Anda di halaman 1dari 4

Nama : Arjun Fahriza Nurhusna Arifin

Nim/Gol : F41211693/B
Mata Kuliah : Arsitektur Pariwisata
Dosen Pengampu : Muhammad Dzulkifli, S.Pd., M. Sc

Tegaknya Rumah-Rumah Berarsitektur


Majapahit di Trowulan

Rumah-rumah ini kecil dan sederhana. Tak mampu mewakili citra ibu kota Kerajaan Majapahit yang
konon begitu megah dan rumit. Tapi, setidaknya mereka bisa membangkitkan sebuah kenangan. Bahwa di
situ pernah berdiri sebuah peradaban besar seperti yang ditulis Sir Thomas Stamford Raffles sebagai The
Pride of Java.

——————–

NUANSA cokelat kemerahan bata dan genting menghiasi pemandangan di sepanjang bypass Mojokerto
Jumat pagi itu (6/1). Melemparkan ingatan ke masa 500 tahun lalu. Saat itu Sabdo Palon, abdi setia Prabu
Brawijaya V, mencapai kesepakatan dengan para wali penyebar agama Islam. ”Orang-orang putih” boleh
leluasa beroperasi di tanah Jawa setidaknya hingga 500 tahun ke depan. Setelah kesepakatan diteken,
Syekh Subakir alias Aji Saka mengibaskan tangan. Dalam sekejap, kutaraja, ibu kota kerajaan, hilang dari
pandangan.

Cerita itu tentu punya latar belakang historis. Meskipun dalam penyebarannya bercampur mistifikasi.
Yang jelas, hingga hari ini belum ada satu pun penjelasan yang meyakinkan mengapa kutaraja Majapahit
hilang tak berbekas.

Kalangan ilmiah percaya bahwa invasi Kerajaan Demak Bintara mengobarkan peperangan dengan
sentimen agama. Perang itu begitu destruktif sehingga seluruh infrastruktur dihancurkan. Hanya situs-
situs keagamaan yang dibiarkan berdiri tegak. Sebagian lain yakin bahwa bencana alam dan ekskavasi
besar-besaran menghancurkan sebagian besar reruntuhan kutaraja.

Dalam kitab Pararaton, disebut setiap pergantian kekuasaan, kutaraja selalu dihajar gempa dan letusan
Gunung Kelud. Hingga pemerintahan Hayam Wuruk, Kelud sudah meletus sampai delapan kali. Itu juga
dipercaya sebagai salah satu sebab hilangnya kutaraja.

Upaya untuk merangkai keping demi keping gambar kutaraja masih berlanjut sampai detik ini. Caranya
bermacam-macam. Mulai teknologi modern hingga lelaku spiritual. Adalah Henri Maclaine Pont arsitek
dan arkeolog asal Belanda yang menggali sudut-sudut Trowulan pada 1924.

Penelitian selama dua tahun menghasilkan sebuah sketsa peta kutaraja. Peta itu kemudian digunakan oleh
hampir seluruh penelitian tentang Majapahit. Termasuk memetakan wilayah keraton, bentuk jalan, sistem
kanal, tembok pertahanan, tata bangunan, serta rumah warga kota.

Kini rumah-rumah dengan arsitektur Majapahit sudah bisa dilihat di sepanjang jalan. Berdinding bata
merah yang disusun seolah tanpa semen, beratap limas persegi panjang dengan genting wuwung
melengkung. Jendela tanpa kaca dengan ventilasi kayu beriris. Ditemani pagar bata merah berhias
ornamen khas keraton dan emblem Surya Majapahit. Dewata Nawa Sanga bertakhta di dalamnya.

***

Pertengahan 2016, Pemprov Jatim meneken kerja sama dengan Pemkab Mojokerto untuk menyulap
rumah-rumah warga. Masing-masing mendapatkan dana buat membongkar fasad(muka) rumah untuk
kemudian disulap menjadi rumah ala kawula Majapahit. Fisik rumah itu kecil. Bentuknya persegi panjang
dengan ukuran rata-rata 5×3 meter, meski tingginya tetap normal.

Lebih banyak rumah ala Majapahit bisa dilihat di Desa Bejijong. Dari bypass Mojokerto, belok kanan ke
arah Mahavira Majapahit, tempat situs Patung Buddha Tidur yang terkenal. Hampir semua jalan desa
sudah dikitari pagar Surya Majapahit. Hanya satu–dua rumah warga yang fasadnya belum berubah.

Achmad Rifai, ketua RT 01, RW 02, Bejijong, yang sedang berjalan-jalan selepas salat Subuhberkata
kepada Jawa Pos, ”Rencananya, memang seluruh desa dibangunkan rumah (ala Majapahit, Red), terutama
pinggir jalan yang menuju situs-situs sejarah,” kata pria yang juga menjabat kepala Dishubkominfo
Kabupaten Mojokerto itu.

Sejauh ini, Bejijong adalah konsentrasi proyek ”membangkitkan kutaraja” itu. Selain Bejijong, dua desa
lagi adalah Jatipasar dan Sentonorejo, juga merupakan sasaran proyek. Baru-baru ini bertambah dua desa
lagi, yakni Temon dan Kraton. Semuanya masuk area pusat kutaraja.

Berdasar ketetapan Trowulan sebagai situs arkeologi, area kutaraja terhampar dengan ukuran 9×11
kilometer. Jika ditambah dengan wilayah satelitnya, meluas hingga menyentuh Kecamatan Mojoagung
dan Wonosalam di sebelah timur Jombang.

Detail layout kutaraja bisa direkonstruksi dari penjelasan Pupuh VIII sampai XII Kakawin
Negarakertagama. Disebutkan, kutaraja adalah kota yang dikelilingi tembok batu merah, tebal, dan tinggi.
Dijelaskan juga sistem kanal, gapura, pura, balai prajurit, gedung kejaksaan, dan tempat tinggal para
brahmana.

Bentuk rumah Majapahit memang masih debatable lantaran tidak satu pun rumah yang selamat dan dapat
dijadikan bukti. Arsitek Setia Budhijanto telah berpengalaman selama 30 tahun menjadi konsultan
arsitektur. Dia juga punya ketertarikan khusus pada arsitektur Majapahit.

Menurut dia, dengan sekian banyak potensi kehancuran bangunan kutaraja, mulai perang hingga bencana
alam, wajar jika hampir seluruh bangunan hancur, kecuali candi. ”Candi memang dibangun dengan
konstruksi masif. Tebal batanya saja berapa?” katanya.
Sementara itu, rumah-rumah Majapahit, papar pria yang akrab disapa Budi itu, berfungsi hanya sebagai
tempat tinggal. Isinya sebatas kamar tidur dan tempat penyimpanan barang-barang berharga. Instalasi
pendukung lain berada di luar rumah. Antara lain dapur, kandang hewan peliharaan, dan gazebo tempat
pertemuan. ”Makanya disebut pawon (dapur, Red),” katanya. Tidak heran jika rumah Majapahit rata-rata
berukuran relatif kecil.

Kepingan kutaraja selalu misterius, tapi arsitektur rumah adalah yang paling misterius. Sebuah penelitian
berhasil merekonstruksi bentuk utuh dari salah satu tipe rumah kawula Majapahit. Namun, semua tokoh,
pejabat, dan seniman yang ditemui koran ini tak mampu menjelaskan filosofi dari setiap sudut rumah.

Penjelasan justru datang dari warga asli Trowulan, Rifai. Rumah Majapahit miliknya paling mencolok di
RT 02, RW 02, Bejijong, lantaran dihiasi banyak aksesori. Mulai patung celengan babi, ular naga, dan
arca. Di ruang tamunya, Rifai punya uang khas Majapahit, lampu kerek, cupu amertha, kendi padasan,
bahkan replika arca Tribhuwanatunggadewi, ratu Majapahit. ”Yang pegang cupu amertha ini berarti
adalah seorang sastrawan istana,” katanya.

Dengan lancar, Rifai menjelaskan nama dan bentuk tiap-tiap bagian rumah. Mulai lantai, wuwung, hingga
perhiasannya. Penjelasan itu, papar Rifai, tidak dimiliki para ilmuwan yang bersekolah di luar negeri.
Rifai adalah salah seorang yang percaya dengan ramalan Sabdo Palon.

Ini sudah 500 tahun. Ada desas-desus bahwa Majapahit akan kembali bangkit. Syekh Subakir, papar
Rifai, hanya menutup kutaraja dari penglihatan mata normal. Jika Majapahit bangkit, apakah fisik atau
spiritnya, bangsa Indonesia sebagai pewarisnya akan jadi satu kekuatan dan pusat dunia. ”Munculnya
rumah-rumah ini adalah salah satu tanda Majapahit mulai bisa dilihat mata normal,” katanya dengan
mantap.

Rumah Rifai adalah rumah terakhir yang kami kunjungi. Semakin menjauh dari Trowulan, rumah ala
Majapahit semakin jarang. Mungkin kerajaan besar ini selamanya akan tersaput selubung halimun. Tapi,
bahwa spirit dan keagungannya masih menggaung hingga hari ini, itu niscaya.

Anda mungkin juga menyukai