Anda di halaman 1dari 3

Jembatan Budaya Eropa-Jawa

Ndalem Natan dapat dibilang memiliki nafas art nouveau yang bisa
diterjemahkan sebagai seni baru yang identik dengan motif flora dan fauna,
begitu kental mewarnai bangunan ini. Itu pula sebabnya motif-motif yang
menghias arsitekturnya, mirip pada gerbang stasiun kreta api bawah tanah di
sejumlah negara Eropa penganut art nouveau.

Di bagian yang disebut Gendok kanan terdapat ruangan berisi kereta kuda. Dulu
ruang ini merupakan garasi kereta kencana. Di ruang dua lantai ini terpasang
lukisan karya M Yusuf Taring Padi. Terkait ruang bekas garasi ini, pada buku karya
Prof Mitsuo Nakamura disebut bahwa orang kaya pemilik mobil mewah Roll
Royce pertama di Yogya tinggal di sini. Boleh jadi di sinilah Roll Royce itu diparkir.
Sejarah mencatat keluarga yang dulu memiliki rumah ini adalah orang kalang.
Golongan orang kalang pada zaman dahulu jika di Eropa ibarat kaum borjuasi.
Mereka saudagar kaya raya dan memilih tinggal di Kotagede karena lokasinya
yang begitu luas.
Secara fisik, semua material penunjang masih asli. Saat proses penyempurnaan,
material yang digunakan bukan semen tapi pakai blegon yaitu capuran gamping
dan pasir. Sementara di sisi yang sama terdapat kamar Di dalamnya terisi
tempat tidur kunno berbentuk ranjang yang biasanya dimiliki bangsawan kraton.
Di salah satu meja terdapat gramafone, jam antik kunno serta selembar foto
berbingkai pigura saat Nasir bertatap muka dengan Susilo Bambang Yudhoyono
saat menjabat Presiden.
Koleksi berbagai macam buku, juga tertata rapi dalam satu almari. Sementara di
Gandok Kiri, selain dipakai sebagai Galeri Batik Jawa juga dihiasi sejumlah benda
koleksi. Antara Wayang Klithik, lukisan Candi Ijo serta artefak dan genteng
zaman dulu. Genteng ini sebagai bukti otentik material yang diambil dari sisa
puing Ndalem Proyodranan sebelum direhab ulang menjadi Ndalem Natan
Pemandangan semakin menawan dengan terdapatnya teknologi lukisan kaca
patri yang mewarnai sejumlah bagian.
Masuk ke bagian Pendapa, sangat terlihat kemegahan serta aura masa lalunya.
Ruangan yang luas bisa dipakai sebagai ruang serbaguna. Kayu Jati lawasan
mulai dari tiang penyangga maupun komponen atap dan langit-langit masih asli
seperti saat bangunan ini pertama kali berdiri. Begitu pula lantainya, dengan
corak kunci yang khas nampak masih orisinil. Masuk ke baggian dalam terdapat
Senthong kanan, Senthong tengah, Senthong kiri yang masih berfungsi seperti
aslinya. Sepasang Lroblonyo pengias ruang ini selaras berpadu dengan cermin
yang tertempel dinding.
Foto Sri Sultan HB X yng kharismatik bersanding dengan GKR Hemas
terpasangpula di ruang ini. Terdapatnya satu set bangku kuno makin melengkapi
nuansa masa lalu. Mengapit ruangan ini, terdapat sejumah kamar yang bisa
dipakai untuk menginap para tamu. Untuk merekonstruksi masa lalu saat

adiluhungnya arsitektur, di bagian halaman juga dipelihara sejumlah tanaman


seperti Pohon Walisongo, Pohon Sawo kecik serta Pohon Ketepeng.
Makna terpenting dari keberadaan rumah ini adalah sebagai simbol jembatan
antara budaya Jawa dan Eropa. Ini adalah jembatan untuk menyelami
persahabatan, sebut dosen yang pernah lama tinggal di Singapura ini.
Keindahan kayu yang berbentuk melengkung di salah satu bagian, tetap
dipertahankan karena berfilosofi sebagai saksi orang Jawa yang sangat terbuka.
Bermakna pula sebagai toleransi. Bagi Nasir, rumh memang harus berkonsep.
Rumah harus memberikan kenyamanan dan keamanan. Nyaman itu memberi
bahagia. Suasana dimana kitta merasa enak dan aman, urai penulis buku yang
menghabskan masa studi S1 hingga S3 di Eropa ini. Tak kena pana, hujan tidak
bocor, gempa tidak robooh selain itu juga cantik, tegasnya. Selainn itu rumah
juga harus cukup udara dan cukup cahaya. Rumah nyaman bisa membuat
penghuninya kreatif dan bisa mengmbangkan potensi dirinya. Aman, nyaman,
dan berestetika. Karena estetik memperkaya batin, tegasnya.
Selanjutnya, rumah ini direncanakan sekaligus sebagai Sasono seni atau art
space. Rumah ini akan menjadi Ndalem Natan Art Space, sebut Nasir. Dengan
dilengkapi galeri, Ndalem Natan aka dijadikan pusat wisata dan pusat buday.
Tujuannya agar orang Jawa kemali lagi kebudayaannya dan Indonsia janga
sampai hiang sejarahnya. Maka kami bangun Ndalem Natan dengan pakem
Jawa, pungkasnya. (Tulisan dan foto : Surya Adi Lesmana).

Menyelamatkan Cagar Budaya


Ada crita menarik ketika Nasir Tamara memilih membeli rumah tersebut. Ia
merasa kerasan tinggal di Yogya. Pri ayang sebelumnya tinggal di Singapura itu
meminta batuan kawannya untuk mencarikan rumah.
Sang kawan Laretna T Adisakti atau akrab dipanggil Sita itu memberi saran
kepada Nasir untuk tidak membuat rumah baru, tetapi menyelamatkan rumah
cagar budaya yang ada.
Alasannya, masih banyak rumah cagar budaya di Yogya yang rusak dan dijual
pasca gempa 2006. Sita yag merupakan arsitek khawatir karena semakin banyak
rumah cagar budaya di Yogya yang hanya diambil pendoponya, sedangkan tanah
dibiarkan terbengkalai.
Bersama Sita yang merupakan isteri dari arsitek Aki Adhisakti, Nasir berkeliling
Yogya untuk mencari rumah cagar budaya. Nasir pun merasa berjodoh dengan
rumah Ndalem Natan itu karena tidak perlu negosiasi lama dengan keluarga
pemilik rumah tersebut.
Nasir kemudian meminta bantuan Sita dan Aki untuk merevitalisasi Ndalem
Natan. Pada tahun 2012, kondisi Ndalem Natan sangat mengenaskan karena
terbengkalai sejak gemp bumi 2006.

Mengembalikan Ndalem Natan seperti sedia kala tidaklah mudah. Pasalnya, dia
harus memperkukuh dinding-dindingnya dan mendesign bentuk bangunanseperti
semua.
Kini, Nasir bersyukur, proses merevitalisasi selama 3,5 tahun sudah selesai
sepenuhnya. Ia sekarang tinggal menambah bangunan di bagian belakang untuk
keluarganya dengan tidak meninggalkan pakem yang ada.
Ini rumah besar banget. Ini akan kkita pakai sendiri dan sekaligus untuk
masyarakat agar orang-orang Jawa kembali lagi kebanggannya. Kami ingin
merekonstruksi keadiluhungnya orang Jawa masa lalu, nenek moyang mereka
mampu embuat sesuatu yang indah, terang dia.
Menurut dia, membeli rumah cagar budaya dan menyelamatkan arsitektur
bangunan cagar budaya di Kotagede penting. Pasalnya, arsitektur Kotagede
merupakan ikon kota tersebut. Ia pun bangga dengan rumahnya karena memiliki
sejarah yang panjang dan menarik.
Selain itu, ia ingin rumahnya bisa terus hidup dan bermanfaat bagi yang lain.
Untuk itu bagian gandok kiwa dari rumahnya dijadikan galeri batik. Sementara
itu, bagian gandok tangen, yang dulunya dimanfaatkan sebagai garasi mobil, kini
dijadikan sasana seni atau ruang paer seni rupa yang juga terdapat seacam
kedai kopi (ATM-3)

Anda mungkin juga menyukai