Anda di halaman 1dari 14

BANGUNAN DENGAN GAYA ARSITEKTUR TRADISIONAL

BESERTA NAMA ARSITEKNYA


UNTUK MEMENUHI TUGAS FINAL PADA MATA KULIAH TEORI
DAN SEJARAH ARSITEKTUR
DOSEN Dr.Moh.Mohsen Sir, ST., MT

DISUSUN OLEH
MUH. FADHIEL FAIZAL (D051181507)
DEPARTEMEN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
Gedung Arsip Nasional, Han Awal
Gedung Arsip Nasional merupakan salah satu gedung bersejarah di Indonesia
yang masih berdiri kokoh hingga saat ini. Hal ini tak lepas dari sosok seorang
arsitek Indonesia berdarah tionghoa Han Hoo Tjwan yang lebih terkenal dengan
nama Han Awal.

Han Awal sendiri merupakan salah satu sosok arsitek yang aktif dan dikenal
karena karya-karya pemugaran terhadap bangunan-bangunan bersejarah di
Indonesia, diantaranya adalah Gedung Arsip Nasional, Gereja Katedral Gedung
Bank Indonesia dan lain sebagainya.

Karena dedikasi terhadap dunia arsitektur Indonesia, karya pemugaran Gedung


Arsip Nasional miliknya menyabet penghargaan “Award of Excellence UNESCO
Asia Pasific Heritage” pada tahun 2001.

Meskipun kini sang legenda Arsitektur Indonesia telah wafat pada 2016 lalu,
perjuangannya dalam melestarikan arsitektur Indonesia masih diteruskan sang
anak, Arsitek Yori Antar yang kini giat dalam melestarikan arsitektur vernakular
yang ada di Nusantara.

Bangunan warna putih bergaya neo klasik ini terletak di depan stasiun kereta api
"Kota", di wilayah kota tua Jakarta. Semenjak diresmikan sebagai musium dua tahun
lalu, ratusan orang pengunjung tiap minggunya kini dapat melihat keindahan bekas
gedung De Javasche Bank -- milik pemerintah kolonial Belanda.
Konservasi yang berlangsung lebih dari dua tahun itu, membuat gedung itu mirip
bangunan asli di tahun 1935.
Atas jerih payah Han Awal dan timnya, hasil konservasi itu pun diperjuangkan untuk
menjadi nominasi di ajang UNESCO Asia Pacific Heritage Award 2008.
Padahal, sebelum "dipugar", gedung yang dibangun tahun 1828 ini, sempat terancam
rusak. Ini terjadi karena bangunan ini pernah digunakan BI sebagai "operasional
bank" sejak tahun 1957. "Makanya ada banyak tambahan penyekat di sana-sini.Tapi
begitu ditetapkan sebagai musium, maka penyekat itu kita hilangkan," jelas Gede
Aryana, penanggungjawab pengelolaan Museum Bank Indonesia, kepada saya, di
kantornya.

TENTU saja, upaya ini membutuhkan tenaga ahli di bidangnya. Bank Indonesia,
sebagai pemilik gedung, lantas menghubungi seorang arsitek senior yang dikenal pula
sebagai konservator bangunan tua. Dia adalah Han Awal, 78 tahun, yang
berpengalaman melakukan konservasi Gedung Arsip Nasional, di Jalan
Hayamwuruk, Jakarta.
Seperti diketahui, konservasi gedung arsip yang dulunya adalah milik pejabat VOC,
dianggap sebagai karya monumental. Dan dunia internasional, akhirnya mengakui
upaya konservasi terhadap gedung itu. Ini terbukti setelah badan PBB UNESCO
memberikan penghargaan atas jerih payah Han Awal dan timnya.
Ingin mengetahui bagaimana Han Awal melakukan konservasi terhadap gedung
musium BI, saya kemudian berkunjung ke rumahnya yang asri, di kawasan Kemang,
Jakarta Selatan, pada bulan lalu. Walaupun rambutnya sudah memutih, dan berjalan
agak pelan, pikirannya masih tajam ketika bicara masalah arsitektur atau konservasi
bangunan tua.
Pada awal pembicaraan, Han yang bersuara lembut mengungkapkan betapa
bernilainya sebuah upaya konservasi. "Saat melakukan aktivitas dalam dunia
bangunan tua," kata Han, "itu seperti berhubungan dengan masa lalu. Nah, masa lalu
itu biasanya kita anggap mati".
Tapi menurut Han, dalam dunia konservasi, "masa lalu itu justru sangat
menghidupkan. Ini saya kira romantika konservasi, yang saya rasakan sangat, sangat
memperkaya diri, terutama emosional dan jiwa. Dan itu adalah kebudayaan."
Saya terkesima mendengar penjelasan lelaki kelahiran kota Malang, Jawa Timur ini.
Itulah sebabnya, ketika Bank Indonesia memberi kepercayaan dirinya untuk
mengkonservasi gedung BI di kawasan kota itu, Han merasa "terpanggil jiwanya".
Dengan gelora hati yang tinggi, Han beserta timnya kemudian memulai proses
"pemugaran" gedung tersebut. Dimulai tahun 2000, upaya konservasi yang memakan
waktu lebih dari 2 tahun ini, ternyata membutuhkan persyaratan yang tidak gampang.

UNTUK mengetahui apa "syarat-syarat" yang harus dilalui, saya minta diantar Gede
Aryana, melihat langsung contoh hasil konservasi di gedung berlantai dua itu.
Berjalan melalui lorong-lorong bangunan yang bertiang-tiang itu, (yang saya
bayangkan seperti menziarahi masa lalu dengan khidmat), kami lantas berdiri di
salah-satu sudut ruangan.
Kusaksikan dengan agak tercengang, Aryana lantas menunjuk talang air dari
tembaga, yang menempel di salah-satu sudut bangunan. "Kita sepuh kembali tembaga
itu, yang dulunya dicat berulang-ulang. Nah, dalam konservasi ini, kita kembalikan
dalam bentuk aslinya. Kita kerik kembali seperti aslinya, yang rata-rata menggunakan
tangan," jelas Aryana, panjang-lebar.
Di bagian ruangan lain gedung itu, Aryana tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia
berjongkok, seraya tangannya menyentuh ubin warna merah marun.
"Ini sebuah ubin yang mirip dengan di tahun 1935, baik warna, bahan, atau bentuk,
"jelas Aryana. "Cuma karena dibuat baru, maka diberi tanda, untuk membedakan
dengan ubin yang asli."
Kuperhatikan dengan teliti, ubin "palsu" itu diberi tanda titik, berupa lubang
berdiameter kurang dari setengah sentimeter. Bila tidak dilihat secara teliti, tentu
orang tidak akan bisa membedakan antara ubin asli dan bukan. Namun itu tadi, kata
Han Awal, barang pengganti yang tidak asli itu harus diungkapkan kepada
pengunjung musium, seperti yang menjadi kaidah konservasi.
Dan untuk mendapatkan bahan ubin seperti yang asli, tentu saja tidaklah gampang.
Han beserta stafnya harus keliling sampai ujung timur Pulau Jawa. Untuk
mendapatkan bahan logam untuk pegangan pintu, misalnya, mereka harus
mendatangkan ahli logam dari pelosok desa. "Kita mesti membuat penggantinya
dengan bahan-bahan lokal, lalu mengkopinya sehingga betul-betul hampir tidak
kelihatan bedanya," paparnya.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana Han Awal dan timnya bisa membuktikan
bentuk asli ornamen gedung itu? Salah-satu cara, demikian Han Awal, "Atas dasar
survei foto-foto lama. Dari sanalah, kita kembalikan seperti keadaan aslinya."

MASIH takjub atas proses konservasi gedung ini, di dalam gedung itu saya kembali
dikejutkan sesuatu. Adalah sebuah tiang beton, yang sepertinya menjadi titik
pertemuan dua bangunan berbeda. Di tengah tiang itu, kulihat ada kolom seukuran
sekitar 3 sentimeter -- memanjang dari atas ke bawah dan dicat berbeda.

"Tanda seperti ini menunjukan bangunan ini tidak dibuat secara bersamaan," kata
Aryana, bersemangat. Menurutnya, tanda ini dibuat secara sengaja oleh pihak
konservator, yang dulunya tak terlihat, "agar pengunjung yang tertarik arsitektur
dapat memahaminya," lanjutnya.
Gede Aryana lantas mengajak saya melihat sebuah ruangan, yang disebut sebagai
"karya agung" (masterpiece). Namanya "ruangan hijau", tempat ruangan kerja
presiden bank saat dibawah pemerintahan kolonial Belanda. Dinding ruangan itu
ditutupi marmer hijau, lengkap dengan kaca patri dari Belanda. "Sekarang kita tengah
melengkapi koleksi barang-barang, yang dulu ada di ruangan ini. Termasuk lukisan
ratu dan raja Belanda, yang dihilangkan saat Jepang datang," tutur Aryana.
Dan bicara soal dinding gedung ini, Han Awal mengungkapkan salah-satu cara
mengkonservasi sebagian besar dinding bangunan itu. "Kita hati-hati sekali
memberlakukan konservasi gedung ini, sesuai dengan kedaaan teknologi pada jaman
itu," kata Han, membuka pembicaraan. "Semen saat itu sedikit atau jarang dipakai.
Pelesterannya itu memakai campuran pasir dengan kapur. Kemudian dicat dengan
kapur."
Dengan menggunakan teknologi seperti itu, lanjut Han, bangunan itu secara natural
bisa bernafas. "Kalau hujan, dinding itu bisa menyerap, dan kalau ada matahari dapat
mengering sendiri," kata Han.
Sayangnya, dalam perjalanannya, para pemilik gedung mengecat ulang dinding itu
dengan bahan cat yang berbeda, utamanya yang berbahan akrilik. "Lambat laun itu
terdesak oleh cat-cat yang modern, sehingga cat akrilik itu menutup pori-pori.
Akibatnya air tanah bisa ke atas."
Itulah sebabnya, dalam konservasi yang dilakukannya, Han mengupas semua lapis-
lapis cat moderen yang ada pada dinding itu. Selanjutnya, dia mengecat ulang dengan
cat yang bisa membuat dinding itu bernafas.

SAAT saya berkunjung ke musium Bank Indonesia, terlihat pengunjung dari sebuah
sekolah dasar. Mereka tengah mengikuti pemutaran filem tentang pengertian bank
serta fungsi uang, di sebuah ruangan dari gedung itu. Pikiran lantas saya
mengembara, memikirkan bagaimana nasib bangunan bersejarah ini, apabila tak ada

orang seperti Han Awal.


Namun kupikir juga, kini Han boleh bernafas lega. Bangunan musium BI -- yang
termasuk cagar budaya yang harus dilindungi dari kerusakan itu -- telah berdiri
elegan: seperti wujud asli saat dipugar tahun 1930-an lalu. Bahkan atas hasil
konservasinya itu, pihak-phak terkait mendaftarkan Museum BI untuk diperjuangkan
menjadi nominasi di ajang UNESCO Asia Pacific Heritage Award 2008.
Penghargaan serupa pernah diraih Indonesia, dengan obyek konservasi Gedung Arsip
Nasional, yang juga tak terlepas dari andil Han Awal, tahun 2001 lalu. Tetapi kepada
saya Han Awal mengaku tak terlalu memikirkan penghargaan itu. Dia justru
mengkhawatirkan bagaimana perawatan Museum Bank Indonesia ke depan.
"Yang saya kuatirkan dan membuat saya was-was," kata Han Awal, "adanya
pemasangan AC, aliran kabel listrik di gedung itu."
Menurutnya, jika terpaksa tidak ada jalan lain, teknologi baru bisa dipasang, namun
harus "diperlihatkan". "Pipa-pipa listrik itu misalnya harus diperlihatkan dengan jelas,
tapi dengan warna yang membuat kesan ruangan tetap utuh, tidak terganggu," tegas
Han.
Namun bukan Han Awal bila dia akhirnya cuma berdiam diri. "Kita memang perlu
terlibat terus-menerus dalam pemeliharaan gedung itu. Memang pekerjaan saya sudah
selesai, tapi saya selalu datang jika diminta datang untuk melihat. Dan bila mereka
meminta advis, saya dengan senang hati melakukan itu," kata Han, tegas. Saya
terharu mendengar kalimat ini, walau akhirnya tetap khawatir, memikirkan apakah
nanti akan lahir "Han Awal" lainnya, setelah belajar dari kasus pengrusakan situs
bersejarah Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
DAFTAR PUSTAKA
https://interinoz.com/2018/09/08/karya-desain-arsitek-indonesia/
https://heyderaffan.blogspot.com/2009/01/han-awal-arsitek-yang-peduli-
bangunan.html
https://gedungarsipnasional.blogspot.com/2014/06/sejarah-gedung-arsip-
nasional.html

Anda mungkin juga menyukai