BAB I
PENDAHULUAN
keadaan
hipertiroidisme
dengan
hiperplasia
kelenjar
tiroid
yang
multinodular goiter, dan adenoma tiroid(2). Ciri khas pada pasien dengan penyakit ini
adalah adanya antibodi yang berpengaruh terhadap tempat reseptor TSH di membran
sel tiroid dan memiliki kemampuan untuk merangsang sel tiroid dalam hal
peningkatan pertumbuhan dan fungsi.
Insidensi dari kasus ini di dunia dilaporkan mencapai 100-200 kasus dari
100.000 populasi setiap tahunnya. Data ini didapat dari penelitian yang dilakukan
oleh Wickham di Inggris, sementara di Amerika Serikat, insidensi penyakit ini adalah
sekitar 30 kasus sdari 100.000 populasi(3). Pada penelitian yang dilakukan pada tahun
1960, jumlah penderita penyakit ini di Indonesia diperkirakan mencapai 12 juta
penderita. Angka kejadian hipertiroid yang didapat dari beberapa klinik di Indonesia
berkisar antara 44,44% - 48,93% dari seluruh penderita dengan penyakit kelenjar
gondok(4). Sedangkan menurut data yang diambil dari poliklinik Endokrinologi di
RSUP Dr. Hasan Sadikin pada tahun 1992, kasus baru dari penyakit ini mencapai
8.7% dari seluruh kasus endokrin atau 18.8% dari seluruh kelainan tiroid(5).
Menurut data epidemiologi yang telah diukur dalam kurun waktu 20 tahun,
penyakit ini lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan resiko paling
tinggi terjadi pada usia antara 40-60 tahun(2). Di Indonesia, distribusi berdasarkan
jenis kelamin dan umur sangat bervariasi. Perbandingan wanita dan laki-laki yang
didapat di RSUP Palembang adalah 3 : 1, di RSCM Jakarta adalah 6 : 1, di RS. Dr.
Soetomo 8 : 1 dan di RSHS Bandung 10 : 1. Sedangkan distribusi menurut umur di
RSUP Palembang yang terbanyak adalah pada usia 21-30 tahun (41,73%), tetapi
menurut beberapa penulis lain puncaknya antara 30-40 tahun(4). Besar prevalensi dari
penyakit ini sebanding antara orang kulit putih dengan orang Asia, dan lebih rendah
pada orang berkulit hitam(2).
Upaya untuk mengobati penyakit Grave meliputi dua prinsip utama, yaitu
dengan cara mengurangi pembentukan hormon tiroid dengan menggunakan obatobatan anti tiroid atau mengurangi jumlah dari kelenjar tiroid tersebut menggunakan
yodium radioaktif atau pembedahan. Menurut data penelitian, 69% dari para klinisi
yang berada di Amerika Serikat lebih memilih menggunakan yodium radioaktif
sebagai terapi utama mereka sedangkan obat anti tiroid digunakan oleh 77% klinisi
yang berada di Eropa dan 88% klinisi yang berdomisili di Jepang (6). Selain itu
penelitian yang dilakukan pada tahun 1990 menyatakan bahwa kebanyakan klinisi di
dunia lebih memilih menggunakan obat anti tiroid sebagai pilihan terapi untuk pasien
yang masih berusia muda (7). Obat yang paling sering digunakan berasal dari
golongan thionamides seperti propylthiouracil, methimazole, atau carbimazole.
Walaupun terapi menggunakan obat-obatan ini dapat meninggalkan kelenjar tiroid
yang utuh, dalam pemberiannya membutuhkan pengawasan yang lama karena
insidensi kekambuhan yang tinggi yaitu sekitar 60-80 (8). Selain itu cara pemberian
dosis juga menentukan efektifitas dari terapi ini. Menurut penelitian yang pernah
dilakukan, pada pasien yang diberikan dosis tinggi tingkat kekambuhannya hanya
sebesar 25%. Jumlah ini lebih kecil bila dibandingkan dengan tingkat kekambuhan
pasien yang diberikan dosis rendah yaitu sebesar 59%(6). Untuk mencegah terjadinya
hipotiroidisme ketika menggunakan dosis obat anti tiroid yang tinggi, T4 (hormon
pengganti tiroid) harus ditambahkan dalam terapi (9). Selain dua prinsip utama yang
telah dijelaskan di atas, terdapat terapi tambahan untuk mengobati gejala klinis dari
hipertiroidisme seperti tremor atau palpitasi. Salah satu obat yang digunakan berasal
dari golongan -adrenergik-antagonis dimana obat ini akan berikatan dengan reseptor
yang ada di tubuh(10).
Berbekal dari latar belakang tersebut, penulis merasa tertarik untuk
mengadakan penelitian mengenai pola pemberian obat yang diberikan pada penderita
penyakit Graves yang dirawat jalan di poliklinik endokrinologi Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung selama periode Januari 2007- Desember 2007.
Rumah sakit ini adalah rumah sakit provinsi dimana banyak menerima rujukan dari
rumah sakit di Jawa Barat sehingga diharapkan tersedia sampel yang cukup untuk
penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
dan sebagainya.
Kekurangan hormon
akan memberikan
efek
sebaliknya(11).
Kelenjar tiroid manusia mempunyai kemampuan untuk menyerap serta
mengkonsentrasikan yodida dari sirkulasi. Kemampuan ini dimiliki juga oleh selsel kelenjar ludah, mukosa lambung, kelenjar susu, meski tidak satu pun mempunyai
kapasitas untuk mengubahnya menjadi hormon tiroid. Transport aktif yodida dari
sirkulasi ke sel tiroid ini membutuhkan energi (energy requiring process) dan
terjadi di bagian basal sel. Dengan melalui proses rumit, yodida yang ditangkap sel
tiroid akan diubah menjadi hormon melalui 7 tahap, yaitu tahap trapping, tahap
oksidasi, tahap coupling, tahap penimbunan (storage), tahap deiodonasi, tahap
proteolisis, dan tahap pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid(11).
1) Tahap Trapping
Pompa yodida terdapat pada bagian basal sel folikel, yang dalam
keadaan basal berhubungan dengan pompa Na/K, tetapi tidak dalam keadaan
aktif. Pompa ini bersifat energy dependent, dan membutuhkan ATP (adenosine
3) Tahap Coupling
10
11
menjadi T3. Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini adalah
jaringan hati, ginjal, jantung, dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga
rT3 (reversed T3) yang secara metabolik tidak aktif(11).
12
13
14
Akibat yang dihasilkan dari hormon ini adalah meningkatnya TSH. TRH juga dapat
menstimulasi keluarnya prolaktin, kadang-kadang FSH dan LH. Apabila TSH naik
dengan sendirinya kelenjar tiroid mengalami hyperplasia dan hiperfungsi. Sekresi
hormon hipotalamus dihambat oleh hormon tiroid (mekanisme umpan balik), TSH,
dopamin, hormon korteks adrenal, somatostatin, serta stress dan sakit berat (non
thyroidal illness)(11).
Cara kedua dalam pengaturan kelenjar ini dengan menggunakan TSH (thyroid
stimulating hormone). TSH merupakan suatu glikoprotein yang terbentuk oleh dua
subunit (alfa dan beta). Subunit alfa sama dengan yang dimiliki oleh hormon
glikoprotein (TSH, LH, FSH, dan human chorionic gonadotropin), tetapi subunit beta
adalah khusus untuk setiap hormon.
15
Cara terakhir adalah melalui pengaturan ditingkat kelenjar tiroid itu sendiri,
tanpa ada pengaruh dari TSH. Cara ini dipengaruhi oleh kadar yodium intra tiroid.
Manusia dapat mengatur produksi hormonnya sendiri ketika yodium yang
dikonsumsi bervariasi antara 50 g sampai beberapa milligram per hari. Adaptasi
utama
ketika
tidak
tercukupinya
yodium
yang
dikonsumsi
adalah
cAMP,
Kemampuan
menghasilkan
aktivasi
kelenjar
hormon
tiroid
H 2O2,
dan
fungsi
yang
normal
tiroid
untuk
lainnya.
tetap
penting
dapat
agar
16
17
Jika jaringan tiroid manusia digunakan sebagai sistem pengujian, titik akhir
pengukuran adalah stimulasi dari tetes-tetes koloid atau pembentukan AMP siklis
pada sel, potongan atau membrane (TSab = thyroid-stimulating antibodies) tiroid, dan
inhibisi pengikatan TSH dengan reseptornya di jaringan tiroid manusia (TBII = TSHbinding inhibitory immunoglobulin). Faktor ini mewakili antibodi terhadap reseptor
TSH tiroid (TRAb) (12).
18
ini. Salah satu dari antibodi ini dapat merangsang reseptor TSH pada membrane
sel tiroid dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan fungsi
dari sel tiroid. Antibodi ini disebut dengan TSHr AB[stim]. Adanya antibodi dalam
darah berkorelasi positif dengan penyakit aktif dan kekambuhan penyakit.
Telah disimpulkan ada predisposisi genetik yang mendasari dari penyakit ini namun
tidak jelas apa yang mencetuskan episode akut ini. Beberapa faktor yang mendorong
respon imun pada penyakit Graves adalah kehamilan, kelebihan yodida, infeksi
bakterial atau viral, dan penghentian glukokortiroid(8).
Patogenesis oftalmologi melibatkan limfosit sitotoksik dan antibodi
sitotoksik yang tersensitisasi oleh antigen yang ada pada fibroblast orbita, otot
orbita, dan jaringan tiroid. Sitokin yang berasal dari limfosit tersensitisasi ini dapat
menyebabkan peradangan fibroblas orbita dan miositis orbita yang akan berakibat
pada pembengkakan otot-otot orbita, proptosis bola mata, dan diplopia. Akibat lain
yang terlihat adalah kemerahan, kongesti, dan edema konjungtiva beserta periorbita.
Patogenesis dermopati tiroid (miksedema pretibial) dan inflamasi subperiosteal
yang jarang pada jari-jari tangan dan kaki (osteopati tiroid) mungkin juga melibatkan
stimulasi sitokin limfosit dari fibroblast pada tempat-tempat ini(8).
Banyak gejala tirotoksikosis yang mengarah pada adanya keadaan
kelebihan katekolamin seperti takikardia, tremor, berkeringat, atau kelopak
mata yang melotot. Namun kadar epinefrin dalam sirkulasi adalah normal, jadi pada
penyakit Graves tubuh tampak hiperaktif terhadap katekolamin(8).
19
20
kulit di daerah tersebut menebal, memiliki gambaran peau dorange (kulit jeruk)
dan dapat pruritik atau menjadi hiperpigmentasi. Lesi biasanya diskrit,
mengasumsikan konfigurasi seperti plak atau noduler tetapi pada beberapa keadaan,
konfluen. Pembesaran jari dan ibu jari dengan perubahan tulang yang khas dapat
menyertai perubahan dermis (thyroid acropachy)(12).
Pada keadaan lanjut akan timbul gejala klinis lanjutan yang disebut dengan
tirotoksikosis. Manifestasi yang sering ditemukan meliputi kegelisahan, labilitas
emosi, tidak dapat tidur, tremor, pergerakan usus yang sering, keringat yang
berlebihan, dan intoleransi terhadap panas. Kehilangan berat badan biasa terjadi
kecuali adanya nafsu makan yang dapat dipertahankan atau meningkat. Kelemahan
otot proksimal muncul dengan hilangnya kekuatan yang ditandai dengan kesulitan
naik tangga. Pada perempuan premenopause, cenderung terjadi oligomenore dan
amenore. Dispnea, palpitasi, dan pada pasien lanjut, angina pektoris atau kegagalan
jantung dapat terjadi. Secara umum, gejala neurologik mendominasi gambaran klinis
pada individu yang lebih muda, sementara gejala kardiovaskuler dan miopati
menonjol pada pasien yang lebih tua, dimana gambaran klinis dapat menjadi sulit
untuk ditemukan. Pasien seperti ini biasanya datang dengan keluhan lelah atau berat
badan berkurang (apathetic thyrotoxicosis)(12).
Biasanya pasien tampak cemas, gelisah, dan tampak tidak nyaman. Kulit
hangat dan lembab dengan tekstur seperti beludru dan eritema palparis muncul.
Pemisahan kuku dari jaringan kuku (kuku Plummer) biasa terjadi. Rambut tampak
normal dan bersinar. Tremor halus pada jari dan lidah, bersama dengan hiperrefleksia
adalah ciri yang sering terjadi. Tanda okuler meliputi pandangan membelalak dengan
21
fisura palpebra yang melebar, pengejapan mata yang jarang, kelelahan kelopak mata,
dan kegagalan untuk mengernyitkan alis pada pandangan ke atas. Tanda-tanda ini
dihasilkan oleh stimulasi berlebih simpatik dan biasanya berkurang jika tirotoksikosis
dikoreksi. Tanda-tanda tersebut harus dibedakan dari oftalmopati infiltrative yang
khas pada penyakit Graves(12).
Temuan kardiovaskuler meliputi tekanan denyut yang melebar, sinus
takikardia, atrial aritmia (terutama fibrilasi atrial), murmur sistolik, peningkatan
intensitas bunyi pertama apical, pembesaran jantung, atau gagal jantung yang nyata.
Suatu bunyi yang bolak-balik dan dengan nada tinggi dapat didengar di daerah
pulmonik dan dapat menstimulasi friksi gesekan pericardial (goresan Means-Lerman)
(12)
2.11 Diagnosis
Manifestasi klinis yang khas seperti pembesaran tiroid difusa yang disertai
dengan bruit, oftalmolopati, dan dermopati pada penyakit Graves umumnya mudah
ditemukan, sehingga mudah dalam menegakkan diagnosis. Namun pada kasus-kasus
yang subklinis dan orang usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat
untuk membantu menetapkan diagnosis(11).
Pada penyakit Graves, hormon tiroid yang tidak terikat (free T4 ) akan
meningkat disertai dengan penurunan Thyroid Stimulating Hormon (TSH). Pada 2
sampai 5% dari pasien hanya T3 yang meningkat (T3 toksikosis). Bila TSH
subnormal dan FT4 normal perlu diperiksa FT3 untuk membedakan T3 toksikosis
22
23
pemberian obat anti tiroid, tidak mampu atau tidak mau pengobatan dengan obat anti
tiroid, adenoma toksik, goiter multinodular toksik(11).
Pada pengobatan dengan yodium radioaktif ini kemungkinan terjadi
hipotiroidisme besar sekali. Digunakan Y131 dengan dosis 5 12 mCi per oral. Dosis
ini dapat mengendalikan tirotoksikosis dalam 3 bulan, namun kira-kira 1/3 dari
jumlah pasien menjadi hipotiroid dalam tahun pertama. Efek samping pengobatan
dengan yodium radioaktif adalah hipotiroidisme, eksaserbasi hipertiroidisme dan
tiroiditis(11).
Cara lain adalah dengan metode pembedahan. Operasi tiroidektomi subtotal
sangat efektif untuk menanggulangi hipertiroidisme. Hasil tindakan operasi ini
tergantung pada pengalaman dan keterampilan ahli bedah. Kelenjar yang tertinggal
sesudah operasi sangat penting untuk diperhatikan sebab bila terlalu besar biasanya
kambuh kembali, sedang bila terlalu kecil terjadi hipotiroidisme. Indikasi operasi
adalah: pasien umur muda dengan struma yang besar serta tidak mempan dengan obat
anti tiroid, pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat anti tiroid
dosis besar, alergi terhadap obat anti tiroid, pasien tidak dapat menerima yodium
radioaktif, adenoma toksik atau struma multinodular toksik, pada penyakit Graves
yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul. Sebelum operasi, biasanya pasien
diberi obat anti tiroid sampai eutiroid kemudian diberikan cairan Kalium Yodida 100200 mg/hari atau cairan Lugol 10-15 tetes/hari selama 10 hari sebelum dioperasi
untuk mengurangi vaskularisasi pada kelenjar tiroid(11).
24
Secara garis besar, obat obat yang digunakan pada penyakit Graves adalah
sebagai berikut :
25
Saat ini propylthiouracil dan methimazole adalah obat yang paling banyak digunakan
di Amerika Serikat. Sedangkan di Eropa dan Asia methimazole adalah obat yang
paling sering digunakan. Obat anti tiroid dapat digunakan sebagai terapi utama pada
keadaan hipertiroidisme atau sebagai terapi permulaan sebelum melanjutkan dengan
terapi menggunakan yodium radioaktif atau terapi pembedahan. Efek utama dari
obat-obatan ini adalah menghambat kerja dari enzim peroksidase dalam proses
sintesis hormon tiroid(7).
a) Propylthiouracil
26
Dalam darah 80-90% dari obat ini akan berikatan dengan albumin. Ikatan
dengan protein ini menyebabkan propylthiouracil sulit untuk melewati
plasenta. Selain itu obat ini hanya sedikit terakumulasi di air susu ibu. Kedua
hal ini menyebabkan propylthiouracil sebagai terapi pilihan pada ibu hamil.
Sisa dari obat ini akan diekskresikan oleh ginjal dalam bentuk glucoronide
yang tidak aktif dalam waktu 24 jam(14).
Obat ini mempunyai waktu paruh yang pendek yaitu sekitar 1, 5 jam.
Karena itu dosis awal yang diberikan adalah sekitar 100-150 mg setiap 6 jam.
Dosis ini diambil karena pemberian sebanyak 100 mg dapat menghambat 60%
dari organifikasi iodine dalam 7 jam. Setelah 4-8 minggu kemudian
dilanjutkan dengan menurunkan dosis secara perlahan sampai tingkat 100-150
mg sekali sehari(14). Namun ada literature lain yang menyebutkan bahwa dosis
awal yang dapat diberikan adalah 100-200 mg setiap 8 jam (1). Dosis ini tidak
perlu disesuaikan pada anak kecil, pasien yang sudah berusia lanjut, ataupun
pasien yang mempunyai masalah ginjal(14). Propylthiouracil tersedia dalam
bentuk tablet 50 mg (15). Kegagalan pengobatan dengan dosis 300 mg sehari
biasanya disebabkan oleh interval dosis yang kurang tepat(16). Tingkat
kepatuhan dengan menggunakan obat ini sebesar 53,3%(17). Keterlambatan
timbulnya efek dapat dijumpai pada pasien dengan goiter yang sangat
besar(16). Terapi menggunakan obat ini biasanya dilakukan selama 1 sampai 2
tahun(18).
Efek
samping
yang
dihasilkan
oleh
propylthiouracil
adalah
27
28
Waktu paruh yang dimiliki obat ini cukup panjang yaitu sekitar 3
sampai 6 jam. Dosis awal yang dapat diberikan untuk menangani keadaan
tirotoksikosis ringan sampai agak berat adalah dengan menggunakan dosis
tunggal 30-40 mg pada pagi hari. Kemudian dosis obat ini dapat diturunkan
hingga 5-15 mg sekali sehari(14). Ada metode lain yang dapat dilakukan dalam
pemberian dosis menggunakan obat ini. Pada metode ini pasien diberikan 4060 mg carbimazole sekali sehari sampai pasien mencapai keadaan hipotiroid.
Setelah itu pasien diberikan hormon tambahan tiroksin. Kedua obat ini
tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg. Carbimazole juga dikenal
dengan nama neomercazole, tyrozol, atau antithyrox(15). Tingkat kepatuhan
dengan menggunakan obat ini sebesar 83,3%. Angka ini lebih tinggi jika
dibandingkan dengan propylthiouracil karena obat ini menggunakan dosis
tunggal(17). Selain itu ada penelitian yang menyebutkan bahwa obat ini
mempunya efek terapeutik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
propylthiouracil(20).
Efek samping terburuk yang dapat dihasilkan dari obat ini adalah
agranulositosis yang disertai dengan radang tenggorok atau demam dengan
frekuensi 0,5 %(16). Selain itu efek samping yang jarang terjadi adalah
urtikaria, ikterus kolektasis, toksisitas hepatoselular, dermatitis eksosiliatif,
dan atralgia akut(14). Seperti propylthiouracil, obat ini juga dapat
meningkatkan efek antikoagulan sehingga bisa meningkatkan resiko
pendarahan(19).
29
Obat
golongan ini dapat menghambat fungsi tiroid. Mekanisme obat ini mungkin
didasarkan atas penghambatan kompetitif terhadap mekanisme tiroid dalam
memekatkan ion yodium. Perklorat kekuatannya kira-kira 10 kali kekuatan tiosianat,
sedangkan nitrat kira-kira 1/30 kali kekuatan tiosianat(16).
Dalam keadaan normal mungkin sedikit tiosianat terdapat dalam plasma,
karena tiosianat terdapat pada berbagai macam makanan seperti kol. Natrium dan
kalium perklorat memang bermanfaat sekali untuk pengobatan hipertiroidisme, tetapi
sekarang jarang digunakan karena obat ini dapat menimbulkan anemia aplastik.
Selain itu juga sering timbul berbagai reaksi berupa demam, kelainan kulit, iritasi
usus dan agranulositosis(16).
2.13.3 Yodida
Yodida merupakan obat tertua yang digunakan untuk berbagai macam
pengobatan hipertiroidisme sebelum ditemukan berbagai macam antitiroid. Meskipun
yodida diperlukan dalam jumlah kecil untuk biosintesis hormon tiroid, dalam jumlah
yang berlebihan yodida dapat menyebabkan goiter dan hipotiroidisme pada orang
sehat(16).
30
Obat ini digunakan untuk mengurangi gejala tambahan yang disebabkan oleh
peningkatan saraf simpatikus yang berlebihan. Gejala klinis yang dapat diobati
31
meliputi palpitasi, tremor, myopathy, dan keringat yang berlebihan. Obat dari
golongan ini bekerja secara kompetitif antagonis dengan noerepinephrine (NE) dan
epinephrine. Mereka akan berikatan dengan reseptor yang terletak di jantung
(reseptor -1), bronkiolus ( reseptor -2), pembuluh darah (reseptor -2) dan pada
otot skeletal (reseptor -2). Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah
propanolol, metoprolol, atenolol, dan timolol(22).
Propanolol adalah obat yang paling banyak digunakan dalam terapi
hipertiroidisme. Obat ini sangat efektif dalam mengurangi tekanan darah. Karena
kerjanya menghambat reseptor-, senyawa ini melindungi jantung terhadap impuls
simpatikus-adrenergik yang berlebihan, memperlambat frekuensi jantung dan sedikit
mengurangi kontraktilitas jantung. Dengan demikian kebutuhan jantung akan oksigen
akan menurun(14).
Propanolol per oral dengan dosis 20-40 mg setiap 6 jam akan dapat
mengontrol takikardia, hipertensi, dan fibrilasi atrium. Propanolol dihentikan secara
berangsur-angsur sampai tingkat kadar tiroksin kembali normal(14).
32
BAB III
METODE PENELITIAN
33
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medik pasien dengan
kriteria mempunyai diagnosis penyakit Graves.
34
Distribusi usia
Distribusi jenis kelamin
Distribusi golongan obat yang diberikan pada penderita penyakit Graves
Distribusi kombinasi obat yang diberikan pada penderita penyakit Graves
Distribusi pemberian obat berdasarkan dosis pada penderita penyakit Graves
35
36
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan terhadap 148 data rekam medik penderita penyakit
Graves yang dirawat jalan di poliklinik endokrinologi Ilmu Penyakit Dalam RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung selama periode 1 Januari 2007- 31 Desember 2007.
Hasil penelitian dapat disimpulkan di bawah ini :
4.1 Distribusi Jenis Kelamin Penderita Penyakit Graves
Tabel 4.1 Distribusi Jenis Kelamin Penderita Penyakit Graves
Jenis Kelamin
Jumlah Penderita
Presentase (%)
Laki-laki
26
17,6
Perempuan
122
82,4
Total
148
100,0
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa wanita (82,2%) lebih banyak menderita
penyakit Graves dibandingkan laki-laki (17,6%). Hal ini diduga karena ada pengaruh
dari hormon estrogen terhadap limfosit B(3). Penelitian terdahulu juga menyebutkan
bahwa penyakit ini lebih banyak terjadi pada perempuan dengan rasio predominasi
mencapai 7:1(3).
Jumlah Penderita
Presentase (%)
10-19
2,7
20-29
41
27,7
30-39
39
26,4
37
40-49
47
31,8
50-59
12
8,1
60-69
2,0
70-79
0,7
80-89
0,7
Total
148
100,0
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa penderita penyakit Graves paling
banyak terjadi pada usia 40-49 tahun (31,8%) kemudian dikuti penderita dengan usia
20-29 tahun (27,7%), meskipun secara umum penyakit Graves dapat dialami oleh
semua umur(3). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hermawan
(1990), bahwa penderita penyakit Graves di Indonesia banyak terjadi pada dekade
ketiga atau keempat(4).
4.3 Gambaran Umum Obat yang Diberikan pada Penderita Penyakit Graves
Tabel 4.3 Pemberian Obat pada Penderita Penyakit Graves
Jenis Obat
Obat Anti Tiroid
Nama Obat
Propylthiouracil
Carbimazole
Obat Tambahan
Propanolol
Vitamin B kompleks
Kalsium Karbonat
Vitamin B1, B6, B12
Furosemide
KCl
Jumlah
Frekuensi
131
17
148
136
23
1
2
2
1
165
313
Prosentase (%)
41,85
5,43
47,28
43,45
7,35
0,32
0,64
0,64
0,32
52,72
100,00
38
Secara keseluruhan berdasarkan tabel 4.3 diatas, terdapat 313 pemberian obat
terhadap 148 pasien penyakit Graves pada saat kunjungan pertama. Sebanyak 131
pasien (41,85%) diberikan propylthiouracil dan 17 pasien (5,43%) diberikan
carbimazole.
Pada umumnya tujuan pengobatan hipertiroid dengan menggunakan obat anti
tiroid adalah menekan produksi dari kelenjar tiroid (11). Obat anti tiroid ini tidak akan
mempengaruhi sekresi dari hormon yang sudah terbentuk. Oleh karena itu perbaikan
klinis pada penderita penyakit Graves tergantung pada jumlah hormon tiroid yang
tersimpan dalam kelenjar dan kecepatan sekresi kelenjar. Perbaikan gejala biasanya
terjadi dalam 3 minggu dan eutiroidisme tercapai dalam 6-8 minggu(11). Menurut
penelitian yang dilakukan pada tahun 1990, kebanyakan klinisi di dunia lebih
memilih menggunakan obat anti tiroid sebagai pilihan terapi untuk pasien yang masih
berusia muda(7). Menurut data penelitian, pada daerah Eropa dan Asia obat yang
paling sering digunakan adalah golongan carbimazole(7). Namun berdasarkan tabel
4.3 diatas, propylthiouracil merupakan obat yang paling banyak digunakan.
Selain obat-obat anti tiroid, ada beberapa obat yang digunakan untuk
mengurangi gejala tambahan atau komplikasi yang dapat menyertai penyakit Graves
ini. Obat lain yang paling sering diberikan adalah propanolol dan vitamin B
kompleks. Propanolol diberikan pada 136 pasien (43,45%) dan vitamin B kompleks
diberikan pada 23 pasien (7,35%). Sedangkan obat yang paling sedikit diberikan
adalah Kalsium Karbonat (0,32%) dan KCl (0.32%)
Gejala klinis yang paling sering timbul meliputi palpitasi, tremor, myopathy,
dan keringat yang berlebihan. Obat yang dapat diberikan untuk mengatasi gejala
tersebut berasal dari golongan -adrenergik-antagonis. Propanolol merupakan obat
39
yang paling banyak digunakan dalam terapi hipertiroid karena sangat efektif dalam
mengurangi tekanan darah.
Penggunaan vitamin B kompleks penting pada keadaan krisis hipertiroid.
Pada keadaan ini akan terjadi penurunan glikogen di hati dan vitamin terutama
thiamine (B1). Fungsi dari vitamin ini adalah membantu mendorong nafsu makan,
penggunaan karbohidrat, dan berperan dalam sistem saraf(23). Selain itu jika terdapat
penurunan vitamin ini maka akan terjadi defisiensi sistem imun, seperti penurunan
daya tahan terhadap infeksi, penurunan jumlah Limfosit T dan B dan penurunan
respons limpa(24).
4.4 Gambaran Pemberian Propylthiouracil
Tabel 4.4 Distribusi Propylthiouracil yang Diberikan Pada Penderita Penyakit
Graves
Dosis Pemberian
(per hari)
3 x 200 mg
3 x 100 mg
Jumlah
Frekuensi
101
30
131
Prosentase
(%)
77,1
22,9
100,00
Dari tabel 4.4 diatas dapat dilihat bahwa dari 131 pemberian propylthiouracil
pada kunjungan pertama selama periode 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember
2007, dosis propylthiouracil yang paling sering diberikan kepada penderita penyakit
Graves adalah 3 x 200 mg per hari (77,1%). Dosis terendah yang diberikan adalah 3 x
100 mg per hari dengan frekuensi 30 pemberian (22,9%).
Propylthiouracil merupakan obat anti tiroid yang paling banyak digunakan di
Amerika Serikat dan tersedia dalam bentuk tablet 50mg (7). Obat ini mudah diserap
40
dalam tubuh dan kadarnya mencapai keadaan paling tinggi dalam darah dalam waktu
satu jam dengan waktu paruh yang pendek sekitar 1,5 jam. Namun bioavabilitas dari
obat ini berkisar antara 53-88% karena obat ini akan melalui penyaringan yang
dilakukan di hati(13). Sisa dari obat ini akan diekskresikan oleh ginjal dalam bentuk
glucoronide yang tidak aktif dalam waktu 24 jam(14).
Dosis awal yang dapat diberikan adalah sekitar 100-200 mg setiap 8 jam(1).
Dosis ini diambil karena pemberian sebanyak 100 mg dapat menghambat 60% dari
organifikasi iodine dalam 7 jam. Dosis ini tidak perlu disesuaikan pada anak kecil,
pasien yang sudah berusia lanjut, ataupun pasien yang mempunyai masalah ginjal (14).
Kegagalan pengobatan dengan dosis 300 mg sehari biasanya disebabkan oleh interval
dosis yang kurang tepat(16). Tingkat kepatuhan dengan menggunakan obat ini sebesar
53,3%(17).
Dosis Pemberian
(per hari)
1 x 10 mg
Frekuensi
Prosentase
(%)
23,53
41
1 x 20 mg
3 x 5 mg
3 x 10 mg
5,88
11,77
11,77
1
2
2
9
Thyrozol
Jumlah
1 x 5 mg
1 x 10 mg
1 x 20 mg
2 x 10 mg
52,94
5,88
23,53
11,77
5,88
1
4
2
1
8
17
47,06
100,00
Dari tabel 4.5 diatas dapat dilihat bahwa dari 17 pemberian carbimazole pada
kunjungan pertama selama periode 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember 2007,
jenis obat yang paling sering diberikan kepada penderita penyakit Graves adalah
neomercazole (52,94%). Sedangkan obat lain yang diberikan kepada penderita
penyakit Graves adalah thyrozol (47,06).
Dari tabel 4.5 diatas dapat dilihat bahwa dari 8 pemberian neomercazole pada
kunjungan pertama selama periode 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember 2007,
dosis neomercazole yang paling sering diberikan kepada penderita penyakit Graves
adalah 10 mg per hari (23,53%). Dosis terendah yang diberikan adalah 20 mg per hari
(5,88%).
Neomercazole merupakan derivat dari tiomidazol. Menurut data epidemiologi,
obat ini merupakan obat yang paling banyak digunakan di Eropa dan Asia (7). Obat ini
tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg. Waktu paruh yang dimiliki obat ini
sekitar 3 sampai 6 jam sehingga dosis yang digunakan adalah dosis tunggal 30-40 mg
pada pagi hari(14). Metode lain dalam menggunakan obat ini adalah dengan
menggunakan dosis besar, yaitu 40-60 mg sekali sehari. Keuntungan dari dosis
42
tunggal yang dimiliki obat ini adalah tingkat kepatuhan yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan propylthiouracil yaitu sebesar 83,3%(18).
Berdasarkan tabel 4.5 diatas, dapat diperhatikan bahwa pada pemberian
thyrozol selama periode 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember 2007, dosis
pemberian yang paling sering adalah 1 kali sehari dengan dosis 10 mg satu kali
minum (23,53%). Waktu pemberian thyrozol kepada pasien penyakit Graves yang
paling jarang adalah 1 x 5 mg dan 2 x 10 mg per hari dengan proporsi yang sama
yaitu sebesar 5,88%.
Thyrozol ini merupakan nama lain dari carbimazole yang akan dikonversi
menjadi bentuk aktif yang disebut dengan methimazole. Di dalam tubuh obat ini
akan diserap secara sempurna dan akan terakumulasi di kelenjar tiroid. Ekskresi dari
obat ini lebih lambat jika dibandingkan dengan propylthiouracil yaitu sekitar 48
jam(14). Seperti halnya neomercazole, dosis awal yang dapat diberikan adalah dengan
menggunakan dosis tunggal 30-40 mg. Kemudian dosis obat ini dapat diturunkan
hingga 5-15 mg sekali sehari(14). Tingkat kepatuhan yang tinggi pada obat ini
disebabkan dosis tunggal yang dimilikinya (17). Selain itu ada penelitian yang
menyebutkan bahwa obat ini mempunya efek terapeutik yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan propylthiouracil(20).
4.6 Gambaran Pemberian Propanolol
Tabel 4.6 Distribusi Propanolol yang Diberikan Pada Penderita Penyakit
Graves
Dosis Pemberian
(per hari)
2 x 10 mg
3 x 5 mg
3 x 10 mg
Frekuensi
1
15
112
Prosentase
(%)
0,70
11,00
82,40
43
3 x 20 mg
4 x 10 mg
Jumlah
5
3
136
3,70
2,20
100,00
Dari tabel 4.6 di atas dapat dilihat bahwa dari 136 pemberian propanolol pada
kunjungan pertama selama periode 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember 2007,
dosis propanolol yang paling sering diberikan kepada penderita penyakit Graves
adalah 30 mg per hari (82,4%). Dosis propanolol yang paling jarang diberikan kepada
pasien adalah 20 mg per hari dengan proporsi hanya 0,7% dari jumlah frekuensi
pemberian propanolol selama 1 tahun.
Propanolol berasal dari golongan -adrenergik-antagonis dimana obat ini akan
berikatan dengan reseptor yang ada di tubuh. Obat ini digunakan untuk mengurangi
gejala tambahan yang disebabkan oleh peningkatan saraf simpatikus yang berlebihan.
Dosis propanolol per oral 20-40 mg setiap 6 jam akan dapat mengontrol gejala
tambahan tersebut. Propanolol dihentikan secara berangsur-angsur sampai tingkat
kadar tiroksin kembali normal(14).
44
F*
6
102
1
19
1
2
3
5
1
4
2
2
148
Presentase (%)
4,05
68,92
0,68
12,84
0,68
1,35
2,03
3,37
0,68
2,70
1,35
1,35
100,00
45
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian mengenai pola pemberian obat yang
diberikan pada penderita penyakit Graves yang dirawat jalan di poliklinik
endokrinologi Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung selama
periode Januari 2007- Desember 2007, maka dapat ditarik kesimpulan dan saran
sebagai berikut:
1. Penderita penyakit Graves yang paling banyak adalah wanita (82,2%) dan
46
47
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Yeung S-CJ. Graves Disease. Journal [serial on the Internet]. 2007 Date:
Available from: www.eMedicine.com.
4.
5.
6.
7.
8.
Greenspan FS, MD. The Thyroid Gland. In: Greenspan FS, MD., Gardner
DG, MD, editors. Basic & Clinical Endocrinology. 7 ed. New York: McGrawHill; 2004. p. 215-98.
9.
10.
11.
12.
Lameson JL, Weetman AP. Disorder of the Thyroid Gland. In: Kasler DL,
editor. Harrison Principles of Internal Medicine. 13 ed. New York: McGrawHill; 2005. p. 2104-26.
48
13.
Rastogi RB, Singhal RL. Thyroid Hormones And Antithyroid Drugs. In:
Pradhan SN, M.D., Ph.D., editor. Pharmacology in Medicine : Principles and
Practice. Maryland: SP Press International Inc.; 1986. p. 444-57.
14.
Greenspan FS, Dong BJ. Tiroid dan Obat Antitiroid. In: Katzung BG, editor.
Farmakologi Dasar dan Klinik. 6 ed. Jakarta: EGC; 1995. p. 607-12.
15.
16.
Ganiswara SG. Farmakologi dan Terapi. 4 ed. Jakarta: Gaya Baru; 1995.
17.
Nicholas WC, Fischer RG, Stevenson RA, Bass JD. Single daily dose of
methimazole compared to every 8 hours propylthiouracil in the treatment of
hyperthyroidism. PubMed. 1995;88:937-6.
18.
Spaulding SW, Carr EA, Jr. Thyroid Hormones and Drugs That Affect the
Thyroid. In: Smith CM, Reynard AM, editors. Essentials of Pharmacology.
Philadelphia: W.B Saunders Company. p. 541-8.
19.
20.
21.
Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Farmakologi : Ulasan Bergambar. 2 ed.
Jakarta: Widya Medika; 1995.
22.
Brown OM. Adrenergic Antagonist. In: Smith CM, Reynard AM, editors.
Essentials of Pharmacology. Philadelphia: W.B Saunders Company; 1995. p.
86-7.
23.
24.