Tugas Batas Wilayah
Tugas Batas Wilayah
Oleh:
Pujiyono
13.25.019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa serta tak lupa mengucapkan
syukur atas kehadirat-Nya, Karena Rahmat dan Hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan penyusunan Tugas Survei Batas Wilayah ini dengan baik.
Tugas ini disusun untuk menambah pengetahuan tentang Survei Batas Wilayah
dalam ilmu geodesi dan juga sebagai sarana pengembangan proses belajar.
Pada kesempatan ini, penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ir. Moh Nurhadi MT. selaku dosen mata kuliah Survei Batas Wilayah
2. Orang Tua yang telah mendukung secara moral dan materi.
Kami menyadari bahwa didalam penulisan Tugas Survei Batas Wilayah ini
mungkin masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu kritik serta saran yang
menunjang, sangat membantu dalam terciptanya kesempurnaan laporan ini dan
dapat bermanfaat nantinya.
Penyusun
DAFTAR ISI
iii
iv
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ........................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan .....................................................................................
BAB II Pembahasan
2.1 Kondisi Umum Kabupaten Magelang .....................................................
2.2 Kondisi Umum Kota Magelang ..............................................................
2.3 Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Konflik ...........................................
2.4 Metode Pendekatan Menyelesaikan Konflik Batas Wilayah ..................
2.5 Kewenangan Pengelolaan Administrasi Pemerintah................................
2.6 Regulasi PERMENDAGRI Nomor 1 Tahun 2006 .................................
10
19
19
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999, Indonesia
sering disebut dalam era otonomi daerah. Daerah otonom diberi kewenangan
dengan prinsip luas, nyata dan bertanggung jawab. Demikian juga setelah UU
tentang Pemerintahan Daerah tersebut diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004,
prinsip luas, nyata dan bertanggung jawab tetap menjadi prinsip dalam
penyelenggaraan kewenangan daerah otonom.
Berbagai implikasi kemudian muncul karena implementasi UU yang baru
tersebut, satu diantaranya yaitu bahwa daerah menjadi memandang sangat penting
perlunya penegasan batas daerah. Salah satu sebabnya adalah karena daerah
menjadi memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayahnya.
Daerah dituntut untuk berperan aktif dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi
sumber daya di daerahnya. Kemampuan daerah dalam mengoptimalkan sumber
daya yang ada menjadi penentu bagi daerah dalam menjalankan otonomi daerah.
Oleh karena itu daerah-daerah menjadi terdorong untuk mengetahui secara pasti
sampai sejauh mana wilayah kewenangannya, terutama yang memiliki potensi
sumber daya yang mendukung Pendapatan Asli Daerah (PAD). Faktor strategis
lainnya yang menyebabkan batas daerah menjadi sangat penting adalah karena
batas daerah mempengaruhi luas wilayah daerah yang merupakan salah satu unsur
dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) dan bagi hasil sumber daya alam
(SDA).
Demikian juga mengenai batas daerah antara Kota Magelang dan
Kabupaten Magelang, secara fisik di lapangan masih terdapat titik-titik batas di
lapangan yang belum tegas, artinya belum sepakati antara kedua daerah bahkan
terjadi semacam perdebatan yang berkepanjangan. Hal ini dapat terlihat dari tidak
kunjung selesainyapersoalan batas daerah hingga sekarang (Tahun Anggaran
2015). Meskipun kegiatan penataan batas daerah telah dikoordinasikan dan
diagendakan, khususnya oleh Pemerintah Kota Magelang sejak Tahun 2001 (Masa
efektif mulai berlakunya UU No. 22 Tahun 1999).
Wilayah.
Untuk menganalisis masalah sengketa Magelang dipandang dari
3.
4.
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelah Timur
Sebelah Selatan
: Kabupaten
Purworejo,
Kabupaten
Sleman
dan
membagi
pengembangan
strategi
(WP),
pengembangan
Kabupaten
wilayah
Magelang
menjadi
termasuk
10
wilayah
dalam
Wilayah
Sebelah Timur
Jawa Tengah. Dengan wilayahnya yang kecil dan potensi sumber daya alam yang
terbatas maka potensi yang kemudian menjadi titik berat pengembangan adalah
letaknya yang strategis, yaitu berada di persimpangan jalan dan menjadi transit
bagi wilayah di WP.VII.
Berdasarkan peranan dan fungsi dalam lingkup regional, Kota Magelang
menempatkan dirinya sebagai kota transit, kota jasa wisata dan kota dengan skala
pelayanan regional. Kedudukan sebagai kota transit karena secara regional
wilayahnya terletak di posisi strategis yaitu berada di jalur jalan arteri yang
menghubungkan kotaPropinsi (Yogyakarta-Semarang), kota-kota kabupaten di
lingkup WP.VII, dan kota-kota kecamatan di wilayah Kabupaten Magelang.
Kota Magelang sebagai kota jasa wisata, karena letaknya pada jalur-jalur
wisata yang bertaraf internasional (Candi Borobudur dan Pegunungan Dieng) dan
regional (antara lain: Kopeng, Gunung MerapiMerbabu, dan Taman Kyai
langgeng). Sedangkan Kota Magelang sebagai Kota dengan skala pelayanan
regional,khususnya wilayah eks Karesidenan Kedu mempunyai potensi sebagai
pusat perdagangan barang dan jasa, pemerintahan, pendidikan, pelayanan
kesehatan, jasa rekreasi dan olah raga, transportasi dan pusat pergudangan dan
bengkel.
2.3 Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Konflik
2.3.1 Faktor latar belakang
Faktor latar belakang yang dimaksud dalam hal ini merupakan titik pangkal
masalah, yang merupakan alasan mula-mula timbulnya masalah konflik.
Yang dapat digolongkan ke dalam faktor latar belakang ini yaitu:
a. faktor struktural, yang meliputi :
1) UU Pembentukan daerah yang tidak menyebutkan batas-batas daerah;
2) Kebijakan mengenai perluasan daerah Kota Magelang, yakni kebijakan
Mendagri (waktu itu (tahun 1991) dijabat oleh Rudini) yang menyatakan
Desa Bulurejo, Banyurojo dan Mertoyudan seluruhnya menjadi wilayah
Kota Magelang, sehingga terjadi antagonisme dimana Kotamadya Dati II
permasalahan ini yaitu perolehan pajak daerah, retribusi daerah dan juga hasil
kerjasama dengan pihak ketiga.
2.6 Regulasi PERMENDAGRI Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Penegasan Batas Daerah
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
MENTERI DALAM NEGERI,
Menimbang :
a.
b.
Mengingat
: 1.
2.
4.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
PERATURAN
TENTANG
MENTERI
PEDOMAN
DALAM
NEGERI
PENEGASAN
BATAS
DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri ini yang dimaksud dengan:
1.
2.
3.
4.
Batas
daerah
adalah
pemisah
wilayah
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
(1)
(2)
Pasal 4
(1) Penegasan batas daerah di darat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
diwujudkan melalui tahapan :
a. penelitian dokumen
b. pelacakan batas;
c. pemasangan pilar batas;
d. pengukuran dan penentuan posisi pilar batas;
e. pembuatan peta batas.
(2) Tahapan penegasan batas daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan prinsip geodesi.
(3) Setiap tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita
acara kesepakatan.
Pasal 5
Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada pasal 4 huruf a meliputi :
a.
b.
(1)
(2)
Pemasangan pilar batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c
dilakukan untuk memberikan tanda batas secara pasti di lapangan.
Pasal 8
Pengukuran dan penentuan posisi pilar batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) huruf d dilakukan untuk menentukan koordinat titik-titik batas.
Pasal 9
Pembuatan peta batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e
dilakukan dengan metode :
a.
b.
terestris; atau
c.
fotogrametris.
Bagian Kedua
Laut
Pasal 10
(1) Penegasan batas daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
diwujudkan melalui tahapan :
a.
penelitian dokumen;
b.
pelacakan batas;
c.
d.
e.
f.
(2) Tahapan penegasan batas daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan prinsip geodesi dan hidrografi.
(3) Setiap tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita
acara kesepakatan.
Pasal 11
Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a
meliputi :
a.
b.
Pasal 12
(1) Pelacakan batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b
dilakukan untuk menentukan titik acuan di lapangan.
(2)
Pemasangan pilar titik acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf c dijadikan acuan dalam penentuan titik awal dan titik batas.
Pasal 14
(1)
(2)
(3)
Garis dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari garis
dasar lurus dengan jarak tidak lebih dari 12 mil laut dan garis dasar normal
yang mengikuti bentuk garis pantai.
Pasal 15
(1)
(2)
c. Batas antara dua daerah kabupaten dan daerah kota dalam satu daerah
provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 8 mil
laut, diukur berdasarkan prinsip garis tengah;
d. Batas wilayah laut pulau kecil yang berada dalam satu daerah provinsi dan
jaraknya lebih dari dua kali 12 mil laut, diukur secara melingkar dengan
lebar 12 mil laut; Hasil pengukuran dan penentuan batas daerah di
wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan
daftar koordinat titik batas daerah di wilayah laut.
Pasal 16
Pembuatan peta batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f,
dilakukan berdasarkan metode :
a.
kompilasi dan atau penurunan dari peta laut yang telah tersedia;
(2)
1 : 500.000;
1 : 100.000;
1 : 50.000.
BAB III
TIM PENEGASAN BATAS DAERAH
Pasal 18
(1) Penegasan batas daerah dilakukan oleh Tim Penegasan Batas Daerah.
(2) Tim Penegasan Batas Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri
atas :
a.
b.
c.
(3) Tim Penegasan Batas Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ditetapkan oleh:
a.
b.
c.
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
BAB VI
PEMBIAYAAN
Pasal 21
Pelaksanaan kegiatan penegasan batas daerah dibiayai melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan didukung melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 22
Penegasan batas daerah yang berbatasan dengan negara lain berpedoman pada
batas Negara Kesatuan Republik Indonesia atau perjanjian antara Pemerintah
Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Teknis penegasan batas daerah tercantum dalam lampiran peraturan ini.
Pasal 24
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
BAB III
KESIMPULAN dan SARAN
3.1 Kesimpulan
Dalam melakukan penegasan batas berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.
Langkah/tahapan yang harus dilakukan yaitu : Penelitian Dokumen, pelacakan
batas, pengukuran penentuan posisi pilar batas, pemasangan pilar batas,
pembuatan peta batas.
Permasalahan mengenai batas wilayah sangat berpengaruh buruk terhadap daerah
sengketa, hal ini ditinjau dari aspek-aspek berikut :
3.2 Saran
Setelah memahami permasalahan yang terjadi, maka dapat dirumuskan
pertimbangan-pertimbangan yang direkomendasikan untuk penyelesaian masalah
sebagai berikut:
a. Masing-masing pihak perlu melakukan evaluasi terhadap upaya mewujudkan
kesepakatan dalam penegasan batas daerah yang tengah dilaksanakan dan
hingga kini belum membuahkan hasil yang memuaskan. Evaluasi dimaksud
adalah evaluasi secara sungguh-sungguh dan menyeluruh terhadap pelaksanaan
Kesepakatan Bersama Nomor Tahun 11 2007 tanggal 23 Januari 2007 tentang
Pelaksanaan 01/ PERJ / I / 2007 Penegasan Batas Daerah Antara Pemerintah
Kota Magelang dengan Pemerintah Kabupaten Magelang.
sebagai
mediator/fasilitator,
namun
karena
konflik
juga
bahwa
pendekatan
struktural
(keputusan/penetapan
oleh
DAFTAR PUSTAKA
http://catatanagam.blogspot.com/2008/05/menyoal-sengketa-batas-wilayah.html
(diakses pada 10 Mei 2015)
http://eprints.undip.ac.id/18347/1/NANANG_KRISTIYONO.pdf (diakses pada
10 Mei 2015)
http://hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/04/jurnal-emanuel.doc (diakses
pada 10 Mei 2015)
http://www.radarjogja.co.id/blog/2015/03/30/sengketa-tapal-batas-magelangbelum-rampung/ (diakses pada 10 Mei 2015)
Permendagri Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penetapan Batas Daerah