Anda di halaman 1dari 13

SUHAN KEPERAWATAN PADA KARSINOMA NASOFARING

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KARSINOMA NASOFARING


BAB II
PEMBAHASAN
I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Karsinoma nasofaring adalah keganasan pada nasofaring yang berasal dari epitel mukosa nasofaring atau
kelenjar yang terdapat di nasofaring.
Carsinoma Nasofaring merupakan karsinoma yang paling banyak di THT. Sebagian besar klien datang ke
THT dalam keadaan terlambat atau stadium lanjut.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas di daerah kepala dan leher yang terbanyak di temukan di
Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian di ikuti oleh
tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring
dalam prosentase rendah. Berdasarkan data Laboratorium Patologi Anatomik tumor ganas nasofaring sendiri
selalu berada dalam kedudukan 5 besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri,
tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit.
B.

Etiologi
Kaitan Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini.
Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka
waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara
terus menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini
sehingga menimbulkan Ca Nasofaring. Mediator yang berpengaruh untuk timbulnya Ca Nasofaring :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.
2. Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan Zat karsinogen ( benzopyrenen, benzoantrance, gas kimia, asap industri, asap kayu,
beberapa ekstrak tumbuhan).
4. Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)
5. Radang kronis nasofaring
6. Profil HLA
C. Patofisologi
Pada kanker nasofaring ini disebabkan oleh virus Epstein-Barr melalui mediator ikan asin, makanan
yang diawetkan (mengandung nitrosamine), kontak dengan zat karsinogen (asap industri, gas kimia) dan juga
dapat dikarenakan radang kronis daerah nasofaring. Setelah itu, virus masuk berkembang biak kemudian
menyerang bagian telinga dan hidung khususnya. Dengan hidupnya virus Epstein-Barr didaerah nasofaring
(dekat telinga dan hidung), membuat sel-sel kanker berkembang sehingga membuat terjadinya sumbatan atau
obstruksi pada saluran tuba eusthacius dan hidung. Sumbatan yang terjadi dapat menyebabkan baik gangguan
pendengaran maupun gangguan penghidu, sehingga merupakan gangguan persepsi sensori.

Pathway
Karsinoma Nesofaring
Virus Epstein Barr

Radang kronis pada daerah nasofaring

Makanan yang diawetkan

Masuk kebagian telinga dan hidung

Obstruktif pada saluran tuba eusthacius dan hidung

Gangguan pendengaran dan gangguan penghidu

Gangguan persepsi sensori

D. Tanda dan Gejala


Simtomatologi ditentukan oleh hubungan anatomic nasofaring terhadap hidung, tuba Eustachii dan dasar
tengkorak
a.
Gejala Hidung :

Epistaksis : rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan.

Sumbatan hidung. Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam rongga nasofaring dan menutupi
koana, gejalanya : pilek kronis, ingus kental, gangguan penciuman.
b.
Gejala telinga

Kataralis/ oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula dofosa Rosen Muler, pertumbuhan tumor dapat
menyebabkan penyumbatan muara tuba ( berdengung, rasa penuh, kadang gangguan pendengaran)

Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran


c.
Gejala lanjut

Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat mencapai kelenjar limfe dan bertahan
disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh dan berkembang biak hingga kelenjar membesar dan tampak benjolan
dileher bagian samping, lama kelamaan karena tidak dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat pada
otot sehingga sulit digerakkan.
E. Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)
a. Tipe WHO 1
- Karsinoma sel skuamosa (KSS)
- Deferensiasi baik sampai sedang.
- Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan).
b. Tipe WHO 2
- Karsinoma non keratinisasi (KNK).
- Paling banyak pariasinya.
- Menyerupai karsinoma transisional
c. Tipe WHO 3
- Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).
- Seperti antara lain limfoepitelioma, Karsinoma anaplastik, Clear Cell Carsinoma, varian sel spindel.
- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.

F. Perluasan Tumor ke Jaringan Sekitar


1. Perluasan ke atas : ke N.II dan N. VI, keluhan diplopia, hipestesi pipi
2. Sindrom petrosfenoid terjadi jika semua saraf grup anterior terkena dengan gejala khas :
Neuralgia trigeminal unilateral
Oftalmoplegia unilateral
Amaurosis
Gejala nyeri kepala hebat akibat penekanan tumor pada duramater
3. Perluasan ke belakang : N.VII-N.XII, trismus, sulit menelan, hiper/hipo/anestesi palatum,faring dan
laring,gangguan respirasi dan salvias, kelumpuhan otot trapezius, stenokleidomastoideus, hemiparalisis dan
atrofi sebelah lidah.
4. Manifestasi kelumpuhan :
N IX: kesulitan menelan akibat hemiparese otot konstriktor superior serta gangguan pengecap pada sepertiga belakang
lidah.
N X : Hiper / hipo / anestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai gangguan respirasi dan salvias.
N XI : kelumpuhan atau atropi otot-otot trapezius, sterno kleido mastoideus, serta hemiparese palatum mole.
N XII : hemiparese dan atropi sebelah lidah
G. Penentuan Stadium
TUMOR SIZE (T)
T
T0
T1
T2

Tumor primer
Tidak tampak tumor
Tumor terbatas pada satu lokasi saja
Tumor dterdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas pada rongga nasofaring

T3
T4

Tumor telah keluar dari rongga nasofaring


Tumor teah keluar dari nasofaring dan telah kmerusak tulang tengkorak atau saraf-saraf otak

Tx
Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
REGIONAL LIMFE NODES (N)
N0
Tidak ada pembesaran
N1
Terdapat pembesarantetapi homolateral dan masih bisa digerakkan
N2
Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat digerakkan
N3

Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah melekat
pada jaringan sekitar

METASTASE JAUH (M)


M0
Tidak ada metastase jauh
M1
Metastase jauh
Stadium I : T1 No dan Mo
Stadium II : T2 No dan Mo
Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 dan Mo atau T3 dan No dan Mo
Stadium IV : T4 dan No/N1 dan Mo atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan Moatau T1/T2/T3/t4 dan No/N1/N3/N4
dan M1
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Nasofaringoskopi
a. Rinoskopi posterior dengan atau tanpa kateter
b. Biopsi multiple
c. Radiologi :Thorak PA, Foto tengkorak, Tomografi, CT Scan, Bone scantigraphy (bila dicurigai metastase tulang)
d.Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan tumor kejaringan sekitar yang menyebabkan
penekanan atau infiltrasi kesaraf otak, manifestasi tergantung dari saraf yang dikenai.
2. Dapat dilakukan pemeriksaan diantaranya yaitu :
a. Foto tengkorak, yaitu foto bagian/ potongan anteriposterior, lateral, dan waters menunjukkan massa jaringan
lunak didaerah nasofaring
b. Foto dasar tengkorak dapat terlihat destruksi atau erosi tulang didaerah fosa serebri media.

c. CT scan daerah kepala dan leher terlihat adanya massa dengan terlihat adanya kesuraman. CT scan dengan
kontras menunjukkan massa yang besar mengisi sisi posterior dari rongga hidung dan nasofaring dengan
perluasan ke sisi kiri dalam daerah nasofaring.
d. Biopsi dari hidung dan mulut. Biopsi sedapat mungkin diarahkan pada tumor/ daerah yang dicurigai. Biopsi
minimal dilakukan pada dua tempat (kiri dan kanan), melalui rinoskopi anterior, bila perlu dengan bantuan
cermin melalui rinoskopi posterior. Bila perlu Biopsi dapat diulang sampai tiga kali. Bila tiga kali Biopsi hasil
negatif, sedang secara klinis mencurigakan dengan karsinoma nasofaring, biopsi dapat diulang dengan anestesi
umum. Biopsi melalui nasofaringoskopi dilakukan bila klien trismus atau keadaan umum kurang baik. Biopsi
kelenjar getah bening leher dengan aspirasi jarum halus dilakukan bila terjadi keraguan apakah kelenjar
tersebut suatu metastasis.
e. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk melihat/mendeteksi metastasis.
I. Penatalaksanaan
a. Radioterapi : Sebelumnya persiapan pasien dengan oral hygiene, dan apabila infeksi/kerusakan gigi harus
diobati terlebih dahulu. Dosis yang diberikan 200 rad/hari sampai 6000-6600 rad untuk tumor primer,
sedangkan kelenjar leher yang membesar diberi 6000 rad. Jika tidak ada pembesaran kelenjar diberikan juga
radiasi efektif sebesar 4000 rad. Ini dapat diberikan pada keadaan kambuh atau pada metastasis tulang yang
belum menimbulkan keadaan fraktur patologik. Radiasi dapat menyembuhkan lesi, dan mengurangi rasa nyeri.
b. Kemoterapi : Sebagai terapi tambahan dan diberikan pada stadium lanjut. Biasanya dapat digabungkan dengan
radiasi dengan urutan kemoterapi-radiasi-kemoterapi. Kemoterapi yang dipakai yaitu Methotrexate (50 mg IV
hari 1 dan 8); Vincristin (2 mg IV hari1); Platamin (100 mg IV hari 1); Cyclophosphamide (2 x 50 mg oral, hari
1 s/d 10); Bleomycin (15 mg IV hari 8). Pada kemoterapi harus dilakukan kontrol terhadap efek samping fingsi
hemopoitik, fungsi ginjal dan lain-lain.
c. Operasi : Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau
adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih.
J. Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal didearah dengan resiko tinggi. Memindahkan
(migrasi) penduduk dari daerah dengan resiko tinggi ketempat lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang
salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya, penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial/ekonomi
dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik
lgA-anti VCA dan lgA anti EA secara massal dimsa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan
karsinoma nasofaring secara lebih dini.

II. MANAJEMEN KEPERAWATAN


A.PENGKAJIAN
1. Wawancara
Menurut Sjamsuhidajat (1998), Mansjoer (1999), Iskandar (1989), informasi yang perlu didapatkan pada
wawancara adalah sebagai berikut :
a.
Menanyakan kepada pasien mengenai gejala-gejala yaitu pada telinga (sumbatan muara tuba dan otitis media)
atau adanya gangguan pendengaran. Selain itu, tanyakan pada pasien mengenai gejala hidung seperti epistaksis
dan sumbatan hidung.
b.
Menanyakan kepada pasien apakah mempunyai riwayat kanker, kebiasaan makan makanan yang asin-asin,
mengenai keadaan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup. Apakah pasien sering kontak
dengan zat karsinogen, juga adanya radang kronis.
2. Identitas
Identitas klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status marital, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk RS, tanggal pengkajian, No Medrec, diagnosis dan alamat.
Identitas penanggung jawab yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, hubungan
dengan klien dan alamat.
3. Riwayat kesehatan
Keluhan utama
Biasanya didapatkan adanya keluhan suara agak serak, kemampuan menelan terjadi penurunan dan
terasa sakit waktu menelan atau nyeri dan rasa terbakar dalam tenggorok.
Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan informasi sejak timbulnya keluhan sampai klien dirawat di RS. Menggambarkan keluhan
utama klien, kaji tentang proses perjalanan penyakit sampai timbulnya keluhan, faktor apa saja memperberat

dan meringankan keluhan dan bagaimana cara klien menggambarkan apa yang dirasakan, daerah terasanya
keluhan, semua dijabarkan dalam bentuk PQRST.
Riwayat kesehatan dahulu
Kaji tentang penyakit yang pernah dialami klien sebelumnya yang ada hubungannya dengan penyakit
keturunan dan kebiasaan atau gaya hidup.
Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan klien atau adanya
penyakit keturunan, bila ada cantumkan genogram.
4.
a.

Dasar Data Pengkajian Pasien


Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan dan/atau keletihan, perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur pada malam hari,
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur misal nyeri, ansietas, berkeringat malam.
b.
Neurosensori
Gejala : gangguan pendengaran dan penghidu, adanya pusing, sinkope.
c.
Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri terjadi pada bagian nasofaring, terasa panas.
d.
Pernapasan
Gejala : Adanya asap pabrik atau industri
Tanda : pada pemeriksaan penunjang dapat terlihat adanya sumbatan seperti massa.
e.
Makanan /cairan
Gejala : anoreksia, mual/muntah.
Tanda : perubahan pada kelembaban/turgor kulit.
5. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : Pada bagian leher terdapat benjolan, terlihat pada benjolan warna kulit mengkilat.
b. Palpasi : Pasien saat dipalpasi adanya massa yang besar, selain itu terasa nyeri apabila ditekan.
c. Pemeriksaan THT:
1. Otoskopi : Liang telinga, membran timpani.
2. Rinoskopia anterior :
Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin hanya banyak sekret.
Pada tumor eksofilik, tampak tumor di bagian belakang rongga hidung, tertutup sekret
mukopurulen, fenomena palatum mole negatif.
3. Rinoskopia posterior :
Pada tumor indofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak menonjol, tak rata dan
paskularisasi meningkat.
Pada tumor eksofilik tampak masa kemerahan.
4. Faringoskopi dan laringoskopi : Kadang faring menyempit karena penebalan jaringan retrofaring; reflek
muntah dapat menghilang.
5. X foto : tengkorak lateral, dasar tengkorak, CT Scan
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.
2.
3.

Nyeri akut b/d agen injuri fisik (pembedahan).


Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan pemasukan nutrisi..
Risiko infeksi b/d tindakan infasive, imunitas tubuh menurun

C. INTERVENSI
No
1

Diagnosa

Tujuan

Intervensi

Nyeri akut

Setelah dilakukan askep selama 3


x 24 jam tingkat
kenyamanan klien meningkat,
dan dibuktikan dengan level
nyeri: klien dapat melaporkan
nyeri pada petugas, frekuensi

Manajemen nyeri :
Lakukan pegkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
dan faktor presipitasi.
Rasional : Nyeri merupakan pengalaman

nyeri, ekspresi wajah, dan


menyatakan kenyamanan fisik
dan psikologis, TD 120/80
mmHg, N: 60-100 x/mnt, RR:
16-20x/mnt
2.
Control nyeri dibuktikan dengan
klien melaporkan gejala nyeri
dan control nyeri.

subyektif dan harus dijelaskan oleh


pasien, mengidentifikasi nyeri untuk
memilih intervensi yang tepat.

Anjurkan untuk beristirahat dalam


ruangan yang tenang.
Rasional : Menurunkan stimulasi yang
berlebihan yang dapat mengurangi sakit
kepala.
3.Berikan kompres dingin pada bagian yang
nyeri.
Rasional : Meningkatkan rasa nyaman
dengan menurunkan vasodilatasi.

3.

Ajarkan teknik relaksasi dengan distraksi


dan napas dalam.
Rasional : Membantu mengendalikan
nyeri dan mengalihkan perhatian dari rasa
nyeri.
4. Kolaborasi medis, berikan analgesik
untuk mengurangi nyeri.
Rasional : Analgesik mampu menekan
saraf nyeri.
2

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

Risiko infeksi

Setelah dilakukan askep selama


324 jam klien
1.
menunjukan status nutrisi
adekuat dibuktikan dengan BB
stabil tidak terjadi mal nutrisi, 2.
tingkat energi adekuat, masukan
nutrisi adekuat

Manajemen Nutrisi
kaji pola makan klien
Rasional : Mengidentifikasi defisiensi
nutrisi.
Identifikasi pasien yang mengalami
mual/muntah yang diantisipasi.
Rasional : Mual/muntah psikogenik
terjadi sebelum kemoterapi muali secara
umum tidak berespons terhadap obat
antiemetik.
3.
Kolaborasi medis dengan pemberian
aniemetik pada jadwal reguler sebelum
atau selama dan setelah pemberian agen
antineoplastik dengan sesuai.
Rasional : Mual/muntah paling
menurunkan kemampuan dan efek
samping psikologis kemoterapi yang
menimbulkan stress.
4.
Sajikan makanan selagi hangat.
Rasional : Dengan sajian makanan hangat
lebih mengurangi mual.
5.
Dorong pasien untuk makan sedikit tapi
sering.
Rasional : Kebutuhan sehari-hari dapat
terpenuhi dengan baik.
Setelah dilakukan askep selama 3 Konrol infeksi :
x 24 jam tidak terdapat faktor 1. Kaji adanya tanda-tanda infeksi.
risiko infeksi pada klien
Rasional : Untuk memudahkan
dibuktikan dengan status imune
memberikan intervensi kepada pasien.
klien adekuat: bebas dari gejala 2. Monitor tanda-tanda vital.
infeksi, angka lekosit normal (4Rasional : Merupakan tanda adanya
11.000 )
infeksi apabila terjadi peradangan.
3. Kolaborasi medis dengan pemberian
antibiotik.
Rasional : Antibiotik dapat mencegah

sekaligus membunuh kuman penyakit


untuk berkembang biak

D.

IMPLEMENTASI
Implementasi / pelaksanaan pada klien dengan gangguan THT : kanker Nasofaring + Post Tracheostomy
dilaksanakan sesuai dengan perencanaan perawatan yang meliputi tindakan-tindakan yang telah direncanakan
oleh perawat maupun hasil kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya serta memperhatikan kondisi dan keadaan
klien.
E. EVALUASI
Evaluasi dilakukan setelah diberikan tindakan perawatan dengan melihat respon klien,
mengacu pada kriteria evaluasi, tahap ini merupakan proses yang menentukan sejauah mana tujuan
telah tercapai.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta

Guyton, Athur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , Edisi 9, EGC, Jakarta

Iskandar.N, 1989, Tumor Telinga-Hidung-Tenggorokan, Diagnosis dan Penatalaksanaan, Fakultas


Kedokteran Umum, Universitas Indonesia, Jakarta

NANDA International, 2001, Nursing Diagnosis Classification 2005 2006, USA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC. Jakarta.

Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.

Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.

ASKEP CA NASOFARING
I. Pengertian
Karsinoma nasofaring adalah keganasan pada nasofaring yang berasal dari epitel mukosa
nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring.
Carsinoma Nasofaring merupakan karsinoma yang paling banyak di THT. Sebagian besar
klien datang ke THT dalam keadaan terlambat atau stadium lanjut.
II. Anatomi Nasofaring.
Nasofaring letaknya tertinggi di antara bagian-bagian lain dari faring, tepatnya di sebelah
dorsal dari cavum nasi dan dihubungkan dengan cavum nasi oleh koane. Nasofaring tidak
bergerak, berfungsi dalam proses pernafasan dan ikut menentukan kualitas suara yang
dihasilkan oleh laring. Nasofaring merupakan rongga yang mempunyai batas-batas sebagai
berikut :
Atas : Basis kranii.
Bawah : Palatum mole
Belakang : Vertebra servikalis
Depan : Koane
Lateral : Ostium tubae Eustachii, torus tubarius, fossa rosenmuler (resesusfaringeus).
Pada atap dan dinding belakang Nasofaring terdapat adenoid atau tonsila faringika.
III. Etiologi
Kaitan Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama
timbulnya penyakit ini. Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa
menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator kebiasaan untuk mengkonsumsi
ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang
dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan Ca Nasofaring. Mediator yang berpengaruh
untuk timbulnya Ca Nasofaring :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.

2. Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.


3. Sering kontak dengan Zat karsinogen ( benzopyrenen, benzoantrance, gas kimia, asap
industri, asap kayu, beberapa ekstrak tumbuhan).
4. Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)
5. Radang kronis nasofaring
6. Profil HLA
IV. Tanda dan Gejala
Simtomatologi ditentukan oleh hubungan anatomic nasofaring terhadap hidung, tuba Eustachii
dan dasar tengkorak
Gejala Hidung :
Epistaksis : rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan.
Sumbatan hidung. Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam rongga
nasofaring dan menutupi koana, gejalanya : pilek kronis, ingus kental, gangguan
penciuman.
Gejala telinga
Kataralis/ oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula dofosa Rosen Muler, pertumbuhan
tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba ( berdengung, rasa penuh,
kadang gangguan pendengaran)
Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran
Gejala lanjut
Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat mencapai
kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh dan berkembang
biak hingga kelenjar membesar dan tampak benjolan dileher bagian samping, lama
kelamaan karena tidak dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot
sehingga sulit digerakkan.
V. Pembagian Karsinoma Nasofaring
Menurut Histopatologi :
Well differentiated epidermoid carcinoma.
- Keratinizing
- Non Keratinizing.
Undiffeentiated epidermoid carcinoma = anaplastic carcinoma
- Transitional
- Lymphoepithelioma.
Adenocystic carcinoma
Menurut bentuk dan cara tumbuh
Ulseratif
Eksofilik : Tumbuh keluar seperti polip.
Endofilik : Tumbuh di bawah mukosa, agar sedikit lebih tinggi dari jaringan sekitar
(creeping tumor)
VI. Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)
Tipe WHO 1
- Karsinoma sel skuamosa (KSS)
- Deferensiasi baik sampai sedang.
- Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan).
Tipe WHO 2
- Karsinoma non keratinisasi (KNK).
- Paling banyak pariasinya.
- Menyerupai karsinoma transisional
Tipe WHO 3
- Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).
- Seperti antara lain limfoepitelioma, Karsinoma anaplastik, Clear CellCarsinoma, varian sel
spindel.
- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.
Indonesia Cina
Tipe WHO 1 29% 35%
2 14% 23%
3 57% 42%
VII. Perluasan Tumor ke Jaringan Sekitar
1. Perluasan ke atas : ke N.II dan N. VI, keluhan diplopia, hipestesi pipi
2. Sindrom petrosfenoid terjadi jika semua saraf grup anterior terkena dengan gejala khas :

Neuralgia trigeminal unilateral


Oftalmoplegia unilateral
Amaurosis
Gejala nyeri kepala hebat akibat penekanan tumor pada duramater
3. Perluasan ke belakang : N.VII-N.XII, trismus, sulit menelan, hiper/hipo/anestesi palatum,faring
dan laring,gangguan respirasi dan salvias, kelumpuhan otot trapezius,
stenokleidomastoideus, hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
4. Manifestasi kelumpuhan :
N IX: kesulitan menelan akibat hemiparese otot konstriktor superior serta gangguan
pengecap pada sepertiga belakang lidah.
N X : Hiper / hipo / anestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai gangguan
respirasi dan salvias.
N XI : kelumpuhan atau atropi otot-otot trapezius, sterno kleido mastoideus, serta
hemiparese palatum mole.
N XII : hemiparese dan atropi sebelah lidah.
VIII. Penentuan Stadium :
TUMOR SIZE (T)
T
Tumor primer
T0
Tidak tampak tumor
T1
Tumor terbatas pada satu lokasi saja
T2
Tumor dterdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas pada rongga
nasofaring
T3
Tumor telah keluar dari rongga nasofaring
T4
Tumor teah keluar dari nasofaring dan telah kmerusak tulang tengkorak atau sarafsaraf otak
Tx
Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
REGIONAL LIMFE NODES (N)
N0
Tidak ada pembesaran
N1
Terdapat pembesarantetapi homolateral dan masih bisa digerakkan
N2
Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat digerakkan
N3
Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah
melekat pada jaringan sekitar
METASTASE JAUH (M)
M0
Tidak ada metastase jauh
M1
Metastase jauh
Stadium I : T1 No dan Mo
Stadium II : T2 No dan Mo
Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 dan Mo atau T3 dan No dan Mo
Stadium IV : T4 dan No/N1 dan Mo atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan Mo atau T1/T2/T3/t4
dan No/N1/N3/N4 dan M1
IX. Pemeriksaan Penunjang
Nasofaringoskopi
a. Rinoskopi posterior dengan atau tanpa kateter
b. Biopsi multiple
c. Radiologi :Thorak PA, Foto tengkorak, Tomografi, CT Scan, Bone scantigraphy (bila dicurigai
metastase tulang)
d. Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan tumor kejaringan sekitar yang
menyebabkan penekanan atau infiltrasi kesaraf otak, manifestasi tergantung dari saraf
yang dikenai.
X. Penatalaksanaan
a. Radioterapi : hal yang perlu dipersiapkan adalah KU pasien baik, hygiene mulut, bila ada
infeksi mulut diperbaiki dulu.
b. Kemoterapi
c. Pembedahan
XI. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL

1. Nyeri akut b/d agen injuri fisik (pembedahan).


2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan pemasukan
nutrisi..
3. Risiko infeksi b/d tindakan infasive, imunitas tubuh menurun
4. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b/d misintepretasi informasi,
ketidak familiernya sumber informasi.
5. Harga diri Rendah b/d perubahan perkembangan penyakit, pengobatan penyakit.
XII. PERENCANAAN
No Diagnosa
1

Nyeri akut

Tujuan

Intervensi

Setelah dilakukan askep


selama 3 x 24
jam tingkat
kenyamanan klien
meningkat, dan
dibuktikan dengan level
nyeri: klien dapat
melaporkan nyeri pada
petugas, frekuensi nyeri,
ekspresi wajah, dan
menyatakan
kenyamanan fisik dan
psikologis, TD 120/80
mmHg, N: 60-100 x/mnt,
RR: 16-20x/mnt
Control
nyeri dibuktikan dengan
klien melaporkan gejala
nyeri dan control nyeri.

Manajemen nyeri :
1. Lakukan pegkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi.
2. Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan.
3. Gunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri klien
sebelumnya.
4. Kontrol faktor lingkungan yang
mempengaruhi nyeri seperti
suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan.
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
6. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologis/non
farmakologis)..
7. Ajarkan teknik non farmakologis
(relaksasi, distraksi dll) untuk
mengetasi nyeri..
8. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
9. Evaluasi tindakan pengurang
nyeri/kontrol nyeri.
10.Kolaborasi dengan dokter bila
ada komplain tentang pemberian
analgetik tidak berhasil.
11.Monitor penerimaan klien
tentang manajemen nyeri.
Administrasi analgetik :.
1. Cek program pemberian
analogetik; jenis, dosis, dan
frekuensi.
2. Cek riwayat alergi..
3. Tentukan analgetik pilihan, rute
pemberian dan dosis optimal.
4. Monitor TTV sebelum dan
sesudah pemberian analgetik.
5. Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri muncul.
6. Evaluasi efektifitas analgetik,

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

Setelah dilakukan askep selama


324 jam klien
menunjukan status nutrisi
adekuat dibuktikan dengan BB
stabil tidak terjadi mal nutrisi,
tingkat energi adekuat,
masukan nutrisi adekuat

Risiko infeksi

Setelah dilakukan askep


selama 3 x 24 jam tidak
terdapatfaktor risiko
infeksi pada klien
dibuktikan dengan status
imune klien adekuat:
bebas dari gejala infeksi,
angka lekosit normal (411.000),

tanda dan gejala efek samping.


Manajemen Nutrisi
1. kaji pola makan klien
2. Kaji adanya alergi makanan.
3. Kaji makanan yang disukai oleh klien.
4. Kolaborasi dg ahli gizi untuk penyediaan
nutrisi terpilih sesuai dengan kebutuhan
klien.
5. Anjurkan klien untuk meningkatkan
asupan nutrisinya.
6. Yakinkan diet yang dikonsumsi
mengandung cukup serat untuk
mencegah konstipasi.
7. Berikan informasi tentang kebutuhan
nutrisi dan pentingnya bagi tubuh klien.
Monitor Nutrisi
1. Monitor BB setiap hari jika
memungkinkan.
2. Monitor respon klien terhadap situasi
yang mengharuskan klien makan.
3. Monitor lingkungan selama makan.
4. Jadwalkan pengobatan dan tindakan
tidak bersamaan dengan waktu klien
makan.
5. Monitor adanya mual muntah.
6. Monitor adanya gangguan dalam proses
mastikasi/input makanan misalnya
perdarahan, bengkak dsb.
7. Monitor intake nutrisi dan kalori.
Konrol infeksi :
1. Bersihkan lingkungan setelah
dipakai pasien lain.
2. Pertahankan teknik isolasi.
3. Batasi pengunjung bila perlu.
4. Intruksikan kepada keluarga
untuk mencuci tangan saat
kontak dan sesudahnya.
5. Gunakan sabun anti miroba
untuk mencuci tangan.
6. Lakukan cuci tangan sebelum
dan sesudah tindakan
keperawatan.
7. Gunakan baju dan sarung tangan
sebagai alat pelindung.
8. Pertahankan lingkungan yang
aseptik selama pemasangan alat.
9. Lakukan perawatan luka dan
dresing infus setiap hari.
10.Tingkatkan intake nutrisi.
11.berikan antibiotik sesuai
program.
Proteksi terhadap infeksi
1. Monitor tanda dan gejala infeksi
sistemik dan lokal.
2. Monitor hitung granulosit dan
WBC.
3. Monitor kerentanan terhadap
infeksi..

Kurang
pengetahuan
tentang penyakit
dan perawatan nya

Harga diri rendah

Setelah dilakukan askep


selama 324 jam,
pengetahuan klien
meningkat.
Knowledge : Illness Caredg
kriteria :
1 Tahu Diitnya
2 Proses penyakit
3 Konservasi energi
4 Kontrol infeksi
5 Pengobatan
6 Aktivitas yang dianjurkan
7 Prosedur pengobatan
8 Regimen/aturan pengobatan
9 Sumber-sumber kesehatan
10.Manajemen penyakit

Setelah dilakukan askep selama


324 jam klien menerima
keadaan dirinya
Dengan criteria :

4. Pertahankan teknik aseptik untuk


setiap tindakan.
5. Pertahankan teknik isolasi bila
perlu.
6. Inspeksi kulit dan mebran
mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase.
7. Inspeksi kondisi luka, insisi
bedah.
8. Ambil kultur jika perlu
9. Dorong masukan nutrisi dan
cairan yang adekuat.
10.Dorong istirahat yang cukup.
11.Monitor perubahan tingkat
energi.
12.Dorong peningkatan mobilitas
dan latihan.
13.Instruksikan klien untuk minum
antibiotik sesuai program.
14.Ajarkan keluarga/klien tentang
tanda dan gejala infeksi.
15.Laporkan kecurigaan infeksi.
16.Laporkan jika kultur positif.
Teaching : Dissease Process
1. Kaji tingkat pengetahuan klien dan
keluarga tentang proses penyakit
2. Jelaskan tentang patofisiologi penyakit,
tanda dan gejala serta penyebab yang
mungkin
3. Sediakan informasi tentang kondisi klien
4. Siapkan keluarga atau orang-orang yang
berarti dengan informasi tentang
perkembangan klien
5. Sediakan informasi tentang diagnosa klien
6. Diskusikan perubahan gaya hidup yang
mungkin diperlukan untuk mencegah
komplikasi di masa yang akan datang
dan atau kontrol proses penyakit
7. Diskusikan tentang pilihan tentang terapi
atau pengobatan
8. Jelaskan alasan dilaksanakannya tindakan
atau terapi
9. Dorong klien untuk menggali pilihanpilihan atau memperoleh alternatif
pilihan
10. Gambarkan komplikasi yang mungkin
terjadi
11. Anjurkan klien untuk mencegah efek
samping dari penyakit
12. Gali sumber-sumber atau dukungan yang
ada
13. Anjurkan klien untuk melaporkan tanda
dan gejala yang muncul pada petugas
kesehatan
14. kolaborasi dg tim yang lain.
PENINGKATAN HARGA DIRI
1. Monitor pernyataan pasien tentang harga
diri
2. Anjurkan pasien utuk mengidentifikasi

Mengatakan penerimaan diri


& keterbatasan diri
Menjaga postur yang
terbuka
Menjaga kontak mata
Komunikasi terbuka
Menghormati orang lain
Secara seimbang dapat
berpartisipasi dan
mendengarkan dalam
kelompok
Menerima kritik yang
konstruktif
Menggambarkan
keberhasilan dalam
kelompok social
Menggambarkan
kebanggaan terhadap diri

kekuatan
3. Anjurkan kontak mata jika berkomunikasi
dengan orang lain
4. Bantu pasien mengidentifikasi respon
positif dari orang lain.
5. Berikan pengalaman yang meningkatkan
otonomi pasien.
6. Fasilitasi lingkungan dan aktivitas
meningkatkan harga diri.
7. Monitor frekuensi pasien mengucapkan
negatif pada diri sendiri.
8. Yakinkan pasien percaya diri dalam
menyampaikan pendapatnya
9. Anjurkan pasien untuk tidak mengkritik
negatif terhadap dirinya
10. Jangan mengejek / mengolok olok
pasien
11. Sampaikan percaya diri terhadap
kemampuan pasien mengatasi situasi
12. Bantu pasien menetapkan tujuan yang
realistik dalam mencapai peningkatan
harga diri.
13. Bantu pasien menilai kembali persepsi
negatif terhadap dirinya.
14. Anjurkan pasien untuk meningkatkan
tanggung jawab terhadap dirinya.
15. Gali alasan pasien mengkritik diri sendiri
16. Anjurkan pasien mengevaluasi
perilakunya.
17. Berikan reward kepada pasien terhadap
perkembangan dalam pencapaian tujuan
18. Monitor tingkat harga diri

DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Guyton, Athur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , Edisi 9, EGC, Jakarta
Iskandar.N, 1989, Tumor Telinga-Hidung-Tenggorokan, Diagnosis dan Penatalaksanaan, Fakultas
Kedokteran Umum, Universitas Indonesia, Jakarta
Joanne C.Mc Closkey. 1996. Nursing intervention classification (NIC). Mosby year book. St. Louis
Marion Johnon,dkk. 2000. Nursing outcome classification (NOC). Mosby year book. St. Louis
Marjory godon,dkk. 2000. Nursing diagnoses: Definition & classification 2001-2002. NANDA
NANDA International, 2001, Nursing Diagnosis Classification 2005 2006, USA

Anda mungkin juga menyukai