Anda di halaman 1dari 16

MINERAL TEMBAGA (Cu) DALAM SISTEM

BIOLOGI
TUGAS
MATA KULIAH BIOANORGANIK

Disusun Oleh :
ERRIKA AYU PRAHASTI

11030234004

MUHAMAD GHADAFI

11030234019

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA
DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
SURABAYA
2014

KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya,
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul MINERAL TEMBAGA (Cu) DALAM
SISTEM BIOLOGIS, yang merupakan bentuk Ujian Tengah Semeter dari mata kuliah
Bioanorganik.
Dalam penulisan makalah ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan dan saran
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada:
1. Dosen pengampu mata kuliah bioanorganik yang telah banyak memberikan arahan dalam
penyelesaian makalah ini.
2. Orang tua, keluarga dan rekan-rekan yang selalu memberikan dukungan dan perhatian
kepada penulis.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran
dari seluruh pihak sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat memberikan informasi yang
bermanfaat.

Surabaya, November 2014

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .........................................................................................


KATA PENGANTAR ......................................................................................... 2
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 3
I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
C. Tujuan Penulisan Makalah ........................................................................... 5
D. Manfaat Penulisan Makalah ........................................................................ 5
II.ISI
A. Penggolongan Mineral dalam Tubuh .......................................................... 5
B. Peran Mineral Mikro Esensial Cu dalam Tubuh.......................................... 6
C. Penyakit Defisiensi Mineral Mikro Esensial Cu ......................................... 13
III. PENUTUP
Kesimpulan ...................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 15
LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Unsur mineral merupakan salah satu komponen yang sangat diperlukan oleh
makhluk hidup disamping karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin, juga dikenal
sebagai zat anorganik atau kadar abu. Sebagian besar mineral akan tertinggal
dalam bentuk abu dalam bentuk senyawa anorganik sederhana, serta akan terjadi
penggabungan antar individu atau dengan oksigen sehingga terbentuk garam
anorganik (Davis dan Mertz 1987).
Berbagai unsur anorganik (mineral) terdapat dalam bahan biologi, tetapi
tidak atau belum semua mineral tersebut terbukti esensial, sehingga ada mineral
esensial dan nonesensial. Mineral esensial yaitu mineral yang sangat diperlukan
dalam proses fisiologis makhluk hidup untuk membantu kerja enzim atau
pembentukan organ. Unsur-unsur mineral esensial dalam tubuh terdiri atas dua
golongan, yaitu mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro diperlukan
untuk membentuk komponen organ di dalam tubuh. Mineral mikro yaitu mineral
yang diperlukan dalam jumlah sangat sedikit dan umumnya terdapat dalam
jaringan dengan konsentrasi sangat kecil. Mineral nonesensial adalah logam yang
perannya dalam tubuh makhluk hidup belum diketahui dan kandungannya dalam
jaringan sangat kecil. Bila kandungannya tinggi dapat merusak organ tubuh
makhluk hidup yang bersangkutan. Di samping mengakibatkan keracunan, logam
juga dapat menyebabkan penyakit defisiensi (McDonald et al. 1988; Spears 1999;
Inoue et al. 2002). Salah satunya adalah terhambatnya proses transport O2.
Tembaga dikenal dengan nama Copper yang dilambangkan dengan Cu.
Secara kimia, tembaga adalah logam yang paling tidak aktif diantara deretan
pertama logam peralihan. Tembaga murni mempunyai kilauan merah, bersifat
paramagnetik, biasa dipakai sebagai penghantar arus listrik.
Sebagai logam berat, Cu berbeda dari logam berat lainnya. Logam berat
Cu digolongkan kepada logam berat essensial artinya walaupun termasuk logam
berat yang berbahaya tetapi unsur logam ini dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah
4

sedikit. Pada manusia Cu dikelompokkan kedalam metalloenzim dalam sistem


metabolismenya. Logam Cu dibutuhkan untuk sistem enzim oksidatif. Selain itu
Cu juga dibutuhkan oleh manusia sebagai kompleks Cu protein yang mempunyai
fungsi tertentu dalam pembentukan haemoglobin, kolagen, pembuluh darah dan
myelin otak. Walaupun sangat dibutuhkan, logam Cu dalam metabolismenya
akan berbalik menjadi bahan racun untuk manusia bila masuk dalam jumlah
berlebihan (Palar, 1994).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana mekanisme Cu di dalam sistem biologis ?
2. Bagaimana dampak defisiensi Cu dalam sistem biologis ?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui mekanisme Cu dalam sistem biologis
2. Untuk mengetahui dampak defisiensi Cu dalam sistem biologis
D. MANFAAT
Memberikan penjelasan mengenai mekanisme dan dampak defisiensi Cu dalam
sistem biologis

II. ISI

A.

PENGGOLONGAN MINERAL DALAM TUBUH


Berdasarkan kegunaannya dalam aktivitas kehidupan, mineral (logam)
dibagi menjadi dua golongan, yaitu mineral logam esensial dan nonesensial.
Mineral logam esensial biasanya terikat dengan protein, termasuk enzim untuk
proses metabolisme tubuh, salah satu contohnya yaitu tembaga (Cu). Selain itu
Cu juga merupakan mineral mikro. Mineral mikro ialah mineral yang
diperlukan dalam jumlah sangat sedikit dan umumnya terdapat dalam jaringan
dengan konsentrasi sangat kecil (McDonald et al. 1988; Spears 1999; Tabel 1).
Tabel 1. Nutrisi mineral esensial dan jumlahnya dalam tubuh hewan.
Mineral makro
Kalsium(Ca)
Fosforus (P)
Kalium (K)

g/kg
15
10
2

Mineral mikro
Besi (Fe)
Seng (Zn)
Tembaga (Cu)

mg/kg
2080
1050
15
5

Natrium (Na)
Klorin (Cl)
Sulfur (S)
Magnesium (Mg)

B.

1,60
1,10
1,50
0,40

Molibdenum (Mo)
Selenium (Se)
Iodin (I)
Mangan (Mn)
Kobalt (Co)

14
12
0,300,60
0,200,60
0,020,10

PERAN MINERAL MIKRO ESENSIAL Cu DALAM TUBUH


Secara garis besar, mineral esensial dapat dikelompokkan menurut fungsi
metaboliknya atau fungsinya dalam proses metabolisme zat makanan. Dalam
tubuh, mineral ada yang bergabung dengan zat organik, ada pula yang
berbentuk ion-ion bebas. Tiap unsur esensial mempunyai fungsi yang berbedabeda (Tabel 2), bergantung pada bentuk atau senyawa kimia serta tempatnya
dalam cairan dan jaringan tubuh (Puls 1994).
Tembaga merupakan unsur esensial yang bila kekurangan dapat
menghambat pertumbuhan dan pembentukan hemoglobin. Tembaga sangat
dibutuhkan alam pada proses metabolisme, pembentukan hemoglobin, dan
proses fisiologis dalam tubuh hewan (Richards 1989; Ahmed et al. 2002).
Tembaga ditemukan dalam protein plasma, seperti seruloplasmin yang berperan
dalam pembebasan besi dari sel ke plasma. Tembaga juga merupakan
komponen dari protein darah, antara lain eritrokuprin, yang ditemukan dalam
eritrosit (sel darah merah) yang berperan dalam metabolisme oksigen (Darmono
1995; 2001).

Transport O2 oleh Cu-Protein

Cu-protein yang digunakan untuk membawa oksigen pada kelompok moluska


disebut Haemosianin. Meskipun mengandung nama haem namun tidak
mengandung protein-protein haem. Dalam bentuk deoksi, haemosianin tidak
berwarna namun mengandung Cu(I), ketika mengikat O2 maka akan
membentuk/ mengandung Cu(II).

Struktur Haemosianin
Pada gambar (a) rantai protein yang terlipat dari satu subunit bentuk deoksi.
Sementara pada gambar (b) sisi aktif Cu yang masing-masing atom mengikat 3
histidine, dan diikuti dengan pembentukan Cu---Cu tak terikat (non-bonded)
354 pm, dapat dilihat pada gambar berikut :

Ikatan Cu---Cu pada Cu-Protein Deoksi

Sedangkan pada gambar (c) merupakan bentuk oksihaemosianin dengan ikatan


Cu---Cu menjadi 360 pm, ikatan O-O 140 pm (tipikal dari komlpleks
peroksida.

Reaksi Pengikatan O2 pada situs aktif Cu


Pengikatan oksigen dapat dituliskan dengan rumus kimia Cu(II)-[O22-]-Cu(II).
Rumus kimia tersebut dapat dibuktikan dekan data spektrosopi IR, dengan data:

Reaksi Kesetimbagngan perokso dan okso-Copper


Ada beberapa tipe protein-tembaga, diantaranya :
Tipe I
Disebut juga Blue Protein, pada tipe ini terdapat satu ion Cu(II) pada
sisi aktif, memilki satu elektron tidak berpasangan. Panjang gelombang
maksimum sekitar 600 nm.
Tipe II
Untuk tipe ini tidak ada sifat unik dibandingkan dengan senyawa Cu(II)
biasa.
Tipe III
Pada tipe ini mempunyai sifat antiferromagnetik dalam bentuk
dimernya, yang artinya dia merupakan diamagnetik. Panjang gelombang
maksimum sekitar 330 nm.
Tipe IV
Pada tipe ini merupakan tipe protein yang memiliki sifat tipe I, II, dan
III dalam satu tipe

Blue-Protein (Tipe I)

Kestabilan Blue-Protein
Selain ikut berperan dalam sintesis hemoglobin, tembaga merupakan bagian
dari enzim-enzim dalam sel jaringan. Tembaga berperan dalam aktivitas enzim
pernapasan, sebagai kofaktor bagi enzim tirosinase dan sitokrom oksidase.
Tirosinase mengkristalisasi reaksi oksidasi tirosin menjadi pigmen melanin
(pigmen gelap pada kulit dan rambut). Sitokrom oksidase, suatu enzim dari
gugus heme dan atom-atom tembaga, dapat mereduksi oksigen (Davis dan
Mertz 1987; Mills 1987; Sharma et al. 2003).

10

Perbandingan (A) Mononuclear Copper Peroxo dan (B) Binuclear Copper


Peroxo

11

Mineral

Fungsi

Sumber

Membentuk hemoglobin
dan mioglobin, bagian dari
susunan enzim
Eritropoiesis Co enzim,
fungsi jantung yang baik,
pigmentasi
bulu,
reproduksi

Telur, tanah, makanan hijauan


dan butiran, injeksi besi, babi,
FeSO4
Susunan Bahan makanan dan
CuSO4(0,250,50%) CuSO4
ditambahkan pada garam

Kobalt (Co)

Membentuk
hormon
trioksin
tiroksin
dan
kelenjar tiroksin
Bagian dari vitamin

Seng (Zn)

Carbonic anhydrase

Garam beriodin (kalium iodida


sebagai komponen esensial
pada garam, minyak ikan)
B12 Pelet kobalt (untuk
ruminansia), 0,50 ppm garam
kobalt
ditambahkan
pada
ransom (injeksi vitamin B12
untuk
menghilangkan
defisiensi kobalt)
ZnO atau ZnCO3 ditambahkan
pada ransum pakan hijauan

Besi (Fe)

Tembaga (Cu)

Iodin (I)

Sumber: McDonald et al. (1988).

12

C.

PENYAKIT DEFISIENSI MINERAL MIKRO ESENSIAL Cu


Penyakit defisiensi mineral banyak dijumpai pada ternak. Unsur mineral
mikro yang dibutuhkan ternak sering tidak tercukupi dalam pakan. Kandungan
unsure tersebut dalam tubuh sangat sedikit, terutama pada hewan yang hidup
liar dan hewan yang digembalakan atau dikandangkan namun dengan
pengelolaan yang kurang baik. Gartenberg et al. (1990) melaporkan bila tanah
tempat hijauan pakan tumbuh miskin unsur mineral maka ternak yang
mengkonsumsi hijauan tersebut akan menunjukkan gejala defisiensi mineral.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada daerah yang kering dengan curah
hujan rendah, kandungan mineral dalam tanah dan tanaman umumnya sangat
rendah (Prabowo et al. 1984; Chandra 1985). Defisiensi mineral pada ternak
dapat menimbulkan gejala klinis yang spesifik untuk setiap mineral, tetapi
kadangkadang gejala tersebut hampir mirip, sehingga untuk menentukan
diagnosis penyakit defisiensi mineral perlu dilakukan analisis kandungan
mineral dalam darah (Stuttle 1989; Graham 1991). Penyakit akibat kekurangan
unsure tembaga ditemukan pada beberapa tempat di dunia. Selain menyebabkan
anemia, kekurangan tembaga juga mengakibatkan gangguan pada tulang,
kemandulan, depigmentasi pada rambut dan bulu, gangguan saluran
pencernaan, serta lesi pada syaraf otak dan tulang belakang (Graham 1991;
Engle et al. 2001; Sharma et al. 2003; Chung et al. 2004). Penyakit defisiensi
tembaga juga disebut enzootik ataksia, yang ditemukan pada anak domba di
Australia. Falling disease juga ditemukan di Australia, suatu penyakit akibat
defisiensi tembaga yang menahun karena ternak mengkonsumsi hijauan pakan
yang kadar tembaganya rendah (Clark et al. 1993; Chung et al. 2004).
Penambahan garam tembaga sulfat pada ransum dapat mencukupi kebutuhan
ternak serta mencegah pertumbuhan aspergilosis pada pakan yang basah (Yost
et al. 2002).
Tabel 3. Defisiensi logam mikro esensial dalam tubuh.
Mineral
Besi (Fe)

Defisiensi
Anemia

Gejala

Diarrhea, nafsu makan hilang

13

Tembaga (Cu)

Iodin (I)

Kobalt (Co)

Seng (Zn)

kelelahan,
Malnutrisi,
neutropenia

anemia, Nafsu makan terganggu,


pertumbuhan terhambat,
diarrheaosteomalesi,
rambut
dan
bulu
memucat, jalan ataxis

Produksi tiroksin pada


glandula tiroid menurun
pembengkakan
pada
leher

Pembesaran leher pada


anak sapi dan domba,
gondok, anak babi tanpa
bulu dan anak domba
tanpa wol, anak sapi daya
hidup tidak ada
Defisiensi vitamin B12
Kehilangan nafsu makan,
kelemahan,
kekurusan, bulu kasar,
anemia,
kerusakan
reproduksi
Penyakit genetik, stress, Pertumbuhan terganggu,
traumatik
imunitas parakeratosis
pada,
anorexia
depresi babi, peradangan
pada hidung dan mulut
pada anak sapi, ayam
bulu kasar, daya tetes
rendah

Sumber: McDonald et al. (1988).

14

III. PENUTUP
KESIMPULAN

Mineral Cu utamanya dalam bentuk kompleksnya memiliki peranan yang


sangat penting dalam system biologi meskipun Cu merupakan mineral mikro
essensial. Salah satu contonya adalah digunakan dalam system pengangkutan O2
dalam bentuk Cu-protein tipe III (Hemosianin). Selain itu jika dalam tubuh
mengalami kekurangan (defisiensi) Cu maka dapat mengalami kelainan
contohnya nafsu makan terganggu dan terhambatnya pertumbuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, M.M.M., I.M.T. Fadlalla, and M.E.S. Barri. 2002. Tropical Animal.
Health and Prod. 34(1)
Atkins, et al. 2009. Inorganic Chemistry. Fifth Edition. W. H. Freeman and
Company. New York
Chung, J., D.J. Haile, and M.W. Resnick. 2004. Ferroportin-1 is not upregulated
in copperdeficient mice. J. Nutr.
Clark, T.W., Z. Xin, R.W. Hemken, and R.J. Harmon. 1993. A comparing copper
sulphate and copper oxide as copper sources for the mature ruminant J.
Dairy Sci. 76 (Suppl. 1): 318 (Abstr.).
Darmono and S. Bahri. 1989. Defisiensi Cu dan Zn pada sapi di daerah
Transmigrasi Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan 21(38)
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Penerbit
Universitas Indonesia (UI Press).
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Hubungannya dengan
Toksikologi Senyawa Logam. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
Davis, G.K. and W. Mertz. 1987. Copper. p. 301 364. In W. Mertz (Ed.) Trace
Elements in Human and Animal Nutrition. Academic Press, Inc. San Diego,
CA.
15

Graham, T.W. 1991. Trace element deficiencies in cattle. Vet. Clin. N. Am.: Food
Anim. Pract. 7
Housecroft, Catherine E, et al. 2005. Inorganic Chemistry. PEARSON Prentice
Hall
McDonald, P., R.A. Edwards, and J.F.D. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrition.
John Willey and Sons Inc., New York.
Prabowo, A., J.E. Van Eys, I.W. Mathius, M. Rangkuti, and W.I. Johnson. 1984.
Studies on the mineral nutrition on sheep in West Java. Balai Penelitian
Ternak, Bogor. p. 25. Puls, R. 1994. Mineral Levels and Animal Health:
Diagnostic Data. Second edition. Sherpa International Clearbrook, BC.

16

Anda mungkin juga menyukai