Makalah Alergi Obat Reg
Makalah Alergi Obat Reg
PENDAHULUAN
Seiring dengan munculnya obat-obat baru dalam upaya diagnosis dan tata laksana
penyakit, maka akan terjadi juga peningkatan angka kejadian reaksi simpang obat.
Reaksi simpang obat adalah respons yang tidak diinginkan atau diharapkan pada
pemberian obat dalam dosis terapi, diagnosis, atau profilaksis. Sebagian besar reaksi
simpang obat tidak memiliki komponen alergi. Reaksi alergi obat adala reaksi
simpang obat melalui mekanisme reaksi imunologi. Diperkirakan sekitar 6-10% dari
reaksi simpang obat merupakan reaksi alergi obat.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi
Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau
metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi
hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat
masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse drug reaction),
yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi
obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan kelebihan dosis
obat. Efek samping obat adalah efek obat selain khasiat utama yang timbul
karena sifat farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi
adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi
obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang
tidak diketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat
farmakologi, timbul karena proses non imunologi. Sedangkan alergi obat
adalah respon abnormal terhadap obat atau metabolitnya melalui reaksi
imunologi.
2. Patofisiologi
Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan
menjadi 4 tipe menurut Gell dan Coombs. Alergi obat dapat terjadi melalui
mekanisme ke-4 tipe tersebut . Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah
IgE pada penderita atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I
(anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian
diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah reaksi
hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respons
imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV
merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui
pembentukan IgE (non IgE-mediated).Perlu diingat bahwa dapat saja terjadi
alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam obat
secara bersamaan. Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan
IV. Sedangkan alergi obat melalui mekanisme tipe II dan tipe III umumnya
merupakan bagian dari kelainan hematologik atau penyakit autoimun.
Mekanisme reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs
Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4 mekanisme hipersensitifitas Gell dan
Coomb, yaitu :
Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau metabolitnya
berinteraksi membentuk antibodi IgE yang spesifik dan berikatan dengan sel
mast di jaringan atau sel basofil di sirkulasi. Reaksi tipe I merupakan
hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan menyebabkan reaksi
seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa urtikaria, edema
laring, wheezing dan kolaps kardiorespiratorius. Penyebab umum adalah
molekul biologis dan beberapa obat, seperti penisilin dan insulin.
Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM yang
mengenali antigen obal di membran sel. Dengan adanya komplemen serum,
maka sel yang dilapisi antibodiakan dibersihkan atau dihancurkan oleh sistem
monosit-makrofag. Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi
oleh kompleks komplemen dengan antibodi sitotoksik IgM atau IgG. Reaksi
ini terjadi sebagai respon terhadap obat yang mengubah membran permukaan
sel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh
metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh
kuinidin. Obat lain yang bekerja melalui mekanisme ini antara lain
sefalosporin, sulfonamida dan rifampisin.
Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari obat
atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG. Pada reaksi tipe III terdapat
periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul, yaitu periode yang
dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi
komplemen. Reaksi terkadang baru timbul setelah obat dihentikan. Reaksi
tersebut dapat pula berupa reaksi setempat yang dikenal sebagai reaksi Arthus.
Terdapat pembengkakan dan kemerahan setempat pada tempat antigen berada,
misalnya pada vaksinasi. Reaksi setempat ini terjadi oleh karena penderita
telah mempunyai kadar antibodi yang tinggi sehingga terjadi presipitasi pada
tempat masuk antigen yang terjadi dalam waktu 2 sampai 5 jam setelah
pemberian. Manifestasi utama berupa demam, ruam, urtikaria, limfadenopati
dan artralgia. Contoh obat tersebut antara lain penisilin, salisilat, sulfonamida,
klorpromazin, tiourasil, globulin antilimfositik dan fenitoin.
Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe
IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik obat. Pada
reaksi hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi langsung dengan antigen,
misalnya pada dermatitis kontak. Obat topikal yang secara antigenik biasanya
berbentuk hapten, bila berikatan dengan protein jaringan kulit yang bersifat
sebagai karier dapat merangsang sel limfosit T yang akan tersensitisasi dan
berproliferasi. Pada pajanan berikutnya, sel T yang sudah tersensitisasi akan
teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang menarik sel radang ke tempat
antigen berada sehingga terjadi reaksi inflamasi. Contoh obat yang sering
menimbulkan reaksi tipe IV antara lain benzil alkohol, derivat merkuri,
neomisin, nikel, antibiotik topikal, krim steroid, antihistamin topikal, anestesi
lokal, serta beberapa zat aditif yang sering terdapat pada obat topikal seperti
parabens atau lanolin.
Bisa terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu
obat,namun yang tersering melalui tipe I dan IV. Jenis obat penyebab alergi
sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis penelitian yang
dilakukan. Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi
adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat lainnya yaitu
asam mefenamat, luminal, fenotiazin, fenergan, dilantin, tridion. Namun
demikian yang paling sering dihubungkan dengan alergi adalah penisilin dan
sulfa. Alergi obat biasaya tidak terjadi pada paparan pertama. Sensitisasi
Erupsi kulit
Kelaianan hematologik
pneumonitis interstisialis/alveolar, edema paru, fibrosis paru
Kelainan pulmonal
reaksi kolestasis, destruksi hepatoseluler
Kelainan hepatic
nefritis interstisialis, glomerulonefritis, sindrom nefrotik
Kelainan renal
Penyakit serum
Demam obat
Vaskulitis sistemik
Limfadenopati
Demam dapat merupakan gejala tunggal alergi obat, atau bersama gejala klinis
lain, yang timbul beberapa jam setelah pemberian obat (tetapi biasanya pada
hari ke 7-10), dan menghilang dalam waktu 48 jam setelah penghentian obat
atau sampai beberapa hari kemudian. Diduga demam terjadi akibat pelepasan
mediator sitokin. Beberapa jenis obat diduga dapat bersifat pirogen langsung,
misalnya amfoterisin B, simetidin, dekstran besi, kalsium, dan dimerkaprol.
Mekanismenya sampai saat ini belum jelas. Pada anak, epinefrin dapat
menimbulkan demam karena bersifat vasokonstriktor yang menghambat
pengeluaran panas tubuh. Demikian juga pemberian atropin (termasuk tetes
mata) serta fenotiazin dapat menimbulkan demam dengan menghambat
pembentukan keringat. Beberapa jenis obat seperti alopurinol, azatioprin,
barbiturat, produk darah, sefalosporin, hidroksiurea, yodida, metildopa,
penisilinamin,
penisilin,
fenitoin,
prokainamid,
dan
kuinidin,
sering
sistemik
medikamentosa,
yang
sering
vaskulitis,
dan
adalah
dapat
demam,
menjadi
lupus
lebih
eritematosus
berat
disertai
organ setempat (hati, paru, ginjal, jantung), atau kelainan sistemik seperti
lupus eritematosus sistemi
4. Diagnosis
Diagnosis alergi obat sering sulit dibuktikan walaupun dugaan sudah kuat.
Dasar diagnosis obat yang terpenting adalah anamnesis rinci tentang berbagai
hal penting. Gejala klinis umumnya tidak khas, kecuali beberapa bentuk erupsi
kulit seperti pruritus generalisata, urtikaria, erupsi fikstum, atau reaksi
anafilaksis yang memenuhi kriteria anamnesis di atas. Beberapa pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan untuk kelengkapan diagnosis, berupa uji in vivo
dan in vitro terdapat obat atau metabolitnya. Uji in vivo berupa uji kulit dan
uji provokasi. Uji in vitro terbata sebagai sarana penelitian dan bukan
merupakan prosedur rutin.
Kesulitan yang terbesar dalam membuat diagnosis adalah untuk mengetahui
apakah benar ada hubungan antara manifestasi klinis dengan pemberian obat
dan apakah gejala klinis tersebut bukan merupakan bagian dari perjalanan
penyakitnya sendiri yang sedang diobati. Diagnosis alergi obat berdasarkan
klinis dan uji laboratoris. Secara klinis yang terpenting adalah anamnesa rinci
tentang berbagai hal penting yaitu bahwa reaksi yang timbul bukan merupakan
efek farmakologi obat, biasanya terjadi beberapa hari setelah pemberian obat
(kecuali jika telah terpapar sebelumnya). Gejala klinis akan menghilang
beberapa waktu setelah penggantian obat dan gejala yang sama akan timbul
dengan pemberian ulang obat yang sama atau dengan struktur obat yang sama
Uji Laboratorium :
Uji invivo
Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu
determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat
non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas
karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan
tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi
terhadap makro molekul: insulin, antisera, ekstrak organ, sedang untuk
mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin
saja.
Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan
prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu
terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang
memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi
merupakan indikasi kontra untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis,
sindroma Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematology, eritema
vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya
tergantung dari masa paruh setiap obat.
Uji in vitro
Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian.
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi
dan lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin,uji sensitisasi jaringan
(basofil/lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan
rutin seperti IgE total dan spesifik, uji Coombs, uji komplemen dan lain-lain
bukanlah untuk konfirmasi alergi obat.
5. Penatalaksanaan dan Pengobatan
Dasar utama penatalaksanaan alergi obat adalah penghentian obat yang
dicurigai kemudian mengatasi gejala klinis yang timbul.
Penghentian obat
Kalau mungkin semua obat dihentikan dulu,kecuali obat yang memang perlu
dan tidak dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikan dengan
obat lain. Bila obat tersebut dianggap sangat penting dan tak dapat digantikan,
dapat terus diberikan atas persetujuan keluarga, dan dengan cara desensitisasi.
Pengobatan
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus.
Untuk pruritus, urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin
misalnya, diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup
luas diberikan pula adrenalin subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis
maksimum 0,3 mg/dosis. Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5
mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 34 kali/24 jam.
Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30
mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari,
4kali/hari. Bila gejala klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif,
ekrosis epidermal toksik, sindroma Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru,
membuatkan surat keterangan tentang hal tersebut yang akan sangat berguna
untuk upaya pencegahan pada semua keadaan.
Semakin sering seseorang memakai obat maka akan semakin besar pula
kemungkinan untuk timbulnya alergi obat. Jadi pemakaian obat hendaknya
dengan indikasi kuat dan bila mungkin hindari obat yang dikenal sering
memberikan sensitisasi pada kondisi tertentu (misalnya aspirin pada asma
bronkial).
BAB III
KESIMPULAN
Reaksi alergi tidak akan terjadi pada saat pertama kali menelan obat tapi harus
didahului oleh adanya sensitasi. Frekuensi reaksi alergi tergantung dari sifat kimia
obat, jumlah obat, lama pemakaian, cara pemberian, predeisposisi genetik penderita
dan pernah tidaknya seseorang menelan obat tersebutatau sejenisnya. Tidak semua
orang alergi terhadap obat. Faktor genetik dan lingkungan dapat berperan untuk
terjadinya reaksi alergi pada seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009.Alergi dan Hipersensitifitas obat Clinic for children, Yudhasmara
Foundation : Jakarta
Harsono Ariyanto, Anang E, 2006. Alergi Obat.Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya : Surabaya
Judarwanto Widodo 2009,Manifestasi klinik alergi obat. childrens ALLERGY
CLINIC : Jakarta
Kusniar Y 2003: . Skripsi Manifestasi Reaksi Alergi Terhadap Obat - obatan pada
tindakan bedah mulut : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara