture System (PAM 5)
Cost
Revenues

Profit
Tradable input

Private prices
Social prices
Effect of divergences and efficient policy

3,545,952
4,011,530
-465,578

Domestic factor

892,126
775,712
116,414

1,953,654
2,175,856
-222,202

700,172
1,059,962
-359,790

Table 10. Cropping System by Using Technology at Irrigated Land on


Multi-Cropping System (PAM 6)
Cost
Revenues
Private prices
Social prices
Effect of divergences and efficient policy

3,278,054
4,089,963
-811,909

Profit
Tradable input

Domestic factor

1,034,064
745,725
288,339

1,617,432
1,734,426
-116,994

626,558
1,609,812
-983,254

M. Azis and Salfarina - The Competitiveness of Soybean Production

247

Table 11. Cropping System by Using Technology at Non-Irrigated Land on


Multi-Cropping System (PAM 7)
Revenues

Private prices
Social prices
Effect of divergences and efficient policy

6,381,802
6,875,742
-493,940

Profit

Cost
Tradable input

Domestic factor

1,930,778
2,232,344
-301,566

2,419,778
2,127,721
292,057

2,031,246
2,515,677
-484,431

Table 12. Recapitalization of Ratio Indicators of Policy Analysis Matrix (PAM)


Indicators ratio

PAM 1

PAM 2

PAM 3

PAM 4

PAM 5

PAM 6

PAM 7

Private profits
Social profits
Output transfers
Input transfers
Factor transfer
Net transfers
PCR
DRC
NPCO
NPCI
EPC
PC
SRP

488,585
578,910
-124,335
57,979
-91,969
-90,325
0.7661
0.7685
0.8875
1.0741
0.8289
0.8375
-0.0286

1,816,034
1,925,282
-111,438
-63,419
61,229
-109,248
0.6602
0.5146
0.8453
0.9576
0.8028
0.5620
-0.1543

726,265
1,334,887
-526,492
251728
-169,598
-608,622
0.7109
0.5943
0.8700
1.3310
0.7635
0.5441
-0.1502

2,031,246
2,515,677
-493,940
-301,566
292,057
-484,431
0.6400
0.4852
0.8307
0.8649
0.8142
0.5410
-0.1679

700,172
1,059,962
-465,578
116,414
-222,202
-359,790
0.7362
0.6724
0.8839
1.1501
0.8201
0.6606
-0.0897

626,558
1,609,812
-811,909
288,339
-116,994
-983,254
0.7208
0.5186
0.8015
1.3867
0.6710
0.3892
-0.2404

2,031,246
2,515,677
-493,940
-301,566
292,054
-484,431
0.6400
0.4852
0.8307
0.8649
0.8142
0.5410
-0.1679

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

INDEKS
Ketahanan Pangan: Situasi, Permasalahan, Kebijakan, dan Pemberdayaan Masyarakat
Yunastiti Purwaningsih
1 - 27
Konstelasi Institusi Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Program PIDRA
Muhammad Iqbal
28 - 45
Relevansi dan Aplikasi Aliran Ekonomi Kelembagaan
Purbayu Budi Santosa
46 - 60
Pola Penyebaran Spasial Investasi di Indonesia: Sebuah Pelajaran dari Masa Lalu
J. J. Sarungu
61 - 71
Pendekatan QSPM sebagai Dasar Perumusan Strategi Peningkatan Pendapatan
Asli Daerah Kabupaten Batang, Jawa Tengah
Siti Nurhayati
72 - 82
Penguatan Kapasitas Klaster Usaha Kecil dan Menengah: Kasus di Serenan, Klaten
Fereshti, N.D., Edy Purwo Saputro, dan Didit Purnomo
83 - 95
Pola Distribusi Komoditas Kentang di Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Adang Agustian, Henny Mayrowani
96 - 106
Foreign Direct Investment (FDI), Kebijakan Industri, dan Masalah Pengangguran:
Studi Empirik di Indonesia
Syamsudin, Anton A. Setyawan
107 - 119

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

INDEKS
Dampak Ketidakstabilan Nilai Tukar Rupiah terhadap Permintaan Uang M2 di Indonesia
Etty Puji Lestari
121 - 136
Analisis Peranan Sektor Industri terhadap Perekonomian Jawa Tengah Tahun 2000 dan Tahun
2004 (Analisis Input Output)
Didit Purnomo dan Devi Istiqomah
137 - 155
Analisis Perubahan Kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika
Triyono
156 - 167
Produktivitas Lahan dan Biaya Usahatani Tanaman Pangan di Kabupaten Gunung Kidul
Suwarto
168 - 183
Analisis Kompetensi Produk Unggulan Daerah pada Batik Tulis dan Cap Solo di Dati II Kota
Surakarta
Daryono Soebagiyo dan M. Wahyudi
184 - 197
Analisis Dampak Otonomi Daerah terhadap Strategi Pengembangan Perguruan Tinggi Swasta
(PTS) di Kabupaten Sleman
Rudy Badrudin
198 - 215
Peran Aktif Wanita dalam Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Miskin: Studi Kasus pada
Wanita Pemecah Batu di Pucanganak Kecamatan Tugu Trenggalek
Sugeng Haryanto
216 - 227
The Competitiveness of Soybean Production in Blitar-East Java, Indonesia
Moh. Azis Arisudi dan Salfarina Abdul Gapor
228 - 247

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

INDEKS SUBYEK
A

ADF, 128
agricultural price policy instruments, 234
analytical hierarchy process, 184, 187

key sector, 137

B
backward linkage, 139

C
customer value strategy, 204, 205

D
depromotion, 202

M
M2 money, 121
managed floating exchange rate, 123, 158
model input-output, 140
multiplier, 140

N
net transfer, 241

policy analysis matrix, 228, 232, 239, 240,


247

ECM, 121, 126, 133, 135, 156, 162, 167


error correction term, 134

F
final demand, 143
forward exchange, 157, 158
forward linkage, 137, 139
free floating exchange rate, 123

random walk, 124, 125

S
supply chain management, 193, 195, 197

U
unit root test, 125

G
Gender Inequality, 217
GS Matrix, 205, 208

I
indeks keterkaitan ke belakang, 147
indeks keterkaitan ke depan, 146, 150, 151,
153
indeks total keterkaitan, 143, 145, 146
instability of exchange rate, 121

V
vector autoregression, 121

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2,Desember 2008

INDEKS PENGARANG
A

Arifin, 159, 166


Arsyad, 139, 155

Kamaluddin, 138, 155


Khalawaty, 157

Baba, 135, 136


Brusch, 129, 136

Lestari, 218, 227


Levi, 156, 166

Cobb-Douglas, 169, 170, 171

D
Dany Artanto, 139
Daryono Soebagiyo, 184
Didit Purnomo, 137

E
El Badawi, 129
Etty Puji Lestari, 121

F
Falcon, 235, 245

G
Gilbert, 220, 226
Granger, 122, 167
Gujarati, 125, 126, 136, 161, 166, 174

Mariun, 218, 227


Mizao, 123
Moh. Azis Arisudi, 228

N
Nicholson, 168, 183
Nopirin, 158, 159, 167

R
Ropingi, 139
Rudy Badrudin, 198, 206, 215

S
Salfarina Abdul Gapor, 228
Sugeng Haryanto, 216
Suwarto, 168

Tobing, 220, 227


Triyono, 156

Herlambang, 159, 166


Hirschman, 139

Wahyudi, 167, 184, 220, 221


Wibowo, 218, 227

Insukindro, 123, 136


Iwamoto, 169, 183

J
Jhingan, 140, 155

Yuniarti, 218, 227

Z
Zhao, 123, 126, 135, 136

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada mitra bestari Yth.
1.

Prof. Indah Susilowati, Ph.D. (Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang)

2.

Dra. Yunastiti Purwaningsih, M.S. (Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret


Surakarta)

3.

Dr. Imammudin Yuliadi (Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)

4.

H. Masyhudi Muqorobin, M.Ec. Ph.D. (Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah


Yogyakarta)

5.

Dr. P. Eko Prasetyo, M.Si. (Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang)

yang telah diundang Redaksi Jurnal Ekonomi Pembangunan sebagai pereview artikel Jurnal
Ekonomi dan Pembangunan Volume 9 tahun 2008.

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2,Desember 2008

PEDOMAN PENULISAN
1.

2.

Artikel, belum pernah dimuat dalam media cetak lain, diketik pada kertas kwarto
berkualitas baik. Dibuat sesingkat mungkin sesuai dengan subyek dan metode penelitian
(bila naskah tersebut ringkasan penelitian), biasanya 20-25 halaman dengan spasi satu,
untuk kutipan paragraf langsung diindent.
Substansi artikel yang diharapkan adalah sesuai Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah 2006,
yang diterbitkan Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M)
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.
Sistematika Naskah,
Sistematika artikel hasil pemikiran adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar
akademik); abstrak (maksimum 150 kata); kata kunci; pendahuluan yang berisi latar
belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke
dalam beberapa sub-bagian); penutup atau kesimpulan; daftar rujukan (hanya memuat
sumber-sumber yang dirujuk).
Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar
akademik); abstrak (maksimum 150 kata) yang berisi tujuan, metode, dan hasil
penelitian; kata kunci; pendahuluan yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan
pustaka, dan tujuan penelitian; metode; hasil; pembahasan; kesimpulan; daftar
rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).

3.

Marjin atas, bawah dan samping harus dibuat paling tidak satu inci.

4.

Halaman sampul memuat judul naskah yang spesifik dan efektif, nama penulis, gelar dan
jabatan serta institusinya, alamat surat, nomor telepon dan faksimili, alamat e-mail,
ucapan terima kasih dan catatan kaki yang menunjukkan kesediaan penulis untuk
memberikan data.

5.

Halaman, semua halaman termasuk tabel, lampiran dan acuan/ referensi bacaan, harus
diberi nomor urut.

6.

Angka, dilafalkan dari satu sampai dengan sepuluh dan seterusnya, kecuali jika digunakan
dalam tabel, daftar atau digunakan dalam unit, kuantitas matematis, statistik, keilmuan
atau teknis seperti jarak, bobot dan ukuran.

7.

Semua naskah harus disertai dengan disket/file yang berisi ketikan naskah dengan
menyebutkan jenis pengolah kata yang digunakan dan versinya.

8.

Persentase dan Pecahan Desimal, untuk penulisan yang bukan teknis menggunakan kata
persen dalam teks, sedangkan untuk pemakaian teknis menggunakan simbol %.

9.

Nama penulis disertai nama lembaga atau institusi kerja dan alamat E-mailnya untuk
memudahkan komunikasi. Bila penulis lebih dari satu, ditulis ke bawah.

10. Abstrak, ditulis satu paragraf sebelum isi naskah. Untuk artikel berbahasa Indonesia
abstraknya mutlak bahasa Inggris, artikel berbahasa Inggris abstraknya berbahasa Inggris
atau bahasa Indonesia. Abstrak tidak boleh matematis, dan mencakup esensi utuh pertanyaan penelitian, metode dan pentingnya temuan dan saran atau kontribusi penelitian.
11. Kata kunci, setelah abstrak dicantumkan kata kunci untuk kepentingan pembuatan indeks.

Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 2, Desember 2008


12. Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) sebagai lampiran dicantumkan pada
halaman dan terletak sesudah teks. Sedangkan tabel atau gambar baik di dalam naskah
maupun bukan harus diberi nomor urut tabel.
Tabel atau gambar juga disertai judul lengkap mengenai isi tabel atau gambar.
Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar.
Tabel dan grafik mudah dipahami tanpa harus melihat teks penjelasan.
Tabel dibuat dengan rapi sedangkan gambar harus dalam bentuk siap cetak.
13. Daftar acuan (rujukan), setiap naskah harus mencantumkan daftar acuan yang isinya
hanya karya yang diacu, sedapat mungkin pustaka-pustaka 10 tahun terakhir. Format
penulisan:
Gunakan inisial nama depan pengarang.
Tahun terbit harus ditempatkan setelah nama pengarang.
Judul jurnal tidak boleh disingkat.
Kalau lebih dari satu karya oleh penulis yang sama urutkan secara kronologis waktu
terbitan. Dua karya atau lebih dalam satu tahun oleh penulis yang sama dibedakan
dengan huruf setelah penyebutan tahun terbit.

Anda mungkin juga menyukai