Anda di halaman 1dari 37

Presentasi Kasus Farmasi

DISENTRI BASILER

Oleh:
Fitroh Annisah
G99141048

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I

PENDAHULUAN
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron
(usus). yang berarti radang usus yang ditandai gejala diare, adanya lendir dan
darah dalam tinja, serta nyeri perut dan tenesmus (Tjokroprawiro, 2007).
Disentri

merupakan

tipe

diare

yang

berbahaya

dan

seringkali

menyebabkan kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit
ini dapat disebabkan oleh bakteri (disentri basiler) dan amoeba (disentri amoeba).
Bakteri penyebab disentri basiler adalah genus Shigella sehingga dapat juga
disebut shigellosis. Di Amerika Serikat, insiden disentri amoeba mencapai 1-5%
sedangkan disentri basiler dilaporkan kurang dari 500.000 kasus tiap tahunnya.
Sedangkan angka kejadian disentri amoeba di Indonesia sampai saat ini masih
belum ada, akan tetapi untuk disentri basiler dilaporkan 5% dari 3848 orang
penderita diare berat menderita disentri basiler (Syaroni, 2006).
Kebanyakan kuman penyebab disentri basiler ditemukan di negara
berkembang dengan kesehatan lingkungan yang masih kurang. Disentri amoeba
tersebar hampir ke seluruh dunia terutama di negara yang sedang berkembang
yang berada di daerah tropis. Hal ini dikarenakan faktor kepadatan penduduk,
higiene individu, sanitasi lingkungan dan kondisi sosial ekonomi serta kultural
yang menunjang. Penyakit ini biasanya menyerang anak dengan usia lebih dari 5
tahun. Spesies Entamoeba menyerang 10% populasi di dunia. Prevalensi yang
tinggi mencapai 50% di Asia, Afrika dan Amerika selatan. Sedangkan genus
Shigella terjadi pada 15.000 kasus di Amerika Serikat dan di negara-negara
berkembang, Shigella flexeneri dan Shigella dysentriae menyebabkan 600.000
kematian per tahun (Oesman, 2006).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron
(usus) yang berarti radang usus. Disentri basiler / shigellosis merupakan suatu
infeksi akut yang mengakibatkan radang pada kolon, yang disebabkan kuman
genus Shigella, yang ditandai gejala dengan gejala khas yang disebut sebagai
sindroma disentri, yakni:
1. Sakit di perut yang sering disertai dengan tenesmus
2. Berak-berak
3. Tinja mengandung darah dan lendir (Tjokroprawiro, 2007; Syaroni,
2006).
.
B. Epidemiologi
Disentri basiler terdapat terutama di negara sedang berkembang dengan
lingkungan yang kurang dan penghuni yang padat. Disentri mudah menyebar
pada kondisi lingkungan yang jelek (Tjokroprawiro, 2007). Sekitar 1,1 juta
orang diperkirakan meninggal akibat infeksi Shigella setiap tahun, dengan
60% dari kematian yang terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun. Dengan
tidak adanya vaksin yang efektif yang tersedia, peningkatan frekuensi
antimikroba-tahan strain Shigella di seluruh dunia telah menjadi sumber
utama keprihatinan. Selama survei dari 600.000 orang dari segala usia di
Bangladesh, Cina, Pakistan, Indonesia, Vietnam dan Thailand, Shigellosis
terjadi di 5% dari episode diare 60.000 terdeteksi antara 2000 dan 2004 dan
sebagian besar isolat bakteri resisten terhadap amoksisilin dan kotrimoksazol
(Oesman, 2006).
Demikian pula, selama penelitian surveilans 36-bulan di sebuah distrik
pedesaan di Thailand, di mana kejadian Shigellosis diukur untuk 4/1000/year
dalam waktu kurang dari 5 tahun usia, 95% dari S sonnei dan flexneri S isolat
resisten terhadap tetrasiklin dan kotrimoksazol, dan 90% dari isolat S flexneri
juga resisten terhadap ampisilin dan kloramfenikol. Temuan serupa dibuat di
Jakarta Utara, Indonesia, dimana sebuah penelitian surveilans yang dilakukan
2

antara Agustus 2001 dan Juli 2003 menemukan bahwa anak usia 1 sampai 2
tahun memiliki insiden tinggi Shigellosis (32/1000/year) dengan 73% sampai
95% dari isolat resisten terhadap ampisilin, trimetoprim-sulfametoksazol,
kloramfenikol dan tetrasiklin (Oesman, 2006).
Hasil penelitian yang dilakukan di berbagai rumah sakit di Indonesia
dari Juni 1998 sampai dengan Nopember 1999, dari 3848 orang penderita
diare berat, ditemukan 5% bakteri shigella (Sudoyo, 2007). Setiap tahun,
sekitar 14.000 kasus shigellosis dilaporkan di Amerika Serikat. Karena
banyak kasus ringan yang tidak didiagnosis atau dilaporkan, jumlah infeksi
mungkin dua puluh kali lebih besar (CDC, 2009).
C. Etiologi
Disentri basiler atau shigellosis disebabkan kuman genus Shigella.
Shigella adalah basil nonmotil, gram negatif, famili enterobacteriaceae. ada 4
spesies shigella yaitu S. dysenteriae, S. flexneri, S. boydii, dan S. sonnei. Pada
umumnya S. flexneri, S.Boydii dan S. dysentriae paling banyak ditemukan di
negara berkembang seperti Indonesia. Sebaliknya S. sonnei paling sering
ditemukan dan S. dysentriae paling sedikit ditemukan di negara
maju.Terdapat 43 serotipe O dari shigella. S. sonnei adalah satu-satunya
spesies yang memiliki serotipe tunggal (Sudoyo, 2007). Dengan pengecualian
S. sonnei, masing-masing spesies dapat dibagi lagi menjadi serotipe
berdasarkan reaktivitas dengan serum hiperimun: S. dysenteriae (15 serotipe),
S. flexneri (6 serotipe dan 2 varian), & S. boydii (20 serotipe) (serotyping
shigella) (WHO, 2010). Jumlah bakteri yang diperlukan untuk menginfeksi
rendah (10-100 organisme) (Mandal, 2008).
Shigella, penyebab diare disentri yang paling sering pada anak usia 6
bulan sampai 10 tahun di Amerika Serikat dan negara berkembang. Shigella
tahan terhadap keasaman lambung dan membutuhkan inokulum yang kecil
untuk menyebabkan diare sehingga mudah ditularkan ke orang lain.
Penularan terjadi dalam kondisi banyak orang berkumpul dalam satu tempat
seperti di penitipan anak, panti asuhan atau tempat penampungan. Rendahnya

sanitasi, pasokan air yang buruk, dan fasilitas perairan yang buruk. Shigella
menginvasi dan berproliferasi di dalam epitel kolon. Kemudian menghasilkan
suatu toksin dengan efek sekretori dan sitotoksik dan menyebabkan ulkus
sehingga tinja mengandung lendir dan darah, secara mikroskopis ditemukan
leukosit dan sel-sel darah merah (Sudoyo, 2007).

Gambar 1. S. dysentriae (Jawetz, 2008).


D. Patogenesis
Bakteri ini membentuk enterotoksin dan eksotoksin, menyebabkan
infeksi lokal pada dinding usus, terutama daerah kolon dan sebagian ileum.
Sifat virulensi dasar yang dimiliki bersama oleh semua shigella adalah
kemampuannya menginvasi epitel kolon. Sifat ini dikodekan pada plasmid
besar yang menyebabkan sintesis kelompok polipeptida yang terlibat pada
invasi dan pembunuhan sel. Shigella yang kehilangan virulensi plasmidnya
tidak lagi berperan sebagai patogen. Shigella masuk ke dalam tubuh per oral.
Karena mampu bertahan terhadap pH rendah, Shigella dengan mudah
melewati asam lambung. Terjadi invasi sel epitel kolon, yang diawali dengan
melekatnya bakteri, masuk sel dengan cara endositosis dan berada di
sitoplasma. Multiplikasi intraseluler menyebabkan kerusakan dan kematian
sel yang akan berakibat ulserasi mukosa. Sifat penting lain adalah
kemampuan membuat enterotoksin. Toksin berperan atas patogenesis
komplikasi

mikroangiopati,

hemolytic

uremic

thrombocytopenic purpura (Tjokroprawiro, 2007).

syndrome,

thrombotic

Enterotoksin lain menyebabkan gangguan transportasi elektrolit dan


menyebabkan sekresi cairan ke lumen usus. Pada shigellosis permukaan
epitel mengalami ulserasi yang ekstensif. Dengan eksudat terdiri dari sel
kolon yang terkelupas, leukosit PMN, eritrosit. Lamina propria mengalami
edema dan hemoragik, serta mengalami infiltrasi neutrofil dan sel plasma.
Ulserasi pada tempat tertentu menyerupai pseudomembran. Penyerapan
cairan yang merupakan fungsi utama usus besar akhirnya menurun sehingga
terjadi diare. Iritasi dan peradangan menyebabkan peningkatan motilitas usus,
peningkatan frekuensi defekasi, tinja lendir dan darah serta seringkali dengan
gejala klinis demam, nyeri perut dan tenesmus. Perubahan histologi diduga
akibat endotoksin kuman. Imunitas dapat timbul dan bersifat serotipe spesifik
(Syaroni, 2006).
Kelainan yang terberat biasanya di daerah sigmoid, sedang pada ilium
hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal ditemukan mukosa usus
hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi biasanya tanpa ulkus.
Pada keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah folikel limfoid, dan pada
selaput lendir lipatan transversum didapatkan ulkus yang dangkal dan kecil,
tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak berbentuk ulkus bergaung
(Sudoyo, 2007).

Gambar 2. Invasi bakteri Shigella (Jawetz, 2008).


E. Gejala klinis
Masa tunas dari beberapa jam hingga 3 hari. Mulai gejala awal sampai
timbulnya gejala khas biasanya cepat. Gejala yang khas adalah defekasi
5

sedikit-sedikit, terus menerus, sakit perut kolik, tenesmus, muntah-muntah.


Suhu badan tinggi, sakit kepala, nadi cepat. Sakit perut dirasakan di sebelah
kiri. Tinja biasanya encer, berlendir, warna kemerah-merahan atau lendir
bening, dan berdarah. Pada pemeriksaan mikroskopis tinja dijumpai sel darah
putih, sel darah merah, sel makrofag. Pemeriksaan fisik pada saat ini
menunjukkan kembung perut dan nyeri, suara usus hiperaktif, dan nyeri
rektum pada pemeriksaan
Pada bentuk yang berat fulminan dijumpai tanda dehidrasi dan bisa
terjadi renjatan septik. Daerah anus terdapat luka, nyeri, kadang-kadang
prolaps. Hemoroid yang ada sebelumnya mungkin muncul keluar. Kematian
dapat terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria, koma uremikum, dan
sering pada malnutrisi, kelaparan (Tjokroprawiro, 2007).
Pada lebih dari setengah kasus pada orang dewasa, demam dan diare
menghilang spontan dalam 2-5 hari. Namun, pada anak-anak dan lanjut usia,
kehilangan air dan elektrolit dapat menimbulkan dehidrasi, asidosis dan
bahkan kematian. Penyakit yang disebabkan oleh S. dysenteriae kadangkadang dapat sangat parah.
Pada pemulihan, kebanyakan orang mengeluarkan basil disentri dalam
waktu singkat, tetapi beberapa orang tetap menjadi carrier usus kronik dan
dapat mengalami serangan penyakit secara berulang (Jawetz, 2008).
F. Diagnosis
Walaupun tanda-tanda klinis memberi kesan shigellosis, tanda ini tidak
cukup spesifikuntuk memberikan diagnosis yang meyakinkan. Data dugaan
mendukung diagnosis disentri basiler termasuk tanda leukosit tinja
(memperkuat adanya kolitis) dan adanya leukositosis darah perifer dengan
pergeseran kekiri yang dramatis (sering dengan neutrofil bentuk pita lebih
banyak daripada segmen). Angka leukosit total biasanya 5.000-15.000
sel/mm3 , walaupun leukopenia dan reaksi leukomoid terjadi.
Biakan tinja maupun sedimen pulas mengoptimiskan peluang diagnosis
infeksi shigella. Biakan merupakan gold standart untuk diagnosis tetapi tidak

absolut. Biakan tinja relawan dewasa dengan disentri sesudah penelanan


shigella gagal mendeteksi organisme pada hampir 20% subjek. Penelitian
ledakan serangan yang disebarkan makanan memberi kesan satu biakan
memungkinkan diagnosis sekitar setengah penderita shigellosis bergejala.
Diagnosis penyakit disentri dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
penunjang:
1. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat
penting. Biasanya tinja berbau busuk,berlendir dan bercampur darah.
Pemeriksaan ini meliputi :

Makroskopis: Disentri amoeba dapat di tegakkan bila di temukan

bentuk tropozoit dan kista dalam tinja


Benzidin test
Mikroskopis: Leukosit fecal (petanda adanya kolitis ),darah fecal

2. Biakan tinja
Media agar mc-conkey, xylose-lysinedioxycholate (XLD), agar SS.
3. Pemeriksaan darah rutin
Leukositosis (5000-15000 sel/mm3), kadang ditemukan leukopenia (Lung,
2003).
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding disentri basiler adalah disentri amoeba yang dapat
dibedakan melalui keluhan, serangan penyakit, perkembangan penyakit, tinja,
komplikasi dan kelainan anatomi.
Timbulnya

Disentri basiler
Akut

Disentri amoeba
Lebih sering perlahanlahan, diare awal tidak

Keluhan

Toksemia,

ada atau jarang


tenesmus, Toksemia

sakit sifatnya umum

tenemus

jarang,

ringan,
sakit

Perkembangan

terbatas.
Pada permulaan penyakit Tidak tentu, cenderung

penyakitnya
Tinja

berat
menahun
Kecil-kecil, banyak, tak Besar, terus - menerus,
berbau, alkalis, berlendir, asam,

berdarah,

bila

nanah dan berdarah, bila bentuk

biasanya

tinja berbentuk dilapisi tercampur lendir


Komplikasi
Kelainan

lendir
Artritis
Abses hati amoeba
Daerah sigmoid, ileum, Daerah sekum dan kolon

anatomik

mengalami

hiperemi asendens,

jarang

superficial ulseratif dan mengenai

ileum;ulkus

selaput lendir menebal


bergaung.
Tabel 1. Perbedaan disentri basiler an disentri amoeba (Tjokroprawiro, 2007).
H. Penatalaksanaan
Pada infeksi ringan umumnya dapat sembuh sendiri, penyakit akan
sembuh dalam 4-7 hari. Pasien perlu istirahat untuk mencegah dan
memperbaiki dehidrasi. Penyebab kematian terutama akibat dehidrasi. Untuk
rehidrasi dapat dipakai cairan intravena/oral, sesuai derajat dehidrasi.
Perbaikan gizi untuk menghilangkan malnutrisi. Untuk pengobatan
antibakterial terdapat beberapa pilihan:
1.
2.
3.
4.

Trimethoprim-sulfamethoxazole (Cotrimoxazole)
Siprofloksasin
Ampisilin
Asam nalidiksik
(Tjokroprawiro, 2007).
Trimethoprim-sulfamethoxazole (Cotrimoxazole)
Trimethoprim

yang

diberikan

bersama

dengan

sulfonamid

menghasilkan hambatan yang beruntun dalam jalur metabolik, menyebabkan


peningkatan (sinergisme) aktivitas kedua obat.
Secara farmakokinetik, trimethoprim biasanya diberikan per oral,
tunggal atau dalam kombinasi dengan sulfametoksazol. Sulfonamid ini
dipilih karena memiliki waktu paruh yang sama. Kombinasi terakhir ini dapat
juga diberikan secara intravena. Karena trimethoprim lebih bersifat larut
dalam lipid daripada sulfametoksazol, maka trimetoprim memiliki volume
distribusi yang lebih besar dibandingkan dengan sulfametoksazol. Karena itu
bila 1 bagian dari trimetoprim diberikan dengan 5 bagian sulfametoksazol

(rasio dalam formulasi), konsentrasi puncak dalam plasma berada dalam rasio
1:20, yang opimal untuk efek kombinasi dari obat ini in vitro (Katzung,
1998) Sulfonamid tidak lagi merupakan obat terpilih untuk disentri basiler
karena banyak strain yang telah resisten.
Dampak dari trimethoprim menghasilkan efek samping dari obat-obatan
antifolat yang dapat diramalkan, terutama anemia megaloblastik, leukopenia,
dan

granulositopenia.

Kombinasi

trimethoprim-sulfametoksazol

dapat

menyebabkan semua reaksi tidak menguntungkan yang berkaitan dengan


sulfonamid. Kadangkadang, terdapat juga mual dan muntah, demam obat,
vaskulitis, kerusakan ginjal, atau gangguan susunan saraf puat. Pasien AIDS
dan

pneumonia

menguntungkan

Pneumosistis
yang

tinggi

terutama

mempunyai

frekuensi

tidak

terhadap

trimethoprim-sulfametoksazol,

terutama demam, rashes, leukopenia, dan diare (Katzung, 1998).


Siprofloksasin
Siprofloksasin merupakan golongan fluorokuinolon yang dapat
digunakan untuk infeksi sistemik. Golongan fluorokuinolon menghambat
kerja enzim DNA girase pada kuman dan bersifat bakterisidal. Mekanisme
resistensi melalui plasmid seperti yang banyak terjadi pada antibiotika lain
tidak dijumpai pada golongan kuinolon (golongan kuinolon baru yang
beratom fluor pada cincin kuinolon adalah fluorokuinolon), namun dapat
terjadi dengan mekanisme mutasi pada DNA atau membran sel kuman.
Golongan fluorokuinolon aktif sekali terhadap enterobacteriaceae termasuk
Shigella. Berbagai kuman yang telah resisten terhadap aminoglikosida dan
betalaktam ternyata masih peka terhadap fluorokuinolon.
Secara farmakokinetik, fluorokuinolon diserap dengan cepat melalui
saluran cerna. Semua fluorokuinolon mencapai kadar puncaknya dalam 12
jam setelah pemberian obat. Penyerapan siprofloksasin terhambat bila
diberikan bersama antasida. Siprofloksasin dapat mencapai kadar tinggi
dalam cairan serebrospinal bila ada meningitis. Efek samping golongn obat
ini yang trepenting adalah pada saluran cerna dan susunan saraf pusat.
Manifestasi pada saluran cerna, terutama berupa mual dan hilang nafsu

makan,

merupakan

efek

samping

yang

paling

sering

dijumpai.

Fluorokuinolon jarang menimbulkan ganguan keseimbangan flora usus bila


dibandingkan dengan antimikroba lain yang berspektrum luas. Efek samping
pada susunan saraf pusat umumnya bersifat ringan berupa sakit kepala,
vertigo, dan insomnia (Ganiswara, 1995).
Ampisilin
Ampisilin merupakan salah satu golongan penisilin yang serupa dengan
penisilin G (dihancurkan dengan -laktamase) tetapi stabil terhadap asam dan
lebih aktif terhadap bakteri gram negatif. Penisilin dinamakan obat beta
laktam karena mempunyai cincin laktam. Obat beta-laktam mempunyai
mekanisme kerja antibakteri yang secara umum menyebabkan kerusakan
dinding sel bakteri. Secara singkat, langkah-langkah tersebut yaitu (1)
perlekatan pada protein mengikat penisilin yang spesifik (PBPs) yang
berlakun sebagai obat reseptor pada bakteri, (2) penghambatan sintesis
dinding sel dengan menghambat transpeptidase dari peptidoglikan, dan (3)
pengaktifan enzim autolitik di dalam dinding sel, yang menghasilkan
kerusakan sehingga akibatnya bakteri mati (Katzung, 1998).
Ampisilin dapat diberikan oral untuk mengobati infeksi saluran kemih
oleh baktri coli (Jawetz, 2008). Secara farmakokinetik, jumlah ampisilin dan
senyawa sejenisnya yang diabsorbsi pada pemberian oral dipengaruhi
besarnya dosis dan ada tidaknya makanan dalam saluran cerna. Dengan dosis
lebih kecil persentase yang diabsorpsi relatif lebih besar. Adanya makanan
dalam saluran cerna akan menghambat absorpsi obat.
Reaksi alergi merupakan bentuk efek samping yang terserig dijumpai
pada golongan penisilin. Reaksi alergi yang paling sering terjadi adalah
kemerahan kulit. Ampisilin dapat menimbulkan nefropati yang ada
hubungannya dengan kadar obat yang tinggi dalam serum (Ganiswara, 1995).
Asam Nalidiksat
Asam nalidiksat adalah prototip golongan kuinolon lama yang
mempunyai daya antibakteri yang baik terhadap kuman gram negative, tetapi
10

eliminasinya melalui urin berlangsung terlalu cepat sehingga sulit dicapai


kadar terapeutik dalam darah.
Kristal asam nalidiksat berupa bubuk putih atau kuning muda. Secara
farmakokinetik, pada pemberian per oral, 96% obat akan diserap.
Konsentrasinya dalam plasma kira-kira 20-50 g/ml, tetapi 95% terikat
dengan protein plasma. Dalam tubuh, sebagian dari obat ini akan diubah
menjadi asam hidroksinalidiksat yang juga mempunyai daya antimikroba.
Pemberian asam nalidiksat secara per oral kadang-kadang menimbulkan
mual, muntah, ruam kulit dan urtikaria. Diare, demam, eosinofilia dan
fotosensitivitas kadang-kadang timbul. Asam nalidiksat tidak boleh diberikan
pada bayi kurang dari 3 bulan dan juga pada trimester pertama kehamilan.
Daya antibakterinya akan berkurang bila diberikan bersama nitrofurantoin
(Ganiswara, 1995).
Pengobatan simtomatis: untuk demam (antipiretik), nyeri perut
(antispasmodik). Pemakaian obat antimotilitas (misalnya loperamide) bersifat
kontroversi, dapat mengurangi diare, namun dapat menyebabkan penyakit
lebih berat karena mengurangi pengeluaran bakteri, mempermudah invasi
mukosa serta timbulnya toksik megakolon. Pada bentuk berat apabila tidak
diobati dini angka kematian shigellosis tinggi. Infeksi oleh S. dysenteriae
biasanya berat, penyembuhan lama. Infeksi S. flexneri angka kematian rendah
Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigellosis pasien
diobati dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan
perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan
antibiotika diganti dengan jenis yang lain. Jika dengan pengobatan dengan
antibiotika yang kedua pasien tidak menunjukkan perbaikan diagnosis harus
ditinjau ulang dan dilakukan pemeriksaan mikroskop tinja, kultur, dan
resistensi mikroorganisme.
Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol dan
tetrasiklin, hampir universal terjadi dan banyak shigella saat ini resisten
terhadap ampisilin dan sulfametoksazol. Situasi pada setiap wabah penyakit
ini menimbulkan resistensi yang berbeda-beda, karena itu pada wabah
sebaiknya disiapkan obat khusus yang hanya diberikan pada pasien-pasien

11

yang gawat. Sangat ideal bila pada setiap kasus dilakukan uji resistensi
terhadap kuman penyebabnya, tetapi tindakan ini mengakibatkan pengobatan
dengan antibiotika jadi tertunda (Sudoyo, 2007).
H. Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit ini dapat di lakukan dengan jalan:
1. Memperhatikan pola hidup sehat dan bersih
2. Menjaga kebersihan makanan dan minuman dari kontaminasi kotoran
dan serangga pembawa kuman
3. Menjaga kebersihan lingkungan
4. Membersihkan tangan dengan baik sesudah buang air besar atau sebelum
makan dan
5. Mencegah terjadinya dehidrasi

I. Prognosis
Pada bentuk yang berat, angka kematian tinggi kecuali

bila

mendapatkan pengobatan dini. Namun, pada bentuk sedang, biasanya angka


kematian rendah. Bentuk dysentriae biasanya berat dan masa penyembuhan
lama, meskipun dalam bentuk yg ringan.
J. Komplikasi
Dapat timbul komplikasi shigellosis:
1. Ekstraintestinal terutama oleh S. dysenteriae tipe 1, S. flexneri
2. Bakteremia pada AIDS
3. Artritis: masa penyembuhan, sendi besar (lutut)
4. Neuritis perifer, iritis, iridosiklitis, peritonitis jarang.
Hemolytic Uremic Syndrome (HUS) dapat timbul akibat infeksi oleh S.
dysenteriae tipe 1, dengan gejala:
1. Oligouria, anuria yang progresif, gagal ginjal
2. Penurunan hematokrit, anemia progresif
3. Reaksi leukomoid, trombositopenia
4. Hiponatremia, hipoglikemia
5. Gejala susunan saraf pusat, ensefalopatia, perubahan kesadaran.
(Tjokroprawiro, 2007).

12

BAB III
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
1.

Identitas Pasien
Nama

: Nn. W

Umur

: 22 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Sukoharjo

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Status perkawinan

: Belum Menikah

Pekerjaan

: Mahasiswa

Tanggal Pemeriksaan

: 7 April 2015

No. RM

: 01549750

2.

Keluhan Utama
BAB berdarah dan berlendir

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan adanya buang air besar berdarah dan
berlendir sejak 1 hari ini. Pasien mengaku diare dan bolak-balik BAB
mencret sebanyak + 7 kali sebelum ke rumah sakit. Diare dialami pasien
setelah pagi harinya makan di warung dekat kos-kosannya. Tinja berupa
ampas berwarna kuning kecoklatan, encer, terdapat lendir dan darah.
Setiap kali BAB sebanyak 2 gelas belimbing. Selain itu pasien juga
merasakan demam dan mual hingga muntah. Pasien mengaku saat buang
air besar terasa nyeri dan perut sebelah kirinya melilit. Pasien merasa
lemas dan tidak nafsu makan, namun sering merasa haus. Pasien belum
meminum obat untuk mengurangi keluhan yang dirasakan. BAK lancar
tidak ada gangguan.

13

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat penyakit serupa (-)
Riwayat dirawat di RS (-)
Rawayat alergi obat dan makanan (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat sakit ginjal sebelumnya (-)
Riwayat sakit hepar sebelumnya (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa (-)
Riwayat alergi (-)
6.

Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok (-)
Riwayat minuman keras (-)
Riwayat olah raga : tidak punya jadwal teratur

7.

Riwayat Gizi
Sebelum sakit, penderita makan teratur 2-3 kali sehari sebanyak 1 porsi
biasa, dengan sayur, lauk pauk tahu, tempe, kadang-kadang memakai telur
dan daging. Dalam sehari penderita minum kurang lebih 8 gelas. Pasien
sehari-hari makan dan minum di warung-warung pinggur jalan dekat
dengan kos-kosannya. Semenjak sakit, makan penderita berkurang karena
penderita merasa mual dan ingin muntah apabila makan. Pasien juga
merasa sering haus semenjak sakit.

8. Riwayat Sosial Ekonomi


Penderita adalah seorang mahasiswa yang tinggal di kos-kosan. Orangtua
penderita bekerja sebagai Wiraswasta dan penghasilannya cukup untuk
memenuhi kebutuhan keluarga. Pasien berobat menggunakan fasilitas
BPJS.
B. PEMERIKSAAN FISIK

14

1. Keadaan umum
sedang,

compos

Tampak sakit
mentis,

GCS

E4/V5/M6, kesan gizi cukup


2. Tanda vital
Tensi
Nadi

: 120 /70 mmHg


:
90x/ menit,

irama

reguler, isi dan tegangan cukup, equal


Frekuensi nafas : 20x/ menit
Suhu
: 38,50C
VAS
:3
3. Status gizi
Berat Badan
: 58 kg
Tinggi Badan
: 165 cm
IMT
: 20,9 kg/m2
Kesan
: normoweight
4. Kulit : Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi
(-), kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),
ekimosis (-), uji torniquet (-)
5. Kepala
: Bentuk normocephal, rambut mudah
rontok (-), luka (-)
6. Mata : Mata cekung (+/+), konjungtiva pucat (-/-),
sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil
isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/
+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-)
7. Telinga
: Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid
(-), nyeri tekan tragus (-)
8. Hidung
: Nafas cuping hidung (-), sekret (-),
epistaksis (-)
9. Mulut :
Sianosis (-), gusi berdarah (-), tiphoid
tounge (-), papil lidah atrofi (-), ulserasi (-), stomatitis
angularis (-), oral thrush (-), bibir kering (+)
10. Leher
: JVP R + 2 cm, trakea di tengah, simetris,
pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonosi
cervical (-), leher kaku (-)
11. Thorax
:
Bentuk

normochest,

simetris,

pengembangan dada kanan=kiri, retraksi intercostal (-),

15

pernafasan abdominothorakal, pembesaran kelenjar getah


bening axilla (-/-).
12. Jantung
Inspeksi
Palpasi :
di

:
Ictus kordis tidak tampak
Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba
cm

sebelah

medial

SIC

linea

medioclavicularis sinistra
Perkusi :
Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra
Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis

dekstra
Batas jantung kiri atas: SIC II linea sternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah: SIC V 1 cm medial linea

medioklavicularis sinistra
Pinggang jantung : SIC III lateral parasternalis sinistra
konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi
:
Bunyi jantung I-II murni,

intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-).


13.Pulmo
a. Depan
Inspeksi
- Statis
: Normochest, simetris
- Dinamis :
Pengembangan dada
simetris kanan = kiri, ketertinggalan

gerak (-), retraksi intercostal (-)


Palpasi
- Statis
- Dinamis

: Simetris
: Pergerakan kanan = kiri,

fremitus raba kanan = kiri

Perkusi
- Kanan

Sonor,

redup

pada

batas relatif paru-hepar pada SIC VI


linea medioclavicularis dextra, pekak
pada batas absolut paru hepar
- Kiri
:
Sonor, sesuai batas
paru jantung pada SIC VI linea

medioclavicularis sinistra
Auskultasi

16

- Kanan

Suara

dasar

vesikuler

normal, suara tambahan wheezing (-),


ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah
halus (-)
- Kiri
:

Suara dasar vesikuler

normal, suara tambahan wheezing (-),


ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah
halus (-)
b. Belakang
Inspeksi
- Statis
- Dinamis

: Normochest, simetris
:
Pengembangan

dada

simetris kanan=kiri, retraksi intercostal

(-)
Palpasi
- Statis
- Dinamis

: Simetris
:
Pergerakan kanan =

kiri, fremitus raba kanan = kiri

Perkusi
- Kanan
: Sonor
- Kiri
: Sonor
- Peranjakan diafragma 4 cm
Auskultasi
- Kanan

Suara

dasar

vesikuler

normal, suara tambahan wheezing (-),


ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah
halus (-)
- Kiri
:

Suara

dasar

vesikuler

normal, suara tambahan wheezing (-),


ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah
halus (-)
13. Abdomen
Inspeksi

Dinding perut sejajar dengan

dinding dada, ascites (-), scar (-), striae (-)


Auskultasi
:
Bising usus (+) meingkat,
bising epigastrium (-)
17

Perkusi :

Timpani, perut keras seperti papan

(-), timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-),undulasi


(-)
Palpasi :

Supel, perut keras seperti papan (-),

nyeri tekan (+) perut sebelah kiri, hepar/ lien

_
-

tidak teraba pembesaran


14. Ekstremitas
Akral dingin
Oedem

C. DIAGNOSIS BANDING
Disentri Basiler
Disentri Amoeba

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Lab Darah
Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Rujukan

HEMATOLOGI RUTIN
Hb

15,2

g/dl

13,5 17,5

Hct

40

33 45

AL

5,2

103 / L

4,5 11,0

AT

160

103 / L

150 450

AE

4,80

103/ L

4,50 5,90

INDEX ERITROSIT
MCV

90

/um

80.0 - 96.0

MCH

29,0

pg

28.0 - 33.0

MCHC

35,6

g/dl

33.0 - 36.0

HITUNG JENIS
Eosinofil

0,30

18

0.00 - 4.00

Basofil

0,90

0.00 - 2.00

Neutrofil

62,00

55.0-80.0

Limfosit

36,00

22.0 - 44.0

Monosit

5,60

0.00 - 7.00

LUC/AMC

7,00

KIMIA KLINIK
Glukosa Darah
Sewaktu

90

mg/dl

60-140

SGOT

30

u/l

0-35

SGPT

38

u/l

0-45

Cr

1,1

mg/dl

0,9-1,3

Ur

26

mg/dl

<50

ELEKTROLIT
Na darah

127

mmol/L

K darah

3,7

mmol/L

Chlorida darah

91

mmol/L

136 145
3,3 5,1
136-145

2. Biakan Tinja
(+) Shigella dysenteriae
E. PLAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji kultur dan sensitivitas
F. DIAGNOSIS
Disentri Basiler
G. TUJUAN TERAPI
Memperbaiki keadaan umum
Menangani kegawatan

19

H. TERAPI
Non Medikamentosa
Istirahat, makan dan minum dipertahankan untuk mencegah terjadinya

dehidrasi dan menjaga kebutuhan nutrisi


Diet TKTP, rendah serat
Kalau ada tanda-tanda dehidrasi berat segera dibawa ke pelayanan

kesehatan
Medikamentosa
Cotrimoxazole tablet
Attapulgite (New Diatab tablet)
Oralit
Metoclopramide 10 mg
Parasetamol 500 mg
Penulisan resep :
R/ Cotrimoxazole tab No. XVI
2 dd tab 2 p.c
R/ New Diatab tab No. IV
2 dd tab I
R/ Oralit sachet granul No. X
ad libitum solve in aqua cc 200
R/ Metoclopramide tab mg 10 No. X
prn 1-3 dd tab I
R/ Parasetamol tab mg 500 No. X
prn 1-3 dd tab I
Pro : Nn. W (22 tahun)

BAB IV
PEMBAHASAN OBAT

20

1. Cotrimoxazole tab
Cotrimoxazole merupakan bakterisid kombinasi dari sulfamethoxazole dan
trimetoprim. Tablet cotrimoxazole mengandung komposisi sulfamethoxazole
dan trimetoprim dengan perbandingan 5 : 1, yaitu sulfamethoxazole 400 mg
dan trimetoprim 80 mg. Merupakan antibiotik berspektrum luas dan jarang
menimbulkan resistensi. Diberikan pada kasus-kasus infeksi gastrointestinal,
saluran nafas, kulit dan infeksi lainnya yang disebabkan mikroorganisme
yang

sensitif,

diantaranya

Salmonella

pneumonia,

Corynebacterium

diphteriaea, Streptococcus pyogenes, Streptococcus viridans, E. Colli,


Shigella.
Farmakokinetik

Absorbsi melalui saluran cerna cepat dan lengkap


Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 2 jam untuk trimetoprim dan 4

jam untuk sulfametoksazol


Waktu paruh 11 jam untuk trimetropim dan 10 jam untuk sulfametroksazol

Farmakodinamik
Mikroba yang peka terhadap kombinasi antimikroba kotrimoksazol ialah:
Str. Pneumoniae, C. diphteriae, dan N. meningitis, 50-59% strain S.
aureus, S. epidermidis, Str. pyogenes, Str. viridans, Str. faecalis, E. coli, Pr.
mirabilis, Pr. morganii, Pr. rettgeri, Enterobacter, Aerobacter spesies,
Salmonella, Shigella, Serratia dan Alcaligenes spesies dan Klebsiella
spesies. Juga beberapa strain stafilokokus yang resisten terhadap Metisilin,
Trimetropim atau Sulfametoksazol sendiri, dan mikroba yang peka
terhadap kombinasi antimikroba ini.
Kedua antimikroba memperlihatkan interaksi sinergistik (bekerja saling
menguatkan). Kombinasi antimikroba ini mungkin efektif walaupun
mikroba

telah

resisten

terhadap

Sulfonamid

(golongan

dari

Sulfametoksazol) dan agak resisten terhadap Trimetropim. Daya kerja


yang sinergi akan maksimal bila mikroba peka terhadap kedua antimikroba
tersebut.
21

Aktivitas kombinasi antimikroba Kotrimoksazol berdasarkan atas kerjanya


pada dua tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk
Asam tetrahidrofolat. Sulfometoksazol menghambat masuknya molekul
PABA ke dalam molekul Asam folat dan Trimetropim menghambat
terjadinya reaksi reduksi dari Asam dihidrofolat menjadi Tetrahidrofolat.
Trimetropim menghambat enzim Dihidrofolat reduktase mikroba secara
sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim tersebut juga terdapat pada
sel manusia
Indikasi
Infeksi saluran kemih : Infeksi ringan saluran kemih bagian bawah.
Sediaan kombinasi antimikroba Kotrimoksazol efektif untuk infeksi
kronik dan berulang saluran kemih.
Infeksi saluran nafas : Antimikroba kombinasi Kotrimoksazol efektif
untuk pengobatan otitis media akut pada anak dan sinusitis maksilaris akut
pada orang dewasa yang disebabkan strain H. influenzae dan Str.
pneumoniae yang masih sensitif.
Infeksi saluran cerna : Sediaan antimikroba kombinasi Kotrimoksazol ini
berguna untuk pengobatan Shigellosis karena beberapa strain mikroba
penyebabnya telah resisten terhadap Ampisilin. Namun akhir-akhir ini
dilaporkan terjadinya resistensi mikroba terhadap Sulfametoksazol. Obat
ini juga efektif untuk demam Tifoid dan carrier S. typhi dan Salmonella
spesies lain.
Infeksi oleh Pneumocystis carini : Dengan dosis tinggi efektif untuk
infeksi yang berat oleh Pneumocystis carini pada penderita AIDS. Dengan
dosis rendah pada penderita Neutropeni.
Infeksi genitalia : Digunakan untuk pengobatan Chancroid.
Infeksi lainnya : Infeksi oleh jamur Norkadia, untuk pengobatan
Bruselosis. Juga untuk infeksi berat pada anak.
Kontra Indikasi

22

Penderita dengan gangguan fungsi hati yang parah, insufisiensi ginjal,


wanita hamil, wanita menyusui, bayi prematur atau bayi berusia dibawah 2

bulan.
Penderita anemia megaloblastik yang terjadi karena kekurangan folat.
Penderita yang hipersensitif/alergi terhadap trimetoprim dan obat-obat
golongan sulfonamida.

Sediaan dan Dosis


Sediaan
Cotrimoxazole Tablet : Tiap tablet mengandung Trimethoprim 80 mg dan
Sulfamethoxazole 400 mg.

Cotrimoxazole Tablet/Kaplet Forte : Tiap tablet/kaplet forte mengandung


Trimethoprim 160 mg dan Sulfamethoxazole 800 mg.

Cotrimoxazole Syrup : Tiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung


Trimethoprim 40 mg dan Sulfamethoxazole 200 mg

Dosis
Bayi usia 6 minggu 6 bulan

: 120 mg, 2 kali sehari.

Anak usia 6 bulan 6 tahun

Anak usia 6 12 tahun

Dewasa dan anak diatas 12 tahun

: 240 mg, 2 kali sehari.


: 480 mg, 2 kali sehari.
: 960 mg, 2 kali sehari.

Efek Samping

Efek samping jarang terjadi pada umumnya ringan, seperti reaksi


hipersensitif/alergi, ruam kulit, sakit kepala dan gangguan pencernaan
misalnya mual, muntah dan diare.

Leukopenia, trombositopenia, agranulositosis, anemia aplastik, diskrasia


darah.

23

Walaupun sifatnya jarang dapat terjadi reaksi hipersensitivitas yang fatal pada
kulit atau darah seperti sindrom Steven Johnson, toxic epidermal, necrosis
fulminant, hepatic necrosis dan diskrasia darah lainnya.

Peringatan dan Perhatian

Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, dosis harus dikurangi untuk
mencegah terjadinya akumulasi obat.

Selama pengobatan dianjurkan untuk banyak minum (minimal 1,5 liter


sehari) untuk mencegah kristaluria.

Pada penggunaan jangka panjang sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah


secara periodik karena kemungkinan terjadi diskrasia darah.

Hentikan penggunaan Cotrimoxazole bila sejak awal penggunaan ditemukan


ruam kulit atau tanda-tanda efek samping lain yang serius.

Interaksi Obat

Kotrimoksazol dapat menambah efek dari antikoagulan dan memperpanjang


waktu paruh Fenitoin juga dapat mempengaruhi besarnya dosis obat-obat
hipoglikemia.

Pernah dilaporkan adanya megaloblastik anemia apabila kotrimoksazol


diberikan bersama-sama dengan obat yang dapat menghambat pembentukan
folat misalnya Pirimetamin.

Pemberian kotrimoksazol bersama dengan diuretik terutama Tiazid dapat


meningkatkan kemungkinan terjadinya trobositopenia (Katzung, 1998).

24

2.

Attapulgite

tab

(New

Diatab, Entrostop)
Farmakodinamik
Attapulgite merupakan magnesium alumunium silikat alamiah yang telah
dimurnikan dan diaktifkan dengan cara pemanasan untuk meningkatkan
kemampuan absorbsinya. Attapulgite mempunyai daya absorbsi untuk
menyerap racun, bakteri dan enterovirus yang menyebabkan diare. Dapat
mengurangi frekuensi buang air besar dan membantu memperbaiki
konsistensi feses.
Indikasi
Indikasi New Diatabs adalah untuk pengobatan simptomatik pada diare
nonspesifik.
Kontraindikasi
Obat New Diatabs tidak boleh diberikan kepada pasien dimana konstipasi
harus dihindari dan yang hipersensitif atau alergi terhadap activated
attapulgite.
Sediaan dan Dosis
Sediaan : tablet 600 mg
Dosis yang umum diberikan :
Dewasa dan anak-anak 12 tahun atau lebih : 2 tablet setelah buang air
besar, maksimum penggunaan 12 tablet New Diatabs dalam waktu 24
jam.
Anak-anak 6 12 tahun : 1 tablet New Diatabs setelah buang air besar.
Maksimum penggunaan 6 tablet dalam waktu 24 jam.
Peringatan dan perhatian
New Diatabs dapat diminum dengan atau tanpa makanan.

25

New Diatabs tidak boleh digunakan lebih dari 2 hari pada keadaan demam
tinggi.
Diare dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit. Karena itu
terapi rehidrasi (dengan cairan oral rehidrasi) mungkin diperlukan.
Tablet jangan digunakan pada anak-anak umur 3-6 tahun, kecuali atas
petunjuk dokter dan jika diare pada anak-anak disertai dengan dehidrasi
maka pengobatan awal harus diberikan cairan rehidrasi oral.
New Diatabs dapat mempengaruhi absorbsi saluran pencernaan dari obatobat lain, karena itu dianjurkan interval waktu 23 jam antara pemberian
oral obat-obat lain dengan obat ini.
Hati-hati penggunaan New Diatabs pada penderita gangguan fungsi ginjal,
asma bronkial, obstruksi saluran pencernaan dan pembesaran prostat.
Interaksi obat
Dapat mengurangi aksi obat lainnya.
Dapat terjadi interaksi dengan obat hipoglikemia oral, antikoagulan,
antagonis vitamin K, asam para amino benzoat, dan prokain.
Dapat

meningkatkan

efek

antikolinergik

obat-obat

antihistamin,

antidepresan, antipsikosis, anti-parkinson (Katzung, 1998).


Paracetamol
Farmakokinetik

Absorpsi : diberikan peroral, absorpsi bergantung pada kecepatan


pengosongan lambung, dan kadar puncak dalam darah biasanya tercapai
dalam waktu 30-60 menit.

Distribusi : Asetaminofen sedikit terikat dengan protein plasma

26

Metabolisme : dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati dan diubah


menjadi asetaminofen sulfat dan glukuronida, yang secara farmakologi
tidak efektif.

Ekskresi : diekskresikan ke dalam urin dalam bentuk tidak berubah.

Farmakodinamik

Paracetamol atau acetaminophen adalah obat yang mempunyai efek


mengurangi nyeri (analgesik) dan menurunkan demam (antipiretik).
Parasetamol

mengurangi

nyeri

dengan

cara

menghambat

impuls/rangsang nyeri di perifer. Parasetamol menurunkan demam


dengan cara menghambat pusat pengatur panas tubuh di hipotalamus.

Parasetamol merupakan penghambat COX-1 dan COX-2 yang lemah di


jaringan perifer dan hampir tidak memiliki efek anti-inflamasi/antiradang. Hambatan biosintesis Prostaglandin (PG) hanya terjadi bila
lingkungan yang rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus
sedangkan lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid
yang dihasilkan leukosit, hal ini lah yang menjelaskan efek
antiinflamasi parasetamol tidak ada. Studi terbaru menduga parasetamol
juga menghambat COX-3 di Susunan Saraf Pusat yang menjelaskan
cara kerjanya sebagai anti piretik.

Indikasi
Indikasi Parasetamol adalah :

Mengurangi nyeri pada kondisi : sakit kepala, nyeri otot, sakit gigi,
nyeri pasca operasi minor, nyeri trauma ringan.

Menurunkan demam yang disebabkan oleh berbagai penyakit. Pada


kondisi

demam,

paracetamol

hanya

bersifat

simtomatik

yaitu

meredakan keluhan demam (menurunkan suhu tubuh) dan tidak


mengobati penyebab demam itu sendiri.

27

Kontraindikasi

Parasetamol jangan diberikan kepada penderita hipersensitif/alergi


terhadap Paracetamol.

Penderita gangguan fungsi hati berat.

Sediaan dan Dosis

Paracetamol Tablet
Setiap tablet mengandung Parasetamol 500 mg.

Paracetamol Sirup 125 mg/5 ml


Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung Parasetamol 125 mg.

Paracetamol Sirup 160 mg/5 ml


Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung Parasetamol 160 mg.

Paracetamol Sirup Forte 250 mg/5 ml


Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung Parasetamol 250 mg.

Dosis yang umum diberikan :

Paracetamol Tablet
Dewasa dan anak di atas 12 tahun : 1 tablet, 3 4 kali sehari.
Anak-anak 6 12 tahun : 1, tablet 3 4 kali sehari.

Paracetamol Sirup 125 mg/5 ml


Anak usia 0 1 tahun : sendok takar (5 mL), 3 4 kali sehari.
Anak usia 1 2 tahun : 1 sendok takar (5 mL), 3 4 kali sehari.
Anak usia 2 6 tahun : 1 2 sendok takar (5 mL), 3 4 kali sehari.
Anak usia 6 9 tahun : 2 3 sendok takar (5 mL), 3 4 kali sehari.
Anak usia 9 12 tahun : 3 4 sendok takar (5 mL), 3 4 kali sehari.

Efek Samping

Mual, nyeri perut, dan kehilangan nafsu makan.

28

Penggunaan jangka panjang dan dosis besar dapat menyebabkan


kerusakan hati.

Reaksi hipersensitivitas/alergi seperti ruam, kemerahan kulit, bengkak


di wajah (mata, bibir), sesak napas, dan syok.

Peringatan dan Perhatian

Bila setelah 2 hari demam tidak menurun atau setelah 5 hari nyeri tidak
menghilang, perlu observasi lebih lanjut.

Gunakan Parasetamol berdasarkan dosis yang dianjurkan oleh dokter.


Penggunaan paracetamol melebihi dosis yang dianjurkan dapat
menyebabkan efek samping yang serius dan overdosis.

Hati-hati penggunaan parasetamol pada penderita penyakit hati/liver,


penyakit ginjal dan alkoholisme. Penggunaan parasetamol pada
penderita yang mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko
kerusakan fungsi hati.

Hati-hati penggunaan parasetamol pada penderita G6PD deficiency.

Hati-hati penggunaan parasetamol pada wanita hamil dan ibu menyusui.


Parasetamol bisa diberikan bila manfaatnya lebih besar dari pada risiko
janin atau bayi. Parasetamol dapat dikeluarkan melalui ASI namun efek
pada bayi belum diketahui pasti (Katzung, 1998).

4. Metoclopramide
Farmakokinetik
Absorbsi : Setelah pemberian oral, cepat dan hampir sepenuhnya diserap, data
yang terbatas menunjukkan bahwa 30-100% dari dosis oral mencapai sirkulasi
sistemik sebagai metoclopramide berubah. konsentrasi plasma puncak biasanya
dicapai pada 1-2 jam. Setelah pemberian IM, bioavailabilitas absolut adalah
74-96%. Onset : Setelah pemberian oral, 30-60 menit untuk efek pada GI tract.
Setelah pemberian IM, 10-15 menit untuk efek pada GI tract. Setelah
pemberian IV, 1-3 menit untuk efek pada GI tract. Durasi : 1-2 jam.
29

Distribusi : didistribusikan ke sebagian besar jaringan tubuh dan cairan;


konsentrasi tinggi pada mukosa, hati, saluran empedu, dan kelenjar ludah,
dengan konsentrasi yang lebih rendah di otak, jantung, timus, adrenal, jaringan
adiposa, dan sumsum tulang. Melewati plasenta, didistribusikan ke dalam susu
pada manusia, konsentrasi susu lebih tinggi dari konsentrasi plasma 2 jam
setelah penggunaan oral. Protein plasma binding 13-30% (terutama albumin).
Metabolisme : Minimal dimetabolisme; tidak diketahui apakah metabolit utama
yang ditemukan dalam urin adalah aktif.
Eliminasi : Diekskresikan dalam urin (85%) sebagai obat tidak berubah dan
metabolites dan juga dalam kotoran (sekitar 5%). Minimal dihapus oleh
hemodialysis atau peritoneal dialysis. Waktu paruh (half life) Biphasic;
terminal-fase paruh adalah 2,5-6 jam pada dewasa. Paruh eliminasi sekitar 4,14,5 jam pada anak anak.
Farmakodinamik
Mekanisme kerja metoklorpamid pada saluran cerna bagian atas mirip dengan
obat kolinergik,tetapi metoklopramid tidak dapat menstimulasi sekresi dari
lambung, empedu, atau pankreas dantidak dapat mempengaruhi konsentrasi
gastrin serum.Efek dari metoklopramid pada motilitas usus tidak tergantung
pada

persyarafan

nervus

vagus.

Tetapidihambat

oleh

obat-obat

kolinergik.Metoklopramid mempengaruhi Chemoreceptor Trigger Zone)


medulla yaitu dengan menghambatreseptor doopamin padat CTZ. Mekanisme
kerja dengan cara meningkatkan ambang rangsang CTZdan menurunkan
sensitivitas saraf visceral yang membawa impuls saraf aferen dari
gastrointestinalke pusat muntah pada formatio reticularis lateralis.
Indikasi

Untuk meringankan (mengurangi simptom diabetik gastroparesis akut dan


yang kambuh kembali)

30

Juga digunakan untuk menangulangi mual, muntah metabolik karena obat


sesudah operasi

Rasa terbakar yang berhubungan dengan refluks esofagitis

Kontraindikasi :

Penderita gastrointestinal hemorrhage, obstruksi mekanik atau perforasi

Penderita feokromositoma

Penderita epilepsi atau pasien yang menerima obat-obatan yang


menyebabkan reaksiekstrapiramidal

Sediaan dan Dosis

Tablet 10 mg
Dosis

Dewasa : 3 kali sehari 10 mg

Efek samping

Efek SSP : kegelisahan, mengantuk, kelelahan dan kelemahan. Rekasi


ekstrapiramidal distonia akut

Gangguan endokrin : galaktore, amenore, ginekomastia, impoten sekunder,


hiperprolaktinemia

Efek kardiovaskular : hipotensi, hipertensi supraventrikular, takikardia dan


bradikardia

Efek gastrointestinal : diare

Efek hati : hepatotoksisitas

Efek hematologik : neutropenia, leukopenia, agranulositosis

Reaksi alergi : gatal-gatal, urtikaria dan bronkospasme (Tjay, 2001).

5.Oralit

31

Komposisi: glucose anhydrous 4 g, NaCl 0,7 g, Na bicarbonate 0,5 g, CaCl 2


0,3 g.
Farmakokinetik
Natrium klorida dan kalium klorida diabsorpsi dengan baik di saluran
pencernaan,

mengganti

kehilangan

elektrolit,

mengoreksi

gangguan

keseimbangan elektrolit. Kelebihan natrium sebagian besar diekskresi


melalui ginjal, dan sejumlah kecil melalui feses dan keringat.
Farmakodinamik
Oralit mengandung alkalinising agent untuk mengantisipasi asidosis; sedikit
hypo-osmolar (kira-kira 250 mmol/liter) untuk mencegah kemungkinan
induksi diare osmotik. Komposisi larutan rehidrasi oral (oralit) yang rasional
adalah bahwa absorpsi glukose tergabung pada transport aktif elektrolit,
absorpsi tersebut secara teori meningkatkan efisiensi ketika rasio
karbohidrat : natrium mendekati 1:1.
Indikasi
Untuk rehidrasi/ pengganti cairan/elektrolit yang hilang pada pasien diare.
Kontraindikasi
Obstruksi dan perforasi usus
Dosis

Dewasa : 2 jam pertama 6 gelas, selanjutnya 2 gelas tiap BAB


Anak < 1 tahun : 2 jam pertama 2 gelas larutan (setengah gelas)
Anak 1-5 tahun : 2 jam pertama 4 gelas larutan (1 gelas)

Efek samping
Efek samping yang sering terjadi:
Gangguan keseimbangan elektrolit : gangguan keseimbangan elektrolit akibat
kelebihan natrium. Hal ini dapat juga diakibatkan oleh efek anion yang
spesifik. Retensi natrium berlebih di dalam tubuh biasanya terjadi ketika
ekskresi natrium melalui ginjal terganggu. Hal ini memicu terakumulasinya
cairan ekstraseluler untuk mempertahankan osmolalitas plasma normal yang
dapat menimbulkan edema paru dan perifer berikut konsekuensinya.
32

Hipernatraemia (peningkatan osmolalitas plasma) biasanya dihubungkan


dengan kurangnya asupan (intake) cairan, atau terjadi kehilangan banyak
cairan. Jarang terjadi jika digunakan pada dosis terapi, tetapi dapat terjadi
pada penggunaan larutan natrium klorida (saline) hipertonik untuk
merangsang muntah atau untuk bilas lambung dan setelah terjadi kesalahan
formulasi makanan bayi. Hipernatraemia juga dapat terjadi pada penggunaan
salin hipertonik yang tidak tepat secara intravena. Efek pada gastrointestinal
dikaitkan dengan tertelannya larutan hipertonik atau sejumlah besar natrium
klorida meliputi mual, muntah, diare dan kram perut. Penggunaan garam
klorida secara berlebihan dapat menyebabkan hilangnya bikarbonat dengan
efek pengasaman. Larutan yang terlalu pekat dapat menimbulkan
hiperkalemia. Kalau terlalu banyak diminum dapat menimbulkan edema pada
kelopak mata.
Peringatan

Larutan dibuat sesuai petunjuk pada kemasan/pembungkus.


Rehidrasi harus diberikan dengan cepat dalam 3 sampai 4 jam (kecuali
pada dehidrasi hipernatraemia, rehidrasi harus dilakukan dengan lebih
lambat, dalam 12 jam). Pasien harus diamati ulang (reassessed) setelah
rehidrasi awal dan jika masih terjadi dehidrasi pemberian cairan (rehidrasi)

cepat harus dilanjutkan.


Larutan Natrium klorida tidak boleh diberikan untuk merangsang muntah
(emesis); tindakan ini berbahaya, kematian akibat hipernatraemia pernah
dilaporkan (Sulistia, 2001).

33

BAB V
PENUTUP
Disentri

basiler/shigellosis

merupakan

suatu

infeksi

akut

yang

mengakibatkan radang pada kolon, yang disebabkan kuman genus Shigella, yang
ditandai gejala diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, serta nyeri perut dan
tenesmus.
Pada kasus diatas diberikan terapi non medikamentosa dan medikamentosa
yang meliputi:
1. Istirahat, makan dan minum dipertahankan untuk mencegah terjadinya
dehidrasi dan menjaga kebutuhan nutrisi
2. Diet saring TKTP rendah serat dan lunak untuk mengistirahatkan usus
3. Jika ada tanda-tanda dehidrasi berat segera dibawa ke pelayanan kesehatan
4. Pemberian antibiotik untuk menghilangkan infeksi, mengurangi morbiditas
dan mencegah komplikasi.
5. Pemberian analgetik dan antipiretik serta antiemetik sebagai pengobatan
simptomatis
6. Pemberian New diatabs untuk menyerap racun, bakteri dan enterovirus yang
menyebabkan diare. Dapat mengurangi frekuensi buang air besar dan
membantu memperbaiki konsistensi feses.
7. Pemberian oralit untuk mengatasi dehidrasi ringan
Pasien dengan disentri basiler harus segera ditangani untuk menghindari
terjadinya dehidrasi dan komplikasi lain yang lebih lanjut bahkan sampai
kematian. Dengan penanganan yang cepat maka resiko terjadinya komplikasi dan
kematian dapat diminimalkan.

34

DAFTAR PUSTAKA
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2009. National Shigella
Surveillance Annual Summary. Atlanta, Georgia: US Department of Health
and Human Services.
Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL, Henry
NK, et al editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease.
New York: Lange Medical Books, 2003. 225 - 68.
Jawetz M, Adelbergs. 2008. Mikrobiologi Kedokteran edisi 2, cetakan I. Alih
Bahasa: Huriwati Hartanto, et al. Jakarta : EGC.
Katzung, B. G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi VI , Jakarta : EGC.
Ganiswara. 1995. Farmakologi dan Terapan Edisi IV. Jakarta : Bagian
Farmakologi FKUI.
Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH,
editors. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology 2nd edition.
New York: Lange Medical Books, 2003. 131 - 50.
Mandal B.k, EGL Wilkins, EM Dunbar, R.T Mayon-White. 2008. Lecture notes
penyakit Infeksi. Jakarta : Erlangga.
Oesman, Nizam. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi III . Jakarta : FKUI.
Sudoyo, Aru W, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid 1.
Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Sulistia G. 2001. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi
FK UI.
Syaroni A, Hoesadha Y. 2006. Disentri Basiler .Buku Ajar Penyakit Dalam.
Jakarta : FKUI.
Tjay TH, Rahardja K. 2001. Obat- Obat Penting: Khasiat, Penggunaan , dan
Efek- Efek Sampingnya Edisi ke- 5. Jakarta: PT Elex Media Komputindo :
64-82.
Tjokroprawiro, Askandar, et al 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya:
Airlangga University Press.

35

36

Anda mungkin juga menyukai