Anda di halaman 1dari 7

Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Dilemma Etik dan Penyelesaian

Kasus Konkrit Etik


Agus Purwadianto
Pendahuluan
Dalam pembuatan keputusan klinik pada beragam kasus konkrit, seringkali
mahasiswa kedokteran atau bahkan dokter mengalami kesulitan. Apalagi bila kasus
yang dihadapinya dalam keadaan dilematis, atau (akan tetap) hidup atau (sebentar lagi)
mati. Selain mereka harus berkonsentrasi pada kegawatan pasiennya, mereka harus
menenggang ancaman etikolegal yang akan merusak reputasi profesinya. Apalagi
dalam situasi akhir-akhir ini yang mengarah ke kedokteran-demi-pembelaan (defensive
medicine) akibat ramainya tuduhan malpraktek semena-mena. Reputasi yang dibina
puluhan tahun dapat hancur dalam semenit.
Keputusan klinik seperti di atas memang dibangun atas dua pilar utama, yakni : a)
keputusan medik atas permasalahan medik pasien dan b) keputusan etis atas isu etis
pasien. Yang sehari-hari ada di kepala (mindset atau paradigma) dokter adalah
keputusan medik yang nyata dalam ranah indikasi medik dari sistematika Jonsen &
Siegler. Keadaan makin rumit ketika kita mempertimbangkan sistematika etika praktis
bagi klinisi (Jonsen & Siegler) yakni 3 komponen lain : pilihan pasien, kualitas hidup dan
fitur kontekstual begitu didominasi oleh komponen non medis, yakni struktur budaya
masyarakat. Sedangkan struktur masyarakat Indonesia sendiri adalah plural. Mereka
terdiri atas beragam suku, adat istiadat, dan latar belakang sosio-budaya dan geografi
yang tidak sama. Hal inilah yang membuat pada dokter sejak masa di bangku kuliah
kurang tertarik dengan hal-ihwal sosio-antropologi budaya. 1 Salah satunya adalah
ketidak-pastiannya. Padahal ketika di klinik, mereka terkaget-kaget ketika menghadapi
kenyataan bahwa seni (teknik) pengobatan pasien adalah juga sama-sama sebuah
ketidak-pastian. Yang agak pasti dalam hal ini adalah keputusan medik karena
dibangun oleh ilmu kedokteran yang bermodel biomedik2.
Pertemuan Nasional III Bioetika & Humaniora Kesehatan Indonesia, FKUI, Jakarta, 30
Nopember 2 Desember 2004.
Sedangkan sebaliknya pertimbangan keputusan etis bukan berbasis biomedik, namun
lebih tepat menggunakan paradigma infomedik3.
1

Sedikit banyak hal ini akibat stereotip mahasiswa FK yang hampir semuanya berasal dari SMU jurusan
IPA yang begitu bangganya atas jurusannya, cenderung memandang sebelah mata IPS, apalagi jurusan
Budaya.
2
Agus Purwadianto, Perkosaan Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Landasan Filosofis Metodologi
Pembuktian Hukum. Disertasi. Fak. Ilmu Budaya UI, Jakarta, 2003, hal. 245. Paradigma ini akibat konsep dualisme
tubuh-jiwa Cartesian, sehingga manusia dianggap hanya tubuhnya saja ibarat mesin biologis, tanpa jiwa. Tubuh
sakit manusia, sebagai organisme biologis multikompleks dalam rangka menghilangkan penyebab penyakit tadi
direduksi menjadi unsur faali, seluler, molekular untuk menemukan agen atau faktor penyebab yang juga fisik. Hal
ini sejalan dengan status primer pengetahuan yang bertolak dari benda (matter) dan dunia material. Dokter selaku
subyek untuk menyembuhkan obyek tubuh sakit pasiennya melalui ilmu kedokteran modern kemudian
melakukan intervensi pengobatan secara mekanistik - reduksionistik, dengan tindakan kimiawi, elektris, atau
pembedahan dengan mengupayakan tindakan netralisasi terhadap agen patogen penyebab sakit, suplementasi
terhadap defisiensi faktor atau pengurangan terhadap kelebihan faktor intrinsik penyebab penyakit tersebut,
sehingga tercapai kembali kurva atau norma normal dari deviasi terukur parameter biologis tubuh pasien pada
proses perjalanan penyakitnya. Lihat pula Laurence Foss & Kenneth Rothenberg. The Second Medical Revolution.,
Shaftesbury, Boston, 1988, hal 8.
3
Agus Purwadianto, ibid. hal. 283. Sebagai mahluk swa-atur kompleks, manusia mampu mengolah pesan-pesan
eksternal yang berasal dari ragam jenjang organisasi dalam ranah fisik, psikologis dan sosial serta lingkungan

Isu etik.
Isu etik bukanlah isu medik. Ini merupakan titik pijak awal pembahasan
permasalahan etika klinis. Kegagalan menemukan isu etik dalam kasus konkrit di klinik
seringkali akibat dangkalnya pemahaman tentang etika kedokteran dalam metode
deskriptif yang diajarkan sebelumnya. Pengetahuan etika dalam metode deskriptif
(apalagi dalam bentuk kuliah searah) kurang menerampilkan logika berpikir dalam
menguak aspek etis pasien yang dihadapinya, sehingga seringkali menyebabkan konflik
berkepanjangan. Hal ini sejalan dengan data bahwa klinisi 71% sering terbantu untuk
menemukan isu etik relevan oleh konsultan etik atau fatwa komite etik rumah sakit
sebagai dasar pengelolaan pasiennya atau untuk metode belajar etika kedokteran.4
Padahal dengan latihan dialog berbasis pendekatan sistematik pemikiran klinis etis hal
itu dapat segera selesai.
Isu etik dalam kesejarahannya bersumber dari kaidah dasar moral (disingkat
KDM atau moral principle/principle-based ethics atau ethical guidelines) yang
merupakan acuan tertinggi moralitas manusia atau acuan generalisasi etik yang
menuntun suatu tindakan kemanusiaan.5 Bertolak dari Childress & Beauchamp yang
memaparkan adanya 4 KDM yakni beneficence, non-maleficence, justice dan autonomy
dalam buku sucinya The Principles of Biomedical Ethics (1994). Ke 4 KDM tersebut
kemudian ditinjau melalui etika, secara deduktif, apakah masih merupakan maxim
(kaidah dasar) yang berlaku normatif ketika dokter menghadapi kasus konkrit di klinik.
Hal ini amat mempengaruhi cara pemikiran kritis logis dari etika normatif, salah satu
cabang etika. Beberapa cara meneliti keberlakuan normatif masing-masing KDM
tersebut pada galibnya merupakan upaya meneliti pembenaran moral (moral
justification) tuntunan tindakan tertentu pada kasus etis konkrit tertentu sehingga
tindakan klinisi dipandang sebagai tindakan etis, walaupun dalam suasana ketidakpastian medik dan penuh wacana moral yang mewarnai praktek medik. KDM
memberikan bahasa moral dan lingkup kerja analisis etik ditengah pluralitas manusia
seperti perbedaan agama, moral, politik bahkan perspektif filosofis. Inilah kekuatan 4
KDM (principle-based ethics) dalam memberi pegangan pembenaran moral
dokter/tenaga kesehatan yang bergerak dalam lapangan biomedik6.
Tindakan etis disini begitu kuatnya berakar sehingga dalam pandangan
etikolegal, tindakan tersebut merupakan lingkup atau rangkaian pola tindakan preskriptif
hukum. Tindakan etis sekaligus dasar dari tindakan hukum inilah pada kasus klinis akan
mewarnai pilihan konkrit kebebasan profesi yang dapat dibenarkan secara moral dan
doktrin hukum dalam bentuk kewajiban etis (moral duty), sehingga dengan sendirinya
dengan landasan bahasa ilmu mekanika kuantum dan termodinamika nirpulih serta teori informasi yang bertumpu
kepada hukum-hukum infomedik. Disini didalilkan bahwa penyakit manusia dapat diakibatkan oleh hasil interaksi
program yang melibatkan informasi dengan faal tubuh (pesan bio-aktif); saling pengaruh sadar atau tidak sadar
suatu determinan-sebab-kodeterminan-prevalensi-sebab-hasil; antara fisik dan psikis/faktor sosial (pesan psikoaktif/sosio-aktif); serta tekanan selektif alam (lingkup kesatuan kawasan tubuh, biosfer) - tekanan selektif budaya
(lingkup kesatuan kawasan jiwa, noosphere) dalam bentuk pesan tekno-aktif. Lihat pula Laurence Foss, ibid, hal.
hal. 298 301
4
LaPuma J, Stocking CB, Silverstein MD et al. An Ethics Consultation Service in a Teaching Hospital.
JAMA 1988; 206 : 808 811, yang dikutip Bernard Lo. Resolving Ethical Dilemmas. A Guide for
Clinicians. Williams & Wilkins. Baltimore, USA, 1995, hal. 155.
5
Bernard Lo. Resolving Ethical Dilemmas. A Guide for Clinicians. Williams & Wilkins. Baltimore, USA,
1995, hal. 19
6
Gillon R. Medical Ethics : Four principles plus attention to scope. British Med. Journal No. 309, 1994,
hal. 184-188.

sulit atau tidak mungkin dokter/rumah sakit dijatuhi sanksi, baik etik, disiplin maupun
hukum.
Pada kasus klinis konkrit, isu etis seringkali sudah nampak jelas pada saat
mahasiswa memahami sekilas namun cukup sistematik (proses insight kasus) karena
adanya satu KDM yang dominan atau khas. Insight diperoleh dari pilihan sambil lalu :
mana diantara 1 KDM yang paling menonjol tanpa analisis mendalam atau repot-repot
yang mewarnai isu etis kasus tersebut. 7 Misalnya adakah isu etis atau masalah otonomi
pasien, yang bermanifestasi pada kasus seperti : perlunya informed consent,
dipertahankannya rahasia pasien, keputusan terapi yang dibuat oleh remaja yang sakit
dll. Dalam konteks kasus tersebut, jelas bahwa isu etisnya diturunkan secara sederhana
dari keberlakuan normatif KDM yang paling relevan (hanya satu-satunya) yakni :
otonomi. Keberlakuan KDM otonomi sebagai isu etis disini adalah absolut atau sebagai
kebenaran yang tetap (fixed truth) yang membingkai ethical guidelines8 pada kasus
tersebut.
Ketegaran Moral.
Pembenaran moral yang diaplikasikan secara deduksi9 berurutan ke bawah ke
yang khusus yakni ke arah kasus konkrit dari 1 KDM sebagaimana asalnya dari yang
umum/teoritis akan menggunakan suatu cara berpikir lurus alias logis. 10 Bila
pendeduksian itu sendiri merupakan suatu keharusan (absolut, artinya tanpa ragu lagi
bahwa tidak ada yang relatif karena konteksnya dan kasusnya begitu khas untuk hanya
1 KDM) yang mengikat KDM tersebut (moral bindingness) maka dari kasus sederhana
tadi muncul warna isu etis khas yang mutlak harus dilaksanakan. Disinilah KDM tersebut
harus dideduksi hingga ke keputusan klinis-etis karena memiliki moral stringency atau
ketegaran moral.11
7

Bila dalam kasus berbentuk teks, insight nampak pada kelompokan kasus, judul kasus, atau ekspresi
ungkapan yang menjadi simbol isu etis dalam bentuk kalimat langsung atau kalimat yang diberi tanda
tekanan khusus. Dalam bentuk tuturan/lisan, insight kasus tersebut nampak pada saat dosen atau
tayangan visual secara ekspresif menuturkannya atau mewarnai keseluruhan alur cerita atau yang
senantiasa diulang-ulang pengungkapannya (berdasarkan pola sentral berpikir penutur kisah tsb). Bila
mahasiswa masih bingung, insight dilanjutkan dengan proses identifikasi KDM mana paling relevan
dengan metode asal sebut/itung kancing (rule of thumb) diantara 4 KDM tersebut dalam teks atau
tuturan kasus tsb. Yang penting tujuan insight adalah mahasiswa mampu meneliti isu etik, bukan tergelincir
atau terjebak ke isu medik belaka.
8
Bernard Lo, loc.cit. hal. 20.
9

James F. Childress. The Normative Principles of Medical Ethics, dalam Robert M. Veatch (ed). Medical Ethics (2 nd
ed). Jones and Bartlett Publishers Massachusetts. 1997. hal 29 39. Aplikasi adalah salah satu model untuk
pembenaran moral, dalam hal ini menggunakan metode deduksi logis.
10

Selain aplikasi, menurut Henry Richardson (1990) hubungan KDM sebagai asas umum etika dengan
keputusan klinis-etis sebagai pendapat/putusan partikular etik dapat dilakukan dengan dua model lain
yakni : a) Ballancing/Penyeimbangan berupa melakukan petimbangan intuitif mana azas yang saling
bertentangan dalam kasus tersebut yang berpotensi menjadi dilemma etik) dan b) Spesifikasi yakni
merinci dari asas/KDM ke aturan/rule dalam hal makna, kisaran dan ruang lingkupnya.
11
Dalam kemutlakan pemberlakuan 1 KDM atas 1 kasus konkrit, dikenal istilah ketegaran moral (moral
stringency). Dalam 1 kasus sederhana, bukan kasus kompleks, ketegaran moral merupakan satu-satunya
tolok ukur etis tidaknya tindakan seorang dokter. Untuk metode pembelajaran pengenalan isu etik,
khususnya pada mahasiswa tahun pertama, pemberian penekanan pada 1 KDM yang berciri-ciri khas atau
unik yang membedakannya dari KDM lainnya amatlah diperlukan, sehingga secara cepat mereka mampu
mengungkapkan isu etik yang berbeda dari isu medik. Moral stringency atas beberapa kasus yang berciri
kemutlakan berlakunya 1 KDM, secara satu persatu pada satu session amat diperlukan.

Akibat kekakuan rumusan ini, deduksi akan mengawetkan logika berpikir


karena metode ini tidak serabutan atau asal-asalan, sepanjang dilakukan secara
koheren. Tindakan serabutan yang tidak konsisten dan koheren dengan pembenaran
moral akan dengan segera ketahuan. Semisal isu etisnya adalah otonomi. Disini
tuntunan tindakan autonomy tersebut mutlak dan mengikat. Artinya dalam kasus konkrit
tersebut, secara etis dokter seharusnya akan lebih menghargai keputusan yang dibuat
oleh pasien. Bila ditengah tatanan perjalanan klinis tiba-tiba dokterlah tanpa konteks
atau dasar situasi tertentu - yang justru membuat keputusan sepihak tanpa setahu atau
seijin pasien (artinya ia menggunakan KDM beneficence yang paternalistik), hal ini akan
serta merta dikenali dari deduksi pembenaran moralnya. Yakni disini bertentangan
dengan KDM autonomy, sehingga mudah sekali dicap bahwa tindakan dokter tersebut
adalah tidak etis (tidak bisa dibenarkan secara moral).
Namun tak jarang, pada satu kasus klinis terdapat saling pengaruh
mempengaruhi lebih dari 1 KDM. Tabrakan antar KDM dalam metode principle-based
ethics di satu sisi akan membingungkan para mahasiswa dalam tatanan klinik 12, mana
KDM yang harus dimenangkan. Namun di sisi lain bila ada kelompok mahasiswa lain
yang menyanggah dengan KDM lain, justru akan memperkaya kemampuan kritis logis
karena atas dasar KDM beneficence misalnya, mahasiswa akan serta merta mampu
berargumen logis terhadap mahasiswa atau pihak lain (termasuk fasilitator atau nara
sumber senior sekalipun) yang mendasarkan diri pada argumen KDM autonomy.
Relevannya prima facie.
Dalam proses identifikasi KDM mana yang paling relevan atas kasus konkrit
tertentu, tabrakan antar KDM tadi demikian kentalnya sehingga tetap sulit diyakinkan
mana KDM yang paling dominan. Kasus yang memuat tabrakan antar KDM ini hingga
ke tingkat analisis mendalam, yang (tinggal) memunculkan 2 dari 4 KDM yang
konteksnya secara nalar terkuat (artinya 2 KDM tersebut memiliki ketegaran moral yang
kuat, sedangkan 2 KDM lainnya tereliminasi sementara), inilah yang memunculkan
suatu dilema etik. Pada kasus dilema atau simalakama etik ini bila dilakukan suatu
upaya diskusi yang kontinu dan makin mendalam, akan makin mengasyikkan karena
mahasiswa atau dokter akan berupaya mencari tambahan data baru yang berkaitan
dengan 3 konteks kasusnya (misalnya dengan menggali lagi 3 komponen non-medis
Jonsen & Siegler tersebut di atas).13
Maka tak jarang mereka akan lebih teliti dan ingin tahu lagi untuk melakukan
anamnesis baru (re-anamnesis) pasiennya atau keluarganya, sambil menunggu
terkumpulnya data medik baru (indikasi medik baru/yang lebih tepat, bila ada). Alhasil
siapa yang mampu mengumpulkan basis bukti data baru terbanyak dan relevan
(kontekstual), akan lebih berpeluang memilih satu di antara 2 KDM yang saling
bersitegang tersebut. Dialog antar 2 kubu yang saling mempertahankan KDM paling
absah disini merupakan proses terpenting permusyawaratan etis yang kelak merupakan
prosedur amat penting dalam keputusan klinis. Dengan begitu, jelas sekali disini bahwa
12

Tata-letak klinik disini adalah situasi yang dijadikan latar belakang pembelajaran adalah suasana klinik
(dimana ada hubungan dokter pasien di sarana kesehatan tertentu). Tata-letak klinik dapat pula dan justru
harus dilakukan, pada mahasiswa tahun pertama akademik, tanpa harus menunggu tingkat klinik (early
clinical exposure method).
13
Hal ini akan sejalan dengan metode PBL (problem based learning) yang kini popular sebagai roh
pendidikan kedokteran di dunia. Artinya, pendalaman prinsip prima facie pada principle based ethics, sama
seperti metode pembelajaran lainnya apapun, tidak akan berarti apa-apa pada mahasiswa yang pasif dan
kurang bernalar.

dialog antar klinisi bukan hanya berorientasi pada hasil upaya mediknya belaka, tetapi
lebih pada proses.
Hal ini akan memberi perintah tanpa sadar bagi mahasiswa/dokter untuk
mengobservasi sisi non medik (dalam hal ini jadi sisi etis) pasiennya setiap saat ia
melakukan asesmen klinis. Pemilihan 1 KDM ter-absah sesuai konteksnya
berdasarkan data atau situasi konkrit terabsah inilah yang disebut pemilihan
berdasarkan asas prima facie. Dua KDM yang dilematis tadi tetap berlaku, sampai yang
paling mutakhir ada novum (bukti/konteks absah terbaru) yang menggeser KDM
tersisih, dengan memunculkan KDM yang lebih unggul. Jadi disini, prima facie mirip
seperti troef card pada permainan kartu bridge, dimana kartu bernominal kecil,
sepanjang telah ditetapkan sebagai troef, senantiasa dimenangkan dibandingkan
dengan kartu As warna lain yang bukan troef pada permainan saat itu.
Dengan prinsip prima facie, dialog klinisi (yang diperankan mahasiswa) tentang
dimensi etik pasiennya lebih mengemuka untuk memecahkan masalah etik klinis
ditengah berkecamuknya perspektif moral yang saling bertentangan satu sama lain atau
minimal tidak sejalan.14 Prinsip prima facie secara langsung atau tidak langsung akan
merangsang mahasiswa untuk belajar aktif (senantiasa mencari konteks terbaru yang
terabsah) dan komprehensif (tidak melulu ilmu kedokteran) khususnya dalam
mempermahir penerapan kedokteran sebagai seni kelak setelah ia menghadapi pasien
sesungguhnya.
Ciri-ciri KDM yang berbasis prima facie.
Dalam penanganan pasien di klinik, selain indikasi medik yang memang
berpengaruh pada sisi awalnya, namun pengelolaan pasien akan ditentukan pula oleh
seni yang berbasis ketegaran moral KDM terabsah pada kasus konkrit sederhana. Bila
pada kasus konkrit yang kompleks yang mengarah ke dilema etik, maka diterapkan
prinsip prima facie di antara 4 KDM dalam menerapkan penanganan etikanya. Prinsip
prima facie akan mempersyaratkan secara sederhana, adanya konteks baru absah yang
ada pada diri pasien atau keluarganya ketika tengah dalam proses perawatan medik
(proses bersamaan dengan adanya clinical judgment, yang berasal dari kewenangan
clinical privilege yang dipunyai dokter). Oleh karena itu diperlukan ciri-ciri KDM yang
demikian khasnya sehingga setiap kali bila itu ditemukan pada diri pasien/keluarganya,
secara prima facie hal itu akan menjadi tuntunan umum yang berlaku secara etis. Dari
ciri khas tersebut, ketika konteksnya tiba, KDM yang lama ditinggalkan untuk diganti
dengan KDM baru yang lebih absah.
Untuk kepentingan pendidikan etika, secara sederhana uraian prima facie KDM
tersebut adalah nampak pada tabel berikut :

14

Adanya pemilihan isu etik ini akan sejalan dengan proses open inquiry (pada metode self directed
learning) yang amat bagus diterapkan sejak dini pada mahasiswa tingkat premedik atau preklinik. Isu open
inquiry ini sama relevannya ketika metode principle-based ethics ini diberlakukan pada mahasiswa tingkat
klinik, yakni memperkuat kemampuan problem solving mereka. Bila pelaksanaan pembelajaran etika
kedokteran ini terus menyambung dalam bentuk kontinuum, maka diharapkan mereka akan mahir
menyelesaikan kasus etika kedokteran.

The patients contexts for prima facies choice


(Agus Purwadianto, 2004)

Time

Gen er al b en efi t
r esu lt, mo s t o f
p eo p le,

Elect iv e, ed u c at ed ,
b read -win n er , ma tu re
p er so n

Beneficence

Autonomy

Non
maleficence

Justice

Vu ln er ab les,
emer g en cy, lif e
sav in g , min o r

> 1 p er so n , o th er s
similari ty, co mmu n ity /
so cial s rig h ts

Dalam konteks beneficence, pada tabel di atas prinsip prima facienya adalah sesuatu yang
(berubah menjadi atau dalam keadaan) g umum. Artinya ketika kondisi pasien merupakan
kondisi yang wajar dan berlaku pada banyak pasien lainnya, sehingga dokter akan
melakukan yang terbaik untuk kepentingan pasien. Juga dalam hal ini dokter telah
melakukan kalkulasi dimana kebaikan yang akan dialami pasiennya akan lebih banyak
dibandingkan dengan kerugiannya.
Dalam konteks non maleficence, prinsip prima-facienya adalah ketika pasien (berubah
menjadi atau dalam keadaan) gawat darurat dimana diperlukan suatu intervensi medik
dalam rangka penyelamatan nyawanya. Dapat pula dalam konteks ketika menghadapi
pasien yang rentan, mudah dimarjinalisasikan dan berasal dari kelompok anak-anak atau
orang uzur ataupun juga kelompok perempuan (dalam konteks isu jender).
Dalam konteks autonomy, nampak prima facie disini muncul (berubah menjadi atau
dalam keadaan) pada sosok pasien yang berpendidikan, pencari nafkah, dewasa dan
berkepribadian matang.
Sementara justice nampak prima facienya pada (berubah menjadi atau dalam keadaan)
konteks membahas hak orang lain se lain diri pasien itu sendiri. Hak orang lain ini
khususnya mereka yang sama atau setara dalam mengalami gangguan kesehatan. di luar
diri pasien, serta membahas hak-hak sosial masyarakat atau komunitas sekitar pasien.

Kesimpulan.
1. Metode pembelajaran etika kedokteran menggunakan Kaidah Dasar Moral
(Principle-based ethics) merupakan metode tangguh dalam mengusung konsep
etika normatif karena berperan memunculkan isu etik pasien, sebagai pendamping
isu medik dalam penanganan klinik.
2. Pemunculan isu etik pasien secara deduktif logik dari Kaidah Dasar Moral akan
memberi dampak cara berpikir kritis rasional bagi mahasiswa karena mereka
terbiasa melakukan analisis pembenaran moral sekaligus ketegaran moral.
3. Adanya 4 KDM yang masing-masing saling berebut untuk tampil sebagai acuan
dasar isu etik melalui prinsip prima facienya masing-masing sesuai dengan ciriciri konteks berubah menjadi atau dalam keadaan) pasien, entah beneficence,
entah non maleficence, entah autonomy ataupun justice sebagaimana kasus
konkrit di klinik, diharapkan akan lebih menggairahkan cara menalar mahasiswa.
4. Prinsip prima facie praktis diharapkan akan menjadi model berpikir kritis yang
dapat diterapkan pada analisis etik pelbagai kasus konkrit lainnya, baik sebagai
subyek penelitian, pasien berdilema etik dalam perawatan yang memerlukan
pemecahan etis ataupun penelusuran pelanggaran etik profesi yang mungkin
dilakukan oleh tenaga medik atau tenaga kesehatan.
Kepustakaan
Pada intinya sama seperti yang tertera di catatan kaki.
Penulis, pendidikan terakhir doktor filsafat, adalah Sekretaris MKEK Pusat IDI, Sekjen
Jaringan Bioetika & Humaniora Kesehatan Indonesia, anggota Komisi Bioetika
Nasional, dan konsultan etikolegal beberapa rumah sakit di Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai