TUBERKULOSIS PARU
PENDAHULUAN
Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah
sangat lama dikenal pada manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal
didaerah urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan
kerusakan tulang vertebra torak yang khas TB dari kerangka yang digali di
Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari
mumi dan ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 2000-4000 SM.
Hipokrates telah memperkenalkan terminologi phthisis yang diangkat dari bahasa
Yunani yang menggambarkan tampilan TB paru ini.
Bukti yang lain dari Mesir, pada mummi-mummi yang berasal dari tahun
3500 SM, Jordania (300 SM), Scandinavia (200 SM), Nesperehan (1000 SM), Peru
(700), United Kingdom (200-400 SM) masing-masing dengan fosil tuiang manusia
yang melukiskan adanya Pott's disease atau abses paru yang berasal dari tuberkulosis,
atau terdapatnya lukisan orang-orang dengan bongkok tulang belakang karena sakit
spondilitis TB.
Literatur Arab: Al Razi (850-953 M) dan Ibnu Sina (980-1037M) menyatakan
adanya kavitas pada paru-paru dan hubungannya dengan lesi di kulit. Pencegahannya
dengan makan-makanan yang bergizi, menghirup udara yang bersih dan
kemungkinan (prognosis) dapat sembuh dari penyakit ini. Disebutkan juga bahwa TB
sering didapat pada usia muda (18-30 th) dengan tanda-tanda badan kurus dan dada
yang kecil.
Baru dalam tahun 1882 Robert Koch menemukan kuman penyebabnya
semacam bakteri berbentuk batang dan dari sinilah diagnosis secara mikrobiologis
dimulai dan penatalaksanaannya lebih terarah. Apalagi'pada tahun 1896 Rontgen
menemukan sinar X sebagai alat bantu menegakkan diagnosis yang lebih tepat.
memuaskan.
Tahun
1840
George
Bodingto
dari
Sutton
Inggris
dengan
sanatorium,
barulah
dipikirkan
usaha
pencegahan
seperti
sedang berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu dinegara maju. 2.
Adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan perubahan
dari struktur usia manusia yang hidup. 3. Perlindungan kesehatan yang tidak
mencukupi pada penduduk di kelompok yang rentan terutama dinegeri-negeri miskin.
4.Tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter.
5.Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostik, dan pengawasan kasus
TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat. 6. Adanya
epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia.
EPIDEMIOLOGI TB DI INDONESIA
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah
China dan India. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di China, India dan Indonesia
berturut turut 1.828.000, 1.414.000, dan 591.000 kasus. Perkiraan kejadian BTAdi
sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan survei
kesehatan rumah tangga 1985 dan survai kesehatan nasional 2001, TB menempati
ranking nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi
nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24 %. Sampai sekarang angka kejadian TB
di Indonesia relatif terlepas dari angka pandemi infeksi HIV karena masih relatif
rendahnya infeksi HIV.
CARA PENULARAN
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya
secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi Minis yang paling sering
dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil
yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru
dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA).
Pada TB kulit atau jaringan lunak penularan bisa melalui inokulasi langsung. Infeksi
yang disebabkan oleh M. bovis dapat disebabkan oleh susu yang kurang disterilkan
dengan baik atau terkontaminasi. Sudah dibuktikan bahwa lingkungan sosial ekonomi
yang baik, pengobatan teratur dan pengawasan mjnum obat ketat berhasil mengurangi
angka morbiditas dan mortalitas di Amerika selama tahun 1950-1960.
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Yang
tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah : 1. M.
tuberculosae, 2. Varian Asian, 3. Varian African I, 4. Varian African II, 5. M. bovis.
Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.
Kelompok kuman Mycobacteria Other Than TB (MOTT, atypical adalah: l.M.
kansasi, 2. M. avium, 3. M. intra cellulare, 4. M.scrofulaceum, 5. M. malmacerse, 6.
M. xenopi.
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan
terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga
lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara
kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es).
Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini
kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif
lagi.
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam
sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian
disenanginya karena banyak mengandung lipid.
Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan
oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian
apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.
KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih
dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru.
Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.
Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi
keadaan pada moderately advanced tuberculosis.
Pada tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru
Kategori 0 : Tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negatif,
Tuberkulosis paru
Bekas tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam: a.) Tuberkulosis paru tersangka
yang diobati. Di sini sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain positif. b).
Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Di sini sputum BTA negatif dan
tanda-tanda lain juga meragukan.
Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk
TB paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan : 1.
Status bakteriologi, 2. Mikroskopik sputum BTA (langsung), 3. Biakan sputum BTA,
4. Status radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru, 5. Status
kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti tuberkulosis.
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni:
Kategori I, ditujukan terhadap :
Kasus kambuh
Kasus gagal dengan sputum BTA positif
serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh
pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
Batuk/batuk darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi
pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru
ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah bermingguminggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk
kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena
terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis
terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
Sesak napas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas.
Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya
sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
Malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan
turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin
lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
PEMERIKSAAN FISIS
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris),
badan kurus atau berat badan menurun.
Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun
terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfillrasi secara asimtomatik.
Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan
pada pemeriksaan fisis, karena hantaran getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam
para sulit dinilai secara pal-pa si, perkusi dan auskultasi. Secara anam-nesis dan
pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks
(puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan
perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan di-dapatkan juga suara
napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini
diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikular melemah. Bila
terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani
dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pada tuberkulosis para yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan
menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Para yang sehat menjadi lebih
hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan
para-para, akan terjadi pe-ngecilan daerah aliran darah para dan selanjutnya
meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti lerjadinya kor
pulmonal dan gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal
dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular
lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan
vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites, dan edema.
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Para yang
sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak.
Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis, TB para sering asimtomatik dan penyakit baru
dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau
uji tuberkulin yang positif.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan
keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis rm'lier. Pada kedua
hal di atas diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan
pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus
atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah
(bagian inferior) atau di daerah hilus menyerapai tumor para (misalnya pada
tuberkulosis endobronkial).
Pada awal penyakit saat lesi masih merapakan sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang
tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa
bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma.
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis.
Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat
bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercakbercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas
disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu
bagian para.
Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan para.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis para adalah
penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah para (efusi
pleura/empiema), bayangan hitam radio-lusen di pinggir para/pleura (pneumotoraks).
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus (pada
tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi,
kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.
Tuberkulosis sering memberikan gambar-an yang aneh-aneh, terutama
gambaran radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest imitator.
Gambaran infiltrasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia, mikosis
paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering
diartikan sebagai abses para. Di samping itu perlu diingat juga faktor kesalahan dalam
membaca foto. Faktor kesalahan ini dapat mencapai 25%. Oleh sebab itu untuk
diagnostik radiologi sering dilakukan juga foto lateral, top lordotik, oblik, tomografi
dan foto dengan proyeksi densitas keras.
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya
aktivitas penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit yang
sudah non-aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berapa fibrotik,
kalsifikasi, kavitas, schwarte, sering dijumpai pada orang-orang yang sudah tua.
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah bronkografi,
yakni untuk melihat kerasakan bronkus atau para yang disebabkan oleh tuberkulosis.
Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien akan menjalani pembedahan para.
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak
dipakai di ramah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT Scan).
Pemeriksaan ini lebih superior dibanding radiologis biasa. Perbedaan densitas
jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CTScan, tetapi dapat
mengevaluasi proses-proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dadaperut. Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan koronal.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah
Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan
sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.
Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan
(puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama
pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu
hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak + 2 liter
dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan
obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik
selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (broncho alveolar
lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini
sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya.
Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin.
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan.
Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka
ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar. Diperkirakan
di Indonesia terdapat 50% pasien BTApositif tetapi kuman tersebut tidak ditemukan
dalam sputum mereka.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3
batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman
dalam 1 mL sputum.
Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan
modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.
Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah :
walaupunsensitivitasnyatinggisangatjarang
dilakukan,
karena
pewarnaan
yang
reaksi hebat dengan 5 T dapat diberikan dulu 1 atau 2 T.U (first strength). Kadangkadang r:_ dengan 5 T.U. masih memberikan hasil negatif dapat diulangi dengan 25
T.U. (second strength). Bila dengan 250 T.U. masih memberikan hasil negatif, berarti
tuberkuiosis dapat disingkirkan. Umumnya tes Mantouks dengan 5 T.U. saja sudah
cukup berarti.
Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedans atau
pemah meng-alami infeksi M. tuberculosae, M. bovis, vaksinasi BCG dan
Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe
lambat. Pada penularan dengan kuman patogen baik yang virulen ataupun tidak
(Mycobacterium tuberculosae atau BCG) tubuh manusia akan mengadakan reaksi
imunologi dengan dibentuknya antibodi selular pada permulaan dan kemudian diikuti
oleh pembentukan antibodi humoral yang dalam perannya akan menekankan antibodi
selular.
Bila pembentukan antibodi selular cukup misalnya pada penularan dengan
kuman yang sangat virulen dan jumlah kuman sangat besar atau pada keadaan di
mana pembentukan antibodi humoral amat berkurang (pada hipogama-globulinemia),
maka akan mudah terjadi penyakit sesudah penularan.
Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara
antibodi selular dan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan
antibodi selular dan antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral,
makin besar pengaruh antibodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, hasil tes Mantoux ini dibagi dalam : 1).
Indurasi 0-5 mm (diameternya): Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Di sini
peran antibodi humoral paling menonjol; 2). Indurasi 6-9 mm: hasil meragukan=
golongan low grade sensitivity. Di sini peran antibodi humoral masih menonjol; 3).
Indurasi 10-15 mm: Mantoux positif = golongan normal sensitivity. Di sini peran
kedua antibodi seimbang; 4). Indurasi lebih dari 15 mm : Mantoux positif kuat =
golongan hypersensitivity. Di sini peran antibodi selular paling menonjol.
DIAGNOSIS
Dari uraian-uraian sebelumnya tuberkuiosis paru cukup mudah dikenal mulai
dari keluhan-keluhan klinis, gejala-gejala, kelainan fisis, kelainan radiologis sampai
dengan kelainan bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya tidaklah selalu mudah
menegakkan diagnosisnya. Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964
diagnosis pasti tuberkuiosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium
tuberculosae dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien
memberikan sediaan atau biakan sputum yang positif karena kelainan paru yang
belum ber-hubungan dengan bronkus atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya
dengan baik. Kelainan baru jelas setelah penyakit berlanjut sekali.
Di Indonesia agak sulit menerapkan diagnosis di atas karena fasilitas
laboratorium yang sangat terbatas untuk pemeriksaan biakan. Sebenarnya dengan
menemukan kuman BTA dalam sediaan sputum secara nrikroskopik biasa, sudah
cukup
untuk
memastikan
diagnosis
tuberkulosis
paru.
karena
kekerapan
Diagnosis tuberkulosis paru masih banyak ditegakkan berdasarkan kelainan klinis dan
radiologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini cukup banyak sehingga
memberikan efek terhadap pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Oleh sebab
itu dalam diagnosis tuberkulosis para sebaiknya dicantumkan status klinis, status
bakteriologis, status radiologis dan status kemoterapi. WHO tahun 1991 memberikan
kriteria pasien tuberkulosis paru.
Pasien dengan sputum BTA positif: 1. pasien yang pada pemeriksaan sputum-nya
secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2 x pemeriksaan,
atau 2. satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai
dengan gambaran TB aktif, atau 3. satu sediaan sputumnya positif disertai biakan
yang positif.
Pasien dengan sputum BTA negatif: 1. pasien yang pada pemeriksaan sputum-nya
secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2 x pemeriksaan tetapi
gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif atau, 2. pasien yang pada
pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali,
tetapi pada biakannya positif.
Di samping TB paru terdapat juga TB ekstra paru, yakni pasien dengan
kelainan histologis atau/dengan gambaran klinis sesuai dengan TB aktif atau pasien
dengan satu sediaan dari organ ekstra parunya menunjukkan hasil bakteri M.
tuberculosae.
Di luar pembagian tersebut di atas pasien digolongkan lagi berdasarkan
riwayat penyakitnya, yakni:
kasus baru, yakni pasien yang tidak mendapat obat anti TB lebih dari 1 bulan.
kasus kambuh, yakni pasien yang pernah dinyatakan sembuh dari TB, tetapi
kasus kronik, yakni pasien yang sputum BTAnya tetap positif setelah mendapat
pengobatan ulang (retreatment) lengkap yang disupervisi dengan baik.
Hal lain yang agak jarang ditemukan adalah cryptic tuberculosis. Di sini
arthropathy
Komplikasi lanjut: Obstruksi jalan napas ->SOFT (Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat->SOPT/fibrosis paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi
pada TB milier dan kavitas TB.
yang pH-nya netral. INH bekerja sangat baik pada populasi ini karena aktivitas
bakterisid segera kerjanya adalah tertinggi. Rifampisindan Streptomisin juga dapat
bekerja padapopulasi ini tetapi efeknya lebih kecil daripada INH.
Populasi B. Dalam kelompok ini kuman tumbuh sangat lambat dan berada dalam
lingkung-an asam (pH rendah). Lingkungan asam ini melindungi kuman terhadap
obat antituberkulosis tertentu. Hanya pirazinamid yang dapat bekerja di sini.
Populasi C. Pada kelompok ini kuman berada dalam keadan dormant (tidak ada
aktivitas metabolisme) hampir sepanjang waktu. Hanya kadang-kadang saja kuman
ini meng-adakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang singkat. Kuman jenis
ini banyak terdapat pada dinding kavitas. Di sini hanya rifampisin yang dapat bekerja
karena obat ini dapat segera bekerja bila kontak dengan kuman selama 20 menit.
Populasi D. Dalam kelompok ini terdapat kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat
dormant (complete dormant), sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh obat
anti tuberkulosis. Jumlah populasi ini tidak jelas dan hanya dapat dimusnahkan oleh
mekanisme pertahanan tubuh manusia itu sendiri.
KEMOTERAPI TB
Kronologis Program Pengobatan
Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak
tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai sbb; Isoniazid (H), para
amino salisilik asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R), dan
pirazinamid (P).
Kemoterapi Bertujuan:
lapis pertama dan lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke penghentian
pertumbuhan basil, pengurangan basil dorman dan pencegahan terjadinya resistensi.
Obat-obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid (INH), Rifampicin, Pyrazinamide,
Ethambutol dan Streptomycin. Obat-obatan lapis kedua mencakup Rifabutin,
Ethionamide, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine, Aminoglycosides
di luar Streptomycin dan Quinolones.
Isoniazid. (INH) mempunyai kemampuan bakterisidal TB yang terkuat.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat cell-wall biosynthesis pathway. INH
dianggap sejenis obat yang aman; efek samping utamanya antara lain hepatitis dan
neuropati perifer karena interferensi fungsi biologi vitamin B6 atau piridoksin.
Rifampisin juga merupakan obat anti TB yang ampuh, dia menghambat polimerase
DNA-dependent ribonucleic acid (RNA) M. tuberculosis. Efek samping yang sering
diakibatkannya antara lain hepatitis, flu-like syndrome's dan trombositopenia.
Rifampisin meningkatkan metabolisme hepatik kontrasepsi oral sehingga dosis
kontrasepsi oral harus ditingkatkan. Pirazinamid merupakan obat bakterisidal untuk
organisme intraselular dan agen antituberkulos ketiga yang juga cukup ampuh.
Pirazinamid hanya diberikan untuk 2 bulan pertama pengobatan. Efek samping yang
sering diakibatkannya adalah hepatotoksisitas dan hiperurisemia. Etambutol satusatunya obat lapis pertama yang mempunyai efek bakteriostatis, tetapi bila
dikombinasikan dengan INH dan Rifampisin terbukti bisa mencegah terjadinya
resisten obat. Streptomisin merupakan salah satu obat antituberkulos pertama yang
ditemukan. Streptomisin ini suatu antibiotikgolongan aminoglikosida yang harus
diberikan secara parenteral dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme
ekstraselular. Kekurangan obat ini adalah efek samping toksik pada saraf kranial
kedelapan yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan/atau hilangnya
pendengaran. Obat tuberkulosis yang ama diberikan pada perempuan hamil adalah
isoniazid, rifampisin dan etambutol. Obat lapisan kedua dicadangkan untuk
pengobatan kasus-kasus resistan multi-obat.
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-sekurangnya 6 bulan agar
dapat mencegah perkembangan resistensi obat. Oleh karena itu, WHO telah
menerapkan strategi DOTS dimana terdapat petugas kesehatan lambahan yang
berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan
kepatuhannyanya. WHO juga telah menetapkan resimen pengobatan standar yang
membagi pasien menjadi empat kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut
Resimen Pengobatan Saat Ini (metode DOTS)
Kategori I. Pasien tuberkulosis paru (TBP) dengan sputum BTA positif dan kasus
baru, TBP lainnya dalam keadaan TB berat, seperti meningitis tuberkulosis, miliaris,
perikarditis, peritonitis, pleuritis masif atau bilateral, spondilitis dengan gangguan
neurologik, sputum BTA negatif tetapi kelainan di paru luas, tuberkulosis usus dan
saluran kemih. Pengobatan fase inisial resimennya terdiri dari 2 HRZS (E), setiap hari
selama dua bulan obat H, R, Z dan S atau E. Sputum BTA awal yang positif setelah
dua bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan
4HR atau 4H3R3 atau 6HE. Apabila sputum BTA masih tetap positif setelah dua
bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi, tanpa melihat apakah sputum
sudah negatif atau tidak.
Kategori 2. Pasien kasus kambuh atau gagal dengan sputum BTA positif. Pengobatan
fese insial terdiri dan 2HRZES/1HRZE, yaitu R dengan H, Z, E setiap hari selama 3
bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA menjadi
negatif, fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA masih positif pada
minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke4 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan
kultur sputum untuk uji kepekaan. obat dilanjutkan memakai resimen fase lanjutan,
yaitu 5H3R3E3 atau 5HRE.
Kategori 3. Pasien TBP dengan sputum BTA negatif tetapi kelainan paru tidak luas
dan kasus ekstra-pulmonal (selain dari kategori I). Pengobatan fase inisial terdiri dari
2HRZ atau 2 H3R3E3Z3, yang diteruskan dengan fase lanjutan 2HR atau H3R3.
Kategori 4. Tuberkulosis kronik. Pada pasien ini mungkin mengalami resistensi
ganda, sputumnya harus dikultur dan uji kepekaan obat. Untuk seumur hidup diberi H
saja (WHO) atau sesuai rekomendasi WHO untuk ^engobatan TB resistensi ganda
(multidrugs resistant tuberculosis (MDRKortikosteroid diberikan untuk tuberkulosis yang mengenai sistem saraf pusat
(meningitis) dan perikarditis namun tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai
tambahan terapi pada tuberkulosis jenis lainnya. Pengobatan tuberkulosis pada pasien
dengan HIV positif pada dasarnya tidak berbeda dengan pengobatan pada pasien
dengan HIV negatif. Hal yang perlu diperhatikan adalah Rifampin tidak diberikan
pada pasien HIV positif yang menggunakan obat protease inhibitor (kecuali obat
ritonavir) atau obat non nucleoside reverse transcriptase inhibitor/NNKTI (kecuali
obat efavirenz). Untuk mengatasinya dengan menggunakan rifabutin sebagai
pengganti rifampin. Rifabutin dapat diberikan bersamaan dengan protease inhibitor
(kecuali obat saquinavir) dan NNRTI (kecuali obat delavirdin) dengan penyesuaian
dosis. Sebaiknya tatalaksana tuberkulosis pada pasien HIV dilakukan oleh ahlinya.
Pasien HIV yang mendapat obat tuberkulosis dan antiretroviral dapat menunjukkan
gejala dan tanda eksaserbasi tuberkulosis (reaksi paradoks). Keadaan ini disebabkan
oleh reaksi hipersensitivitas lambat dan meningkatnya antigen kuman setelah
pemberian antituberkulosis bakterisidal. Pasien HIV dengan CD4 < 100 tidak boleh
diberikan pengobatan dengan resimen 2 kali seminggu.
Pengobatan tuberkulosis pada anak-anak tidak mengikutsertakan etambutol
(kecuali terjadi resistensi INH atau anak tersebut menunjukkan gejala tuberkulosis
dewasa seperti infiltrat pada lobus atas dan kavitas).
Pemberian obat pada fase lanjutan akan diperpanjang menjadi 7 bulan (total
pengobatan 9 bulan) jika tidak diberikan pirazinamid pada fase inisial.
Salah satu masalah utama pengobatan TB ini adalah munculnya strain M.
tuberculosis yang bersifat resistensi ganda terhadap obat primer. Resistensi ganda
dapat berkembang dengan salah satu dari dua cara berikut ini yaitu resisten obat
primer dan resistensi obat sekunder. Resistensi obat primer berkembang pada
seseorang yang belum menerima pengobatan TB sebelumnya, yaitu mereka yang
terinfeksi dengan strain resistan, sedangkan resistensi sekunder atau yang diperoleh
(acquired resistance) merujuk ke resistensi yang berkembang selama periode
pengobatan. Jenis resistensi sekunder khususnya merupakan akibat resimen atau lama
pengobatan yang kurang memadai. Agar dapat dicegah, penemuan atau penambahan
modus pengobatan lain yang lebih ampuh sangat dibutuhkan dengan salah satu
tujuannya dapat mengurangi jangka waktu pengobatan. Pada akhirnya, mungkin
beberapa obat yang berperan sebagai imunomodulator berpotensi untuk memperbaiki
hal ini. Tujuan jenis terapi ini adalah meningkatkan respons imun pejamu menuju
proteksi optimal.
PADUAN OBAT
Dalam riwayat kemoterapi terhadap tuberkulosis dahulu dipakai satu macam
obat saja. Kenyataannya dengan pemakaian obat tunggal ini banyak terjadi resistensi
karena sebagian besar kuman tuberkulosis memang dapat dibinasakan tetapi sebagian
kecil tidak. Kelompok kecil yang resisten ini malah berkembang biak dengan leluasa.
Untuk mencegah terjadinya resistensi ini, terapi tuberkulosis dilakukan dengan
memakai paduan obat, sedikitnya diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid.
Dengan memakai paduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan
karena:
lebih dari satu obat (multi drug resistance) terutama terhadap INH dan rifampisin.
Jenis obat yang dipakai:
Obat primer (obat antituberkulosis tingkat satu): Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid,
Streptomisin, Etambutol
Obat sekunder (obat antituberkulosis tingkat dua): Kanamisin, PAS (Para Amino
Salicylic
acid),
Tiasetazon,
Etionamid,
Protionamid,
Sikloserin,
Viomisin,
Untuk tuberkulosis paru yang berat (milier) dan tuberkulosis ekstraparu, terapi tahap
lanjutan diperpanjang menjadi 7 bulan sehingga paduannya menjadi 2 RHZ/7 RH,
dll. Dengan pemberian terapi jangka pendek akan didapat beberapa keuntungan
seperti waktu pengobatan lebih singkat, biaya keseluruhan untuk pengobatan menjadi
lebih rendah, jumlah pasien yang membangkang menjadi berkurang, dan tenaga
pengawas pengobatan menjadi lebih hemat/efisien.
Oleh karena itu Departemen Kesehatan Rl dalam rangka program
pemberantasan penyakit tuberkulosis paru lebih menganjurkan terapi jangka pendek
dengan paduan obat HRE/5 HaRa (isoniazid + rifampisin + etambutol setiap hari
selama satu bulan, dan dilanjutkan dengan isoniazid + rifampisin 2 kali seminggu
selama 5 bulan), daripada terapi jangka panjang HSZ/11 H2Z2 (INH + streptomisin +
pirazinamid 2 kali seminggu 11 bulan).
Di negara-negara yang sedang berkembang, pengobatan jangka pendek ini
banyak yang gagal mencapai kesembuhan yang ditargetkan (cure rate) yakni 85%
karena program pengobatan yang kurang baik, kepatuhan berobat pasien yang buruk,
sehingga menimbulkan populasi tuberkulosis makin meluas, resistensi obat makin
banyak.
DOSIS OBAT
Tabel 3 menunjukkan dosis obat yang dipakai (di Indonesia) secara harian
maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien.
EFEK SAMPING OBAT
Dalam pemakaian obat-obat anti tuberkulosis tidak jarang diiemukan efek
samping yang mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan,
mungkin obat anti tuberkulosis yang bersangkutan masih dapat diberikan dalam dosis
terapeutik yang kecil, tetapi bila efek samping ini sangat mengganggu, obat
antituberkulosis yang bersangkutan harus dihentikan pemberiannya, dan pengobatan
tuberkulosis dapat diteruskan dengan obat lain. Perlu diketahui bahwa semua obat
anti tuberkulosis mempunyai efek samping yang kadarnya berbeda-beda pada tiaptiap individu. Adapun efek samping tiap-tiap obat dapat dilihat pada tabel 4.
Ternyata sebagian besar obat-obat anti tuberkulosis yang banyak dipakai
adalah hepatotoksik. Kelainan yang ditimbulkan mulai dari peningkatan kadar
transminase darah (SGOT/ SGPT) yang ringan saja sampai pada hepatitis fulminan.
Hepatitis karena obat antituberkulosis banyak terjadi karena pemakaian INH +
rifampisin. Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa INH memproduksi hidrazin
yakni suatu metabolik yang hepatotoksik. Hidrazin ini lebih banyak lagi diproduksi
bila pemberian INH dikombinasikan dengan rifampisin.
Insidensi hepatitis ini tidak banyak, penelitian di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo (1987) mendapatkan 2,3% dan kebanyakan terjadi pada usia tua.
Biasanya bila kadar SGOT/SGPT meningkat tetapi angkanya tidak lebih dari 2 x nilai
normal, INH - rifampisin masih dapat diteruskan. Bila kadarnya meningkat terus,
INH + rifampisin harus dihentikan pemberiannya. Bila memungkinkan hendaknya
diperiksakan antibodi terhadap rifampisin. lika ternyata antibodi ini positif,
pemberian INH masih dapat dipertimbangkan kelanjutannya. Untuk mencegah
terjadinya hepatitis karena obat anti tuberkulosis, dianjurkan agar memilih paduan
obat yang tidak terlalu berat efek hepatotoksiknya, dan diperlukan evaluasi yang
cermat secara klinis dan laboratoris terhadap pasien pada minggu-minggu pertama
pengobatan. Bila sudah terjadi hepatitis karena obat ini, biasanya hepatitis ini sembuh
sendiri jika obat-obat hepatotoksik tadi dihentikan pemberiannya, dan diganti dengan
obat-obat yang tidak hepato-toksik. Pemberian steroid pada hepatitis karena OAT
dapat dipertimbangkan. Rifampisin atau INH kemudian dapat diberikan kembali
sendiri-sendiri secara desensitisasi (dosis obat dimulai dari yang paling kecil dan
dinaikkan perlahan-lahan sambil menilai adakah kelainan toksik / alergi terjadi.
Desentisasi dengan INH, dimulai dengan 25 mg dan dinaikkan 2 kali dosis
sebelumnya setiap 3 hari (25-50-100-200-300-400 mg). Untuk rifampisin sama
seperti INH dan dimulai dengan dosis 75 mg (hari pertama 75 mg, hari ke-4 75 mg,
hari ke-7 150 mg, hari ke-10 150 mg, hari ke-13 450 mg, hari ke-16450mg, hari ke-
19 600 mg). Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan
pemeriksaan kontrol seperti:
Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai obat etambutol
Tes audiometri bagi yang memakai obat Streptomisin
Pemeriksaan darah terhadap enzim hati, bilirubin, ureum/kreatinin, darah perifer
dan asam urat (untuk pemakai pirazinamid)
EVALUASI PENGOBATAN
Klinis. Biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya setiap 2
minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan.
Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batukbatuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat,
dll.
Bakteriologis. Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi
negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO (1991)
menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2,4, dan
6. Pada yang memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir buian
ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke 2 dan akhir
pengobatan. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien bare yang BTA-nya masih
positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan
pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksakan
sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Sputum BTA sebaiknya tetap diperiksa untuk
kontrol pada kasus-kasus yang dianggap selesai pengobatan/sembuh. Sewaktu-waktu
mungkin terjadi silent bacterial shedding, yaitu terdapat sputum BTA positif tanpa
disertai keluhan-keluhan tuberkulosis yang relevan pada kasus-kasus yang
memperoleh kesembuhan. Bila ini terjadi yakni BTA positif pada 3 kali pemeriksaan
biakan (3 bulan), berarti pasien mulai kambuh lagi.
4). Jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya. 5). Terjadi resistensi obat. 6).
Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1-2 bulan pengobatan tahap
intensif, tidak terlihat perbaikan.
Di Amerika Serikat prevalensi pasien yang resisten terhadap OAT makin
meningkat dan sudah mencapai 9%. Di negara yang sedang berkembang seperti di
Afrika, diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten terhadap OAT saat ini
sudah dapat dideteksi dengan cara PCR-SSCP (Polymerase Chain Reaction-Single
Stranded Confirmation Polymorphism) dalam waktu 1 hari.
Drop out: 1. Kekurangan biayapengobatan. 2. Merasa sudah sembuh. 3.
Malas berobat/kurang motivasi.
Penyakit: 1). Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat. 2). Penyakit lain yang
menyertai tuberkuiosis seperti diabetes melitus, alkoholisrae. 3). Adanya gangguan
imunologis.
Sebab-sebab kegagalan pengobatan yang terbanyak adalah karena kekurangan
biaya pengobatan atau merasa sudah sembuh. Kegagalan pengobatan ini dapat
mencapai 50% pada terapi Jangka panjang, karena sebagian besar pasien tuberkuiosis
adalah golongan yang tidak mampu sedangkan pengobatan tuberkuiosis memerlukan
waktu lama dan biaya banyak.
Untuk mencegah kegagalan pengobatan ini perlu kerjasama yang baik dari
dokter dan paramedis lainnya serta motivasi pengobatan tersebut terhadap pasien.
Penanggulangan terhadap kasus-kasus yang gagal ini adalah:
pemberiannya.
Lakukan pemeriksaan uji kepekaan/tes resistensi kuman terhadap obat.
Bila sudah dicoba dengan obat-obat yang masih peka, tetapi ternyata gagal
juga, maka pertimbangkan terapi dengan pembedahan terutama pada pasien
tiap-tiap bulan.
Nilai kembali tes resistensi kuman terhadap obat.
Bila ternyata terdapat resistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang
masih sensitif.
PASIEN KAMBUH
Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani pengobatan secara teratur
dan adekuat sesuai dengan rencana, tetapi dalam kontrol ulangan ternyata sputum
BTA kembali positif baik secara mikroskopik langsung ataupun secara biakan.
Frekuensi kekambuhan ini adalah antara 2-10% tergantung pada jenis obat yang
dipakai.
Umumnya kekambuhan terjadi pada tahun pertama setelah pengobatan
selesai, dan sebagian besar kumannya masih sensitif terhadap obat-obat yang
dipergunakan semula. Penanggulangan terhadap pasien kambuh ini adalah:
PENGOBATAN PEMBEDAHAN
Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani terapi TB adekuat dan
sudah dinyatakan sembuh oleh dokter secara klinis, mikrobiologis maupun radiologis,
kemudian pada evaluasi berikutnya terdapat gejala klinis tuberkuiosis positif
(mikrobiologi positif). Terapi bedah, banyak dilakukan dalam upaya penyembuhan
pasien tuberkuiosis paru yang kambuh. Pada saat ini dengan banyaknya obat-obat
yang bersifat bakterisid, terapi bedah jarang sekali dilakukan terhadap pasien
tuberkuiosis paru.
Indikasi terapi bedah saat ini adalah : a. pasien dengan sputum BTA tetap
positif (persisten) setelah pengobatan diulang; b. pasien dengan batuk darah masif
atau berulang; c. Terapi fistula bronkopleura, d. Drainase empiema tuberkuiosis; d.
Untuk mengatasi gangguan mekanik yang timbul pada tuberkuiosis tulang (seperti
stabilisasi tulang vertebra pada penyakit pott).
Di samping syarat toleransi operasi (spirometri, analisis gas darah dll) diperlukan
juga syarat adanya obat-obat antituberkulosis yang masih sensitif. Obat-obat
antituberkulosis ini tetap diberikan sampai 6 bulan setelah operasi. Hasil operasi
pasien dengan sputum BTA tetap positif, sebagian besar BTA menjadi negatif di
samping perbaikan keluhan-keluhannya, sehingga dapat dikatakan tindakan bedah
sangat berarti dalam penyembuhan pasien.
USAHA PREVENTIF TERHADAP TUBERKULOSIS
Vaksinasi BCG
Dari beberapa peneliti diketahui bahwa vaksinasi BCG yang telah dilakukan
pada anak-anak selama ini hanya memberikan daya proteksi sebagian saja, yakni 080%. Tetapi BCG masih tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan
terhadap tuberkuiosis berat (meningitis, tuberkuiosis milier dll) dan tuberkuiosis
ekstra paru lainnya.
Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis terhadap tuberkuiosis merupakan masalah tersendiri dalam
penanggulangan tuberkuiosis paru di samping diagnosis yang cepat dan pengobatan
yang adekuat. Isoniazid banyak dipakai selama ini karena harganya murah dan efek
sampingny a sedikit (terbanyak hepatitis dengan frekuensi 1%, sedangkan yang
berusia lebih dari 50 tahun adalah 2%).
Obat alternatif lain setelah Isoniazid adalah Rifampisin. Beberapa peneliti
pada I DAT (International Union Against Tuberculosis) menyatakan bahwa