Faring
Faring
Etiologi
Kaitan Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini.
Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka
waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara
terus menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini
sehingga menimbulkan Ca Nasofaring. Mediator yang berpengaruh untuk timbulnya Ca Nasofaring :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.
2. Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan Zat karsinogen ( benzopyrenen, benzoantrance, gas kimia, asap industri, asap kayu,
beberapa ekstrak tumbuhan).
4. Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)
5. Radang kronis nasofaring
6. Profil HLA
C. Patofisologi
Pada kanker nasofaring ini disebabkan oleh virus Epstein-Barr melalui mediator ikan asin, makanan
yang diawetkan (mengandung nitrosamine), kontak dengan zat karsinogen (asap industri, gas kimia) dan juga
dapat dikarenakan radang kronis daerah nasofaring. Setelah itu, virus masuk berkembang biak kemudian
menyerang bagian telinga dan hidung khususnya. Dengan hidupnya virus Epstein-Barr didaerah nasofaring
(dekat telinga dan hidung), membuat sel-sel kanker berkembang sehingga membuat terjadinya sumbatan atau
obstruksi pada saluran tuba eusthacius dan hidung. Sumbatan yang terjadi dapat menyebabkan baik gangguan
pendengaran maupun gangguan penghidu, sehingga merupakan gangguan persepsi sensori.
Pathway
Karsinoma Nesofaring
Virus Epstein Barr
Sumbatan hidung. Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam rongga nasofaring dan menutupi
koana, gejalanya : pilek kronis, ingus kental, gangguan penciuman.
b.
Gejala telinga
Kataralis/ oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula dofosa Rosen Muler, pertumbuhan tumor dapat
menyebabkan penyumbatan muara tuba ( berdengung, rasa penuh, kadang gangguan pendengaran)
Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat mencapai kelenjar limfe dan bertahan
disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh dan berkembang biak hingga kelenjar membesar dan tampak benjolan
dileher bagian samping, lama kelamaan karena tidak dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat pada
otot sehingga sulit digerakkan.
E. Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)
a. Tipe WHO 1
- Karsinoma sel skuamosa (KSS)
- Deferensiasi baik sampai sedang.
- Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan).
b. Tipe WHO 2
- Karsinoma non keratinisasi (KNK).
- Paling banyak pariasinya.
- Menyerupai karsinoma transisional
c. Tipe WHO 3
- Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).
- Seperti antara lain limfoepitelioma, Karsinoma anaplastik, Clear Cell Carsinoma, varian sel spindel.
- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.
Tumor primer
Tidak tampak tumor
Tumor terbatas pada satu lokasi saja
Tumor dterdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas pada rongga nasofaring
T3
T4
Tx
Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
REGIONAL LIMFE NODES (N)
N0
Tidak ada pembesaran
N1
Terdapat pembesarantetapi homolateral dan masih bisa digerakkan
N2
Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat digerakkan
N3
Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah melekat
pada jaringan sekitar
c. CT scan daerah kepala dan leher terlihat adanya massa dengan terlihat adanya kesuraman. CT scan dengan
kontras menunjukkan massa yang besar mengisi sisi posterior dari rongga hidung dan nasofaring dengan
perluasan ke sisi kiri dalam daerah nasofaring.
d. Biopsi dari hidung dan mulut. Biopsi sedapat mungkin diarahkan pada tumor/ daerah yang dicurigai. Biopsi
minimal dilakukan pada dua tempat (kiri dan kanan), melalui rinoskopi anterior, bila perlu dengan bantuan
cermin melalui rinoskopi posterior. Bila perlu Biopsi dapat diulang sampai tiga kali. Bila tiga kali Biopsi hasil
negatif, sedang secara klinis mencurigakan dengan karsinoma nasofaring, biopsi dapat diulang dengan anestesi
umum. Biopsi melalui nasofaringoskopi dilakukan bila klien trismus atau keadaan umum kurang baik. Biopsi
kelenjar getah bening leher dengan aspirasi jarum halus dilakukan bila terjadi keraguan apakah kelenjar
tersebut suatu metastasis.
e. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk melihat/mendeteksi metastasis.
I. Penatalaksanaan
a. Radioterapi : Sebelumnya persiapan pasien dengan oral hygiene, dan apabila infeksi/kerusakan gigi harus
diobati terlebih dahulu. Dosis yang diberikan 200 rad/hari sampai 6000-6600 rad untuk tumor primer,
sedangkan kelenjar leher yang membesar diberi 6000 rad. Jika tidak ada pembesaran kelenjar diberikan juga
radiasi efektif sebesar 4000 rad. Ini dapat diberikan pada keadaan kambuh atau pada metastasis tulang yang
belum menimbulkan keadaan fraktur patologik. Radiasi dapat menyembuhkan lesi, dan mengurangi rasa nyeri.
b. Kemoterapi : Sebagai terapi tambahan dan diberikan pada stadium lanjut. Biasanya dapat digabungkan dengan
radiasi dengan urutan kemoterapi-radiasi-kemoterapi. Kemoterapi yang dipakai yaitu Methotrexate (50 mg IV
hari 1 dan 8); Vincristin (2 mg IV hari1); Platamin (100 mg IV hari 1); Cyclophosphamide (2 x 50 mg oral, hari
1 s/d 10); Bleomycin (15 mg IV hari 8). Pada kemoterapi harus dilakukan kontrol terhadap efek samping fingsi
hemopoitik, fungsi ginjal dan lain-lain.
c. Operasi : Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau
adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih.
J. Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal didearah dengan resiko tinggi. Memindahkan
(migrasi) penduduk dari daerah dengan resiko tinggi ketempat lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang
salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya, penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial/ekonomi
dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik
lgA-anti VCA dan lgA anti EA secara massal dimsa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan
karsinoma nasofaring secara lebih dini.
dan meringankan keluhan dan bagaimana cara klien menggambarkan apa yang dirasakan, daerah terasanya
keluhan, semua dijabarkan dalam bentuk PQRST.
Riwayat kesehatan dahulu
Kaji tentang penyakit yang pernah dialami klien sebelumnya yang ada hubungannya dengan penyakit
keturunan dan kebiasaan atau gaya hidup.
Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan klien atau adanya
penyakit keturunan, bila ada cantumkan genogram.
4.
a.
C. INTERVENSI
No
1
Diagnosa
Tujuan
Intervensi
Nyeri akut
Manajemen nyeri :
Lakukan pegkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
dan faktor presipitasi.
Rasional : Nyeri merupakan pengalaman
3.
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Risiko infeksi
Manajemen Nutrisi
kaji pola makan klien
Rasional : Mengidentifikasi defisiensi
nutrisi.
Identifikasi pasien yang mengalami
mual/muntah yang diantisipasi.
Rasional : Mual/muntah psikogenik
terjadi sebelum kemoterapi muali secara
umum tidak berespons terhadap obat
antiemetik.
3.
Kolaborasi medis dengan pemberian
aniemetik pada jadwal reguler sebelum
atau selama dan setelah pemberian agen
antineoplastik dengan sesuai.
Rasional : Mual/muntah paling
menurunkan kemampuan dan efek
samping psikologis kemoterapi yang
menimbulkan stress.
4.
Sajikan makanan selagi hangat.
Rasional : Dengan sajian makanan hangat
lebih mengurangi mual.
5.
Dorong pasien untuk makan sedikit tapi
sering.
Rasional : Kebutuhan sehari-hari dapat
terpenuhi dengan baik.
Setelah dilakukan askep selama 3 Konrol infeksi :
x 24 jam tidak terdapat faktor 1. Kaji adanya tanda-tanda infeksi.
risiko infeksi pada klien
Rasional : Untuk memudahkan
dibuktikan dengan status imune
memberikan intervensi kepada pasien.
klien adekuat: bebas dari gejala 2. Monitor tanda-tanda vital.
infeksi, angka lekosit normal (4Rasional : Merupakan tanda adanya
11.000 )
infeksi apabila terjadi peradangan.
3. Kolaborasi medis dengan pemberian
antibiotik.
Rasional : Antibiotik dapat mencegah
D.
IMPLEMENTASI
Implementasi / pelaksanaan pada klien dengan gangguan THT : kanker Nasofaring + Post Tracheostomy
dilaksanakan sesuai dengan perencanaan perawatan yang meliputi tindakan-tindakan yang telah direncanakan
oleh perawat maupun hasil kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya serta memperhatikan kondisi dan keadaan
klien.
E. EVALUASI
Evaluasi dilakukan setelah diberikan tindakan perawatan dengan melihat respon klien,
mengacu pada kriteria evaluasi, tahap ini merupakan proses yang menentukan sejauah mana tujuan
telah tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Guyton, Athur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , Edisi 9, EGC, Jakarta
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC. Jakarta.
Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
ASKEP CA NASOFARING
I. Pengertian
Karsinoma nasofaring adalah keganasan pada nasofaring yang berasal dari epitel mukosa
nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring.
Carsinoma Nasofaring merupakan karsinoma yang paling banyak di THT. Sebagian besar
klien datang ke THT dalam keadaan terlambat atau stadium lanjut.
II. Anatomi Nasofaring.
Nasofaring letaknya tertinggi di antara bagian-bagian lain dari faring, tepatnya di sebelah
dorsal dari cavum nasi dan dihubungkan dengan cavum nasi oleh koane. Nasofaring tidak
bergerak, berfungsi dalam proses pernafasan dan ikut menentukan kualitas suara yang
dihasilkan oleh laring. Nasofaring merupakan rongga yang mempunyai batas-batas sebagai
berikut :
Atas : Basis kranii.
Bawah : Palatum mole
Belakang : Vertebra servikalis
Depan : Koane
Lateral : Ostium tubae Eustachii, torus tubarius, fossa rosenmuler (resesusfaringeus).
Pada atap dan dinding belakang Nasofaring terdapat adenoid atau tonsila faringika.
III. Etiologi
Kaitan Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama
timbulnya penyakit ini. Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa
menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator kebiasaan untuk mengkonsumsi
ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang
dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan Ca Nasofaring. Mediator yang berpengaruh
untuk timbulnya Ca Nasofaring :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.
Nyeri akut
Tujuan
Intervensi
Manajemen nyeri :
1. Lakukan pegkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi.
2. Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan.
3. Gunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri klien
sebelumnya.
4. Kontrol faktor lingkungan yang
mempengaruhi nyeri seperti
suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan.
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
6. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologis/non
farmakologis)..
7. Ajarkan teknik non farmakologis
(relaksasi, distraksi dll) untuk
mengetasi nyeri..
8. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
9. Evaluasi tindakan pengurang
nyeri/kontrol nyeri.
10.Kolaborasi dengan dokter bila
ada komplain tentang pemberian
analgetik tidak berhasil.
11.Monitor penerimaan klien
tentang manajemen nyeri.
Administrasi analgetik :.
1. Cek program pemberian
analogetik; jenis, dosis, dan
frekuensi.
2. Cek riwayat alergi..
3. Tentukan analgetik pilihan, rute
pemberian dan dosis optimal.
4. Monitor TTV sebelum dan
sesudah pemberian analgetik.
5. Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri muncul.
6. Evaluasi efektifitas analgetik,
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Risiko infeksi
Kurang
pengetahuan
tentang penyakit
dan perawatan nya
kekuatan
3. Anjurkan kontak mata jika berkomunikasi
dengan orang lain
4. Bantu pasien mengidentifikasi respon
positif dari orang lain.
5. Berikan pengalaman yang meningkatkan
otonomi pasien.
6. Fasilitasi lingkungan dan aktivitas
meningkatkan harga diri.
7. Monitor frekuensi pasien mengucapkan
negatif pada diri sendiri.
8. Yakinkan pasien percaya diri dalam
menyampaikan pendapatnya
9. Anjurkan pasien untuk tidak mengkritik
negatif terhadap dirinya
10. Jangan mengejek / mengolok olok
pasien
11. Sampaikan percaya diri terhadap
kemampuan pasien mengatasi situasi
12. Bantu pasien menetapkan tujuan yang
realistik dalam mencapai peningkatan
harga diri.
13. Bantu pasien menilai kembali persepsi
negatif terhadap dirinya.
14. Anjurkan pasien untuk meningkatkan
tanggung jawab terhadap dirinya.
15. Gali alasan pasien mengkritik diri sendiri
16. Anjurkan pasien mengevaluasi
perilakunya.
17. Berikan reward kepada pasien terhadap
perkembangan dalam pencapaian tujuan
18. Monitor tingkat harga diri
DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Guyton, Athur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , Edisi 9, EGC, Jakarta
Iskandar.N, 1989, Tumor Telinga-Hidung-Tenggorokan, Diagnosis dan Penatalaksanaan, Fakultas
Kedokteran Umum, Universitas Indonesia, Jakarta
Joanne C.Mc Closkey. 1996. Nursing intervention classification (NIC). Mosby year book. St. Louis
Marion Johnon,dkk. 2000. Nursing outcome classification (NOC). Mosby year book. St. Louis
Marjory godon,dkk. 2000. Nursing diagnoses: Definition & classification 2001-2002. NANDA
NANDA International, 2001, Nursing Diagnosis Classification 2005 2006, USA