Anda di halaman 1dari 13

a.

Bhakti Marga
Bhakti marga merupakan jalan untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dengan cara sujud bhakti dan menyerahkan diri secara total disertai kasih
sayang yang tulus ikhlas atas kebesaran dan kemuliaan-Nya. Karena itu bhakti marga atau
bhakti yoga dikatakan pula sebagai jalan kecintaan yang difokuskan kepada Tuhan
sepanjang waktu. Tanda-tanda luar dari bhakti dan cinta kasih itu adalah kepercayaan,
kerendahan hati dan keprihatinan (Kamajaya,1998:21). Bhakti artinya cinta kasih. Istilah
bhakti itu digunakan untuk menyatakan cinta pada sesuatu yang lebih dihormati, misalnya
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kepada Negara, ataupun kepada pribadi-pribadi
yang dihormati. Ajaran Bhakti Marga adalah ajaran yang langsung dan riil dalam rangka
mencari Tuhan. Ajaran yang mudah diterima dan dilaksanakan oleh orang awam. Ajaran
yang sejak dari permulaan, pertengahan dan akhir tetap bergerak di dalam getaran cinta
kasih oleh segala tingkat dan sifat manusia. Baik orang miskin maupun orang kaya, orang
pandai maupun orang bodoh, petani, pedagang, pegawai, pejabat, prajurit maupun seorang
raja, semua bisa menempuh jalan bhakti ini.
Bagi seorang bhakta mereka tidak perlu tahu apakah Tuhan itu tahu atau tidak tahu,
apakkah Tuhan itu kecil atau besar, kuasa atau tidak kuasa, yang penting bagi mereka
Tuhan itu ada, dan Tuhan itu adalah yang mereka cintai. Seorang bhakta mencari Tuhan
bukan karena ingin mendapat imbalan supaya masuk surga ataupun moksa. Karena bagi
mereka kebahagiaan tertinggi itu adalah berbhakti pada Tuhan. Bhakti Marga
menggunakan rasa sebagai sarana, cinta yang alamiah tetapi mencakup rasa cinta yang
mengalir seperti aliran air di sungai yang mengalir dengan deras, karena adanya kerinduan
untuk bertemu dengan lautan. Begitu pula seorang bhakta yang memiliki rasa bhakti itu
ditunjukkan dengan keikhlasan untuk berkorban dan tidak ada niat sedikitpun untuk
memperoleh hasil dan imbalan dari pengorbanannya. Bhakti memiliki pengertian yang
jauh lebih luas dibandingkan dengan persembahyangan. Bhakti merupakan landasan
filsafat melalui rasa cinta kasih yang tulus serta pengabdian yang tinggi kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa atau sebagai manifestasi-Nya atau Istadewata-Nya, sedangkan Marga
adalah jalan atau usaha dan kegiatan. Jalan bhakti akan membawa kita melihat Tuhan Yang
Maha Esa dalam berbagai konteknya, misalnya kita melihat Tuhan statusnya seperti kaya,
penguasa alam semesta, sebagai pencipta, sebagai bapa, sebagai ibu, sebagai teman dalam
hidup, sebagai penolong dalam kesusahan, sebagai pelindung dalam menghadapi mara
bahaya dalam peperangan, dan masih banyak lagi, itulah sifat dan hubungan yang dapat
kita umpamakan di dalam kaitannya dengan ajaran bhakti.

Telah dijelaskan bahwa Bhakti adalah perwujudan cinta kasih yang tulus ikhlas
kepada Tuahan yang Maha Esa. Sebagai perwujudan bhakti atau cinta yang sejati, Tuhan di
dalam doa Subhasita digambarkan sebagai ibu, bapa, sahabat terkasih, saudara tercinta,
yang pemberi pengetahuan dan pemberi kekayaan, dan Tuhan adalah segala-galanya, yang
Maha Suci, Maha Agung tidak terjangkau oleh akal dan pikiran manusia. Doa Subhacita
menyebutkan :
Tvam eva mata ca pita tvam eva
Tvam eva bandhus ca sakha tvam eva
Tvam eva vidya dravina tvam eva
Tvam eva sarva mama deva-deva
Terjemahannya :
Tuhan Engkau adalah Ibu dan Bapak saya,
Tuhan Engkau adalah keluarga dan sahabat kami,
Tuhan Engkaulah yang menganugrahkan pengetahuan dan kekayaan,
Tuhan Engkau adalah dewa dari semua dewa.
Sikap yang paling sederhana dalam kehidupan beragama adalah cinta kasih dan
pengabdian yang tulus. Tuhan Yang Maha Esa dipandang sebagai yang paling dekat dan
paling disayangi, sebagai ibu, bapak, teman, saudara, sebagai orang tua, sebagai tamu,
sebagai seorang anak. Orang yang memohon kebahagiaan rohani (Svasti), ia akan mohon
pertolongan dan rahmat-Nya.
Demikian pula dalam Bhagavadgita, Tuhan dalam wujud-Nya sebagai Sri Krisna
memberi jaminan kepada umat manusia yang bhakti, akan terpenuhi keinginannya dan
akan terlindungi miliknya. Dalam Bhagawadgita IX.22 menyebutkan :
anany cintayanto m
ye janh paryupsate
tes nitybhiyuktn
yoga-ksema
vahmy aham
Terjemahannya :
Mereka yang hanya memuja-Ku saja, tanpa memikirkan yang lainnya lagi, yang
senantiasa penuh pengabdian, kepada mereka KU-bawakan segala apa yang mereka
tidak punya dan Ku-lindungi segala apa yang mereka miliki. (Pudja.2010: 236).
Bhakti kita pada umumnya masih dalam tingkatan yang disebut Aparabhakti, yakni
pemujaan atau persembahan dan kebaktian dengan berbagai permohonan dan permohonan
itu adalah wajar karna keterbatasan pengetahuan kita tentang hakekat bhakti. Namun
demikian bhakti dan permohonan kita hendaknya yang wajar saja, tidaklah berlebihlebihan sebagaimana diamanatkan dalam berbagai mantra, misalnya Sarvaprani

hitankarah, semogalah semua mahluk sejahtera, Sarvasukhino bhavantu, semogalah


semuanya memperoleh kesukaan dan sejenisnya.
Bagi seseorang yang telah maju tingkat kerohaniannya, dalam bhakti kepada
Tuhan, maka tidaklah ia akan meminta melainkan menyerahkan diri sepenuhnya.
Penyerahan diri sepenuhnya bukanlah dalam pengertian pasif tidak mau melakukan
berbagai aktivitas, tetapi ia aktif dengan keyakinan bahwa bila bekerja dengan baik dan
tulus niscaya akan memperoleh pahala yang baik pula. Bhakti berupa penyerahan diri yang
setulusnya ini disebut Parabhakti. Atau bhakti yang luhur. Dengan demikian kita telah
mengenal dua bentuk bhakti yakni Apara Bhakti dan Parabhakti, seperti yang telah
diuraikan diatas.
Selanjutnya guna lebih meningkatkan kwalitas bhakti kita kepada Hyang Widhi,
disini diuraikan beberapa jenis bentuk bhakti yang disebut Bhavabhakti,
yaitu :
a. Santabhava, yaitu sikap bhakti seperti bhakti atau hormat seorang anak terhadap ibu dan
bapaknya, contoh seperti rasa hormat dan bhakti serta kepatuhan Sri Rama kepada
ayahnya Dasa Ratha.
b. Sakhayabhava, yaitu bentuk bhakti yang meyakini Hyang Widhi, Manifestasi-Nya,
Istadevata atau Avatara-Nya sebagai sahabat yang sangat akrab dan selalu memberi
perlindungan dan pertolongan pada saat diperlukan, contohnya adalah persahabatan
yang kental antara Arjuna dengan Sri Krisna.
c. Dasyabhava, yaitu bhakti atau pelayanan kepada Tuhan seperti sikap seorang hamba
kepada majikannya, contohnya bhakti sang Hanuman kepada Sri Rama.
d. Vatsalyabhava, yaitu seorang penyembah atau bhakta memandang Tuhan seperti
anaknya sendiri
e. Kantabhava, yaitu sikap seorang penyembah atau bhakta seperti sikap seorang istri
terhadap suaminya tercinta.
f. Madhuryabhava, yaitu bentuk bhakti sebagai cinta yang amat mendalam dan tulus dari
seorang bhakta kepada Tuhan
Bhakti marga itu dapat dikenali dengan berbagai ciri-ciri antara lain :
a. Adanya rasa bhakti itu ditunjukkan dengan keikhlasan untuk berkorban dan tidak ada
niat sedikitpun untuk memperoleh hasil atau imbalan dari pengorbanannya.
b. Adanya rasa bhakti itu melahirkan jiwa seni yang berkaitan dengan ajaran agama, seperti
dibangunnya pura yang mengagumkan, disamping itu timbul juga berbagai macam
kesenian, seperti gambelan, seni tari, seni lukis dan lain-lain.

c. Adanya rasa bhakti itu menimbulkan keinginan untuk mewujudkan Tuhan itu sendiri,
maka timbullah berbagai macam simbol. Tuhan disimbolkan sebagai Arca, Pratima dan
lain-lain. Dengan simbol-simbol itu, tidak berarti bahwa umat Hindu menyembah Arca,
Pratima dan lain-lain, tetapi sebagai simbolisasi Tuhan. Yang disembah adalah Ida Sang
Hyang Widhi Wasa yang hanya satu. Patung-patung itu hanya sebagai alat bantu untuk
membayangkan bahwa Tuhan itu memang benar ada.
d. Adanya rasa bhakti dalam upaya melenyapkan rasa benci dan amarah. Bhakti marga
pada hakekatnya adalah jalan cinta kasih, jalan kasih sayang. Cinta kasih dan kasih
sayang itu akan melenyapkan kebencian maupun kemarahan.
e. Adanya rasa bhakti dalam upaya melenyapkan rasa takut. Ketakutan adalah bukti dari
kelemahan dan keterikatan. Tetapi rasa bhakti pada Tuhan yang didasarkan kepada cinta
kasih dan kasih sayang akan melenyapkan rasa takut. Sebab dengan cinta kasih itu kita
akan merasa dilindungi oleh Tuhan.
Ajaran inilah yang mendasari ajaran tattva dimana adanya sikap penuh keyakinan
atas apa yang diperbuat, begitu pula halnya yang terjadi pada cerita Hariscandra, kutipan
nilai-nilai bhakti dalam cerita tersebut adalah :
Tubuhnya bergetar bagaikan pohon beringin yang bergoyang karena tertiup angin. Ia
kemudian bersujud dihadapan sang rsi dan memohon ampun kepada beliau
Raja Hariscandra bersujud artinya melakukan sikap hormat dan bhakti. Sujud artinya
pernyataan hormat dengan berlutut serta menundukkan kepala sampai ke tanah (KBBI,
1098). Bersujud di hadapan sang rsi, sujud atau sungkem

artinya menyebah, yang

dilakukan dengan cara - cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan,
perasaan hati atau pikiran, baik dengan ucapan kata - kata maupun tanpa ucapan (pikiran
atau perbuatan). Dari perbuatan sujud diartikan sebagai menyembah yang juga diartikan
melakukan sembahyang yang merupakan jalan dan salah satu cara memuja Tuhan. Ada
berbagai susastra Hindu yang menguraikan pentingnya bersujud, seperti disebutkan di
dalam Bhagawadgita. IX.34 :
man-man bhava mad-bhakto
mad-yj m namaskuru
mm evais yai yuktvaivam
tmna mat-paryan ah .
Terjemahannya :
Pusatkanlah pikiranmu, pada-Ku, berbhakti pada-Ku, bersujud pada-Ku, sembahlah
Aku, dan setelah kau mengendalikan dirimu dengan Aku jadi tujuanmu tertinggi,
engkau akan tiba pada-Ku. (Pudja.2010: 244).

Dengan bersujud Raja Hariscandra menunjukkan rasa hormat, rasa bhaktinya pada sang
Rsi, dengan demikian sang Rsi akan memberkati anugrah pengampunan atas kekeliruan
yang dilakukannya. Dengan menunjukkan rasa bhakti yang demikian merupakan upaya
melenyapkan rasa takut, karena sang Rsi adalah perwujudan dari Tuhan tentu memilikin
rasa kasih sayang kepada setiap bhaktanya.
dan berkata, aku adalah budakmu, aku akan melakukan apa yang kau minta untuk aku
lakukan.
Kalimat aku digunakan untuk menyatakan diri adalah manusia biasa yang penuh
kepapaan, tidak lepas dari segala kesalahan baik yang disengaja maupun tidak segaja,
kemudian kalimat adalah budakmu kata MU digunakan untuk menyebut sang Rsi atau
sang Guru yang patut untuk dihormati karna jasa-jasanya. Artinya bahwa Raja Hariscandra
adalah orang yang menjalankan ajaran agama yaitu Bhakti. Bhakti adalah salah satu jalan
yang di tempuh oleh umat Hindu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kegiatan bhakti dapat dilakukan dengan sarana maupun tanpa sarana. Bhakti
menggunakan sarana dapat dilakukan dengan mempersembahkan sesaji kehadapan Tuhan
yang didasarkan pada ketulusan hati. Sedangkan bhakti tanpa menggunakan sarana
diwujudkan dengan mengasihi semua mahluk ciptaan Tuhan. Dalam hal ini Raja
Hariscandra melakukan bhaktinya kepada Rsi karena agama hindu mengajarkan umatnya
untuk bhakti pada catur guru yaitu bhakti pada guru rupaka, bhakti pada guru pengajian,
bhakti pada guru wisesa dan bhakti pada guru Swadhyaya.
Canakya Nitisastra, Adhyaya V. Sloka 1:
"Guru Agnir Dvijatinam,
Varnanam Brahmana Guruh,
Patireva Guruh Strinam,
Sarvasya Bhayagato Guruh".
Terjemahan.
"Dewa Agni adalah Guru bagi para Dwijati (Sang Sadaka), Varna Brahmana adalah
Guru bagi Varna Ksatria, Waisya dan Sudra, Guru bagi seorang istri adalah suami,
dan seorang tamu adalah Guru bagi semuanya".
Guru adalah sebuah istilah dalam bahasa Sanskerta yang berarti pengajar atau pemimpin
keagamaan maupun spiritual, dan biasanya digunakan dalam agama Hindu, guru
dipandang sebagai pemimpin suci yang memberi kebijakan dan pedoman, untuk
menemukan guru sejati seringkali menjadi syarat mutlak bagi orang yang ingin mencapai
pencerahan. Begitu juga yang dialami oleh Raja Hariscandra, beliau seketika itu menyadari
bahwa yang dihadapannya adalah seorang Rsi Visvamitra yang tidak diragukan lagi

keagungan spiritualnya, seorang guru yang akan memberikan pencerahan, memberikan


jalan bimbingan spiritual untuk mencapia tujuan hidup manusia lahir ke bumi yaitu
pencapaian moksa, bebas dan lepas dari semua keterikatan duniawi. Hariscandra sangat
meyakini itu sehingga ia sebagai raja yang berkuasa tetap menjadi bhakta bagi sang Rsi.
Bhakta adalah istilah bagi seseorang yang dengan sungguh-sungguh melaksanakan jalan
bhakti kepada Sang Hyang Widhi, kepada Leluhur, kepada Rsi, kepada sesama ciptaan
Tuhan.
b) Karma Marga
Menurut Gede Kamajaya dalam bukunya menyatakan bahwa Karma Marga atau
Karma Yoga adalah jalan untuk menghubungkan diri atau mendekatkan diri kepada Tuhan
dengan jalan berbuat atau bekerja tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan imbalan atau
hasil. Kerja dilakukan secara tulus dan ikhlas sebagai amal dan kebajikan, yang utama
dalam karma marga ini adalah pengabdian. Ada kegiatan kerja, tetapi tidak untuk diri
sendiri, karena itu ada yang berpendapat bahwa karma marga atau karma yoga ini adalah
jalan dimana semua pekerjaan yang dilakukan yang dilaksanakan dipandang sebagai
kewajiban yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya. Semua pekerjaan yang dilakukan tidak
didorong oleh motif diri, tetapi didorong untuk melakukan persembahan kepada Tuhan
(Kamajaya,1998:22).
Berdasarkan uraian di atas dan dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan tattva
khususnya nilai pendidikan Karma Marga yang terkandung dalam cerita Hariscandra ,
maka dapat diuraikan sebagai berikut:
Beliau banyak melakukan perbuatan baik dan dari segi penampilan beliau adalah raja
yang sangat tampan.
Hariscandra adalah seorang raja yang sangat mengasihi rakyatnya sehingga seluruh
perbuatan baik dilakukannya untuk kesejahteraan rakyatnya. Perbuatan baik adalah
perwujudan dari Karma Marga, Hariscandra melakukan perbuatan

itu penuh dengan

ketulusan sebagai upaya mencapai moksa, terkait dengan kelahirannya yang memiliki fisik
yang tampan, hal ini terkait dengan karma phala, bahwa kelahiran seseorang pada masa
sekarang dapat menunjukkan bagaimana seseorang itu pada masa kehidupannya terdahulu,
begitu juga terhadap Raja yang tampan adalah merupakan manusia kelahiran dari Surga
Cyuta, Kelahiran Surga Cyuta adalah seseorang yang terlahir dari surga. Orang tersebut
terlahir dari surga, karena dalam hidupnya selalu menjalankan dharma. Dharma

mengajarkan kita untuk menghargai sesama makhluk, berbuat kebajikan, suka menolong,
welas asih, dan selalu mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Widhi.
Kitab Sarasamuccaya. 21 menyebutkan sebagai berikut:
Suruptamtmagunam ca vistaram kulnvayam
dravyasamred-dhisacayam,
naro hi sarvam labhate yathkretam
Sadsubhentmakr
tena
karman .

Terjemahan
Maka orang yang melakukan perbuatan, kelahirannya dari sorga kelak menjadi
orang yang rupawan, gunawan, muliawan, hartawan, dan berkekuasaan, buah hasil
perbuatan dapat olehnya. (Kajeng, DKK. 2010: 21)
Mereka yang dinamai kelahiran dari surga cyuta ialah yang telah menikmati
kehidupan di surga dan kelahiran ke dunia dari Indraloka dengan beberapa ciri-ciri yaitu :
orang yang lahir dari keluarga baik-baik, yang utama diantara mereka adalah seperti raja
(sederajat), ia yang merupakan penjelmaan tertinggi, orang yang berkuasa, kaya raya,
mempunyai budhi dharma yaitu laksana dan pikiran yang baik berdasarkan agama, serta
mengenal jiwa hidup orang-orang disekelilingnya. Ia yang penyayang terhadap rakyat
jelata dan pemurah terhadap yang miskin, ia yang hanya bersedia mengampuni kesalahan
pembantu-pembantunya baik laki-laki maupun perempuan. Ia yang melindungi orang yang
tertimpa malapetaka, ia yang sebagai payung pada waktu hujan. Demikian sikap raja
Hariscandra sehingga Ia sangat dikasihi oleh rakyatnya.
Di sana tiba-tiba beliau mendengar suara seorang wanita berteriak, tolong, tolong !
Maka dengan melupakan binatang buruannya Hariscandra segera pergi ke sana untuk
mencari tahu apa yang terjadi.
Kata berburu dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang menyenangkan, kesenangan
adalah kenikmatan semu yang dinikmati oleh indria manusia. Walaupun sesungguhnya
kenikmatan indria adalah duniawi tetapi raja Hariscandra hidup di dunia yang yang penuh
dengan kesenangan. Kesenangan dari indria Hariscandra disadarkan oleh suara wanita
yang minta tolong, artinya suara wanita itu adalah perwujudan pengetahuan sejati yang
sesungguhnya adalah penyelamat dari keterlenaan indria Hariscandra terhadap kesenangan
duniawi. Sehingga dengan kesadarannya Hariscandra melupakan binatang buruannya
karena Ia seorang raja yang konsisten dengan tugas dan tanggung jawabnya selahir batin.
Karna rasa tanggung jawabnya itulah raja Hariscandra berada didepan untuk melakukan
pembelaan dan melindungi rakyatnya, dalam

Sarasamuccaya 144 yang berbunyi :


Abhaya sarvabhtebhyo yo dadti dayparah,
abhaya tasya bhtni dadatha na sasayah.
Terjemahannya :
Lagi pula orang yang memberikan abhaya ( perlindungan ), abhaya
artinya tiada ketakutan, itulah yang diberikan kepada semua mahluk
disebabkan oleh belas kasihnya yang amat sangat, maka dibalas itu
dengan keselamatan, oleh segala mahluk di dunia ini dan di dunia lain. (Kajeng,
DKK. 2010: 121)
Hal ini menggambarkan nilai-nilai dari seorang pemimpin yang bersikap dan berprilaku
yang tindakannya dilakukan dengan iklas hati dan dengan kehendak sendiri. Dalam hal ini
Ia lebih mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingannya sendiri.
c) Jnana Marga
Jnana marga adalah cara untuk menghubungkan diri dengan Tuhan dengan jalan
ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan filsafat kebenaran dan pembebasan
dari ikatan duniawi. Jalan ini merupakan jalan pengembangan kebijaksanaan spiritual dan
ini adalah jalan bagi kaum intelektual dengan tujuan untuk menghancurkan kebodohan.
Jalan ilmu pengetahuan itu hendaknya mencakup dua macam pengetahuan : Apara widya
yaitu pengetahuan biasa dan pengetahuan suci, Para widya yaitu pengetahuan tentang
hakekat kebenaran Atman dan Brahman.
Pengetahuan disini ditekankan adalah pengetahuan spiritual, yakni pengetahuan
yang dapat membebaskan umat manusia dari belenggu penderitaan, lahir dan kematian.
Jnana atau ilmu pengetahuan suci menuntun manusia bekerja tidak terikat pada hawa
nafsu, tanpa motif kepentingan pribadi, rela melepaskan hak milik, sadar bahwa badan
bukan atma yang bersifat abadi. Banyak cara untuk mendekatkan diri yaitu melalui
persembahan harta benda, melalui tapa brata, melalui yoga dan sebagainya, tetapi dengan
jalan ilmu pengetahuan (kerohanian) lautan dosa dapat disebrangi. Dengan pikiran terpusat
pada ilmu pengetahuan, dan melaksanakan kerja dengan penuh keyakinan (sraddha)
seseorang mencapai kesempurnaan.
Berdasarkan uraian di atas dan dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan, khususnya
nilai pendidikan Jnana Marga yang terkandung dalam cerita Hariscandra , maka dapat
diuraikan sebagai berikut:
Berbagai pengetahuan yang tinggi itu, salah satunya mengambil wujud berbagai wanita
yang berteriak minta tolong.

Sang Rsi Visvamitra melakukan tapa brata semadhi sebagai upaya untuk memperoleh
pengetahuan spiritual guna diajarkan kepada umat manusia, hal ini berarti sang Rsi
menjalankan ajaran Jnana Marga. Pengetahuan mengambil wujud sebagai wanita, dalam
kitab suci Reg Veda IX.81.4 yang berbunyi :
nah ps pavamnah surtayo
Mitro gacchantu varun ah sajosasah

,
Brhaspatirmaruto
vyuravin tuas t

Savit Suyam Sarasvat


Terjemahannya :
Semoga keturunan para dewa itu menjumpai secara bersama-sama kepada kami
pusan, Puvamana, Mitra, Varuna, Brihaspati, Marut, Vayio, Para Asvin, Tvasta,
Savita, dan Sarasvati yang cantik. (.....)
Dari kutipan sloka tersebut , menyebutkan bahwa Saraswati adalah cantik, cantik adalah
penyebutan bagi seseorang yang berjenis kelamin wanita. Apabila dikaitkan dengan tugas
seorang wanita adalah menjadi seorang ibu yang melahirkan, membesarkan, mendidik
anak-anaknya, maka sangatlah tepat bila Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan karna
dari beliaulah terjadi proses penciptaan alam semesta ini. Dewi Saraswati adalah sakti
dewa Brahma, Dewi Saraswati sebagai lambang ilmu pengetahuan, karna kekuatan sakti
dari dewa brahmalah diartikan sebagai pengetahuan sebagai awal terjadinya penciptaan.
Dewa Brahma sebagai personofikasi laki-laki sedangkan Dewi Saraswati adalah
personifikasi wanita. Di dalam buku pemikiran hindu, Swami Vivekananda mengatakan
bahwa hindu menganggap wanita dan pria sebagai dua sayap dari seekor burung yang
sama, sehingga seorang pria tidak lengkap tanpa wanita karena tidak mungkin bagi seekor
burung untuk terbang hanya dengan satu sayap. Dalam Manawa Dharmasastra IX.96
menyebutkan :
Prajanartha striyah srtah
Samtanartam ca manawah
Tasmat saharano dharmah
Srutao patnya sahaditah
Terjemahannya :
Tujuan Tuhan menciptakan wanita, untuk menjadi ibu, laki-laki diciptakan untuk
menjadi ayah. Tujuan diciptakan suami istri sebagai keluarga untuk melangsungkan
upacara keagamaan sebagaimana ditetapkan menurut veda. (Pudja dan Rai
Sudharta, 2002:551)
Wanita adalah sosok yang aspeknya sebagai ibu, yang memiliki kemampuan untuk
mengandung, melahirkan, menyusui dan merawat. Sosok ibu juga dapat diartikan orang
yang banyak mengandung pengetahuan yang kemudian pengetahuan itu dilahirkan atau

diciptakan dan kemudian disebarluaskan kepada umat manusia sebagai ilmu dalam
menjalani kehidupan di dunia. Dalam hal pendidikan sosok ibu yang pertama kali
memberikan pendidikan kepada putra putrinya mulai dari dalam kandungan hingga akhir
hayatnya. Sedemikian

kemulyaan seorang wanita sehingga ilmu pengetahuan di

lambangkan dengan sosok seorang wanita. Pengetahuan diwujudkan seperti wanita yang
minta tolong karena pengetahuan ibaratkan seorang wanita yang sangat menarik untuk
dimiliki atau dikuasai, sehingga untuk mendapatkan pengetahuan itu harus melalui proses
yang tidak mudah, tetapi ketika pengetahuan itu telah dikuasai maka akan sangat
bermanfaat bagi yang memperolehnya, baik itu untuk diri sendiri maupun untuk disebar
luaskan ajarannya guna melenyapkan kebodohan (awidya).
d) Raja Marga
Raja marga adalah cara untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa dengan jalan melaksanakan konsentrasi atau pemusatan pikiran, melalui tapa, brata,
yoga, dan samadhi. Tapa merupakan pengendalian indria termasuk emosi dan nafsu.
Dengan tapa, maka nafsu badani seperti Sad Ripu. Sad Ripu adalah enam musuh dalam
tubuh manusia yaitu hawa nafsu (kama), kerakusan/tamak (loba), kemarahan/kebencian
(kroda), kebingungan (moha), kemabukan (mada), dan iri hati/dengki (matsarya), akan
ditekan atau ditiadakan. Dengan brata maka indria dan nafsu dikekang sampai tercapainya
keseimbangan jiwa dan kesucian batin. Dengan yoga maka akan tercipta sikap batin dan
hati yang suci untuk dapat menghubungkan diri dengan Tuhan. Sedangkan samadhi
merupakan tahapan akhir dari yoga yakni bersatu padunya kekuatan manusia berupa sabda,
bayu, dan idep dengan Sang Hyang Widhi Wasa, sampai tercapainya kebahagiaan abadi
dan tidak terikat lagi dengan pengaruh-pengaruh duniawi. Menurut MahaRsi Patanjali
(Saraswati,1996:45) Tercapainya kesempurnan itu dapat diperoleh melalui delapan tahapan
yang dinamakan Astanga Yoga yang terdiri atas :
a. Yama atau pantangan sebagai pengendalian diri tahap awal merupakan etika Patanjali
yang pertama dan terdiri dari lima perintah yaitu : Ahimsa atau tanpa kekerasan ini
adalah perintah untuk tidak melukai mahluk lain baik dalam pikiran, perbuatan maupun
perkataan. Satya atau kebenaran baik dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan.
Asteya atau pantang menginginkan sesuatu yang bukan miliknya. Brahmacarya atau
pantang merasakan kenikmatan sexual. Dan Aparigraha atau pantang terhadap
kemewahan (Saraswati, 1996 : 45-47)
b. Niyama atau kebajikan atau pengendalian diri tahap lanjutan (Saraswati,1996:47-49)
adalah : Sauca atau kebersihan lahir dan batin yang meliputi kebersihan pikiran,

perkataan maupun perbuatan, Santosa atau kepuasan ini dinyatakan sebagai kebajikan
yang menghantar kepada kesenangan yang tak terkatakan. Tapa atau kesederhanaan
dalam hubungan dengan ketekunan, kesabaran, dan toleransi. Svadyaya artinya
mempelajari sendiri buku-buku suci, melaksanakan japa dan penilaian diri.
Isvarapranidhana atau penyerahan diri dan pengabdian kepada Tuhan.
c. Asana adalah sikap-sikap tubuh dalam melaksanakan praktek Meditasi Yoga.
d. Pranayama dapat diartikan sebagai penguasaan nafas vital melalui pengendalian
pernafasan itu sendiri.
e. Pratyahara dapat diartikan sebagai penyaluran aktivitas mental, dalam hal ini yang
ditarik adalah alat-alat indria yang biasanya mengejar sensualitas seperti keindahan,
kelezatan dan lain-lain.
f. Dharana artinya pemusatan pikiran atau konsentrasi, hal ini berarti bahwa pikiran itu
dipusatkan atau ditujukan kepada satu titik.
g. Dhyana berarti bahwa arus pikiran yang tak terputus-putus diarahkan menuju suatu
tujuan, dalam hal ini kesadaran terus menerus ke arah Tuhan
h. Samadhi adalah pemusatan pikiran yang ditujukan kepada suatu onyek tertentu, dalam
hal ini samadhi berarti pemusatan pikiran kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan pelaksanaan Raja Yoga yang mantap dengan penuh disiplin diri maka
kegiatan yang dilaksanakan dalam pelaksanaan yadnya, bhakti, karma juga terdapat dalam
Raja Yoga, lebih jauh tentang Raja Yoga sebagaimana tersurat dalam Kitab Suci
Bhagavadgita IX. 2, sebagai berikut :
rja-vidy rja-guhya
pavitram idam uttamam
pratyaksvagama
dharmya

su-sukha kartum avyayam


Terjemahannya :
Inilah ilmu pengetahuan tertinggi, rahasia tertinggi sebagai pensuci tertinggi, yang
dapat diketahui dengan pengalaman langsung, yang sesuai dengan aturan, mudah
dilaksanakan dan bersifat abadi (Pudja. 2010: 222-223).
Berdasarkan uraian di atas dan dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan khususnya
Raja Marga yang terkandung dalam cerita Hariscandra , maka dapat diuraikan sebagai
berikut :
Maka yang didapatkannya adalah Rsi Visvamitra yang sedang bermeditasi dalam hutan
itu
Rsi Visvamitra adalah Wiswamitra berarti Sahabat Dunia. Gelar ini dianugrahkan
kepadanya karena beliau tak kenal lelah untuk memberikan dan menyebarluaskan ajaran
kepada manusia demi kedamaian dan kesejahteraan di muka bumi. Rsi Visvamitra

Meditasi adalah usaha pengalihan pikiran kepada kesadaran yang lebih tinggi dengan
tujuan untuk memperluhur jiwa.
Tentang meditasi , kitab Svetasvantara Upanisad I.14, menyatakan :
Dhyana-nirmathanabhyasat
Devedam pasyen nigudhavasat
Terjemahanya :
(Dengan bermeditasi yang teguh seseorang bisa melihat Tuhan Yang Maha Esa,
walaupun Ia tersembunyi).
Teknik meditasi dapat dilakukan dalam tiga katagori yaitu : meditasi langsung adalah
aliran pikiran yang lurus diarahkan pada sebuah obyek, seperti pemikiran tentang Tuhan,
sebuah gambar dewa, sebuah mantra atau obyek lain yang digunakan sebagai sarana.
Meditasi tidak langsung adalah melihat pemikiran sendiri tanpa menjadi terlibat dengan
pikiran itu. Yang dilakukan oleh Rsi Visvamitra adalah meditasi langsung karna
menggunakan pemusatan pikiran pada suatu obyek yaitu berwujud seorang wanita, beliau
menggunakan perwujudan wanita karena wanita memiliki sisi yang menarik seperti halnya
perwujudan ilmu pengetahuan yang diwakilkan dengan simbol wanita cantik sehingga
dapat diartikan bahwa ilmu pengetahuan itu sangat menarik.
Melalui tapa brata yang hebat beliau berusaha mendapatkan berbagai pengetahuan yang
tidak seorangpun bisa mendapatkannya
Tapa brata adalah tekad yang kuat' untuk menjalankan apa yang dipandang sebagai
kebenaran. Secara praktis, Tapa tiada dapat dipisahkan pelaksanaannya dengan Brata.
Melakoni Tapa-Brata dipandang sebagai satu prasyarat mutlak bagi upaya penggalangan
kesucian batin, dalam ajaran Hindu. Para bijak dan orang-orang suci mampu memberi
berkah karena ketekunan beliau dalam melaksanakan Tapa-Brata. Hal ini terungkap jelas
pada sloka Bhagawadgita XVIII.52 sebagai berikut.
Vivikta-sev laghv-s
Yata-vk-kya-mnasah,
Dhyna-yoga-paro nitya
Vairgya samupsritah
Terjemahannya :
Tinggal ditempat terpencil, makan sedikit, mengendalikan perkataan, badan
jasmani dan pikiran, selalu melakukan meditasi dan konsentrasi serta berlindung
pada kedamaian hati. (Pudja. 2010: 432)
Dengan kata lain tapa merupakan pengekangan diri, pengendalian indria termasuk nafsu
atau keinginan. Tapa juga berarti menghindari keduniawian, dengan cara menekan
keinginan untuk memiliki sesuatu. Tapa diartikan juga sebagai mengasingkan diri, diam

ditempat sepi, menyendiri, seperti tinggal dalam gua atau di tengah hutan, bahkan dengan
tidak makan dan minum atau hanya dengan makan nasi putih dengan garam disertai
dengan seteguk air putih. Dengan tapa atau pengendalian indria ini seseorang akan menjadi
tenang, tentram dan damai, sehingga akan dapat dengan lebih mudah menghubungkan diri
dengan Tuhan.
Dalam Bhagawadgita XVIII.53 menyebutkan :
Ahakra bala darpa
Kma krodha parigraham,
Vimucya nirmamah snto
Brahma-bhyya kalpate.
Terjemahannya :
Setelah membuang jauh-jauh keakuan, kekerasan, keangkuhan, nafsu, amarah dan
kemilikan, dan penuh kedamaian, ia layak mencapai Brahman. (Pudja.2010:432)
Tapa pun dapat diartikan sebagai proses pencarian nilai-nilai kebenaran yang dilakukan
dengan pengendalian diri ( panca indriya) dan pikiran. Sedangkan Brata adalah proses
pengekangan keinginan duniawi sebagai sarana untuk mempermudah dalam proses
pengendalian panca indriya dan pikiran. Sehingga dengan melakukan Tapa Brata maka
akan dapat menundukkan indriya sehingga pikiran akan terpusat pada satu obyek yakni
Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan demikian nilai kebenaran akan muncul melalui
penyatuan Atman dengan Paramaatman atau Brahman.

Anda mungkin juga menyukai