Anda di halaman 1dari 12

Bergerak Dari Kampus Menuju Bangsa Paripurna:

Inteligensia Profetik dan Tanggung Jawab Sosio-Transedental


Mahasiswa Islam
Imam Sopyan
***
Setelah lebih dari setengah abad menyatakan diri merdeka,
kondisi dan nasib mayoritas bangsa ini ternyata masih berada dalam
kondisi-kondisi penjajahan. Berbagai cita-cita kemerdekaan yang
disambut dengan penuh optimisme ternyata masih jauh panggang
dari perapian. Jika kemerdekaan adalah negasi terhadap situasisituasi kolonial, maka bangsa yang usia kemerdekaannya memasuki
tahun ke-68 ini tentu masih harus terus mengevaluasi diri. Sebab
hingga saat ini masih sangat mudah untuk menemukan berbagai
fenomena keterjajahan. Fenomena-fenomena tersebut tentu secara
substansial tidak berbeda dengan apa yang telah dialami generasi
terdahulu bangsa ini saat harus berhadapan langsung dengan pihak
kolonial dari Belanda, Portugal, Inggris, lalu Jepang.
Dari berbagai catatan sejarah kita tentu mampu mengetahui
bagaimana kondisi sosial, ekonomi, politik, agama, dan pendidikan
pada masa kolonialisme di Indonesia. Sumber daya alam kita
dirampok secara besar-besaran, pihak pribumi dikelastigakan setelah
warga Eropa dan Asia (China dan Arab), dan hingga ratusan tahun
bangsa ini mengalami kebodohan yang tidak manusiawi; tidak ada
akses pendidikan, sebelum Belanda menggulirkan kebijakan Politik
Etis pada awal abad 20.
Janji (Kemerdekaan) Tak Sampai
Lalu lihatlah bagaimana kondisi bangsa ini setelah 17 Agustus
1945. Angka kemiskinan pada tahun 1990 sebesar 15,10 persen,

sedangkan pada tahun 2011 turun hanya sampai pada angka 12,49
persen. Padahal dalam The Millenium Development Goals (MDGs)
Indonesia menargetkan angka kemiskinan di Indonesia berada pada
kisaran 7,55 persen pada 2015.
Kondisi

ini

semakin

memprihatinkan

jika

melihat

angka

pengangguran di negara ini. Menurut Kementerian Tenaga Kerja dan


Transmigrasi, angka pengangguran di Indonesia

turun dari 7,2 juta

orang pada tahun 2012 menjadi 7,17 juta orang pada tahun 2013.
Dalam analisa yang sederhana, tingginya angka pengangguran akan
mendorong tingginya angka kriminalitas. Hal ini terjadi terutama di
berbagai

kota-kota

besar,

seperti

Jakarta,

Semarang,

ataupun

Surabaya.
Maka dari sisi keamanan, catatan statistik dari Markas Besar
Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) tentu perlu menjadi
perhatian serius dari berbagai pihak. Jumlah tindak pidana cenderung
meningkat sejak lima tahun terakhir; 2007 (330.354), 2008 (326.752),
2009 (344.942), 2010 (332.490), dan 2011 (347.605). Bahkan kita
semakin

prihatin

dengan

kerawanan

sosial

bangsa

ini.

Risiko

penduduk terkena tindak pidana (per 100.000) meskipun jumlahnya


tidak signifikan, namun menunjukan tren positif sejak tahun 2003;
2003 (93), 2004 (104), 2005 (121), 2007 (145), 2008 (141), 2009
(148), 2010 (142), dna 2011 (149).
Mari kita lihat aspek lain yang menjadi isu besar bangsa ini
terutama sejak momentum Reformasi 1998. Berdasarkan Corruption
Perception

Index

(CPI)

yang

dirilis

Transparancy

International

Indonesia (TII), pada tahun 2012 Indonesia berada di peringkat 118


dari 176 negara dengan skor 32, bersama Republik Dominika,
Ekuador, Mesir, dan Madagaskar. Di regional ASEAN, Indonesia berada
di posisi ketiga terbawah (ke-6 dari 8 negara), setelah Singapuran,

Brunei

Darusalam,

Malaysia,

Thailand,

Filipina,

Vietnam,

dan

Myanmar.
Fakta lain yang cukup memprihatinkan adalah apatisme kaum
muda terkait dengan pemberantasan korupsi itu sendiri. Di tahun
2013, Transparency International Indonesia juga meluncurkan Youth
Integrity Survey (YIS) untuk memetakan persepsi kaum muda di
Jakartadengan populasi 31% (2,9 juta) dari total penduduk Jakarta
terkait integritas dan partisipasi mereka dalam gerakan anti-korupsi.
Survey yang sama juga dilakukan di Fiji, Sri Lanka, dan Korea Selatan.
Dalam temuan utama survey tersebut ditemukan bahwa
mayoritas responden masih menanggap urgensi integritas sebagai
faktor kunci dalam kesuksesan. Namun, sebagian besar anak muda
Jakarta cenderung apatis terhadap perilaku koruptif para pejabat
publik. 60 % dari responden bahkan memilih untuk tidak melapor
kepada pihak yang berwenang saat menemukan indikasi tindak
pidana korupsi. Mereka merasa tidak percaya dengan aparat penegak
hukum dan40%-nyamenganggap bahwa hal tersebut bukan
urusan mereka. Ketidakjelasan perlindungan hukum dan prosedur
pelaporan juga menjadi alasan mereka untuk diam saja ketika
mengetahui adanya indikasi tindak pidana korupsi.
Apatisme

ini

juga

terjadi

dalam

bidang

politik.

Tingkat

partisipasi warga negara pada Pemilu (Pemilihan Umum) pasca


Reformasi 1998 cenderung meningkat; 1999 (93,9%), 2004 (84,9%),
2009 (70,99%). Tingginya tingkat apatisme politik ini tentu cenderung
berbahaya bagi proses demokratisasi bagi bangsa ini. Sebab, pada
tahap paling ekstrem, akan mendeligitimasi pemerintahan terpilih.
Kekayaan sumber daya alam dan manusia yang dimiliki bangsa
ini dalam beberapa aspek ternyata justru menjadi musibah. Allah
SWT. telah memperingatkan dalam QS. Al Araf ayat 96.



Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami
siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan (QS. Al
Araf [7]: 96)
Hal tersebut tentu menjadi evaluasi kita bersama sebagai
warga bangsa Indonesia. Apakah kita memang telah mendustakan
berbagai

niikmat-Nya;

memanfaatkannya

secara

dengan
baik.

tidak

Lalu,

mensyukuri

dimana

eksistensi

dan
dan

signifikansi peran mahasiswa, terlebih mahasiswa Islam, di tengah


problematika bangsa tersebut?
Estafeta Perjuangan Mahasiswa Islam
Berdasarkan Youth Development Indicators and Data yang dirilis
oleh DESAPD, Indonesia menempati peringkat keempat setelah China,
India, dan Amerika Serikat dilihat sari aspek populasi pemuda di
Indonesiadengan asumsi rentang usia 15-24 tahun. 65 juta dari
237,5 ratus juta penduduk Indonesia adalah pemuda. Namun, dari 65
juta tersebut, berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2010,
hanya 16,35 juta yang berkesempatan menempuh jenjang pendidikan
di perguruan tinggi (baca: mahasiswa). Meminjam istilah Soe Hok Gie,
mahasiswa di Indonesia memang menjadi the happy selected few;
kecilnya populasi mahasiswa tidak sekecil peran dan kontribusi
mereka bagi bangsa ini.
Sejarah telah mencatat bahwa mahasiswa tentu memiliki peran
dan andil yang besar bagi bangsa ini. Bahkan sejak sebelum Republik
Indonesia lahir. Dalam konsepsi Arif Budiman maupun Yudi Latif,

mahasiswa

adalah

golongan

inteligensia

yang

sejak

awal

kemunculannya memiliki fungsi dan posisi yang signifikan dalam


derap langkah sebuah bangsa dan negara. Jong Islamieten Bond (JIB)
dan Studentent Islam Studie Club (SIS) adalah dua organisasi
mahasiswa/pemuda Islam yang memiliki andil besar dalam sejarah
pergerakan kemerdekaan bangsa ini pada awal abad ke-20.
Melalui dua organisasi ini, para mahasiswa/pemuda Islam
mengadakan berbagai kursus-kursus keislaman sekaligus diskusidiskusi tentang kemerdekaan. Di dua organisasi ini pula, benih-benih
nasionalisme Indonesia mulai membibit. Sebab dua organisasi ini
terbuka untuk seluruh pemuda Islam di Nusantara, di tengah masih
adanya berbagai organisasi pemuda kesukuan, seperti Jong Java, Jong
Celebes, lain-lain. Melalui dua organisasi inilah, para pemimpin
bangsa lahir, seperti H. Agus Salim, M. Natsir, dan lain-lain.
JIB dan SIS menemukan bentuknya yang lebih modern dalam
diri organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan PII (Pelajar Islam
Indonesia). Sejak masa revolusi fisik, Orde Lamaketika umat Islam
mencapai titik didihnya dalam konfrontasi dengan ide dan gerakan
komunisme, Orde Baru, hingga pasca Reformasi, kedua organisasi
mahasiswa/pemuda Islam ini mampu konsisten untuk tetap menjadi
lumbung kader para pemimpin bangsa. Sebagaimana yang telah
dilakukan JIB dan SIS, HMI dan PII juga menjadi lumbung kader
pemimpin bangsa yang sangat produktif.
Lalu kita melihat ada satu fragmen sejarah menarik dalam
gerakan mahasiswa Islam di Indonesia, khususnya pada masa Orde
Baru. Berawal dari kegiatan LMD (Latihan Mujahid Dakwah) di Masjid
Salman

ITB

(Bandung)

yang

dimotori

Imaduddin

Abdurrohim,

muncullah satu tipologi baru gerakan mahasiswa Islam di tengah


kebijakan represif pemerintahan Orde Baru, khususnya terhadap

gerakan Islam. Para peserta LMD yang berasal dari berbagai kampus
besar di Indonesia, seperti UI, UGM, Universitas Brawijaya, dan lainlain, melakukan hal yang sama selepas mereka mengikuti training
tersebut. Melalui berbagai training itulah dibentuk berbagai lembaga
dakwah mahasiswa di kampus masing-masing. Pada tahun 1986,
berbagai lembaga dakwah kampus ini berkumpul di UGM untuk
merapatkan barisan dalam konsorsium FS-LDK (Forum SilaturhamiLembaga Dakwah Kampus).
Secara internal, baik HMI, PII, maupun FS-LDK tentu memiliki
perannya masing-masing bagi anggota dan lingkungan kampus.
Organisasi tersebut menjadi semacam kawah candradimuka bagi para
kader Islam untuk menjadi pemimpin umat dan bangsa di kemudian
hari. Sebab aktifisme mereka di kampus dan organisasi masingmasing seringkali tetap akan berlanjut ketika mereka telah lulus dan
berada di tengah-tengah masyarakat.
Mahasiswa Sebagai Khayru Ummah
Sejarawan

muslim

Indonesia,

Kuntowijoyo,

merumuskan

gagasan Ilmu Sosial Profetiknyasebagai kritik terhadap ilmu sosial


sekuler-positivistik berdasarkan ayat ke-110 surat Ali Imran. Ilmu
Sosial Profetik memiliki tiga agenda utama, yaitu humanisasi (
), liberasi () , dan transedensi (
)

...
Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia. Oleh karena kamu menyuruh (berbuat) kebaikan (maruf),
mencegah (perbuatan) kejahatan (munkar), dan beriman kepada
Allah (Q.S. Ali Imran [3]: 110)

Dalam konteks perannya bagi umat dan bangsa ini, berdasarkan ayat
tersebut, mahasiswa Islam tentu harus memiliki aktivisme sejarah.
Artinya ia harus berada di tengah-tengah persoalan bangsa untuk
memberikan solusi-solusi kongkrit dan utuh. Inilah tafsiran dari
redaksi . Lalu ada tiga langkah paradigmatik yang harus
ditempuh gerakan mahasiswa Islam ketika berada di tengah-tengah
persoalan

bangsa.

Tiga

langkah

tersebut

adalah,

melakukan

humanisasi () , liberasi () , dan


transedensi () . Pada tataran praktis tiga agenda
mahasiswa Islam ini, berkaca pada warisan sejarahnya, tentu bisa
dilakukan melalui berbagai organisasi mahasiswa Islam yang ada.
Mahasiswa Islam tentu tidak memiliki akses langsung untuk
memperngaruhi berbagai kebijakan pemerintah pusat. Namun ia
mampu

sejak

sekarang

mempersiapkan

diri

melalui

berbagai

organisasi yang ada untuk menjadi para pemimpin di masa yang akan
datang. Dalam kasus pemberantasan korupsi, misalnya, jika korupsi
dipahami sebagai persoalan sosio-politis. Maka persoalan tersebut
juga berkaitan dengan persoalan regenerasi para pejabat publik.
Maka para mahasiswa sejak awal harus menempa integritas dirinya
untuk menggantikan para pejabat publik saat ini. Inilah salah satu
bentuk dari proyek humanisasi terhadap diri sendiri. karena manusia
memiliki fitrah

kesucian maka memanusiakan mahasiswa adalah

dengan menjaga diri dalam integritas dan akhlak mulia.


Dalam konteks kemiskinan dan pengangguran, mahasiswa
Islam tentu tidak boleh menjadi bagian dari dua persoalan tersebut.
Mereka

harus

keluar

dari

paradigma

lama

yang

menghadapi

kemiskinan dan pengangguran hanya dengan membuka lapangan


pekerejaa. Bukankah Nabi Rasullah SAW dan para sahabatnya adalah
seorang pedagang? Maka sebagai proyek humanisasi selanjutnya,

para mahasiswa Islam harus mengkampanyekan dan meneledankan


sikap mandiri dalam ekonomi dengan jalan wirausaha.
Dalam konteks apatisme politik warga negara, para mahasiswa
Islam harus ikut ambil bagian dalam gerakan pendidikan politik
warga. Saat ini, mayoritas warga negara cenderung berpolitik hanya
menjelang dan saat Pemilu saja. Maka ada yang dilupakan dari salah
satu kegiatan politik yang justru jauh lebih penting, yaitu kontrol
terhadap para pejabat publik. Kontrol terhadap kinerja pada pejabat
publik inilah yang sesungguhnya diamanatkan Nabi Muhammad SAW.
:
:
. ,
(Hadis diterima) Dari Abi Said al Khudriy, semoga Allah
meridhoinya. Dia berkata, Aku telah mendengar Rasulullah SAW.
bersabda, Barangsiapa diantara kamu yang melihat kemunkaran,
hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu,
(rubahlah) dengan lisannya. Jika ia (masih) tidak mampu, maka
(rubahlah) dengan hatinya. Dan itu (merubah dengan hati) adalah
(indikasi dari) keimanan yang paling lemah. H. R. Muslim.
Digadang-gadang sebagai agen perubahan, mahasiswa Islam
sebagai elit umat dan bangsa harus menjadi salah satu pihak di garda
terdepan dalam mengontrol pemerintah dan kinerja pejabat publik.
Inilah salah satu bentuk liberasi yang menjadi agenda inteligensi
profetik bangsa ini; membebaskan bangsa dari perilaku koruptif para
pejabat publik. Dua agenda tersebut, humanisasi dan transedensi,
tentu harus tetap berada dalam rangka mewujudkan keimanan kita
terhadap Allah SWT (transedensi). Sebab tugas-tugas sosio-historis
tersebut tetap terikat dalam konteks tugas transedental kita sebagai
hamba Allah SWT.
Dalam konteks tiga agenda profetik tersebut, Ali Nurdin dalam
penelitian untuk disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan judul

Quranic

Society,

menyimpulkan

bahwa

ada

tiga

ciri

umum

masyarakat idela dalam Al Quran, yaitu (1) Beriman, (2) Amar Maruf,
dan (3) Nahi Munkar. Kesimpulan ini lahir setelah doktor tafsir
tersebut melakukan penelitian mendalam tentang konsep-konsep al
Quran mengenai masyarakat. Maka tugas inteligensia profetik (baca:
mahasiswa Islam) memiliki kongruensi dengan apa yang dicitacitakan Al Quran itu sendiri tentang sebuah masyarakat (baca:
bangsa) ideal. Bangsa Qurani (Quranic Nation) adalah bangsa yang
memiliki mekanisme untuk selalu melandasi seluruh aktiftasnya
dengan keimananbaik di awal, di tengah, dan di akhirlalu selalu
berusaha memberikan kebaikan dan menolak segala kejahatan.
Allaahu alam.

Rujukan

Abdul Gaffar Karim, Jamaah Shalahudin: Islamic Student


Organization in Indonesias New Order, dalam Flinders Journal of
History and Politics, Vol.23 (2006), 33-56.
Ali Nurdin, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal
dalam Al Quran, Jakarta: Penerbit Erlangga. 2006.
Arif Budiman, Peranan Mahasiswa Sebagai Inteligensia, dalam Dick
Hartoko (editor), Golongan Cendekiawan: Mereka yang Berumah di
Atas Angin, Jakarta: PT. Gramedia, 1981.
Imam Sopyan, Mendidik Publik di Ruang Politik, dalam Jurnal
Indonesia 2019, Vol.4/Tahun IV/18 Agustus 2013, 55-60.
Kuntowijoyo, Ilmu Sosial Profetik dalam Kuntowijoyo, Islam Sebagai
Ilmu, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Lavinia D. W. Araminta, Menuju Indonesia Berdaya 2014: Mahasiswa
dan Intellectual Sosial Responsibility, dalam Jurnal Indonesia 2019,
Vol.4/Tahun IV/18 Agustus 2013, 37-42.
Rifki Rosyad, A Quest For True Islam: A Study of The Islamic
Resurgance Movement Among the Youth In Bandung, Indonesia,
Canberra: ANU E Press, 2006.
Troy A. Johnson, Islamic Student Orgganizations and Democratic
Development in Indonesia: Three Case Studies, tesis magister pada
Center for International Studies of Ohio University, 2006. (tidak
dipublikasikan)
Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia
Muslim Abad 20, Bandung: Mizan. 2005
www.ti.or.id.
www.bps.go.id
www.polri.go.id

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


Nama Lengkap

: Imam Sopyan

Tempat dan tanggal


lahir
Alamat tempat
tinggal
Nomor telepon

: Garut, 29 Juli 1989

Riwayat pendidikan

: SDN Sukamulya III (Lulus tahun 2002)


PErsantren Persis 39 Sadang (MTs) (Garut) (Lulus tahun
2005)
Pesantren Persis 87 Pangatikan (MA) (Garut) (Lulus tahun
2008)
Jurusan Manajemen Syariah STEI Hamfara (Yogyakarta)
(2008-satu semester)
Jurusan Sejarah dan Kebudayan Islam UIN Sunan Kalijaga
(2009-sekarang)
: Bendahara OSIS (Rijaalul Ghad) Pesantren Persis 39
Sadang (2004-2005)
Ketua I OSIS (Rijaalul Ghad) Pesantren Persis 87
Pangatikan (2006-2007
Ketua Ikatan Remaja Masjid Panyaweuyan (IRMAP) (20072008)
Ketua Bidang Internal Pelajar Islam Indonesia (PII)
Komisariat Pangatikan
Ketua Forum Silaturahmi dan Komunikasi Rijaalul Ghad
(RG)-Ummahaatul Ghad (UG) Se-Kabupaten Garut (20072008)
Ketua Lesehan Komunitas Mahasiswa Persatuan Islam
(Persis) (L-KMPI) Yogyakarta (2009-2010)
Reporter Sunan Kalijaga News (2010)
Ketua Departemen Kajian Ilmiah Pimpinan Wilayah
Himpunan Mahasiswa Islam Daerah Istimewa Yogyakarta
(2011-2012)
Kepala Divisi Media dan Komunikasi Pendidikan Kader
Masjid Syuhada (PKMS) (2012-2013)
Ketua Badan Kajian dan Riset Pimpinan Pusat Himpuna
Mahasiswa Persatuan Islam (Hima Persis) (2013-sekarang)
: Ilmu Sejarah, Teori Sosial, dan Objektifikasi Islam (Bidang
Kemahasiswaan UIN Sunan Kalijaga, 2012)
Mendidi Publik di Ruang Politik (Jurnal Indonesia 2019,
2013)
: Juara I Lomba Essay Perpustakaan Koperasi Mahasiswa
Universitas Gadjah Mada (2012)
Juara I Lomba Karya Tulis Ilmia-Mahasiswa UIN Sunan

Riwayat Organisasi

Karya Ilmiah

Prestasi

: Jalan I Dewa Nyoman Oka 28 Kotabaru, Kota Yogyakarta


: +6281 903 78 45 27

Kalijaga (2012)
Juara II Lomba Essay Keluarga Muslim Teknik Universitas
Gadjah Mada (2012)
Juara II Lomba Essay Soegeng Sarjadi School of
Government (2013)
Juara I Lomba Essay Nasional BPPI FEB UNS (2013)

Anda mungkin juga menyukai