1.
HASIL PENGAMATAN
Tinggi media
awal (cm)
2
1,5
2,9
2
1,5
Berdasarkan hasil pengamatan yang didapatkan dari percobaan yang sudah dilakukan
didapatkan bahwa pada kelompok B1 memiliki tinggi media awal 2 cm, nata de coco
yang dihasilkan pada hari ke-0 memiliki tinggi ketebalan 0 cm, pada hari ke-7 memiliki
tinggi ketebalan 0,3 cm, dan pada hari ke-14 memiliki tinggi ketebalan 0,8 cm, serta
persentase lapisan nata yang dihasilkan pada hari ke-0 yaitu 0%, pada hari ke-7 yaitu
15%, dan pada hari ke-14 yaitu 40%. Kelompok B2 memiliki tinggi media awal 1,5 cm,
nata de coco yang dihasilkan pada hari ke-0 memiliki tinggi ketebalan 0 cm, pada hari
ke-7 memiliki tinggi ketebalan 0,5 cm, dan pada hari ke-14 memiliki tinggi ketebalan
0,6 cm, serta persentase lapisan nata yang dihasilkan pada hari ke-0 yaitu 0%, pada hari
ke-7 yaitu 33,33%, dan pada hari ke-14 yaitu 40%. Kelompok B3 memiliki tinggi media
awal 2,9 cm, nata de coco yang dihasilkan pada hari ke-0 memiliki tinggi ketebalan 0
cm, pada hari ke-7 memiliki tinggi ketebalan 0,3 cm, dan pada hari ke-14 memiliki
tinggi ketebalan 0,5 cm, serta persentase lapisan nata yang dihasilkan pada hari ke-0
yaitu 0%, pada hari ke-7 yaitu 10,34%, dan pada hari ke-14 yaitu 17,24%. Kelompok
B4 memiliki tinggi media awal 2 cm, nata de coco yang dihasilkan pada hari ke-0
memiliki tinggi ketebalan 0 cm, pada hari ke-7 memiliki tinggi ketebalan 0,4 cm, dan
pada hari ke-14 memiliki tinggi ketebalan 0,5 cm, serta persentase lapisan nata yang
dihasilkan pada hari ke-0 yaitu 0%, pada hari ke-7 yaitu 20%, dan pada hari ke-14 yaitu
25%. Kelompok B5 memiliki tinggi media awal 1,5 cm, nata de coco yang dihasilkan
pada hari ke-0 memiliki tinggi ketebalan 0 cm, pada hari ke-7 memiliki tinggi ketebalan
0,5 cm, dan pada hari ke-14 memiliki tinggi ketebalan 0,8 cm, serta persentase lapisan
nata yang dihasilkan pada hari ke-0 yaitu 0%, pada hari ke-7 yaitu 33,33%, dan pada
hari ke-14 yaitu 53,33%. Persentase lapisan nata pada hari ke-7 tertinggi didapatkan
kelompok B2 dan B5 yaitu 33,33% dan terendah didapatkan kelompok B3 yaitu
10,34%. Persentase lepisan nata pada hari ke-14 tertinggi didapatkan kelompok B5
yaitu 53,33% dan terendah didapatkan kelompok B3 yaitu 17,24%.
.
2.
PEMBAHASAN
Salah satu produk fermentasi yaitu nata de coco dapat berasal dari substrat cair yang
memiliki kandungan gula serta asam yang berbentuk seperti gel yang mengapung di
permukaan medium (Hayati, 2003). Nata de coco difermentasi menggunakan bakteri
Acetobacter xylinum. Nata sendiri adalah suatu selulosa putih transparan, berbentuk
padat, dan
bertekstur kenyal. Nata de coco memiliki kadar air yang tinggi serta
yang tinggi. Minuman instan dari nata de coco dihasilkan dengan menggunakan metode
pengeringan. Untuk Dalam meningkatkan kecepatan pengeringan dan meningkatkan
volume bahan maka digunakan pengisi dekstrin. CMC digunakan sebagai stabilizer
terhadap produk. Penambahan dekstrin dan CMC akan meningkatkan kualitas minuman
instan nata de coco menjadi baik (Santosa et al., 2012). Beberapa tahap dalam
pembuatan nata de coco antara lain persiapan dari bahan serta alat, pemeliharaan dari
biakan murni yang akan digunakan yaitu Acetobacter xylinum, pembuatan kultur starter,
tahap fermentasi, tahap pemanenan, tahap pengolahan, serta tahap pengemasan
(Palungkun, 1996).
Dalam produksi nata de coco, terutama yang diproduksi dalam industri komersial, air
kelapa adalah bahan yang sering dipakai. Air kelapa mempunyai keunggulan seperti
harganya cukup terjangkau, minimalnya potensi kontaminasi sebab air kelapa adalah
produk alami, dan ketersediaan dari air kelapa cukup melimpah. Kandungan nutrisi
yang terdapat di air kelapa akan mengoptimalkan produksi bakteri selulosa Acetobacter
(Palungkun, 1996). Proses pembuatan produk nata de coco pada praktik ini diawali
dengan pembuatan media yakni dengan air kelapa disaring guna memisahkan kotoran
serta cemaran yang ada. Lalu air kelapa dipanaskan, ditambah 10 % gula pasir, lalu
diaduk hingga larut. Ada pemanasan akan berguna untuk meminimalkan kontaminasi
dari mikroorganisme yang dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan Acetobacter
xylinum. Adanya gula yang ditambahkan agar mengoptimalkan kondisi bagi
pertumbuhan Acetobacter xylinum. Gula akan menjadi sumber karbon yang bersifat
organik bagi Acetobacter xylinum sehingga tenunan selulosa dapat dihasilkan (Figini,
1982). Konsentrasi gula yang berlebihan akan menurunkan keoptimalan Acetobacter
xylinum. Gula juga dapat berfungsi mengkontribusi tekstur, memberikan flavor,
mengawetkan, serta memperbaiki penampakan. Sumber karbon seperti manosa, laktosa,
serta maltosa juga dapat memberikan keoptimalan Acetobacter xylinum (Hayati, 2003).
Kemudian setelah ditambah gula, ditambah 0,5% ammonium sulfat. Adanya ammonium
sulfat selain untuk sember karbon juga berfungsi untuk menghilangkan senyawa yang
bersifat pengotor yang memiliki potensi sebagai kontaminan. Ammonium sulfat juga
berfungsi untuk sumber nitrogen yang bersifat anorganik bagi Acetobacter xylinum
(Rahman, 1992).
Ada sumber nitrogen lain yang dapat digunakan seperti ammonium fosfat, ekstrak yeast,
dan urea. Ammonium fosfat apabila digunakan juga memiliki keuntungan seperti dapat
menghambat pertumbuhan dari bakteri Acetobacter aceti yang merupakan kompetitor
bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum (Pambayun, 2002). Setelah itu ditambah asam
cuka glasial hingga pH mencapai 4 sampai 5. Asam cuka glasial yang ditambahkan
berfungsi mengatur keasaman dari pH untuk membantu pertumbuhan Acetobacter
xylinum. Acetobacter xylinum mampu tumbuh dalam rentang pH 3,5 sampai 7,5.
Acetobacter xylinum akan lebih optimum tumbuh pada suasana asam di pH 4,3. Apabila
pH terlalu rendah Acetobacter xylinum tidak dapat untuk tumbuh karena dapat
menghentikan aktivitas proses fermentasi akibat energi yang berlebihan. Fermentasi
statis menggunakan media air kelapa akan menghasilkan selulosa pada permukaan serta
produksinya akan lebih optimal apabila dilakukan pada pH 4 sampai 5 (Rahman, 1992).
Kemudian dipanaskan kembali sampai mendidih serta hingga semuanya larut lalu
disaring. Proses pemanasan kembali ini juga berfungsi menghilangkan mikroorganisme
penyebab kontaminasi dan juga memudahkan gula pasir untuk larut. Proses fermentasi
akan menjadi terhambat serta akan menghasilkan selaput yang tebal apabila gula tidak
larut. Gula yang tidak larut juga akan sulit untuk diserap oleh bakteri (Atlas, 1984).
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
Keterangan: (a). Penyaringan, (b). Pemanasan awal, (c). Penambahan gula, (d).
Pengadukan, (e). Penambahan ammonium sulfat, (f). Penambahan asam cuka glasial,
(g). Pengukuran pH, (h). Pemanasan kedua, dan (i). Penyaringan.
Setelah itu dilanjutkan dengan proses fermentasi yakni dengan media steril diambil 100
ml lalu dimasukkan ke wadah plastik bersih serta ditutup rapat. Kemudian biang nata
atau starter ditambahkan 10% dari media ke wadah dengan cara aseptis. Hal yang
dilakukan sesuai dengan teori karena dalam pembuatan nata, starter yang ditambahkan
berkisar 4% sampai 10%. Aseptis dilakukan agar tercipta keadaan steril pada semua
praktik yang dilakukan serta agar meniminalkan terjadinya kontaminasi. Aseptis adalah
salah satu cara untuk mencegah tercemarnya biakan yang ada serta menghindarkan
infeksi diri dari bakteri yang merugikan (Atlas, 1984). Setelah itu dengan perlahan
diaduk agar stater secara homogen tercampur lalu ditutup dengan menggunakan kertas
coklat. Ini dilakukan karena bakteri Acetobacter xylinum dalam pertumbuhannya
membutuhkan oksigen (bakteri aerobik). Oksigen yang ada tidak boleh kontak atau
bersentuhan langsung pada permukaan substrat. Adanya kertas coklat yang digunakan
untuk menutupi juga berfungsi agar nata terlindung dari kontaminasi yang berasal dari
lingkungan (Palungkun, 1996). Kemudian dilakukan inkubasi 2 minggu di dalam suhu
ruang. Wadah palstik jangan digoyangkan selama proses inkubasi agar tidak terpisahpisah lapisan nata yang telah terbentuk. Inkubasi akan memberikan waktu pada
Acetobacter xylinum untuk beraktivitas dan menciptakan kondisi optimum bagi
pertumbuhan Acetobacter xylinum. Inkubasi di dalam suhu ruang ini juga akan
mengoptimumkan fermentasi produk nata de coco karena suhu ruang merupakan suhu
yang optimum (berkisar 28oC sampai 30oC). Selain itu di dalam suhu ruang Acetobacter
xylinum juga mampu tumbuh (Rahman, 1992).
Pertumbuhan bakteri akan terhambat apabila suhu yang digunakan diatas atau terlalu
tinggi (diatas 40oC), bahkan bakteri akan terbunuh. Apabila terlalu rendah suhu inkubasi
yang digunakan akan membuat lunaknya tekstur dari nata bahkan lapisan nata tidak
akan terbentuk (Figini, 1982). Nata de coco yang terbentuk diamati mulai dari lapisan
pada permukaan cairan yang terbentuk. Di hari ke-7 dan hari ke-14 ketebalan dari
lapisan nata de coco juga diamati dan persentase kenaikan ketebalan juga dihitung.
Lapisan nata akan terbentuk dan berada di atas media karena fermentasi dari nata de
coco akan menghasilkan CO2. CO2 cenderung melekat pada selulosa sehingga membuat
jaringan akan terangkat ke atas. Lapisan putih atau lapisan nata yang terbentuk
merupakan akhir dari proses fermentasi nata de coco. Lapisan putih terbentuk diawali
dari pembentukan miofibril yang panjang dari glukosa karena adanya komponen
selulosa (Figini, 1982). Gas karbondioksida akan dihasilkan serta akan mengangkat
lapisan nata. Akan tumbuh mikroorganisme setelah proses fermentasi berakhir pada
media serta akan membentuk lembaran atau benang-benang selulosa yang kemudian
akan memadat, memiliki warna putih atau berwarna transparan (Rahman, 1992).
Kemudian nata yang telah jadi dicuci menggunakan air mengalir lalu dimasak
menggunakan air gula. Nata yang dicuci berfungsi agar asamnya hilang. Selain itu,
pemasakan dengan air gula juga berfungsi menghilangkan asam dan memberikan rasa
manis pada nata (Pambayun, 2002). Nata yang telah dimasak, diuji secara sensori
meliputi warna, rasa, aroma, serta tekstur. Namun dalam praktik kali ini tidak ada uji
sensori karena nata de coco yang dibuat tidak terbentuk (tidak jadi, nata yang terbentuk
ada yang pecah).
(j)
(k)
(l)
(m)
Keterangan: (j). Pengambilan media, (k). Media dituang ke wadah, (l). Penambahan
biang nata, dan (m). Proses inkubasi.
Berdasarkan hasil pengamatan pada kelompok B1 memiliki tinggi media awal 2 cm,
nata de coco yang dihasilkan pada hari ke-0 memiliki tinggi ketebalan 0 cm, pada hari
ke-7 memiliki tinggi ketebalan 0,3 cm, dan pada hari ke-14 memiliki tinggi ketebalan
0,8 cm, serta persentase lapisan nata yang dihasilkan pada hari ke-0 yaitu 0%, pada hari
ke-7 yaitu 15%, dan pada hari ke-14 yaitu 40%. Kelompok B2 memiliki tinggi media
awal 1,5 cm, nata de coco yang dihasilkan pada hari ke-0 memiliki tinggi ketebalan 0
cm, pada hari ke-7 memiliki tinggi ketebalan 0,5 cm, dan pada hari ke-14 memiliki
tinggi ketebalan 0,6 cm, serta persentase lapisan nata yang dihasilkan pada hari ke-0
yaitu 0%, pada hari ke-7 yaitu 33,33%, dan pada hari ke-14 yaitu 40%. Kelompok B3
memiliki tinggi media awal 2,9 cm, nata de coco yang dihasilkan pada hari ke-0
memiliki tinggi ketebalan 0 cm, pada hari ke-7 memiliki tinggi ketebalan 0,3 cm, dan
pada hari ke-14 memiliki tinggi ketebalan 0,5 cm, serta persentase lapisan nata yang
dihasilkan pada hari ke-0 yaitu 0%, pada hari ke-7 yaitu 10,34%, dan pada hari ke-14
yaitu 17,24%. Kelompok B4 memiliki tinggi media awal 2 cm, nata de coco yang
dihasilkan pada hari ke-0 memiliki tinggi ketebalan 0 cm, pada hari ke-7 memiliki
tinggi ketebalan 0,4 cm, dan pada hari ke-14 memiliki tinggi ketebalan 0,5 cm, serta
persentase lapisan nata yang dihasilkan pada hari ke-0 yaitu 0%, pada hari ke-7 yaitu
20%, dan pada hari ke-14 yaitu 25%. Kelompok B5 memiliki tinggi media awal 1,5 cm,
nata de coco yang dihasilkan pada hari ke-0 memiliki tinggi ketebalan 0 cm, pada hari
ke-7 memiliki tinggi ketebalan 0,5 cm, dan pada hari ke-14 memiliki tinggi ketebalan
0,8 cm, serta persentase lapisan nata yang dihasilkan pada hari ke-0 yaitu 0%, pada hari
ke-7 yaitu 33,33%, dan pada hari ke-14 yaitu 53,33%. Persentase lapisan nata pada hari
ke-7 tertinggi didapatkan kelompok B2 dan B5 yaitu 33,33% dan terendah didapatkan
kelompok B3 yaitu 10,34%. Persentase lepisan nata pada hari ke-14 tertinggi
didapatkan kelompok B5 yaitu 53,33% dan terendah didapatkan kelompok B3 yaitu
17,24%.
(n)
Keterangan: (n). Hasil pengamatan ketebalan nata de coco, pada deret atas pengamatan
pada hari ke-7 dan pada deret bawah pengamatan pada hari ke-14, dari kiri ke kanan
kelompok B1, B2, B3, B4, dan B5.
Nata yang baik memiliki tranparansi yang tinggi, selolusa gel yang terbentuk homogen,
dan memiliki ketinggian yang optimal antara 1,5 cm sampai 2 cm. Nata yang kurang
baik memiliki ketinggian kurang dari 0,5 cm serta memiliki warna putih pucat. Ini
terjadi jika kandungan oksigen yang ada dalam nata kurang yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum (Hayati, 2003). Dari hasil pengamatan, tinggi
ketebalan nata masing-masing kelompok juga mengalami peningkatan baik pada hari
ke-7 hingga hari ke-14. Semakin lama waktu inkubasi yang digunakan maka lapisan
nata de coco yang terbentuk akan semakin tebal. Sumber karbon, suhu, tingkat
keasaman, dan umur kelapa adalah faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan
nata. Nata yang terbentuk juga karena pertumbuhan Acetobacter xylinum tidak
terganggu oleh mikroba penyebab kontaminasi. Waktu dan tingkat populasi inokulum
juga berpengaruh terhadap ketebalan lapisan nata selama fermentasi (Rahman, 1992).
10
Pada kelompok B1 dan B3 memiliki tinggi media awal yang berbeda namun memiliki
ketebalan nata yang sama pada hari ke-7. Ini dapat disebabkan terdapatnya mikroba
pada media yang dapat menghambat dan membuat tidak optimalnya aktivitas
fermentasi. Media awal yang tinggi seharusnya membuat ketebalan nata yang diperoleh
meningkat. Substrat yang terbatas juga dapat membuat produksi selulosa terhambat.
Selain itu, koefisien oksigen yang terdifusi akan membuat pelikel (serat-serat dengan
bentuk seperti jaringan yang terdapat pada lapisan permukaan antara cairan dan udara)
selulosa menjadi tidak aktif (Figini, 1982). Nata yang tidak terbentuk dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain suplai oksigen yang kurang, nutrient yang kurang, kurang
sesuainya dalam pembuatan, serta adanya gangguan selama di dalam proses inkubasi.
Kurang sesuainya media fermentasi yang dibuat seperti media yang terlalu pekat akan
menghambat menyebabkan pembentukan selulosa karena tekanan osmosis yang
meningkat. Tekanan osmosis membuat sel bakteri terjadi lisis (Atlas, 1984). Lapisan
nata yang terbentuk akan tenggelam apabila terdapat gangguan selama di dalam proses
inkubasi. Masih dapat terbentuk lapisan nata yang baru apabila keadaan memungkinkan.
Wadah plastik yang digunakan juga mempengaruhi ketinggian nata yang terbentuk.
Semakin dangkal dan luas wadah yang digunakan maka semakin tinggi lapisan nata
yang terbentuk. Ini dapat terjadi karena suplai oksigen yang cukup dapat merata pada
permukaan lapisan nata (Hayati, 2003). Wadah plastik yang digunakan tiap kelompok
berbeda jenis serta ukurannya sehingga mempengaruhi perbedaan tinggi nata yang
didapat.
Dalam praktik ini tidak dilakukan uji sensori terhadap nata de coco. Nata de coco pada
umumnya memiliki karakteristik sensori seperti terdapat aroma yang asam akibat
adanya penambahan asam cuka glasial. Namun aroma asam tersebut dapat dihilangkan
melalui pencucian. Asam dari nata de coco juga terbentuk karena oksidasi dari gula
menjadi asam asetat selama fermentasi. Nata de coco pada umumnya memiliki warna
putih. Warna putih ini dapat dihasilkan karena Acetobacter xylinum mendegradasi
substrat (Palungkun, 1996). Rekasi warna dari nata de coco juga terbentuk dari adanya
gula yang akan masuk ke jaringan serat-serat selulosa, reaksi Acetobacter xylinum
dengan air kelapa dalam fermentasi, serta adanya nitrogen yang terlarut. Nata de coco
umumnya memiliki tekstur yang kenyal karena kandungan selulosa. Nata akan semakin
11
kenyal apabila kandungan selulosa serta serat kasarnya tinggi. Serat kasar terbentuk
oleh aktivitas Acetobacter xylinum saat metabolisme senyawa glukosa menjadi selulosa.
Asam cuka glasial yang berlebihan ketika ditambahkan akan menyebabkan tekstur nata
de coco menurun. Nata de coco umumnya memiliki rasa yang manis karena larutan gula
yang ditambahkan (Pambayun, 2002).
12
3.
KESIMPULAN
yang terbentuk.
Nata yang tidak terbentuk dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suplai
oksigen yang kurang, nutrient yang kurang, kurang sesuainya dalam pembuatan,
Asisten Dosen,
-Wulan A. D.
-Nies Mayangsari
13
14
4.
DAFTAR PUSTAKA
5.
LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Rumus:
Persentase Lapisan Nata =
Kelompok B1
0
x 100% = 0 %
1
0,3
x 100% = 15 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
2
H14 Persentase Lapisan Nata = 0,8 x 100% = 40 %
2
Kelompok B2
0
x 100% = 0 %
1
Kelompok B3
0
x 100% = 0 %
1,2
0,3
x 100% = 10,34 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
2,9
H14 Persentase Lapisan Nata = 0,5 x 100% = 17,24 %
2,9
Kelompok B4
0
x 100% = 0 %
1
0,4
x 100% = 20 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
2
15
16
0
x 100% = 0 %
1
0,5
x 100% = 33,33 %
1,5
H14 Persentase Lapisan Nata = 0,8 x 100% = 53,33 %
1,5