Gagal Ginjal Kronik
Gagal Ginjal Kronik
BAB I
PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronik (GGK) mengambarkan suatu keadaan ginjal yang abnormal baik
secara struktural maupun fungsinya yang terjadi secara progresif dan menahun, umumnya
bersifat ireversibel. Sering kali berakhir dengan penyakit ginjal terminal yang menyebabkan
penderita harus menjalani dialisis atau bahkan transplantasi ginjal.1 Penyakit ini sering
terjadi, seringkali tanpa disadari dan bahkan dapat timbul bersamaan dengan berbagai kondisi
(penyakit kardiovaskular dan diabetes).
Di Indonesia, dari data yang didapatkan berdasarkan serum kreatinin yang abnormal,
diperkirakan pasien dengan GGK ialah sekitar 2000/juta penduduk.2
GGK atau sering disebut juga penyakit ginjal kronik (Chronic kidney disease) memiliki
prevalensi yang sama baik pria maupun wanita dan sangat jarang ditemukan pada anak-anak,
kecuali dengan kelainan genetic, seperti misalnya pada Sindroma Alport ataupun penyakit
ginjal polikistik autosomal resesif.3,4
Terdapat perubahan paradigma dalam pengelolaan GGK karena adanya data-data
epidemiologi yang menunjukan bahwa pasien dengan gangguan fungsi ginjal ringan sampai
sedang lebih banyak daripada mereka yang dengan stadium lanjut, sehingga upaya
penatalaksanaan lebih ditekankan kearah diagnosis dini dan upaya preventif. Selain itu
ditemukan juga bukti-bukti bahwa intervensi atau pengobatan pada stadium dini dapat
mengubah prognosa dari penyakit tersebut. Terlambatnya penanganan pada penyakit gagal
ginjal kronik berhubungan dengan adanya cadangan fungsi ginjal yang bisa mencapai 20%
diatas nilai normal, sehingga tidak akan menimbulkan gejala sampai terjadi penurunan fungsi
ginjal menjadi 30% dari nilai normal.2
GGK sering berhubungan dengan anemia. Anemia pada GGK muncuk ketika klirens
kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh. Anemia akan menjadi lebih
berat lagi apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi, tetapi apabila penyakit ginjal telah
mencapai stadium akhir, anemia akan secara relatif menetap. Anemia pada GGK terutama
diakibatkan oleh berkurangnya eritropoietin. Anemia merupakan kendala yang cukup besar
bagi upaya mempertahankan kualitas hidup pasien GGK.
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSMC FKUPH
Periode 26 Juli 2 Oktober 2010
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan umunya berakhir
dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis maupun transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu
sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal
pada penyakit gagal ginjal kronik.
Kriteria penyakit ginjal kronik
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari
3 bulan, berupa kelainan structural atau fungsional,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG), dengan manifestasi:
Kelainan patologis
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan
dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan
dalam tes pencitraan (imaging test).
2. Laju
filtrasi
glomerulus
(LFG)
kurang
dari
60
oleh liver. Kutub atas ginjal kanan setinggi iga ke 12, sedangkan kutub ginjal kiri setinggi iga
ke 11. Permukaan anterior dan posterior kutub atas, bawah, dan tepi lateral ginjal berbentuk
cembung, sedangkan tepi medialnya berbentuk cekung karena adanya hilus. Beberapa
struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui hilus diantaranya adalah arteri dan vena
renalis, saraf, pembuluh limfatik, dan ureter.
Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis ( setinggi vertebra lumbalis II). Aorta
terletak disebelah kiri garis tengah, sehingga arteri renalis kanan lebih panjang dari arteri
renalis kiri. Setiap arteri renalis bercabang sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal.
Vena renalis menyalurkan darah dari masing-masing ginjal ke dalam vena kava inferior yang
terletak di sebalah kanan dari garis tengah. Vena renalis kiri kira-kira dua kali panjang dari
vena renalis kanan.
Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri
interlobaris yang berjalan diantara piramid, selanjutnya membentuk percabangan arkuata
yang melengkung melintasi basis piramid-piramid tersebut. Arteri arkuata lalu akan
membentuk arteriol interlobularis yang tersusun pararel dalam korteks. Arteriol interlobularis
ini selanjutnya membentuk arteriol aferen. Masing-masing arteriol aferen akan menyuplai ke
rumbai-rumbai kapiler yang disebut glomerolus (jamak : glomeruli). Kapiler glomeruli
bersatu membentuk arterior eferen yang kemudian bercabang-cabang membentuk sistem
jaringan portal yang mengelilingi tubulus dan kadang disebut kapiler peritubular.
Medula terbagi-bagi menjadi baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid
tersebut dikelilingi oleh korteks yang disebut kolumna Bertini. Piramid-piramid tersebut
tampak bercorak karena tersusun oleh segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron.
Papilla (apeks) dari tiap piramid membentuk duktus papilaris Bellini yang terbentuk dari
persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke
dalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk seperti cawan yang disebut kaliks minor.
Beberapa kaliks minor bersatu membentuk kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu sehingga
membentuk pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem pengumpul ginjal.
Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria.
Ureter berasal dari bagian bawah pelvis renalis pada ureteropelvic junction lalu turun
ke bawah sepanjang kurang lebih 28 34 cm menuju kandung kemih. Dinding dari kaliks,
pelvis dan urter mengandung otot polos yang berkontraksi secara teratur untuk mendorong
urine menuju kandung kemih.
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSMC FKUPH
Periode 26 Juli 2 Oktober 2010
kapiler.
Sel
endotel
langsung
berkontak
dengan
membrana
basalis.
Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel epitel visceralis merupakan 3 lapisan yang
membentuk membrane filtrasi glomerulus. Membran filtrasi glomerulus memungkinkan
ultrafiltrasi darah melalui pemisahan unsur-unsur darah dan molekul protein besar.
Membrana basalis glomerulus merupakan struktur yang membatasi lewatnya zat terlarut
ke dalam ruang urine berdasarkan seleksi ukuran molekul. Komponen penting lainnya
dari glomerulus adalah mesangium, yang terdiri dari sel mesangial dan matriks
mesangial. Sel mesangial membentuk jaringan yang berlanjut antara lengkung kapiler
dari glomerulus dan diduga berfungsi sebagai kerangka jaringan penyokong.
c. Aparatus Jukstaglomerulus
Aparatus jukstaglomelurus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang letaknya dekat
dengan kutub vascular masing-masing glomelurus yang berperan penting dalam mengatur
pelepasan rennin dan mengontrol volume cairan ekstraselular (ECF) dan tekanan darah.
JGA terdiri dari 3 macam sel:
1. Juksta glomelurus (JG) atau sel glanular (yang memproduksi dan menyimpan
renin) pada dinding arteriol averen.
2. Makula densa tubulus distal.
3. Mesangial ekstraglomerular atau sel lacis.
Makula densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai dengan pewarnaan
khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan sel JG yang menyekresi
lenin. Secara umum, sekresi renin dikontrol oleh faktor ekstrarenal dan intrarenal. Dua
mekanisme penting untuk mengontrol sekresi renin adalah sel JG dan makula densa. Setiap
penurunan tegangan dinding arteriol aferen atau penurunan pengiriman Na ke makula densa
dalam tubulus distal akan merangsang sel JG untuk melepaskan renin dari granula tempat
renin tersebut disimpan didalam sel. Sel JG, yang sel mioepitelialnya secara khusus mengikat
arteriol aferen, juga bertindaksebagai transducer tekanan perfusi ginjal. Volume ECF atau
volume sirkulasi efektif (ECV) yang sangat menurun menyebabkan menurunnya tekanan
perfusi ginjal, yang sirasakan sebagai penurunan regangan oleh sel JG. Sel JG kemudian
melepaskan renin ke dalam sirkulasi, yang sebaliknya mengaktifkan mekanisme reninangiotensin-aldosteron. Mekanisme kontrol kedua untuk pelepasan berpusat didalam sel
makula densa, yang dapat berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi beban klorida yang
terdapat pada tubulus distal. Dalam keadaan kontraksi volume, sedikit natrium klorida (NaCl)
dialirkan ke tubulus distal (karena banyak yang di absorbsi ke dalam tubulus proximal)
kemudian timbal balik dari sel makula densa ke sel JG menyebabkan peningkatan renin.
Mekanisme sinyal klorida yang diartikan menjadi perubahan sekresi renin ini belum
diketahui dengan pasti. Suatu peningkatan volume ECF yang menyebabkan peningkatan
tekanan perfusi ginjal dan meningkatkan pengiriman NaCl ke tubulus distal memiliki efek
yang berlawanan dari contoh yang diberikan oleh penurunan volume ECFyaitu menekan
sekresi renin. Faktor lain yang mempengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal, yang
merangsang pelepasan renin melalui reseptor beta1-adrenergik dalam JGA, angiotensin II
yang menghambat pelepasan renin. Banyak faktor sirkulasi lain yang juga mengubah sekresi
renin, termasuk elektrolit plasma (kalsium dan natrim) dan berbagai hormon, yaitu hormon
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSMC FKUPH
Periode 26 Juli 2 Oktober 2010
Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit awal
yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang
sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vasoaktif, sitokin, dan growth
factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak
aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi tehadap terjadinya hiperfiltrasi sclerosis dan progresifitas penyakit
tersebut.
Aktivasi jangka panjang Aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai
oleh Growth Factor, seperti Transforming Growth Factor (TGF-). Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia . Terdapat variabilitas inter individual untuk
terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial. Pada stadium paling
dini penyakit gagal ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana
basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSMC FKUPH
Periode 26 Juli 2 Oktober 2010
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah,
mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%,
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun
infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau
hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, antara lain Na+ dan K+. Pada LFG di bawah
15%, akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan
terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain dialisis atau transplantasi
ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
Azotemia adalah Retensi dari produk sisa nitrogen sebagai perkembangan insufisiensi
ginjal. Uremia adalah tahap yang lebih berat dari progresivitas insufisiensi ginjal dimana
berbagai sistem organ telah terganggu. Meskipun uremia bukan penyebab utama, urea dapat
menimbulkan gejala klinis seperti anoreksia , malaise, muntah dan sakit kepala. Produk
nitrogen lainnya seperti komponen guanido, urat dan hipurat , hasil akhir metabolisme asam
nukleat, poliamin, mioinosital, fenol, benzoat dan indol dapat tertahan dalam tubuh pada
penyakit ginjal kronik dalam hal ini dipercaya dapat meningkatkan angka kematian pada
uremia. Uremia tidak hanya mempengaruhi kegagalan ekskresi renal saja tetapi dapat juga
menyebabkan gangguan pada fungsi metabolik dan endokrin yang dapat menyebabkan
anemia malnutrisi, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein, gangguan penggunaan
energi, dan penyakit tulang metabolik. Lebih jauh lagi kadar plasma berbagai hormon
polipeptida seperti paratiroid hormon (PTH), insulin, glukagon, luteinizing hormon, dan
prolaktin akan meningkat pada gagal ginjal, bukan hanya karena gangguan katabolisme ginjal
tetapi juga karena meningkatkan sekresi endokrin yang menimbulkan konsekuensi sekunder
dari ekskresi primer atau gangguan sintetik renal. Dilain sisi , produksi eritropoetin (EPO)
dan 1,25- dihidroksikolekalsiferol ginjal terganggu. Jadi patofisiologi dari sindrom uremia
dapat dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama merupakan akumulasi dari produk
metabolisme protein , yang kedua merupakan akibat dari kehilangan dari fungsi ginjal seperti
keseimbangan cairan dan elektrolit, kelainan hormon.
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah ,
kuantitas hemoglobin, dan volume packed red cells (hematokrit) per 100 ml darah. Anemia
bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar
yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi
laboratorium.
Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia pada penyakit ginjal
kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan
tubuh, dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya fungsi ekskresi ginjal.
Terdapat variasi hematokrit pada pasien penurunan fungsi ginjal. Kadar nilai hematokrit dan
klirens kreatinin memiliki hubungan yang kuat. Kadar hematokrit biasanya menurun, saat
kreatinin klirens menurun sampai kurang dari 30 35 ml/menit. Anemia pada gagal ginjal
merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yang memperberat
seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini bersifat hiporegeneratif.
Jumlah retikulosit yang nilai hematokrit nya dikoreksi menjadi normal, tidak adekuat.
Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu:
Hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel
prekursor eritrosit terhadap eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi
seperti intoksikasi aluminium.
1. Hemolisis.
Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialisis
kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel
darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%.
Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang
ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika
sel darah merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang
sehat memiliki waktu hidup yang normal. Efek faktor yang terkandung pada uremic
plasma pada Na-ATPase membran dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada
eritrosit diperkirakan merupkan mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis.
Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi ketersediaan dari glutation
reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb
dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari
luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan. Peningkatan kadar hormon PTH
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSMC FKUPH
Periode 26 Juli 2 Oktober 2010
10
pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga menyebabkan penurunan sel darah
merah yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normal terminal fragmen
meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM manusia secara in vitro, kemungkinan
oleh karena peningkatan kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism dapat menekan
produksi sel darah merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek langsung
penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan
melalui percobaan pada hewan. Yang kedua, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang
mengurangi respon sumsum tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan
penelitian
yang
menyatakan
adanya
peningkatan
Hb
setelah
dilakukan
11
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain yang
memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis
mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling
utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan
gagal ginjal yang berat. Produksi eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat
kerusakan yang progresif dari bagian ginjal yang memproduksi eritropoetin. Peran
penting defisiensi eritropoetin pada patogenesis anemia pada gagal ginjal dilihat dari
semakin beratnya derajat anemia. Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan
teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan dengan pasien anemia
tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit ginjal menunjukkan
peningkatan
konsentrasi
serum
eritropoetin
yang
tidak
adekuat.
Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel darah merah dengan efek tambahan terjadi
defisiensi
erotropoetin. Proses
inflamasi
seperti
glomerulonefritis,
penyakit
reumatologi, dan pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal
ginjal terminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek
imunosupresif.
3. Penghambatan eritropoesis.
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor
eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak
adekuat pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses
ertropoesis yang dapat dilihat pada proses hematologi pada pasien dengan gagal ginjal
terminal setelah terapi reguler dialisis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah
merah yang diukur dengan kadar Fe yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan
kadar eritropetin serum. Substansi yang menghambat eritropoesis ini antara lain
poliamin, spermin, spermidin, dan PTH hormon. Spermin dan spermidin yang kadar
serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek
penghambatan pada eritropoesis tetapi juga menghambat granulopoesis dan
trombopoesis. Karena ketidakspesifikkan, leukopenia, dan trombositopenia bukan
merupakan karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin
tidak memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit
ginjal kronik. Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm sekunder,
tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakna bahwa PTH memberikan efek
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSMC FKUPH
Periode 26 Juli 2 Oktober 2010
12
penghambatan
pada
eritropoesis.
Walaupun
menurut
penelitian,
dilaporkan
13
juga memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan H2O.
Ketika penyebab ekstra renal pada kehilangan cairan terjadi seperti muntah, diare,
berkeringat, demam, pasien akan mengalami kekurangan CES.
b. Homeostasis Kalium.
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan
penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat terjadi
dengan gejala klinis berupa konstipasi, katabolisme protein, hemolisis,
pendarahan , transfusion of stored redblood cells, augmented dietary intake,
metabolik asidosis dan beberapa obat dapat menghambat kalium masuk ke dalam
sel atau menghambat sekresi kalium di distal nefron. Hipokalemia jarang terdapat
pada penyakit ginjal kronik. Biasanya merupakan tanda kurangnya intake kalium
dalam kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastro intestinal.
c. Metabolik Asidosis.
Dengan berlanjutnya gagal ginjal seluruh ekskresi asam sehari hari dan produksi
penyangga jatuh dibawah kadar yang diperlukan untuk mempertahankan
keseimbangan eksternal ion-ion hidrogen. Asidosis metabolik ialah akibat yang
tidak dapt dihindarkan. Pada kebanyakan pasien dengan insufisiensi ginjal yang
stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat atau natrium sitrat
memperbaiki asidosis. Namun dalam respons terhadap tantangan asam yang
mendadak (apakah dari sumber endogen atau eksogen), pasien gagal ginjal kronik,
rentan terhadap asidosis, yang dibutuhkan jumlah alkali yang besar utuk koreksi.
Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap
status volume.
2. Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat.
Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan
sebagai high bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan
rendah atau normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder
hiperparatiroidism berhubungan dengan metabolisme mineral yang abnormal yaitu :
(1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik fosfat (PO43- ) dan
menimbulkan retensi PO43-.
(2). Tertahannya PO43- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan masa sel
kelenjar para tiroid.
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSMC FKUPH
Periode 26 Juli 2 Oktober 2010
14
(3) Tertahannya PO43- juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan sekresi
PTH melalui turunnya ion Ca2+ dan dengan supresi produksi kalsitriol (1,25 dihidroksi
oleh kalsiferol).
(4) Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis akibat
pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang rendah, pada
akhirnya, menimbulkan hiperparatiroidism melalui mekanisme langsung dan tidak
langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi langsung pada transkripsi PTH. Oleh
karena itu penurunan kalsitriol pada panyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan
kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol menimbulkan gannguan absorbsi Ca2+ dari
traktus gasrto interstinal, yang kemudian menimbulkan hipokalsemia, yang selanjutnya
meningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol, semuanya menyebabkan produksi PTH
dan proliferasi dari paratiroid sel, yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder. Low turn
over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu osteomalasia dan
penyakit tulang adinamik. Keduanya memiliki karakteristik berupa penurunan jumlah
osteoklas dan osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas. Pada
osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak termineralisasi, atau
peningkatan volume osteoid, yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkatan
deposit aluminium, atau asidosis metabolik. Penyakit tulang adinamik dikenali sebagai
kejadian lesi tulang hiperparatiroid pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan gagal
ginjak kronik, dan ini biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes. Penyakit tulang
adinamik memiliki kriteria berupa pengurangan volume tulang dan mineralisasi dan
merupakan hasil supresi produksi PTH denagn terapi kalsitriol. Osteodistrofi renal
merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksaan
osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian
hormon kalsitriol (1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan
asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di
saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan
dalam mengatasi hiperfosfatemia.
3. Kelainan kardiovaskuler.
a. Penyakit Jantung Iskemik.
15
tradisional
(klasik),
yaitu
hipertensi,
hipervolemia,
dislipidemi,
overaktivitas simpatis, dan hiperhomosisteinemia. Dan faktor resiko nontradisional, yaitu anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme, dan derajat
mikroinflamasi yang dapat ditemukan dalam setiap derajat penyakit ginjal kronik.
Derajat inflamasi meningkatkan reaktan fase akut, seperti interleukin 6 dan Creaktif
protein,
yang
menyebabkan
proses
penyumbatan
koroner
dan
16
dengan penyakit ginjal kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar
hemoglobin 10 g % atau hematokrit 30 %, meliputi evaluasi terhadap status
besi (kadar besi serum/serum iron,kapasitas ikat besi total/total iron binding
capacity, feritin serum), mencari sumber paerdarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.
b. Gangguan pembekuan.
Hal ini berhubungan dengan pemanjangan bleeding time, penurunan aktivitas
faktor pembekuan III, kelainan platelet agregation, dan gangguan konsumsi
protrombin. Gejala kliniknya berupa perdarahan yang abnormal, perdarahan dari
luka operasi, perdarahan spontan dari traktus gastro intestinal,dll.
5. Kelainan neuromuskular
Neuropati sentral, perifer, dan otonom, dengan gangguan komposisi dan fungsi otot,
merupakan komplikasi yang sering pada penyakit ginjal kronik. Gejala awal pada sistem
saraf pusat, seperti gangguan ingatan sedang, gangguan konsentrasi, dan gangguan tidur;
iritabilitas neuromuskular, seperti hiccups, keram, fasikulasi atau twiching otot. Pada
uremia terminal, didapatkan astherixis, mioklonus, chorea, bahkan sampai terjadi kejang
dan koma. Neuropati perifer biasanya menyerang saraf sensoris lebih dari saraf motorik,
ekstremitas bawah lebih dari ekstemitas atas, bagian distal lebih dari bagian proximal.
6. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan pada gastrointestinal antara lain uremic foetor ,sensasi pengecapan seperti
metal, gastritis, peptic disease, ulserasi mukosa pada saluran pencernaan yang dapat
menyababkan nyeri perut, mual, muntah, dan kehilangan darah,peningkatan insiden
terjadinyadivertikulosis, pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik, meningkatkan
terjadinya pankreatitis.
7. Gangguan metabolik endokrin
Pada penyakit ginjal kronik terjadi gangguan metbolisme glukosa dan pada wanita terjadi
penurunan hormon estrogen, sehingga terjadi amenorea, dan kemungkinan untuk menjadi
hamil menjadi sangat kecil. Pada laki-laki yang telah menjalani dialisis dalam waktu yang
lama akan terjadi impotensi, oligospermia, displasia sel germinal, yang menurunkan
kadar testosteron plasma.
8. Kelainan dermatologi.
17
Pada penyakit ginjal kronik terdapat pallor pada kulit akibat anemia, ekimosis dan
hematoma akibat gannguan pembejkuab, gatal dan ekskoriasi akibat deposisi calciumfosfat dan hiperparatiroid sekunder, diskolorasi berwarna kuning akibat deposisi pigmen
metabolik dan urokrom, serta uremic frost akibat kadar urea itu sendiri.
Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar derajat
penyakit dan diagnostik etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas satu dari
dua persamaan berdasarkan konsntrasi kreatinin plasma, umur, jenis kelamin, etnik.
Pertama, persamaan dari penelitian modifikasi diet pada penyakit ginjal yaitu:
LFG (ml/menit/1,73m2) = 1,86 x ( P cr) - 1,154 x (umur) - 0,023
Keterangan: wanita x 0,742
(140 - umur) x BB
18
Manifestasi klinis
Kardiovaskuler:
a. Hipertensi
b. Pembesaran vena leher
c. Pitting edema
d. Edema periorbital
e. Friction rub pericardial
Pulmoner:
a. Nafas dangkal
b. Krekels
c. Kusmaul
d. Sputum kental dan liat
Gastrointestinal:
a. Konstipasi / diare
b. Anoreksia, mual dan muntah
c. Nafas berbau ammonia
d. Perdarahan saluran GI
e. Ulserasi dan perdarahan pada mulut
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSMC FKUPH
Periode 26 Juli 2 Oktober 2010
19
Muskuloskeletal:
a. Kehilangan kekuatan otot
b. Kram otot
c. Fraktur tulang
Integumen:
a. Kulit kering, bersisik
b. Warna kulit abu-abu mengkilat
c. Kuku tipis dan rapuh
d. Rambut tipis dan kasar
e. Pruritus
f. Ekimosis
Reproduksi:
a. Atrofi testis
b. Amenore
Sindrom uremia:
a. Lemah letargi
b. Anoreksia
c. Mual dan muntah
d. Nokturia
e. Kelebihan volume cairan (volume overload).
f. Neuropati perifer
g. Uremic frost
h. Perikarditis
i. Kejang
j. Koma.
Pemeriksaan penunjang
A. Gambaran laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
Sesuai dengan penyakit yang mendasari (diabetes militus, hipertensi, dll).
20
Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus kockcroft-gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia , hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituria, cast, isosisteinuria.
B. Gambaran radiologi
Pemeriksaan radiologi Penyakit ginjal kronik meliputi:
Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opaque.
Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, di samping kekhawatiran pasien terjadinya pengaruh toksik oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakkan.
Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi.
USG ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis,
adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
Indikasi USG (NICE 2008):
-
Adanya hematuria
Ada riwayat keluarga penyakit ginjal polikistik dan berusia lebih dari 20
tahun.
21
prosedur ini dikontraindikasikan pada ginjal yang kecil bilateral, penyakit ginjal polikistik,
hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktur urinarius, kelainan perdarahan, gangguan
pernapasan dan morbid obesity.6
Penatalaksanaan
Farmakoterapi (menurut NICE guidelines 15september2008)11
A. Kontrol tekanan darah
Pada orang dengan GGK, harus mengkontrol tekanan sistolik < 140 mmHg
(dengan kisaran target 120 139 mm Hg) dan tekanan diastolic < 90 mmHg.
Pada orang dengan GGK dan Diabetes dan juga orang dengan ACR 70 mg/mmol
atau lebih (kira-kira ekuivalent dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, atau
proteinuria 1 gr/24jam atau lebih), diharuskan untuk menjaga tekanan sistolik <
130 mmHg (dengan kisaran target 120-129 mmHg) dan tekanan diastolik < 80
mmHg.
B. Pemilihan agen antihipertensi
1st line: ACEInhibitor/ARBs (apabila ACEInhibitor tidak dapat mentolerir).
ACE Inhibitor/ARBs diberikan pada:
Pada GGK dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria) atau lebih dari
3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau stadium GGK.
Note: Perbedaan kedua batas ACR berbeda diberikan di sini untuk memulai
pengobatan ACE Inhibitor pada orang dengan CKD dan proteinuria. Potensi manfaat
ACE inhibitor dalam konteks ini sangat meningkat jika seseorang juga memiliki
diabetes dan hipertensi dan dalam keadaan ini, sebuah batas yang lebih rendah
diterapkan.
GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR 30 mg/mmol atau lebih (kira-kira
ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih, proteinuria 0,5 gr/24jam atau lebih).
GGK pada non-diabetik dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalen dengan
PCR 100 mg/mmol atau lebih, proteinuria 1 gr/24jam atau lebih), tanpa adanya
hipertensi atau penyakit kardivaskular.
GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR < 30 mg/mmol (kira-kira
ekuivalen dengan PCR < 50 mg/mmol, atau proteinuria < 0,5 gr/24jam.
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSMC FKUPH
Periode 26 Juli 2 Oktober 2010
22
Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi atau dosis harus
diturunkan dan alterlatif antihipertensi lain bisa digunakan.
23
terapi
diberikan
1-alpha-hydroxycholecalciferol
Penanganan anemia pada GGK harus dilakukan saat Hb < 11 g/dl (atau 10 g/dl
pada usia < 2 tahun).
Menentukan apakah anemia disebabkan oleh
24
1. Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan
recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi.
Seperti yang telah di demonstrasikan dengan plasma kambing uremia yang
kaya eritropoetin, human recombinant eritropoetin diberikan intravena kepada
pasien hemodialisa ,telah dibuktikan menyebabkan peningkatan eritropoetin
yang drastis. Hal ini memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal
setelah transfusi darah berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang
membutuhkan transfusi reguler. Pada gambar.3, saat sejumlah erotropoetin
diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialisa, pasien reguler hemodialisis
merespon dengan peningkatan Ht dengan dosis tertentu dalam beberapa
minggu. Percobaan menunjukkan bahwa AB yang melawan materi
rekombinan dan menghambat terhadap penggunaan eritropoetin tidak terjadi.
Efek samping utamanya adalah meningkatkan tekanan darah dan memerlukan
dosis Heparin yang tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra
korporial selama dialisis. Pada beberapa pasien, trombosis pada pembuluh
darah dapat terlihat.
Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas darah
tetapi juga peningkatan tonus vaskular perifer. Komplikasi trombosis juga
berkaitan dengan tingginya viskositas darah bagaimanapun sedikitnya satu
kelompok investigator terlihat peningkatan trombosit. Penelitian in vitro
menunjukkan efek stimulasi human recombinant eritropoetin pada diferensiasi
murine
megakariosit.
Lalu
trombositosis
mungkin
mempengaruhi
25
ii.
26
2000
IU/minggu.
Pantau Hb
dan Ht
setiap bulan
besi
cukup)
maka
dosis
EPO
diturunkan
25%
Hipertensi:
i. tekanan darah harus dipantau ketat terutama selama
terapi eritropoetin fase koreksi.
ii. pasien mungkin membutuhkan terapi antihipertensi
atau peningkatan dosis obat antihipertensi.
iii. peningkatan tekanan darah pada pasien dengan
terapi eritropoietin tidak berhubungan dengan kadar
Hb.
Kejang:
i. Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase koreksi.
ii. Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat
dan
tekanan
darah
yang
tidak
terkontrol.
27
(hiperparatiroidisme/osteitis
fibrosa,
intoksikasi
28
sejak prosedur ini dapat membuang toksin yang menyebabkan hemolisis dan
menghambat eritropoesis. Selain itu, pengalaman klinis membuktikan bahwa
perkembangannya lebih cepat daripada menggunakan terapi eritropoetin.
Ketidakefektivan pada terapi pengganti ginjal merupakan akibat keterbatasan
pengetahuan tentang toksin dan cara terbaik untuk menghilangkannya.
Pendekatan sederhana untuk meningkatkan terapi dtoksifikasi pada uremia
dengan meningkatkan batas atas ukuran molekular yang dibuang dengan difusi
dan atau transportasi konvektif tidak menghasilkan hasil yang memuaskan.
Misalnya, tidak ada data yang membuktikan bahwa hemofiltrasi yang
mencakup pembuangan jangkauan molekuler yang lebih besar dibanding
hemodialisis dengan membaran selulosa yang kecil, merupakan dua terapi
utama dalam mengkoreksi anemia pada gagal ginjal. Selain itu continious
ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) , juga merupakan terapi dengan
pembuangan jangkauan molekuler yang besar, ini lebih baik dibandingkan
dengan hemodialisis standar dengan membaran selulosa yang kecil. Hal ini
masih tidak jelas jika keuntungan CAPD ini hanya karena pembuangan yang
lebih baik dari inhibitor eritropoesis. Beberapa penelitian mengindikasikan
CAPD meningkatkan produksi eritropoetin, mungkin juga diluar ginjal dan
karena oleh itu meningkatkan eritropoesis. Walaupun mekanismenya belum
diketahui.
3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine.
Sejak inhibitor eritropoesis diketahui, pada kasus intoksikasi aluminium, terapi
dapat selektif dan efektif efek aluminium yang memperberat pada anemia
dengan gagal ginjal selalu harus diasumsikan ketika terjadi anemia mikrositik
dengan normal atau peningkatan feritin serum pada pasien reguler
hemodialisis. Diagnosis ditegakkan denan peningkatan nilai aluminium serum,
riwayat terpapar aluminium baik oral maupun dialisat, gejala intoksikasi
aluminium seperti ensekalopati penyakit tulang aluminium , dan keberhasilan
percobaan terapi. Terapi utama adalah pemberian chelator deferoxamin (DFO)
IV selama satu sampai dua jam terakhir saat hemodialisa atau hemofiltrasi
atau CAPD. Range dosis 0,5 2,0 gr, 3 kali seminggu. DFO memobilisasi
aluminium sebagai larutan yang kompleks, dimana kemudian dibuang dengan
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSMC FKUPH
Periode 26 Juli 2 Oktober 2010
29
terapi dialisis atau prosedur filtrasi. Efek samping utama adalah hipotensi,
toksisitas okular, komplikasi neurologi seperti kejang dan mudah terkena
infeksi jamur. Efek samping ini berespons terhadap pemberhentian terapi
sementara waktu, pengurangan dosis atau pemberhentian terapi. Efek DFO
pada anemia dapat berakibat drastis, yang menggambarkan perubahan nilai
hemoglobine, feritin serum, dan konsentrasi aluminium, MCV, MCH pada
pasien dengan ostemalasia yang berhubungan dengan aluminium. Pada
permulaan terapi pasien mengalami anemia mikrositik peningkatan nilai
aluminium serum dan feritin. Setelah beberapa bulan terapi dengan DFO,
MCV dan MCH pada nilai diatas normal, hemoglobin meningkat secara
signifikan dan feritin serum dan aluminium menurun.
4. Mengkoreksi hiperparatiroidism.
Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal, paratiroidektomi
bukan merupakan indikasi untuk terapi anemia. Pengobatan supresi aktivitas
kelenjar paratiroid dengan 1,25-dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan
dengan peningkatan anemia.
5. Terapi Androgen.
Efek yang positif pada terapi ini yaitu meningkatkan produksi eritropoetin,
meningkatkan sensitivitas polifrasi eritropoetin yang sensitif terhadap populasi
stem cell. Testosteron ester (testosteron propionat, enanthane, cypionate),
derivat 17-metil androstanes (fluoxymesterone, oxymetholone, methyl
testosterone), dan komponen 19 norterstosteron (nandrolone dekanoat,
nandrolone phenpropionate) telah sukses digunakan pada terapi anemia
dengan gagal ginjal. Respon nya lambat dan efek dari obat ini dapat terbukti
dalam 4 minggu terapi. Nandrolone dekanoat cukup diberikan dengan dosis
100-200 mg, 1 x seminggu. Testosteron ester tidak mahal tetapi harus dibatasi
karena efek sterilitas yang besar. Komponen 19-nortestosteron memiliki ratio
anabolik : androgenik yang paling tinggi dan yang paling sedikit menyebabkan
hirsutisme serta paling aman untuk pasien wanita. Fluoksimesterone dapat
menyebabkan priapismus pada pasien pria. Penyakit Hepatoseluler kolestatik
dapat menyebabkan komplikasi pada penggunaan zat ini dan lebih sering pada
17 methylated steroid. Pada keadaan meningkatnya transaminase darah yang
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSMC FKUPH
Periode 26 Juli 2 Oktober 2010
30
progesif dan bilirubin serum yang meningkat, terapi harus dihentikan. Namun,
komponen 17- methylated steroid ini memiliki ratio anabolik/ androgen yang
baik dan dapat diberikan secara oral. Terapi dengan androgen dapat
menimbulakan gejala prostatism atau pertumbuhan yang cepat dari Ca prostat.
Rash kulit, perubahan suara seperti laki-laki, dan perubahan fisik adalah efek
samping lainnya pada terapi ini.
6. Suplementasi besi.
Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi dengan absorpsi besi pada
usus. Monitoring penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin serum
satu atau dua kali pertahun merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak
dipengaruhi oleh uremia, suplementasi besi oral lebih dipilih ketika terjadi
defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk memperbaiki defisiensi besi,
penggantian besi secara parenteral harus dilakukan. Hal ini dilakukan dengan
iron dextran atau interferon. Terapi IV lebih aman dan nyaman dibanding
injeksi intra muskular. Syok anafilaktik dapat terjadi pada 1% pasien yang
menerima terapi besi parenteral. Untuk emngurangi kejadian komplikasi yang
berbahaya ini, pasien harus di tes dengan 5 menit pertama dengan dosis kecil
dari total dosis. Jumlah yang diperlukan untuk replinish penyimpanan besi
dapat diberikan dengan dosis terbagi yaitu 500mg dalam 5-10 menit setiap
harinya atau dosis tunggal dicampur dengan normal saline diberikan 5% iron
dextran dan diinfuskan perlahan dalam beberapa jam.
Terapi besi fase pemeliharaan:
a. Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoiesis selama
terapi EPO.
b. Target terapi: Feritin serum > 100 mcg/L < 500 mcg/L
Saturasi transferin > 20 % < 40 %
c. Dosis
i.
ii.
iii.
31
iv.
v.
vi.
Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi transferin > 40%,
suplementasi besi distop selama 3 bulan.
vii.
Bila pemeriksaan ylang setelah 3 bulan feritin serum < 500 mcg/L
dan saturasi transferun < 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan
dengan dosis 1/3-1/2 sebelumnya.
7. Transfusi darah.
Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah
adalah:
a. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
b. Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb < 7 g /dL
c. Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
d. Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun
yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara
preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan transfusi darah
dengan hati-hati
e. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah : 7-9 g/dL (tidak
sama dengan target Hb pada terapi EPO). Transfusi diberikan secara
bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi, hiperkatabolik
(asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa
pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan
dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat,
walaupun pada pasien dengan penyakut jantung. Pada kelompok
pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian transfusi
darah sedapat mungkin dihindari.
F. Nutrisi
Pemberian nutrisi yang seimbang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi dan
nutrient sekaligus mengurangi gejala-gejala uremia dan menunda percepatan penurunan
fungsi ginjal atau memperlambatnya. Status nutrisi memiliki kaitan erat dengan angka
mortalitas pada pasien dengan GGK. Dianjurkan kecukupan energy > 35 kkal/kgBB/hari,
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSMC FKUPH
Periode 26 Juli 2 Oktober 2010
32
sedangkan untuk usia > 60 tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia > 60
tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari. Asupan kalori harus cukup untuk mencegah
terjadinya proses katabolik. Bila asupan peroral tidak memadai untuk memenuhi
kebutuhan nutrisis sehari-hari sesuai dengan status gizi seseorang, dapat ditambahkan
nutrisi parenteral. Perbandingan kalori yang bersumber dari lemak dan karbohidrat
sebesar 25% : 75%. Selain itu diberikan kombinasi dari asam amino esensial dan non
esensial. Jumlah maksimal pemberian karbohidrat adalah 5 g/kgBB. Sedangkan lipid
diberikan maksimal 1 g/kgBB dalam bentuk fat emulsion 10-20% sebanyak 500 mL.
Diet rendah garam, dalam bentuk protein sekitar 0,6 0,75% g/kgBB/hari,dengan protein
yang memiliki nilai biologic tinggi, sebesar 0,35 g/kgBB/hari tergantung dari beratnya
gangguan fungsi ginjal. Pasien dengan gagal ginjal krooni harus mengurangi asupan
proeinnya karena protein berlebih akan menyebabkan terjadinya penumpukan nitrogen
dan ion inorganic yang akan mengakibatkan gangguan metabolic yang disebut uremia.
Dua penelitian meta-analisis membuktikan efek dari restriksi protein memperlambat
progresivitas penyakit ginjal diabetik dan non-diabetik. Asupan kalori yang cukup sekitar
35 kkal/kgBB.
LFG (ml/min)
> 60
25 60
Protein (g/kgBB/hari)
Fosfor (g/kg/hari)
g/kgBB/hari
termasuk
10
0,6
g/kgBB/hari
termasuk
10
g/kgBB/hari
suplementasi
asam
dengan
amino
esensial ketoanalog.
< 60
(sindrom nefrotik)
0,8
g/kgBB/hari
12
dengan
(+1
g/kgBB/hari
suplementasi
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSMC FKUPH
Periode 26 Juli 2 Oktober 2010
asam
amino
33
Air
Glukosa
Asam amino
Kalori
NPC/N
Elektrolit
Vitamin dan lipid
Formula Teraoka:
50% glukosa
1000 ml
10% NaCl
40 ml
K asparte
1 mEq
8,5% Ca gluconate 6 mEq
Mg Sulfat
6 mEq
K2PO4
1 mEq
Kidmin
400 600 ml
Lipid
400 ml/w
Vitamin dan trace elemen
Pemakaian kidmin:
-
Partial parenteral nutisi : 200 ml, sekali sehari selama 2 jam atau pada waktu dialisis.
Total parenteral nutrisi : 400 ml, dengan 300 kkal/100 ml melalui vena sentral.
Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya
buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini,
bertujuan hanya untuk mencegah progesivitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK
sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala,
sehingga penanganannya seringkali terlambat.
34
BAB III
IKHTISAR KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
Tn. A
Jenis kelamin
Laki-laki
Tempat/tgl lahir
Agama
Islam
Usia
60 tahun
Golongan darah
O, rh +
Status
Menikah
Pendidikan terakhir
SMU
Pekerjaan
Swasta
Alamat
Cipedak, Jagakarsa
Suku
Jawa
Kebangsaan
Indonesia
Masuk RS
RIWAYAT PENYAKIT
A. Anamnesis
Autoanamesis.
B. Keluhan utama
Pasien Tn. A mengeluh mual dan muntah sejak malam hari.
C. Riwayat penyakit sekarang
Pasien Tn.A datang ke Poliklinik penyakit dalam Rumah Sakit Marinir Cilandak (RSMC)
pada tanggal 29 Juli 2010. Pasien mengeluhkan mual dan muntah dengan tampak sisa ampas
makanan sejak kemarin malam, tanggal 28 Juli 2010. Pasien juga tampak sesak dan gelisah.
Pasien tidak sakit kepala, tidak demam, tidak ada nyeri perut, tidak ada nyeri sendi atau otot,
tidak ada tanda-tanda perdarahan. Pasien mengatakan tidak dapat tidur dengan nyenyak.
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSMC FKUPH
Periode 26 Juli 2 Oktober 2010
35
Pasien mengaku BAK normal tidak ada darah, tidak ada nyeri. BAB normal, tida ada darah
dan tidak ada lendir. Nafsu makan pasien menurun dan badannya juga terasa lemas. Pasien
menyangkal adanya nyeri menelan, batuk dan pilek.
D. Riwayat penyakit terdahulu
Pasien Tn.A sebelumnya pernah dirawat di Rumah Sakit Marinir Cilandak (RSMC) pada
tanggal 21 juni 2010 dengan keluhan utama nyeri dada bagian kiri disertai keringat dingin
setelah menonton pertandingan sepak bola disertai sesak. Pasien keluar tanggal 24 juni 2010
dengan keluhan sesak sudah tidak ada dan pasien direncanakan untuk rawat jalan. Pasien
kontrol di poliklinik pada tanggal 8 juli 2010 dengan keluhan badan terasa lemas dan muntah
bila ingin makan. Pasien datang lagi kontrol pada tanggal 22 juli dengan tanpa keluhan.
Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit hipertensi yang tidak terkontrol, karena tidak
minum obat dengan teratur. Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit diabetes militus.
Pasien juga mengaku memiliki riwayat penyakit ginjal. Pasien menyangkal adanya riwayat
penyakit jantung, riwayat penyakit asma. Pasien mengaku tidak memiliki alergi obat apapun.
E. Riwayat keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti pasien. Ayah pasien memiliki riwayat
hipertensi disertai diabetes mellitus. Riwayat penyakit jantung, asma, tuberkulosis, alergi, dan
keganasan disangkal.
F. Riwayat Kebiasaan/pola hidup
Riwayat merokok dan riwayat mengkonsumsi alkohol disangkal oleh pasien. Pasien jarang
olahraga. Pasien mandi 3x sehari. BAK lancar 3x sehari tanpa disertai distensi. BAB lancar
1x sehari. Pasien rata-rata sehari minum 8 gelas air. Pasien makan teratur 3x sehari. Pasien
tidur cukup 8 jam setiap harinya.
PEMERIKSAAN FISIK
(dilakukan saat masuk RS, tanggal 29 Juli 2010).
Keadaan umum
Sakit sedang.
36
Kesadaran
Kompos mentis.
Tekanan darah
200/120 mmHg.
Nadi
Suhu
36 C.
Pernapasan
Berat badan
62 kg
Tinggi badan
170 cm
Kepala
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Tenggorokan
Leher
Dada
Jantung
Paru
37
lapang paru terutama 1/3 basal paru, terdapat wheezing pada kedua
lapang paru.
Abdomen
Anggota gerak
Kulit
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan hematologi (tanggal 29 Juli 2010)
Pemeriksaan
Hasil pemeriksaan
Hemoglobin
6,6
Hematokrit
20
37-54 %
Leukosit
7.100
Trombosit
245.000
WBC
LY
Nilai normal
38
MO
GR
LY%
30,2 %
MO%
5,7 %
GR%
64,1 %
RBC
Hgb
6,6 g/dl
HCT
19,8 %
MCV
77,3 fl
MCH
25,7 pg
MCHC
33,3 g/dl
RDW
17,0 %
PLT
245 x
PCT
0,166 %
MPV
6,8 fl
PDW
10,3 fl
Eritrosit
Mikrositik hipokrom
anisositosis
fragmentasi, sel
target, sel pensil,
jumlah menurun.
39
Jumlah normal,
Leukosit
Morfologi normal,
Trombosit
jumlah normal.
Anemia mikrositik
KESAN
hipokrom disertai
eosinophilia.
SARAN
Hasil pemeriksaan
Nilai normal
Ureum darah
176
20 50 mg%
Kreatinin darah
3,79
Asam urat
4,88
2 7 mg/dl
GDS
144
Hasil pemeriksaan
Nilai normal
pH
7,258
pCO2
45,4
35 45 mmHg
40
pO2
101,3
85 95 mmHg
HCO3
20,5
22 29 mmol/L
Base excess
- 5,9
(-2) (+3)
TCO2
21,9
23 27 mmol/L
O2 sat
96,3
85 95 %
FOLLOW UP
30 Juli 2010
Jam 07.00
Sejak jam 03.00 dini hari pasien merasa tidak sesak, nyeri dada +, batuk +
TD : 150/90 mmHg
Nadi : 100 x/min
Suhu : 36,2 C
RR
: 24 x/min
CKD
Diet RP II dan RG II
IVFD Kidmin : Asering (2:1) 12 tpm
Inj. Lasix 2x1 amp IV
Inj. Narfoz 3x1 amp IV
Angioten 1x50 mg tab
Bicnat 3x1 tab
41
30 Juli 2010
Jam 15.00
Sesak + baik saat berbaring maupun posisi setengah tidur, nyeri tekan +,
batuk +.
TD : 170/100 mmHg
Nadi : 108 x/min
Suhu : 36 C
RR
: 25 x/min
CKD + HHD
Tx teruskan
30 Juli 2007
Jam 16.00
TD : 180/100 mmHg
Nadi : 96 x/min
Suhu : 36,5 C
RR
: 28 x/min
42
CKD + HHD
Tx teruskan
30 Juli 2007
Jam 17.00
TD : 180/100 mmHg
Nadi : 104 x/min
Suhu : 35,8 C
RR
: 28 x/min
CKD + HHD
Tx teruskan
30 Juli 2007
Jam 18.00
43
TD : 180/100 mmHg
Nadi : 104 x/min
Suhu : 36 C
RR
: 32 x/min
Uremia
DIAGNOSIS
Diagnosis kerja pada pasien ini adalah CKD, diagnosis ini dibuat berdasarkan hasil
anamnesis bahwa pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol dan sudah berjalan
dalam waktu yang lama. Pada gejala klinis, pasien menunjukan keadaan sesak, lemas, mual
dan muntah yang menuju kearah penyakit tersebut. Pada pemeriksaan fisik, secara nyata
didapatkan tekanan darah tinggi yang tidak menunjukan adanya perubahan yang signifikan
setelah pemberian terapi, adanya irama jantung yang cepat atau takikardia, respiratory rate
yang meningkat sesuai dengan keadaan pasien yang tampak sesak. Pada pemeriksaan
penunjang, ditemukan peningkatan ureum, peningkatan kreatinin darah, penurunan
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSMC FKUPH
Periode 26 Juli 2 Oktober 2010
44
haemoglobin yang juga turut mendukung diagnosa CKD, selain itu ditemukan juga laju
filtrasi glomerulus >20 ml/min/1,73m2 yang menurut klasifikasi gagal ginjal kronik
mengambil dari National kidney foundation guidelines termasuk dalam derajat 4 (penurunan
berat pada LFG).
Tatalaksana
ICU
Hemodialisis
Prognosis
Ad Vitam
: Dubia et malam
Ad fungsionam
: Dubia et malam
Ad Sanationam
: Dubia et malam
Resume
Seorang laki-laki berusia 61 tahun datang ke poliklinik penyakit dalam Rumah Sakit Marinir
Cilandak (RSMC), dengan keluhan utama mual dan muntah, dengan tampak sisa ampas
makanan sejak kemarin malam, pada tanggal 28 Juli 2010. Keluhan lain berupa sesak napas
dan gelisah, pasien juga tidak dapat tidur dengan nyenyak. Pasien mengaku BAK normal
tidak ada darah, tidak ada nyeri. BAB normal, tida ada darah dan tidak ada lendir
Sebelumnya pasien pernah dirawat di RSMC pada tanggal 21 Juni 2010 dengan keluhan
nyeri dada disertai keringat dingin setelah menonton pertandingan sepak bola, pasien saat itu
terdiagnosis dengan angina disertai CKD disertai HHD. Pasien keluar dari RS pada tanggal
24 Juni 2010 dengan tanpa disertai keluhan apapun. Pasien direncanakan untuk rawat jalan.
Pasien secara rutin melakukan control ke poliklinik penyakit dalam RSMC. Pasien kontrol
pada tanggal 8 Juli 2010 dengan keluhan badan terasa lemas dan muntah bila ingin makan.
Kemudian pasien control lagi pada tanggal 22 Juli 2010 dengan tanpa keluhan. Pasien
mengaku memiliki riwayat penyakit hipertensi yang tidak terkontrol, karena tidak minum
obat dengan teratur. Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit diabetes militus. Pasien juga
mengaku memiliki riwayat penyakit ginjal. Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit
jantung, riwayat penyakit asma. Pasien mengaku tidak memiliki alergi obat apapun.
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSMC FKUPH
Periode 26 Juli 2 Oktober 2010
45
Pasien menyangkal memiliki riwayat merokok dan riwayat mengkonsumsi alkohol disangkal
oleh pasien. Pasien mengaku sehari-hari jarang olahraga. Pasien mandi 3x sehari. BAK lancar
3x sehari tanpa disertai distensi. BAB lancar 1x sehari. Pasien rata-rata sehari minum 8 gelas
air. Pasien makan teratur 3x sehari. Pasien tidur cukup 8 jam setiap harinya. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien sakit sedang dan compos mentis. Status
gizi baik. Cara berbaring dan berjalan lemah, tekanan darah pasien 200/100 mmHg, nadi
92x/min, reguler, isi cukup, sesuai karotis, respiratory rate 40x/min, teratur, suhu 36C,
TB/BB: 170 cm/62kg, konjungtiva tampak anemis, THT baik, gilut baik, JVP 5-2 cm H2O,
tidak terdapat pembesaran KGB. Bunyi jantung regular, tanpa ada murmur dan gallop. Suara
paru bronkovesikuler, disertai ronkhi kasar pada kedua lapang paru, terutama 1/3 basal paru,
terdapat wheezing pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan abdomen, datar, tidak terdapat
kelainan, tidak terdapat nyeri tekan, terdengar bising usus normal. Pada pemeriksaan
ekstrimitas, kedua ekstrimitas baik, tidak ada udema. Pada pemeriksaan laboratorium,
diketahui pasien anemia dengan Hb 6,6 gr/dl, hematokrit menurun 20%, hasil morfologi
darah tepi, mikrositik hipokrom anisositosis fragmentasi, sel target, sel pensil, jumlah
menurun. Pasien diberikan terapi berupa: bedrest, diet rendah protein II (asupan protein 35 g
diberikan pasien dengan berat badan 60 kg) dan rendah garam II (Diberikan untuk pasien
dengan odema, asites dan hipertensi yang tidak terlalu berat, dalam pengolahan makanan
boleh menggunakan sdt garam (2 g)), infus kidmin berbanding asering (2:1) 12 tpm,
injeksi Lasix 2x1 amp IV, injeksi narfoz 3x1 amp IV, angioten 1x 50 mg tab, bicnat 3x1 tab,
prorenal 3x2 tab, osteocal 2x1 tab, as.folat 3x1 tab. Pasien disarankan untuk masuk ICU dan
melakukan hemodialisis.
46
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Diagnosis pada pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pasien adalah laki-laki berusia 61 tahun, dalam kasus ini pasien
didiagnosis sebagai gagal ginjal kronik berdasarkan hasil anamesis, dimana pasien memiliki
riwayat hipertensi yang tidak terkontrol karena tidak minum obat secara teratur. Hal ini juga
didukung dengan riwayat keluarga pasien, dimana ayah pasien juga memiliki riwayat
hipertensi.
Apabila dilihat dari gejala klinis yang timbul, gejala pasien yang merasa mual,
muntah, disertai sesak dan penurunan nafsu makan juga dapat mendukung kearah gagal ginjal
kronik. Bila dilihat dari pemeriksaan fisik, secara nyata dapat ditemukan adanya peningkatan
tekanan darah, respiratory rate yang meningkat menunjukan adanya sesak, adanya irama
jantung yang takikardia, adanya konjungtiva yang anemis menunjukan adanya anemia.
Pada pemeriksaan penunjang, hasil laboratorium darah menunjukan bahwa
haemoglobin pasien rendah akibat defisiensi eritropoitin yang berhubungan dengan gagal
ginjal kronik, terdapat peningkatan yang bermakna pada ureum dan kreatinin yang
menunjukan adanya gangguan pada ginjal. Pemeriksaan analisa gas, menunjukan keadaan
pasien dalam respirapori asidosis yang belum terkompensasi, pada pemeriksaan morfologi
darah tepi, didapatkan hasil anemia mikrositik hipokrom. LFG pasien 20 ml/min/1,72 m2,
terdiagnosa pasien gagal ginjal kronik derajat 4.
Pada kasus ini, gagal ginjal kronik yang dialami pasien dapat diklasifikasikan dalam
tahapan berat, dilihat dari gejala klinis yang dialami oleh pasien dan hasil laboratorium darah.
Sedangkan etiologic GGK pada kasus ini adalah hipertensi yang dapat menyebabkan
nefrosklerosis, hal ini disimpulkan berdasarkan anamnesis pasien yang memiliki riwayat
hipertensi yang tidak terkontrol karena pasien tidak teratur minum obat.
Sedangkan komplikasi yang dihadapi pasien dalam kasus ini yang adalah anemia. Hal
ini dibuktikan dengan hasil laboratorium darah dan hasil morfologi darah tepi yang
menunjukan keadaan pasien yang anemia.
47
Pada kasus gagal ginjal kronik, tranfusi darah sifatnya hanya sementara, untuk itu
diperlukan juga pemberian eritropoietin. Selain itu pengendalian homosistein juga penting
dengan memberikan asam folat dan vitamin B12.Kemudian pemberian CaCO3 600 800
mg/hari juga diperlukan pada pasien ini untuk mengatasi hiperfosfatemia.
Pada tanggal 30 juli 2010, pasien dianjurkan untuk menjalani hemodialisa atas dasar:
1. Adanya penurunan LFG
2. Adanya peningkatan kadar ureum
3. Adanya peningkatan kreatinin
4. Adanya sindrom uremia berupa mual, muntah, penurunan nafsu makan.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Ardaya. Manajemen gagal ginjal kronik. Nefrologi Klinik, tatalaksana Gagal ginjal Kronik,
2003. Palembang:Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2003:13-22
2. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Gagal ginjal kronik. Dalam
Kapita selekta kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius FKUI,2001:531-534.
3. Skorecki K, Green J, Brenner BM. Chronic Renal Failure. Dalam Braunwald E, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, et al (eds): Harissons Principles od Internal Medicine, 16rd
ed. New York, McGraw Hill, 2005:1653-1663.
4. Gold, NS. Chronic Renal Failure. http://www.5mcc.com/content.html.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Dalam Ilmu Penyakit Dalam
Vol.1, ed.4. Jakarta: FKUI, 2007:570
6. Nasution MY, Prodjosudjadi W. pemeriksaan penunjang pada penyakit ginjal. Dalam Noer
S. Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi ketiga. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2001:299-306
7. Baigent C, Landry M (2003) Study of heart and renal protection. Kidney International 63:
S207-S210.
8. National institutes for health and clinical excellences guidelines 39. Anemia management
in people with chronic kidney disease.Develop by the national collaborating centre for
chronic condition. 2006,September.
9. Perhimpunan Nefrologi Indonesia dalam: Konsensus Manajemen Anemia Pada pasien
Gagal Ginjal Kronik: 2001
10. Ali Z. Nutrisi parenteral pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Dalam Nefrologi Klinik,
Tatalaksana Gagal ginjal Kronik, 2003. Palembang: perhimpunan nefrologi Indonesia, 2003:
39-34.
11. National institutes for health and clinical excellences guidelines 73.Early identification
and management of chronic kidney disease in adult in primary and secondary care.Develop
by the national collaborating centre for chronic condition. 2008,September.
49