Anda di halaman 1dari 14

Sejarah Bendungan Jatiluhur

1. Umum
Bendungan adalah setiap penahan buatan, jenis urugan batu
atau jenis lainnya, yang menampung air atau dapat
menampung air baik secara alamiah maupun buatan,
termasuk pondasi, bukit/tebing tumpuan, serta bangunan
pelengkap dan peralatannya. Dalam pengertian ini termasuk
juga bendungan limbah galian tetapi tidak termasuk bendung
dan tanggul. Dari segi konstruksi bendungan terdiri dari
bendungan urugan dan bendungan beton. Bendungan
urugan terdiri dari bendungan urugan serba sama
(homogenous), bendungan urugan batu dengan lapisan
kedap air di dalam tubuh bendungan (claycore rockfill
dam, zone dam) dan bendungan urugan batu dengan lapisan
kedap air di muka (concrete face rockfill dam). Sedang
bendungan beton terdiri dari bendungan beton berdasar
berat sendiri (concrete gravity), bendungan beton dengan
penyangga (buttress dam), bendungan beton berbentuk
lengkung (concrete arch dam), dan bendungan beton
berbentuk lebih dari satu lengkung (multiple arch dam)
(sumber KNI-BB). Berdasarkan ukurannya Bendungan
Jatiluhur termasuk ke dalam bendungan besar.
Air yang ditampung akibat dibangunnya bendungan biasanya
digunakan untuk irigasi, pasok air baku untuk air minum,
industri dan perkotaan, perikanan serta pembangkitan listrik.
Manfaat lain bendungan adalah untuk pengendalian banjir
dan pariwisata. Disamping untuk menampung air, bendungan
juga dibangun untuk menampung material lain, seperti
buangan / limbah pertambangan dan lahar dingin.
Bendungan untuk menahan lahar dingin disebut juga
bendungan sabo (sabo dam).
Setelah perang Dunia Kedua, terkait dengan peningkatan
populasi yang tajam, kebutuhan pangan dan listrik, baik
untuk rumah tangga maupun industri, meningkat pesat.

Pemerintah Indonesia memutuskan untuk melaksanakan


pembangunan bendungan besar di utara Provinsi Jawa Barat,
untuk memenuhi penyediaan pangan dan listrik tersebut.
Selama masa pelaksanaan, proyek pembangunan ini
dinamakan JatiluhurMultipurpose Project dan setelah
penyelesaiannya dinamakan menjadi Bendungan dan
Pembangkit Listrik Juanda, sebagai kenang-kenangan atas
peran Perdana Menteri terakhir Indonesia Ir. H. Djuanda
dalam terwujudnya pembangunan Bendungan Jatiluhur.
Pada dasarnya proyek pembangunan Bendungan Jatiluhur
dibuat untuk keperluan irigasi dan listrik, namun memiliki
tujuan lainnya, yakni pasok air baku, pengendalian banjir,
penggelontoran kota, perikanan darat, dan pariwisata.
2. Lokasi Bendungan Jatiluhur

Bendungan Jatiluhurberjarak kurang lebih 100 km arah Tenggara


Jakarta, yang dapat dicapai melalui jalan tol Jakarta Cikampek dan
jalan tol Cipularang (ruas Cikampek Jatiluhur), dan 60 km arah
Barat Laut Bandung, yang dapat dicapai melalui jalan tol Cipularang
(ruas bandung Jatiluhur). Dari Kota Purwakarta sekitar 7 km arah
barat. Berdasarkan koordinat geografis, posisi Tubuh Bendungan
Jatiluhur berada pada 6o31 Lintang Selatan dan 107o23 Bujur Timur.

Kotak merah pada gambar kiri menunjukkan posisi Bendungan


Jatiluhur pada peta.
Bendungan Jatiluhur merupakan bendungan terbesar di Indonesia, membendung
aliran Sungai Citarum di Kecamatan Jatiluhur Kabupaten Purwakarta Provinsi
Jawa Barat, membentuk waduk dengan genangan seluas 83 km 2 dan keliling
waduk 150 km pada elevasi muka air normal +107 m di atas permukaan laut (dpl).
Gambar 3-5 adalah denah area Waduk Jatiluhur sebelum dan sesudah
penggenangan. Luas daerah tangkapan Bendungan Jatiluhur adalah 4.500 km 2.
Sedangkan luas daerah tangkapan yang langsung ke waduk setelah dibangun
Bendungan Saguling dan Cirata di hulunya menjadi tinggal 380 km 2, yang
merupakan 8% dari keseluruhan daerah tangkapan. Daerah tangkapan
(upperCitarum) meliputi wilayah Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat,
Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta. Pada
Awalnya dirancang memiliki kapasitas tampungan 3 milyar m 3, namun saat ini tinggal
2,44 milyar m3 (hasil pengukuran batimetri tahun 2000) akibat sedimentasi. Namun
demikian setelah dibangun Bendungan Saguling dan Cirata di atasnya, laju
sedimentasi semakin menurun. Bendungan Jatiluhur merupakan bendungan
multiguna, dengan fungsi sebagai pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang
187,5 MW, pengendalian banjir di Kabupaten Karawang dan Bekasi, irigasi untuk
242.000 ha, pasok air untuk rumah tangga, industri dan penggelontoran kota, pasok
air untuk budidaya perikanan air payau sepanjang pantai utara Jawa Barat seluas
20.000 ha, dan pariwisata. Bendungan ini mulai dibangun pada tahun 1957 ditandai
dengan peletakkan batu pertama pembangunan oleh Presiden RI pertama Ir.
Soekarno. Tanggal 19 September 1965 merupakan kunjungan terakhir Ir. Soekarno
ke Bendungan Jatiluhur, yakni sebelas hari sebelum pecahnya peristiwa G 30 S PKI.
Pada kesempatan tersebut sempat dilaksanakan Sidang Kabinet Dwikora.

Gambar 3: Denah Area Bendungan Ir. H. Djuanda Sebelum Penggenangan

Gambar 4: Citra Satelit Waduk Jatiluhur

Gambar 5: Foto Bendungan Jatiluhur (diambil tahun 2000)

Peresmian oleh Presiden RI Kedua


tanggal 26 Agustus 1967. Jumlah
untuk pembangunan Bendungan
selesai adalah US$ 230 juta. Biaya
bentuk dolar dan rupiah.

Jenderal Soeharto pada


biaya yang dikeluarkan
Ir. H. Djuanda hingga
ini meliputi biaya dalam

Gambar 6 : Peresmian Konstruksi Bendungan Jatiluhur. (Sumber: Menyimak Bendungan di Indonesia


(1910 2006) KNI-BB, Yayasan Kilas Teknologi Konstruksi Indonesia)

Gambar 7: Kunjungan terakhir Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno, ke Bendungan Jatiluhur

Gambar 8 : Pegawai dan masyarakat Menyambut kedatangan Presiden Pertama RI,. Soekarno

Gambar 9: Foto Peresmian Bendungan Jatiluhur

Terlihat dalam gambar 9, Ibu Tien Soeharto sedang


melakukan pengguntingan pita sebagai tanda diresmikannya
Bendungan Jatiluhur. Foto di bawah ini memperlihatkan
Presiden Pertama RI Jenderal Soeharto sedang berada di
Gedung Istora dan kemudian berjalan menuju ke arah Hotel
Pasanggrahan. Lokasi ini berada di semenanjung bagian udik
Bendungan Jatiluhur (dekat bukit tumpuan kanan).

Gambar 10: Presiden Soeharto sedang menikmati hidangan di Gedung Istora

Gambar 11: Presiden Soeharto, berjalan menuju Hotel Istora

Gambar 12: Foto Ir. H. Djuanda

Untuk mengenang jasa Ir. H. Djuanda (nama lengkap Ir. H.


R.
Djoeanda
Kartawidjaja)
dalam
memperjuangkan
pembiayaan pembangunan Bendungan Jatiluhur, bendungan
ini dinamakan secara resmi Bendungan Ir. H. Djuanda. Beliau
adalah Perdana Menteri RI terakhir dan memimpin kabinet
Karya (1957 1959). Ir H Djuanda Kartawidjaja, lulusan
Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) sekarang
Institut Teknologi Bandung (ITB), yang sebelumnya pernah
menjabat menteri di antaranya Menteri Perhubungan,
Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan. Beliau
bersama-sama
dengan
Ir. Sedijatmo
dengan
gigih
memperjuangkan
terwujudnya
proyek
Jatiluhur
di
Pemerintah
Indonesia
dan
forum
internasional. Pada
kunjungan terakhirnya Ir. Soekarno menyampaikan perintah
untuk menyelesaikan pembangunan Bendungan Jatiluhur
pada akhir April 1966, namun tidak terlaksana karena
pemberontakkan G 30 S PKI.

Gambar 13: Kunjungan Wakil Presiden Drs. Moch. Hatta di Bendungan Jatiluhur tanggal 25 September
1956

3. Sungai Citarum
Sebagai sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat,
mengalir sepanjang lebih kurang 270 km dari mata air di
Gunung Wayang di Kabupaten Bandung, sampai muaranya di
Laut Jawa dengan melalui Kabupaten Bandung, Kabupaten
Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta,
membagi daerah administrasi Kabupaten Karawang dan
Kabupaten Bekasi dari Kedung Gede ke hilir dan berakhir dari
Muara Gembong sebagai muara Sungai Citarum ke Laut
Jawa. Sungai Citarum memiliki volume aliran tahunan ratarata 5,5 milyar m3, luas DAS 6.600 km2. Memiliki tinggi curah
hujan tahunan rata-rata 2.353 mm, dengan 80% hujan jatuh
pada periode November Mei.
Sungai Citarum dengan beberapa sungai lainnya di Jawa
Barat bagian utara, yaitu: Ciherang, Cilamaya, Cijengkol,
Ciasem, Cigadung, Cipunegara, dan Cilalanang membentuk
suatu wilayah hidrologis yang terintegrasi, dengan satuan
hidrologis seluas 1.100.000 ha. Gambar di bawah ini adalah
Mata Air Pangsiraman, yakni salah satu dari tujuh mata air
Sungai Citarum yang berada di Gunung Wayang Ciwidey.
Nama keenam mata air Sungai Citarum lainnya adalah
Cikahuripan,
Cikawedukan,
Cisanti,
Cikaloberes,
Cisadane/Cihaliwung dan Cikadugalan/Cipaedah. Ketujuh
mata air ini berada pada area Situ Cisanti yang memiliki
ketinggian +2.180 m dpl.

Gambar 14: Foto Mata Air Pangsiraman

Gambar 15 di bawah ini adalah Foto Udara Muara Gembong,


yakni salah satu dari tiga muara Sungai Citarum yang berada
di Kabupaten Bekasi. Dua muara lainnya adalah Muara
Karawang dan Muara Bungin yang berada di Kabupaten
Karawang.

Gambar 15: Foto Muara Gembong

Gambar 16: Peta DAS Citarum dan interkoneksinya

Pada tahun 1984 dan 1987 beroperasi 2 buah bendungan


besar di hulu Bendungan Ir. H. Djuanda, yakni Bendungan
Saguling dan Bendungan Cirata. Dengan dibangunnya kedua
bendungan tersebut, kapasitas tampungan keseluruhan
menjadi sama dengan aliran tahunan Sungai Citarum.
4. Gagasan Pembangunan Bendungan Jatiluhur
Gagasan pembangunan bendungan di Sungai Citarum dudah
dimulai pada abad ke-19 oleh para ahli pengairan pada
waktu itu dengan telah dilakukannya survey awal antara lain
survey topografi dan hidrologi. Bahkan pengukuran debit

Sungai Citarum untuk keperluan bendungan dan irigasi telah


di mulai pada tahun 1888.
Gagasan pembangunan tersebut kemudian dikembangkan
dan disempurnakan oleh Prof. Dr. Ir. W.J. van Blommestein,
seorang ahli pengairan Belanda pada tahun 1930. Gagasan
ini untuk pertama kali dipresentasikan pada pertemuan
tahunan Persatuan Insinyur Kerajaan Belanda (Koninklijk
Instituut van Ingenieurs atau KIVI) tanggal 18 Desember
1948 di Jakarta dengan judul Een Federaal Welvaartsplan
voor het Westelijk Gedeelte van Java. Ketika itu, Prof. Ir.
W.J. van Blommestein, Kepala Perencanaan Jawatan
Pengairan Belanda, sudah melakukan survey secara lebih
rinci untuk membuat rencana pembangunan tiga waduk
besar di sepanjang aliran sungai Citarum; Saguling
(sebelumnya dinamakan Waduk Tarum oleh Prof. Ir. W.J. van
Blommestein), Cirata dan Jatiluhur.
Selanjutnya Prof. W.J. van Blommestein sampai kepada
sebuah gagasan dimana selain potensi tiga waduk di Sungai
Citarum, juga ada potensi pengembangan antar Daerah
Aliran Sungai (DAS) untuk sungai-sungai di Pulau Jawa, yang
dikenal dalam tulisannya berjudul A Development Project
for the Island of Java and Madura pada Agustus 1979.
Gagasannya waktu itu adalah Jatiluhur hanya dikembangkan
untuk kepentingan irigasi dan pembangunan kanal untuk
transportasi air dari Anyer sampai Surabaya melewati Solo.
Prof. Ir. Wilem Johan van Blommestein lahir di Kertasura Kota
Solo tanggal 15 Mei 1905 dan meninggal pada tanggal 11
Agustus 1985. Kuliah di Institut Teknologi Bandung pada
tahun 1924 dan lulus dengan mendapar gelar insinyur pada
tahun 1928. Pada ini juga beliau langsung ditugaskan ke
wilayah afdeling Karawang. Setahun kemudian beliau pindah
ke Purworejo, bekerja sebagai insinyur dibidang keirigasian.
Tahun 1931 sampai 1934 beliau bertugas di Yogyakarta.
Karya lainnya adalah salah satu bendungan terbesar di dunia
yang dibangun di Suriname, yang kemudian diberi nama
Bendungan Blommestein. Bendungan ini memiliki luas

genangan 1.560 km2, dengan tinggi 54 m. Panjang puncak


bendungan keseluruhan 12.000 m. Luas daerah tangkapan
12.000 km2. Bendungan mulai dibangun tahun 1960 dan
selesai tahun 1964.

Gambar 17: Foto Bendungan Blommestein

Gagasan Prof. Dr. Ir. W.J. van Blommestein kemudian dikaji


ulang oleh Ir. Van Scravendijk tahun 1955 dengan tulisan
berjudul Integrated Water Resources Development in
Citarum River Basin (240,000 ha sawah). Gagasan ini
kemudian dilengkapi oleh Ir. Abdullah Angudi tahun 1960
melalui nota pengelolaan sehingga menjadi Rencana Induk
Pengembangan Proyek Serbaguna Jatiluhur.
Gagasan untuk membangun sebuah bendungan di aliran
sungai Citarum dirintis kembali pada era tahun 1950-an. Ir.
Agus Prawiranata sebagai Kepala Jawatan Irigasi waktu itu
mulai memikirkan pengembangan jaringan irigasi untuk
mengantisipasi kecukupan beras dalam negeri. Ketika itu,
Indonesia sudah menjadi negara pengimpor beras terbesar
dunia. Namun untuk membangun bendungan dengan skala
besar, ketika itu masih menjadi bahan tertawaan, karena
Pemerintah RI belum punya uang.
Lalu ide ini dibahas bersama Ir. Sedyatmo, yang ketika itu
menjabat sebagai Kepala Direksi Konstruksi Badan
Pembangkit Listrik Negara, Direktorat Jenderal Ketenagaan,
Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Kebetulan
waktu itu PLN punya anggaran dan memang sedang
berupaya mencari pengganti sumber daya listrik yang masih
menggunakan minyak, karena memang mahal. Lalu, Ir.
Sediyatmo menugaskan Ir. P.C. Harjosudirdjo (sekarang;
Prof. DR. Ir. P.K. Haryasudirja) ketika itu sebagai Asisten

Kepala Direksi Konstruksi PLN, untuk merancang Bendungan


Jatiluhur ini.
Sebelum pembangunan Bendungan Jatiluhur, bagian utara
Provinsi Jawa Barat telah dibangun beberapa prasarana
sumber daya air, seperti Bendung Walahar, Pundong,
Salamdarma, Barugbug dan sebagainya. Namun masingmasing prasarana sumber daya air tersebut belum
terintegrasi dan sebagaimana fungsi bendung, tidak dapat
menampung air dimusim hujan sehingga pada musim hujan
selalu banjir dan kekeringan pada musim kemarau.
Intensitas tanam (crop intensity) hanya 1, yakni 1 kali tanam
setahun. Kemudian daerah pertanian tersebut sebagian
besar dikuasai para tuan tanah, dan petani sebagian besar
adalah penggarap yang tidak memiliki tanah.
Hal penting yang juga menjadi pertimbangan saat itu,
menurut Prof. DR. Ir. P.K. Haryasudilja, ketika itu sebagai
Asisten
Urusan
Jatiluhur
yang
menangani
urusan
perencanaan maupun pelaksanaan pembangunannya, adalah
pertimbangan suplai air ke Jakarta. Ketika itu pelabuhan
Tanjung Priok tak pernah disinggahi kapal-kapal asing,
karena tidak cukup air untuk perbekalan kapal. Sehingga
kegiatan ekspor-impor dari Tanjung Priok tersendat.
Haryasudirja yang membuat spesifikasi bendungan Jatiluhur,
mengaku meniru gaya bendungan terbesar di dunia, yaitu
bendungan Aswan di Mesir. Menggunakan konsultan dari
Perancis yang sudah berpengalaman dalam membangun
bendungan besar.
5. Masa Pembangunan Bendungan Jatiluhur
Masa pembangunan Proyek Jatiluhur juga unik, sebab
sempat mengalami sembilan kali pergantian kabinet dari
Kabinet Karya Tahun 1957 sampai Kabinet Ampera Tahun
1967.
Menteri-menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga pada masa
pembangunan Bendungan Jatiluhur adalah Ir. Pangeran
Mohamad Noor, Ir. Sardjono Dipokusumo, Mayjen D.

Suprayogi, dan Dr. Ir. Sutami. Tahun 1965 Menteri PUT


dalam kompartemen Pembangunan Mayjen D. Suprayogi
membawahi 6 kementerian yaitu: Kementerian Listrik dan
Tenaga Ir. Setiadi Reksoprodjo, Menteri Pengairan Dasar Ir.
Petrus Kanisius Hardjosudirdjo, Menteri Binamarga Mayjen
Hartawan Wirjodiprodjo, Menteri Ciptakarya dan Konstruksi
David Cheng, Menteri trans Sumatera Ir. Bratanata dan
Menteri Negara diperbantukan pada Menteri Koordinator
Pekerjaan Umum dan Tenaga Ir. Sutami.
Hal yang perlu dicatat dari periode pembangunan ini adalah
Perancis
tidak
pernah
menyelesaikan
pembangunan
Bendungan Jatiluhur. Pada tanggal 15 Oktober 1965, yakni
15 hari setelah pecah G 30 S PKI, para tenaga ahli asing
kembali ke negaranya. Pada saat itu sebagian konstruksi
menara pelimpah utama bagian atas belum selesai dan
Bendungan pelana Pasirgombong Barat dan timur sama
sekali belum dibuat. Penyelesaian pekerjaan yang tersisa
tersebut dilaksanakan secara swakelola oleh tenaga ahli dari
Indonesia
dengan
memanfaatkan
peralatan
yang
ditinggalkan.
Namun demikian pada saat peresmian Bendungan Jatiluhur
oleh Presiden Soeharto, pekerjaan masih belum selesai
seratus persen. Pelimpah pembantu (auxiliary) yang berada
di tumpuan kiri Bendungan Pelana Ubrug belum sesuai
dengan rencana awalnya, yakni penggunaan pintu radial
pada kedua jendelanya. Hal ini disebabkan biaya untuk
penyelesaian tidak tersedia lagi.
Agar Bendungan Jatiluhur dapat beroperasi sesuai rencana,
pada keempat jendela pelimpah pembantu Ubrug dibuat
beton lunak lengkung yang puncaknya mencapai elevasi
+111,6 m, yakni elevasi banjir maksimum. Pelimpah
pembantu Ubrug dioperasikan dengan cara meledakkan
beton lunak lengkung. Namun demikian selama operasi
Bendungan Jatiluhur, pelimpah pembantu tersebut belum
pernah dioperasikan.

Berikut
adalah
tenaga
ahli/insinyur
pembangunan Bendungan Jatiluhur:
1.

Ir. Patti (tidak sampai selesai)

2.

Ir. Masduki Umar

3.

Ir. Ahmad Musa

4.

Ir. Donardi Senosarto

5.

Ir. Sutopo

6.

Ir. Sudarjo

7.
8.

periode

awal

Ir. Asban Basiran (saat ini masih membantu Direksi PJT


II sebagai Tenaga Senior dibidang Bendungan)
Ir. Samsiar

6. Demografi Daerah Genangan


Genangan yang terjadi akibat pembangunan Bendungan
Jatiluhur menenggelamkan 14 Desa dengan penduduk
berjumlah 5.002 orang. Penduduk tersebut kemudian
sebagian dipindahkan ke daerah sekitar bendungan dan
sebagian lainnya pindah ke Kabupaten Karawang. Sebagian
besar penduduk waktu itu bekerja sebagai petani.
7. Produksi Listrik
Produksi listrik pertama dimulai pada tahun 1965 dan
disalurkan ke Bandung melalui Saluran udara tegangan tinggi
150 kV milik PLN. Penyaluran ke Jakarta baru dilakukan pada
tahun 1966. PLTA unit VI baru dipasang oleh PT. PLN Pikitdro
Jabar antara tahun 1979 1981 dengan kapasitas 32 MW.

Anda mungkin juga menyukai