Anda di halaman 1dari 48

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Penyakit Graves merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan
adanya

keadaan

hipertiroidisme

dengan

hiperplasia

kelenjar

tiroid

yang

menyeluruh(1). Dari penelitian terdahulu didapatkan data bahwa penyakit ini


menyebabkan 60-80%

kasus hipertiroid, sedangkan sisanya disebabkan oleh

multinodular goiter, dan adenoma tiroid(2). Ciri khas pada pasien dengan penyakit ini
adalah adanya antibodi yang berpengaruh terhadap tempat reseptor TSH di membran
sel tiroid dan memiliki kemampuan untuk merangsang sel tiroid dalam hal
peningkatan pertumbuhan dan fungsi.
Insidensi dari kasus ini di dunia dilaporkan mencapai 100-200 kasus dari
100.000 populasi setiap tahunnya. Data ini didapat dari penelitian yang dilakukan
oleh Wickham di Inggris, sementara di Amerika Serikat, insidensi penyakit ini adalah
sekitar 30 kasus sdari 100.000 populasi(3). Pada penelitian yang dilakukan pada tahun
1960, jumlah penderita penyakit ini di Indonesia diperkirakan mencapai 12 juta
penderita. Angka kejadian hipertiroid yang didapat dari beberapa klinik di Indonesia
berkisar antara 44,44% - 48,93% dari seluruh penderita dengan penyakit kelenjar
gondok(4). Sedangkan menurut data yang diambil dari poliklinik Endokrinologi di
RSUP Dr. Hasan Sadikin pada tahun 1992, kasus baru dari penyakit ini mencapai
8.7% dari seluruh kasus endokrin atau 18.8% dari seluruh kelainan tiroid(5).

Menurut data epidemiologi yang telah diukur dalam kurun waktu 20 tahun,
penyakit ini lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan resiko paling
tinggi terjadi pada usia antara 40-60 tahun(2). Di Indonesia, distribusi berdasarkan
jenis kelamin dan umur sangat bervariasi. Perbandingan wanita dan laki-laki yang
didapat di RSUP Palembang adalah 3 : 1, di RSCM Jakarta adalah 6 : 1, di RS. Dr.
Soetomo 8 : 1 dan di RSHS Bandung 10 : 1. Sedangkan distribusi menurut umur di
RSUP Palembang yang terbanyak adalah pada usia 21-30 tahun (41,73%), tetapi
menurut beberapa penulis lain puncaknya antara 30-40 tahun(4). Besar prevalensi dari
penyakit ini sebanding antara orang kulit putih dengan orang Asia, dan lebih rendah
pada orang berkulit hitam(2).
Upaya untuk mengobati penyakit Grave meliputi dua prinsip utama, yaitu
dengan cara mengurangi pembentukan hormon tiroid dengan menggunakan obatobatan anti tiroid atau mengurangi jumlah dari kelenjar tiroid tersebut menggunakan
yodium radioaktif atau pembedahan. Menurut data penelitian, 69% dari para klinisi
yang berada di Amerika Serikat lebih memilih menggunakan yodium radioaktif
sebagai terapi utama mereka sedangkan obat anti tiroid digunakan oleh 77% klinisi
yang berada di Eropa dan 88% klinisi yang berdomisili di Jepang (6). Selain itu
penelitian yang dilakukan pada tahun 1990 menyatakan bahwa kebanyakan klinisi di
dunia lebih memilih menggunakan obat anti tiroid sebagai pilihan terapi untuk pasien
yang masih berusia muda (7). Obat yang paling sering digunakan berasal dari
golongan thionamides seperti propylthiouracil, methimazole, atau carbimazole.
Walaupun terapi menggunakan obat-obatan ini dapat meninggalkan kelenjar tiroid
yang utuh, dalam pemberiannya membutuhkan pengawasan yang lama karena

insidensi kekambuhan yang tinggi yaitu sekitar 60-80 (8). Selain itu cara pemberian
dosis juga menentukan efektifitas dari terapi ini. Menurut penelitian yang pernah
dilakukan, pada pasien yang diberikan dosis tinggi tingkat kekambuhannya hanya
sebesar 25%. Jumlah ini lebih kecil bila dibandingkan dengan tingkat kekambuhan
pasien yang diberikan dosis rendah yaitu sebesar 59%(6). Untuk mencegah terjadinya
hipotiroidisme ketika menggunakan dosis obat anti tiroid yang tinggi, T4 (hormon
pengganti tiroid) harus ditambahkan dalam terapi (9). Selain dua prinsip utama yang
telah dijelaskan di atas, terdapat terapi tambahan untuk mengobati gejala klinis dari
hipertiroidisme seperti tremor atau palpitasi. Salah satu obat yang digunakan berasal
dari golongan -adrenergik-antagonis dimana obat ini akan berikatan dengan reseptor
yang ada di tubuh(10).
Berbekal dari latar belakang tersebut, penulis merasa tertarik untuk
mengadakan penelitian mengenai pola pemberian obat yang diberikan pada penderita
penyakit Graves yang dirawat jalan di poliklinik endokrinologi Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung selama periode Januari 2007- Desember 2007.
Rumah sakit ini adalah rumah sakit provinsi dimana banyak menerima rujukan dari
rumah sakit di Jawa Barat sehingga diharapkan tersedia sampel yang cukup untuk
penelitian ini.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
diidentifikasikan masalah sebagai berikut :
Bagaimana pola pemberian obat pada penderita penyakit Graves yang dirawat
jalan di poliklinik endokrinologi Ilmu Penyakit Dalam RS Dr. Hasan Sadikin
Bandung selama periode Januari 2007 Desember 2007.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian


Penelitian ini bermaksud untuk meneliti obat-obat yang diberikan dan tertulis
di data rekam medis pada penderita penyakit Graves yang di rawat jalan di poliklinik
endokrinologi Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran pemberian obat pada
penderita penyakit Graves yang di rawat jalan di poliklinik endokrinologi Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian


1.4.1 Aspek Pengembangan ilmu
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai pemberian
obat pada penderita penyakit Graves.
1.4.2 Aspek Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
meningkatkan pelayanan kesehatan di masyarakat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid adalah organ paling besar dalam tubuh yang mempunyai
fungsi khusus untuk memproduksi hormon endokrin. Kelenjar ini terletak di bagian
bawah leher, terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh ismus dan menutupi
cincin trakea 2 dan 3. Kapsul fibrosa melekatkan kelenjar ini pada fasia pretrakea
sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya
kelenjar ke arah kranial. Sifat ini yang digunakan di klinik untuk menentukan apakah
suatu benjolan di leher berhubungan dengan kelenjar tiroid atau tidak. Pengaliran
darah ke kelenjar tiroid berasal dari arteri Tiroidea Superior (cabang dari arteri
Karotis Eksterna) dan arteri Tiroidea Inferior (cabang dari arteri Subklavia). Setiap
folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan jala-jala limfatik, sedangkan vena
dari kelenjar ini berasal dari pleksus perifolikular(11).
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan
pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke berbagai tempat, yaitu ke arah nodus
prelaring yang tepat berada di atas ismus serta ke kelenjar getah bening pretrakealis
dan paratrakealis, sedangkan sebagian lagi bermuara di kelenjar getah bening
brakiosefalika dan sebagian ada yang langsung ke duktus torasikus(11).

2.2 Biosintesis Hormon Tiroid


Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis
terdiri atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 m.
Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke
dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel
ini berkelompok-kelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus
yang mendapat darah dari end artery. Setiap folikel berisi cairan pekat yang disebut
koloid dan sebagian besar terdiri atas protein, khususnya glikoprotein
tiroglobulin. Kelenjar ini pun mengandung molekul 4S, sejenis albumin dan
mengandung khususnya monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT). Pada
keadaan tertentu protein 4 S ini akan terlepas dan merupakan bagian yang terukur
dalam darah sebagai protein bound iodin (PBI) dan bukan sebagai tiroksin.
Hormon utama yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) tersimpan juga dalam
koloid sebagai bagian dari molekul tiroglobulin. Hormon ini hanya akan
dibebaskan apabila ikatan dengan tiroglobulin ini dipecah oleh enzim khusus (11).

Gambar 2.1 Struktur tiroksin dan triiodotironin

Hormon tiroid mempengaruhi seluruh sel organ tubuh. Efeknya berbeda-beda


tergantung dari organ maupun usia individu. Misalnya tumbuh kembangnya otak
fetus, demikian juga faal otak sejak neonatal sangat bergantung pada hormon tiroid.
Hormon ini berikatan dengan nuclear receptor di sel sasaran, yang kemudian terjadi
rangkaian peristiwa post reseptor, antara lain stimulasi sintesis enzim dan
reaksinya. Akibat yang nyata adalah stimulasi konsumsi oksigen (metabolic rate),
sekresi hormon pertumbuhan dan hormon gonadotropin, sintesis reseptor beta
adrenergik

dan sebagainya.

Kekurangan hormon

akan memberikan

efek

sebaliknya(11).
Kelenjar tiroid manusia mempunyai kemampuan untuk menyerap serta
mengkonsentrasikan yodida dari sirkulasi. Kemampuan ini dimiliki juga oleh selsel kelenjar ludah, mukosa lambung, kelenjar susu, meski tidak satu pun mempunyai
kapasitas untuk mengubahnya menjadi hormon tiroid. Transport aktif yodida dari
sirkulasi ke sel tiroid ini membutuhkan energi (energy requiring process) dan
terjadi di bagian basal sel. Dengan melalui proses rumit, yodida yang ditangkap sel
tiroid akan diubah menjadi hormon melalui 7 tahap, yaitu tahap trapping, tahap
oksidasi, tahap coupling, tahap penimbunan (storage), tahap deiodonasi, tahap
proteolisis, dan tahap pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid(11).
1) Tahap Trapping

Pompa yodida terdapat pada bagian basal sel folikel, yang dalam
keadaan basal berhubungan dengan pompa Na/K, tetapi tidak dalam keadaan
aktif. Pompa ini bersifat energy dependent, dan membutuhkan ATP (adenosine

trifosfat). Daya konsentrasinya dapat mencapai 20-100 kali kadar dalam


serum darah(11).
2) Tahap Oksidasi
Sebelum yodida ini dapat digunakan dalam sintesis hormon, yodida
harus dioksidasi terlebih dahulu menjadi bentuk aktif oleh enzim
tiroperoksidase (TPO). Enzim ini dibuat di apparatus Golgi dan dikeluarkan
ke dalam vesikel ke arah apeks sel dalam bentuk non aktif. Setelah sampai di
apeks enzim ini diaktifkan sehingga proses dapat berlanjut. Biosintesis dari
enzim ini dipengaruhi oleh TSH (thyroid stimulating hormone)(8). Bentuk
aktif dari yodida ini berupa ion iodium (I +) atau sulfinil yodida group. Yodium
ini akan bergabung dengan residu tirosil membentuk 3-monoyodotirosin
(MIT) atau 3,5-diiodotirosin (DIT) yang ada dalam molekul tiroglobulin.
Proses katalisasi yodinasi tiroglobulin ini terjadi secara maksimal pada
tiroglobulin yang belum diyodinasi sama sekali dan akan berkurang pada
bagian yang telah diyodinasi. Beberapa goiter alamiah terjadi di tahap ini
sehingga produksi hormon berkurang dan sebagai akibatnya member reaksi
umpan balik berupa membesarnya kelenjar tiroid (goiter). Yodinasi
tiroglobulin ini dipengaruhi kadar yodium plasma, sehingga makin tinggi
kadar yodium intrasel akan semakin banyak yodium terikat, dan sebaliknya
pada defisiensi yodium, yodium yang terikat akan semakin berkurang(11).

3) Tahap Coupling

Di dalam molekul tiroglobulin, dua molekul DIT akan bergabung


membentuk T4 dengan dikatalisasi oleh TPO. Dengan cara yang sama akan
dibentuk T3 dari donor MIT dengan aseptor DIT(8).
4) Tahap Penimbunan
Setelah pembentukan hormon selesai, hasilnya akan disimpan di
ekstrasel yaitu di lumen folikel tiroid dekat permukaan vili atau apeks koloid,
dan simpanan ini merupakan hormon yang pertama akan dikeluarkan sewaktu
dibutuhkan. Umumnya sepertiga yodium disimpan sebagai T3 dan T4 dan
sisanya dalam MIT dan DIT(11).
5) Tahap Deyodinasi
Yodotirosin yang terbentuk dan tidak digunakan sebagai hormon akan
mengalami deyodinasi menjadi tiroglobulin + residu + yodida kembali.
Deyodinasi ini dimaksudkan untuk menghemat pemakaian unsur yodium.
Proses ini menjadi amat kritis apabila yodium tersedia secara terbatas(11).
6) Tahap Proteolisis
Tiroglobulin dari koloid harus melalui sel tiroid sebelum sampai ke
sirkulasi. Peristiwa ini dimulai dengan pembentukan vesikel oleh ujung vili
atas pengaruh TSH menjadi tetes koloid. Selain itu TSH akan mempengaruhi
lisosom untuk bergabung dengan tetes koloid ini sehingga MIT, DIT, T3, dan
T4 akan terlepas secara bebas dari tiroglobulin. Selanjutnya yodotirosin (MIT,
DIT) akan mengalami deyodinasi, sedangkan T3 dan T4 akan dikeluarkan dari
sel sebagai hormon(11).
7) Tahap Pengeluaran Hormon dari Kelenjar Tiroid

10

Hormon ini akan melewati membrane basal, fenestra sel kapiler,


kemudian ditangkap oleh pembawanya dalam sistem sirkulasi yaitu thyroid
binding protein. Produksi T4 dalam sehari kurang lebih sekitar 80-100 g
sedangkan T3 sekitar 6-39 g. Penelitian membuktikan bahwa 30-40% T3
endogen berasal dari konversi ekstratiroid T4 menjadi T3(11).

2.3 Metabolisme Hormon Tiroid


Kedua hormon yang dihasilkan kelenjar tiroid akan diikat oleh protein
pengikat dalam serum (binding protein). Hanya 0,35% T4 total dan 0,25% T3 total
berada dalam keadaan bebas. Ikatan T3 dengan protein tersebut kurang kuat
dibandingkan dengan T4, tetapi karena efek hormonalnya lebih kuat maka T3 ini
menjadi sangat penting. Jenis-jenis protein pengikat serum berdasarkan kekuatannya
dalam mengikat hormon tiroid adalah TBG (thyroxin binding globulin), TBPA
(thyroxin binding prealbumin), dan serum albumin. Pada keadaan normal, kadar
yodotironin total menggambarkan kadar hormon bebas. Namun pada keadaan tertentu
jumlah protein binding ini berubah. Keadaan yang dapat menyebabkan protein ini
menjadi tinggi adalah pada neonatus, penggunaan estrogen termasuk kontrasepsi
oral, penyakit hati kronik dan akut, peningkatan sintesis oleh hati karena penakaian
kortikosteroid, atau kehamilan. Keadaan yang menyebabkan protein ini menjadi
turun adalah pada penyakit ginjal dan hati kronik, androgen dan steroid anabolik, atau
pada sindrom nefrotik(11).
Waktu paruh T4 di plasma adalah 6 hari sedangkan T3 sekitar 24-30 jam.
Sebagian T4 endogen akan mengalami konversi melalui proses monodeyodinasi

11

menjadi T3. Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini adalah
jaringan hati, ginjal, jantung, dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga
rT3 (reversed T3) yang secara metabolik tidak aktif(11).

2.4 Efek Metabolik Hormon Tiroid


Hormon tiroid adalah satu hormon yang dibutuhkan oleh hampir semua proses
tubuh termasuk proses metabolisme, sehingga perubahan hipertiroidisme atau
hipotiroidisme berpengaruh atas berbagai peristiwa. Efek metaboliknya antara lain
seperti tersebut di bawah ini(11).

Termoregulasi dan kalorigenik

Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik,


tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik.

Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorpsi KH


intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula
glikogen otot menipis, dan degradasi insulin meningkat.

Metabolisme lipid. Meski T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses


degradasi kolesterol dan ekskresinya melalui empedu ternyata jauh lebih
cepat. Sehingga pada hiperfungsi tiroid jumlah kolesterol dalam tubuh rendah,
sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester, dan fosfolipid
meningkat.

12

Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan


hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia,
kulit kekuningan.

Lain-lain : gangguan metabolism keratin fosfat menyebabkan miopati, tonus


traktus gastrointestinal meninggi sehingga terjadi hiperperistaltik dan
menyebabkan diare.

2.5 Efek Fisiologik Hormon Tiroid


Efek dari hormon tiroid ini membutukan waktu beberapa jam sampai hari.
Berikut akan dijelaskan berbagai macam efek yang dapat dihasilkan oleh hormon
tiroid(11).
a) Efek pada konsumsi oksigen dan panas. Kedua peristiwa ini dirangsang oleh
T3 melalui Na+K+ATPase di semua jaringan kecuali otak, testis, dan limpa.
Metabolisme basal akan meningkat.
b) Efek kardiovaskular. T3 dapat menstimulasi transkripsi miosin hc-
sehingga kontraksi otot miokard menguat dan trankripsi Ca 2+ATPase di
retikulum sarkoplasma sehingga meningkatkan tonus diastolik. Secara klinis
gambaran yang akan terlihat adalah naiknya curah jantung dan takikardia.
c) Efek simpatik. Karena bertambahnya reseptor adrenergik-beta miokard,
otot skelet, lemak dan limfosit, dan menurunnya reseptor allfa miokard,
maka sensitivitas terhadap katekolamin amat tinggi pada hipertiroidisme
dan sebaliknya pada hipotiroidisme.

13

d) Efek hematopoietik. Kebutuhan akan oksigen pada hipertiroidisme


menyebabkan eritropoiesis dan produksi eritropoietin meningkat. Volume
darah tetap namun red cell turn over meningkat.
e) Efek gastrointestinal. Pada hipertiroidisme motilitas usus meningkat dan
kadang ada diare. Pada hipotiroidisme terjadi obstipasi dan transit lambung
melambat. Hal ini dapat menyebabkan bertambah kurusnya seseorang.
f) Efek pada skelet. Resorpsi tulang akan lebih terpengaruh dari pada
pembentukannya. Hipertiroidisme dapat menyebabkan osteopenia. Dalam
keadaan berat mampu menghasilkan hiperkalsemia dan hiperkalsiuria.
g) Efek neuromuscular. Turn-over yang meningkat dapat menyebabkan miopati
disamping hilangnya otot. Dapat terjadi kreatinuria dan kotraksi serta
relaksasi otot yang meningkat (hiperrefleksia).
h) Efek endokrin. Hormon tiroid dapat meningkatkan metabolic turn-over
banyak hormon serta bahan farmakologik. Sebagai contoh waktu paruh
yang dimiliki oleh kortisol adalah 100 menit pada orang normal, namun dapat
menurun menjadi 50 menit pada keadaan hipertiroid. Untuk ini perlu diingat
bahwa hipertiroidisme dapat menutupi kelainan adrenal.

2.6 Pengaturan Faal Kelenjar Tiroid


Ada empat macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid ini. Yang pertama
menggunakan TRH (thyrotropin releasing hormone) yang disintesis di hipotalamus.

14

Akibat yang dihasilkan dari hormon ini adalah meningkatnya TSH. TRH juga dapat
menstimulasi keluarnya prolaktin, kadang-kadang FSH dan LH. Apabila TSH naik
dengan sendirinya kelenjar tiroid mengalami hyperplasia dan hiperfungsi. Sekresi
hormon hipotalamus dihambat oleh hormon tiroid (mekanisme umpan balik), TSH,
dopamin, hormon korteks adrenal, somatostatin, serta stress dan sakit berat (non
thyroidal illness)(11).
Cara kedua dalam pengaturan kelenjar ini dengan menggunakan TSH (thyroid
stimulating hormone). TSH merupakan suatu glikoprotein yang terbentuk oleh dua
subunit (alfa dan beta). Subunit alfa sama dengan yang dimiliki oleh hormon
glikoprotein (TSH, LH, FSH, dan human chorionic gonadotropin), tetapi subunit beta
adalah khusus untuk setiap hormon.

TSH yang masuk dalam sirkulasi akan

mengikat reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor) yang kemudian


mengakibatkan terjadinya efek hormonal seperti kenaikan trapping, peningkatan
yodinasi, coupling, proteolisis sehingga hasilnya adalah produksi hormon yang
meningkat. Dalam keadaan tertentu, TSHr ini akan ditempati dan dirangsang
oleh immunoglobulin (TSAb = thyroid stimulating antibody) yang serupa dengan
TSH endogen, dan sebagai akibatnya terjadi juga rentetan peristiwa yang tidak dapat
dibedakan dengan rangsangan akibat TSH endogen(11).
Cara selanjutnya adalah dengan menggunakan umpan balik sekresi hormon.
Kedua hormon ini mempunyai efek umpan balik di tingkat hipofisis. Hormon yang
mempunyai peranan adalah hormon yang tidak terikat dengan protein. T3 disamping
berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan
mengurangi kepekaan hipofisis terhadap rangsangan TRH(11).

15

Cara terakhir adalah melalui pengaturan ditingkat kelenjar tiroid itu sendiri,
tanpa ada pengaruh dari TSH. Cara ini dipengaruhi oleh kadar yodium intra tiroid.
Manusia dapat mengatur produksi hormonnya sendiri ketika yodium yang
dikonsumsi bervariasi antara 50 g sampai beberapa milligram per hari. Adaptasi
utama

ketika

tidak

tercukupinya

yodium

yang

dikonsumsi

adalah

meningkatnya sintesis T3 dibandingkan T4. Sedangkan ketika yodium yang


dikonsumsi berlebih, maka akan terjadi inhibisi dari transport iodine (I -),
pembuatan

cAMP,

Kemampuan
menghasilkan

aktivasi

kelenjar
hormon

tiroid

H 2O2,

dan

fungsi

yang

normal

tiroid

untuk

tiroid (Wolf-Chaikoff escape)

lainnya.

tetap
penting

dapat
agar

metabolism tubuh tetap terjaga(8).

2.7 Definisi dan Etiologi Hipertiroidisme dan Penyakit Graves


Hipertiroidisme adalah suatu keadaan klinis dimana kerja dari kelenjar tiroid
melebihi normal sehingga mengakibatkan tingginya kadar hormon tiroid dalam
tubuh. Jika hormon tiroid ini secara terus-menerus meningkat di dalam tubuh maka
akan menimbulkan sindroma klinis seperti takikardi, demam, atau badan lemah yang
dikenal dengan nama tirotoksikosis. Penyebab yang paling sering dari hipertiroidisme
adalah penyakit Graves yang dikenal juga dengan nama penyakit Parry atau
Basedow(2).
Robert Graves adalah orang pertama yang mengidentifikasi hubungan antara
pembesaran kelenjar tiroid, palpitasi, dan eksoftalmus pada tahun 1835(2). Penyakit ini

16

merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya keadaan


hipertiroidisme dengan hiperplasia kelenjar tiroid yang menyeluruh(1). Setelah
dilakukan penelitian-penelitian mengenai penyakit ini, didapatkan suatu kesimpulan
bahwa penyakit Graves merupakan suatu kelainan autoimun yang ditandai dengan
tiga manifestasi utama, yaitu hipertiroidisme dengan struma difusa, oftalmologi,
dan dermopati. Ketiga manifestasi ini tidak harus tampak bersamaan, namun
ketiganya dapat mengakibatkan perjalanan penyakit yang sebagian besar tergantung
satu sama lain(12).
Walaupun penyakit ini dipandang sebagai penyakit autoimun, sampai
sekarang penyebabnya tidak diketahui. Dari pandangan bahwa manifestasinya yang
bervariasi dan perjalanan penyakit yang berbeda, merupakan hal yang mungkin
bahwa tidak ada faktor tunggal yang berpengaruh terhadap keseluruhan sindroma.
Pada penyakit ini terdapat kelainan sentral dimana terjadi gangguan pada mekanisme
homeostatik yang normalnya menyesuaikan sekresi hormon untuk memenuhi
kebutuhan jaringan perifer. Gangguan homeostatik ini dihasilkan dari adanya
stimulator tiroid abnormal pada plasma, yang pertama kali dikenali pada saat muncul
dalam serum pasien dengan penyakit Graves yang melepaskan radioyodium dari
tiroid babi Nugini atau tikus. Dari aspek durasi kerjanya yang memanjang dari relatif
dibandingkan dengan durasi pada TSH pada sistem bioassay ini, bahan ini diketahui
sebagai stimulator tiroid kerja lama (LATS = long-acting thyroid stimulator).
Aktivitas LATS pada pengujian tikus disebabkan oleh immunoglobulin penstimulasi
tiroid (TSI = thyroid stimulating immunoglobulin) dari kelas IgG yang dielaborasi
oleh limfosit dari pasien dengan penyakit Graves(12).

17

Jika jaringan tiroid manusia digunakan sebagai sistem pengujian, titik akhir
pengukuran adalah stimulasi dari tetes-tetes koloid atau pembentukan AMP siklis
pada sel, potongan atau membrane (TSab = thyroid-stimulating antibodies) tiroid, dan
inhibisi pengikatan TSH dengan reseptornya di jaringan tiroid manusia (TBII = TSHbinding inhibitory immunoglobulin). Faktor ini mewakili antibodi terhadap reseptor
TSH tiroid (TRAb) (12).

2.8 Epidemiologi dan Insidensi


Penyakit Graves merupakan penyebab paling umum dari hipertiroidisme di
Amerika Serikat. Insidensi dari kasus ini di dunia dilaporkan mencapai 100-200 kasus
dari 100.000 populasi setiap tahunnya. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada
perempuan dengan rasio predominasi mencapai 7:1 dan dapat terjadi pada semua
umur tetapi lebih sering pada dekade ketiga atau keempat. Ada penelitian yang
menyebutkan bahwa penyakit ini berhubungan dengan hormon estrogen dimana
hormon ini akan mempengaruhi limfosit B(3).
Faktor genetik memainkan suatu peranan yang penting. Menurut penelitian
yang pernah dilakukan, terdapat peningkatan frekuensi haplotipe HLA DR dan
CTLA-4 polymorphism. Jadi dapat disimpulkan terdapat predisposisi familial yang
nyata pada penyakit ini(12).

2.9 Patogenesis dan Patofisiologi


Pada penyakit Graves, limfosit T disensitisasi terhadap antigen dalam kelenjar
tiroid dan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen-antigen

18

ini. Salah satu dari antibodi ini dapat merangsang reseptor TSH pada membrane
sel tiroid dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan fungsi
dari sel tiroid. Antibodi ini disebut dengan TSHr AB[stim]. Adanya antibodi dalam
darah berkorelasi positif dengan penyakit aktif dan kekambuhan penyakit.
Telah disimpulkan ada predisposisi genetik yang mendasari dari penyakit ini namun
tidak jelas apa yang mencetuskan episode akut ini. Beberapa faktor yang mendorong
respon imun pada penyakit Graves adalah kehamilan, kelebihan yodida, infeksi
bakterial atau viral, dan penghentian glukokortiroid(8).
Patogenesis oftalmologi melibatkan limfosit sitotoksik dan antibodi
sitotoksik yang tersensitisasi oleh antigen yang ada pada fibroblast orbita, otot
orbita, dan jaringan tiroid. Sitokin yang berasal dari limfosit tersensitisasi ini dapat
menyebabkan peradangan fibroblas orbita dan miositis orbita yang akan berakibat
pada pembengkakan otot-otot orbita, proptosis bola mata, dan diplopia. Akibat lain
yang terlihat adalah kemerahan, kongesti, dan edema konjungtiva beserta periorbita.
Patogenesis dermopati tiroid (miksedema pretibial) dan inflamasi subperiosteal
yang jarang pada jari-jari tangan dan kaki (osteopati tiroid) mungkin juga melibatkan
stimulasi sitokin limfosit dari fibroblast pada tempat-tempat ini(8).
Banyak gejala tirotoksikosis yang mengarah pada adanya keadaan
kelebihan katekolamin seperti takikardia, tremor, berkeringat, atau kelopak
mata yang melotot. Namun kadar epinefrin dalam sirkulasi adalah normal, jadi pada
penyakit Graves tubuh tampak hiperaktif terhadap katekolamin(8).

2.10 Gambaran Klinis

19

Manifestasi penyakit Graves yang mudah dibedakan adalah struma


hiperfungsi difusa, oftalmologi, dan dermopati yang dapat timbul dengan berbagai
macam kombinasi dan frekuensi. Struma difusa toksik dapat asimetrik dan lobuler.
Adanya bruit pada kelenjar biasanya menandai bahwa pasien menderita
tirotoksikosis. Bising vena dan hembusan aliran karotis harus dibedakan dengan tiroid
bruit yang asli. Pembesaran lobus piramidal tiroid dapat dipalpasi(12).
Tanda klinis yang dikaitkan dengan oftalmopati pada penyakit Graves dapat
dibagi dalam dua komponen: spastic dan mekanis. Yang disebut pertama termasuk
mata melotot atau kelelahan kelopak mata. Komponen mekanis meliputi proptosis
dengan derajat yang bermacam-macam dengan oftalmoplegia dan okulopati
kongestif yang ditandai oleh kemosis, konjungtivitis, pembengkakan periorbita,
dan komplikasi potensial ulserasi kornea, neuritis optic dan atrofi optik. Jika
eksoftalmus berkembang cepat dan menjadi hal utama dalam penyakit Graves, hal itu
disebut progresif, dan, jika berat, eksoftalmus maligna. Istilah oftalmoplegia
eksoftalmik mengacu pada kelemahan otot okuler yang menyebabkan gangguan
pada pandangan melihat ke atas dan konvergensi dan strabismus dengan derajat
diplopia yang bervariasi. Eksoftalmus dapat unilateral pada saat awal tetapi biasanya
berkembang menjadi bilateral(12).
Dermopati biasanya terjadi di dorsal tungkai atau kaki dan disebut
miksedema lokal atau pretibial. Hal ini muncul pada pasien dengan riwayat atau
sedang menderita penyakit Graves dan bukan merupakan manifestasi dari
hipotiroidisme. Sekitar setengah dari kasus terjadi selama stadium aktif tirotoksikosis.
Daerah yang terkena biasanya dibatasi dari daerah normal dengan fakta bahwa

20

kulit di daerah tersebut menebal, memiliki gambaran peau dorange (kulit jeruk)
dan dapat pruritik atau menjadi hiperpigmentasi. Lesi biasanya diskrit,
mengasumsikan konfigurasi seperti plak atau noduler tetapi pada beberapa keadaan,
konfluen. Pembesaran jari dan ibu jari dengan perubahan tulang yang khas dapat
menyertai perubahan dermis (thyroid acropachy)(12).
Pada keadaan lanjut akan timbul gejala klinis lanjutan yang disebut dengan
tirotoksikosis. Manifestasi yang sering ditemukan meliputi kegelisahan, labilitas
emosi, tidak dapat tidur, tremor, pergerakan usus yang sering, keringat yang
berlebihan, dan intoleransi terhadap panas. Kehilangan berat badan biasa terjadi
kecuali adanya nafsu makan yang dapat dipertahankan atau meningkat. Kelemahan
otot proksimal muncul dengan hilangnya kekuatan yang ditandai dengan kesulitan
naik tangga. Pada perempuan premenopause, cenderung terjadi oligomenore dan
amenore. Dispnea, palpitasi, dan pada pasien lanjut, angina pektoris atau kegagalan
jantung dapat terjadi. Secara umum, gejala neurologik mendominasi gambaran klinis
pada individu yang lebih muda, sementara gejala kardiovaskuler dan miopati
menonjol pada pasien yang lebih tua, dimana gambaran klinis dapat menjadi sulit
untuk ditemukan. Pasien seperti ini biasanya datang dengan keluhan lelah atau berat
badan berkurang (apathetic thyrotoxicosis)(12).
Biasanya pasien tampak cemas, gelisah, dan tampak tidak nyaman. Kulit
hangat dan lembab dengan tekstur seperti beludru dan eritema palparis muncul.
Pemisahan kuku dari jaringan kuku (kuku Plummer) biasa terjadi. Rambut tampak
normal dan bersinar. Tremor halus pada jari dan lidah, bersama dengan hiperrefleksia
adalah ciri yang sering terjadi. Tanda okuler meliputi pandangan membelalak dengan

21

fisura palpebra yang melebar, pengejapan mata yang jarang, kelelahan kelopak mata,
dan kegagalan untuk mengernyitkan alis pada pandangan ke atas. Tanda-tanda ini
dihasilkan oleh stimulasi berlebih simpatik dan biasanya berkurang jika tirotoksikosis
dikoreksi. Tanda-tanda tersebut harus dibedakan dari oftalmopati infiltrative yang
khas pada penyakit Graves(12).
Temuan kardiovaskuler meliputi tekanan denyut yang melebar, sinus
takikardia, atrial aritmia (terutama fibrilasi atrial), murmur sistolik, peningkatan
intensitas bunyi pertama apical, pembesaran jantung, atau gagal jantung yang nyata.
Suatu bunyi yang bolak-balik dan dengan nada tinggi dapat didengar di daerah
pulmonik dan dapat menstimulasi friksi gesekan pericardial (goresan Means-Lerman)
(12)

2.11 Diagnosis
Manifestasi klinis yang khas seperti pembesaran tiroid difusa yang disertai
dengan bruit, oftalmolopati, dan dermopati pada penyakit Graves umumnya mudah
ditemukan, sehingga mudah dalam menegakkan diagnosis. Namun pada kasus-kasus
yang subklinis dan orang usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat
untuk membantu menetapkan diagnosis(11).
Pada penyakit Graves, hormon tiroid yang tidak terikat (free T4 ) akan
meningkat disertai dengan penurunan Thyroid Stimulating Hormon (TSH). Pada 2
sampai 5% dari pasien hanya T3 yang meningkat (T3 toksikosis). Bila TSH
subnormal dan FT4 normal perlu diperiksa FT3 untuk membedakan T3 toksikosis

22

dari hipertiroidisme subklinis. Pemeriksaan auto antibodi tiroid membantu untuk


membedakan penyakit Graves dengan penyebab hipertiroidisme lainnya (12).

2.12 Penatalaksanaan Medis


Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid
yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat anti tiroid) atau merusak
jaringan tiroid (yodium, radioaktif, tiroidektomi subtotal) (11).
Perbaikan klinis pasien hipertiroid dengan menggunakan obat anti tiroid
tergantung pada jumlah hormon tiroid yang tersimpan dalam kelenjar dan kecepatan
sekresi kelenjar, sebab obat anti tiroid tidak mempengaruhi sekresi hormon yang
sudah terbentuk. Perbaikan gejala biasanya terjadi dalam 3 minggu dan eutiroidisme
tercapai dalam 6-8 minggu. Selama pengobatan dengan obat anti tiroid keadaan
metabolik pasien dipantau tiap bulan selama 3-4 bulan pertama, kemudian tiap 3-4
bulan, yaitu dengan pemeriksaan FT4. Pemeriksaan TSH juga sangat membantu
untuk mengetahui pengobatan yang berlebihan. Lamanya pemberian obat anti tiroid
umumnya sekitar 18-24 bulan. Efek samping obat anti tiroid ditemukan sebanyak
1,5-4% dari jumlah pasien, berupa hipersensitif dan agranulositosis. Reaksi
hipersensitif biasanya bersifat sementara dan sebaiknya obat diganti, sedang bila
timbul agranulositosis maka obat anti tiroid dihentikan(11).
Cara kedua adalah dengan menggunakan yodium radioaktif. Indikasi
pengobatan dengan yodium radioaktif adalah: pasien berumur 35 tahun atau lebih,
hipertiroidisme yang kambuh sesudah dioperasi, gagal mencapai remisi sesudah

23

pemberian obat anti tiroid, tidak mampu atau tidak mau pengobatan dengan obat anti
tiroid, adenoma toksik, goiter multinodular toksik(11).
Pada pengobatan dengan yodium radioaktif ini kemungkinan terjadi
hipotiroidisme besar sekali. Digunakan Y131 dengan dosis 5 12 mCi per oral. Dosis
ini dapat mengendalikan tirotoksikosis dalam 3 bulan, namun kira-kira 1/3 dari
jumlah pasien menjadi hipotiroid dalam tahun pertama. Efek samping pengobatan
dengan yodium radioaktif adalah hipotiroidisme, eksaserbasi hipertiroidisme dan
tiroiditis(11).
Cara lain adalah dengan metode pembedahan. Operasi tiroidektomi subtotal
sangat efektif untuk menanggulangi hipertiroidisme. Hasil tindakan operasi ini
tergantung pada pengalaman dan keterampilan ahli bedah. Kelenjar yang tertinggal
sesudah operasi sangat penting untuk diperhatikan sebab bila terlalu besar biasanya
kambuh kembali, sedang bila terlalu kecil terjadi hipotiroidisme. Indikasi operasi
adalah: pasien umur muda dengan struma yang besar serta tidak mempan dengan obat
anti tiroid, pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat anti tiroid
dosis besar, alergi terhadap obat anti tiroid, pasien tidak dapat menerima yodium
radioaktif, adenoma toksik atau struma multinodular toksik, pada penyakit Graves
yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul. Sebelum operasi, biasanya pasien
diberi obat anti tiroid sampai eutiroid kemudian diberikan cairan Kalium Yodida 100200 mg/hari atau cairan Lugol 10-15 tetes/hari selama 10 hari sebelum dioperasi
untuk mengurangi vaskularisasi pada kelenjar tiroid(11).

2.13 Tinjauan Farmakologis Obat dalam Penyakit Graves

24

Secara garis besar, obat obat yang digunakan pada penyakit Graves adalah
sebagai berikut :

2.13.1 Obat Anti Tiroid


Obat-obatan anti tiroid berasal dari golongan thionamides. Propylthiouracil,
methimazole, dan carbimazole adalah obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini.

25

Gambar 2.2 Efek Obat Anti Tiroid

Saat ini propylthiouracil dan methimazole adalah obat yang paling banyak digunakan
di Amerika Serikat. Sedangkan di Eropa dan Asia methimazole adalah obat yang
paling sering digunakan. Obat anti tiroid dapat digunakan sebagai terapi utama pada
keadaan hipertiroidisme atau sebagai terapi permulaan sebelum melanjutkan dengan
terapi menggunakan yodium radioaktif atau terapi pembedahan. Efek utama dari
obat-obatan ini adalah menghambat kerja dari enzim peroksidase dalam proses
sintesis hormon tiroid(7).

a) Propylthiouracil

Gambar 2.3 Struktur Propylthiouracil

Propylthiouracil merupakan derivat dari tiourasil. Obat ini mengurangi


sintesis dari hormon tiroid dengan cara menghambat enzim peroksidase yang
ada di tiroid dan menghambat konversi T4 menjadi T3. Obat ini mudah
diserap dalam tubuh dan kadarnya mencapai keadaan paling tinggi dalam
darah dalam waktu satu jam. Namun bioavabilitas dari obat ini berkisar antara
53-88% karena obat ini akan melalui penyaringan yang dilakukan di hati (13).

26

Dalam darah 80-90% dari obat ini akan berikatan dengan albumin. Ikatan
dengan protein ini menyebabkan propylthiouracil sulit untuk melewati
plasenta. Selain itu obat ini hanya sedikit terakumulasi di air susu ibu. Kedua
hal ini menyebabkan propylthiouracil sebagai terapi pilihan pada ibu hamil.
Sisa dari obat ini akan diekskresikan oleh ginjal dalam bentuk glucoronide
yang tidak aktif dalam waktu 24 jam(14).
Obat ini mempunyai waktu paruh yang pendek yaitu sekitar 1, 5 jam.
Karena itu dosis awal yang diberikan adalah sekitar 100-150 mg setiap 6 jam.
Dosis ini diambil karena pemberian sebanyak 100 mg dapat menghambat 60%
dari organifikasi iodine dalam 7 jam. Setelah 4-8 minggu kemudian
dilanjutkan dengan menurunkan dosis secara perlahan sampai tingkat 100-150
mg sekali sehari(14). Namun ada literature lain yang menyebutkan bahwa dosis
awal yang dapat diberikan adalah 100-200 mg setiap 8 jam (1). Dosis ini tidak
perlu disesuaikan pada anak kecil, pasien yang sudah berusia lanjut, ataupun
pasien yang mempunyai masalah ginjal(14). Propylthiouracil tersedia dalam
bentuk tablet 50 mg (15). Kegagalan pengobatan dengan dosis 300 mg sehari
biasanya disebabkan oleh interval dosis yang kurang tepat(16). Tingkat
kepatuhan dengan menggunakan obat ini sebesar 53,3%(17). Keterlambatan
timbulnya efek dapat dijumpai pada pasien dengan goiter yang sangat
besar(16). Terapi menggunakan obat ini biasanya dilakukan selama 1 sampai 2
tahun(18).
Efek

samping

yang

dihasilkan

oleh

propylthiouracil

adalah

agranulositosis dengan frekuensi 0,5 %. Obat ini dapat meningkatkan efek

27

antikoagulan sehingga bisa meningkatkan resiko pendarahan(19). Gejala klinis


yang paling sering timbul adalah purpura dan popular rash yang kadangkadang hilang sendiri. Gejala lain yang jarang sekali terjadi adalah nyeri dan
kaku sendi terutama pada tangan dan pergelangan yang dapat pindah ke sendi
lain(16).

b) Carbimazole dan Methimazole

Gambar 2.3 Struktur methimazole

Carbimazole adalah derivat dari tiomidazol. Di dalam tubuh obat ini


akan dikonversi menjadi bentuk aktif yang disebut dengan methimazole. Obat
ini juga bekerja dengan cara menghambat enzim peroksidase, namun tidak
dapat menghambat konversi T4 menjadi T3. Di dalam tubuh obat ini akan
diserap secara sempurna dan akan terakumulasi di kelenjar tiroid. Ekskresi
dari obat ini lebih lambat jika dibandingkan dengan propylthiouracil yaitu
sekitar 48 jam(14).

28

Waktu paruh yang dimiliki obat ini cukup panjang yaitu sekitar 3
sampai 6 jam. Dosis awal yang dapat diberikan untuk menangani keadaan
tirotoksikosis ringan sampai agak berat adalah dengan menggunakan dosis
tunggal 30-40 mg pada pagi hari. Kemudian dosis obat ini dapat diturunkan
hingga 5-15 mg sekali sehari(14). Ada metode lain yang dapat dilakukan dalam
pemberian dosis menggunakan obat ini. Pada metode ini pasien diberikan 4060 mg carbimazole sekali sehari sampai pasien mencapai keadaan hipotiroid.
Setelah itu pasien diberikan hormon tambahan tiroksin. Kedua obat ini
tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg. Carbimazole juga dikenal
dengan nama neomercazole, tyrozol, atau antithyrox(15). Tingkat kepatuhan
dengan menggunakan obat ini sebesar 83,3%. Angka ini lebih tinggi jika
dibandingkan dengan propylthiouracil karena obat ini menggunakan dosis
tunggal(17). Selain itu ada penelitian yang menyebutkan bahwa obat ini
mempunya efek terapeutik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
propylthiouracil(20).
Efek samping terburuk yang dapat dihasilkan dari obat ini adalah
agranulositosis yang disertai dengan radang tenggorok atau demam dengan
frekuensi 0,5 %(16). Selain itu efek samping yang jarang terjadi adalah
urtikaria, ikterus kolektasis, toksisitas hepatoselular, dermatitis eksosiliatif,
dan atralgia akut(14). Seperti propylthiouracil, obat ini juga dapat
meningkatkan efek antikoagulan sehingga bisa meningkatkan resiko
pendarahan(19).

29

2.13.2 Penghambat Ion Yodida


Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat transport aktif ion yodida
ke dalam kelenjar tiroid. Pada umumnya obat tersebut berupa anion monovalen yang
bentuk hidratnya mempunyai ukuran sebesar hidrat ion yodida(14).
Contoh obat golongan ini antara lain ialah tiosianat (SCN -), perklorat (ClO4-),
nitrat

(NO3-), fluoborat (BF4-), fulsofonat (SO3F-), difluofosfat (PO2F2-).

Obat

golongan ini dapat menghambat fungsi tiroid. Mekanisme obat ini mungkin
didasarkan atas penghambatan kompetitif terhadap mekanisme tiroid dalam
memekatkan ion yodium. Perklorat kekuatannya kira-kira 10 kali kekuatan tiosianat,
sedangkan nitrat kira-kira 1/30 kali kekuatan tiosianat(16).
Dalam keadaan normal mungkin sedikit tiosianat terdapat dalam plasma,
karena tiosianat terdapat pada berbagai macam makanan seperti kol. Natrium dan
kalium perklorat memang bermanfaat sekali untuk pengobatan hipertiroidisme, tetapi
sekarang jarang digunakan karena obat ini dapat menimbulkan anemia aplastik.
Selain itu juga sering timbul berbagai reaksi berupa demam, kelainan kulit, iritasi
usus dan agranulositosis(16).

2.13.3 Yodida
Yodida merupakan obat tertua yang digunakan untuk berbagai macam
pengobatan hipertiroidisme sebelum ditemukan berbagai macam antitiroid. Meskipun
yodida diperlukan dalam jumlah kecil untuk biosintesis hormon tiroid, dalam jumlah
yang berlebihan yodida dapat menyebabkan goiter dan hipotiroidisme pada orang
sehat(16).

30

Pemberian yodida pada penderita hipertiroid menghasilkan efek nyata, jadi


dalam hal ini yodida menekan fungsi tiroid. Yodida diperlukan untuk biosintesis
hormon tiroid dan dapat menghambat proses transport aktifnya sendiri ke dalam
tiroid. Jika didalam tiroid terdapat yodida dalam jumlah yang cukup banyak, maka
akan terjadi hambatan sintesis yodotirodin dan yodotiroksin. Selain itu yodium juga
dapat mengurangi vaskularisasi dari kelenjar tiroid (21). Natrium yodida dan kalium
yodida tersedia dalam bentuk kapsul, tablet, atau larutan jenuh dalam air. Dosis sehari
cukup dengan 3 kali 0,3 ml (16). Saat ini, yodium jarang digunakan sebagai terapi
tunggal(21).
Efek samping yang dapat terjadi ditandai dengan rasa logam dan terbakar
dalam mulut dan tenggorok serta perangsangan selaput lendir. Dapat juga terjadi
peradangan faring, laring dan tonsil serta kelainan kulit ringan. Sedangkan gejala
saluran pencernaan adalah iritasi yang dapat disertai dengan pendarahan(16).

2.13.4 Bloker Reseptor

Gambar 2.4 Struktur Propanolol

Obat ini digunakan untuk mengurangi gejala tambahan yang disebabkan oleh
peningkatan saraf simpatikus yang berlebihan. Gejala klinis yang dapat diobati

31

meliputi palpitasi, tremor, myopathy, dan keringat yang berlebihan. Obat dari
golongan ini bekerja secara kompetitif antagonis dengan noerepinephrine (NE) dan
epinephrine. Mereka akan berikatan dengan reseptor yang terletak di jantung
(reseptor -1), bronkiolus ( reseptor -2), pembuluh darah (reseptor -2) dan pada
otot skeletal (reseptor -2). Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah
propanolol, metoprolol, atenolol, dan timolol(22).
Propanolol adalah obat yang paling banyak digunakan dalam terapi
hipertiroidisme. Obat ini sangat efektif dalam mengurangi tekanan darah. Karena
kerjanya menghambat reseptor-, senyawa ini melindungi jantung terhadap impuls
simpatikus-adrenergik yang berlebihan, memperlambat frekuensi jantung dan sedikit
mengurangi kontraktilitas jantung. Dengan demikian kebutuhan jantung akan oksigen
akan menurun(14).
Propanolol per oral dengan dosis 20-40 mg setiap 6 jam akan dapat
mengontrol takikardia, hipertensi, dan fibrilasi atrium. Propanolol dihentikan secara
berangsur-angsur sampai tingkat kadar tiroksin kembali normal(14).

32

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yang dilakukan melalui observasi
secara retrospektif dengan menggunakan data sekunder, yaitu data rekam medik
pasien penderita penyakit Graves yang dirawat jalan di poliklinik endokrinologi Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung selama periode 1 Januari 200731 Desember 2007

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Pengumpulan data dilaksanakan di Poliklinik Endokronologi Bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Dr. Hasan Sadikin dan pengolahan data dilaksanakan di
Bagian Farmasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Persiapan
penelitian dilakukan pada bulan Januari 2008, pengumpulan data dilaksanakan pada
bulan Februari Maret 2008, dan pengolahan data dilakukan pada bulan April 2008.

3.3 Bahan Penelitian

33

Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medik pasien dengan
kriteria mempunyai diagnosis penyakit Graves.

3.4 Subjek Penelitian


Subjek penelitian adalah data rekam medik penderita penyakit Graves yang
dirawat jalan di poliklinik Endokrinologi Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Hasan
Sadikin baik pria maupun wanita dari semua golongan umur.
Kriteria inklusi meliputi :
1. Pasien dengan diagnosa penyakit Graves.
2. Pasien yang tercatat di Poliklinik Endokrinologi Ilmu Penyakit Dalam antara
tanggal 1 Januari 2007 31 Desember 2007.
Kriteria eksklusi meliputi :
1. Pasien dengan diagnosa selain penyakit Graves.
3. Pasien yang tercatat di Poliklinik Endokrinologi Ilmu Penyakit Dalam antara
tanggal 1 Januari 2007 31 Desember 2007.
3.5 Variabel Penelitian
Variabel yang akan diteliti adalah :
1. Umur Penderita
2. Jenis Kelamin Penderita
3. Golongan obat yang diberikan.
4. Kombinasi obat yang diberikan.
5. Dosis obat yang diberikan.

34

3.5 Prosedur Penelitian


Populasi dari penelitian ini adalah data rekam medik penderita Graves yang
dirawat jalan di poliklinik Endokrinologi Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr.
Hasan Sadikin Bandung. Untuk mencapai efisiensi penelitian deskriptif ini, penulis
memasukkan data dari seluruh penderita penyakit Graves yang dirawat jalan di
poliklinik Endokrinologi Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
Bandung dan berobat sejak tanggal 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember 2007.
Data yang diambil adalah data rekam medik ketika pasien berkunjung untuk pertama
kali.
Langkah selanjutnya adalah dengan mengolah data sebanyak jumlah sampel
yang telah ditentukan dan dilakukan distribusi pengelompokan berdasarkan :
-

Distribusi usia
Distribusi jenis kelamin
Distribusi golongan obat yang diberikan pada penderita penyakit Graves
Distribusi kombinasi obat yang diberikan pada penderita penyakit Graves
Distribusi pemberian obat berdasarkan dosis pada penderita penyakit Graves

3.6 Pengolahan Data


Setelah mendapatkan data-data pasien, peneliti akan melakukan :
a. Pembagian karakteristik distribusi pasien penderita penyakit Graves
berdasarkan jenis kelamin dan usia.
b. Pembagian distribusi pemberian obat pada pasien penderita penyakit Graves.

35

c. Pembuatan tabel untuk menampilkan hasil pengolahan data dan melihat


kecenderungan pemberian obat pada pasien pasien penderita penyakit Graves.

36

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan terhadap 148 data rekam medik penderita penyakit
Graves yang dirawat jalan di poliklinik endokrinologi Ilmu Penyakit Dalam RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung selama periode 1 Januari 2007- 31 Desember 2007.
Hasil penelitian dapat disimpulkan di bawah ini :
4.1 Distribusi Jenis Kelamin Penderita Penyakit Graves
Tabel 4.1 Distribusi Jenis Kelamin Penderita Penyakit Graves
Jenis Kelamin

Jumlah Penderita

Presentase (%)

Laki-laki

26

17,6

Perempuan

122

82,4

Total

148

100,0

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa wanita (82,2%) lebih banyak menderita
penyakit Graves dibandingkan laki-laki (17,6%). Hal ini diduga karena ada pengaruh
dari hormon estrogen terhadap limfosit B(3). Penelitian terdahulu juga menyebutkan
bahwa penyakit ini lebih banyak terjadi pada perempuan dengan rasio predominasi
mencapai 7:1(3).

4.2 Distribusi Usia Penderita Penyakit Graves


Tabel 4.2 Distribusi Usia Penderita Penyakit Graves
Umur (tahun)

Jumlah Penderita

Presentase (%)

10-19

2,7

20-29

41

27,7

30-39

39

26,4

37

40-49

47

31,8

50-59

12

8,1

60-69

2,0

70-79

0,7

80-89

0,7

Total

148

100,0

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa penderita penyakit Graves paling
banyak terjadi pada usia 40-49 tahun (31,8%) kemudian dikuti penderita dengan usia
20-29 tahun (27,7%), meskipun secara umum penyakit Graves dapat dialami oleh
semua umur(3). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hermawan
(1990), bahwa penderita penyakit Graves di Indonesia banyak terjadi pada dekade
ketiga atau keempat(4).

4.3 Gambaran Umum Obat yang Diberikan pada Penderita Penyakit Graves
Tabel 4.3 Pemberian Obat pada Penderita Penyakit Graves
Jenis Obat
Obat Anti Tiroid

Nama Obat
Propylthiouracil
Carbimazole

Obat Tambahan

Propanolol
Vitamin B kompleks
Kalsium Karbonat
Vitamin B1, B6, B12
Furosemide
KCl

Jumlah

Frekuensi
131
17
148
136
23
1
2
2
1
165
313

Prosentase (%)
41,85
5,43
47,28
43,45
7,35
0,32
0,64
0,64
0,32
52,72
100,00

38

Secara keseluruhan berdasarkan tabel 4.3 diatas, terdapat 313 pemberian obat
terhadap 148 pasien penyakit Graves pada saat kunjungan pertama. Sebanyak 131
pasien (41,85%) diberikan propylthiouracil dan 17 pasien (5,43%) diberikan
carbimazole.
Pada umumnya tujuan pengobatan hipertiroid dengan menggunakan obat anti
tiroid adalah menekan produksi dari kelenjar tiroid (11). Obat anti tiroid ini tidak akan
mempengaruhi sekresi dari hormon yang sudah terbentuk. Oleh karena itu perbaikan
klinis pada penderita penyakit Graves tergantung pada jumlah hormon tiroid yang
tersimpan dalam kelenjar dan kecepatan sekresi kelenjar. Perbaikan gejala biasanya
terjadi dalam 3 minggu dan eutiroidisme tercapai dalam 6-8 minggu(11). Menurut
penelitian yang dilakukan pada tahun 1990, kebanyakan klinisi di dunia lebih
memilih menggunakan obat anti tiroid sebagai pilihan terapi untuk pasien yang masih
berusia muda(7). Menurut data penelitian, pada daerah Eropa dan Asia obat yang
paling sering digunakan adalah golongan carbimazole(7). Namun berdasarkan tabel
4.3 diatas, propylthiouracil merupakan obat yang paling banyak digunakan.
Selain obat-obat anti tiroid, ada beberapa obat yang digunakan untuk
mengurangi gejala tambahan atau komplikasi yang dapat menyertai penyakit Graves
ini. Obat lain yang paling sering diberikan adalah propanolol dan vitamin B
kompleks. Propanolol diberikan pada 136 pasien (43,45%) dan vitamin B kompleks
diberikan pada 23 pasien (7,35%). Sedangkan obat yang paling sedikit diberikan
adalah Kalsium Karbonat (0,32%) dan KCl (0.32%)
Gejala klinis yang paling sering timbul meliputi palpitasi, tremor, myopathy,
dan keringat yang berlebihan. Obat yang dapat diberikan untuk mengatasi gejala
tersebut berasal dari golongan -adrenergik-antagonis. Propanolol merupakan obat

39

yang paling banyak digunakan dalam terapi hipertiroid karena sangat efektif dalam
mengurangi tekanan darah.
Penggunaan vitamin B kompleks penting pada keadaan krisis hipertiroid.
Pada keadaan ini akan terjadi penurunan glikogen di hati dan vitamin terutama
thiamine (B1). Fungsi dari vitamin ini adalah membantu mendorong nafsu makan,
penggunaan karbohidrat, dan berperan dalam sistem saraf(23). Selain itu jika terdapat
penurunan vitamin ini maka akan terjadi defisiensi sistem imun, seperti penurunan
daya tahan terhadap infeksi, penurunan jumlah Limfosit T dan B dan penurunan
respons limpa(24).
4.4 Gambaran Pemberian Propylthiouracil
Tabel 4.4 Distribusi Propylthiouracil yang Diberikan Pada Penderita Penyakit
Graves
Dosis Pemberian
(per hari)
3 x 200 mg
3 x 100 mg
Jumlah

Frekuensi
101
30
131

Prosentase
(%)
77,1
22,9
100,00

Dari tabel 4.4 diatas dapat dilihat bahwa dari 131 pemberian propylthiouracil
pada kunjungan pertama selama periode 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember
2007, dosis propylthiouracil yang paling sering diberikan kepada penderita penyakit
Graves adalah 3 x 200 mg per hari (77,1%). Dosis terendah yang diberikan adalah 3 x
100 mg per hari dengan frekuensi 30 pemberian (22,9%).
Propylthiouracil merupakan obat anti tiroid yang paling banyak digunakan di
Amerika Serikat dan tersedia dalam bentuk tablet 50mg (7). Obat ini mudah diserap

40

dalam tubuh dan kadarnya mencapai keadaan paling tinggi dalam darah dalam waktu
satu jam dengan waktu paruh yang pendek sekitar 1,5 jam. Namun bioavabilitas dari
obat ini berkisar antara 53-88% karena obat ini akan melalui penyaringan yang
dilakukan di hati(13). Sisa dari obat ini akan diekskresikan oleh ginjal dalam bentuk
glucoronide yang tidak aktif dalam waktu 24 jam(14).
Dosis awal yang dapat diberikan adalah sekitar 100-200 mg setiap 8 jam(1).
Dosis ini diambil karena pemberian sebanyak 100 mg dapat menghambat 60% dari
organifikasi iodine dalam 7 jam. Dosis ini tidak perlu disesuaikan pada anak kecil,
pasien yang sudah berusia lanjut, ataupun pasien yang mempunyai masalah ginjal (14).
Kegagalan pengobatan dengan dosis 300 mg sehari biasanya disebabkan oleh interval
dosis yang kurang tepat(16). Tingkat kepatuhan dengan menggunakan obat ini sebesar
53,3%(17).

4.5 Gambaran Pemberian Carbimazole


Tabel 4.5 Distribusi Carbimazole yang Diberikan Pada Penderita Penyakit
Graves
Jenis Obat &
Bentuk Sediaan
Neomercazole

Dosis Pemberian
(per hari)
1 x 10 mg

Frekuensi

Prosentase
(%)

23,53

41

1 x 20 mg
3 x 5 mg
3 x 10 mg

5,88
11,77
11,77

1
2
2
9

Thyrozol

Jumlah

1 x 5 mg
1 x 10 mg
1 x 20 mg
2 x 10 mg

52,94
5,88
23,53
11,77
5,88

1
4
2
1
8
17

47,06
100,00

Dari tabel 4.5 diatas dapat dilihat bahwa dari 17 pemberian carbimazole pada
kunjungan pertama selama periode 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember 2007,
jenis obat yang paling sering diberikan kepada penderita penyakit Graves adalah
neomercazole (52,94%). Sedangkan obat lain yang diberikan kepada penderita
penyakit Graves adalah thyrozol (47,06).
Dari tabel 4.5 diatas dapat dilihat bahwa dari 8 pemberian neomercazole pada
kunjungan pertama selama periode 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember 2007,
dosis neomercazole yang paling sering diberikan kepada penderita penyakit Graves
adalah 10 mg per hari (23,53%). Dosis terendah yang diberikan adalah 20 mg per hari
(5,88%).
Neomercazole merupakan derivat dari tiomidazol. Menurut data epidemiologi,
obat ini merupakan obat yang paling banyak digunakan di Eropa dan Asia (7). Obat ini
tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg. Waktu paruh yang dimiliki obat ini
sekitar 3 sampai 6 jam sehingga dosis yang digunakan adalah dosis tunggal 30-40 mg
pada pagi hari(14). Metode lain dalam menggunakan obat ini adalah dengan
menggunakan dosis besar, yaitu 40-60 mg sekali sehari. Keuntungan dari dosis

42

tunggal yang dimiliki obat ini adalah tingkat kepatuhan yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan propylthiouracil yaitu sebesar 83,3%(18).
Berdasarkan tabel 4.5 diatas, dapat diperhatikan bahwa pada pemberian
thyrozol selama periode 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember 2007, dosis
pemberian yang paling sering adalah 1 kali sehari dengan dosis 10 mg satu kali
minum (23,53%). Waktu pemberian thyrozol kepada pasien penyakit Graves yang
paling jarang adalah 1 x 5 mg dan 2 x 10 mg per hari dengan proporsi yang sama
yaitu sebesar 5,88%.
Thyrozol ini merupakan nama lain dari carbimazole yang akan dikonversi
menjadi bentuk aktif yang disebut dengan methimazole. Di dalam tubuh obat ini
akan diserap secara sempurna dan akan terakumulasi di kelenjar tiroid. Ekskresi dari
obat ini lebih lambat jika dibandingkan dengan propylthiouracil yaitu sekitar 48
jam(14). Seperti halnya neomercazole, dosis awal yang dapat diberikan adalah dengan
menggunakan dosis tunggal 30-40 mg. Kemudian dosis obat ini dapat diturunkan
hingga 5-15 mg sekali sehari(14). Tingkat kepatuhan yang tinggi pada obat ini
disebabkan dosis tunggal yang dimilikinya (17). Selain itu ada penelitian yang
menyebutkan bahwa obat ini mempunya efek terapeutik yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan propylthiouracil(20).
4.6 Gambaran Pemberian Propanolol
Tabel 4.6 Distribusi Propanolol yang Diberikan Pada Penderita Penyakit
Graves
Dosis Pemberian
(per hari)
2 x 10 mg
3 x 5 mg
3 x 10 mg

Frekuensi
1
15
112

Prosentase
(%)
0,70
11,00
82,40

43

3 x 20 mg
4 x 10 mg
Jumlah

5
3
136

3,70
2,20
100,00

Dari tabel 4.6 di atas dapat dilihat bahwa dari 136 pemberian propanolol pada
kunjungan pertama selama periode 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember 2007,
dosis propanolol yang paling sering diberikan kepada penderita penyakit Graves
adalah 30 mg per hari (82,4%). Dosis propanolol yang paling jarang diberikan kepada
pasien adalah 20 mg per hari dengan proporsi hanya 0,7% dari jumlah frekuensi
pemberian propanolol selama 1 tahun.
Propanolol berasal dari golongan -adrenergik-antagonis dimana obat ini akan
berikatan dengan reseptor yang ada di tubuh. Obat ini digunakan untuk mengurangi
gejala tambahan yang disebabkan oleh peningkatan saraf simpatikus yang berlebihan.
Dosis propanolol per oral 20-40 mg setiap 6 jam akan dapat mengontrol gejala
tambahan tersebut. Propanolol dihentikan secara berangsur-angsur sampai tingkat
kadar tiroksin kembali normal(14).

44

4.7 Kombinasi Pemberian Obat pada Penderita Penyakit Graves


Dari 148 pasien penderita penyakit Graves, terdapat beberapa macam
kombinasi pemberian obat yang dapat dilihat pada tabel 4.7 dibawah ini.
Tabel 4.7 Kombinasi Pemberian Obat pada Penderita Penyakit Graves
Jenis Obat
Propylthiouracil
Propylthiouracil + Propanolol
Propylthiouracil + Vit B kompleks
Propylthiouracil + Propanolol + Vit B kompleks
Propylthiouracil + Propanolol + Kalsium Karbonat
Propylthiouracil + Propanolol + Vit B1, B6, B12
Neomercazole
Neomercazole + Propanolol
Neomercazole + Propanolol + Vit B komplels + KCl
Thyrozol + Propanolol
Thyrozol + Propanolol + Vit B kompleks
Thyrozol + Furosemide
Total
* F = frekuensi

F*
6
102
1
19
1
2
3
5
1
4
2
2
148

Presentase (%)
4,05
68,92
0,68
12,84
0,68
1,35
2,03
3,37
0,68
2,70
1,35
1,35
100,00

Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan beberapa macam kombinasi atau


pola pemberian obat pada penderita penyakit Graves pada kunjungan pertama selama
periode 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember 2007. Pemberian
Propylthiouracil dan Propanolol merupakan pola pemberian obat yang paling banyak
diberikan (68,92%). Pola pemberian obat yang paling jarang diberikan adalah
pemberian Propylthiouracil + Vit B, Propylthiouracil + Propanolol + Kalsium
Karbonat, dan Neomercazole + Propanolol + Vit B + KCldengan proporsi masingmasing hanya 0,68% dari 148 pemberian obat.

45

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian mengenai pola pemberian obat yang
diberikan pada penderita penyakit Graves yang dirawat jalan di poliklinik
endokrinologi Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung selama
periode Januari 2007- Desember 2007, maka dapat ditarik kesimpulan dan saran
sebagai berikut:
1. Penderita penyakit Graves yang paling banyak adalah wanita (82,2%) dan

lebih banyak dialami pada usia 40-49 tahun (31,8%)


2. Obat anti tiroid yang paling sering digunakan adalah propylthiouracil yaitu
diberikan kepada 131 pasien (41,85%). Obat ini paling sering diberikan
adalah 3 kali sehari dengan dosis 200 mg (77,1%). Obat anti tiroid lain yang
sering diberikan adalah Neomercazole dengan dosis 1 x 10 mg (25%), dan
Thyrozol dengan dosis 1 x 10 mg (23,53%). Obat tambahan yang paling

46

sering digunakan adalah propanolol (43,45%). Dosis yang paling sering


diberikan adalah 30 mg per hari (82,4%). Kombinasi obat yang paling sering
diberikan adalah propylthiouracil dan propanolol (68,92%).
3. Dosis obat dan kombinasi obat yang diberikan kepada pasien penderita
penyakit Graves berada dalam rentang dosis dan kombinasi obat yang aman
menurut standar literatur yang ada.
5.2 Saran
1. Dianjurkan agar lebih banyak pasien yang menjalani pemeriksaan
laboratorium seperti kadar T3 dan T4 agar dapat meningkatkan efektifitas
dalam pemberian terapi yang sesuai.
2. Disarankan agar pengisian status dan data rekam medik pasien lebih
diperhatikan kelengkapannya sehingga dapat membantu memberikan terapi
yang lebih efektif
3. Sehubungan dengan terapi penyakit Graves adalah terapi jangka panjang,
dianjurkan agar dilakukan pemantauan

47

DAFTAR PUSTAKA
1.

Volpe R. Endocrinology. In: Bedard R, editor. Clinical Medicine.


Philadelphia: Harper & Row; 1985. p. 29-40.

2.

Weetman AP. Graves' Disease. the New England Journal of Medicine.


2000;343:1236-48.

3.

Yeung S-CJ. Graves Disease. Journal [serial on the Internet]. 2007 Date:
Available from: www.eMedicine.com.

4.

Hermawan AG. Pengelolaan dan Pengobatan Hipertiroidi. Journal [serial on


the Internet]. 1990 Date; 63: Available from: www.kalbe.co.id.

5.

Hermanto O, Arifin AL, Kariadi. Penampilan Klinis Struma di Poloklinik


Endokrinologi RSHS Bandung. KOPAPDI IX; 1993; Bali. 1993.

6.

Wiersinga WM, M.D. Immunosuppression of Graves' Hyperthyroidism


Still an Elusive Goal. the New England Journal of Medicine. 1996 25 January
1996;334:265-7.

7.

Cooper DS. Antithyroid Drugs. the New England Journal of Medicine.


2005;352:905-17.

8.

Greenspan FS, MD. The Thyroid Gland. In: Greenspan FS, MD., Gardner
DG, MD, editors. Basic & Clinical Endocrinology. 7 ed. New York: McGrawHill; 2004. p. 215-98.

9.

Rittmaster RS, Abbott EC, Douglas R, Givner ML, Lehmann L, Reddy S, et


al. Effect of Methimazole, with or without L-Thyroxine, on Remission Rates
in Graves Disease. the Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism.
1998;83(3):814-8.

10.

Franklyn JA. The Management of Hyperthyroidism. the New England Journal


of Medicine. 1994;330:1731-8.

11.

Djokomoeljanto R. Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi, dan Faalnya. In:


Noer HMS, Prof., dr., editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 3 ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 1996. p. 725-33.

12.

Lameson JL, Weetman AP. Disorder of the Thyroid Gland. In: Kasler DL,
editor. Harrison Principles of Internal Medicine. 13 ed. New York: McGrawHill; 2005. p. 2104-26.

48

13.

Rastogi RB, Singhal RL. Thyroid Hormones And Antithyroid Drugs. In:
Pradhan SN, M.D., Ph.D., editor. Pharmacology in Medicine : Principles and
Practice. Maryland: SP Press International Inc.; 1986. p. 444-57.

14.

Greenspan FS, Dong BJ. Tiroid dan Obat Antitiroid. In: Katzung BG, editor.
Farmakologi Dasar dan Klinik. 6 ed. Jakarta: EGC; 1995. p. 607-12.

15.

Tripathi K. Essentials of Medical Pharmacology. 5 ed. New Delhi: Jaypee


Brothers Medical Publishers; 2003.

16.

Ganiswara SG. Farmakologi dan Terapi. 4 ed. Jakarta: Gaya Baru; 1995.

17.

Nicholas WC, Fischer RG, Stevenson RA, Bass JD. Single daily dose of
methimazole compared to every 8 hours propylthiouracil in the treatment of
hyperthyroidism. PubMed. 1995;88:937-6.

18.

Spaulding SW, Carr EA, Jr. Thyroid Hormones and Drugs That Affect the
Thyroid. In: Smith CM, Reynard AM, editors. Essentials of Pharmacology.
Philadelphia: W.B Saunders Company. p. 541-8.

19.

Harkness R. Interaksi Obat. Bandung: ITB; 1989.

20.

Cooper DS. Antithyroid Drugs in the Management of Patients with Graves


Disease: An Evidence-Based Approach to Therapeutic Controversies the
Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism. 2003;88.

21.

Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Farmakologi : Ulasan Bergambar. 2 ed.
Jakarta: Widya Medika; 1995.

22.

Brown OM. Adrenergic Antagonist. In: Smith CM, Reynard AM, editors.
Essentials of Pharmacology. Philadelphia: W.B Saunders Company; 1995. p.
86-7.

23.

VITAMIN-VITAMIN UNTUK TUMBUH. Journal [serial on the Internet].


2000
Date:
Available
from:
http://www.indomedia.com/intisari/2000/juli/vitamin7.htm.

24.

Faariz A. Meningkatkan Fungsi Sistem Imun secara Alami. SANGGAR


MEWAH;
2001
[updated
2001;
cited];
Available
from:
http://elfarid.multiply.com/journal/item/256.

Anda mungkin juga menyukai