Anda di halaman 1dari 14

PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP TUBERKULOSIS PARU

Oleh
Oksfriani Jufri Sumampouw
The Laboratory of Environmental Health Study Program of Public Health Science
The Faculty of Public Health Sam Ratulangi University
Jl. Kampus UNSRAT Kleak Manado 95115 Phone Number 08124442467
email add: oksfriani82@yahoo.com
ABSTRAK
Penyakit tuberkulosis paru (Tb paru) merupakan penyakit penyebab kematian ketiga setelah
penyakit kardiovaskuler dan saluran pernafasan. Faktor-faktor penyebab tuberkulosis paru antara
lain rendahnya pendapatan, kualitas gizi masyarakat rendah, buruknya lingkungan perumahan
(termasuk kualitas udara dalam rumah), sanitasi dan kepadatan penghuni. Tulisan ini bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan dan penyakit Tb paru. Kesimpulan tulisan
ini yaitu faktor lingkungan seperti kepadatan hunian, ventilasi dan suhu ruangan dapat
menyebabkan Tb paru sehingga disarankan untuk meningkatkan penemuan dan pengobatan
penderita sedini mungkin hingga penderita sembuh dan perlu adanya tindakan promosi dari
tenaga kesehatan terhadap masyarakat khususnya masyarakat berisiko tentang menjaga kondisi
lingkungan dalam hal ini rumah tetap sehat.
Kata Kunci: Tb paru, lingkungan

ABSTRACT
Pulmonary tuberculosis is a disease the third leading cause of death after the cardivasculer
disease and respiratory tract in all age groups and the first cause of death in infectious diseases.
Risk factors of pulmonary tuberculosis such as low of income, quality of society nutrient, quality
of house environment, sanitation and density of dweller. This article aim is to discuss pulmonary
tuberculosis and the environment factors. It can be concluded that sleeping density, ventilation

and temperature has associated with pulmonary tuberculosis. Therefore, it is recommended to


improve the case finding, early treatment and cure the patients and need promotion for risk
community about environmental health especially health house.
Key words: Lung Tuberculosis, Environmental

PENDAHULUAN
Tuberkulosis (Tb) paru merupakan penyakit infeksi kronik dan menular yang erat kaitannya
dengan keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui udara yaitu
lewat percikan ludah, bersin dan batuk. Penyakit Tb paru biasanya menyerang paru dan dapat
pula menyerang organ tubuh yang lain. Tb paru masih menjadi masalah kesehatan di dunia.
Penyakit Tb paru banyak menyerang kelompok usia produktif dan kebanyakan berasal dari
kelompok sosial ekonomi rendah dan tingkat pendidikan yang rendah (Aditama, 2002).
World Health Organization (WHO) pada tahun 1995, memperkirakan insiden Tb paru setiap
tahun sebanyak 583.000 kasus dengan angka kematian (mortality rate) sekitar 140.000 kasus. Tb
paru merupakan penyebab kematian ketiga terbesar di dunia setelah penyakit kardiovaskuler dan
penyakit saluran pernapasan. Penyakit ini menjadi penyakit penyebab kematian nomor satu
terbesar di dunia dalam kelompok penyakit infeksi (Crofton, 2002).
Adanya fenomena peningkatan insidensi dan prevalensi kasus Tb paru di seluruh dunia, yang
dikenal sebagai fenomena Tb paru global, telah mendorong WHO mendeklarasikan global
health emergency pada bulan maret 1993, untuk menyadarkan masyarakat dunia bahwa kita
sedang menghadapi ancaman serius penyakit Tb paru. Pada bulan September 2000,
diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang

diikuti oleh 189 negara anggota. Konferensi itu menyepakati untuk mengadopsi Tujuan
Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs). Tantangan untuk
memenuhi delapan tujuan diatas tersebut memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya.
Tercapainya satu tujuan, dapat mendekatkan pencapaian tujuan lainnya. Berdasarkan hal tersebut
maka penurunan jumlah kasus insidensi dan prevalensi penyakit Tb menjadi salah satu tujuan
MDGs yang mesti secara bersama-sama diperjuangkan hingga tahun 2015 (Anonim, 2008).
Tuberkulosis paru merupakan penyakit yang erat kaitannya dengan ekonomi lemah dan
diperkirakan 95% dari jumlah kasus Tb paru terjadi di Negara berkembang yang relatif miskin.
Menurut WHO tahun 1999, Indonesia merupakan penyumbang penyakit paru terbesar nomor
tiga di dunia sebanyak 583.000 kasus setelah India sebanyak 2 juta kasus dan Cina sebanyak 1,5
juta kasus (Anonim, 2002).
Tuberkulosis paru merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Diperkirakan setiap tahun
sebanyak 450.000 kasus baru Tb paru terjadi, dimana 1/3 penderita ditemukan di puskesmas, 1/3
di rumah sakit dan 1/3 lainnya ditemukan di unit pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau
seperti pengobatan tradisional. Penderitanya di Indonesia sebagian besar terjadi pada kelompok
usia produktif dengan sosial ekonomi yang rendah (Anonim, 2004).
Saat ini, jumlah kasus baru (insidensi) dan kasus lama (prevalensi) penyakit Tb paru di
seluruh dunia terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, yaitu 1)
tingginya angka kemiskinan pada mayoritas penduduk di negara berkembang dan di beberapa
daerah perkotaan di negara maju, 2) perubahan demografik dengan meningkatnya umur harapan
hidup, 3) perlindungan kesehatan yang tidak memadai di banyak negara miskin, 4) kurangnya
akses terhadap sarana dan pra saraana kesehatan, rendahnya pengawasan kasus penyakit Tb paru,
serta kemampuan deteksi kasus Tb paru dan tata-laksana yang tidak memadai, 5) ledakan jumlah
kasus HIV, terutama di Afrika dan Asia dan 6) fenomena resistensi obat anti-Tb paru.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan bahwa Periode
Prevalence Tb Paru 2009/2010 berdasarkan diagnosa tenaga kesehatan melalui pemeriksaan
dahak dan atau foto paru sebesar 725/100.000 penduduk. Lima provinsi yang memiliki angka
prevalensi tertinggi yaitu Papua 1.441 per 100.000 peduduk, Banten 1.282 per 100.000
penduduk, Sulawesi Utara 1.221 per 100.000 penduduk, Gorontalo 1.200 per 100.000 penduduk,
dan DKI Jakarta 1.032 per 100.000 penduduk. Periode Prevalence Tb paru tertinggi terdapat
pada kelompok di atas usia 54 tahun sebesar 3.593 per 100.000 penduduk sedangkan pada

kelompok lain dengan kisaran 348 per 100.000 penduduk 943 per 100.000 penduduk. Prevalensi
Tb paru paling banyak terdapat pada jenis kelamin laki-laki 819 per 100.000 penduduk,
penduduk yang bertempat tinggal di desa 750 per 100.000 penduduk, kelompok pendidikan yang
tidak sekolah 1.041 per 100.000 penduduk), petani/nelayan/buruh 858 per 100.000 penduduk dan
pada penduduk dengan tingkat pengeluaran kuintil 4 sebesar 607 per 100.000 penduduk
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menemukan beberapa faktor yang menjadi
penyebab terjadinya Tb paru. Ratnasari (2005), yang meneliti tentang faktor-faktor risiko Tb
paru di beberapa unit pelayanan kesehatan kota Semarang menemukan bahwa kepadatan
hunian berhubungan dengan kejadian Tb paru dimana Odds Ratio (OR) sebesar 2,4 dengan 95%
Confidence Interval (CI): 1,09-5,47, selanjutnya pencahayaan dimana OR sebesar 2,7 dengan
95% CI: 1,18-5,99 dan luas ventilasi dimana OR 2,3 dengan 95% CI: 1,01-5,00.
Subaeti (2005), yang melakukan penelitian tentang faktor risiko Tb paru pada petugas
mikroskopis di kabupaten Kebumen menemukan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan
kejadian Tb paru dimana OR sebesar 1,08 dan umur berhubungan dengan kejadian Tb paru
dimana OR sebesar 1,06. Selanjutnya, penelitian lain yang menunjukkan adanya hubungan
antara lingkungan fisik rumah seperti kepadatan hunian, pencahayaan, ventilasi, kelembaban,
dan jenis lantai telah dilakukan oleh Sugiharto (2004) yang menemukan bahwa adanya hubungan
yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian Tb paru dimana OR sebesar 2,716 dan
dipengaruhi oleh kondisi pencahayaan dimana OR sebesar 4,256, dan ventilasi dimana OR
sebesar 2,567. Wiasa (2009) juga telah melakukan penelitian yang sama dan memperoleh hasil
bahwa kepadatan hunian berhubungan secara signifikan dengan kejadian Tb paru dimana OR
sebesar 11,76 dan pencahayaan berhubungan signifikan dengan kejadian Tb paru dengan OR
sebesar 12,82. Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk membahas tentang faktor lingkungan
yang menyebabkan Tb paru.

PEMBAHASAN
1. Tuberkulosis
Tuberkulosis paru (Tb paru) merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga
dikenal juga sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman Tb menyerang paru,

tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain. kuman Tb cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Anonim, 2002).
Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh seorang dokter sekaligus seorang peneliti asal
Jerman, Robert Koch berhasil menemukan bakteri penyebab Tb paru. Basil ini diberi nama Basil
Koch, sesuai dengan nama penemunya dan sampai saat ini bakteri penyebab Tb paru disebut M.
tuberculosis. Selain itu, Koch juga berperan dalam memperkenalkan tuberkulin pada tahun 1890
sebagai suatu cara pengobatan Tb (Bustan, 1997).
2. Transmisi Tb Paru
Penderita Tb paru BTA positif, dapat menjadi sumber penularan. Penularan terjadi melalui
udara yang tercemar dengan M. tuberculosis yang dilepaskan pada saat penderita Tb paru batuk,
dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita Tb paru dewasa. Bakteri ini
bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak
(terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui
pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi Tb paru dapat menginfeksi
hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar
getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu
paru-paru (Crofton, 2002).
3. Riwayat Alamiah Penyakit
Secara umum riwayat alamiah penyakit terdiri dari:
a. Tahap prepatogenesis. Tahap prepatogenesis Tb paru terjadi saat individu berinteraksi
dengan penderita Tb paru positif yang sangat menular. Pada saat penderita Tb paru positif
menyebarkan dahak yang mengandung kuman BTA ke udara, maka individu tersebut
dapat menghirup kuman BTA hingga mencapai paru-paru.
b. Tahap patogenesis. Dalam tahap ini dibagi dalam empat tahap yaitu (Benenson, 1990):
1) Tahap inkubasi. Masa inkubasi Tb paru adalah 4-12 minggu. Pada tahap ini terjadi reaksi daya
tahan tubuh untuk menghentikan perkembangan kuman BTA. Walaupun terdapat reaksi daya
tahan tubuh, namun ada sebagian BTA yang menetap sebagai kuman persister atau dormant

(tidur). Apabila daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan perkembangan kuman, maka dalam
beberapa bulan akan menjadi penderita Tb paru dan memberikan gejala.
2)

Tahap penyakit dini. Tahap ini dimulai saat penderita mengalami gejala awal penyakit, yang
biasanya dikarenakan oleh adanya penurunan daya tahan tubuh, sehingga pada tahap ini terjadi
kerusakan paru secara luas dan terjadinya kavitasi atau pleura.

3)

Tahap penyakit lanjut. Pada tahap ini, penderita Tb paru dapat mengalami komplikasi seperti
perdarahan saluran nafas bawah yang dapat menyebabkan kematian, kolaps dari lobus akibat
retraksi bronkial, pelebaran bronkus dan pembentukan jaringan ikat, adanya udara di dalam
rongga pleura, penyebaran infeksi pada organ lain seperti otak, tulang, persendian dan ginjal, dan
dapat juga terjadi insufisiensi kardio pulmoner.

4) Tahap akhir penyakit. Pada tahap akhir penyakit, penderita Tb paru dapat menjadi sembuh atau
meninggal. Penderita Tb paru dapat sembuh apabila penyakit yang dialami tidak sampai pada
tahap penyakit lanjut atau terjadi komplikasi. Penderita juga dapat sembuh apabila dilakukan
pengobatan Tb paru yang sesuai. Kematian dapat terjadi bila terdapat komplikasi atau penderita
tidak melaksanakan pengobatan yang telah dianjurkan.
Penderita Tb paru yang tidak diobati setelah 5 tahun, maka 50% dari penderita Tb paru akan
meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% sebagai
kasus tropik yang tetap menular (WHO, 1996).

4. Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Tb Paru


Faktor lingkungan perumahan memegang peranan penting dalam menentukan terjadinya proses
interaksi antara penjamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya penyakit. Lingkungan
fisik meliputi kepadatan hunian (rasio jumlah kamar tidur dan orang), ventilasi, dan suhu
ruangan (Apriani, 2001).
a. Kepadatan Hunian. Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin
padat maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin
mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita Tb paru dengan BTA (+).
Kuman Tb paru cukup resisten terhadap antiseptik tetapi dengan cepat akan menjadi inaktif oleh
cahaya matahari, sinar ultraviolet yang dapat merusak atau melemahkan fungsi vital organisme

dan kemudian mematikan. Kepadatan hunian ditempat tinggal penderita Tb paru anak paling
banyak ialah tingkat kepadatan rendah. Suhu di dalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan
hunian dan ventilasi rumah (Behrman et al, 2003).
Kepadatan penghuni yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI, yaitu rasio luas lantai
seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2
dan tidak dianjurkan digunakan lebih 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah
umur 5 tahun. Kepadatan hunian dapat juga ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi dengan
jumlah penghuni (sleeping density), dinyatakan dengan nilai: baik, bila kepadatan lebih atau
sama dengan 0,7 cukup, bila kepadatan antara 0,5 - 0,7 dan kurang bila kepadatan kurang dari
0,5 (Anonim, 1999).
Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa kepadatan hunian bisa menjadi
salah satu faktor penyebab (faktor risiko) Tb paru seperti penelitian yang dilakukan oleh
Daryatno (2000) di Semarang yang menyatakan bahwa kepadatan hunian memiliki hubungan
dengan kejadian Tb paru. Selanjutnya, Sugiharto (2004) melakukan penelitian tentang hubungan
kepadata hunian dengan kejadian Tb paru dan diperoleh hasil adanya hubungan dengan nilai OR
= 3,161 dengan nilai p = 0,001. Selanjutnya, Tobing (2009) melaksanakan penelitian dengan
salah satu variabel yaitu kepadatan hunian yang memperoleh nilai p sebesar 0,004 yang berarti
adanya hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan penyakit Tb paru dimana nilai
OR sebesar 3,3 (95% CI : 1,45-7,9). Hal ini berarti, potensi kejadian penyakit Tb paru sebesar
3,3 kali di bangunan atau rumah yang kepadatan huniannya < 0,5.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Adnani dan Mahastuti (2007) tentang kondisi rumah
dan penyakit Tb paru menunjukkan bahwa kepadatan hubian berhubungan dengan kejadian Tb
paru dengan nilai OR sebesar 1,55 dengan 95% CI : 0,61-16,50. Selanjutnya Ratnasari (2005)
yang melaksanakan penelitian di Kota Semarang menemukan bahwa kepadatan hunian
berhubungan dengan kejadian Tb paru dengan nilai OR = 2,4 dimana 95% CI: 1,09-5,47.
Penelitian tentang hal yang sama juga dilakukan oleh Yusri (2005) yang memperoleh hasil yaitu
kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian Tb paru dengan OR sebesar 4,0 dimana 95%
CI : 1,7-9,6. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto dkk (2004) tentang faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian Tb paru di Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit
Paru ditemukan kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian Tb paru dimana nilai OR
sebesar 9,29 dengan 95% CI: 2,28-37,83.

Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin padat maka
perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah dan
cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita Tb paru dengan BTA (+). Kuman Tb
paru cukup resisten terhadap antiseptik tetapi dengan cepat akan menjadi inaktif oleh cahaya
matahari, sinar ultraviolet yang dapat merusak

atau melemahkan fungsi vital organisme dan

kemudian mematikan. Kepadatan hunian ditempat tinggal penderita Tb paru anak paling banyak
adalah tingkat kepadatan rendah. Suhu didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan hunian
dan ventilasi rumah (Behrman, et al 2003).
Daerah perkotaan (urban) yang lebih padat penduduknya dibandingkan di pedesaan (rural),
peluang terjadinya kontak dengan penderita Tb paru lebih besar. Sebaliknya di daerah rural akan
lebih kecil kemungkinannya. Dapat disimpulkan bahwa orang yang rentan (susceptible) akan
terpapar dengan penderita Tb paru menular lebih tinggi pada wilayah yang pada penduduknya
walaupun insiden sama antara yang penduduk padat dan penduduk tidak padat (Karyadi et al,
2006).
Kepadatan hunian akan memudahkan terjadinya penularan penyakit Tb paru di dalam rumah
tangga. Bila dalam satu rumah tangga terdapat satu orang penderita Tb paru aktif dan tidak
diobati secara benar maka akan menginfeksi anggota keluarga terutama kelompok yang rentan
seperti bayi dan balita, semakin padat hunian suatu rumah tangga maka semakin besar risiko
penularan (Karyadi et al, 2006).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.829/MenKes/SK/VII/1999
tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok bagi
setiap masyarakat, sama pentingnya, meskipun berbeda fungsinya, dengan dua unsur kebutuhan
dasar lainnya, yaitu pakaian (sandang) dan makanan (pangan). Dari kondisi lingkungan tempat
tinggal dapat terlihat tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan kondisi lingkungan
yang sehat. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan
sarana pembinaan keluarga; sedangkan perumahan ialah kelompok rumah yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dilengkapi dengan sarana prasarana
lingkungan (Anonim, 1999).
Rumah dikatakan baik dan aman, jika kualitas bangunan dan lingkungan dibuat dengan
serasi. Rumah yang sehat yaitu jika bahan bangunannya memenuhi syarat (Azwar, 1999) :

1)

Lantai tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Lantai yang
basah dan berdebu merupakan sarang penyakit,

2) Dinding tembok adalah baik, namun bila di daerah tropis dan ventilasi kurang akan lebih baik
dari papan,
3) Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau asbes tidak cocok untuk ruma
pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan suhu panas di dalam rumah.
b. Ventilasi. Hal ini berhubungan dengan minimal luas jendela/ ventilasi adalah 15% dari luas
lantai, karena ventilasi mempunyai fungsi (Azwar, 1999):
1)

Menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan O 2 yang
diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan
kurangnya 02 di dalam rumah yang berarti kadar CO 2 yang bersifat racun bagi penghuninya
menjadi meningkat,

2) Menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity) yang optimum.
Kelembaban yang optimal (sehat) yaitu sekitar 40 70% kelembaban yang lebih dari 70% akan
berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam ruangan naik
karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan
merupakan media yang baik untuk bakteri - bakteri patogen (penyebab penyakit),
3) Membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu
terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
4)

Lingkungan perokok dapat menyebabkan udara mengandung nitrogen oksida sehingga


menurunkan kekebalan pada tubuh terutama pada saluran napas karena berkembang menjadi
makrofag yang dapat menyebab infeksi.
Azwar (1999) mengemukakan bahwa ventilasi mempunyai fungsi yaitu : 1) menjaga agar aliran
udara di dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan O 2 yang diperlukan oleh penghuni
rumah tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang
berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat; 2) menjaga agar
udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity) yang optimum. Kelembaban
yang optimal (sehat) yaitu sekitar 40 70% kelembaban yang lebih dari 70% akan berpengaruh
terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya
proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang
baik untuk bakteri-bakteri patogen (penyebab penyakit); 3) membebaskan udara ruangan dari

bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus
menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir; 4) lingkungan perokok akan
menyebabkan udara mengandung nitrogen oksida sehingga menurunkan kekebalan pada tubuh
terutama pada saluran napas karena berkembang menjadi makrofag yang dapat menyebab
infeksi.
Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa ventilasi bisa menjadi salah satu
faktor penyebab (faktor risiko) Tb paru seperti yang dilakukan oleh Ratnawati (2001) hasil
penelitiannya menunjukkan tidak ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian Tb paru
di Kabupaten Jepara (p > 0,05). Selanjutnya penelitian yang dilakukan Sumarjo (2004) di
Kabupaten Banjarnegara memperoleh hasil yaitu adanya hubungan antara ventilasi rumah
dengan kejadian Tb paru dengan nilai p sebesar 0,003 dan OR = 6,176. Hal ini berarti individu
yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena
Tb paru sebesar 6,2 kali dibandingkan mereka yang memiliki luas ventilasi yang memenuhi
syarat. Selanjutnya, Tobing (2009) menyatakan bahwa dalam penelitian yang dilakukannya
diperoleh hasil yatu nilai p sebesar 0,037 dan nilai OR sebesar 2,4 (9% CI-1,04-5.8).
Selanjutnya, Darsoni (2005) yang melaksanaan penelitian di Desa Padang memperoleh hasil
yaitu bahwa adanya hubungan antara luas ventilasi rumah dengan kejadian Tb paru dimana nilai
p = 0,001 dan OR sebesar 10,8.
Adnani dan Mahastuti (2007) yang meneliti tentang Tb paru di Kecamatan Paseh menunjukkan
bahwa individu yang memiliki ventilasi yang tidak baik memilihi risiko terkena Tb paru sebesar
3,69 dari pada mereka yang memiliki ventilasi yang memenuhi syarat. Selanjutnya, penelitian
yang dilakukan oleh Rusnoto dkk (2004) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian Tb paru di Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru ditemukan luas ventilasi
berhubungan dengan kejadian Tb paru dimana nilai OR sebesar 29,99 dengan 95% CI: 3,39265,50.
Penelitian yang dilakukan oleh Sugiyarti (2003) tentang hubungan karakteristik kondisi rumah
dan praktik kesehatan dengan kejadian Tb paru di wilayah kerja Puskesmas Gemuh I Kecamatan
Gemuh Kabupaten Kendal menemukan bahwa luas ventilasi berhubungan dengan kejadian Tb
paru dengan OR sebesar 3,125. Selanjutnya, Sugiarto (2003) menyatakan bahwa luas ventilasi
berhubungan dengan kejadian Tb paru (p value = 0,004 dan OR = 2,5) dan Sumini (2005) yang
menyatakan bahwa luas ventilasi berhubungan dengan kejadian Tb paru (p value = 0,046 dan OR
= 2,1).

Hal ini dapat dipahami karena ventilasi memiliki berbagai fungsi seperti membebaskan ruangan
rumah dari bakteri pathogen terutama kuman tuberculosis. Kuman Tb yang ditularkan melalui
droplet nuclei dapat melayang di udara karena memiliki ukuran yang sangat kecil (50 mikron).
Ventilasi yang tidak aik karena dapat menghalangi sinar matahari masuk ke dalam ruangan,
padahal kuman Tb hanya dapat dibunuh dengan sinar matahari secara langsung (Notoadmojo;
2003; Lubis, 1989).
c. Suhu Udara. Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30C. Suhu optimal pertumbuhan
bakteri sangat bervariasi. Mycobacterium tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37C. Paparan
sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh M. tuberculosis dan tahan hidup pada tempat
gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap (Anonim, 1999).
Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa suhu udara bisa menjadi salah satu
faktor penyebab (faktor risiko) Tb paru seperti penelitian yang dilakukan oleh Fatimah (2008)
yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kejadian Tb paru dengan suhu (OR 2,674).
Selanjutnya, Atmosukarto dan Soewasti (2000) yang melakukan penelitian tentang pengaruh
lingkungan permukiman dengan kejadian Tb paru menemukan bahwa suhu ruangan memberikan
pengaruh terhadap kejadiaan Tb paru dengan OR sebesar 5,126. Hal ini menunjukkan bahwa
individu yang memiliki rumah dengan suhu <18 / > 30oC memiliki risiko terkena Tb paru sebesar
2,7 an 5,1 kali dibandingkan dengan suhu ruangan 18-30oC.
Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30C. Gould dan Brooker (2003) menyatakan
bahwa bakteri M. tuberculosis merupakan bakteri mesofilik yang bisa hidup pada suhu udara 1040oC. Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, M. tuberculosis tumbuh optimal pada
suhu 37C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh M. tuberculosis. Bakteri
tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang
gelap (Anonim, 1999).

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kepadatan hunian dapat menyebabkan kejadian Tb paru dimana kepadatan hunian 0,5 lebih
2.

besar risikonya jika dibandingkan dengan < 0,5.


Luas ventilasi dapat menyebabkan kejadian Tb paru dimana luas ventilasi < 15% lebih besar
risikonya jika dibandingkan dengan 15%.

3.

Suhu ruangan dapat menyebabkan kejadian Tb paru dimana suhu ruangan < 18oC lebih besar
risikonya jika dibandingkan dengan 18oC.
Pada akhir penelitian ini, berdasarkan hasil yang diperoleh maka beberapa saran yang bisa
diberikan, yaitu bagi dinas kesehatan dan stakeholder terkait dapat melakukan promosi sebagai
tindakan pencegahan terutama bagi masyarakat yang mempunyai faktor risiko yang tinggi,
dengan cara memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang persyaratan rumah sehat. Bagi
masyarakat dapat menciptakan lingkungan rumah yang memenuhi persyaratan seperti luas
ventilasi yang lebih dari 15% dan suhu ruangan diatur pada 18-30oC karena hal-hal ini menjadi
faktor penghambat kejadian Tb paru.

DAFTAR PUSTAKA
Aditama,
T.
2002.
Diagnosis
dan
Pengobatan
(http://www.tbindonesia.or.id) diakses 23 Januari 2010

Tuberkulosis

Terbaru.

(online)

Adnani, H dan Mahastuti, A. 2007. Hubungan Kondisi Rumah dnegan Penyakit Tb Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Karangmojo Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2003-2006. Jurnal Kesehatan
Surya Medika. Volume 1(1) halaman 1-21
Anonim. 1999. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.829/MenKes/SK/VII/1999 tentang
Persyaratan Kesehatan Perumahan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta
Anonim. 2002. Komunikasi Interpersonal Antara Petugas Kesehatan Dengan Penderita Tuberkulosis.
Direktorat Jenderal PPM dan PL Departemen Kesehatan RI. Jakarta
Anonim. 2004. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Depertemen Kesehatan RI. Jakarta
Anonim. 2005. Survei Prevalensi Tuberkulosis di Indonesia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta
Anonim. 2008. Riset Kesehatan Dasar tahun 2007. Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Apriani, W. 2001. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Tb paru di Kabupaten Donggala
Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2000. Tesis. Program Pascasarja Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia. Depok
Atmosukarto dan S. Soewasti. 2000. Pengaruh Lingkungan permukiman terhadap kejadian Tb Paru.
Media Litbangkes. Volume 9(4) hal. 1-10 Jakarta
Azwar, A. 1999. Pengantar Epidemiologi. Binarupa Aksara. Jakarta
Behrman, R. E., Kliegman, R. M., dan Jenson, H.B. 2003. Nelson Texbook of Pediatrics. Edisi-16. W.B.
Saunders Company. Phildelphia
Benenson, A. 1990. Control of Communicable Disease in Man. American Public Health Association.
Washington. USA
Bustan, M. 1997. Pengantar Epidemiologi. Rineka Cipta. Jakarta
Crofton, J. 2002. Tuberculosis Klinis. Widya Medika. Jakarta

Daryatno. 2000. Hubungan Faktor Lingkungan dengan Kejadian Tb Paru. Balitbangkes. Jakarta
Fatimah, 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru Di
Kabupaten Cilacap (Kecamatan : Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu,
Bantarsari) Tahun 2008. Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Gould dan Brooker. 2003. Mikrobiologi Terapan. EGC. Jakarta
Karyadi, E., West, E.C., Schultink, W., Nelwan, H.R., Gross, R., dan Amin, Z. 2003. A double-blind,
placebo-controlled study of vitamin A and Zinc Supplementation in persons with tuberculosis in
Indonesia: Effects on clinical response and nutritional status (online) (http://www.ajcn.org)
diakses pada 7 Januari 2011
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta
Lubis, P. 1989. Perumahan Sehat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Notoatmodjo, S. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta
Ratnasari, N. 2005. Faktor-Faktor Risiko Tb Paru Di Beberapa Unit Pelayanan Kesehatan Kota
Semarang. (online) (http://www.fkm.undip.ac.id) diakses pada 07 Januari 2011
Ratnawati. 2001. Hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian Tb paru di Kabupaten Jepara.
(online) (http://www.fkm.undip.ac.id) diakses pada 07 Januari 2011
Rusnoto, P. Rahmatullah, dan A. Udiono. 2004. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Tb
paru di Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru. Jurnal Kesehatan. Universitas
Diponegoro. Volume 2(1) hal 1-10
Sastroasmoro S, dan S. Ismail. 2010. Dasar- dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-3. Sagung
Seto. Jakarta
Subaeti, T. 2005. Faktor Risiko Tb paru Pada Petugas Mikroskopis Di Kabupaten Kebumen. (online)
(http://www.fkm.undip.ac.id) diakses pada 07 Januari 2011
Sugiharto. 2004. Hubungan Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian Penyakit Tb paru di
Puskesmas Jenggot. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang
Sugiarti, S. 2005. Hubungan Karakteristik Kondisi Rumah dan Praktik Kesehatan Dengan Kejadian TB
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Gemuh I Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal. Universitas
Diponegoro. Semarang
Sugiarto, S. 2003. Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Penyakit Tb Paru Di Kota
Surakarta Tahun 2003. Universitas Diponegoro. Semarang
Sumarjo. 2004. Pengaruh Lingkungan Perumahan terhadap Tb Paru di Jawa Barat. Balitbangkes. Jakarta
Sumini, S. 2005. Hubungan Antara Pencahayaan Alami, Ventilasi, Kelembaban Dan Kepadatan Hunian
Dengan Kejadian Penyakit Tb Paru Di Puskesmas Rujukan Mikroskopis (Prm) Sambirejo
Kabupaten Sragen. Universitas Diponegoro, Semarang
Tobing L.T. 2009. Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru dan Kondisi Rumah Terhadap Pencegahan
Potensi Peularan TB Paru pada Keluarga di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008. Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan
Wiasa, I.W. 2009. Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Tb paru di Kabupaten
Tabanan. Tesis. Universitas Airlangga. Surabaya

Wildan, Y., S. Fatimah, T. Kuspiatiningsih., dan Sumardi. 2008. Hubungan Sosial Ekonomi dengan
Angka Kejadiaan Tb paru BTA Positif di Puskesmas Sedati. Buletin Penelitian RSU dr. Soetomo.
Volume 10(2) hal 74-80
World Health Organization. 1996. Global Tuberculosis Control. Surveillance, Planning, Financing.
WHO Report (online) (http://www.who.int/gtb/publications/globrep) diakses pada tanggal 7
Januari 2011

Anda mungkin juga menyukai