Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui apa itu batas-batas dilayah di darat
2. Mengetahui metode yang digunakan untuk mementukan batas wilayah di darat
3. Mengetahui peraturan penentuan batas wilayah di darat

1.3 Metode

BAB II
METODE PENELITIAN

BAB III
Hasil Dan Analisa

3.1 Batas Daerah


Batas daerah adalah pemisah wilayah penyelenggaraan kewenangan suatu daerah
dengan daerah lain dan bukan merupakan alokasi teritorial sehingga tidak menentukan
kedaulatan (Kementerian Dalam Negeri, 2011). KEsalahn dan tidak akuratnya gambar
garis batas wilayah di peta berpotensi menimbulkan perselisihan posisional antar
daerahyang berbatasan (Adler, 1995).
Konflik permasalahan batas yang terjadi biasanya bersumber pada pemberian izin
kegiatan, pembagian hasil pengelolaan kegiatan di suatu wilayah, maupun akibat dari
interaksi antara masyarakat disekitar lokasi kegiatan ekonomi. Disamping itu
permasalahan batas daerah muncul antara lain disebabkan oleh pemekaran Daerah
Otonom Baru, perebutan sumber daya alam terkait dengan pendapatan asli daerah dan
kurangnya pemahaman terhadap garis batas pada peta dasar yang ada. Oleh karena itu,
penegasan batas daerah sangat penting untuk mencegah terjadinya konflik batas daerah
yang dapat menimbulkan kerugian materi atau non materi. Bila tidak segera diselesaikan
maka berpotensi menurunkan tingkat pelayanan kepada masyarakat.
Untuk meminimalisir konflik terkait batas wilyah sekaligus melakukan percepatan
penyelesaian penetapan batas wilayah, diperlukan pembuatan peta batas daerah
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembuatan peta terkait erat
dengan ilmu Geodesi dan keruangan (spasial) yaitu dilakukan dengan memanfaatkan
metode survei sipat datar (levelling), survei gaya berat, survei GPS dan lain- lain (Abidin
et al., 2002; 2004; 2007), namun memerlukan tenaga dan dana yang besar.
Permendagri No. 76 tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah
dimana sebelumnya adalah Permendagri No. 1 tahun 2006, menerangkan proses
penetapan segmen garis batas dapat dilakukan dengan menggunakan metode kartometrik.
Metode kartometrik adalah penelusuran atau penarikan garis batas pada peta kerja
ataupun peta dasar dan pengukuran atau penghitungan posisi titik, jarak serta luas
cakupan wilayah dengan menggunakan peta dasar dan peta- peta lain sebagai pelengkap
(Kementerian Dalam Negeri, 2012).
Selain itu, proses penetapan batas wilayah juga dapat dilakukan dengan
menggunakan metode pemetaan partisipatif, dimana proses pengambilan data dan
informasi di lapangan mengenai batas daerah tersebut melibatkan partisipasi aktif dari
masyarakat dan perangkat pemerintahan sebagai perencana dan pemberi informasi
sekaligus sebagai pelaku pemetaan (Hidayat, 2005; Prayitno, 2012; Restu Pande, 2014).
Pembuatan peta batas wilayah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menghindari
masalah konflik batas dan sebagai sarana optimalisasi pembangunan di daerah tersebut.

3.2 Batas Desa


Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penetapan batas
desa adalah kegiatan penentuan batas secara kartometrik diatas peta dasar yang disepakati.
Berdasarkan Permendagri No.27 Tahun 2006 pasal 1 menjelaskan bahwa Batas desa adalah batas
wilayah yurisdiksi pemisah wilayah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan suatu desa dengan desa yang lain. Batas wilayah desa yang dinyatakan dalam
bentuk peta Desa yang ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota.
Dalam Permendagri No.27 Tahun 2006 pasal 5 ayat, batas desa adalah pembatas wilayah
administrasi pemerintahan antar desa yang merupakan rangkaian titik-titik koordinat yang berada
pada permukaan bumi dapat berupa tanda-tanda alam seperti igir/punggung gunung/pegunungan
(watersheed), median sungai dan/atau unsur buatan (jalan, rel kereta, saluran irigasi, dan pilar
batas) dilapangan yang dituangkan dalam bentuk peta. Penggunaan unsur-unsur alam akan
mengakibatkan batas menjadi dinamis akibat perubahan bentang alam. Hal inilah yang
menyebabkan bergesernya batas suatu daerah. Namun penggunaan unsur alam ini umumnya
mudah diidentifikasi oleh masyarakat sekitar (Arsana, 2006).
Penetapan batas desa terdiri dari tiga kegiatan, yaitu:
1. Penelitian dokumen batas, terkait dengan undang-undang, sumber hukum dan peraturan-
peraturan lainnya, yang tertulis maupun yang tidak tertulis tentang pembentukan desa
bersangkutan, misalnya Peraturan Pemerintah No.72 tahun 2005 tentang desa, undang-
undang No. 6 tahun 2014, peta administrasi desa yang telah ada, peta batas desa yang
sudah ada, peta rupa bumi, citra satelit, peta topografi dan dokumen sejarah dan data
lainnya.
2. Penentuan peta dasar, peta yang dapat digunakan untuk menggambarkan batas desa
secara kartometrik, seperti : peta citra, peta rupa bumi, peta pajak bumi dan
bangunan,peta pendaftaran tanah. 

3. Pembuatan Peta batas desa secara kartometrik, pembuatan peta batas desa dibuat sesuai
dengan spesifikasi teknis yang sudah ditentukan. Dalam hal ini mengikuti spesifikasi
sebagai berikut : 
 Tabel I. 1. Spesifikasi teknis pemetaan wilayah desa 


Jenis
No Persyaratan
1 Datum Horizontal DGN 95

2 Elipsoid Referensi WGS 1984


3 1 : 3.500 – 1: 10.000
Skala peta
Sistem Proyeksi Peta
4 Transverse Mercator (TM)
5 Sistem Grid Universal Transverse Mercator (TM)
6 Ketelitian Planimetris
0.5 mm diukur di atas peta

Sumber : Permendagri Nomor 27 tahun 2006

Batas desa indikatif pada Peta Rupa Bumi Indonesia selanjutnya disebut peta RBI adalah batas
sementara yang dibuat oleh tim penetapan batas desa pada peta RBI yang merupakan batas desa
yang tidak dapat digunakan sebagai acuan batas desa yang benar akan tetapi batas indikatif
dibuat dengan tujuan memudahkan tim penetapan batas dalam pembuatan batas desa yang
sebenarnya (Khafid, 2013).

3.4 Metode Kartometrik


Metode kartometrik adalah penelusuran/penarikan garis batas pada peta kerja dan
pengukuran/perhitungan posisi titik, jarak serta luas cakupan wilayah dengan menggunakan peta
dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap. Penerapan metode
kartometrik ini mengikuti spesifikasi teknis yang sudah ditentukan oleh Peraturan Menteri
Dalam Negeri No.27 tahun 2006 (Permendagri, 2006). Metode kartometrik ini dilakukan
langsung di atas peta dasar dengan cara membuat garis batas desa di atas peta dasar secara
manual menggunakan alat tulis untuk membuat batas desa dan survei lapangan jika diperlukan.
Pengukuran dan penentuan posisi titik batas secara kartometrik dilakukan dengan tahapan
sebagai berikut : Pengukuran titik-titik koordinat batas dengan pengambilan (ekstraksi) titik-titik
koordinat pada jalur batas dengan interval tertentu menggunakan peta kerja. Pengukuran
berpedoman pada hasil pelacakan yang disepakati. Hasil pengukuran dalam bentuk daftar titik-
titik koordinat batas desa. Hasil pengukuran dan penentuan posisi dituangkan dalam berita acara.

3.5 Ajudikasi
Menurut definisi hukum Kamus Umum Bahasa Indonesia “Ajudikasi” adalah penyelesaian
perkara atau sengketa di pengadilan; pengambilan keputusan. Kegiatan ajudikasi meliputi
pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan
sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis, penyimpanan daftar umum dan dokumen untuk
memperoleh data fisik yang diperlukan untuk penetapan batas, kumpulan dari bidang-bidang
tanah (persil) yang akan dipetakan dilakukan pengukuran, ditetapkan letaknya, batas-batasnya
dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas disetiap titik batas yang bersangkutan.
Ajudikasi yang dimaksud dalam kegiatan ini bukan merupakan pengertian ajudikasi dalam
pendaftaran tanah tetapi yang dimaksud dengan ajudikasi dalam hal ini adalah kegiatan
penetapan batas desa yang diwujudkan melalui tahapan penelitian dokumen, penentuan peta
kerja yang dipakai, dan deliniasi batas secara kartometrik diatas peta kerja.
1. Penelitian dokumen, Dokumen batas yang perlu disiapkan adalah perundang- undangan dan
peraturan lainnya, baik yang bersifat tertulis maupun yang tidak tertulis tentang pembentukan
batas yang ditentukan. Dokumen batas yang perlu disiapkan, antara lain adalah :
a. Batas desa indikatif dari peta RBI 

b. Peta acuan batas desa seperti : peta rupa bumi, peta topografi, peta pajak 
 bumi dan
bangunan, peta pendaftaran tanah dan peta citra satelit 

c. Data lainnya dan dokumen sejarah. 

2. Penentuan peta dasar, menurut undang-undang No. 4 tahun 2011 tentang informasi
geospasial, peta dasar yang digunakan untuk menggambarkan batas desa secara kartometrik
dapat menggunakan peta rupa bumi, peta topografi, peta hipsografi, peta perairan, peta batas
wilayah, peta penutup lahan sebagai peta acuan batas secara kartometrik. 

3. Deliniasi batas secara kartometrik di atas peta kerja, penarikan garis batas secara kartometrik
di atas peta kerja di sesuaikan dengan spesifikasi peta yang ada yaitu mengacu kepada
lampiran Permendagri nomor 27 tahun 2006 tentang prosedur penetapan dan penegasan batas.

Tahapan kegiatan ajudikasi batas desa :
1. Mendatangi kelurahan yang akan ditetapkan batasnya dengan membawa peta kerja yang
telah disiapkan 

2. Melakukan penarikan batas desa secara kartometrik diatas peta kerja. 

3. Melakukan survei lapangan jika diperlukan. 


3.6 Citra QuickBird


Satelit Quickbird adalah satelit pertama yang dikembangkan oleh perusahaan Digital Globe yang
memiliki keakuratan yang tinggi dan merupakan citra komersial beresolusi tinggi. Citra
pankromatik dan multispektral citra Quickbird didesain untuk mendukung aplikasi pembuatan
peta batas wilayah yang membutuhkan resolusi citra yang tinggi untuk memudahkan identifikasi
obyek diatas citra.

Tabel I. 2. Karakteristik Citra Quickbird


Diluncurkan
Tanggal 18 Oktober 2001 di Pangkalan SLC-2W, Vandenberg Air Force B
Delta II
Wahana
Dengan ketinggian 450 km dari permukaan bumi, waktu/periode orbit 93,
Orbit
2-3 hari tergantung pada lintang
128 gigabits kira-kira 57 image single area
Koleksi per orbit
Inklinasi 98 ̊ gigabits kira-kira 57 image single area

Nominal lebar swath : 16,5 km pada nadir. Ground swath yang dapat dica
Lebar swath
satelit (sampai 30 ̊ off-nadir)
Single area : 16,5 km x 16,5 km Strip : 16,5 km x 115 km
Ukuran area yang tercakup
23 m circular error, 17 m linear error (tanpa kontrol tanah)
Ketelitian metric
Pankromatik Multispektral
Sensor
0,61 m (2ft) Ground Sample Distance
2,4 m (8ft) GSD pada nadi
Resolusi (GSD) pada nadir

Blue : 450-520 nm Green :


Bandwidth spectral Hitam dan putih : 445- 900 nm
760-900 nm
Rentang Dinamik
11 bits per piksel 11 bits per piksel
Sumber : Harintaka, 2005

Citra Quickbird memiliki resolusi image pankromatik 0,61 m dan resolusi multispektralnya
sebesar 2,4 m dari nadir. Citra pankromatik maupun spektral sangat baik untuk melakukan
klasifikasi dan interpretasi obyek di permukaan bumi dengan cakupan yang luas. Dengan citra
pankromatik tekstur dan bentuk dari suatu obyek
akan sangat terlihat jelas detilnya. Dari citra multispektral yang terdiri dari beberapa band (RGB)
citra akan memiliki warna, hal tersebut akan memudahkan kita untuk mengenali obyek di
lapangan berdasarkan warna yang divisualisasikan pada citra. Sehingga dapat meningkatkan
kemampuan interpretasi citra secara manual.
Citra Quickbird adalah citra yang memiliki resolusi yang tinggi, dengan resolusi yang tinggi
tersebut obyek di lapangan yang dijadikan sebagai acuan penetapan batas seperti garis tepi
sungai, garis tepi jalan, pematang sawah dan obyek-obyek lainnya akan mudah diidentifikasi.
Untuk menafsirkan atau mengkaji obyek-obyek yang tampak pada citra dilakukan interpretasi
citra. Interpretasi citra dapat didefinisikan sebagai proses menafsirkan secara intensif suatu citra
yang dilaksanakan secara menyeluruh untuk mengidentifikasi dan menyimpulkan kenampakan
unsur-unsur yang ada pada citra tersebut, yang selanjutnya digunakan untuk menyajikan
informasi yang diperlukan mengenai daerah yang diinterpretasi (Sumaryo, 2002).

3.6.1 Koreksi Geometrik. Koreksi Geometrik terdiri dari dua langkah yaitu : Georeferensi dan
rektifikasi. Georeferensi adalah suatu proses pemberian koordinat peta pada citra yang
sebenarnya telah planimetris. Dalam arti pemberian sistem koordinat suatu peta hasil pada hasil
digitasi peta atau hasil scaning citra. Hasil dari digitasi citra sebenarnya sudah datar tetapi area
yang direkam masih memiliki kesalahan (distorsi) yang diakibatkan oleh pengaruh kelengkungan
bumi dan sensor itu sendiri. Koreksi geometrik sesungguhnya melibatkan proses georeferensi
karena semua sistem proyeksi sangat terkait dengan koordinat peta. Registrasi citra ke citra
melibatkan proses georeferensi apabila citra acuannya sudah digeoreferensi. Georeferensi hanya
merubah sistem koordinat peta dalam file citra, sedangkan grid citra tidak berubah
(Prasetyo,2008).
Rektifikasi adalah proses melakukan transformasi data dari satu sistem grid menggunakan suatu
transformasi geometrik. Karena posisi piksel pada citra output (hasil) tidak sama dengan posisi
piksel input (aslinya) maka piksel-piksel yang digunakan untuk mengisi citra yang baru harus
dilakukan ekstrapolasi nilai data untuk piksel-piksel pada sistem grid yang baru dari nilai piksel
citra aslinya (Harintaka. 2005).
Tahap dalam rektifikasi peta secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Memilih titik kontrol lapangan (Ground Control Point). GCP tersebut sedapat mungkin
adalah titik-titik yang mudah berubah dalam jangka waktu lama, misalkan tugu
dipersimpangan jalan atau di pojok bangunan.GCP harus menyebar merata keseluruh
obyek citra yang akan dikoreksi. Dan juga bisa menggunakan peta RBI untuk penarikan
GCP dalam penetapan batas sebagai kontrol kualitas titik. 

2. Membuat persamaan transformasi yang digunakan untuk interpolasi spasial. Persamaan
yang sering digunakan adalah :
 Ordo I : disebut juga persamaan affin (diperlukan 3
GCP)
 Ordo II : Memerlukan 6 GCP 
 Ordo III : Memerlukan 10 GCP 

3. Menghitung kesalahan RMS (Root Mean Square Error) dari GCP yang 
 dipilih.Pada
umumnya tidak boleh dari 0,5 piksel. 

4. Melakukan interpolasi intensitas (nilai kecerahan). 


3.7 Dasar Hukum Penetapan Batas Desa.


Dasar hukum dalam penetapan batas daerah adalah Peraturan Pemerintah No. 72/2005 tentang
desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 27/2006 tentang penetapan dan penegasan batas
desa.

3.7.1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005. PP No.7/2005 tentang desa merupakan
Peraturan Pemerintah melaksanakan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang No.3 tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah yang ditetapkan dengan undang-undang Nomor 8 tahun 2005.
Menurut PP No.7/2005 pasal 1 ayat (5), Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-
usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014. Undang-undang No.6/2014 tentang desa dibuat


mengingat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 5 ayat 1, pasal 18, pasal 18B
ayat 2, pasal 20, pasal 22D ayat 2 bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia,
desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar
menjadi kuat, maju, demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam
melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur,
sejahtera. Berdasarkan bab III tentang penataan desa pasal 8 ayat (3) huruf f menyatakan bahwa
batas wilayah desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang telah ditetapkan dalam
peraturan Bupati/Walikota. Menurut pasal 17 ayat 2 peraturan daerah Kabupaten/Kota tentang
pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan perubahan status desa menjadi kelurahan atau
kelurahan menjadi desa diundangkan setelah mendapat nomor registrasi dari Gubernur dan kode
desa dari menteri disertai lampiran peta batas wilayah desa. Pembuatan peta wilayah desa harus
menyertai instansi teknis terkait dalam hal ini adalah Badan Informasi Geospasial.

3.7.2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2006. Permendagri No.27/2006
tentang”Penetapan dan Penegasan Batas Desa” merupakan tindak lanjut untuk melaksanakan
ketentuan pasal 106 Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 tentang desa,perlu menetapkan
peraturan menteri dalam negeri tentang penetapan dan penegasan batas desa. diadakannya
penetapan dan penegasan batas desa ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap
batas desa di wilayah darat dan sebagai acuan dalam melaksanakan kegiatan penetapan dan
penegasan batas desa secara tertib dan terkoordinasi.
Permendagri No.27 tahun 2006 tentang”Penetapan dan Penegasan Batas Desa” menyatakan
bahwa penetapan dan penegasan batas desa yang dilakukan mengikuti prinsip-prinsip penetapan
batas desa yang telah ditentukan dalam lampiran Permendagri No. 27 tahun 2006. Penetapan
batas desa dilakukan secara kartometrik di atas peta dasar yang disepakati.
Penegasan batas daerah berpedoman pada batas daerah yang ditetapkan dalam undang-undang
pembentukan daerah, peraturan perundang-undangan, dan dokumen lain yang mempunyai
kekuatan hukum.Batas daerah hasil penegasan batas ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri
dengan Peraturan Menteri yang memuat titik koordinat batas daerah yang diuraikan dalam
batang tubuh dan dituangkan dalam bentuk peta batas dan daftar titik koordinat yang tercantum
dalam laporan.

3.8 Peta Batas Desa


Peta adalah suatu gambaran dari permukaan bumi dalam skala tertentu dan diGambarkan pada
bidang datar menggunakan simbol–simbol tertentu melalui sistem proyeksi peta (Riyadi, 1994).
Peta hasil penetapan batas adalah peta batas wilayah yang dibuat secara kartometrik dari peta
dasar yang telah ada dan pengukuran di lapangan. Proses pembuatan peta batas desa dapat
dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan pembuatan peta situasi atau dibuat dari peta
yang sudah ada (diturunkan dari peta digital).
Pembuatan peta batas desa dapat diperoleh dari peta-peta yang sudah ada seperti peta-peta dasar,
peta pendaftran tanah, peta blok, citra satelit dan sumber data lainnya. Proses pembuatan peta
batas desa perlu dilakukan penyesuaian skala dengan peralatan dan metode yang digunakan.
Detil yang digambarkan pada peta batas desa adalah unsur-unsur yang berkaitan dengan batas
desa seperti pilar batas, jaringan jalan, perairan dan detil lainnya sesuai dengan keperluan desa.
Pembuatan peta batas desa dilakukan dengan dijitasi dengan perangkat lunak Arc.GIS dan
dicetak dengan menggunakan plotter atau printer.
Peta batas desa yang telah disetujui oleh Kepala Desa yang berbatasan dicetak dalam jumlah
tertentu untuk mendapatkan pengesahan dari Bupati/Walikota. Peta batas desa yang merupakan
batas antar provinsi dan/atau batas antar Kabupaten/Kota akan diputuskan oleh Menteri Dalam
Negeri.
BAB IV
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai