Anda di halaman 1dari 36

IPD

TUBERKULOSIS PARU
PENDAHULUAN
Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah
sangat lama dikenal pada manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal
didaerah urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan
kerusakan tulang vertebra torak yang khas TB dari kerangka yang digali di
Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari
mumi dan ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 2000-4000 SM.
Hipokrates telah memperkenalkan terminologi phthisis yang diangkat dari bahasa
Yunani yang menggambarkan tampilan TB paru ini.
Bukti yang lain dari Mesir, pada mummi-mummi yang berasal dari tahun
3500 SM, Jordania (300 SM), Scandinavia (200 SM), Nesperehan (1000 SM), Peru
(700), United Kingdom (200-400 SM) masing-masing dengan fosil tuiang manusia
yang melukiskan adanya Pott's disease atau abses paru yang berasal dari tuberkulosis,
atau terdapatnya lukisan orang-orang dengan bongkok tulang belakang karena sakit
spondilitis TB.
Literatur Arab: Al Razi (850-953 M) dan Ibnu Sina (980-1037M) menyatakan
adanya kavitas pada paru-paru dan hubungannya dengan lesi di kulit. Pencegahannya
dengan makan-makanan yang bergizi, menghirup udara yang bersih dan
kemungkinan (prognosis) dapat sembuh dari penyakit ini. Disebutkan juga bahwa TB
sering didapat pada usia muda (18-30 th) dengan tanda-tanda badan kurus dan dada
yang kecil.
Baru dalam tahun 1882 Robert Koch menemukan kuman penyebabnya
semacam bakteri berbentuk batang dan dari sinilah diagnosis secara mikrobiologis
dimulai dan penatalaksanaannya lebih terarah. Apalagi'pada tahun 1896 Rontgen
menemukan sinar X sebagai alat bantu menegakkan diagnosis yang lebih tepat.

Penyakit ini kemudian dinamakan Tuberkulosis, dan hampir seluruh tubuh


manusia dapat terserang olehnya tetapi yang paling banyak adalah organ paru. .
Pada permulaan abad 19, insidensi penyakit tuberkulosis di Eropa dan
Amerika Serikat sangat besar. Angka kematian cukup tinggi yakni 400 per 100.000
penduduk, dan angka kematian berkisar 15-30% dari semua kematian. Di antara yang
meninggal tercatat orang-orang terkenal seperti: Voltaire, Sir Walter-Scott, Edgar
Allan Poe, Frederick Chopin, Laenec, Anton-Chekov, dll. Usaha-usaha untuk
mengurangi angka kematian dilakukan seperti menghirup udara segar di alam
terbuka, makan/minum makanan bergizi, memberikan obat-obat seperti tuberkulin
(sebagai upaya terapi), digitalis, minyak ikan dan lain-lain, tetapi hasil-nya masih
kurang

memuaskan.

Tahun

1840

George

Bodingto

dari

Sutton

Inggris

mengemukakan konsep sanatorium untuk pengobatan TB tetapi ia tidak mendapat


tanggapan pada waktu itu. Baru pada tahun 1859 Brehmen di Silesia Jerman,
mendirikan sanatorium dan berhasil menyembuhkan sebagian pasiennya.
Sejak itu banyak sanatorium didirikan seperti di Denmark, Amerika Serikat
dan kemudian terbanyak di Inggris yakni di Wales, England, Skotlandia. Setelah
sukses

dengan

sanatorium,

barulah

dipikirkan

usaha

pencegahan

seperti

memusnahkan sapi yang tercemar TB, memberikan pendidikan kesehatan dan


perbaikan lingkungan pada penduduk seperti makan/minum yang baik, tidak
menghirup udara buruk, menghindari lingkungan hidup yang terlalu padat,
mengurangi pekerjaan yang meletihkan.
Sejak awal abad 19, angka kesakitan dan kematian pertahun dapat diturunkan
karena program perbaikan gizi dan kesehatan lingkungan yang baik serta adanya
pengobatan lain/tindakan bedah seperti collapse therapy.
Pada tahun 1892 Robert Koch mengidentifikasi basil tahan asam
M.tuberculosis untuk pertama kali sebagai bakteri penyebab TB ini. la
mendemontrasikan bahwa basil ini bisa dipindahkan kepada binatang yang rentan,
yang akan memenuhi kriteria postulat Koch yang merupakan prinsip utama dari
patogenesis mikrobial. Selanjutnya ia menggambarkan suatu percobaan yang

memakai guinea pig, untuk memastikan observasinya yang pertama yang


menggambarkan bahwa imunitas didapat mengikuti infeksi primer sebagai suatu
fenomena Koch. Konsep dari pada imunitas yang didapat (acquired immunity)
diperlihatkan dengan pengembangan vaksin TB, satu vaksin yang sangat sukses, yaitu
vaksin Bacillus Calmette Guerin (BCG) dibuat dari suatu strain Mikobakterium
Bovis, vaksin ini ditemukan oleh Albert Calmette dan Camille Guerin di histitut
Pasteur Perancis dan diberikan pertama kali kemanusia pada tahun 1921.
Sejarah eradikasi TB dengan kemoterapi dimulai pada tahun 1944 ketika
seorang perempuan umur 21 tahun dengan penyakit TB paru lanjut menerima injeksi
pertama Streptomisin yang sebelumnya diisolasi oleh Selman Waksman. Segera
disusul dengan penemuan asam para amino salisilik (PAS) .Kemudian dilanjutkan
dengan penemuan Isoniazid yang signifikan yang dilaporkan oleh Robitzek dan
Selikoff 1952. Kemudian diikuti penemuan berturut-turut pirazinamid tahun 1954 dan
Etambutol 1952, Rifampisin 1963 yang menjadi obat utama TB sampai saat ini.
EPIDEMIOLOGI GLOBAL
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB
masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993
WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB dianggap sebagai
masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia
terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang
tercatat diseluruh dunia.
Sebagian besar dari kasus TB ini (95 %) dan kematiannya (98 %) terjadi
dinegara-negara yang sedang berkembang. Di antara mereka 75 % berada pada usia
produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi
maka lebih dari 65% dari kasus-kasus TB yang baru dan kematian yang muncul
terjadi di Asia
Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara lain
disebabkan : 1. Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada negara yang

sedang berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu dinegara maju. 2.
Adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan perubahan
dari struktur usia manusia yang hidup. 3. Perlindungan kesehatan yang tidak
mencukupi pada penduduk di kelompok yang rentan terutama dinegeri-negeri miskin.
4.Tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter.
5.Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostik, dan pengawasan kasus
TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat. 6. Adanya
epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia.
EPIDEMIOLOGI TB DI INDONESIA
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah
China dan India. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di China, India dan Indonesia
berturut turut 1.828.000, 1.414.000, dan 591.000 kasus. Perkiraan kejadian BTAdi
sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan survei
kesehatan rumah tangga 1985 dan survai kesehatan nasional 2001, TB menempati
ranking nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi
nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24 %. Sampai sekarang angka kejadian TB
di Indonesia relatif terlepas dari angka pandemi infeksi HIV karena masih relatif
rendahnya infeksi HIV.
CARA PENULARAN
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya
secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi Minis yang paling sering
dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil
yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru
dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA).
Pada TB kulit atau jaringan lunak penularan bisa melalui inokulasi langsung. Infeksi
yang disebabkan oleh M. bovis dapat disebabkan oleh susu yang kurang disterilkan

dengan baik atau terkontaminasi. Sudah dibuktikan bahwa lingkungan sosial ekonomi
yang baik, pengobatan teratur dan pengawasan mjnum obat ketat berhasil mengurangi
angka morbiditas dan mortalitas di Amerika selama tahun 1950-1960.
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Yang
tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah : 1. M.
tuberculosae, 2. Varian Asian, 3. Varian African I, 4. Varian African II, 5. M. bovis.
Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.
Kelompok kuman Mycobacteria Other Than TB (MOTT, atypical adalah: l.M.
kansasi, 2. M. avium, 3. M. intra cellulare, 4. M.scrofulaceum, 5. M. malmacerse, 6.
M. xenopi.
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan
terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga
lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara
kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es).
Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini
kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif
lagi.
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam
sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian
disenanginya karena banyak mengandung lipid.
Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan
oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian
apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.
KLASIFIKASI TUBERKULOSIS

Sampai sekarang belum ada kesepakatan di antara para klinikus, ahli


radiologi, ahli patologi, mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakat tentang
keseragaman klasifikasi tuberkulosis. Dari sistem lama diketahui beberapa klasifikasi
seperti :

Pembagian secara patologis


- Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis)
- Tuberkulosis post-primer (adult tuberculosis)
Pembagian secara aktivitas radiologis Tuberkulosis paru (Koch Pulmonum) aktif,
non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh).
Pembagian secara radiologis (luas lesi)
- Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat non kavitas pada satu
-

paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih
dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru.

Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.
Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi
keadaan pada moderately advanced tuberculosis.
Pada tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru

yang diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat.

Kategori 0 : Tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negatif,

tes tuberkulin negatif.


Kategori I : Terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Di sini riwayat

kontak positif, tes tuberkulin negatif.


Kategori II : Terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberkulin positif,

radiologis dan sputum negatif.


Kategori III: Terinfeksi tuberkulosis dan sakit.
Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan

klinis, radiologis, dan mikrobiologis :

Tuberkulosis paru
Bekas tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam: a.) Tuberkulosis paru tersangka
yang diobati. Di sini sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain positif. b).

Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Di sini sputum BTA negatif dan
tanda-tanda lain juga meragukan.
Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk
TB paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan : 1.
Status bakteriologi, 2. Mikroskopik sputum BTA (langsung), 3. Biakan sputum BTA,
4. Status radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru, 5. Status
kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti tuberkulosis.
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni:
Kategori I, ditujukan terhadap :

Kasus baru dengan sputum positif.


Kasus baru dengan bentuk TB berat.

Kategori II, ditujukan terhadap :

Kasus kambuh
Kasus gagal dengan sputum BTA positif

Kategori III, ditujukan terhadap :

Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.


Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I

Kategori IV, ditujukan terhadap : TB kronik.


GEJALA-GEJALA KLINIS
Keluhan yang dirasakan pasien tuberku-losis dapat bemacam-macam atau
malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah :
Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang
panas badan dapat mencapai 40-41C. Serangan demam pertama dapat sembuh
sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang
timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari

serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh
pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
Batuk/batuk darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi
pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru
ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah bermingguminggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk
kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena
terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis
terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
Sesak napas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas.
Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya
sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
Malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan
turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin
lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
PEMERIKSAAN FISIS
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris),
badan kurus atau berat badan menurun.

Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun
terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfillrasi secara asimtomatik.
Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan
pada pemeriksaan fisis, karena hantaran getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam
para sulit dinilai secara pal-pa si, perkusi dan auskultasi. Secara anam-nesis dan
pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks
(puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan
perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan di-dapatkan juga suara
napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini
diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikular melemah. Bila
terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani
dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pada tuberkulosis para yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan
menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Para yang sehat menjadi lebih
hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan
para-para, akan terjadi pe-ngecilan daerah aliran darah para dan selanjutnya
meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti lerjadinya kor
pulmonal dan gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal
dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular
lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan
vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites, dan edema.
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Para yang
sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak.
Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis, TB para sering asimtomatik dan penyakit baru
dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau
uji tuberkulin yang positif.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan
keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis rm'lier. Pada kedua
hal di atas diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan
pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus
atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah
(bagian inferior) atau di daerah hilus menyerapai tumor para (misalnya pada
tuberkulosis endobronkial).
Pada awal penyakit saat lesi masih merapakan sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang
tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa
bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma.
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis.
Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat
bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercakbercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas
disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu
bagian para.
Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan para.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis para adalah
penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah para (efusi
pleura/empiema), bayangan hitam radio-lusen di pinggir para/pleura (pneumotoraks).

Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus (pada
tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi,
kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.
Tuberkulosis sering memberikan gambar-an yang aneh-aneh, terutama
gambaran radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest imitator.
Gambaran infiltrasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia, mikosis
paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering
diartikan sebagai abses para. Di samping itu perlu diingat juga faktor kesalahan dalam
membaca foto. Faktor kesalahan ini dapat mencapai 25%. Oleh sebab itu untuk
diagnostik radiologi sering dilakukan juga foto lateral, top lordotik, oblik, tomografi
dan foto dengan proyeksi densitas keras.
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya
aktivitas penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit yang
sudah non-aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berapa fibrotik,
kalsifikasi, kavitas, schwarte, sering dijumpai pada orang-orang yang sudah tua.
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah bronkografi,
yakni untuk melihat kerasakan bronkus atau para yang disebabkan oleh tuberkulosis.
Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien akan menjalani pembedahan para.
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak
dipakai di ramah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT Scan).
Pemeriksaan ini lebih superior dibanding radiologis biasa. Perbedaan densitas
jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CTScan, tetapi dapat
mengevaluasi proses-proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dadaperut. Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan koronal.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang


meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru
mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung
jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah
mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan
jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga: 1). Anemia ringan dengan
gambaran normokrom dan normositer; 2). Gama globulin meningkat; 3). Kadar
natrium darah menuran. Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik.
Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi Takahashi.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak.
Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah liter 1/128. Pemeriksaan ini juga
kurang mendapat perhatian karena angka-angka positif palsu dan negatif palsunya
masih besar.
Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga dipakai
yakni Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB) yang oleh beberapa peneliti
mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitasnya cukup tinggi (85-95%), tetapi
beberapa peneliti lain meragukannya karena mendapatkan angka-angka yang lebih
rendah. Sungguhpun begitu PAP-TB ini masih dapat dipakai, tetapi kurang
bermanfaat bila digunakan sebagai sarana tunggal untuk diagnosis TB. Prinsip dasar
uji PAP-TB ini adalah menentukan adanya antibodi IgG yang spesifik terhadap
antigen M.tuberculosae. Sebagai antigen dipakai polimer sitoplasma M.tuberculin var
bovis BCG yang dihancurkan secara ultrasonik dan dipisahkan secara ultrasentrifus.
Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis bila pada liter 1:10.000 didapatkan hasil uji
PAP-TB posilif. Hasil positif palsu kadang-kadang masih didapatkan pada pasien
reumalik, kehamilan dan masa 3 bulan revaksinasi BCG.
Uji serologis lain lerhadap TB yang hampir sama cara dan nilainya dengan uji PAPTB adalah uji Mycodot. Di sini dipakai antigen LAM (Lipoarabinomannan) yang
dilekatkan pada suatu alal berbentuk sisir

Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan
sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.
Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan
(puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama
pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu
hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak + 2 liter
dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan
obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik
selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (broncho alveolar
lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini
sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya.
Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin.
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan.
Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka
ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar. Diperkirakan
di Indonesia terdapat 50% pasien BTApositif tetapi kuman tersebut tidak ditemukan
dalam sputum mereka.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3
batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman
dalam 1 mL sputum.
Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan
modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.
Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah :

Pemeriksaan sediaan langsung dengan mi-kroskop biasa.


Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan khusus)

Pemeriksaan dengan biakan (kultur)


Pemeriksaan terhadap resistensi obat.
Pemeriksaan dengan mikroskop fluoresens dengan sinar ultra violet

walaupunsensitivitasnyatinggisangatjarang

dilakukan,

karena

pewarnaan

yang

dipakai (auramin-rho-damin) dicurigai bersifat karsinogenik.


Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman sputum
dalam medium biakan, koloni kuman tuberkuiosis mulai tampak. Bila setelah 8
minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan negatif. Medium
biakan yang sering dipakai yaitu Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa.
Saat ini sudah dikembangkan pemeriksa-an biakan sputum BTA dengan cara
Bactec (Bactec 400 Radiometric System), di mana kuman sudah dapat dideteksi
dalam 7-10 hari. Di samping itu dengan teknik Poly-merase Chain Reaction (PCR)
dapat dideteksi DNA kuman TB dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi
M.tuberculosae yang tidak tumbuh pada sediaan biakan. Dari hasil biakan biasanya
dilakukan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan identifikasi kuman.
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman
BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada fenomen dead
bacilli atau non culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat
antituberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu
pendek.
Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan,
bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan bronkus, jaringan paru,
pleura, cairan pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan serebrospinal, urin,
dan tinja.
Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis tuberkuiosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes
Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D. (Purified Protein
Derivative) intrakutan berkekuatanS T.U. (intermediate strength). Bila ditakutkan

reaksi hebat dengan 5 T dapat diberikan dulu 1 atau 2 T.U (first strength). Kadangkadang r:_ dengan 5 T.U. masih memberikan hasil negatif dapat diulangi dengan 25
T.U. (second strength). Bila dengan 250 T.U. masih memberikan hasil negatif, berarti
tuberkuiosis dapat disingkirkan. Umumnya tes Mantouks dengan 5 T.U. saja sudah
cukup berarti.
Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedans atau
pemah meng-alami infeksi M. tuberculosae, M. bovis, vaksinasi BCG dan
Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe
lambat. Pada penularan dengan kuman patogen baik yang virulen ataupun tidak
(Mycobacterium tuberculosae atau BCG) tubuh manusia akan mengadakan reaksi
imunologi dengan dibentuknya antibodi selular pada permulaan dan kemudian diikuti
oleh pembentukan antibodi humoral yang dalam perannya akan menekankan antibodi
selular.
Bila pembentukan antibodi selular cukup misalnya pada penularan dengan
kuman yang sangat virulen dan jumlah kuman sangat besar atau pada keadaan di
mana pembentukan antibodi humoral amat berkurang (pada hipogama-globulinemia),
maka akan mudah terjadi penyakit sesudah penularan.
Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara
antibodi selular dan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan
antibodi selular dan antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral,
makin besar pengaruh antibodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, hasil tes Mantoux ini dibagi dalam : 1).
Indurasi 0-5 mm (diameternya): Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Di sini
peran antibodi humoral paling menonjol; 2). Indurasi 6-9 mm: hasil meragukan=
golongan low grade sensitivity. Di sini peran antibodi humoral masih menonjol; 3).
Indurasi 10-15 mm: Mantoux positif = golongan normal sensitivity. Di sini peran
kedua antibodi seimbang; 4). Indurasi lebih dari 15 mm : Mantoux positif kuat =
golongan hypersensitivity. Di sini peran antibodi selular paling menonjol.

Biasanya hampir seluruh pasien tuberkuiosis memberikan reaksi Mantoux


yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada
pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih
banyak ditemui daripada positif palsu.
Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni:

Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkuiosis.


Anergi, penyakit sistemik berat (Sarkoidosis, LE).
Penyakit eksantematous dengan panas yang akut: morbili, cacar air, poliomielitis.
Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular (Hodgkin)
Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obat imunosupresi lainnya.
Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan.
Untuk pasien dengan HIV positif, test Mantoux 5 mm, dinilai positif.

DIAGNOSIS
Dari uraian-uraian sebelumnya tuberkuiosis paru cukup mudah dikenal mulai
dari keluhan-keluhan klinis, gejala-gejala, kelainan fisis, kelainan radiologis sampai
dengan kelainan bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya tidaklah selalu mudah
menegakkan diagnosisnya. Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964
diagnosis pasti tuberkuiosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium
tuberculosae dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien
memberikan sediaan atau biakan sputum yang positif karena kelainan paru yang
belum ber-hubungan dengan bronkus atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya
dengan baik. Kelainan baru jelas setelah penyakit berlanjut sekali.
Di Indonesia agak sulit menerapkan diagnosis di atas karena fasilitas
laboratorium yang sangat terbatas untuk pemeriksaan biakan. Sebenarnya dengan
menemukan kuman BTA dalam sediaan sputum secara nrikroskopik biasa, sudah
cukup

untuk

memastikan

diagnosis

tuberkulosis

paru.

karena

kekerapan

Mycobacterium atypic di Indonesia sangat rendah. Sungguhpun begitu hanya 30-70%


saja dari seluruh kasus tuberkulosis paru yang dapat didiagnosis secara bakteriologis.

Diagnosis tuberkulosis paru masih banyak ditegakkan berdasarkan kelainan klinis dan
radiologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini cukup banyak sehingga
memberikan efek terhadap pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Oleh sebab
itu dalam diagnosis tuberkulosis para sebaiknya dicantumkan status klinis, status
bakteriologis, status radiologis dan status kemoterapi. WHO tahun 1991 memberikan
kriteria pasien tuberkulosis paru.

Pasien dengan sputum BTA positif: 1. pasien yang pada pemeriksaan sputum-nya
secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2 x pemeriksaan,
atau 2. satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai
dengan gambaran TB aktif, atau 3. satu sediaan sputumnya positif disertai biakan

yang positif.
Pasien dengan sputum BTA negatif: 1. pasien yang pada pemeriksaan sputum-nya
secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2 x pemeriksaan tetapi
gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif atau, 2. pasien yang pada
pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali,
tetapi pada biakannya positif.
Di samping TB paru terdapat juga TB ekstra paru, yakni pasien dengan

kelainan histologis atau/dengan gambaran klinis sesuai dengan TB aktif atau pasien
dengan satu sediaan dari organ ekstra parunya menunjukkan hasil bakteri M.
tuberculosae.
Di luar pembagian tersebut di atas pasien digolongkan lagi berdasarkan
riwayat penyakitnya, yakni:

kasus baru, yakni pasien yang tidak mendapat obat anti TB lebih dari 1 bulan.
kasus kambuh, yakni pasien yang pernah dinyatakan sembuh dari TB, tetapi

kemudian timbul lagi TB aktifnya.


kasus gagal (smear positive failure), yakni:
- Pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah mendapat obat anti TB
lebih dari 5 bulan, atau Pasien yang menghentikan pengobatannya setelah
mendapat obat anti TB, 1-5 bulan dan sputum BTA-nya masih positif.

kasus kronik, yakni pasien yang sputum BTAnya tetap positif setelah mendapat
pengobatan ulang (retreatment) lengkap yang disupervisi dengan baik.
Hal lain yang agak jarang ditemukan adalah cryptic tuberculosis. Di sini

pemeriksaan radiologis dan laboratorium/sputum menunjukkan hasil negatif dan


kelainan klinisnya sangat minimal (biasanya demam saja dan dianggap sebagai fever
of unknown origin. Diagnosis diberikan berdasarkan percobaan terapi dengan obat
anti tuberkulosis seperti INH + Etambutol selama 2 minggu. Bila keluhan membaik
terapi dengan obat anti tuberkulosis diteruskan sebagaimana mestinya. Bila tidak ada
perbaikan maka obat-obat di atas dihentikan.
KOMPLIKASI
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi
lanjut.

Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, Poncet's

arthropathy
Komplikasi lanjut: Obstruksi jalan napas ->SOFT (Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat->SOPT/fibrosis paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi
pada TB milier dan kavitas TB.

SEJARAH PENGOBATAN TUBERKULOSIS


Sepanjang sejarah penyakit tuberkulosis ini, berbagai cara sudah dilakukan
untuk mengobati pasien. Mulai dari era sebelum dan sesudah ditemukan bakteri
penyebab dan obat antituberkulosis, pengobatan tuberkulosis mengalami beberapa
tahapan yakni:
Health Resort Era

Setiap pasien tuberkulosis harus dirawat di sanatorium, yakni tempat-tempat yang


berudara segar, sinar matahari yang cukup, suasana yang menyenangkan dan
makanan yang bergizi tinggi.
BedrestEra
Dalam hal ini pasien tidak perlu dirawat di sanatorium, tetapi cukup diberi istirahat
setempat terhadap fisiknya saja, di samping makanan yang bergizi tinggi. Usaha
pengobatan pada health resort and bed rest era, masih bersifat pemberantasan
terhadap gejala yang timbul.
Collapse Therapy Era
Di sini cukup paru yang sakit saja diistirahatkan dengan melakukan pneumonia
artifisial. Paru-paru yang sakit dibuang secara wedge resection, satu lobus atau satu
bagian paru.
Chemotherapy Era
Di sini revolusi dalam pengobatan tuberkulosis, yakni dengan ditemukannya streptomisin suatu obat antituberkulosis mulai tahun 1944 dan bermacam-macam obat
lainnya pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1964 dengan ditemukannya
rifampisin terjadi semacam mini revolusi dalam kemoterapi terhadap tuberkulosis,
karena jangka waktu pengobatan dapat dipersingkat menjadi 6-9 bulan.
PRINSIP PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Aktivitas Obat
Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberkulosis yakni :
Aktivitas bakterisid. Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang
tumbuh (metabolismenya masih aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari

kecepatan obat tersebut membunuh atau me-lenyapkan kuman sehingga pada


pembiakah akan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan).
Aktivitas sterilisasi. Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang
pertumbuhannya lambat (metabolisme kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari
angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.
Dari hasil percobaan pada binatang dan pengobatan pada manusia ternyata:

Hampir semua obat antituberkulosis mempunyai sifat bakterisid kecuali


etambutol dan tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan

untuk mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat,


Rifampisin dan pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan
INH dan streptomisin menempati urutan yang lebih bawah. Dalam aktivitas
bakterisid :
- Rifampisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap (complete bactericidal
drug) oleh karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman.
-

Kedua obat ini masing-masing mendapat nilai satu.


Pirazinamid dan streptomisin masing-masing hanya mendapat nilai setengah,
karena pirazinamid hanya bekerja dalam lingkungan asam sedangkan
streptomisin dalam lingkungan basa. Etambutol dan tiasetazon tidak mendapat
nilai.

FAKTOR KUMAN TUBERKULOSIS


Penelitian Mitchison telah membagi kuman M.tuberculosae dalam beberapa populasi
dalam hubungan antara pertumbuhannya dengan aktivitas obat yang membunuhnya
yakni:
Populasi A. Dalam kelompok ini kuman tumbuh berkembang biak terus menerus
dengan cepat. Kuman-kuman ini banyak terdapat pada dinding kavitas atau dalam lesi

yang pH-nya netral. INH bekerja sangat baik pada populasi ini karena aktivitas
bakterisid segera kerjanya adalah tertinggi. Rifampisindan Streptomisin juga dapat
bekerja padapopulasi ini tetapi efeknya lebih kecil daripada INH.
Populasi B. Dalam kelompok ini kuman tumbuh sangat lambat dan berada dalam
lingkung-an asam (pH rendah). Lingkungan asam ini melindungi kuman terhadap
obat antituberkulosis tertentu. Hanya pirazinamid yang dapat bekerja di sini.
Populasi C. Pada kelompok ini kuman berada dalam keadan dormant (tidak ada
aktivitas metabolisme) hampir sepanjang waktu. Hanya kadang-kadang saja kuman
ini meng-adakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang singkat. Kuman jenis
ini banyak terdapat pada dinding kavitas. Di sini hanya rifampisin yang dapat bekerja
karena obat ini dapat segera bekerja bila kontak dengan kuman selama 20 menit.
Populasi D. Dalam kelompok ini terdapat kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat
dormant (complete dormant), sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh obat
anti tuberkulosis. Jumlah populasi ini tidak jelas dan hanya dapat dimusnahkan oleh
mekanisme pertahanan tubuh manusia itu sendiri.

KEMOTERAPI TB
Kronologis Program Pengobatan
Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak
tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai sbb; Isoniazid (H), para
amino salisilik asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R), dan
pirazinamid (P).

Semenjak tahun 1994 program pengobatan TB di Indonesia sudah mengacu


pada program Directly Observed Treatment Short Course strategy (DOTS) yang
didasarkan pada rekomendasi WHO, strategi ini memasukkan pendidikan kesehatan,
penyediaan obat anti TB gratis dan pencarian secara aktif kasus TB. Sampai tahun
2000 cakupan dari program DOTS baru mencapai 28 % dari 206.000 juta penduduk,
dengan hasil pengobatan yang masih belum memuaskan. Ada beberapa daerah yang
sukses antara lain: Sulawesi.
Pengobatan yang sukses di bawah program DOTS tetap tinggi walaupun turun
dari 91% menjadi 81% di antara tahun 1985 -1996 kunci permasalahan dengan
pengobatan sistem DOTS ini adalah rendahnya penemuan kasus-kasus baru.
Faktor-faktor risiko yang sudah diketahui menyebabkan tingginya prevalensi TB di
Indonesia al: kurangnya gizi, kemiskinan dan sanitasi yang buruk.
Dasar Teori Pengobatan TB
Pengobatan tuberkulosis memiliki dua prinsip dasar.
Pertama. Bahwa terapi yang berhasil, memerlukan minimal dua macam obat yang
basilnya peka terhadap obat tersebut, dan salah satu daripadanya harus bakterisidik.
Karena suatu resistensi obat dapat timbul spontan pada sejumlah kecil basil,
monoterapi memakai obat bakterisidik yang terkuatpun dapat menimbulkan
kegagalan pengobatan dengan terjadinya pertumbuhan basil yang resisten. Keadaan
ini lebih banyak dijumpai pada pasien dengan populasi basil yang besar, misalnya
pada tuberkulosis paru dengan kavitas, oleh karena dapat terjadi mutasi 1 basil
resisten dari 10 basil yang ada. Kemungkinan terjadinya resistensi spontan terhadap
dua macam obat merupakan hasil probabilitas masing-masing obat, sehingga
penggunaan dua macam obat yang aktif umumnya dapat mencegah perkembangan
resistensi sekunder. Obat antituberkulosis mempunyai kemampuan yang berbeda
dalam mencegah terjadinya resistensi terhadap obat lainnya. Obat H dan R
merupakan obat yang paling efektif, E dan S dengan kemampuan menengah,
sedangkan Z adalah yang efektifitasnya terkecil.

Kedua. Bahwa penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah


perbaikan gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk
mengeliminasi basil yang persisten. Basil persisten ini merupakan suatu populasi
kecil yang metabolismenya inaktif. Pengobatan yang tidak memadai akan
mengakibatkan bertambahnya kemungkinan kekambuhan, beberapa bulan-tahun
mendatang setelah seolah tampak sembuh. Resimen pada pengobatan sekitar tahun
1950-1960 memerlukan waktu 18-24 bulan untuk jaminan menjadi sembuh. Dengan
adanya cara pengobatan pada masa kini (metode DOTS) yang menggunakan paduan
beberapa obat, pada umumnya pasien tuberkulosis berhasil disembuhkan secara baik
dalam waktu 6 bulan. Kegagalan menyelesaikan program masa pengobatan suatu
kategori merupakan penyebab dari kekambuhan.
Berdasarkan prinsip tersebut, program pengobatan tuberkulosis dibagi
menjadi 2 fase, yaitu: fase bakterisidal awal (inisial) dan fase sterilisasi (lanjutan).
Obat yang bersifat bakterisidal aktif belum tentu merupakan obat sterilisator terbaik
dan obat yang efektif pada fase sterilisasi belum tentu obat bakterisidal yang paling
aktif. Telah diketahui bahwa obat H merupakan bakterisidal yang paling poten,
sedangkan obat R dan Z merupakan sterilisator yang paling efektif. Pada binatang
percobaan, obat H dapat menghambat aktivitas sterilisasi dari obat R dan Z.
Daftar efek obat yang digunakan untuk terapi jangka pendek berdasarkan data
dari laboratorium dan penetian klinis. Populasi basil yang terbesar terdiri dari: a. basil
yang metabolismenya aktif yang cepat terbunuh oleh obat berkemampuan bakterisidal
terutama H, b. obat R terutama efektif terhadap basil yang dorman dan yang muncul
berlipat ganda secara periodik, c. populasi lain, yang terdiri dari basil yang terdapat di
lingkungan asam (basil intrasel dan basil yang terdapat di dalam lokasi perkijuan),
yang terutama peka terhadap efek obat Z, d. mungkin suatu populasi basil yang
metabolismenya inaktif yang tidak dapat dipengaruhi
oleh obat apapun, dan banya dapat dieliminasi oleh respons imun pejamu. (Gambar 1)

Kemoterapi Bertujuan:

Mengobati pasien dengan sesedikit mungkin meng'ganggu aktivitas hariannya,


dalam periode pendek, tidak memandang apakah dia peka atau resisten terhadap

obat yang ada.


Mencegah kematian atau komplikasi lanjut akibat penyakitnya.
Mencegah kambuh
Mencegah munculnya resistensi obat
Mencegah lingkungannya dari penularan
Obat-obatan TB dapat diklasifikasi menjadi dua jenis resimen, yaitu obat-

lapis pertama dan lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke penghentian
pertumbuhan basil, pengurangan basil dorman dan pencegahan terjadinya resistensi.
Obat-obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid (INH), Rifampicin, Pyrazinamide,
Ethambutol dan Streptomycin. Obat-obatan lapis kedua mencakup Rifabutin,
Ethionamide, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine, Aminoglycosides
di luar Streptomycin dan Quinolones.
Isoniazid. (INH) mempunyai kemampuan bakterisidal TB yang terkuat.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat cell-wall biosynthesis pathway. INH
dianggap sejenis obat yang aman; efek samping utamanya antara lain hepatitis dan
neuropati perifer karena interferensi fungsi biologi vitamin B6 atau piridoksin.
Rifampisin juga merupakan obat anti TB yang ampuh, dia menghambat polimerase
DNA-dependent ribonucleic acid (RNA) M. tuberculosis. Efek samping yang sering
diakibatkannya antara lain hepatitis, flu-like syndrome's dan trombositopenia.
Rifampisin meningkatkan metabolisme hepatik kontrasepsi oral sehingga dosis
kontrasepsi oral harus ditingkatkan. Pirazinamid merupakan obat bakterisidal untuk
organisme intraselular dan agen antituberkulos ketiga yang juga cukup ampuh.
Pirazinamid hanya diberikan untuk 2 bulan pertama pengobatan. Efek samping yang
sering diakibatkannya adalah hepatotoksisitas dan hiperurisemia. Etambutol satusatunya obat lapis pertama yang mempunyai efek bakteriostatis, tetapi bila
dikombinasikan dengan INH dan Rifampisin terbukti bisa mencegah terjadinya

resisten obat. Streptomisin merupakan salah satu obat antituberkulos pertama yang
ditemukan. Streptomisin ini suatu antibiotikgolongan aminoglikosida yang harus
diberikan secara parenteral dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme
ekstraselular. Kekurangan obat ini adalah efek samping toksik pada saraf kranial
kedelapan yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan/atau hilangnya
pendengaran. Obat tuberkulosis yang ama diberikan pada perempuan hamil adalah
isoniazid, rifampisin dan etambutol. Obat lapisan kedua dicadangkan untuk
pengobatan kasus-kasus resistan multi-obat.
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-sekurangnya 6 bulan agar
dapat mencegah perkembangan resistensi obat. Oleh karena itu, WHO telah
menerapkan strategi DOTS dimana terdapat petugas kesehatan lambahan yang
berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan
kepatuhannyanya. WHO juga telah menetapkan resimen pengobatan standar yang
membagi pasien menjadi empat kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut
Resimen Pengobatan Saat Ini (metode DOTS)
Kategori I. Pasien tuberkulosis paru (TBP) dengan sputum BTA positif dan kasus
baru, TBP lainnya dalam keadaan TB berat, seperti meningitis tuberkulosis, miliaris,
perikarditis, peritonitis, pleuritis masif atau bilateral, spondilitis dengan gangguan
neurologik, sputum BTA negatif tetapi kelainan di paru luas, tuberkulosis usus dan
saluran kemih. Pengobatan fase inisial resimennya terdiri dari 2 HRZS (E), setiap hari
selama dua bulan obat H, R, Z dan S atau E. Sputum BTA awal yang positif setelah
dua bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan
4HR atau 4H3R3 atau 6HE. Apabila sputum BTA masih tetap positif setelah dua
bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi, tanpa melihat apakah sputum
sudah negatif atau tidak.
Kategori 2. Pasien kasus kambuh atau gagal dengan sputum BTA positif. Pengobatan
fese insial terdiri dan 2HRZES/1HRZE, yaitu R dengan H, Z, E setiap hari selama 3

bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA menjadi
negatif, fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA masih positif pada
minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke4 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan
kultur sputum untuk uji kepekaan. obat dilanjutkan memakai resimen fase lanjutan,
yaitu 5H3R3E3 atau 5HRE.
Kategori 3. Pasien TBP dengan sputum BTA negatif tetapi kelainan paru tidak luas
dan kasus ekstra-pulmonal (selain dari kategori I). Pengobatan fase inisial terdiri dari
2HRZ atau 2 H3R3E3Z3, yang diteruskan dengan fase lanjutan 2HR atau H3R3.
Kategori 4. Tuberkulosis kronik. Pada pasien ini mungkin mengalami resistensi
ganda, sputumnya harus dikultur dan uji kepekaan obat. Untuk seumur hidup diberi H
saja (WHO) atau sesuai rekomendasi WHO untuk ^engobatan TB resistensi ganda
(multidrugs resistant tuberculosis (MDRKortikosteroid diberikan untuk tuberkulosis yang mengenai sistem saraf pusat
(meningitis) dan perikarditis namun tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai
tambahan terapi pada tuberkulosis jenis lainnya. Pengobatan tuberkulosis pada pasien
dengan HIV positif pada dasarnya tidak berbeda dengan pengobatan pada pasien
dengan HIV negatif. Hal yang perlu diperhatikan adalah Rifampin tidak diberikan
pada pasien HIV positif yang menggunakan obat protease inhibitor (kecuali obat
ritonavir) atau obat non nucleoside reverse transcriptase inhibitor/NNKTI (kecuali
obat efavirenz). Untuk mengatasinya dengan menggunakan rifabutin sebagai
pengganti rifampin. Rifabutin dapat diberikan bersamaan dengan protease inhibitor
(kecuali obat saquinavir) dan NNRTI (kecuali obat delavirdin) dengan penyesuaian
dosis. Sebaiknya tatalaksana tuberkulosis pada pasien HIV dilakukan oleh ahlinya.
Pasien HIV yang mendapat obat tuberkulosis dan antiretroviral dapat menunjukkan
gejala dan tanda eksaserbasi tuberkulosis (reaksi paradoks). Keadaan ini disebabkan
oleh reaksi hipersensitivitas lambat dan meningkatnya antigen kuman setelah

pemberian antituberkulosis bakterisidal. Pasien HIV dengan CD4 < 100 tidak boleh
diberikan pengobatan dengan resimen 2 kali seminggu.
Pengobatan tuberkulosis pada anak-anak tidak mengikutsertakan etambutol
(kecuali terjadi resistensi INH atau anak tersebut menunjukkan gejala tuberkulosis
dewasa seperti infiltrat pada lobus atas dan kavitas).
Pemberian obat pada fase lanjutan akan diperpanjang menjadi 7 bulan (total
pengobatan 9 bulan) jika tidak diberikan pirazinamid pada fase inisial.
Salah satu masalah utama pengobatan TB ini adalah munculnya strain M.
tuberculosis yang bersifat resistensi ganda terhadap obat primer. Resistensi ganda
dapat berkembang dengan salah satu dari dua cara berikut ini yaitu resisten obat
primer dan resistensi obat sekunder. Resistensi obat primer berkembang pada
seseorang yang belum menerima pengobatan TB sebelumnya, yaitu mereka yang
terinfeksi dengan strain resistan, sedangkan resistensi sekunder atau yang diperoleh
(acquired resistance) merujuk ke resistensi yang berkembang selama periode
pengobatan. Jenis resistensi sekunder khususnya merupakan akibat resimen atau lama
pengobatan yang kurang memadai. Agar dapat dicegah, penemuan atau penambahan
modus pengobatan lain yang lebih ampuh sangat dibutuhkan dengan salah satu
tujuannya dapat mengurangi jangka waktu pengobatan. Pada akhirnya, mungkin
beberapa obat yang berperan sebagai imunomodulator berpotensi untuk memperbaiki
hal ini. Tujuan jenis terapi ini adalah meningkatkan respons imun pejamu menuju
proteksi optimal.
PADUAN OBAT
Dalam riwayat kemoterapi terhadap tuberkulosis dahulu dipakai satu macam
obat saja. Kenyataannya dengan pemakaian obat tunggal ini banyak terjadi resistensi
karena sebagian besar kuman tuberkulosis memang dapat dibinasakan tetapi sebagian
kecil tidak. Kelompok kecil yang resisten ini malah berkembang biak dengan leluasa.
Untuk mencegah terjadinya resistensi ini, terapi tuberkulosis dilakukan dengan
memakai paduan obat, sedikitnya diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid.

Dengan memakai paduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan
karena:

Jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih.


Pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah terhadap INH.
Tetapi belakangan ini di beberapa negara banyak terdapat resistensi terhadap

lebih dari satu obat (multi drug resistance) terutama terhadap INH dan rifampisin.
Jenis obat yang dipakai:
Obat primer (obat antituberkulosis tingkat satu): Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid,
Streptomisin, Etambutol
Obat sekunder (obat antituberkulosis tingkat dua): Kanamisin, PAS (Para Amino
Salicylic

acid),

Tiasetazon,

Etionamid,

Protionamid,

Sikloserin,

Viomisin,

Kapreomisin, Amikasin, Ofloksasin, Siprofloksasin, Norfloksasin, Levofloksasin,


Klofazimin.
Sebelum ditemukan rifampisin, metode terapi tuberkulosis paru adalah dengan
sistem jangka panjang (terapi standar) yakni: INH (H) + streptomisin (S) + PAS atau
etambutol (E) dap hari dengan fase initial selama 1-3 bulan dan dilanjutkan dengan
INH + etambutol atau PAS selama 12-18 bulan.
Setelah Rifampisin ditemukan paduan obat menjadi INH + rifampisin +
streptomisin atau etambutol setiap hari (fase initial) dan diteruskan dengan INH +
rifampisin atau etambutol (fase lanjut).
Paduan ini selanjutnya berkembang menjadi terapi jangka pendek, dengan
memberikan INH + rifampisin + streptomisin atau etambutol atau pirazinamid (Z)
setiap hari sebagai fase initial selama 1-2 bulan dilanjutkan dengan INH + rifampisin
atau etambutol atau streptomisin 2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan, sehingga lama
pengobatan keseluruhan menjadi 6-9 bulan.
Paduan obat yang dipakai di Indonesia dan dianjurkan juga oleh WHO
adalah : 2 RHZ/4 RH dengan variasi 2 RHS/4RH, 2 RHZ/4R3H3,2 RHS/ 4R2H2.

Untuk tuberkulosis paru yang berat (milier) dan tuberkulosis ekstraparu, terapi tahap
lanjutan diperpanjang menjadi 7 bulan sehingga paduannya menjadi 2 RHZ/7 RH,
dll. Dengan pemberian terapi jangka pendek akan didapat beberapa keuntungan
seperti waktu pengobatan lebih singkat, biaya keseluruhan untuk pengobatan menjadi
lebih rendah, jumlah pasien yang membangkang menjadi berkurang, dan tenaga
pengawas pengobatan menjadi lebih hemat/efisien.
Oleh karena itu Departemen Kesehatan Rl dalam rangka program
pemberantasan penyakit tuberkulosis paru lebih menganjurkan terapi jangka pendek
dengan paduan obat HRE/5 HaRa (isoniazid + rifampisin + etambutol setiap hari
selama satu bulan, dan dilanjutkan dengan isoniazid + rifampisin 2 kali seminggu
selama 5 bulan), daripada terapi jangka panjang HSZ/11 H2Z2 (INH + streptomisin +
pirazinamid 2 kali seminggu 11 bulan).
Di negara-negara yang sedang berkembang, pengobatan jangka pendek ini
banyak yang gagal mencapai kesembuhan yang ditargetkan (cure rate) yakni 85%
karena program pengobatan yang kurang baik, kepatuhan berobat pasien yang buruk,
sehingga menimbulkan populasi tuberkulosis makin meluas, resistensi obat makin
banyak.
DOSIS OBAT
Tabel 3 menunjukkan dosis obat yang dipakai (di Indonesia) secara harian
maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien.
EFEK SAMPING OBAT
Dalam pemakaian obat-obat anti tuberkulosis tidak jarang diiemukan efek
samping yang mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan,
mungkin obat anti tuberkulosis yang bersangkutan masih dapat diberikan dalam dosis
terapeutik yang kecil, tetapi bila efek samping ini sangat mengganggu, obat
antituberkulosis yang bersangkutan harus dihentikan pemberiannya, dan pengobatan
tuberkulosis dapat diteruskan dengan obat lain. Perlu diketahui bahwa semua obat

anti tuberkulosis mempunyai efek samping yang kadarnya berbeda-beda pada tiaptiap individu. Adapun efek samping tiap-tiap obat dapat dilihat pada tabel 4.
Ternyata sebagian besar obat-obat anti tuberkulosis yang banyak dipakai
adalah hepatotoksik. Kelainan yang ditimbulkan mulai dari peningkatan kadar
transminase darah (SGOT/ SGPT) yang ringan saja sampai pada hepatitis fulminan.
Hepatitis karena obat antituberkulosis banyak terjadi karena pemakaian INH +
rifampisin. Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa INH memproduksi hidrazin
yakni suatu metabolik yang hepatotoksik. Hidrazin ini lebih banyak lagi diproduksi
bila pemberian INH dikombinasikan dengan rifampisin.
Insidensi hepatitis ini tidak banyak, penelitian di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo (1987) mendapatkan 2,3% dan kebanyakan terjadi pada usia tua.
Biasanya bila kadar SGOT/SGPT meningkat tetapi angkanya tidak lebih dari 2 x nilai
normal, INH - rifampisin masih dapat diteruskan. Bila kadarnya meningkat terus,
INH + rifampisin harus dihentikan pemberiannya. Bila memungkinkan hendaknya
diperiksakan antibodi terhadap rifampisin. lika ternyata antibodi ini positif,
pemberian INH masih dapat dipertimbangkan kelanjutannya. Untuk mencegah
terjadinya hepatitis karena obat anti tuberkulosis, dianjurkan agar memilih paduan
obat yang tidak terlalu berat efek hepatotoksiknya, dan diperlukan evaluasi yang
cermat secara klinis dan laboratoris terhadap pasien pada minggu-minggu pertama
pengobatan. Bila sudah terjadi hepatitis karena obat ini, biasanya hepatitis ini sembuh
sendiri jika obat-obat hepatotoksik tadi dihentikan pemberiannya, dan diganti dengan
obat-obat yang tidak hepato-toksik. Pemberian steroid pada hepatitis karena OAT
dapat dipertimbangkan. Rifampisin atau INH kemudian dapat diberikan kembali
sendiri-sendiri secara desensitisasi (dosis obat dimulai dari yang paling kecil dan
dinaikkan perlahan-lahan sambil menilai adakah kelainan toksik / alergi terjadi.
Desentisasi dengan INH, dimulai dengan 25 mg dan dinaikkan 2 kali dosis
sebelumnya setiap 3 hari (25-50-100-200-300-400 mg). Untuk rifampisin sama
seperti INH dan dimulai dengan dosis 75 mg (hari pertama 75 mg, hari ke-4 75 mg,
hari ke-7 150 mg, hari ke-10 150 mg, hari ke-13 450 mg, hari ke-16450mg, hari ke-

19 600 mg). Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan
pemeriksaan kontrol seperti:

Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai obat etambutol
Tes audiometri bagi yang memakai obat Streptomisin
Pemeriksaan darah terhadap enzim hati, bilirubin, ureum/kreatinin, darah perifer
dan asam urat (untuk pemakai pirazinamid)

EVALUASI PENGOBATAN
Klinis. Biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya setiap 2
minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan.
Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batukbatuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat,
dll.
Bakteriologis. Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi
negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO (1991)
menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2,4, dan
6. Pada yang memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir buian
ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke 2 dan akhir
pengobatan. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien bare yang BTA-nya masih
positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan
pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksakan
sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Sputum BTA sebaiknya tetap diperiksa untuk
kontrol pada kasus-kasus yang dianggap selesai pengobatan/sembuh. Sewaktu-waktu
mungkin terjadi silent bacterial shedding, yaitu terdapat sputum BTA positif tanpa
disertai keluhan-keluhan tuberkulosis yang relevan pada kasus-kasus yang
memperoleh kesembuhan. Bila ini terjadi yakni BTA positif pada 3 kali pemeriksaan
biakan (3 bulan), berarti pasien mulai kambuh lagi.

Radiologis. Evaluasi radiologis juga diperlu-kan untuk melihat kemajuan terapi.


Beberapa ahli kedokteran menyatakan evaluasi radiologis ini sebenarnya kurang
begitu berperan dalam evaluasi penyakitnya. Bila fasilitas memungkinkan foto
kontrol dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan
bila nanti timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tetap tidak berkurang (misainya
tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan tuberkuiosis
parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan gambaran
radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap
3 bulan sekali.
Bila secara bakteriologis ada perbaikan tetapi klinis dan radiologis tidak,
harus dicurigai penyakit lain di samping tuberkuiosis paru.
Bila secara klinis, bakteriologis dan radiologis tetap tidak ada perbaikan
padahal pasien sudah diobati dengan dosis yang adekuat serta teratur, perlu dipikirkan
adanya gangguan imunologis pada pasien tersebut, antara lain AIDS.
Pasien yang gagal pengobatan dapat diberikan resimen pengobatan yang
dimodifikasi dengan menambahkan sedikitnya 3 obat baru (dimana kuman masih
sensitif terhadap obat tersebut). Aturan utama untuk terapi gagal pengobatan adalah
tidak pernah memberikan hanya satu obat tambahan pada resimen yang telah ada.
Pasien dengan MDR diterapi dengan 4-6 obat (dimana kuman masih
sensitive) selama 18-24 bulan (jika terdapat resistensi terhadap etambutol dan
pirazinamid maka pengobatan diberikan selama 24 bulan).
Semua pasien tuberkuiosis harus diperiksa terhadap kemungkinan menderita
HIV. Pasien dengan faktor risiko terkena hepatitis B atau C juga harus diperiksa.
KEGAGALAN PENGOBATAN
Sebab-sebab kegagalan pengobatan, antara lain :
Obat : 1). Paduan obat tidak adekuat. 2). Dosis obat tidak cukup.
3).Minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan.

4). Jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya. 5). Terjadi resistensi obat. 6).
Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1-2 bulan pengobatan tahap
intensif, tidak terlihat perbaikan.
Di Amerika Serikat prevalensi pasien yang resisten terhadap OAT makin
meningkat dan sudah mencapai 9%. Di negara yang sedang berkembang seperti di
Afrika, diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten terhadap OAT saat ini
sudah dapat dideteksi dengan cara PCR-SSCP (Polymerase Chain Reaction-Single
Stranded Confirmation Polymorphism) dalam waktu 1 hari.
Drop out: 1. Kekurangan biayapengobatan. 2. Merasa sudah sembuh. 3.
Malas berobat/kurang motivasi.
Penyakit: 1). Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat. 2). Penyakit lain yang
menyertai tuberkuiosis seperti diabetes melitus, alkoholisrae. 3). Adanya gangguan
imunologis.
Sebab-sebab kegagalan pengobatan yang terbanyak adalah karena kekurangan
biaya pengobatan atau merasa sudah sembuh. Kegagalan pengobatan ini dapat
mencapai 50% pada terapi Jangka panjang, karena sebagian besar pasien tuberkuiosis
adalah golongan yang tidak mampu sedangkan pengobatan tuberkuiosis memerlukan
waktu lama dan biaya banyak.
Untuk mencegah kegagalan pengobatan ini perlu kerjasama yang baik dari
dokter dan paramedis lainnya serta motivasi pengobatan tersebut terhadap pasien.
Penanggulangan terhadap kasus-kasus yang gagal ini adalah:

Terhadap pasien yang sudah berobat secara teratur.


- Menilai kembali apakah paduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara
-

pemberiannya.
Lakukan pemeriksaan uji kepekaan/tes resistensi kuman terhadap obat.
Bila sudah dicoba dengan obat-obat yang masih peka, tetapi ternyata gagal
juga, maka pertimbangkan terapi dengan pembedahan terutama pada pasien

dengan kavitas atau destroyed lung.


Terhadap pasien dengan riwayat pengobatan tidak teratur.

Teruskan pengobatan lama selama + 3 bulan dengan evaluasi bakteriologis

tiap-tiap bulan.
Nilai kembali tes resistensi kuman terhadap obat.
Bila ternyata terdapat resistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang
masih sensitif.

PASIEN KAMBUH
Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani pengobatan secara teratur
dan adekuat sesuai dengan rencana, tetapi dalam kontrol ulangan ternyata sputum
BTA kembali positif baik secara mikroskopik langsung ataupun secara biakan.
Frekuensi kekambuhan ini adalah antara 2-10% tergantung pada jenis obat yang
dipakai.
Umumnya kekambuhan terjadi pada tahun pertama setelah pengobatan
selesai, dan sebagian besar kumannya masih sensitif terhadap obat-obat yang
dipergunakan semula. Penanggulangan terhadap pasien kambuh ini adalah:

berikan pengobatan yang sama dengan pengobatan pertama,


lakukan pemeriksaan bakteriologis optimal yakni periksa sputum BTA

mikroskopis langsung 3 kali, biakan, dan resistensi,


evaluasi secara radiologis luasnya kelainan paru,
identifikasi adakah penyakit lain yang memberatkan tuberkuiosis seperti diabetes

melitus, alkoholisme atau pemberian kortikosteroid yang lama,


sesuaikan obat-obat dengan hasil tes kepekaan/resistensi,
nilai kembali secara ketat hasil pengobatan secara klinis, radiologis, dan
bakteriologis tiap-tiap bulan.

PENGOBATAN PEMBEDAHAN
Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani terapi TB adekuat dan
sudah dinyatakan sembuh oleh dokter secara klinis, mikrobiologis maupun radiologis,
kemudian pada evaluasi berikutnya terdapat gejala klinis tuberkuiosis positif
(mikrobiologi positif). Terapi bedah, banyak dilakukan dalam upaya penyembuhan
pasien tuberkuiosis paru yang kambuh. Pada saat ini dengan banyaknya obat-obat

yang bersifat bakterisid, terapi bedah jarang sekali dilakukan terhadap pasien
tuberkuiosis paru.
Indikasi terapi bedah saat ini adalah : a. pasien dengan sputum BTA tetap
positif (persisten) setelah pengobatan diulang; b. pasien dengan batuk darah masif
atau berulang; c. Terapi fistula bronkopleura, d. Drainase empiema tuberkuiosis; d.
Untuk mengatasi gangguan mekanik yang timbul pada tuberkuiosis tulang (seperti
stabilisasi tulang vertebra pada penyakit pott).
Di samping syarat toleransi operasi (spirometri, analisis gas darah dll) diperlukan
juga syarat adanya obat-obat antituberkulosis yang masih sensitif. Obat-obat
antituberkulosis ini tetap diberikan sampai 6 bulan setelah operasi. Hasil operasi
pasien dengan sputum BTA tetap positif, sebagian besar BTA menjadi negatif di
samping perbaikan keluhan-keluhannya, sehingga dapat dikatakan tindakan bedah
sangat berarti dalam penyembuhan pasien.
USAHA PREVENTIF TERHADAP TUBERKULOSIS
Vaksinasi BCG
Dari beberapa peneliti diketahui bahwa vaksinasi BCG yang telah dilakukan
pada anak-anak selama ini hanya memberikan daya proteksi sebagian saja, yakni 080%. Tetapi BCG masih tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan
terhadap tuberkuiosis berat (meningitis, tuberkuiosis milier dll) dan tuberkuiosis
ekstra paru lainnya.
Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis terhadap tuberkuiosis merupakan masalah tersendiri dalam
penanggulangan tuberkuiosis paru di samping diagnosis yang cepat dan pengobatan
yang adekuat. Isoniazid banyak dipakai selama ini karena harganya murah dan efek
sampingny a sedikit (terbanyak hepatitis dengan frekuensi 1%, sedangkan yang
berusia lebih dari 50 tahun adalah 2%).
Obat alternatif lain setelah Isoniazid adalah Rifampisin. Beberapa peneliti
pada I DAT (International Union Against Tuberculosis) menyatakan bahwa

profilaksis dengan INH diberikan selama 1 tahun, dapat menurunkan insidens


tuberkulosis sampai 55-83%, dan yang kepatuhan minum obatnya cukup baik dapat
mencapai penurunan 90%. Yang minum obatnya tidak teratur (intermittent),
efektivitasnya masih cukup baik.
Lama profilaksis yang optimal belum diketahui, tetapi banyak peneliti
menganjurkan waktu antara 6-12 bulan, antara lain dari American Thoracic Society
dan US Centers for Diseases Control terhadap tersangka dengan hasil uji tuberkulin
yang diameternya lebih dari 5-10 mm. Yang mendapat profilaksis 12 bulan adalah
pasien HIV positif dan pasien dengan kelainan radiologis dada. Yang lainnya seperti
kontak tuberkulosis dan sebagainya cukup 6 bulan saja. Pada negara-negara dengan
populasi tuberkulosis tinggi sebaiknya profilaksis diberikan terhadap semua pasien
HIV positif dan pasien yang mendapat terapi imunosupresi.

Anda mungkin juga menyukai