16 April 2013
dimintai tolong. (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma Az-Zawaaid 10/159 dan ia berkata: Diriwayatkan
oleh Thabrani sedang para periwayatnya shahih selain Ibnu Lahiah dan hadits ini hasan). Dalam kitab Fathul
Majid dikomentari, Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam itu adalah nash/ teks bahwasanya tidak (boleh)
minta tolong kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan juga orang lainnya. Beliau membenci perbuatan ini
sebenarnya, walaupun beliau termasuk mampu mengerjakannya (memberi pertolongan) dalam hidupnya
(tetapi ini) sebagai penjagaan akan terjauhnya Tauhid, dan menutup jalan ke arah bahaya syirik, dan adab
serta tawadhu kepada Tuhannya, dan memberikan peringatan kepada ummatnya tentang sarana-sarana
kemusyrikan dalam ucapan dan perbuatan. Kalau dalam hal yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam mampu
mengerjakannya ketika hidupnya saja (beliau tidak membolehkan), maka bagaimana beliau akan membolehkan
untuk minta tolong (diperantarakan kepada Allah, misalnya) setelah beliau wafat, dan dimintai untuk
mengerjakan hal-hal yang beliau tidak mampu atasnya kecuali Allah saja yang mampu mengerjakannya?
Sebagaimana telah dilakukan oleh lisan-lisan sebagian banyak penyair seperti Al-Bushiri, Al-Barai dan lainnya,
yang beristighotsah (minta tolong) kepada orang yang tidak memiliki manfaat dan mudhorot pada dirinya
sendiri( Fathul Majid, hal. 196-197). Secara pasti, ibadah itu harus ada dalilnya (ayat Al-Quran atau Hadits
yang shahih) atau ada contohnya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau para sahabat Nabi shallallahu
alaihi wa sallam (kesepakatan Sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam). Dalam kasus ini, syair itu tidak
sesuai dengan dalil, seperti uraian tersebut di atas, dan tidak pernah ada contoh dari Nabi shallallahu alaihi
wa sallam ataupun para sahabatnya. Ibadah saja mesti ada dalilnya atau contohnya dari Nabi shallallahu alaihi
wa sallam. Sedang syair Ya Rabbi bil Musthofaa itu menyangkut aqidah, maka dalilnya untuk
membolehkannya harus jelas. Ternyata tidak ada dalil yang membolehkan secara jelas, yang ada justru isi dan
bentuk syair itu bertentangan dengan dalil aqidah yang benar. Jadi pertanyaan yang mestinya diajukan
adalah: Mana hadits yang membolehkan atau membenarkan isi syair itu, bukan mana haditsnya yang
melarang. Karena isi syair itu menyangkut aqidah, yang dalam hal aturannya justru lebih ketat dibanding
ibadah. Apalagi isi syair itu sudah tidak sesuai dengan aqidah yang benar. Masalah ulama tidak tahu atau tahu
tetapi tidak menyatakan bahwa itu salah, ini hal yang sering diungkapkan orang dalam berbagai kesempatan.
Namun yang jelas, agama itu landasannya adalah dalil (ayat Al-Quran atau Hadits yang shahih) dengan
pemahaman yang sesuai dengan penjelasan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, para sahabatnya, tabiin, dan
tabiit tabiin. Di sinilah pentingnya mempelajari agama, agar tidak hanya mengikuti apa kata orang, walau
disebut ulama. Insya Allah kalau menempuh jalan seperti ini, kita akan selamat. Amien. Demikian pula
sholawat Badar, di sana ada lafal bil haadii Rasuulillaah. Itu sama dengan keterangan tersebut di atas. (lebih
jelasnya, baca buku Tasawuf Belitan Iblis, Darul Falah, Jakarta, 1422H, atau Aliran dan Paham Sesat di
Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2002, atau Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan, WIP Solo, 2007).
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Laporkan iklan ?
SUATU ketika Umar bin Abdul Aziz r.a mengiringi jenazah. Ketika semuanya telah bubar,
Umar dan beberapa sahabatnya tidak beranjak dari kubur sang jenazah tadi. Beberapa
sahabatnya bertanya, Wahai Amirul Mukminin, ini adalah jenazah yang engkau cintai dan
engkau menungguinya disini lalu akan meninggalkannya.
Laporkan iklan ?
Umar berkata, Ya. Sesungguhnya kuburan ini memanggilku dari belakang. Maukah kalian
kuberitahu apa yang ia katakan kepadaku?.
Mereka menjawab, Tentu.
Umar berkata, Kuburan ini memanggilku dan berkata, Wahai Umar bin Abdul Aziz,
maukah kuberitahu apa yang akan kuperbuat dengan orang yang kau cintai ini?, Tentu,
jawabku.
Kuburan itu berkata, Aku bakar kafannya, kurobek badannya dan kusedot darahnya serta
kukunya dagingnya. Maukah kau kau kuberitahu apa yang kuperbuat dengan anggota
badannya?.
Tentu, jawabku.
Aku cabut satu per satu jari-jari ditelapak tangannya, lalu dari tangannya ke lengan dan dari
lengan menuju pundak. Lalu kucabut pula lutut dari pahanya. Dan paha dari lututnya. Ku
cabut pula lutut itu dari betis. Dan dari betis menuju telapak kakinya.
Lalu Umar bin Abdul Aziz menangis dan berkata,
Ketahuilah, umur dunia hanya sedikit. Kemuliaan didalamnya adalah kehinaan. Yang muda
akan menjadi renta, dan yang hidup akan mati. Celakalah yang tertipu olehnya.
Janganlah kau tertipu oleh dunia. Orang yang tertipu adalah yang tertipu oleh dunia.
Dimanakah penduduk yang membangun suatu kota, membelah sungai-sungai dan
menghiasinya dengan pepohonan, lalu tinggal di dalamnya dalam jangka waktu sangat
pendek. Mereka tertipu, menggunakan kesehatan yang dimiliki untuk berbuat maksiat.
Demi Allah, di dunia mereka dicengkeram oleh hartanya, tak boleh begini dan begitu, dan
banyak orang yang dengki kepadanya. Apa yang diperbuat oleh tanah dan kerikil kuburan
terhadap tubuhnya? Apa pula yang diperbuat binatang-binatang tanah terhadap tulang dan
anggota tubuhnya?
Dulu, di dunia mereka berada di tengah-tengah keluarga yang mengelilinginya. Diatas kasur
yang empuk dan pembantu yang setia. Keluarga yang memuliakan dan kekasih yang
menyertainya. Tetapi ketika semuanya berlalu dan maut datang memanggil, lihatlah betapa
dekat kuburan dengan tempat tinggalnya. Tanyakan kepada orang kaya, apa yang tersisa dari
kekayaannya? Tanyakan pula kepada orang fakir, apa yang tersisa dari kefakirannya?
Tanyalah mereka tentang lisan, yang sebelumnya mereka gunakan berbicara. Juga tentang
mata yang mereka gunakan melihat hal-hal yang menyenangkan. Tanyakan tentang kulit yang
lembut dan wajah yang menawan serta tubuh yang indah, apa yang dilakukan cacing tanah
terhadap itu semua? Warnanya pudar, dagingnya dikunyah-kunyah, wajahnya terlumuri
tanah. Hilanglah keindahannya. Tulang meremuk, badan membusuk dan dagingnya pun
tercabik-cabik.
Dimanakah para punggawa dan budak-budak? Dimana kawan, dimana simpanan harta
benda? Demi Allah, mereka tidak membekali si mayit dengan kasur, bahkan tongkat untuk
bertopang sekalipun. Dahulu dirumah mereka merasakan kenikmatan. Kini ia tenggelam
dibawah benaman tanah. Bukankah kini mereka tinggal ditempat yang lusuh dan menjijikan?
Bukankah sama saja bagi mereka, siang dan malam? Bukankah sekarang mereka tenggelam
dalam pekatnya kegelapan? Tak ada lagi kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang
tercinta.
Berapa banyak orang yang dulunya mulia, kini wajahnya hancur. anggota badannya tercerai
berai. Mulut mereka belepotan dengan darah dan nanah. Binatang-binatang tanah
mengerubuti jasad mereka, sehingga satu per satu anggota tubuh terlepas. Hingga akhirnya
tak tersisa, kecuali hanya sebagian kecil saja. Mereka telah meninggalkan istananya.
Berpindah dari tempat lapang ke lubang yang sempit. Sesudah itu, istri-istri mereka dinikahi
orang lain. Anak-anaknya pun berkeliaran dijalan. Harta bendanya dibagi-bagi oleh ahli
warisnya.
Diantara mereka, ada pula yang dilapangkan kuburnya. Diberi kenikmatan dan bersenangsenang dengannya didalam kubur. Tetapi ada pula yang di adzab dalam sempitnya lubang
kubur. Menyesali apa yang telah mereka kerjakan.
Umar lalu menangis dan berkata, Wahai yang menjadi penghuni kubur esok hari, bagaimana
dunia bisa menipumu? Dimana kafanmu? Dimana minyak (wewangian untuk orang mati)mu
dan dimana dupamu? Bagaimana nanti ketika kamu telah berada dalam pelukan bumi.
Celakalah aku, dari bagian tubuh yang mana pertama kali cacing tanah itu melumatku?
Celakalah aku, dalam keadaan bagaimana aku kelak bertemu dengan malaikat maut, saat
ruhku meninggalkan dunia? Keputusan apakah yang akan diturunkan oleh Rabbku?.
Ia menangis dan terus menangis, lalu pergi . Tak lebih dari satu pekan setelah itu, ia
meninggal. Semoga Beliau dirahmati Allah. [ra/islampos]