Anda di halaman 1dari 25

TUGAS

SURVEI BATAS WILAYAH


(Tentang Sengketa Batas Wilayah Kabupaten dan Kota Magelang)

Mata Kuliah Survei Batas Wilayah Yang dibina oleh :


Ir. Moh Nurhadi., MT

Oleh:
Pujiyono
13.25.019

JURUSAN TEKNIK GEODESI


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL
MALANG
2015

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa serta tak lupa mengucapkan
syukur atas kehadirat-Nya, Karena Rahmat dan Hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan penyusunan Tugas Survei Batas Wilayah ini dengan baik.
Tugas ini disusun untuk menambah pengetahuan tentang Survei Batas Wilayah
dalam ilmu geodesi dan juga sebagai sarana pengembangan proses belajar.
Pada kesempatan ini, penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ir. Moh Nurhadi MT. selaku dosen mata kuliah Survei Batas Wilayah
2. Orang Tua yang telah mendukung secara moral dan materi.
Kami menyadari bahwa didalam penulisan Tugas Survei Batas Wilayah ini
mungkin masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu kritik serta saran yang
menunjang, sangat membantu dalam terciptanya kesempurnaan laporan ini dan
dapat bermanfaat nantinya.

Malang, Mei 2015

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................

iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................

iv

BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ........................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan .....................................................................................
BAB II Pembahasan
2.1 Kondisi Umum Kabupaten Magelang .....................................................
2.2 Kondisi Umum Kota Magelang ..............................................................
2.3 Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Konflik ...........................................
2.4 Metode Pendekatan Menyelesaikan Konflik Batas Wilayah ..................
2.5 Kewenangan Pengelolaan Administrasi Pemerintah................................
2.6 Regulasi PERMENDAGRI Nomor 1 Tahun 2006 .................................

10

BAB III Kesimpulan dan Saran


3.1 Kesimpulan ..............................................................................................

19

3.2 Saran ........................................................................................................

19

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999, Indonesia
sering disebut dalam era otonomi daerah. Daerah otonom diberi kewenangan
dengan prinsip luas, nyata dan bertanggung jawab. Demikian juga setelah UU
tentang Pemerintahan Daerah tersebut diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004,
prinsip luas, nyata dan bertanggung jawab tetap menjadi prinsip dalam
penyelenggaraan kewenangan daerah otonom.
Berbagai implikasi kemudian muncul karena implementasi UU yang baru
tersebut, satu diantaranya yaitu bahwa daerah menjadi memandang sangat penting
perlunya penegasan batas daerah. Salah satu sebabnya adalah karena daerah
menjadi memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayahnya.
Daerah dituntut untuk berperan aktif dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi
sumber daya di daerahnya. Kemampuan daerah dalam mengoptimalkan sumber
daya yang ada menjadi penentu bagi daerah dalam menjalankan otonomi daerah.
Oleh karena itu daerah-daerah menjadi terdorong untuk mengetahui secara pasti
sampai sejauh mana wilayah kewenangannya, terutama yang memiliki potensi
sumber daya yang mendukung Pendapatan Asli Daerah (PAD). Faktor strategis
lainnya yang menyebabkan batas daerah menjadi sangat penting adalah karena
batas daerah mempengaruhi luas wilayah daerah yang merupakan salah satu unsur
dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) dan bagi hasil sumber daya alam
(SDA).
Demikian juga mengenai batas daerah antara Kota Magelang dan
Kabupaten Magelang, secara fisik di lapangan masih terdapat titik-titik batas di
lapangan yang belum tegas, artinya belum sepakati antara kedua daerah bahkan
terjadi semacam perdebatan yang berkepanjangan. Hal ini dapat terlihat dari tidak
kunjung selesainyapersoalan batas daerah hingga sekarang (Tahun Anggaran
2015). Meskipun kegiatan penataan batas daerah telah dikoordinasikan dan
diagendakan, khususnya oleh Pemerintah Kota Magelang sejak Tahun 2001 (Masa
efektif mulai berlakunya UU No. 22 Tahun 1999).

Salah satu masalah belum dicapainya kesepakatan mengenai titik-titik


batas antara kedua daerah ini terutama menyangkut bagian wilayah yang mungkin
dianggap memiliki nilai strategis oleh kedua belah pihak. Persoalan yang terjadi
bukan sekedar persoalan teknis mengaplikasikan batas yuridis dari undangundang pembentukan daerah ke bentuk fisik lapangan, namun tentunya lebih
kompleks dari hal tersebut sehingga kesepakatan antara kedua pihak belum dapat
tercapai hingga sekarang. Dalam hal ini persoalan penegasan batas daerah menjadi
sebuah konflik kelembagaan yang berkepanjangan antara Pemerintah Kota
Magelang dengan Kabupaten Magelang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat merumuskan masalah
sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Apa permasalan utama terjadinya konflik batas wilayah tersebut?


Metode pendekatan guna menyelesaikan konflik batas wilayah?
Regulasi Permendagri No. 1 Thn 2006 dalam penerapan batas wilayah?
Batas wilayah sebagai kewenangan pengelolaan administrasi pemerintah?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Memenuhi Ujian Tengah Semester (takes home) mata kuliah Survei Batas
2.

Wilayah.
Untuk menganalisis masalah sengketa Magelang dipandang dari

3.
4.

Pemendagri Nomor 1 Tahun 2006.


Menganalisa metode pendekatan penyelesaian konflik batas wilayah
Kewenangan pengelolaan pemerintah

BAB II
PEMBAHASAN

Konflik antara Kabupaten dan Kota Magelang mengenai batas daerah


diindikasikan dengan belum disepakatinya batas fisik di beberapa titik perbatasan
meskipun upaya penetapan batas fisik telah dilakukan dalam kurun waktu yang
relatif lama. Konflik dapat dirasakan dalam proses interaksi antara kedua belah
pihak (aksi-reaksi) dalam upaya mencapai kesepakatan yang diperlukan dalam
menentukan beberapa titik batas yang selama ini sulit dicapai kesepakatannya.
Intensitas konflik semakin meningkat dan jelas seiring dengan bergulirnya
era otonomi daerah ketika Pemerintah Kota Magelang mulai mengintensifkan
kegiatan penataan batas wilayah dan mendapatkan reaksi dari Pemerintah
Kabupaten Magelang berupa disepakatinya sejumlah titik batas daerah dan juga
tidak disepakatinya beberapa titik batas lainnya hingga sekarang.
Setidaknya ada tiga bagian wilayah yang masih menjadi obyek konflik dan
kemungkinan yang terjadi kedua pihak memandang obyek tersebut memiliki
nilai yang patut dipertahankan. Wilayah tersebut yaitu perbatasan sebelah
selatan (kompleks Kantor Pemerintah Kota Magelang posisinya berada di atas
wilayah batas antara Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang), sebelah utara
(berupa kawasan Perumahan Jambewangi ke arah persawahan Sidotopo (yang
dikembangkan untuk kawasan simpul perekonomian Kota Magelang), Batas di
daerah Jalan Soka (kawasan industri karoseri dan pusat perkonomian lainnnya)
yang masih belum tegas. Dan yang menjadi fokus konflik adalah mengenai batas
sebelah selatan Kota Magelang.
2.1 Kondisi Umum Kabupaten Magelang
Secara astronomi Kabupaten Magelang terletak pada 11061 51 11010 58 Bujur Timur dan 742 13 74216 Lintang Selatan. Luas
wilayahnya 1.085,73 km2. Kabupaten Magelang terletak 200 m hingga 3.926 m di
atas permukaan laut dengan ketinggian rata-rata 200 m hingga 800 m di atas
permukaan laut.
Secara geografis, Kabupaten Magelang dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
bagian dataran yang terletak di bagian tengah dan merupakan lembah Sungai
Progo dan Elo; bagian barat yang terletak di lereng Gunung Sumbing dan

Pegunungan Menoreh, dan bagian timur yang terletak di sepanjang lereng-lereng


Gunung Merapi, Merbabu, Telomoyo dan Gunung Andong.
Berdasarkan posisi strategisnya Kabupaten Magelang memiliki batas-batas :
Sebelah Utara

: Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang;

Sebelah Timur

: Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali;

Sebelah Selatan

: Kabupaten

Purworejo,

Kabupaten

Sleman

dan

Kabupaten Kulonprogo (Provinsi Daerah Istimewa


Yogyakarta (DIY));
Sebelah Barat

: Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo;

Di tengah-tengah : terdapat wilayah Kota Magelang


Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Jawa Tengah
yang

membagi

pengembangan

strategi
(WP),

pengembangan

Kabupaten

wilayah

Magelang

menjadi

termasuk

10

wilayah

dalam

Wilayah

Pengembangan VII (WP VII) yang meliputi wilayah Kabupaten Magelang,


Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Purworejo, dan Kota
Magelang dengan pusat pengembangan wilayah di Kota Magelang. Adapun
potensi yang dikembangkan dalam WP VII adalah kegiatan pariwisata, pertanian,
perdagangan dan industri.
Dalam rangka penataan dan penegasan batas daerah, sampai dengan penelitian
ini dilaksanakan Kabupaten Magelang telah berhasil mencapai kesepakatan batas
daerah dengan daerah-daerah yang berbatasan yaitu dengan Kabupaten Semarang,
Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Temanggung hingga untuk penegasan
batasnya dalam proses pengusulan untuk memperoleh penetapan oleh Menteri
Dalam Negeri.
Adapun penataan batas daerah Kabupaten Magelang dengan Kabupaten
Kulonprogo dan Kabupaten Sleman karena merupakan batas Provinsi Jawa
Tengah dengan DIY maka kewenangan pengusulan batas daerah berada pada
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan mengenai batas dengan Kabupaten
Kulonprogo tersebut telah dilaksanakan penetapan batas daerahnya yaitu dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2006 tentang Batas Daerah

Antara Provinisi Daerah Istimewa Yogyakarta Dengan Provinsi Jawa Tengah


tertanggal 19 mei 2006.
Setelah menyelesaikan penataan batas dengan ketiga kabupaten sebagaimana
tersebut di atas, agenda penegasan batas daerah oleh Kabupaten Magelang
selanjutnya adalah dengan Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo.
Sedangkan untuk batas dengan Kota Magelang, meskipun telah dirintis sejak
dahulu (Tahun 2001) namun belum juga dicapai kesepakatan letak titik-titik
batasnya.
Kabupaten Magelang semula beribukota di Kota Magelang, baru pada Tahun 1982
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pemindahan
Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Magelang dari Wilayah Kotamadya Daerah
Tingkat II Magelang ke Kecamatan Mungkid di Wilayah Kabupaten Daerah
Tingkat II Magelang. Secara administratif pemerintahan, Kabupaten Magelang
terdiri atas 21 kecamatan , 5 kelurahan dan 369 desa.
2.2 Kondisi Umum Kota Magelang
Secara astronomis Kota Magelang terletak pada 11012'30" - 11012'52"
Bujur Timur dan 726'28" - 730'9" Lintang Selatan. Luas wilayah Kota
Magelang +18,12 km2 ( hanya kurang lebih seperenampuluh luas wilayah
Kabupaten Magelang), dengan ketinggian antara 325 m hingga 500 m di atas
permukaan laut. Adapun batas-batas wilayah Kota Magelang adalah sebagai
berikut:
Sebelah Utara

: Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang

Sebelah Timur

: Sungai Elo/ Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang

Sebelah Selatan : Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang


Sebelah Barat

:Sungai Progo/ Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang

Sesuai batas-batas wilayah yang mengitarinya, dapat diketahui bahwa Kota


Magelang berada ditengah-tengah wilayah Kabupaten Magelang.
Secara administratif pemerintahan, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 & 7
Tahun 2005 Kota Magelang terdiri atas 3 kecamatan dan 17 kelurahan.
Sebelumnya Kota Magelang terdiri atas 2 kecamatan dan 14 kelurahan. Kota
Magelang dijadikan pusat pengembangan WP VII berdasarkan RTRW Propinsi

Jawa Tengah. Dengan wilayahnya yang kecil dan potensi sumber daya alam yang
terbatas maka potensi yang kemudian menjadi titik berat pengembangan adalah
letaknya yang strategis, yaitu berada di persimpangan jalan dan menjadi transit
bagi wilayah di WP.VII.
Berdasarkan peranan dan fungsi dalam lingkup regional, Kota Magelang
menempatkan dirinya sebagai kota transit, kota jasa wisata dan kota dengan skala
pelayanan regional. Kedudukan sebagai kota transit karena secara regional
wilayahnya terletak di posisi strategis yaitu berada di jalur jalan arteri yang
menghubungkan kotaPropinsi (Yogyakarta-Semarang), kota-kota kabupaten di
lingkup WP.VII, dan kota-kota kecamatan di wilayah Kabupaten Magelang.
Kota Magelang sebagai kota jasa wisata, karena letaknya pada jalur-jalur
wisata yang bertaraf internasional (Candi Borobudur dan Pegunungan Dieng) dan
regional (antara lain: Kopeng, Gunung MerapiMerbabu, dan Taman Kyai
langgeng). Sedangkan Kota Magelang sebagai Kota dengan skala pelayanan
regional,khususnya wilayah eks Karesidenan Kedu mempunyai potensi sebagai
pusat perdagangan barang dan jasa, pemerintahan, pendidikan, pelayanan
kesehatan, jasa rekreasi dan olah raga, transportasi dan pusat pergudangan dan
bengkel.
2.3 Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Konflik
2.3.1 Faktor latar belakang
Faktor latar belakang yang dimaksud dalam hal ini merupakan titik pangkal
masalah, yang merupakan alasan mula-mula timbulnya masalah konflik.
Yang dapat digolongkan ke dalam faktor latar belakang ini yaitu:
a. faktor struktural, yang meliputi :
1) UU Pembentukan daerah yang tidak menyebutkan batas-batas daerah;
2) Kebijakan mengenai perluasan daerah Kota Magelang, yakni kebijakan
Mendagri (waktu itu (tahun 1991) dijabat oleh Rudini) yang menyatakan
Desa Bulurejo, Banyurojo dan Mertoyudan seluruhnya menjadi wilayah
Kota Magelang, sehingga terjadi antagonisme dimana Kotamadya Dati II

Magelang berpegang pada kebijakan Mendagri tersebut sedangkan pihak


Kabupaten Dati II menolak kebijakan Mendagri. Faktor ini memang
merupakan faktor yang memicu konflik (terjadi aksi reaksi) apabila ditinjau
dari konteks perluasan wilayah Kotamadya Dati II Magelang dalam
rangka perubahan batas, namun dalam konteks penegasan batas daerah
faktor ini merupakan faktor latar belakang di masa sebelumnya yang
menimbulkan potensi konflik di masa yang akan datang.
3) faktor sejarah yang diwarnai perubahan batas daerah secara defacto menjadi
latar belakang yang menaikkan aspirasi pihak Kota Magelang untuk
menyatakan bahwa kawasan yang dimaksud termasuk wilayahnya,
meskipun hal tersebut tidak disertai pengesahan secara yuridis sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4) Peraturanperaturan yang berpengaruh pada eksistensi daerah, yaitu UU
Nomor 22 Tahun 1999 dan PP nomor 8 Tahun 2003. b. faktor kepentingan,
yang berupa kepentingan pengelolaan potensi sosial wilayah. Adapun
potensi yang ada berupa potensi sosial budaya dan potensi sosial ekonomi
yang dimiliki khususnya di wilayah desa Mertoyudan. Pada tahap ini, faktor
penyebab belum menimbulkan konflik berupa potensi yang dapat aktif
maupun tidak tergantung perilaku aktor yang terlibat konflik selanjutnya.
2.3.2 Faktor Pemicu Konflik
Faktor pemicu konflik yang dimaksud di sini adalah faktor langsung yang
menyebabkan peristiwa perselisihan yang lebih terbuka atau terjadinya aksi dan
atau reaksi dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Antagonisme berkaitan dengan
batas daerah antara Kabupaten Magelang dan Kota Magelang pertama kali
muncul karena faktor struktural, yaitu karena adanya kebijakan Mendagri pada
rencana perluasan wilayah Kota magelang dalam rangka perubahan batas wilayah
yang menentukan Desa Mertoyudan, Banyurojo, dan Bulurejo secara utuh
dialihkan menjadi wilayah Kota Magelang. Bermula dari peristiwa itu maka
penyelesaian persoalan batas daerah khususnya yang berkaitan dengan desa

Bulurejo, Banyurojo dan Mertoyudan, menjadi masalah yang sensitif dan


berpotensi menimbulkan antagonisme (konflik laten).
Dalam konteks penegasan batas daerah, yang dapat dikategorikan menjadi faktor
pemicu konflik adalah faktor kepentingan yang berupa kepentingan terhadap
eksistensi daerah. Oleh karena kepentingan ini maka terjadi aksi oleh Pemerintah
Kota Magelang dalam upaya untuk mempertahankan daerahnya dengan berupaya
menambah luas wilayah ke wilayah Kabupaten Magelang. Namun di sisi lain, aksi
tersebut mendapat reaksi dari Kabupaten Magelang yang tetap mempertahankan
keutuhan teritorialnya.
2.3.3 Faktor Akselelator
Faktor ini merupakan sebab-sebab yang meningkatkan ketegangan perselisihan
antara kedua belah pihak yang berkonflik atau faktor yang menyebabkan masingmasing pihak semakin bersemangat menggolkan aspirasinya.
Adapun yang dapat digolongkan menjadi faktor akselelator, yaitu:
a. Faktor kepentingan, yang berupa kepentingan politis elit, baik elit politik
ataupun elit birokrasi.
b. Faktor hubungan antar manusia, yang berupa:
1) salah persepsi di kalangan elit dari dua pihak yang berkonflik, khususnya
adanya persepsi di kalangan elit pihak Kabupaten Magelang bahwa
kebijakan Kota Magelang akan sedikit demi sedikit menggerogoti
Kabupaten Magelang.
2) tingkah laku negatif elit yang berulang, yang berupa suka memaksakan
kehendak dan kecenderungan terlalu money oriented dalam bekerja.
c. Konflik data, yang berupa:
1) perbedaan data (peta) yang digunakan;
2) masing-masing pihak memiliki persepsi dengan argumen yang berbeda
mengenai tingkat relevansi data yang digunakan.

Faktor-faktor akselelator tersebut muncul kemudian setelah konflik berlangsung.

2.4 Metode pendekatan guna menyelesaikan konflik batas wilayah


(1). Perselisihan yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan Keputusan bersama
ini, diselesaikan secara musyawarah yang dikoordinir oleh Badan Kerjasama
antar pemerintah daerah
(2). Apabila musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai
kesepakatan, maka penyelesaiannya difasilitasi Gubernur Wilayah masingmasing
(3). Apabila dalam penyelesaian sebagaimana dimaksud ayat (2) salah satu pihak
tidak menerima keputusan tersebut, dapat mengajukan penyelesaiannya
kepada Menteri dalam Negeri.
(4). Apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diselesaikan melalui Badan Peradilan.

2.5 Batas wilayah sebagai kewenangan pengelolaan administrasi pemerintah


Luas wilayah berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pendapatan asli daerah adalah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun
2004 yaitu merupakan bagian dari pendapatan daerah yang menjadi penunjang
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Menurut UU tersebut
pendapatan daerah merupakan semua hak daerah yang diakui sebagai penambah
nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Pendapatan daerah terdiri dari PAD, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan
daerah yang sah (hibah atau dana darurat dari Pemerintah). Pendapatan asli daerah
sendiri terdiri atas hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan (antara lain bagian laba dari Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) atau hasil kerjasama dengan pihak ketiga), serta lain-lain PAD
yang sah (antara lain: penerimaan daerah di luar pajak dan retribusi daerah seperti
jasa giro, hasil penjualan aset daerah). Adapun komponen PAD yang dekat dengan

permasalahan ini yaitu perolehan pajak daerah, retribusi daerah dan juga hasil
kerjasama dengan pihak ketiga.
2.6 Regulasi PERMENDAGRI Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Penegasan Batas Daerah
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
MENTERI DALAM NEGERI,
Menimbang :

a.

bahwa dalam rangka penentuan batas daerah secara


pasti di lapangan sesuai dengan amanat undang-undang
tentang pembentukan daerah, perlu dilakukan penegasan
batas daerah secara sistematis dan terkoordinasi;

b.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penegasan Batas
Daerah;

Mengingat

: 1.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan


Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3647);

2.

UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran


Negara Nomor 4437);
3.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang


Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4438);

4.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun


2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam
Negeri;

MEMUTUSKAN :
Menetapkan

PERATURAN
TENTANG

MENTERI
PEDOMAN

DALAM

NEGERI

PENEGASAN

BATAS

DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri ini yang dimaksud dengan:
1.

Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau


Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.

2.

Daerah adalah daerah provinsi dan kabupaten/kota.

3.

Penegasan batas daerah adalah kegiatan penentuan


batas secara pasti di lapangan.

4.

Batas

daerah

adalah

pemisah

wilayah

penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan daerah lain.


5.

Batas daerah di darat adalah pemisah wilayah


administrasi pemerintahan antara daerah yang berbatasan berupa pilar batas
di lapangan dan daftar koordinat di peta.

6.

Batas daerah di laut adalah pemisah antara daerah


yang berbatasan berupa garis khayal (imajiner) di laut dan daftar koordinat di
peta yang dalam implementasinya merupakan batas kewenangan pengelolaan
sumber daya di wilayah laut.

7.

Peta Dasar adalah peta yang memuat unsur


topografi/rupabumi atau batimetri dan digunakan sebagai dasar pembuatan
peta turunan/tematik.

8.

Peta batas daerah adalah peta tematik yang


menyajikan unsur-unsur batas dan unsur-unsur topografi/rupabumi atau
batimetri yang terkait.

9.

Pelacakan batas daerah di darat adalah kegiatan


untuk menentukan letak batas di darat berdasarkan kesepakatan dan
pemasangan tanda batas sementara.

10.

Pelacakan batas daerah di laut adalah kegiatan


untuk menentukan letak batas di laut berdasarkan kesepakatan dan penentuan
lokasi titik acuan.

11.

Titik acuan adalah titik yang digunakan sebagai


referensi untuk menentukan posisi titik awal.

12.

Titik awal adalah titik koordinat yang terletak pada


garis pantai dan ditetapkan sebagai titik untuk menentukan garis dasar.

13.

Garis pantai adalah garis yang dibentuk oleh


perpotongan garis air rendah dengan daratan.
BAB II
PENEGASAN BATAS DAERAH
Pasal 2

(1)

Penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas


daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di
lapangan;

(2)

Penegasan batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam


rangka menentukan letak dan posisi batas secara pasti di lapangan sampai
dengan penentuan titik koordinat batas diatas peta.
Pasal 3

Penegasan batas daerah berpedoman pada batas-batas daerah yang ditetapkan


dalam Undang-undang Pembentukan Daerah.
Bagian Pertama
Darat

Pasal 4
(1) Penegasan batas daerah di darat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
diwujudkan melalui tahapan :
a. penelitian dokumen
b. pelacakan batas;
c. pemasangan pilar batas;
d. pengukuran dan penentuan posisi pilar batas;
e. pembuatan peta batas.
(2) Tahapan penegasan batas daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan prinsip geodesi.
(3) Setiap tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita
acara kesepakatan.
Pasal 5
Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada pasal 4 huruf a meliputi :
a.

Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembentukan Daerah.

b.

Dokumen lainnya yang disepakati oleh daerah yang bersangkutan.


Pasal 6

(1)

Kegiatan pelacakan batas daerah di lapangan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b meliputi penentuan titik-titik batas dan garis
batas sementara di lapangan.

(2)

Penentuan titik-titik batas dan garis batas sementara di lapangan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam peta kerja sebagai
turunan peta dasar.
Pasal 7

Pemasangan pilar batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c
dilakukan untuk memberikan tanda batas secara pasti di lapangan.
Pasal 8
Pengukuran dan penentuan posisi pilar batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) huruf d dilakukan untuk menentukan koordinat titik-titik batas.

Pasal 9
Pembuatan peta batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e
dilakukan dengan metode :
a.

kompilasi/penurunan dari peta topografi dan/atau peta rupa bumi;


atau

b.

terestris; atau

c.

fotogrametris.
Bagian Kedua
Laut
Pasal 10

(1) Penegasan batas daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
diwujudkan melalui tahapan :
a.

penelitian dokumen;

b.

pelacakan batas;

c.

pemasangan pilar di titik acuan;

d.

penentuan titik awal dan garis dasar;

e.

pengukuran dan penentuan batas; dan

f.

pembuatan peta batas.

(2) Tahapan penegasan batas daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan prinsip geodesi dan hidrografi.
(3) Setiap tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita
acara kesepakatan.
Pasal 11
Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a
meliputi :
a.

Peraturan Perundang-undangan tentang Pembentukan Daerah.

b.

Dokumen lainnya yang disepakati oleh daerah yang bersangkutan.

Pasal 12
(1) Pelacakan batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b
dilakukan untuk menentukan titik acuan di lapangan.
(2)

Penentuan titik acuan di lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


didasarkan pada peta dasar.
Pasal 13

Pemasangan pilar titik acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf c dijadikan acuan dalam penentuan titik awal dan titik batas.

Pasal 14
(1)

Penentuan titik awal dan garis dasar sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 10 ayat (1) huruf d diperoleh dari hasil survei hidrografi atau peta laut
skala terbesar yang tersedia.

(2)

Penentuan garis dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


diperoleh dari dua titik awal yang berdekatan.

(3)

Garis dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari garis
dasar lurus dengan jarak tidak lebih dari 12 mil laut dan garis dasar normal
yang mengikuti bentuk garis pantai.
Pasal 15

(1)

Pengukuran dan penentuan batas daerah di wilayah laut sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf e menggunakan garis dasar.

(2)

Pengukuran dan penentuan batas daerah di wilayah laut sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Batas antara dua daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang
berdampingan, diukur mulai dari titik batas sekutu pada garis pantai
antara kedua daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota kearah
laut yang ditetapkan berdasarkan prinsip sama jarak;
b. Batas antara dua daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak
kurang dari 24 mil laut diukur berdasarkan prinsip garis tengah;

c. Batas antara dua daerah kabupaten dan daerah kota dalam satu daerah
provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 8 mil
laut, diukur berdasarkan prinsip garis tengah;
d. Batas wilayah laut pulau kecil yang berada dalam satu daerah provinsi dan
jaraknya lebih dari dua kali 12 mil laut, diukur secara melingkar dengan
lebar 12 mil laut; Hasil pengukuran dan penentuan batas daerah di
wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan
daftar koordinat titik batas daerah di wilayah laut.
Pasal 16
Pembuatan peta batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f,
dilakukan berdasarkan metode :
a.

kompilasi dan atau penurunan dari peta laut yang telah tersedia;

b. pemetaan terestris, atau;


c. pemetaan fotogrametris.
Bagian Ketiga
Peta Batas Daerah
Pasal 17
(1)

Peta batas daerah mencakup batas daerah di darat dan di laut.

(2)

Peta batas daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan


skala minimal :
a. Provinsi
b. Kabupaten
c. Kota

1 : 500.000;
1 : 100.000;
1 : 50.000.

BAB III
TIM PENEGASAN BATAS DAERAH
Pasal 18

(1) Penegasan batas daerah dilakukan oleh Tim Penegasan Batas Daerah.
(2) Tim Penegasan Batas Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri
atas :
a.

Tim Penegasan Batas Daerah Tingkat Pusat.

b.

Tim Penegasan Batas Daerah Propinsi, dan

c.

Tim Penegasan Batas Daerah Kabupaten/Kota.

(3) Tim Penegasan Batas Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ditetapkan oleh:
a.

Menteri Dalam Negeri untuk tingkat pusat;

b.

Gubernur untuk provinsi;

c.

Bupati/Walikota untuk kabupaten/kota.


BAB IV
KEPUTUSAN PENEGASAN BATAS DAERAH
Pasal 19

(1)

Keputusan penegasan batas daerah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(2)

Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil


verfikasi Tim Penegasan Batas Daerah Tingkat Pusat.

(3)

Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat peta batas


daerah.
BAB V
FASILITASI PERSELISIHAN BATAS DAERAH
Pasal 20

(1)

Penyelesaian perselisihan batas antar daerah kabupaten/kota dalam


satu provinsi difasilitasi oleh Gubernur.

(2)

Penyelesaian perselisihan batas daerah antar provinsi dan antar


kabupaten/kota yang berbeda provinsi difasilitasi oleh Menteri Dalam
Negeri.

BAB VI
PEMBIAYAAN
Pasal 21
Pelaksanaan kegiatan penegasan batas daerah dibiayai melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan didukung melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 22
Penegasan batas daerah yang berbatasan dengan negara lain berpedoman pada
batas Negara Kesatuan Republik Indonesia atau perjanjian antara Pemerintah
Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Teknis penegasan batas daerah tercantum dalam lampiran peraturan ini.
Pasal 24
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

BAB III
KESIMPULAN dan SARAN
3.1 Kesimpulan
Dalam melakukan penegasan batas berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.
Langkah/tahapan yang harus dilakukan yaitu : Penelitian Dokumen, pelacakan
batas, pengukuran penentuan posisi pilar batas, pemasangan pilar batas,
pembuatan peta batas.
Permasalahan mengenai batas wilayah sangat berpengaruh buruk terhadap daerah
sengketa, hal ini ditinjau dari aspek-aspek berikut :

Ketidakjelasan Luas Wilayah Kota dan Kabupaten Magelang


Ketidakjelasan Administrasi Pertanahan
Ketidakjelasan Perijinan Pengelolaan SDA
Kesulitan Pengaturan Tata Ruang Daerah
Ketidakjelasan anggaran administrasi daerah

3.2 Saran
Setelah memahami permasalahan yang terjadi, maka dapat dirumuskan
pertimbangan-pertimbangan yang direkomendasikan untuk penyelesaian masalah
sebagai berikut:
a. Masing-masing pihak perlu melakukan evaluasi terhadap upaya mewujudkan
kesepakatan dalam penegasan batas daerah yang tengah dilaksanakan dan
hingga kini belum membuahkan hasil yang memuaskan. Evaluasi dimaksud
adalah evaluasi secara sungguh-sungguh dan menyeluruh terhadap pelaksanaan
Kesepakatan Bersama Nomor Tahun 11 2007 tanggal 23 Januari 2007 tentang
Pelaksanaan 01/ PERJ / I / 2007 Penegasan Batas Daerah Antara Pemerintah
Kota Magelang dengan Pemerintah Kabupaten Magelang.

b. Evaluasi tersebut dimulai dari koreksi internal masing-masing organisasi yang


mencakup evaluasi kinerja pelaksana kegiatan penegasan batas daerah,
sehingga tindak lanjut dari evaluasi diharapkan dapat mengeliminir faktorfaktor akselelator yang terjadi di tingkat teknis pelaksana. Dengan demikian
dapat terwujud:
1) perumusan dan penyajian telaahan ataupun data-data yang bebas dari
muatan kepentingan yang cenderung mengarahkan kebijakan yang sematamata mengejar keuntungan sepihak.
2) Tidak muncul kembali kesan perilaku negatif oleh pihak lain seperti suka
memaksakan kehendak dalam proses koordinasi dan adanya perilaku yang
cenderung money oriented.
3) sumber daya manusia yang kompeten sehinggga terhindar dari
ketidakseimbangan profesionalitas sumber daya manusia antara kedua
belah pihak yang menyebabkan adanya perbedaan data yang digunakan
dan perbedaan argumen mengenai tingkat relevansi data.
Hal tersebut perlu untuk menciptakan de-eskalasi konflik yang telah
disebabkan oleh faktor akselelator di kalangan kaum berpengaruh dan para
aktivis.
c. Secara normatif (ketentuan dalam Pasal 198 UU Nomor 32 Tahun 2004, Pasal
20 Permendagri Nomor 1 Tahun 2006) penyelesaian perselisihan yang berlarutlarut tersebut mestinya dilakukan oleh Gubernur Provinsi Jawa Tengah yang
bertindak

sebagai

mediator/fasilitator,

namun

karena

konflik

juga

dilatarbelakangi oleh kebijakan Mendagri waktu itu maka sebagai fasilitator


Gubernur harus menyampaikan meneruskan permasalahan kepada Pemerintah
(Mendagri) untuk penanganan selanjutnya. Dalam hal ini yang perlu
diperhatikan

bahwa

pendekatan

struktural

(keputusan/penetapan

oleh

Pemerintah) dapat menimbulkan konflik, jadi perlu dihindari keputusan yang


dapat meningkatkan aspirasi salah satu atau kedua pihak.

d. Masing-masing pihak hendaknya mempersiapkan diri untuk konsiliasi dengan


memperhatikan tiga faktor :
1) kedua pihak harus mengakui kenyataan dan situasi konflik yang terjadi di
antara mereka (pengakuan atas kepentingan yang diperjuangkan oleh pihak
lain).
2) kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan harus terorganisasikan secara
rapi, tidak tercerai-berai dan terkotak-kotak sehingga masing-masing pihak
memahami dengan jelas lingkup tuntutan pihak lain.
3) kedua pihak menyepakati aturan main (rules of the game) yang menjadi
landasan dan pegangan dalam hubungan dan interaksi di antara mereka.
e. Konsiliasi dilakukan dengan cara semua pihak berdiskusi dan berdebat secara
terbuka dan mendalam untuk mencapai kesepakatan tanpa ada pihak-pihak
yang memonopoli pembicaraan atau memaksakan kehendak.
f. Meningkatkan kembali dukungan elit politik yang dilandasi semangat persatuan
dan kesatuan dalam kerangka NKRI yang pada waktu terdahulu mampu
bersama-sama memperhatikan kendala yang dihadapi Kota Magelang
khususnya dalam rangka mengatasi kepadatan penduduk kota. Artinya perlu
disadari oleh elit politik bahwa demi kepentingan masyarakat yang lebih luas
terkadang kepentingan tertentu perlu dinegosiasikan.

DAFTAR PUSTAKA
http://catatanagam.blogspot.com/2008/05/menyoal-sengketa-batas-wilayah.html
(diakses pada 10 Mei 2015)
http://eprints.undip.ac.id/18347/1/NANANG_KRISTIYONO.pdf (diakses pada
10 Mei 2015)
http://hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/04/jurnal-emanuel.doc (diakses
pada 10 Mei 2015)
http://www.radarjogja.co.id/blog/2015/03/30/sengketa-tapal-batas-magelangbelum-rampung/ (diakses pada 10 Mei 2015)
Permendagri Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penetapan Batas Daerah

Anda mungkin juga menyukai