Anda di halaman 1dari 23

Paper Seminar Akuntansi

Peranan Corporate Governance dalam Mencegah Korupsi

Disusun Oleh:

Nober Palebangan
F1313067

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah sang pencipta alam semesta yang telah melimpahkan
rahmat dan pertolongannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik dan tepat waktu.
Tugas ini disusun agar penyusun, mahasiswa, dan pembaca mempunyai
pemahaman cukup mengenai Peranan Corporate Governance dalam Mencegah
Korupsi
Sebagai manusia yang merupakan tempatnya salah dan lupa kami juga menyadari
bahwa makalah ini tentunya banyak mengundang kekurangan. Bagi kami saran dan
kritik dari pembaca, atau pengguna makalah ini, merupakan hal paling indah sebagai
apresiasi dari karya penyusun ini, saran dan kritik yang membangun nantinya akan
kita jadikan bahan pertimbangan untuk kedepannya.
Solo, 14 Desember 2014
Nober Palebangan
NIM. F1313067

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................
i
DAFTAR ISI..................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
1
1. Latar Belakang...................................................................................
..........................................................................................................
2. Rumusan Masalah..............................................................................
..........................................................................................................
3. Tujuan Makalah.................................................................................
..........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................
4
BAB III KESIMPULAN................................................................................
....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
....................................................................................................................

BAB 1
Pendahuluan
1. Latar belakang
Banyaknya korupsi yang terbongkar dewasa ini, semakin menunjukkan bahwa
praktek korupsi telah terjadi pada hampir semua sektor. Korupsi yang terungkap
baru sebagian kecil saja, masih banyak korupsi yang belum terungkap. Sektor yang
sewajarnya kita anggap bersih dari korupsi seperti pendidikan dan agama ternyata
tidak bersih dari kegiatan korupsi.
Korupsi di Indonesia sudah kronis dan merupakan fenomena yang menyebar luas
yang mengikis pemerintahan yang baik, supremasi hukum, menghambat upaya
pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesenjangan sosial, dan mendistorsi daya saing
bangsa dalam ekonomi global. Presiden Yudhoyono mengakui bahwa "Masih banyak
pelaku korupsi bahkan dalam pemerintahan, parlemen, perwakilan daerah dan
penegak hukum "(www.in-reuters.com). Politisi, misalnya, biasanya mencari dana
kampanye politik dari birokrat dengan memberikan perlindungan, tawaran peluang
bisnis seperti kontrak-kontrak dan pengadaan pemerintah, pertambangan, penebangan
dan izin perkebunan. Transparency International Report yang diterbitkan pada tahun
2010 menunjukkan bahwa Corruption Perception Index (CPI) Indoensia berada
peringkat 100 dari 182 negara, dengan skor 3,0 dari skala 10 (sangat bersih) ke 0
(sangat korup) (www.thejakartaglobe.com). Skor 5.0 atau di bawah ini dianggap
sebagai negara yang korup. Selain itu, ada adalah indikasi kurangnya integritas
birokrat. Nilai integritas sektor publik di Indonesia masih rendah dan tidak terlalu
jauh dari standar integritas minimum yang ditetapkan oleh KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi), yakni 6,0 (dalam skala 1 sebagai yang terendah ke 10
sebagai yang tertinggi), dan belum lagi meluasnya praktik manipulasi akuntabilitas
keuangan publik. Pemberantasan korupsi sangat sulit karena sistem administrasi
publik rule-driven yang berfokus pada kebenaran formal daripada kebenaran
substantif (kebenaran dari masalah ini).

Dalam LAKIP, ada kecenderungan untuk hanya melaporkan hal-hal yang baik,
yaitu hal-hal yang sesuai dengan aturan dan peraturan, meskipun tidak sesuai dengan
misi lembaga, serta untuk menyembunyikan semua informasi yang dianggap tidak
sesuai untuk dikatergrikan sebagi "laporan yang baik". LAKIP tersebut bias karena
merupakan laporan evaluasi diri. Selain itu, praktek ini menjadi rumit karena banyak
aturan dan peraturan yang tidak kompatibel satu sama lain. Selain itu, masalah bisa
memburuk karena tidak ada evaluasi kebijakan serta evaluasi program / proyek di
sistem administrasi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada umpan balik
yang memadai kepada para pembuat kebijakan serta ke masyarakat.
Secara umum, administrasi publik dan praktik kebijakan di Indonesia masih
dipengaruhi oleh paradigma klasik yang bergantung pada pendekatan hirarki topdown. Kegiatan birokrasi pemerintah seharusnya mulai dari kebijakan, perencanaan
dan implementasi kebijakan termasuk pelayanan publik. Namun tidak ada evaluasi,
dan maka tidak ada umpan balik kepada para pembuat kebijakan dan keputusan
(Hughes, 2003). Kemampuan dinamis organisasi dihasilkan oleh orang mampu,
sehingga membentuk proses tangkas selama perumusan kebijakan dan evaluasi
(Anwar, 2010).
Partisipasi warga dalam proses politik belum ada atau sangat minimal. Kegiatan
politik didominasi oleh elit yang berkuasa yang orientasi nepotisme, pertimbangan
etnis berbasis berbasis agama dan bentuk lain dari orientasi politik yang sempit.
Korupsi tidak hanya dinilai dari nilai uang yang dikorupsi, tetapi juga nilai
uang dari akibat yang ditimbulkannya. Misalnya korupsi atas 10 (sepuluh) skrup
jembatan senilai Rp100.000 dapat mengakibatkan runtuhnya jembatan senilai
puluhan miliar rupiah. Akibat selanjutnya dari runtuhnya jembatan tersebut tentunya
adalah terganggunya perekonomian masyarakat sekitar. Selain kerugian dalam
bentuk uang, juga kerugian karena kerusakan moral. Jadi Korupsi mempunyai daya
rusak yang besar dan berantai (multiplier effect).
Upaya pemberantasan korupsi telah banyak dilakukan dengan pendekatan hukum
yaitu yang yang tertangkap korupsi diproses secara hukum. Pendekatan ini ternyata
2

kurang memberikan efek jera, sehingga jumlah korupsi tetap tinggi. Pendekatan
hukum ini juga membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Pemberantasan
(termasuk pencegahan) memerlukan pendekatan yang lebih tepat. Pendekatan hukum
menyatakan bahwa korupsi adalah masalah hukum, sehingga pendekatan
penyelesaiannya melalui hukum. Korupsi sebenarnya bukan hanya menyangkut
masalah hukum, tetapi juga masalah manajemen atau lebih tepatnya masalah
manajemen pemerintahan. Korupsi disebabkan manajemen pemerintahan yang lemah.
Dengan demikian pendekatan penyelesaiannya adalah dengan pendekatan
manajemen. Salah satu bagian pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan
corporate governance.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat di atas, maka permasalahan yang menjadi topik
utama makalah ini adalah bagaimana peran corporate governance dalam mencegah
tindak pidana korupsi.
3. Tujuan Makalah
Makalah ini disusun untuk meneliti secara singkat mengenai hubungan antara
corporate governance dan tindak pidana korupsi di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Corporate Governance
Pengertian corporate governance menurut Cadbury Comitte yaitu sistem yang
berfungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan. Jadi, corporate
governance memiliki arti mengarahkan dan mengendalikan organisasi dengan baik
sesuai dengan keinginan stakeholder. Salah satu keinginan stakeholder antara lain
adalah keamanan harta atau agar manajemen tidak korupsi dalam memberikan
pelayanan. Corporate governance dirancang berdasarkan the agency
concept. Dengan terjadinya pemisahan antara pemilik dengan manajemen, kepada
manajemen diberikan kewenangan yang luas termasuk hak pengelolaan harta
organisasi. Kewenangan yang luas ini diperlukan agar manajemen dapat mengelola
sumberdaya dengan leluasa, sehingga dapat memperoleh hasil yang optimal.
Pemberian kewenangan yang luas ini pada hakekatnya memiliki risiko apabila
manajemen menyalahgunakan kewenangan tersebut untuk kepentingan mereka.
Contoh penyalahgunaan wewenang ini adalah melakukan korupsi terhadap sumber
daya organisasi. Untuk menghindari penyalahgunaan wewenang manajemen
diharapkan menerapkan corporate governance.
United Nation Development Program (UNDP) memberikan karakteristik
dari corporate governance (2001:7) sebagai berikut:
a.

Participation. Setiap anggota masyarakat mempunyai hak suara dalam


pengambilan keputusan. Partisipasi dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi
dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

b.

Rules of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang
bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia.

c.

Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi.


Informasi harus dapat dipahami dan dimonitor.

d.

Responsivenes. Lembaga-lembaga dan proses harus ditujukan untuk melayani


stakeholders.

e.

Consensus orientation. Corporate governanrnance menjadi perantara


kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan yang terbaik bagi
kepentingan yang lebih luas.

f.

Equity. Semua warga Negara mempunyai kesempatan untuk menjaga dan


meningkatkan kesejahteraannya.

g.

Effectiveness and efficiency. Proses dan lembaga menghasilkan barang dan


jasa sesuai kebutuhan stakeholder dengan menggunakan sumber daya secara
efisien.

h.

Accountability. Para pengambil keputusan bertanggungjawab kepada publik


dan lembaga stakeholder.

i.

Strategic vision. Para pemimpin publick harus mempunyai perpektif good


governance dan pengembangan manusia yang luas.

2. Komponen Corporate Governance


a.

Stakeholder
Stakeholder harus memahami peranan organisasi dan kontribusinya kepada

anggota, dan mendapatkan informasi tentang praktek corporate


governance organisasi. Dalam hal ini, diasumsikan para stakeholder adalah orangorang yang cerdas yang mengerti tentang hak-hak yang harus diterimanya dari
organisasi. Para stakeholder memahami betul bahwa organisasi didirikan untuk
memberikan kontribusi kepada stakeholder. Dengan pemahaman yang demikian akan
terjadi keseimbangan antara organisasi dengan stakeholder dan akan merupakan
pengendalian yang efektif bagi operasi organisasi.
Stakeholder yang memahami peranan instansi pemerintah akan mengetahui
apabila instansi tersebut gagal memberikan peranan dan selanjutnya akan
memberikan peringatan untuk segera memperbaiki peranannya. Contoh tentang
pemahaman stakeholder adalah, masyarakat perlu mengetahui lamanya penerbitan
5

KTP, prosedur pengurusan ijin investasi disuatu daerah. Dengan demikian birokrasi
tidak mempermainkan prosedur untuk berlama-lama memberikan pelayanan.
Prosedur yang berbelit atau berlama-lama dalam pelayanan berpotensi menimbulkan
korupsi. Prosedur yang berlama-lama memaksa masyarakat untuk mengambil jalan
pintas dengan memberikan uang suap kepada pegawai yang memberikan pelayanan.
Beberapa cara untuk mendidik masyarakat untuk memahami peran instansi
pemerintah adalah dengan cara mensosialisasikan tanggungjawab instansi dan
peranannya. Instansi tersebut harus terbuka menjelaskan prosedur pelayanan dan
persyaratan yang harus disiapkan oleh masyarakat yang membutuhkan pelayanan.
Cara lainnya adalah masyarakat itu sendiri yang harus berusaha memahami instansi
terasebut dan bila perlu menuntut supaya prosedur pelayan disederhanakan.
b.

Legislation, Rules And Regulation


Hubungan instansi pemerintah dengan masyarakat yang dilayani perlu diatur

dengan ketentuan. Ketentuan ini akan mengatur hak dan kewajiban masing-masing.
Dengan adanya ketentuan tentang hak dan kewajiban masing-masing, hubungan
kerja dan koordinasi akan lebih lancar. Misalnya dalam pemberian izin investasi,
keterlambatan menerbitkan izin lebih dari 30 hari mewajibkan instansi tersebut
membayar denda kepada pemohon ijin. Demikian sebaliknya, apabila pemohon ijin
memiliki kewajiban tertentu untuk melunasi kewajibannya. Dengan situasi ini
masing-masing pihak akan selalu memperbaiki diri.
Ketentuan tersebut harus mengandung unsur keadilan dan melindungi yang
lemah. Tidak adanya aturan atau ketentuan tentang pelayanan, akan mengakibatkan
kualitas pelayanan yang kurang baik.
Dalam situasi tidak adanya ketentuan yang mengatur hubungan pelayanan antara
instansi pemerintah dan masyarakat, sering terjadi instansi pemerintah membuat
ketentuan yang menguntungkan instansi dan merugikan masyarakat. Misalnya
instansi pemerintah membuat persyaratan pelayanan yang harus menyertakan begitu
banyak dokumen, membuat prosedur yang berbelit dan menetapkan tarif secara

sepihak. Contohnya adalah dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP),


pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
Ketidakadaan ketentuan tentang pelayanan memberi peluang untuk terjadinya
pungutan liar atau korupsi. Instansi kemudian menciptakan situasi yang memaksa
masyarakat harus membayar lewat pintu belakang untuk memperlancar pelayanan.
Oknum-oknum pada instansi pemerintah sudah paham bahwa apabila pelayanan
diberikan secara lambat akan merugikan masyarakat dan masyarakat tentunya tidak
akan mau menderita rugi yang lebih besar. Karena itu lebih baik membayar pada
oknum untuk memperlancar pelayanan. Contoh adalah membayar pelayanan di
pabean agar barang dipelabuhan cepat keluar sehingga cepat dapat dijual. Seandainya
terlambat keluar dari pelabuhan akibat prosedur yang lama, para pengusaha akan
menanggung biaya yang besar berupa bunga kredit dan akan kehilangan peluang
untuk menjual barangnya kepelanggan. Jadi lebih baik membayar para oknum yang
memang sengaja memperlambat.
Mencegah penyalahgunaan wewenang yang merugikan masyarakat dan
pengusaha oleh instansi pemerintah, memerlukan aturan yang adil. Aturan tersebut
hendaknya tidak dibuat secara sepihak oleh instansi pemerintah, tetapi perlu
dirundingkan dengan pihak yang berkepentingan terhadap pelayanan instansi tersebut
(stakeholder).
Dengan adanya ketentuan yang jelas dan adil dan ditambah dengan pemahaman
masyarakat dan pengusaha tentang peranan instansi pemerintah korupsi dapat
dicegah. Masing-masing pihak melaksanakan kewajibannya dan memperoleh haknya
masing-masing sesuai dengan ketentuan.
a

Final Account
Laporan keuangan harus mencakup informasi yang perlu dilaporkan pada

stakeholder. Pelaporannya harus sesuai dengan standar pelaporan keuangan. Laporan


keuangan ini menjadi jendela bagi pembaca yang berkepentingan untuk mengetahui
kinerja dari organisasi.

Laporan keuangan yang standar meliputi neraca, laporan laba-rugi, laporan


perubahan modal, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan, dianggap
sudah merupakan laporan yang memadai sebagai media komunikasi antara organisasi
dan stakeholder . Untuk jenis perusahaan tertentu yang mempunyai sifat yang relatif
unik, dapat dilengkapi dengan laporan lainnya yang dianggap penting. Atau apabila
laporan keuangan standar belum cukup mewakili perusahaan tersebut.
Laporan keuangan instansi pemerintah yang terdiri dari laporan realisasi
anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional dan catatan atas laporan
keuangan memang sudah dirancang sebagai media pertanggung jawaban keuangan
pemerintah. Sebagai media pertanggungjawaban instansi pemerintah, laporan
keuangan harus memenuhi syarat kewajaran. Syarat kewajaran laporan keuangan
adalah bahwa semua laporan keuangan sudah disusun, didukung oleh bukti yang
otentik dan disusun sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Bukti yang otentik
berarti bukti asli yang tidak fiktif atau asli tapi palsu atau setengah palsu. Bukti fiktif
misalnya bukti perjalanan dinas yang tidak pernah dilaksanakan atau yang
bersangkutan dalam bukti tidak pernah berangkat perjalanan dinas. Bukti asli tapi
palsu seperti bukti perjalanan dinas yang memang dijalankan tetapi tidak memberi
manfaat, yang bersangkutan hanya jalan-jalan ke luar kota. Bukti yang setengah palsu
adalah bukti pengadaaan barang atau jasa yang sudah di mark-up harganya. Buktibukti yang demikian dibuat dalam rangka korupsi dan mengambil uangnya. Atau
proses korupsi disusul dengan membuat bukti yang tidak otentik. Tentunya buktibukti yang demikian tidak bisa dipakai sebagai bukti pertanggungjawaban keuangan.
Lalu bagaimana kalau bukti tersebut kemudian disusun menjadi laporan keuangan?
Sudah pasti laporan keuangannya tidak wajar dan karena korupsi nilainya material
maka tidak bisa dipakai sebagai pertanggungjawaban keuangan.
Penyusunan laporan keuangan yang wajar, keotentikan bukti-bukti transaksi
hanya diperoleh apabila instansi pemerintah menerapkan pengendalian intern dalam
sistem dan penerapannya menjadi tanggungjawab pimpinan instansi. Penyusunan
laporan keuangan yang wajar berarti mencegah terjadinya korupsi pada instansi
8

pemerintah. Seandainya laporan keuangan sudah disusun secara wajar, apakah


laporan tersebut sudah cukup sebagai alat pertanggungjawaban keuangan?
Kenyataaannya laporan keuangan ini masih kurang lengkap untuk menjelaskan
pencapaian visi dan misi instansi pemerintah. Untuk itu laporan keuangan perlu
dilengkapi dengan laporan kinerja. Dalam hal ini setiap instansi pemerintah sudah
diwajibkan menyusun laporan akuntabilitas kinerja pemerintah (LAKIP) untuk
melengkapi laporan keuangan yang sudah ada. Instansi tertentu sudah menambahkan
lagi dengan laporan pencapaian indeks kinerja utama (IKU). Pertanyaannya
selanjutnya adalah apakah laporan-laporan tersebut sudah cukup mewakili sebagai
alat pertanggungjawaban keuangan dan pelaksanaan visi/misi?
a

External Auditor
Sehubungan dengan final account dalam bentuk laporan tersebut pada butir c. di

atas, sebelum laporan tersebut digunakan oleh stakeholder laporan tersebut harus
diaudit terlebih dahulu oleh auditor independen. Sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945, auditor independen untuk instansi pemerintah adalah Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Keberadaan auditor independen ini adalah untuk mengaudit
laporan pertanggungjawaban keuangan. Atau memastikan kewajaran laporan
pertanggungjawaban keuangan dari instansi pemerintah.
Agar dapat mengaudit laporan keuangan instansi pemetrintah, eksternal auditor
yang dalam hal ini BPK RI harus dalam posisi independen secara organisasi dan
dalam melaksanakan audit. BPK RI harus berada diluar institusi pemerintah. Selain
itu BPK RI harus dikelola secara professional agar dapat dipercaya oleh stakeholder.
Jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK RI terhadap instansi pemerintah
meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan
tertentu. Pada saat ini jenis pemeriksaan yang paling dominan dilakukan oleh BPK RI
adalah pemeriksaan keuangan dengan memberikan opini atas kewajaran laporan
keuangan. Pemeriksaan keuangan mencakup pemeriksaan terhadap bukti-bukti
transaksi keuangan yang mendukung laporan keuangan tersebut. Pemeriksaan

terhadap bukti tersersebut mencakup kompetensi bukti bukti. Misalnya keaslian bukti
perjalanan dinas dengan melakukan konfirmasi ke perusahaan penerbangan.
Pemeriksaan terhadap bukti-bukti transaksi dalam pemeriksaan keuangan sangat
perlu, mengingat tindakan korupsi sering dilakukan dengan membuat bukti fiktif, asli
tapi palsu, memperbesar nilai pengeluaran dari yang seharusnya (mark-up). Laporan
keuangan yang disusun berdasarkan bukti yang tidak kompeten, berarti laporan
keuangan juga tidak kompeten atau tidak wajar. Pemeriksaan keuangan dengan
menekankan pemeriksaan terhadap kompetensi bukti dapat mencegah korupsi pada
instansi pemerintah. Sehubungan dengan semakin banyaknya praktek korupsi pada
instansi pemerintah, maka pemeriksaan BPK RI hendaknya selalu dikaitkan dengan
dampak korupsi terhadap tujuan pemeriksaan yaitu korupsi mengakibatkan sebagian
bukti transakti tidak kompeten dan menyebabkan laporan keuangan tidak wajar.
Korupsi menyebabkan kinerja instansi pemerintah tidak optimal.
a

The Board
Keberadaan perwakilan masyarakat untuk mewakili kepentingannya pada

instansi pemerintah sangat dibutuhkan. Ketentuan peraturan perundang-undangan


sebenarnya sudah mengatur mengenai hak dan kewajiban pemerintah. Namun dalam
perjalanannya bisa saja pelaksanaannya kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Keberadaan perwakilan masyarakat yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat
mengawasi pemerintah agar dalam melaksanakan tanggungjawabnya sesuai dengan
kepentingan rakyat. DPR sebagai perwakilan rakyat mempunyai tanggungjawab
legislasi membentuk aturan hukum, menyetujui anggaran yang diajukan pemerintah.
DPR akan melihat kesesuaian anggaran yang diajukan pemerintah dengan kebutuhan
masyarakat. Dalam tahun berjalan DPR dapat memanggil pemerintah yang diwakili
menteri- menteri untuk meminta penjelasan tentang kinerja kementerian tertentu.
Dengan demikian DPR mengawasi dan mengingatkan pemerintah agar menjalankan
tugasnya dengan mengelola dengan baik (corporate governance).
a

Audit Committee

10

Tugas dan fungsi para anggota DPR relative luas. Sebagai perwakilan dari
partai politik setiap anggota DPR juga perlu mengunjungi konstituennya di daerah.
Kondisi ini mengakibatkan para anggota DPR kurang memiliki waktu dan
konsentrasi untuk mengawasi pelaksanaan corporate governance, penerapan
manajemen risiko dan pengendalian intern. Agar fungsi pengawasan DPR lebih
efektif, DPR selayaknya membentuk komite audit yang menangani pengawasan atau
memastikan ketiga aspek tersebut telah dilaksanakan dengan baik.
Anggota komite audit bisa berasal dari sebagian anggota DPR ditambah para ahli
dari luar seperti dari perguruan tinggi yang memahami mengenai audit. Komite audit
akan memberi arahan bagi BPK apabila mereka ada masalah-masalah tertentu yang
perlu didalami melalui audit. Misalnya anggota komite menduga terjadi korupsi pada
suatu instansi pemerintah, anggota komite meminta kepada BPK untuk melakukan
pemeriksaan khusus pada instansi tersebut.
Pembentukan komite audit akan meningkatkan efektivitas pengawasan DPR
terutama dalam melakukan pencegahan terhadap korupsi. Pada sisi lainnya
pemeriksaan BPK akan lebih terarah pada masalah tertentu seperti korupsi yang
sedang terjadi pada instansi pemerintah. Keberadaan komite audit dapat mengurangi
penyimpangan pada suatu instansi karena menyadari adanya pengawasan yang lebih
terarah dari DPR. Pada saat sekarang ini komite audit di DPR belum ada.
b Key Performance Index (Indikator Kinerja Utama/IKU)
Pengelolaan organisasi harus didasarakan pada visi, misi dan nilai yang jelas.
KPIs memandu pengelolaan organsiasi agar sesuai dengan visi, misi dan nilai
tersebut. Perluang korupsi akan terbuka lebar pada organisasi yang kurang memilki
visi, misi, nilai dan KPIs yang kurang jelas. Dengan ditetapkannya indikator kinerja
utama manajemen pemerintahan diarahkan untuk mencapai indikator tersebut dan
mempersempit kesempatan untuk korupsi.
c

Internal Audit
Fungsi internal audit adalah untuk mengevaluasi dan memberikan rekomendasi

terhadap penerapan corporate governance, manajemen risiko dan internal control.


11

Ketiga aspek ini kalau berjalan dengan baik akan dapat mencegah korupsi secara
signifikan. Internal auditor seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) dan Inspektorat Jenderal akan lebih cepat mengetahui adanya korupsi pada
suatu institusi. Para menteri atau ketua lembaga dapat menggunakan inspektotara
jenderal untuk mengidentifikasi dan memeriksa korupsi di lembaganya. Dengan
demikian kejadian korupsi akan dapat diketahui sedini mungkin.
d Risk Management
Risk Management adalah proses melaksanakan upaya mengidentifikasi risiko
dan mengelolanya untuk mempengaruhi pencapaian tujuan.The Australian/New
Zealand Risk Management Standard mengatakan, terdapat 7 (tujuh) komponen dari
manajemen risiko yaitu penetapan konteks, identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi
risiko, penanganan risiko, monitoring dan reviu dan komunikasi dan konsultasi.
Yang dimaksud risiko dalam hal ini adalah risiko korupsi. Dengan manajemen
risiko korupsi dimaksudkan instansi pemerintah dapat memahami potensi korupsi di
instansinya kemudian kelola agar dapat diminimalisasikan.
e

Performance Management
Pelaksanaan corporate governance perlu diikuti dengan penerapan manajemen

kinerja yang berlandaskan pada keseimbangan. Dengan manajemen kinerja maka


seluruh proses manajemen, pikiran, kegiatan dan anggaran diarahkan untuk mencapai
kinerja. Adanya rencana untuk korupsi, adanya anggaran yang di mark-up dan
sejenisnya yang bertentangan dengan prisip manajemen kinerja akan mengakibatkan
kinerja tidak tercapai. Penerapan manajemen kinerja yang benar dapat mencegah
korupsi pada instansi pemerintah.
3. Kendala-Kendala Penerapan Corporate Governance di Indonesia
a.

Kendala Budaya
Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa terdapat suatu pandangan bahwa

praktik corporate governance itu hanyalah merupakan suatu bentuk kepatuhan


(conformance) terhadap peraturan atau ketentuan dan bukannya sebagai suatu sistem
12

untuk meningkatkan kinerja. Hal ini mengakibatkan aplikasi good corporate


governance tidak sepenuh hati dilaksanakan, sehingga efektivitasnya menjadi
berkurang. Begitu juga halnya dengan adanya dan telah membudayanya anggapan
bahwa tindakan penyelewengan (fraud) merupakan hal yang biasa dan lumrah
dilakukan dan bahkan tindakan korupsi pun dipandang sebagai sesuatu tindakan yang
tidak salah. Anggapan yang seperti ini jelas bertentangan dengan jiwa corporate
governance, sehingga akan mengganggu dan bahkan menghambat berjalannya
aplikasi tersebut.
b.

Kendala Politik
Kendala ini terutama terkait dengan perusahaan-perusahaan BUMN, yaitu

perusahaan yang dimiliki negara. Sebagaimana dikatakan di atas bahwa pengertian


negara selalu menjadi kabur, terkadang diartikan sebagai pemerintah, tetapi juga ada
yang mengartikannya sebagai lembaga negara yang lain. Hal ini ditambah lagi
dengan dikaburkannya pemisahan antara kepentingan bisnis dan kepentingan
pemerintah maupun lembaga negara yang lain. Akibatnya berbagai keputusan bisnis
di BUMN sangat diintervensi oleh pemerintah dan dalam kasus yang lain BUMN
justru dieksploitasi oleh para politisi. Dalam beberapa kasus, hal ini juga terjadi pada
perusahaan-perusahaan swasta.
4. Perkembangan Terkini
Pemerintah Indonesia telah meluncurkan program reformasi birokrasi yang
bertujuan untuk mengembangkan birokrasi yang bersih, efisien, efektif dan produktif.
Reformasi ini dirancang untuk membuat birokrasi yang transparan yang melayani
orang dan bertanggung jawab kepada publik. Tujuan reformasi birokrasi adalah untuk
meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah [Lihat: 9 program Percepatan
Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN &
RB)]. Pertanyaannya adalah, akankan upaya reformasi birokrasi ini dapat
meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan publik dan
pemberdayaan masyarakat? Jika kita membandingkan esensi dari permasalahan yang
dihadapi oleh birokrasi dengan lingkup upaya reformasi birokrasi, jelas bahwa upaya

13

ini tidak memadai karena berfokus terutama pada pelaksanaan aturan dan peraturan
yang ada. Sayangnya upaya ini masih mencerminkan apa yang pemerintah ingin
lakukan, berdasarkan hukum yang ada, dan berfokus pada pelaksanaan kebijakan
yang ada. Dengan kata lain, bukan tentang perubahan pola pikir atau harmonisasi isi
kebijakan, aturan atau peraturan. Ini ironis, mengingat fakta bahwa masalah utama
dari pemerintah birokrasi di Indonesia disebabkan oleh ketidakharmonisan yang ada
kebijakan publik, aturan dan peraturan. Misalnya, ketidakharmonisan antara UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 Keuangan Negara, demikian juga salah satu yang ditemukan antara sembilan
hukum dan ratusan peraturan tentang tata guna lahan yang bertentangan satu sama
lain menggambarkan situasi ini dengan baik (KPK, 2006).
Kondisi birokrasi pemerintah menjadi lebih rumit karena mengikuti praktik; (1)
Ada kecenderungan orang untuk melakukan penyapan atau mengirimkan gratifikasi
kepada pejabat pemerintah untuk mendapatkan perlakuan khusus dalam pelayanan
publik dan terutama, untuk mendapatkan izin konsesi untuk eksploitasi alam sumber
daya yang langka seperti konsesi pertambangan dan ijin perkebunan; (2) Kolusi
antara pejabat pemerintah dan pelaku usaha yang mengarah ke mark-up praktek
pengadaan pemerintah, dan pemberian gratifikasi sebagai kickback kepada pejabat;
(3) Politik intervensi dalam perekrutan PNS serta pengadaan pemerintah dan kontrak;
(4) Korupsi di lembaga penegak hukum seperti kepolisian, pengacara, pengadilan,
dan pajak (www.economist.com).
Mengingat fenomena di atas, tampak bahwa masalah yang dihadapi oleh
birokrasi pemerintah Indonesia tidak linear, melainkan sistemik, kompleks dan
dinamis. Ada banyak variabel dan masalah interkoneksi, termasuk aspek-aspek
budaya seperti masyarakat nilai-nilai, keyakinan dan norma-norma. Sementara di
Amerika (serta Jepang, Korea, India dan negara-negara Eropa) pejabat mundur cukup
cepat selama skandal korupsi, pemimpin Indonesia yang dikenal dengan rekam jejak
panjang menolak untuk mengundurkan diri posisi mereka terlepas seberapa serius
tuduhan terhadap mereka, serta seberapa besar tekanan publik. Ini adalah tantangan

14

Indonesia yang harus diatasi, yaitu untuk menemukan bentuk reformasi administrasi
yang tepat dan strategi pembangunan nasional yang memaksimalkan kesempatan
untuk dialog di antara semua pemangku kepentingan yang mewakili semua segmen
masyarakat.
Masalah di atas perlu ditangani oleh semua masyarakat Indonesia dan khususnya
Pemerintah. Hal ini harus dilakukan melalui kebijakan publik yang tepat. Selain itu,
kita perlu menjawab pertanyaan berikut; (1) strategi reformasi birokrasi bagaimana
yang harus dipilih?; (2) Siapa yang bertanggung jawab untuk memimpin reformasi
birokrasi ini, dan dari titik mana kita harus mulai? Untuk memecahkan masalah yang
kompleks dan dinamis ini kita perlu strategi yang lebih komprehensif yang meliputi
empat bidang utama, yaitu kepemimpinan politik, harmonisasi kebijakan publik
(termasuk aturan dan peraturan), yang penerapan sistem merit dalam semua instansi
pemerintah, dan gerakan anti-korupsi.
Pertama, kita perlu transformasional kepemimpinan dalam rangka untuk
memimpin perubahan radikal. Patrimonialisme, nepotisme, orientasi yang rule-driven
sangat umum di kalangan orang Indonesia. Nilai-nilai dan keyakinan ini jelas tidak
cocok dengan sistem pemerintahan yang demokratis. Oleh karena itu, sulit untuk
memulai perubahan radikal melalui mekanisme yang demokratis yang ada karena
absensi budaya sipil. Gaya kepemimpinan transaksional cenderung memperkuat nilainilai dan keyakinan dari atas. Pada sisi lain, reformasi birokrasi atau reformasi
administrasi adalah pendekatan top-down; Oleh karena itu, harus dipimpin langsung
oleh pejabat: Presiden Indonesia. Untuk memulai perubahan, reformasi birokrasi
perlu kuat, visioner dan kepemimpinan transformasional memotivasi orang dan
menciptakan sinergi dalam pembangunan nasional (Farazmand, 2002). Dan ia harus
memiliki kapasitas untuk memimpin gerakan anti-korupsi dan menghilangkan
fenomena ekonomi biaya tinggi dalam rangka menciptakan pemerintahan yang
efisien dan dapat diandalkan.
Kedua, harmonisasi kebijakan, undang-undang yang ada, aturan dan peraturan.
Hampir semua hukum yang ada, aturan dan peraturan dalam ketidakharmonisan satu
sama lain karena kurangnya koordinasi dan sinkronisasi antara berbagai lembaga
15

dalam pembuatan kebijakan serta proses implementasi. Sebagai contoh, di sektor


agraria ada sembilan hukum dan 285 aturan dan peraturan yang tidak sesuai dengan
satu sama lain. Idealnya, kebijakan publik harus selaras satu sama lain untuk menjadi
leverage yang efektif dalam inisiatif pembangunan nasional (Osborne dan Plastrik,
1998). Kepemimpinan transformasional yang kuat dan visioner diperlukan untuk
memimpin upaya untuk membawa perubahan dalam sistem hukum yang akan
dijadikan sebagai dasar reformasi birokrasi. Indonesia harus bebas dari perangkap
lingkaran setan yang berlarut-larut masalah korupsi dan inefisiensi. Meskipun
Indonesia memiliki beberapa keunggulan komparatif sumber daya alam dan manusia,
tetapi dalam jangka panjang, mereka sendiri jauh dari cukup untuk bertahan hidup di
dunia persaingan. Dengan demikian, program pembangunan nasional harus
difokuskan pada pengembangan berbagai cluster industri yang dapat bersaing dalam
ekonomi global (Fukuyama, 2004).
Ketiga, penerapan dan perlindungan sistem merit termasuk sistem reward and
punishment dalam semua birokrasi pemerintah dapat mencegah dan mengurangi
kesempatan untuk melakukan korupsi di kalangan birokrat. Shafritz, et al. (1983)
secara eksplisit menjelaskan prinsip-prinsip sistem merit jelas sebagai berikut; (1)
Proses rekrutmen yang menarget semua segmen masyarakat, dan seleksi atas dasar
kapasitas, pengetahuan dan keterampilan, di bawah persaingan yang adil dan terbuka;
(2) Perlakuan yang adil dan dan setara dalam segala hal manajemen personalia,
terlepas politik orientasi, ras, warna kulit, agama, dan asal-usul kebangsaan, jenis
kelamin, status perkawinan, usia, atau kondisi cacat, dan dengan tepat memperhatikan
privasi individu dan hak-hak konstitusional; (3) Imbalan yang setara dengan nilai
pekerjaan, mengingat bahwa baik tingkat nasional dan lokal yang dibayar oleh
negara, dengan insentif dan pengakuan untuk kinerja yang sangat baik; (4) Standar
integritas yang tinggi dan kepedulian terhadap kepentingan masyarakat; (5) Efisiensi
dan efektivitas dari (pemerintah); (6) Retensi bagi karyawan yang berkinerja baik,
perbaikan kinerja mereka yang belum memadai, dan pemisahan orang-orang yang
tidak bisa atau tidak akan memenuhi standar yang diperlukan; (7) Meningkatkan

16

kinerja melalui pendidikan dan pelatihan yang efektif; (8) Perlindungan karyawan
dari tindakan sewenang-wenang, favoritisme pribadi, atau pemaksaan politik; (9)
Perlindungan terhadap karyawan akan pengungkapan informasi hukum yang sah.
Keempat, gerakan anti korupsi harus mencakup pencegahan serta langkahlangkah kuratif. Penegakan hukum mungkin tidak cukup untuk mencegah korupsi
karena ketidakharmonisan hukum, aturan dan peraturan yang ada. Idealnya, reformasi
sistem hukum harus dilakukan sebelum birokrasi reformasi. Kita harus
mempertimbangkan bahwa sistem hukum Indonesia juga mengadopsi prinsip praduga
bersalah dalam antikorupsi, pencucian uang dan perpajakan, untuk mengurangi
peluang korupsi terjadi. Tata kelola yang baik memungkinkan birokrasi pemerintah
untuk melakukan pelayanan publik yang berkualitas dan efisien. Yang ada LAKIP
tidak dapat dianggap sebagai ukuran yang obyektif karena lebih semacam evaluasi
diri dan disiapkan oleh kepala lembaga pemerintah, dan ada kecenderungan untuk
hanya melaporkan hal-hal yang baik dan menyembunyikan semua penyimpangan
seperti praktek mark-up. Warga dan masyarakat pada umumnya harus berpartisipasi
dalam mengendalikan birokrasi pemerintah karena mereka yang menjadi aktor utama.
Birokrasi pemerintah harus diperkuat tidak hanya dengan perencanaan dan
pelaksanaan kegiatannya tetapi juga oleh evaluasi hasil kegiatan mereka dengan
evaluator eksternal dan profesional.
Empat strategi bisa menghasilkan kemampuan organisasi kuat dari birokrasi
pemerintah yang memungkinkan orang untuk menyingkirkan lingkaran setan korupsi,
dan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Birokrasi pemerintah harus
memiliki kemampuan dinamis dan mampu untuk berpartisipasi dalam siklus proses
berpikir ke depan. Dalam rangka untuk tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat,
program pembangunan nasional rakyat harus dinamis, sistemik dan berkelanjutan
(Neo dan Chen, 2007).
Kepemimpinan politik yang kuat dan visioner bisa memiliki peran penting dalam
meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah.

17

BAB III
KESIMPULAN
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara yang telah menimbulkan kerugian dan beban
tersendiri bagi negara dan juga masyarakat, menuntut Pemerintah untuk
melaksanakan berbagai upaya reformasi. Pada intinya salah satu kunci utama untuk
mereformasi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yakni dan
penerapan prinsip-prinsip good corporate governance. Konsep ini telah menjadi
suatu standar internasional dewasa ini di dalam mengelola suatu korporasi. Corporate
governance secara sederhana dapat diartikan sebagai sistem yang dibangun untuk
mengarahkan dan mengendalikan organisasi sehingga tercipta tata hubungan yang
baik, adil dan transparan di antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan.
Dengan tercipta dan terlaksananya good corporate governance maka organisasi akan
bertindak secara wajar dengan menjaga kepentingan semua pihak terkait, sehingga
tidak ada pihak yang dirugikan.

18

DAFTAR PUSTAKA
Al-Gushin, Ahmad, N., Najeb, M., Al Nasser, Nabil (2014) "The Impact of
Strengthening the Judicial Accountability of Corporate Governance in Order to
Combat Corruption in the Companies Listed in the Financial Markets."
International Business Research, (Vol. 7, No. 2): pp. 160-169
Anonim. http://acch.kpk.go.id/6-strategi-pencegahan-dan-pemberantasan-korupsi.
Diakses 30 Nopember 2013
Choi, Jin-Wook (2007), "Governance Structure and Administrative Corruption in
Japan: An Organizational Network Approach." Public Administration Review:
pp. 930-942
Haruna, I. (2006), "Zero Tolerance: Public Sector Corruption in Ghana." Africcans
Study Review, (Vol. 49, No.3): pp. 136-137
Jubaedah, Edah (2007)," Pengembangan Good Corporate Governance Dalam Rangka
Reformasi Badan Usaha Milik Negara." Jurnal Ilmu Administrasi (Vol. 4, No.
1): pp. 45-55
Kaihatu, Thomas S., "Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia."
Jurnal Tidak Dipublikasikan: pp. 1-9
Kazim, Azhar (2013), "Bureaucratic Reform and Dynamic Governance for
Combating Corruption: The Challenge for Indonesia." International Journal of
Administrative Science & Organization (Vol. 20, No. 1): pp. 18-22
Kristiansen, S., Dwiyanto, A., Putranto, D.A. (2008), "Public Sector Reforms And
Financial Transparency: Experiences From Indonesian Districts."
Contemporary Southeast Asia, (Vol. 31, No. 1): pp. 6487
Patriadi, P. (2004), "Manfaat Konsep Good Governance Bagi Institusi Pemerintah
Dan Bumn Dalam Kebijakan Privatisasi Bumn." Kajian Ekonomi dan
Keuangan (Vol. 8, No. 3) pp. 74-95

19

Rama, Marie dela (2012), "Corporate Governance and Corruption: Ethical


Dilemmas of Asian Business Groups." Journal of Business Ethics, (Vol. 109):
pp. 501-519
Siddiqque, N.A., and Mohamed, M.Z. (2007), "Paradox Of Public Sector Reforms In
Malaysia: A Good Governance Perspective." Public Administration Quarterly,
pp. 284-312
Subramaniam, N. (2013), "Understanding Corporate Governance In The Australian
Public Sector: A Social Capital Approach." Accounting, Auditing and
Accountability Journal (Vol. 26, No. 6): pp. 946-977
Sukma, Devani. 2013. http://keuanganlsm.com/tata-kelola-yang-baik-goodgovernance/. Diakses 30 Nopember 2013
Suwarno, Yogi dan Junanto, Dedi (2013), "Strategi Pemberantasan Korupsi." Jurnal
Tidak Dipublikasikan: pp. 94-109
Tam, O.K. (2002), "Ethical Issues In The Evolution Of Corporate Governance In
China" Journal of Business Ethics, pp. 303-320
Werlin, H.B, (2002), "Secondary corruption: The Concept of Political Illness." The
Journal of Social, Political, and Economic Studies, (Vol 27. No. 3): pp. 341-362

20

Anda mungkin juga menyukai