Anda di halaman 1dari 20

DEMAM DAN RUAM PADA ANAK

Dominicus Husada, Ismoedijanto

PENDAHULUAN
Demam dan ruam adalah tanda yang sering ditemui pada anak. Adanya demam dan
ruam bersama-sama pada umumnya sudah dapat membatasi spektrum diagnosis penyakit yang
harus ditegakkan. Spektrum tersebut mencakup infeksi lokal atau sistemik (dengan serangkaian
mikroba penyebab), kelainan yang diperantarai toksin (termasuk yang diduga berhubungan
dengan superantigen bakteri), dan vaskulitides (termasuk hipersensitifitas).
Kesalahan diagnosis penderita dengan demam dan ruam dapat berakibat besar bagi
pasien, kontak, maupun masyarakat. Meningokoksemia yang salah didiagnosis sebagai campak
dapat berakibat kematian akibat keterlambatan pengobatan. Pasien demam skarlatina yang
salah didiagnosis sebagai rubella seharusnya dapat dicegah supaya tidak mengalami komplikasi
otitis media.
Elemen yang sangat penting untuk menegakkan diagnosis yang akurat mencakup
anamnesis yang detil, observasi sistemik pada penderita anak yang menunjukkan tanda-tanda
toksisitas, dan pemeriksaan fisik menyeluruh. Betapapapun sempurnanya, sering kali anamnesis
dan pemeriksaan fisik tetap mempunyai sensitifitas yang rendah. Dalam kondisi semacam itu uji
laboratorium dapat menunjukkan peran yang penting.
Kulit merupakan salah satu kunci awal untuk mengenali penyakit dengan demam yang
disebabkan oleh berbagai mikroorganisma. Para penyebab infeksi tersebut bisa menghasilkan
beragam lesi di kulit. Lesi yang muncul pada umumnya akan menjadi petanda penting
penegakan diagnosis.
Sejarah
Epidemi campak dan cacar telah terjadi sejak kekaisaran Romawi dan China pada awal
abad masehi. Demam skarlatina dikenali sebagai penyakit tersendiri sejak abad 17. Cacar air
dan rubella baru diidentifikasi di abad ke-18 dan 19.
Pada penulisan di awal abad ke-20, penyakit eksantema makulopapular diberi nomor
berdasarkan urutan kemunculan pertama kalinya. Demam skarlatina dan campak adalah 2
penyakit yang terawal di kelompok ini. Tabel berikut menggambarkan urutan penyakit
berdasarkan nomor historis.
Tabel 1. Nomenklatur Eksantema Infeksi Klasik
DISEASES

INFECTIOUS AGENTS

First
Second
Third
Fourth
Fifth
Sixth

Rubeola or measles
Streptococcal scarlet fever
Rubella or German measles
Filatov-Dukes disease
Erythema infectiosum ( parvovirus B19 )
Human herpes virus 6 ( roseola )

Sumber :
Lau AS, Uba A, Lehman D. Infectious diseases. Dalam: Rudolph AM, Kamei RK, Overby KJ, editor. Rudolphs fundamentals of pediatrics.
Edisi ketiga. Mc-Graw Hill. New York, 2002; 379-86.
Cherry JD. Cutaneous manifestations of systemic infections. Dalam: Feigin R, Cherry JD, editor. Textbook of pediatric infectious diseases.
Volume 1. Edisi ketiga. WB Saunders Company. Philadelphia, 1992; 755-82.

PATOGENESIS
Cara kulit bereaksi terhadap infeksi sesungguhnya terbatas. Patogenesis manifestasi
kulit dari penyakit sistemik dapat dibagi menjadi 3 kategori. Pertama, penyebaran
mikroorganisme penyebab infeksi melalui darah (viremia, bakteriemia, dan sebagainya) yang
menghasilkan infeksi sekunder di kulit. Temuan klinis di kulit pada kelompok ini dapat merupakan
efek langsung penyebab infeksi di epidermis, dermis, atau endotel kapiler dermis, atau dapat
juga merupakan hasil reaksi respon imun antara organisme yang bersangkutan dengan antibodi
atau faktor seluler di lokasi kulit. Cacar air, infeksi enterovirus, dan meningokoksemia adalah
contoh penyakit dimana mikroba mencapai kulit melalui darah dan menimbulkan temuan di kulit
tanpa campur tangan faktor imunologis pejamu. Pada penyakit campak, rubella, dan
gonokoksemia, faktor waktu, gambaran histologis, dan tingkat kesulitan mendapatkan hasil pada
kultur mengindikasikan adanya kombinasi 2 faktor yaitu efek langsung dan respon imunologis.
Kedua, patogenesis yang berhubungan dengan penyebaran toksin dari penyebab infeksi.
Infeksi terjadi di lokasi tertentu namun kemudian toksin yang dihasilkan menyebar dan mencapai
kulit melalui darah. Tiga contoh penyakit dalam kelompok ini adalah demam skarlatina
streptokokal, staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS), dan sindroma syok toksik.
Kategori ketiga adalah patogenesis pada penyakit sistemik dimana eksantema tidak
dapat dimengerti dengan baik namun muncul dan diduga mempunyai dasar imunologis. Yang
paling penting dari kelompok ini adalah gambaran klinis eritema multiforme eksudativum
(sindroma Stevens-Johnsons) dan eritema nodosum. Pada sebagian besar kasus lokasi antigen
maupun toksin yang menyebar sulit diidentifikasi.
Ramundo menambahkan mekanisme keempat yaitu melalui keterlibatan vaskuler yang
menghasilkan lesi di kulit. Berbagai mekanisme tersebut mungkin saja terjadi secara berurutan.
Aspek klinik yang penting dari penyakit eksantematus adalah penyebaran dan
progresifitas lesi. Sekalipun demikian pengetahuan mengenai hal tersebut belum banyak
diungkap. Para ahli mengetahui bahwa perbedaan ketebalan kulit, kondisi vaskuler, derajat
proliferasi, suhu, dan aktivitas metabolik sangat penting pada penyakit hewan dengan
manifestasi kulit. Pada manusia faktor-faktor tersebut pasti juga berperan penting dan
dipengaruhi oleh mikroorganisma penyebab.
GEJALA DAN TANDA KLINIK
Pembahasan gejala klinik dapat dilakukan dengan berbagai sudut pandang. Dalam
tulisan ini uraian akan dibagi berdasarkan etiologi infeksi. Haruslah dipahami bahwa tidak ada
batas yang nyata yang dapat membedakan penyebab infeksi, terutama dari aspek gejala klinik
semata-mata. Etiologi infeksi terbanyak yang dapat menimbulkan demam dan ruam pada anak
adalah virus.
Infeksi Virus
Virus dapat melibatkan kulit dengan cara menyebar ke kulit selama infeksi sistemik
disertai replikasi virus pada kulit atau dengan memproduksi tumor kulit yang diinduksi virus.
Sejumlah virus bersifat epidermotrofik dan bereplikasi di dalam keratinosit.
Erupsi kulit yang berhubungan dengan sindroma virus akut disebut eksantema virus (viral
exanthem). Jika mukosa terlibat, istilah yang digunakan adalah enantema virus. Insiden
eksantema virus tidak diketahui namun untuk herpes simpleks saja, insiden per tahun dapat
mencapai 5,1 per 1000 anak terinfeksi. Enteroviral dan adenoviral adalah eksantema virus
terbanyak di Amerika Serikat. Semua virus dapat menimbulkan eksantema.
Reaksi kulit nonspesifik terhadap infeksi virus adalah yang tidak menunjukkan distribusi
klasik, morfologi lesi yang unik, enantema yang berkaitan ataupun kompleks gejala yang
menyertainya. Sebaliknya, beberapa kelainan menunjukkan eksantema yang klasik, seperti
morbili, rubella, atau eritema infeksiosum. Penyebab eksantema yang tidak spesifik kebanyakan
tidak dapat dipastikan pada akhir perjalanan penyakitnya.
Penderita infeksi virus mungkin menunjukkan gejala penyerta seperti demam, nyeri
kepala, malaise, gangguan pernapasan, gangguan pencernaan, dan sebagainya. Pembedaan
terhadap erupsi obat sering sukar dilakukan dan hal ini diperburuk dengan peresepan

antimikroba. Gejala penyerta, waktu munculnya erupsi, dan riwayat pemakaian obat sangat
membantu menegakkan diagnosis.
Lesi kulit pada eksantema virus yang tidak khas biasanya terdiri dari makula atau papula
eritematus yang blanchable, yang tersebar difus di tubuh dan ekstremitas. Presentasi yang
lebih jarang meliputi bentuk vesikular, pustular, urtikarial, maupun skarlatiniformis. Purpura jarang
ditemukan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan eksantema virus pada musim panas
disebabkan oleh kelompok enterovirus sedangkan yang timbul pada musim dingin disebabkan
oleh virus saluran pernapasan.
Eritema infeksiosum disebabkan oleh parvovirus B19. Adenovirus tipe 1, 2, 3, 4, 7, dan
7a telah diisolasi dari anak-anak dan remaja dengan eksantema. Fukumi dan kawan-kawan
menemukan ruam muncul pada sekitar 2% dari infeksi adenovirus. Hope-Simpson dan Higgins
menemukan angka yang lebih tinggi, 8%.
Enam spesies virus herpes manusia mempunyai manifestasi kulit dengan derajat klinik
yang berbeda-beda. Hampir semua cacar air berhubungan dengan eksantema. Di lain pihak,
infeksi CMV jarang ditandai dengan eksantema. Infeksi virus Epstein-Barr menunjukkan
eksantema antara 3-100%, tergantung dari paparan terhadap ampisilin. Kurang dari 10% infeksi
primer dengan herpes simpleks berhubungan dengan manifestasi kulit. Eritema multiforme sering
muncul pada infeksi herpes simpleks yang rekuren. HHV-6 dan 7 merupakan penyebab roseola
infantum.
Enterovirus dewasa ini merupakan penyebab terbanyak penyakit eksantematus. Di lain
pihak, poxvirus jarang menimbulkan eksantema. Manifestasi klinik enterovirus bervariasi. Pada
infeksi Coxsackie A16 dan echovirus 9 ruam mungkin didapatkan pada 50% penderita. Hanya
sekitar 15% penderita echovirus 4 yang memiliki eksantema. Angka untuk echovirus 6 jauh lebih
rendah lagi. Hope-Simpson dan Higgins menemukan eksantema pada hanya sekitar 5%
penderita infeksi rhinovirus. Tabel berikut memuat daftar eksantema yang disebabkan oleh
enterovirus.
Tabel 2. Eksantema yang Disebabkan oleh Enterovirus
PENYEBAB

PENYAKIT

Coxsackie group A1-A24


Coxsackie group B1-B6
Echovirus 1-34
Enterovirus 68-72

Aseptic meningitis

Coxsackie A16, A5, A10

Hand-foot-mouth disease

Coxsackie group A
Other enterovirus

Herpangina

Sumber:
Mancini AJ. Skin infections and exanthems. Dalam: Rudolph CD, Rudolph AM, Hostetter MK, Lister G, Siegel NJ, editor. Rudolphs
pediatrics. Edisi kedua puluh satu. Mc-Graw Hill. New York, 2002; 1217-31.

Dari famili Togaviridae, rubella adalah yang terpenting. Beberapa alphavirus juga dapat
menimbulkan eksantema. Setiap virus mempunyai kekhususan wilayah geografis. Hal serupa
juga terjadi pada flavivirus, termasuk dengue. Eksantema biasanya bukan tanda infeksi influenza,
sekalipun penelitian menemukan angka 1-8%. Dari famili Paramyxoviridae, campak adalah yang
terpenting. Eksantema juga sering ditemukan pada infeksi parainfluenza tipe 1-3 dan RSV,
terutama pada bayi muda. Infeksi virus mumps jarang menimbulkan ruam eksantematus.
Hepatitis B adalah penyebab utama Sindroma Gianotti-Crosti pada anak. Eksantema juga bisa
ditemukan pada infeksi virus Lassa, Marburg, dan tentu saja- HIV-1.
Tabel berikut memuat deskripsi berbagai infeksi virus yang menimbulkan demam dan
ruam pada anak.

Tabel 3a. Eksantema pada Infeksi Virus yang Umum menurut Lembo (1)
PENYAKIT

PENYE
BAB

UMUR

MU
SIM

TRANS
MISI

INKU
BASI

PRODROMAL

GAMBARAN DAN
STRUKTUR RUAM

ENAN
TEMA

KOMPLIKASI

PREVENSI

KOMENTAR

Makulopapular
(konfluen), mulai dari
wajah, menyebar ke
tubuh; 3-6 hari;
menjadi coklat;
deskuamasi halus;
toksik, tampak tidak
nyaman, fotofobia;
ruam mungkin tidak
muncul pada infeksi
HIV
Diskrit, nonkonfluen,
makula dan papula
berwarna merah
muda, dimulai dari
wajah dan menyebar
ke bawah; 1-3 hari

Kopliks
spot pada
mukosa
bukal
sebelum
ruam

Kejang demam,
otitis,
pneumonia,
ensefalitis,
laringotrakeitis,
trombositopenia;
SSPE yang
tertunda

Umum: vaksin
campak 12-15 bulan,
dan ulangan pada 12
tahun; Paparan:
vaksin campak jika
dalam 72 jam:
globulin serum jika
dalam 6 hari (lalu
menunggu 5-6 bulan
untuk vaksinasi)

Laporan
kesehatan
masyarakat;
laporan epidemi;
menular 3 hari
sebelum muncul
gejala sampai 4
hari setelah ruam

Berbagai
makula
eritematus
pada
palatum
molle

Artritis,
trombositopenia,
ensefalopati,
embriopati fetal

Umum vaksin rubella


12-15 bulan dan
ulangan pada 12
tahun; Paparan:
kemungkinan globulin
serum

Kejang demam
tunggal atau
beerulang;
sindroma
hemofagositik;
ensefalopati;
penyebaran
pada pasien
imunokomproma
is
Artritis, krisis
aplastik pada
pasien anemia
hemolitik kronik,
hidrops anemia
pada fetus,
vaskulitis,
granulomatosis
Wegener

Tidak ada

Laporan
kesehatan
masyarakat;
laporan epidemi,
menular 2 hari
pra gejala dan 57 hari pasca
ruam
Tidak ada
epidemi

Measles

Virus
campak

Bayi,
remaja

Dingin,
semi

Droplet
pernapas
an

10-12

Demam tinggi,
batuk, pilek,
konjungtivitis, 24 hari

Rubella
(German
measles,
minor
measles)

Virus
rubella

Bayi,
dewasa
muda

Dingin,
semi

Droplet
pernapas
an

14-21

Malaise, demam
tidak tinggi,
pembesaran
kelenjar leher,
belakang telinga,
dan oksipital; 0-4
hari

Roseola
(exanthema
subitum)

HHV 6
dan 7

Bayi (6
bulan-2
tahun)

Semu
a

Tidak
diketahui
; saliva
atau
karier
tanpa
gejala

5-15
(?)

Rewel, demam
tinggi, 3-4 hari,
pembesaran
kelenjar servikal
dan oksipital

Makula diskrit pada


tubuh dan leher; ruam
mendadak timbul lalu
menghilang; 0,5-2
hari; beberapa pasien
tanpa ruam

Berbagai
makula
eritematus
pada
palatum
molle

Fifth disease
(erythema
infectiosum)

Parvoviru
s B19

Prepuber
tal, guru
sekolah

Dingin,
semi

Droplet
pernapas
an;
transfuse
darah;
plasenta

5-15

Nyeri kepala,
malaise, mialgia,
sering demam

Eritema lokal pada


pipi (slapped cheek);
eritema merah muda
pada tubuh dan
ekstremitas; mungkin
gatal; ruam mungkin
tertunda masa
prodromal hingga 3-7
hari; berlangsung 2-4
hari; dapat berulang
2-3 minggu kemudian

Tidak ada

Isolasi pasien dengan


krisis aplastik namun
tidak pasien normal
dengan fifth disease

Laporan epidemi;
sekali ruam
muncul, host
normal tidak
menular; pasien
dengan krisis
aplastik sering
tidak
menunjukkan
ruam

Tabel 3b. Eksantema pada Infeksi Virus yang Umum menurut Lembo (2)
PENYAKIT

PENYE
BAB

Chickenpox
(varicella)

Virus
varicellazoster

Enteroviruse
s

Coxsacki
evirus,
ECHOvir
us, dan
lain-lain

UMUR

MU
SIM

TRANS
MISI

INKU
BASI

1-14
tahun

Akhir
musim
gugur,
dingin,
awal
semi

Droplet
pernapas
an

12-21

Bayi,
young
children

Panas,
gugur

Fekaloral

4-6

PRODROMAL

GAMBARAN DAN
STRUKTUR RUAM

ENAN
TEMA

KOMPLIKASI

PREVENSI

KOMENTAR

Demam

Papula pruritik,
vesikel dengan
berbagai derajat; 2-4
tumbuh, kemudian
menjadi krusta;
tersebar pada tubuh
dan kemudian wajah
dan ekstremitas; 7-10
hari; terulang
beberapa tahun
kemudian mengikuti
distribusi dermatomal
(zoster, shingles)

Mukosa
mulut, lidah

Infeksi kulit
stafilokokus atau
streptokokus,
artritis, serebelar
ataxia,
ensefalitis,
trombositopenia,
sindroma Reye
(dengan aspirin),
miokarditis,
nefritis, hepatitis,
pneumonia,
embriopati fetal,
diseminasi pada
pasien
imunokomproma
is

VZIG untuk pasien


imunokompromais
yang terpapar, wanita
hamil yang suseptibel,
neonatus preterm,
dan bayi yang ibunya
mengalami varicella 5
hari sebelum sampai
2 hari sesudah lahir;
imunisasi aktif
mungkin dengan
vaksin hidup
dilemahkan

Asiklovir pada
pasien
imunokompromai
s dan mungkin
pasien normal
(kontroversial);
menular 1-2 hari
sebelum ruam
dan 5 hari
setelah ruam
(biasanya tidak
lagi menular
ketika semua lesi
menjadi krusta
dan tidak ada
lesi baru muncul)

Bervariasi;
rewel, demam,
nyeri tenggorok,
mialgia, nyeri
kepala

Tangan-kaki-mulut:
vesikel di lokasi
tersebut; Yang lain:
tidak spesifik,
biasanya halus,
nonkonfluen, ruam
makular atau
makulopapular, jarang
petekie, urtikaria, atau
vesikel; berlangsung
3-7 hari

Ya

Meningitis
aseptik,
hepatitis,
miokarditis,
pleurodinia,
paralisis:
biasanya pada
pasien yang
lebih muda

Tidak ada

Ruam mungkin
muncul dengan
demam atau
setelah
deferfesen; ruam
mungkin muncul
pada <50%
penyakit virus;
epidemi mungkin
terjadi, menular
hingga 2 minggu

Sumber:
Lembo RM. Fever and rash. Dalam: Kliegman RM, Greenbaum LA, Lye PS, editor. Practical strategies in pediatric diagnosis and therapy. Edisi kedua. Elsevier Saunders. Philadelphia, 2004; 997-1015.

Tabel 3c. Eksantema pada Infeksi Virus yang Umum menurut Lembo (3)
PENYAKIT

PENYE
BAB

Mononucleos
is

Virus
EpsteinBarr

Sindroma
GianottiCrosti
(popular
acrodermatiti
s of
childhood)

Virus
hepatitis
NB,
EpsteinBarr, dan
lain-lain

UMUR

MU
SIM

TRANS
MISI

INKU
BASI

PRODROMAL

GAMBARAN DAN
STRUKTUR RUAM

ENAN
TEMA

KOMPLIKASI

Anakanak,
remaja

Semu
a

Kontak
dekat;
saliva,
transfusi
darah

1-6 tahun

Semu
a

Bervarias
i; fekal,
seksual,
produk
darah
(hepatitis
B)

PREVENSI

KOMENTAR

28-49

Demam,
adenopati,
edema palpebra,
nyeri tenggorok,
hepatosplenome
gali, malaise,
limfositosis

Makulopapular atau
morbiliformis pada
tubuh dan
ekstremitas, mungkin
konfluen; sering
dipicu pemberian
ampisilin atau
alopurinol; ruam pada
15-50% berbetuk
drug-induced;
berlangsung 2-7 hari

Bervariasi

Anemia,
trombositopenia,
anemia aplastik,
hepatitis; jarang:
sindroma
hemofagositik,
sindroma
limfoproliferatif

Tidak ada

CMV dan
toksoplasmosis
juga
menghasilkan
penyakit seperti
mononukleosis;
hasil tes
monospot dan
heterofil negatif

Tak
diketa
hui; 5180
hari
(hepati
tis B)

Biasanya tidak
ada, kecuali
pada penyakit
virus spesifik;
artritis-artralgia
untuk hepatitis B

Papula,
papulovesikel, diskrit
atau konfluen; wajah,
lengan, ekstremitas,
sering pada tubuh
juga; 4-10 hari

Bervariasi

Seperti penyakit
spesifiknya

Hepatitis B: HBIG dan


vaksin

Sumber:
Lembo RM. Fever and rash. Dalam: Kliegman RM, Greenbaum LA, Lye PS, editor. Practical strategies in pediatric diagnosis and therapy. Edisi kedua. Elsevier Saunders. Philadelphia, 2004; 997-1015.

Infeksi Bakteri
Ekspresi klinis infeksi bakteri yang mempunyai manifestasi kulit sangat bervariasi.Infeksi
stafilokokus phage grup II pada bayi muda akan ditandai ruam sedangkan pada dewasa jarang
menimbulkan penyakit. Infeksi S. pneumoniae jarang ditandai eksantema. Infeksi N. meningitidis
hampir selalu ditandai dengan eksantema.
Sekalipun jumlah kasus tidak sebanyak eksantema virus, penyakit demam dan ruam
yang disebabkan oleh bakteri memegang peran penting mengingat kemungkinan derajat
beratnya penyakit serta tersedianya terapi definitif.
Deskripsi beberapa infeksi bakteri yang menimbulkan demam dan ruam pada anak
dipaparkan pada beberapa tabel berikut ini.
Infeksi Jamur dan Protozoa
Prosentase terbesar penyebab utama penyakit yang ditandai dengan demam dan ruam
pada anak adalah infeksi virus dan bakteri. Mikroorganisma lain yang mampu menimbulkan
demam dan ruam adalah infeksi jamur, protozoa, cacing, klamidia, rickettsia, dan mycoplasma,
Deskripsi infeksi jamur dan protozoa terurai dalam beberapa tabel yang melengkapi
uraian ini.

Tabel 4a. Eksantema pada Infeksi Bakteri yang Umum menurut Lembo (1)
PENYA
KIT

PENYE
BAB

UMUR

MUSIM

TRANS
MISI

INKU
BASI

PRO
DROMAL

GAMBARAN DAN
STRUKTUR RASH

ENAN
TEMA

KOMPLI
KASI

PREVENSI

KOMENTAR
Ruam yang sama
pada
Arcanobacterium
haemolyticum pada
remaja;
streptococcus gup
A dapat juga
memproduksi syok
toksik atau
sindroma syok
bakteriemik yang
sebenarnya,
sebagai tambahan
selulitis, limfangitis,
atau erisipelas; S
aureus bisa
memproduksi ruam
skarlatiniform

Scarlet
fever

Group A
streptoco
ccus

Usia
seko
lah

Musim
gugur,
dingin,
semi

Kontak
langsung,
droplet

1-4

Nyeri
tenggoro
kan, nyeri
kepala,
nyeri perut,
pembesa
ran kelenjar
leher,
demam, 0-2
hari, onset
akut

Eritema difus
seperti sandpaper
pada perabaan,
dan tampilan goose
flesh; aksentuasi
eritema pada
lipatan fleksural
(garis pastia);
kepucatan
sekeliling mulut,
selama 2-7 hari,
bisa mengalami
eksfoliasi

Petekiae di
palatum,
lidah
strawberry

Abses
peritonsilar,
demam
reuma,
glomerulon
efritis

Cegah
demam reuma
dengan
penisilin
dalam 10 hari
onset
faringitis; obati
dengan
penisilin

Scalded
skin
syndrome

S aureus
producing
exfoliative
toxin

Neona
tus
dan
bayi

Semua

Kolonisasi,
kontak

Tak
diketahui

Tidak ada

Onset mendadak,
eritroderma yang
tender menuju
bulla flaksid yang
difus;
pengelupasan
sekitar mulut dan
hidung yang nyata,
eksfoliasi difus
(tanda Nikolsky),
demam,
konjungtivitis,
hidung berair

Tidak
umum

Syok

Obati dengan
nafsilin iv atau
vankomisin
jika MRSA

Toxic
shock
syndrome

S aureus
producing
toxic shock
syndrome
toxins

Biasa
nya
remaja
putri

Semua

Kolonisasi,
kontak

Bervaria
si, umum
nya 1-5

Myalgia,
mendahului
croup virus
atau
pneumonia
jika bifasik;
mungkin
sekunder
setelah
infeksi luka

Eritroderma difus
menyerupai
sunburn; hipotensikemungkinan
ortostatik, diare,
tmesis,
kebingungan;
deskuamasi pada
tahap akhir

Konjungti
vitis

Syok,
disfungsi
multi organ,
SIRS

Nafsilin iv atau
vankomisin
jika resisten,
klindamisin
plus cairan iv,
dopamine,
kemungkinan
IVIG, steroid;
cegah dengan
pergantian
tampon
berulang

Tabel 4b. Eksantema pada Infeksi Bakteri yang Umum menurut Lembo (2)
PENYA
KIT

PENYE
BAB

UMUR

MUSIM

TRANS
MISI

Meningoco
ccemia

N
meningitidis

Semu
a ( <5
thn)

Dingin,
semi,
mengikut
i epidemi
influenza

Kontak
dekat yang
lama

Rocky
Mountain
spotted
fever

R rickettsii

Semu
a (>5
thn)
Laki >
Perem
puan

Panas

Rickettsial
pox

R akari

Semu
a

Semua

INKU
BASI

PRO
DROMAL

GAMBARAN DAN
STRUKTUR RASH

ENAN
TEMA

KOMPLI
KASI

PREVENSI

KOMENTAR

5-15

Demam,
malaise,
mialgia, 110 hari

Eritematus,
nonkonfluen, papul
diskrit (awal);
petekie, purpura,
ekimosis pada
tubuh, ekstremitas,
telapak tangan dan
kaki

Petekie

Syok,
meningitis,
perikarditis,
artritis,
endoptalmiti
s, gangren,
DIC

Kontak:
rifampisin;
Umum:
vaksin, obati
dengan
ceftriakson,
cefotaksim,
penisilin (jika
sensitif)

N gonorrhoeae,
pneumococcus, H
influenzae type b,
streptococcus grup
A dapat
memproduksi
manifestasi klinik
serupa

Karier ticks

3-12

Demam,
mialgia,
nyeri
kepala,
malaise,
tampak
sakit, 2-4
hari

Makulopapular
awal, kemudian
petekie atau
purpura (jarang);
pada ekstremitas,
telapak tangan dan
kaki, tubuh

Petekie
bervariasi

Syok,
miokarditis,
ensefalitis,
pneumonia

Lepaskan
ticks sesegera
mungkin;
gunakan
repelen tick;
obati dengan
doksisiklin

Ehrlichia
chaffeensis dan
rickettsiae lainnya
dapat
memproduksi
penyakit yang
serupa dengan
atau tanpa ruam

Mite
penghisap
darah

7-14

Demam,
menggigil,
nyeri
kepala,
malaise, 47 hari

Pada lokasi gigitan


primer, eskar,
papulovesikel
sekunder pada
derajat yang sama
sepanjang masa
sakit; vesikel lebih
sedikit daripada
cacar air (5-30);
pada tubuh dan
ekstremitas
proksimal

Tidak
diketahui

Biasanya
tidak ada

Obati dengan
doksisiklin

Sering
dibingungkan
dengan cacar air;
mungkin lebih
banyak dari yang
diduga, terutama
pada daerah kota
yang padat dengan
perumahan yang
buruk

Sumber:
Lembo RM. Fever and rash. Dalam: Kliegman RM, Greenbaum LA, Lye PS, editor. Practical strategies in pediatric diagnosis and therapy. Edisi kedua. Elsevier Saunders. Philadelphia, 2004; 997-1015.

Tabel 5. Infeksi Jamur dengan Manifestasi Kulit


AGEN

PENYAKIT

KARAKTER KLINIK

EKSANTEMA
LESI

DISTRIBUSI

Dermatophytic fungi

Tinea capitis, tinea cruris, tinea


pedis, tinea circinata

Lesi makulopapular, terlokalisir,


kecoklatan yang kemudian
menjadi scaly; eritema nodosum

Candida albicans

Congenital cutaneous candidiasis

Infeksi congenital

Lesi vesicular diskrit

General

Chronic mucocutaneous
candidiasis

Penyakit imunodefisiensi

Lesi eksudatif, eritematus,


konfluen

General, termasuk skalp

Lesi kemerahan konfluen

Paling sering pada daerah popok

Lesi nodular eritematus

General

Acquired candidiasis
Infeksi oportunistik berat
Systemic candidiasis
Infeksi pernapasan primer
Histoplasma capsulatum

Histoplasmosis

Eritema nodosum, eritema


multiforme, eritematus,
makulopapular

Cryptococcus neoformans

Cryptococcosis

Infeksi pernapasan primer

Eritema nodosum, erupsi bentuk


akne

Coccidioides immitis

Coccidioidomycosis

Infeksi pernapasan primer

Awalnya ruam makulopapular


eritematus. Kemudian menjadi
eritema multiforme dan eritema
nodosum

Ruam makulopapular, general

Sporotrichum schenckii

Sporotrichosis

Inokulasi kutan

Lesi nodular yang kemudian


mengalami ulserasi

Biasanya tangan, lengan, dan


paha

Blastomyces dermatidis

Blastomycosis

Infeksi pernapasan primer

Lesi nodular yang kemudian


mengalami ulserasi. Eritema
nodosum.

Sumber:
Cherry JD. Cutaneous manifestations of systemic infections. Dalam: Feigin R, Cherry JD, editor. Textbook of pediatric infectious diseases. Volume 1. Edisi ketiga. WB Saunders Company. Philadelphia, 1992;
755-82.

10

Tabel 6a. Manifestasi Kulit pada Infeksi Protozoa dan Cacing (1)
AGEN

PENYAKIT

MANIFESTASI KULIT

Plasmodium spp.

Malaria

Kadang urtikaria umum pada infeksi kronis

Toxoplasma gondii

Acquired toxoplasmosis

Kadang ruam makulopapular, eritematus, umum

Congenital toxoplasmosis

Ruam petekial umum

Giardia lamblia

Giardiasis

Jarang urtikaria

Entamoeba histolytica

Amebiasis

Jarang urtikaria

Leishmania tropica

Oriental sore

Lesi nodular merah yang mengalami ulserasi, berlangsung


2-3 bulan

Leishmania braziliensis and mexicana

American cutaneous leishmaniasis

Lesi papular eritematus yang mengalami vesikulasi dan


ulserasi

Trypanosoma gambiense

African trypanosomiasis

Lesi nodular merah pada lokasi gigitan, diikuti rash pruritik,


luas, seperti eritema multiforme

Trypanosoma cruzi

American trypanosomiasis; Chagas disease

Lesi nodular pada sisi gigitan. Ruam makulopapular luas,


rekuren, eritematus.

Trichomonas vaginalis

Vulvovaginalis

Jarang urtikaria, eritema multiforme

Ascaris lumbricoides

Roundworm infestation

Eritema nodosum

Enterobius vermicularis

Pinworm infestation

Jarang urtikaria

Necator americanus

Hookworm disease

Papula dan papulovesikel pada permukaan terpapar


(kaki). Urtikaria luas

Trichinella spiralis

Trichinosis

Sering urtikaria. Ruam makulopapular umum bisa timbul.


Petekie sering muncul

Sumber:
Cherry JD. Cutaneous manifestations of systemic infections. Dalam: Feigin R, Cherry JD, editor. Textbook of pediatric infectious diseases. Volume 1. Edisi ketiga. WB Saunders Company. Philadelphia, 1992;
755-82.

11

Tabel 6b. Manifestasi Kulit pada Infeksi Protozoa dan Cacing (2)
AGEN

PENYAKIT

MANIFESTASI KULIT

Strongyloides stercoralis

Strongyloidiasis; creeping eruption (cutaneous larva


migrans)

Lesi makulopapular eritematus pada kaki. Creeping


eruption.

Ancylostoma braziliense

Creeping eruptions (cutaneous larva migrans)

Creeping eruption

Schistosoma haematobium, mansoni and japonicum

Schistosomiasis

Erupsi papular pruritik di tempat paparan; urtikaria general;


lesi granulomatus

Trichobilharzia acellata, physellae, and stagnicolae

Swimmerss itch; collectors itch

Awalnya eritema dan urtikaria, diikuti papula dan


vesikulasi; pruritik

Wuchereria bancrofti

Filariasis

Eritema terlokalisir; urtikaria; eritema nodosum

Onchocerca volvulus

Onchocerciasis

Ruam scaly, papular, kronik

Echinococcus granulosus and multilocularis

Echinococcosis

Urtikaria berulang

Sumber:
Cherry JD. Cutaneous manifestations of systemic infections. Dalam: Feigin R, Cherry JD, editor. Textbook of pediatric infectious diseases. Volume 1. Edisi ketiga. WB Saunders Company. Philadelphia, 1992;
755-82.

12

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Sering diagnosis pasti demam dan ruam pada anak sulit ditegakkan. Banyak tenaga
kesehatan hanya menyebutkan campak dan atau cacar air sebagai diagnosis final tanpa
melakukan evaluasi lebih lanjut.
Penegakan diagnosis perlu memperhitungkan beberapa faktor penting, termasuk
penyakit non infeksi. Karena umumnya anak dengan demam dan ruam akut mempunyai
gambaran umum yang serupa yang terjadi pada banyak penyakit yang akan sembuh dengan
sendirinya, penegakan diagnosis sering dapat dilakukan hanya dengan mengamati pola penyakit
semata-mata (misalnya dengan pengenalan visual eksantema yang timbul) atau dengan
menggunakan tes laboratorium yang minimal (misalnya ruam yang konsisten dengan demam
skarlatina diikuti tes aglutinasi lateks untuk streptokokus grup A yang positif). Sekalipun demikian,
spektrum penyakit infeksi begitu luas sehingga keluhan maupun tanda yang didapatkan
kebanyakan sangat tidak khas dan pengamatan pola tidak cukup untuk menegakkan diagnosis.
Dalam hal ini diperlukan penggunaan tes laboratorium.
Penelitian dengan serangkaian tes spesifik (kultur streptokokus, serologi untuk rubella,
campak, hepatitis A dan B, Epstein-Barr, parvo, dan M. pneumoniae) dapat menemukan
diagnosis dari 65% kasus dengan lesi eksantematus menyeluruh yang tidak dapat dipastikan
hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja.
Keputusan klinik jelas berada di tangan para klinisi untuk sekedar menunggu dan
mengamati perjalanan sakit, melakukan serangkaian pemeriksaan ketika pasien dinyatakan
berada dalam resiko morbiditas yang signifikan (namun pengobatan tersedia), ataupun lebih
tinggi dari itu- melakukan upaya diagnosis dan penatalaksanaan segera untuk kasus yang
nampak toksik, ditandai perubahan status mental, tanda vital yang tidak stabil, atau menunjukkan
komponen petekial dan purpurik.
Pendekatan diagnosis untuk anak dengan ruam petekial dan atau purpurik meliputi
anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik menyeluruh, serta beberapa pemeriksaan tambahan
sesuai indikasi, seperti darah lengkap, profil koagulasi, kultur darah, tenggorok, dan analisa
cairan spinal.
Anamnesis
Anamnesis yang lengkap dan terarah sangat penting dalam membatasi diagnosis
banding yang dipikirkan setiap kali menghadapi penderita demam dan ruam pada anak.
Pertanyaan menyangkut ruam secara mendetail merupakan kunci yang harus didahulukan.
Paparan terhadap penyebab infeksi, riwayat penyakit sebelumnya, pengobatan yang diterima,
dan riwayat sosial sering memberikan petunjuk diagnosis yang berharga.
Berhati-hatilah bahwa dalam anamnesis dapat muncul petunjuk yang menipu ke arah
diagnosis yang keliru. Pemeriksaan setelah anamnesis, yang dilakukan dengan teliti, akan
membuka keadaan pasien lebih mendetail dan menampilkan dianosis banding yang lebih
objektif.
Sebagian besar penyakit eksantema akut memberikan kekebalan seumur hidup. Dengan
demikian, jika dalam anamnesis ditemukan riwayat menderita penyakit tersebut sebelumnya,
kemungkinan terulangnya penyakit yang sama dapat disingkirkan. Namun hal ini tentu
bergantung pada daya ingat orang tua serta ketepatan diagnosis di masa lalu.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis. Dimulai dari keadaan umum dan tanda
vital, pemeriksaan kemudian dilanjutkan pada status tiap organ secara umum, dan akhirnya
mengamati ruam dengan seksama. Menurut Garg dan kawan-kawan (2008) ada 3 hal penting
menyangkut ruam yang harus bisa ditentukan yaitu : warna, konsistensi dan feel of lesion, serta
komponen anatomi dari kulit yang terlibat (epidermal, dermal, subkutan, atau kombinasi)
Tabel di halaman berikut memuat rincian pemeriksaan fisik yang penting untuk dikerjakan
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa jenis pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk menegakkan
diagnosis juga tercantum dalam tabel.

13

Tabel 7. Pemeriksaan Fisik Penderita dengan Demam dan Ruam


NO

PEMERIKSAAN

Tanda vital

Keadaan umum

3
4
5
6
7
8

Pembesaran kelenjar dan lokasi


Lesi konjungtiva, mukosa, dan genital
Pembesaran hepar dan lien
Artritis
Nuchal rigidity atau disfungsi neurologis
Gambaran ruam
Tipe :

Diskrit atau uniform


Deskuamasi
Konfigurasi atau lesi individual :
Susunan lesi :
Pola distribusi dan lokasi :
Lokasi :
9

Enantema yang berhubungan

10

Temuan lain yang berhubungan ( terisolir


maupun dalam klaster )

11

Pemeriksaan fisik umum lainnya

KETERANGAN
Suhu, terutama tingginya demam
Nadi
Respirasi
Tekanan darah
Sadar
Tampak sakit - akut
Tampak sakit kronis
Tampak toksik

Makular
Papular
Makulopapular
Petekiae atau purpura
Eritroderma difus :
Penekanan pada flexural crease
Deskuamasi dengan stroking (Nikolsky sign)
Eritroderma terlokalisir :
Expansile
Nyeri
Urtikaria
Vesikula, pustula, bulla
Nodul
Ulcer
annular ; iris; arciform; linear; bulat; umbilicated
zosteriform; linear; tersebar; terisolasi; berkelompok
area terpapar ; sentripetal atau sentrifugal
umum atau terlokalisir
simetris atau asimetris
daerah fleksor, ekstensor, sela jari, telapak tangan
dan kaki, dermatomal, area terekspose, dsb
Mukosa buccal
Palatum
Faring dan tonsil
Okular
Kardiak
Pulmonary
Gastrointestinal
Musculoskeletal
Reticuloendothelial
Neurologis

Sumber:
Garg A, Levin NA, Bernhard JD. Structure of skin lesions and fundamentals of clinical diagnosis. Dalam: Wollf K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ketujuh. Mc-Graw Hill Medical. New York,
2008; 23-40.
Lembo RM. Fever and rash. Dalam: Kliegman RM, Greenbaum LA, Lye PS, editor. Practical strategies in pediatric diagnosis and therapy.
Edisi kedua. Elsevier Saunders. Philadelphia, 2004; 997-1015.
Sanders CV. Approach to the diagnosis of the patient with fever and rash. Dalam: Sanders CV, Nesbitt LT, editor. The skin and infection.
Williams & Wilkins. Baltimore, 1995; 296-304.

14

Tabel 8. Beberapa Pemeriksaan Penunjang untuk Demam dan Ruam


TES

APLIKASI

Umum : darah lengkap, urinalisis, kimia klinik

Tidak spesifik

Aspirat lesi kulit : pengecatan Gram dan kultur

Sangat membantu pada lesi pustular atau


petekial. Positif hingga 50% pada kasus
meningococcemia akut

Biopsi

Infeksi jamur, penyakit granulomatous, vaskulitis


Imunofluoresen : Rocky Mountain spotted fever
(RMSF), SLE

Kultur dari sumber lain :


Darah
Hapus tenggorok / rektum
Tenggorok, rektum, uretra, cervix, sendi

Semua kasus bakteremia dan sebagian fungemia


Infeksi virus
Infeksi gonokokal yang menyebar

Tes serologis

Infeksi streptokokal dan rickettsial, infeksi


spiroketal ( sifilis, leptospirosis, Lyme ),
mikoplasma, infeksi jamur ( kriptokokosis,
koksidioidomikosis ), infeksi virus ( hepatitis B,
Epstein-Barr, CMV, campak, adenovirus ),
trichinosis, SLE

Pengecatan Wright atau Giemsa dari cairan


vesikular

Infeksi virus herpes ( multinucleated giant cell )

Sumber:
Sanders CV. Approach to the diagnosis of the patient with fever and rash. Dalam: Sanders CV, Nesbitt LT, editor. The skin and infection.
Williams & Wilkins. Baltimore, 1995; 296-304 (Modified from Stein JH, ed. Internal medicine. 4 th ed. St. Louis; Mosby, 1994; 1854)
Garg A, Levin NA, Bernhard JD. Structure of skin lesions and fundamentals of clinical diagnosis. Dalam: Wollf K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ketujuh. Mc-Graw Hill Medical. New York,
2008; 23-40.

ALGORITMA DIAGNOSIS
Beberapa pakar mengemukakan algoritma dalam diagnosis dan penatalaksanaan anak
dengan demam dan ruam. Algoritma tersebut menggunakan beberapa pendekatan yang berbeda
sekalipun dengan dasar teori yang serupa.
Beberapa kemungkinan dalam mendiagnosis harus selalu diperhitungkan. Anamnesis
yang lengkap, pemeriksaan fisik yang cermat, serta pemeriksaan penunjang sesuai kebutuhan
pada umumnya cukup untuk membuat diagnosis. Sekalipun demikian, pada sebagian kasus
masih diperlukan pengamatan penyakit untuk beberapa saat serta evaluasi terhadap hasil
pengobatan.

15

Adapted from : Prince A.


Infectious diseases. In:
Behrman RE, Kliegman RM
(eds). Nelson Essentials of
Pediatrics, 3rd ed.
Philadelphia. WB Saunders
1998: 317

FEVER AND RASH


History and
physical
examination

Petechial or
purpuric rash

Macular or
maculopapular
rash

Appearance
of the rash

CBC with differential


and platelet count
Consider :
Coagulation studies
Blood culture
CSF cytology and
culture

Viruses :
Enterovirus
Congenital rubella
CMV
Atypical measles
HIV
Hemorrhagic fever virus
Hemorrhagic varicella
Bacteria :
Sepsis (meningococcal,
gonococcal, pneumococcal,
Haemophilus influenzae)
Endocarditis
Pseudomonas aeruginosa
Rickettsia
Rocky Mountain spotted fever
Endemic typhus
Ehrlichiosis
Others :
Henoch-Schonlein purpura
Vasculitis
Thrombocytopenia

Viruses :
Roseola ( HHV-6 )
Epstein-Barr virus
Adenovirus
Measles
Rubella
Fifth disease (parvovirus)
Enterovirus
Hepatitis B virus (papular
acrodermatitis)
HIV
Dengue virus
Bacteria :
Mycoplasma pneumoniae
Group A Streptococcus (scarlet
fever)
Arcanobacterium hemolyticus
Secondary syphilis
Leptospirosis
Pseudomonas
Meningococcal infection (early)
Salmonella
Lyme disease
Listeria monocytogenes
Rickettsia :
Early Rocky Mountain spotted fever
Typhus
Ehrlichiosis
Others :
Kawasaki disease
Coccidioides immitis

Diffuse
erythroderma

Bacteria :
Scarlet fever (Group A
streptococcus)
Toxic shock syndrome
(Staphylococcus aureus)
Staphylococcal scarlet fever

Other rashes

Staphylococcal scalded skin


Fungi (Candida albicans)

Gambar 1a. Algoritma untuk Demam dan Ruam menurut Pomeranz dkk (1)
Sumber:
Pomeranz AJ, Busey SL, Sabnis S, Behrman RE, Kliegman RM. Pediatric decision-making strategies to accompany Nelson textbook of pediatrics.
Edisi keenam belas. WB Saunders Company. Philadelphia, 2002; 224-9.

16

Adapted from : Prince A.


Infectious diseases. In:
Behrman RE, Kliegman RM
(eds). Nelson Essentials of
Pediatrics, 3rd ed.
Philadelphia. WB Saunders
1998: 317

Viruses :
Epstein-Barr virus
Hepatitis B virus
HIV
Enteroviruses
Bacteria :
Mycoplasma pneumoniae
Group A streptococcus
Shigella
Meningococcus
Yersinia
Others :
Parasites
Insect bites
Drug reaction

Urticarial rash

Vesicular,
bullous,
pustular rash

Consider :
Gram stain and
culture of the lesion
Tzanck preparation
PCR testing

FEVER
AND RASH
(continued)

Erythema
nodosum

Distinctive
rashes

Consider :
Streptococcal culture
or antigen detection
tests
Hepatitis B serology
PPD (tuberculous skin
test)
Chest X-ray

Viruses :
Herpes simplex
Varicella zoster
Coxsackie virus A and B
ECHO (enteric cytopathogenic
human orphan) virus
Bacteria :
Staphylococcal scalded skin syndrome
Staphylococcal bullous impetigo
Group A streptococcus impetigo
Others :
Toxic epidermal necrolysis
Erythema multiforme (Stevens-Johnson
syndrome)
Rickettsial pox

Viruses :
Epstein-Barr virus
Hepatitis B
Bacteria :
Group A streptococci
Tuberculosis
Yersinia
Cat-scratch disease
Fungi :
Coccidiomycosis
Histoplasmosis
Others :
Sarcoidosis
Inflammatory bowel disease
Systemic lupus erythematosus
Behcet disease

Ecthyma gangrenosum

Pseudomonas aeruginosa

Erythema chronicum migrans

Lyme disease

Necrotic eschar

Aspergillosis, mucormycosis

Erysipelas rashes

Group A streptococcus

Koplik spots

Measles

Erythema marginatum

Rheumatic fever

Gambar 1b. Algoritma untuk Demam dan Ruam menurut Pomeranz dkk (2)
Sumber:
Pomeranz AJ, Busey SL, Sabnis S, Behrman RE, Kliegman RM. Pediatric decision-making strategies to accompany Nelson textbook of pediatrics.
Edisi keenam belas. WB Saunders Company. Philadelphia, 2002; 224-9.

17

TERAPI
Menurut Lembo (2004), pengobatan anak dengan demam dan ruam meliputi petunjuk
antisipatif dan intervensi spesifik.
Petunjuk antisipatif sudah cukup pada pasien yang dapat diidentifikasi dengan jelas,
penyakitnya akut, dapat sembuh sendiri, dan berupa infeksi yang noninvasif. Orang tua perlu
diberi tahu mengenai lamanya sakit, perubahan klinis yang diharapkan, potensi komplikasi, dan
cara pengenalannya, serta kapan waktu untuk kontrol kembali ke tenaga kesehatan. Surveilans
aktif untuk mencari komplikasi dapat dilakukan apabila pengasuh pasien diperkirakan tidak terlalu
mampu merawat dengan baik atau bila pasien menunjukkan derajat toksisitas yang lebih tinggi
dari yang diperkirakan sebelumnya.
Intervensi terapeutik bisa suportif, empirik, maupun definitif. Terapi suportif cukup bagi
semua pasien terutama yang saat datang menunjukkan kekacauan homeostasis fisiologis.
Intervensi ini bertujuan mencegah dan mengganti kehilangan cairan, memelihara oksigenasi,
ventilasi dan perfusi yang adekuat, dan mendukung metabolisme melalui stabilitas kadar gula
dalam darah. Untuk sebagian besar pasien pemeliharaan atau penggantian cairan dapat dicapai
dengan rute enteral.
Penggunaan antipiretik perlu dilakukan hati-hati terutama dalam hal pemilihan jenis obat.
Sindrom Reye pernah dilaporkan pada anak dengan eksantema virus yang mengkonsumsi
aspirin. Untuk penderita dengan demam dan ruam yang disebabkan oleh kelainan inflamasi
sistemik (JRA, SLE), NSAID memegang peran penting untuk mengendalikan demam dan
mengatur aktivitas penyakitnya.
Terapi empiris diberikan apabila diagnosis penyakit yang bisa diobati tersebut sejalan
dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas namun konfirmasi untuk diagnosis sangat
terbatas, baik karena tes yang lebih spesifik untuk penyakit itu masih tertunda maupun memang
tidak tersedia tes khusus untuk kelainan tersebut.
Antibiotika dapat diberikan pada pasien dengan infeksi kulit lokal seperti selulitis atau
eritema kronikum migrans, untuk pasien dengan ruam petekial dan atau purpurik yang
diperkirakan mempunyai infeksi invasif atau terhadap pasien yang nampak toksik atau
menunjukkan ketidakstabilan kardiovaskular. Antibiotika yang tepat, agresif, dan segera
diberikan, dibantu pengobatan suportif, akan menjadi penyelamat pada infeksi bakteri invasif
serta staphylococcal exfoliative toxin syndrome pada bayi muda. Antibiotika mungkin juga
berguna pada syok toksik stafilokokal, terutama untuk mengobati infeksi lokalnya dan mencegah
kekambuhan.
Pilihan empiris untuk antibiotika ditentukan oleh usia pasien, dan adanya fokus infeksi
seperti meningitis. Bayi muda (kurang dari 2 bulan) sering terinfeksi streptokokus grup B, batang
enterik gram negatif, dan yang lebih jarang- Listeria monocytogenes dan bakteria berkapsul
seperti S. pneumonia, H. influenzae tipe b, N. meningitidis dan N. gonorrhoeae. Herpes simpleks
menyeluruh dan meningoensefalitis herpes perlu dipertimbangkan pada bayi kurang dari 1 bulan
yang mengalami ruam vesikuler serta bukti laboratoris DIC atau dengan pleiositosis carian spinal
steril. Bayi yang lebih tua, anak, dan remaja lebih sering terkena patogen berkapsul dan genus
salmonella.
Bagi neonatus kombinasi ampisilin dan aminoglikosida, atau yang lebih sering dipakai,
sefalosporin generasi ketiga, nampaknya merupakan terapi empiris yang memadai. Pemberian
asiklovir parenteral perlu dipertimbangkan jika herpes simpleks merupakan salah satu
kemungkinan. Bagi pasien yang lebih tua injeksi parenteral dengan sefalosporin generasi ketiga
sudah memadai. Di daerah yang mengalami peningkatan resistensi S. pneumoniae terhadap
penisilin, penambahan vankomisin merupakan alternatif yang baik.
Pasien dengan penegakan diagnosis melalu pengenalan pola, penemuan kasus,
agregasi sindromik, biopsi atau per eksklusionum mungkin bisa menerima intervensi definitif jika
tersedia. Intervensi definitif tidak selalu menyembuhkan. Oleh karena itu diperlukan peresepan
antibiotika, obat antiinflamasi, atau imunosupresan.
Infeksi streptokokus grup A dan kelainan yang berkaitan dengannya sepeti demam reuma
akut sebaiknya diobati dengan penisilin. Terapi standar untuk faringitis yang berhubungan dengan
demam skarlatina atau demam reumatik akut adalah penisilin oral atau benzatin penisilin
intramuskular. Infeksi herpes simpleks atau virus varicella-zoster bisa diterapi dengan asiklovir

18

oral atau intravena. Keuntungan asiklovir untuk herpes simpleks dan varicella-zoster pada
pejamu yang imunokompeten belum sepenuhnya jelas.
Bagi pasien yang mengalami demam persisten lebih dari 48 jam (10% kasus) atau
rekrudesen, pengulangan IVIG direkomendasikan. Alternatif lain adalah menggunakan
metilprednisolon 30 mg/kg/hari selama 1-3 hari. Pasien yang memerlukan pengulangan terapi
cenderung mempunyai keterlibatan jantung yang lebih besar yang mencakup efusi perikardial,
disfungsi ventrikel, dan ektasia arteri koroner. Sekalipun demikian hasil pengobatan relatif serupa
dengan yang tanpa pengulangan.
BACAAN LANJUT
Anonimous. Pendekatan diagnostik penyakit eksantema akut. Dalam: Soedarmo SPS,
Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, editor. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi kedua.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2002; 100-8.
Belazarian L, Lorenzo ME, Pace NC, Sweeney SM, Wiss KM. Exanthematous viral
diseases. Dalam: Wollf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor.
Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ketujuh. Mc-Graw Hill Medical. New York,
2008; 851-72.
Cherry JD. Cutaneous manifestations of systemic infections. Dalam: Feigin R, Cherry JD,
editor. Textbook of pediatric infectious diseases. Volume 1. Edisi ketiga. WB Saunders Company.
Philadelphia, 1992; 755-82.
Davies EG, Elliman DAC, Hart CA, Nicoll A, Rudd PT. Manual of childhood infections.
Edisi kedua. WB Saunders. London, 2001; 31-5.
El-Radhi AS, Caroll J, Klein N, et al. Fever in common infectious diseases. Dalam: ElRadhi AS, Caroll J, Klein N, editor. Clinical manual of fever in children. Springer-Verlag. Berlin,
2009; 117-21.
El-Radhi AS, Caroll J, Klein N. Differential dignosis of febrile diseases. Dalam: El-Radhi
AS, Caroll J, Klein N, editor. Clinical manual of fever in children. Springer-Verlag. Berlin, 2009;
279-80.
Fisher RG, Boyce TG. Moffets pediatric infectious diseases. A problem oriented
approach. Edisi keempat. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, 2005; 374-412.
Garg A, Levin NA, Bernhard JD. Structure of skin lesions and fundamentals of clinical
diagnosis. Dalam: Wollf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor.
Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ketujuh. Mc-Graw Hill Medical. New York,
2008; 23-40.
Innis BL. Dengue and dengue hemorrhagic fever. Dalam: Porterfield JS, editor. Exotic
viral infections. Chapman & Hall Medical. London, 1995; 103-46.
Krugman S. Diagnosis of acute exanthematous diseases. Dalam: Gershon AA, Hotez PJ,
Katz SL, editor. Krugmans infectious diseases of children. Edisi kesebelas. Mosby. Philadelphia,
2004; 925-32.
Lau AS, Uba A, Lehman D. Infectious diseases. Dalam: Rudolph AM, Kamei RK, Overby
KJ, editor. Rudolphs fundamentals of pediatrics. Edisi ketiga. Mc-Graw Hill. New York, 2002; 37986.
Lee EL. Common viral infections. Dalam: Robinson MJ, Lee EL, editor. Pediatric
problems in tropical countries. PG Publishing. Singapore, 1991: 161-74.
Lembo RM. Fever and rash. Dalam: Kliegman RM, Greenbaum LA, Lye PS, editor.
Practical strategies in pediatric diagnosis and therapy. Edisi kedua. Elsevier Saunders.
Philadelphia, 2004; 997-1015.
Lim VKE, Lee EL. Fever and infection: principles and practice. Dalam: Robinson MJ, Lee
EL, editor. Pediatric problems in tropical countries. PG Publishing. Singapore, 1991: 151-60.
Long SS. Mucocutaneous symptom complexes. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober
CG, editor. Principles & practice of pediatric infectious diseases. Edisi ketiga. Churchill
Livingstone. Philadelphia, 2008; 118-23.
Maldonado Y. Measles. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editor. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi keenam belas. WB Saunders Company. Philadelphia, 2000; 946-51.

19

Mancini AJ. Skin infections and exanthems. Dalam: Rudolph CD, Rudolph AM, Hostetter
MK, Lister G, Siegel NJ, editor. Rudolphs pediatrics. Edisi kedua puluh satu. Mc-Graw Hill. New
York, 2002; 1217-31.
McCance KL, Huether SE. Pathophysiology, the biologic basis for disease in adults and
children. Edisi kedua. Mosby-Year Book, Inc. St Louis, 1994; 1567-70
Minford A, Arumugam R. Illustrated signs in clinical pediatrics. Churchill Livingstone. New
York, 1998; 97-134.
Pengsaa K. Viral exanthems in children. Unpublished. Mahidol University. Bangkok,
2007.
Pomeranz AJ, Busey SL, Sabnis S, Behrman RE, Kliegman RM. Pediatric decisionmaking strategies to accompany Nelson textbook of pediatrics. Edisi keenam belas. WB
Saunders Company. Philadelphia, 2002; 224-9.
Ramundo MB. Fever and rash. Dalam: Grace C, editor. Medical management of
infectious diseases. Marcel Decker Inc. New York, 2003; 129-50.
Sanders CV. Approach to the diagnosis of the patient with fever and rash. Dalam:
Sanders CV, Nesbitt LT, editor. The skin and infection. Williams & Wilkins. Baltimore, 1995; 296304.
Taylor S, Raffles A. Diagnosis in color: pediatrics. Mosby-Wolfe. London, 1997; 307-38.
Weston WL, Lane AT, Morelli JG. Color textbook of pediatric dermatology. Edisi ketiga.
Mosby. St. Louis, 2002; 9-14, 89-118.
Wolinsky JS, McCarthy M. Rubella. Dalam: Porterfield JS, editor. Exotic viral infections.
Chapman & Hall Medical. London, 1995; 19-46.

20

Anda mungkin juga menyukai