Anda di halaman 1dari 43

TINJAUAN YURIDIS DAN PENERAPA N PRINSIP

ASURANSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KLAIM


ASURANSI JIWA MELALUI JALUR MEDIASI OLEH BADAN
MEDIASI DAN ARBITRASE ASURANSI INDONESIA (BMAI)
SKRIPSI MINOR
Diajuakan untuk memenuhi salah satu syarat guna menempuh Sidang Ujian
Sarjana dan meraih gelar Sarjana Hukum
Oleh :
Alfaiz Fadli
110110120116
Program kekhususan : Hukum Ekonomi

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2015

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI............................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Latar Belakang

B. Identifikasi Masalah 5
C. Tujuan Penelitian

D. Kegunaan Penelitian 6
BAB II Tinjauan Teoritis Sistem Resi Gudang Sebagai Jaminan Dalam
Sistem Perbankan di Indonesia..............................................................7
A. Dasar Hukum Sistem Resi Gudang7
B. Definisi Sistem Resi Gudang dan Resi Gudang 8
C. Kelembagaan Sistem Resi 9
D. Perkembangan dan Hambatan Sistem Resi Gudang di Indonesia
9
E. Potensi dan Kendala SRG Sebagai Sistem Pembiayaan Usaha
10
BAB III PENOLAKAN KLAIM ASURANSI JIWA...........................................13
A. Kasus pertama
B. Kasus kedua

13

15

BAB IV ANALISIS................................................................................... 18
A. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui mediasi di Badan
Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) dalam kasus
penolakan klaim asuransi jiwa?
18
B. Penerapan prinsip asuransi serta peraturan terkait pada
penyelesaian kasus sengketa klaim asuransi jiwa yang telah
ditangani oleh BMAI. 23
C. Efektivitas penyelesaian sengketa melalui mediasi di Badan
Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) terkait kasus
penolakan klaim asuransi jiwa
27
BAB V PENUTUP.................................................................................. 32
A.Kesimpulan
B. Saran

32

33

DAFTAR PUSTAKA35

ii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris, sebutan tersebut
didukung dengan kondisi wilayah Indonesia yang memiliki daratan luas,
tanah yang subur dengan hasil yang juga melimpah tentunya, juga kaya
akan sumber daya alam. Keberadaan tanah yang subur juga didukung
dengan

banyaknya

masyarakat

Indonesia

yang

memiliki

mata

pencaharian sebagai petani, sehingga atas daratan luas yang subur


tersebut dimanfaatkan secara maksimal untuk dapat menghasilkan
produk-produk pertanian. Salah satu bukti dari sebutan negara agraris
untuk Indonesia adalah pencapaian Indonesia untuk dapat mencukupi
kebutuhan akan pangannya sendiri, tanpa bergantung pada pihak luar,
atau dikenal dengan swasembada pangan, sebagaimana yang terjadi di
tahun 1984, yang mana atas pencapaian akan kemampuan mencukupi
kebutuhan akan beras secara mandiri tersebut, Indonesia memperoleh
penghargaan dari Food and Agriculture Organization (FAO). Kemampuan
akan menghasilkan produk pertanian dengan jumlah banyak juga
seharusnya dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian negara,
yakni

dengan

menjadikan

hasil-hasil

pertanian

sebagai

sumber

pendapatan bagi negara.


Faktor ketersediaan modal menjadi kendala yang umumnya
dirasakan oleh para pelaku usaha agribisnis, khususnya para petani kecil.
Salah satu gambaran bagaimana modal menjadi permasalahan misalnya
keadaan yang terjadi bagi para petani padi. Para petani ini cenderung
memiliki pola tanam yang seragam, hal tersebut dilakukan agar semua
pertanaman padi mendapat jatah pengairan yang cukup, meminimalkan

serangan hama-penyakit, serta untuk mengejar musim tanam yang


optimal.1 Masa tanam yang dilakukan secara bersamaan akan membawa
konsekuensi dimana masa panen juga akan berlangsung dalam kurun
waktu yang hampir bersamaan atau biasa dikenal dengan panen raya.
Dengan banyaknya ketersediaan gabah yang dihasilkan dari panen raya
menyebabkan para petani selalu dihadapkan dengan turunnya harga jual
dari gabah-gabah yang dihasilkannya tersebut. Penundaan penjualan
hasil tani tidak dapat menjadi solusi, dikarenakan pada saat yang sama
para petani dihadapkan dengan kebutuhan akan biaya untuk masa tanam
berikutnya, juga untuk kebutuhan sehari-hari akan rumah tangganya.
Maka dari itu petani dihadapkan dengan tidak adanya pilihan selain dari
menjual hasil panen walaupun harga di pasaran rendah dan tidak
menguntungkan.
Berbicara mengenai akses pembiayaan, tentu tidak akan terlepas
dari keberadaan lembaga perbankan. Bank merupakan salah satu
lembaga keuangan yang paling penting dan besar peranannya dalam
kehidupan masyarakat. 2 Sebagaimana arti luas dari lembaga keuangan
yakni sebagai perantara dari pihak yang mempunyai kelebihan dana
(surplus of funds) dengan pihak yang kekurangan dana (lack of funds), hal
tersebut sejalan dengan definisi bank dalam Pasal 1 Angka 2 Undangundang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang menyebutkan :
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dari definisi tersebut dapat tergambar bagaimana bank diarahkan
untuk dapat berperan dalam menunjang kelancaran perkonomian,
1

Iswi Hariyani, R.Serfianto. D.P., 2010, Resi Gudang Sebagai Jaminan Kredit
dan Alat Perdagangan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 1
2
Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-undang Perbankan,


Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi,
dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat. Salah
satu bentuk nyata peranan bank dalam kaitannya sebagai penunjang
perekonomian negara, yakni pemberian kredit sebagai salah satu jasa
perbankan yang dapat dilakukan oleh bank umum. Kredit merupakan hal
yang sebenarnya tidak asing lagi, baik bagi masyarakat di perkotaan
ataupun pedesaan. Dalam Pasal 1 angka 11 Undangundang Nomor 10
Tahun 1998 memberikan definisi kredit sebagai berikut :
Kredit adalah penyediaan uang atas tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara pihak bank dengan pihak yang lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.
Keberadaan kredit sebagai salah satu jasa perbankan, tentu akan
memberikan manfaat tersendiri bagi para pelaku usaha. Dengan kredit
para pelaku usaha memiliki peluang untuk mengembangkan usahanya,
meskipun secara pribadi dana yang dimilikinya sangat terbatas. Namun
akses pembiayaan dari bank selama ini tidak dapat menjadi solusi bagi
para pelaku usaha di sektor agribisnis, terlebih lagi bagi pihak yang tidak
memiliki aset tetap untuk dijadikan jaminan utang. Rendahnya penyaluran
kredit ke sektor pertanian disebabkan karena risiko usaha tani yang masih
dianggap tinggi3, sedangkan pemberian kredit kepada masyarakat harus
dilaksanakan dengan hati-hati dikarenakan dana-dana yang disalurkan
sebagian besar merupakan dana yang berasal dari pihak ketiga, pihak
yang menyimpan dananya di bank. Pihak yang menyimpan dananya di
bank memiliki hak apabila sewaktu-waktu hendak mengambil dana yang
telah disimpan tanpa terlebih dahulu memberitahukan kepada pihak bank.
3

Hermas E. Prabowo, 2009, Bank Pertanian : Petani Lebih Butuh Kepastian


yang Riil, Koran
Kompas, Rabu 13 Mei 2009, hlm 21.

Sehingga bank harus memastikan bahwa bank mampu memenuhi


keinginan para pihak yang hendak mengambil dana yang sebelumnya
dipercayakan kepada pihak bank.
Permasalahan mengenai ketersediaan modal tersebut akhirnya
menemukan titik terang dengan disahkannya Undang-undang Nomor 9
Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang. Keberadaan undang-undang
tersebut membuat para petani memiliki kesempatan untuk dapat
memperoleh pembiayaan dari lembaga keuangan dengan menjadikan
bukti kepemilikan hasilpanen yang telah disimpan di gudang sebagai
jaminan utang. Bukti kepemilikanyang dimaksud itu yang dinamakan Resi
Gudang, sebagaimana disebutkandalam Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 9
Tahun 2006 bahwa Resi Gudang merupakan dokumen bukti kepemilikan
atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh Pengelola
Gudang. Dapat dijadikannya Resi Gudang sebagai jaminan utang
mendasar pada ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undangundang Sistem Resi Gudang, yang menyebutkan :
(1) Resi Gudang dapat dialihkan, dijadikan jaminan utang, atau
digunakan sebagai dokumen penyerahan barang.
(2) Resi Gudang sebagai dokumen kepemilikan dapat dijadikan
jaminan utang sepenuhnya tanpa dipersyaratkan adanya agunan
lainnya.

Melalui ketentuan tersebut timbul suatu jenis jaminan kebendaan


baru yang sebelumnya tidak dikenal di Indonesia. Keberadaan jaminan
tersebut ditujukan untuk dapat mengakomodir suatu komoditi pertanian
agar dapat dijadikan jaminan utang tanpa mempersyaratkan ada agunan
lainnya. Apabila dilihat penggolongan benda yang menjadi obyek jaminan,
yakni benda bergerak dan penguasaan benda saat dijadikan jaminan
utang yang tidak berada di bawah penguasaan kreditur, tentunya
mengingatkan kita pada jenis jaminan kebendaan yang telah ada
sebelumnya yakni fidusia. Namun tentu terdapat perbedaan akan
keduanya sehingga pada saat resi gudang akan dijadikan jaminan utang

tidak dapat dibebankan dengan jaminan kebendaan yang sebelumnya


telah ada dalam pengaturan hukum positif Indonesia, sebagaimana hal
tersebut juga disebutkan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 9
Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa dan dengan memperhatikan
sifatnya, Resi Gudang tidak dapat dijadikan objek yang dapat dibebani
oleh satu di antara bentuk jaminan tersebut.
Adanya jaminan kredit memiliki kegunaan salah satunya yakni
sebagai upaya terakhir apabila debitur cedera janji, itu berarti harus ada
kepastian mengenai kedudukan bank selaku kreditur penerima Hak
Jaminan atas Resi Gudang. Sampai saat ini sendiri, memang belum
semua bank yang ada di Indonesia dapat menerima Resi Gudang sebagai
jaminan utang, mungkin saja hal tersebut dikarenakan bank menganggap
dijadikannya Resi Gudang sebagai 8 jaminan utang belum menjadikan
bank berada dalam posisi yang aman dari kemungkinan cedera janji
debitur atau hanya karena belum ada pemahaman yang baik akan Sistem
Resi Gudang sendiri sehingga belum dapat memastikan mengenai resiko
yang akan ditanggung pada saat bank memberikan pembiayaan dengan
jaminan Resi Gudang tersebut.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana pengaturan resi gudang sebagai salah satu jaminan
dalam perbankan indonesia menurut hukum positif di Indonesia?
2. Bagaimana pelaksanaan jaminan resi gudang yang diterapkan oleh
perbankan dalam sektor pertanian?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan

rumusan

masalah

bertujuan sebagai berikut:

diatas,

maka

penelitian

ini

1. Untuk mengetahui bagaimana hukum positif di Indonesia dalam


mengatur mengenai resi gudang sebagai salah sati jaminan
dalam perbankan Indonesia.
2. Untuk menilai efektifitas pelaksanaan sistem resi gudang di
dalam sektor pertanian di Indonesia
D. Kegunaan Penelitian
Di dalam melakukan penelitian ini, penulis mengharapkan ada
manfaat yang dapat diambil baik bagi penulis sendiri maupun bagi
masyarakat pada umumnya. Manfaat penelitian ini dibedakan ke
dalam dua bentuk , yaitu :
1. Manfaat teoritis : Untuk menambah pengetahuan mengenai
instrumen hukum mengenai pengaturan sistem resi gudang di
Indonesia serta pelaksanaannya.
2. Manfaat Praktis : Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk
memberikan informasi dan kepada masyarakat pada umumnya
dan semua pihak yang berkepentingan pada khususnya sebagai
penilaian efektivitas pelaksanaan sistem resi gudang dalam
sektor pertanian di Indonesia

BAB II
Tinjauan Teoritis Sistem Resi Gudang Sebagai Jaminan
Dalam Sistem Perbankan di Indonesia

A. Dasar Hukum Sistem Resi Gudang


Berdasarkan UU No. 9 Tahun 2006. UU tentang SRG tersebut
dapat dikatakan sebagai suatu terobosan baru yang melengkapi hukum
penjaminan seperti gadai (Ashari, 2011). Maksud pembentukan UU SRG
adalah menciptakan sistem pembiayaan perdagangan yang diperlukan
oleh dunia usaha, terutama usaha kecil dan menengah termasuk petani.
Selain itu UU SRG dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum,
menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat, kelancaran arus
barang, efisiensi biaya distribusi barang, serta mampu menciptakan iklim
usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional. Resi
Gudang yang diperdagangkan di Indonesia wajib untuk melalui suatu
proses penilaian yang dilakukan oleh suatu lembaga terakreditasi yang
disebut Lembaga Penilaian Kesesuaian yang berkewajiban untuk
melakukan serangkaian kegiatan guna menilai atau membuktikan
bahwapersyaratan tertentu yang berkaitan dengan produk, proses,
sistem, dan/ atau personel terpenuhi. Sedangkan yang memperoleh
kewenangan guna melakukan penatausahaan resi gudang dan derivatif
resi gudang di Indonesia yang meliputi pencatatan, penyimpanan,
pemindah bukuan kepemilikan, pembebanan hak jaminan, pelaporan,
serta penyediaan sistem dan jaringan informasi adalah Pusat Registrasi
Resi Gudang yang merupakan suatu badan usaha yang berbadan
hukum.

Perundangan turunan untuk pelaksanaan SRG yaitu Peraturan


Pemerintah (PP) No. 36 tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 9 tahun
2006 tentang SRG. Kemudian, untuk komoditas pertanian yang dapat
diresigudangkan

diatur

dalam

Peraturan

Menteri

Perdagangan

(Permendag) No. 26/M-DAG/PER/6/2007. Menurut Permendag No. 26


Tahun 2007, persyaratan komoditas yang ditetapkan untuk dapat
dimasukkan ke dalam SRG dan diterbitkan resi gudangnya yaitu: (a)
memiliki daya simpan paling sedikit tiga bulan, (b) memenuhi standar
mutu tertentu, dan (c) jumlah minimum barang yang disimpan.
Sedangkan jika dilihat ketentuan dari perdagangan berjangka komoditas,
persyaratan komoditas yang dapat diperdagangkan berjangka adalah: (a)
memiliki harga yang berfluktuasi, (b) tidak ada intervensi pemerintah,
sematamata atas dasar permintaan dan pasokan, dan (c) tersedia dalam
jumlah yang cukup, bersifat homogen, dan tidak dimonopoli oleh
kelompok tertentu, dan (d) merupakan komoditas potensial dan sangat
berperan dalam perekonomian daerah setempat dan nasional karena
menyangkut ketahanan pangan dan ekspor. Kemudian, untuk peraturan
teknis penyelenggaraan SRG diatur oleh Peraturan Kepala Bappebti dan
untuk penilaian kualitas aktiva bank umum berdasarkan peraturan Bank
Indonesia No. 9/6/PBI/2007
B. Definisi Sistem Resi Gudang dan Resi Gudang
Definisi resi gudang (RG) menurut UU No. 9 Tahun 2011 adalah
bukti kepemilikan barang yang disimpan di suatu gudang dan diterbitkan
oleh pengelola gudang. Sedangkan SRG adalah kegiatan dengan
penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi resi
gudang. Jenis resi gudang ada dua. Pertama, resi gudang yang dapat
diperdagangkan. Artinya resi gudang memuat perintah penyerahan
barang kepada siapa saja yang memegang resi gudang tersebut atau
atas suatu perintah pihak tertentu. Kedua, resi gudang yang tidak dapat

diperdagangkan, yaitu resi gudang yang memuat ketentuan bahwa


barang yang dimaksud hanya dapat diserahkan kepada pihak yang
namanya telah ditetapkan. Dokumen RG dapat diperdagangkan sehingga
terdapat transaksi derivatifnya, yaitu kontrak berjangka RG, opsi atas RG,
surat berharga diskonto RG, dan sebagainya. Instrumen keuangan
derivatif RG hanya dapat diterbitan oleh bank, lembaga keuangan nonbank.
C. Kelembagaan Sistem Resi
Dalam UU No. 9 tahun 2006 telah diatur kelembagaan SRG,
yaitu terdiri dari
lembaga

badan

pengawas

penilaian kesesuaian,

resi

gudang, pengelola gudang,

pusat

registrasi,

harmonisasi hubungan pemerintah pusat


demikian, terdapat

kendala

yang

dan

termasuk juga

daerah.

Namun

menghambat perkembangan

karena belum adanya lembaga jaminan RG. Untuk itu, UU No. 9 Tahun
2006 diamandemen menjadi UU No.9

Tahun

2011

dengan

ditambahkan lembaga jaminan resi gudang. Dengan adanya lembaga


jaminan tersebut maka diharapkan kepercayaan pelaku usaha yaitu
pemegang RG, bank, pengelola gudang

menjadi

semakin

percaya

terhadap RG.

D. Perkembangan dan Hambatan Sistem Resi Gudang di Indonesia


Dalam perkembangannya di Indonesia setelah disahkannya
UUSRG, sudah ada beberapa Bank yang telah memberikan kredit
dengan jaminan Resi Gudang berdasarkan UUSRG tersebut, yaitu antara
lain Bank BRI, Bank CIMB Niaga, Bank Jatim dan Bank Kalsel.
Pengembangan Sistem Resi Gudang, memiliki peran yang sangat
strategis dalam mendukung upaya pemerintah dalam pertumbuhan
ekonomi nasional. Melalui sistem ini akan tersedia alternatif pendanaan

meningkatkan kemampuan usaha para petani dan pelaku usaha


agribisnis.
Terkait dengan perkembangan Sistem Resi Gudang yang masih
dalam tahap Pilot Project di beberapa daerah tertentu saja, maka hal
tersebut berdampak pula pada implementasi pelaksanaan pembiayaan
dengan Jaminan Resi Gudang oleh Perbankan. Berikut penulis akan
mengidentifikasikan

permasalahan

dalam

penerapan

Sistem

Resi

Gudang dan kaitan dengan terbatasnya peranan bank dalam memberikan


fasilitas kredit dengan jaminan Resi Gudang, yaitu sebagai berikut:
a. Masih terbatasnya Prasarana, infrastruktur, dan jumlah lembagalembaga yang menunjang kegiatan Sistem Resi Gudang, yaitu
misalnya dapat dilihat pada sedikitnya daerah yang memiliki
Gudang yang telah terakreditasi sesuai dengan kriteria Sistem
Resi Gudang.
b. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman petani, pengusaha dan
lembaga

pembiayaan

terhadap

Sistem Resi

Gudang

dan

manfaatnya sebagai akses kepada pembiayaan modal kerja.


c. Keterbatasan jenis komoditi yang dapat menjadi objek jaminan
Resi Gudang.
d. Masih adanya paradigma bahwa sektor pertanian merupakan
bisnis dengan profil pembiayaan beresiko tinggi, yaitu dari obyek
jaminan berupa komoditi pertanian dengan daya simpan terbatas
dan mudah rusak.
e. Terbatasnya jumlah pasar komoditas untuk komoditi yang
diperdagangkan dengan Resi Gudang. Seperti Pasar Lelang
Komoditas Agro (PLKA) untuk penjualan komoditas dan Bursa
Berjangka untuk perdagangan Resi Gudang.
E. Potensi dan Kendala SRG Sebagai Sistem Pembiayaan Usaha
SRG merupakan suatu terobosan baru sebagai pembiayaan
usaha bagi petani

dengan

jaminan

10

komoditas yang tersimpan di

gudang.

Selain

itu dengan

adanya

SRG

akan

semakin

meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan petani.


Bahkan, apabila SRG dapat diterapkan dengan baik akan menjadikan
manajemen usaha tani

menjadi

lebih

tertata

karena

petani

menetapkan strategi jadwal tanam dan pemasarannya.


Menurut BRI (2008) dalam Ashari (2011), Hollinger Rutten &
Krassimune.,et all

(2009),

penerapan

pertanian dapat memberikan beberapa

SRG

khususnya di

manfaat,

penjualan produk tidak langsung pada saat

antara

panen

sektor

lain:

raya

(1)

sehingga

petani dapat memiliki keuntungan relatif lebih baik; (2) meminimalisasi


penimbunan barang

oleh

pedagang

pengumpul;

(3) petani

dapat

menggunakan RG untuk memperoleh dana tunai dari perbankan atau


non

perbankan

untuk

kebutuhan modal usaha berikutnya dan

memenuhi kebutuhan rumah tangganya.


Namun demikian, dalam pelaksana-annya SRG masih terdapat
beberapa kendala yang ditemukan di lapangan. Berdasarkan hasil
studi

yang

dilakukan oleh

Riana

(2010),

SRG

belum

banyak

digunakan oleh sektor perbankan sebagai hak jaminan. Kondisi tersebut


disebabkan masih
pembiayaan

terdapatnya

yang

beberapa

diberikan dalam

masalah seperti

waktu

pendek,

meratanya pembangunan fasilitas pendukung, dan terdapat


perbankan

untuk menggunakan

pemahaman terhadap SRG.Kemudian,


yang

dilakukan

(2011),

oleh

kendala

SRG

karena

berdasarkan

belum

keraguan
kurangnya
hasil kajian

iPasar (2011) sebagaimana dikutip oleh Ashari

dalam

implementasi SRG

mayoritas

adalah

permasalahan operasional.
Permasalahan

tersebut diantaranya:

(1)

belum

tersedianya

gudang SRG di seluruh daerah sentra produksi karena biaya investasi


gudang yang relatif tinggi; (2) biaya operasional pengelolaan

11

yang

ditanggung

oleh pengelola gudang tinggi; (3) pemahaman pelaku

usaha terhadap SRG masih rendah dan kurang sosialiasi sehingga


minim partisipasi; (4) komoditas yang dihasilkan tidak sesuai dengan
standar SNI; (5) petani tidak bersedia membayar biaya
barang

penyimpanan

kepada pengelola barang di awal penyimpanan karena

keterbatasan

ekonomi;

(6) petugas uji mutu barang belum tersedia di

seluruh wilayah; (7) sistem informasi resi gudang belum cukup handal.
Kendala perkembangan SRG juga tidak terlepas dari akibat kebijakan
yang sedang
kebijakan

dijalankan

pemerintah.

penetapan harga

dasar

Salah satunya
oleh

pemerintah

adalah
yang

menyebabkan harga antara panen dan masa sesudah panen menjadi


tetap dan seragam di seluruh wilayah Indonesia.
Seharusnya,

terdapat

komoditas barang yang dapat

pengecualian
diresigudangkan,

harga

terhadap

dengan

tidak di

atur stabil setiap tahunnya. Hal ini disebabkan, apabila harga relatif
stabil maka sangat tidak menarik bagi petani untuk meresigudangkan
hasil panennya karena
petani

akan

rugi

margin

yang

karena harus

didapat

mengeluarkan

(Ashari, 2011).

12

tidak ada, bahkan


biaya

operasional

BAB III
PENOLAKAN KLAIM ASURANSI JIWA
A. Kasus pertama
Sebuah polis dengan Pemohon/Pemegang Polis adalah putri
Tertanggung dan ayahnya sebagai Tertanggung. Polis yang dibeli adalah
asuransi dengan produk Pro-Accident. Kontrak Asuransi dimulai 26 Maret
2012 s/d 25 Maret 2013 yang dapat diperpanjang. Premi dibayar secara
bulanan dan produk ini dibeli melalui Telemarketing. Adapun polis yang
dimilikinya hilang dan Laporan kehilangan diterbitkan oleh Kapolsek
Medan Labuhan tanggal 04 September 2013.
Pemohon mengajukan klaim meninggal dunia akibat kecelakaan
dengan Laporan tanggal 16 September 2013 yang dibuat oleh Kasat
Lantas Polres Pelabuan Belawan yang menyatakan peristiwa kecelakaan
adalah tabrakan antara sepeda motor dan angkot yang terjadi tanggal 19
Agustus 2013

jam 22.00 wib. Akibat peristiwa tersebut Tertanggung

dibawa ke RS Mayasari Marelan Medan. Karena perlengkapan medis di


sini kurang mendukung, pagi harinya dipindahkan ke RS Marta Friska. Di
RS inipun juga kelengkapan medis kurang memadai dan pasien langsung
dipindahkan ke RS Imelda Pekerja Indonesia, Medan untuk mendapatkan
perawatan karena pasien dalam keadaan koma.
Dari peristiwa tersebut, secara sederhana Pemohon mengajukan
klaim kepada Termohon dengan melampirkan dokumen-dokumen berikut:
1. Surat keterangan kehilangan polis 04 September 2013 yang baru
dibuatnya 2,5 minggu setelah Tertanggung mengalami kecelakaan.

13

2. Laporan polisi bertanggal 16 September 2013 atas peristiwa


kecelakaan tanggal 19 Agustus 2013 , jam 22.00 Wib.
3. Surat Kematian dari RS Imelda Pekerja Indonesia tanggal 23
Agustus 2013, yang menyatakan bahwa Tertanggung meninggal
dunia tanggal 23 Agustus 2013 , jam 15.10 dengan diagnose
kematian: Severe head injury , Lufark cerebri dan Hipertensi El
cardio megali.
4. Surat kematian dari Kelurahan Pekan Labuan tanggal 03
September 2013 yang menerangkan bahwa tertanggung meninggal
hari Jumat, 23 Agustus 2013 di rumah, Pekan Labuan, Medan
Labuan, Sumatera Utara, denganpenyebab kematian, kecelakaan.
Berdasarkan bukti-bukti disebut di atas, Termohon menolak
pembayaran klaim Asuransi dengan menyatakan bahwa meninggalnya
Tertanggung dikecualikan polis, sesuai ketentuan Pasal 5: Jenis risiko
asuransi kecelakaan, 5.1. Risiko A: Meninggal akibat langsung dari
kecelakaan. Pasal 6: Manfaat meninggal dunia (Risiko-A), 6.1: Apabila
Tertanggung meninggal dunia akibat langsung dari kecelakaan, maka
kepada ahli waris atau yang ditunjuk diberikan santunan UP Asuransi
kecelakaan,
Selanjutnya menyebutkan alasan-alasan berikut:
1. Surat Kematian menyatakan Tertanggung meninggal tanggal 23
Agustus 2013.
2. Sedangkan kecelakaan terjadi tanggal 19 Agustus 2013
3. RS Imelda Pekerja Indonesia, menerangkan bahwa Pasien
dirawat mulai tanggal 20 s/d 23 Agustus 2013 dengan diagnose
penyebab kematian: Severe head injury + Lufark cerebri dan
Hipertensi El cardio megali - tidak secara tegas menyebutkan

14

meninggalnya pasien akibat kecelakaan, walaupun terdapat luka


kepala.
4.

Kelurahan

setempat,

menerangkan

bahwa

tertanggung

meninggal dunia di rumahnya, bukan di rumah sakit sesuai


keterangan RS.

Hasil Mediasi di BMAI :


Mediator melakukan pencarian fakta dengan hasil sebagai berikut:

Mendapat copy Laporan Polisi yang menyatakan bahwa benar

terjadi kecelakaan tanggal 19 Agustus 2013 + jam 22.00 Wib, dan laporan
kecelakaan atas peristiwa ini yang dibuat oleh Polisi setempat lengkap
dengan gambar posisi kendaraan serta posisi pengendara kendaraan
terjatuh. Surat ini diserahkan kepada Jasa Raharja. PT Asuransi Jasa
Raharja Persero yang telah membayarkan klaim asuransinya.

Mendapat surat keterangan dari RS yang pertama kali (19 Agustus


2013/malam itu juga) menerima pasien (RS Mayasari Marelan
Medan), dan pagi harinya dipindahkan ke RS Marta Friska (sebagai
RS yang pernah menerima pasien) dan RS Imelda Pekerja
Indonesia (20 Agustus 2013).

Mendapat surat keterangan yang benar dari Kantor Kelurahan,


bahwa tertanggung meninggal di di RS Imelda Pekerja Indonesia
dan bukan di rumahnya.

B. Kasus kedua

15

Tertanggung yang adalah juga Pemegang Polis Asuransi Jiwa yang


berlaku mulai tanggal 23 Juli 2008 s/d tanggal 02 November 2052.
Preminya sebesar Rp 3.000.000,-tiap bulan dengan manfaat asuransi
dasar sebesar Rp 450 juta.
Tertanggung (Pemohon) saat mengisi SPAJ menyatakan secara
lengkap bahwa setiap 3 bulan sekali ia menjalani donor darah di PMI
Pusat, menyebutkan nama dan alamat dokter pribadi yang merawatnya,
menjalani pemeriksaan rutin untuk memonitor dan mengetahui kondisi
kesehatannya.
Pemohon mengajukan klaim penyakit kritis (Asuransi Tambahan)
tanggal 09 Maret 2011 yang baru diterima Termohon tanggal 21 Maret
2011. Pengajuan klaim ini ditolak Termohon melalui suratnya tanggal 08
Juni 2011 dan tanggal 24 Juni 2011, dengan alasan penyakit yang diderita
Tertanggung, frekwensi membuang air kecil yang tidak terkontrol, sudah
ada 5 tahun yang lalu; artinya penyakit tersebut sudah diderita
Tertanggung sebelum polis asuransi diterbitkan. Adapun diagnose
penyakitnya adalah Prostat Ductal Adenocarcinoma stage T2aNoMo
(Kanker Prostat).
Penanggung menolak klaim berdasarkan keterangan dokter RS
Singapore General Hospital (SingHealth) bahwa Tertanggung dirawat atas
penyakit/kondisi yang telah ada sebelumnya seperti yang diatur di Pasal
2.2 yaitu Kondisi yang telah ada sebelumnya tidak disampaikan secara
jujur.
Pemohon

merasa

kecewa,

karena

klaimnya

ditolak

hanya

berdasarkan diagnose dokter atas kondisi buang air kecil tidak teratur
yang baru diketahui oleh dokter RS SingHealth pada saat dilakukan
pemeriksaan sebelum tindakan operasi. Masalah buangbuang air kecil
tidak teratur selama 5 tahun hanya diagnose dokter saja tanpa didukung
oleh bukti pemeriksaan (rekam medic/lab). Pernyataan Tertanggung

16

diperkuat oleh surat keterangan Dokter RS SingHealth tanggal 11 Juli


2011 yaitu: buang air kecil tidakteratur tersebut merupakan tanda-tanda
(symptoms) seseorang dapat menderita penyakit prostat.
Lagipula, hasil pemeriksaan kesehatan Tertanggung yang dilakukan
di RS JubanClinic, Minato-Ku, Tokyo Jepang tanggal 27 Juli 2009 dan
tanggal 19 Oktober 2010, menyatakan kesehatannya baik atau normal.
Pemeriksaan seperti ini rutin dilakukan setiap tahun seperti yang telah
disampaikan pada SPAJ, karena Pemohon pedulikesehatan.
Berdasarkan surat keterangan dari Dokter yang melakukan
tindakan operasi di RS SingHealth dan hasil pemeriksaan kesehatannya
dari RS Tokyo, Jepang, Termohon.

17

BAB IV
ANALISIS

A. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui mediasi di Badan Mediasi dan


Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) dalam kasus penolakan klaim
asuransi jiwa?
Penyelesaian sengketa melalui proses mediasi mulai menjadi
pilihan karena memiliki kelebihan-kelebihan tertentu bagi para pihak
dibandingkan dengan penyelesaian melalui pengadilan. Mediasi itu sendiri
adalah suatu proses para pihak yang bersengketa menunjuk pihak ketiga
yang netral untuk membantu mereka dalam mendiskusikan penyelesaian
dan mencoba menggugah para pihak untuk menegosiasikan suatu
penyelesaian sengketa itu.
Tidak lain dengan tujuan agar menghasilkan suatu rencana ke
depan yang dapat diterima dan dijalankan para pihak, mempersiapkan
para pihak yang bersengketa untuk menerima konsekuensi dan
keputusan-keputusan yang dibuat, dan mengurangi kekhawatiran dan
dampak negatif lainnya dari suatu konflik dengan cara membantu pihak
yang bersengketa untuk mencapai penyelesaian secara konsensus.
Di Indonesia lembaga yang memfasilitasi proses mediasi salah
satunya BMAI, tepatnya pada 12 Mei 2006.

Sebelumnya ketentuan

mengenai penyelesaian sengketa asuransi lebih banyak diselesaikan


melalui jalur litigasi. Disamping itu baru terdapat BANI (Badan Arbitrase
Nasional

Indonesia)

dan

BPSK

(Badan

Penyelesaian

Sengketa

Konsumen) yang bersifat general, oleh karena itulah kehadiran BMAI


menjadi

sangat diharapkan. Keberadaan BMAI juga menjadi sangat

penting

karena

lembaga

ini

memiliki

18

suatu

mekanisme

untuk

menyelesaikan perselisihan yang terjadi melalui jalur diluar pengadilan


yang khusus menyelesaikan sengketa di bidang asuransi, salah satunya
dengan cara mediasi.
Proses mediasi di BMAI diselenggarakan setelah para pihak
menandatangani Surat Perjanjian Mediasi. Kemudian Pemohon yang
dalam kasus ini adalah Tertanggung harus mengisi dan menyampaikan
Formulir Permohonan Penyelesaian Sengketa (FPPS) yang telah
disediakan oleh BMAI sebagai dasar BMAI melakukan investigasi atas
suatu Sengketa. FPPS ini harus diisi dan disampaikan oleh Pemohon
kepada BMAI paling lama 6 bulan terhitung sejak Anggota (perusahaan
asuransi yang terdaftar di BMAI) menyampaikan surat Penolakan Final
kepada Pemohon dan selama dalam kurun waktu 6 bulan tersebut tidak
ada tanggapan/sanggahan dari pihak pemohon. Pasal 6 ayat (2) huruf b
Peraturan dan Prosedur Mediasi BMAI menyebutkan yang dapat
mengajukan sengketa kepada BMAI salah satunya adalah Seseorang
yang mempunyai hak untuk menerima manfaat dari suatu Klaim Asuransi
yang timbul karena adanya perjanjian, undang-undang, atau subrogasi.
Setelah Permohonan dalam bentuk FPPS diajukan dan diterima
BMAI, sengketa akan ditangani oleh Mediator dengan melakukan
verifikasi kelengkapan dan kebenaran administrasi sesuai persyaratan
dan akan memberikan jawaban kepada pemohon dalam jangka waktu 3
(tiga) hari. Mediator meneliti apakah sengketa telah memenuhi syarat
sebagai sengketa yang sah. Adapun sengketa yang dapat diajukan ke
BMAI yaitu :
1.Pemohon yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan;
Dalam kasus ini akan berlaku aturan yang berlaku untuk asuransi
jiwa. Dalam asuransi jiwa sebenarnya yang dilindungi haknya
adalah orang yang berkepentingan terhadap tertanggung .
Maksudnya

adalah

seseorang

19

yang

dengan

tidak

adanya

tertanggung akan terlantar seperti keluarga. Pada kasus ini,


pemohon yang mengajukan Klaim diketahui merupakan anak dari
tertanggung yang meninggal dan jiwanya di asuransikan. Anak
termasuk

kepada

pihak

yang

ditanggung

hidupnya

oleh

tertanggung sehingga memiliki kepentingan.


2.Perusahaan asuransi yang terlibat dalam sengketa harus
merupakan pihak yang tunduk pada yurisdiksi BMAI karena masih
terdaftar sebagai anggota.
Diterimanya kasus ini oleh BMAI merupakan bukti bahwa
perusahaan asuransi yang dimaksud adalah anggota IAIA yang
untuk penyelesaian sengketanya merujuk kepada BMAI
3.Sengketa yang timbul dari permasalahan berkaitan dengan
hubungan pemohon dengan anggota;
Hubungan dalam bidang asuransi yang dimaksud oleh BMAI yaitu
tertanggung dan penanggung, dimana penanggung merupakan
anggota yang terdaftar sebagai anggota asuransi. Penilaian apakah
yang memohon merupakan pihak yang berkepentingan sebagai
tertanggung dan terkait dengan penanggung akan dilihat dari polis
asuransi yang terbit.

4.Lingkup sengketa yang diajukan harus berada dalam yurisdiksi


BMAI sejak BMAI didirikan
Pemohon pada dasarnya memohonkan apakah penolakan klaim
oleh penanggung adalah dapat dibenarkan atau tidak. Masalah
penolakan klaim ini bukanlah merupakan hal yang ditolak oleh
BMAI untuk di tindak lanjuti, dimana hal ini tidak tercantum pada
pasal 5 .

20

5.Anggota tidak dapat menyelesaikan sengketa secara langsung


dengan Pemohon sesuai dengan tuntutan Pemohon dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari sejak disampaikannya keberatan oleh
Pemohon kepada Anggota.
Untuk masalah ini sebenarnya merupakan mekanisme yang mana
tidak diterangkan pada putusan yang dikeluarkan oleh BMAI. Akan
tetapi pada pembahasan setelah ini akan dipaparkan gambaran
umum mengenai alur dari penyelesaian sengketa dimulai dari
pernyataan penolakan klaim oleh penanggun pertama kali sampai
pada proses pemeriksaan oleh BMAI.

Mediator selanjutnya meneliti syarat lainnya yaitu apakah Pemohon


memenuhi syarat sebagai pemohon sesuai Pasal 6, dan apakah
permohonan untuk melakukan investigasi masih berada dalam jangka
waktu. Syarat lainnya untuk asuransi jiwa adalah nilai tuntutan ganti rugi
atau manfaat polis yang dipersengketakan tidak melebihi Rp500.000.000
(lima ratus juta) per-klaim. Jika setelah diteliti mediator menyatakan
sengketa tersebut tidak memenuhi salah satu ketentuan di atas, maka
mediator dapat menolak untuk menindaklanjuti sengketa tersebut.
Namun apabila seluruh persyaratan di atas telah terpenuhi, masih
terdapat kemungkinan Mediator akan menghentikan proses penyelesaian
mediasi bilamana mediator berpendapat bahwa sengketa tersebut bersifat
melampaui batas kewajaran atau terdapat alasan-alasan memaksa
lainnya yang membuat sengketa tersebut tidak tepat untuk ditangani oleh
BMAI. Mediator memiliki wewenang untuk memutuskan apakah sengketa
penolakan klaim asuransi tersebut diterima atau ditolak.

21

Untuk sengketa yang tidak ditolak ataupun tidak dihentikan, maka


proses investigasi dan Mediasi dapat diteruskan. Ketika investigasi
dilakukan oleh Mediator, Pemohon dan Termohon dalam kasus ini tetap
dapat berupaya untuk mencapai suatu penyelesaian berdasarkan
musyawarah dan mufakat. Artinya selain dengan mediator, dalam proses
penyelesaian

sengketa

para

pihak

juga

tetap

dapat

melakukan

perundingan tanpa mediator itu sendiri.


Dalam mediasi mediator berwenang meminta kepada para pihak
dan para pihak wajib memberikan kepada mediator semua informasi dan
materi yang berkaitan dengan sengketa. Mediator selanjutnya akan
melakukan analisa atas setiap pengaduan yang masuk sehingga dapat
membuat kesimpulan awal dan menentukan arah penyelesaian yang akan
ditempuh selanjutnya sesusai dengan Peraturan dan Prosedur Mediasi
BMAI yang berlaku. Apabila dalam kesimpulan awalnya Mediator tidak
sependapat dengan penolakan klaim oleh Anggota, Mediator segera
menghubungi Anggota untuk membahas kasus tersebut dan upaya ini
dapat dilakukan walaupun Pemohon belum datang ke BMAI.
Pembahasan langsung diharapkan dapat menghasilkan suatu
penyelesaian yang baik untuk para pihak yang nantinya dapat ditawarkan
kepada Pemohon. Apabila tidak tercapai kesepakatan antara Mediator
dengan Anggota, Mediator akan melakukan pendekatan kepada Pemohon
dan menjelaskan dengan sebaik-baiknya alasan penolakan Anggota serta
tawaran yang diberikan Anggota (jika ada). Selanjutnya apabila Pemohon
tidak sepenuhnya dapat menerima alasan penolakan Anggota tetapi
bersedia untuk menerima suatu ganti rugi, maka Mediator akan
melakukan pendekatan kepada Anggota. Bila anggota setuju maka
Sengketa dapat diselesaikan, tetapi bila Anggota tidak setuju sengketa
dapat dilanjutkan ke tingkat Adjudikasi.

22

Salah satu tujuan didirikannya BMAI adalah untuk menyelesaikan


sengketa klaim asuransi secara lebih cepat, adil, murah dan informal.
Tujuan ini juga secara tegas dimuat dalam Pasal 16 Peraturan dan
Prosedur Mediasi BMAI terkait jangka waktu penyelesaian sengketa oleh
mediator. Proses mediasi dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak ditandatangani Surat Perjanjian Mediasi dan dapat
diperpanjang

paling

lama

30

(tiga

puluh)

hari

jika

para

pihak

menyepakatinya.
Setelah menempuh proses mediasi tersebut, hasil mediasi wajib
dituangkan dalam Surat Kesepakatan Penyelesaian Sengketa (SKPS).
Jika hasilnya adalah Pihak termohon bersedia memenuhi permohonan
Pemohon, maka Termohon wajib menyelesaikannya selambat-lambatnya
30 hari terhitung sejak SKPS ditandatangani. Namun jika hasilnya adalah
permohonan Pemohon tidak dapat dipenuhi Termohon, maka Pemohon
bebas mencari upaya hukum lain atau dapat juga memohon Ketua BMAI
agar sengketanya dapat diselesaikan ke jenjang Adjudikasi BMAI.
Mekanisme penyelesaian sengketa di atas juga dapat diterapkan
dalam kasus ini. Artinya anak perempuan Tertanggung dapat mengajukan
Permohonan ke BMAI bahkan tanpa dikenakan biaya apapun. Namun
Mediator

tetap

meneliti

terlebih

dahulu

apakah

akan

menerima

permohonan tersebut. Apabila diterima maka mediator akan bertindak


sebagai penengah dan berupaya agar Tertanggung dan Penanggung
dapat mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa secara wajar
dan damai.

B. Penerapan prinsip asuransi serta peraturan terkait pada penyelesaian


kasus sengketa klaim asuransi jiwa yang telah ditangani oleh BMAI.

Masalah yang timbul

23

A .Mengenai bukti klaim yang tidak sesuai


Dalam kasus 1 diterangkan bahwa penolakan klaim adalah
dikarenakan adanya ketidaksesuaian data yaitu mengenai penyebab
kematian, dan tempat dimana sebenarnya penanggung meninggal dunia.
Meskipun merupakan asuransi jiwa yang menurut purwosutjipto dalam hal
prestasi oleh penanggung akan timbul apabila jiwa orang

yang

dipertanggungkan meninggal akan tetapi dalam asuransi jiwa ini memiliki


beberapa klausul.
Meninggalnya

yang

dipertanggungkan

penanggung dan satu-satunya evenemen.

merupakan

beban

Akan tetapi seperti dalam

kasus pertama , asuransi jiwa yang dimiliki adalah produk Pro-Accident


dimana kecelakaan menjadi syarat penting yang mendukung evenemen
yaitu meninggalnya seseorang.
Penyebab kematian
Mengenai penyebab kematian , penanggung sesuai dengan klausul
mengharuskan

adanya

kecelakaan

langsung

yang

menyebabkan

kematian . Sedangkan pemohon hanya mendasarkan pada surat


Kematian dari RS Imelda Pekerja yang menyebabkan termohon menolak
klaim. Penolakan dari penanggung jika dilihat dari surat kematian rumah
sakit adalah benar, dimana menurut Rumah sakit tertanggung meninggal
karena penyakit Severe head injury , Lufark cerebri dan Hipertensi El
cardio megali. Hal ini sesuai dengan pengetian kecelakaan , yaitu
Polis Standar Asuransi Kecelakaan Diri (PSAKDI) versi AAUI
mendefinisikan, kecelakaanyaitu suatu kejadian atau peristiwa yang
mengandung unsur kekerasan baik yang bersifatfisik maupun kimia, yang
datangnya secara tiba-tiba, tidak dikehendaki atau direncanakan,dari luar,
terlihat, langsung terhadap Tertanggung yang seketika itu mengakibatkan
lukabadani yang sifat dan tempatnya dapat ditentukan ilmu Kedokteran.

24

Dalam kasus ini termasuk asuransi jiwa sebagai kepentingannya


dimana dalam pelaksanaanya digantungkan kepada penyebab kematian
dikarenakan kecelakaan. Dalam kasus ini, kata kecelakaan menjadi hal
penting dalam memenuhi prinsip kepentingan sesuai dengan klausul yang
telah disepakati. Kecelakaan menjadi syarat yang penting yang menempel
/ menjadikan sebab dari kepentingan jiwa yang dimaksud.
Menurut mediator seharusnya termohon benar-benar menelusuri
fakta fakta mengenai akibat yang menimbulkan resiko. Sesuai dengan
fakta yang ditemukan

mediator bahwa tertanggung adalah telah

mengalami kecelakaan (laporan polisi) serta pembayaran asuransi oleh


jasa raharja seharusnya dilihat oleh termohon.
Surat laporan kecelakaan sebenarnya sudah cukup menjadi alasan
yang cukup agar termohon membayarkan asuransi yang di klaim. Dalam
pelaksanaan asuransi terutama dalam penilaian klaim oleh penanggung
haruslah

dijalankan

prinsip

sebab

akibat

Timbulnya

kewajiban

penanggung untuk mengganti kerugian kepada tertanggung apabila


peristiwa yang menjadi sebab timbulnya kerugian itu disebutkan dalam
Polis. Penilaian peristiwa yang dimaksud yaitu Causa proxima (peristiwa
yang terdekat), Conditio sinequanon (peristiwa yang terhubung ) yang
dimana keduanya haruslah tidak dapat dipisahkan dari timbulnya resiko.
Dalam kasus ini laporan polisi mengenai kecelakaan dengan surat
kematian dari rumah sakit haruslah dianggap sebagai sebuah peristiwa
yang saling mendukung dan merupakan sebuah kronologi lanjutan
diantara keduanya.
Tempat dimana sebenarnya penanggung meninggal dunia
Penolakan klaim selanjutnya oleh termohon dikarenakan adanya
keterangan dari kelurahan bahwa tertanggung meninggal di rumahnya
dan bukan dirumah sakit. Memang hal ini menjadi tidak singkron dengan
bukti klaim sebelumnya . Akan tetapi janganlah dianggap sebagai itikad

25

tidak baik dengan menerangkan fakta yang tidak sesuai. Penanggung


seharusnya melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait tidak sesuai data
bukannya menolak klaim.
Seperti yang diterangkan di awal bahwa sebenarnya telah cukup
bukti untuk mengabulkan klaim, sehingga seharusnya penanggung
terlebih dahulu menanyakan mengenai ketidaksesuian bukti klaim.
Perusahaan asuransi terlihat hanya mencari alasan penolakan bukannya
mencari cara yang sesuai untuk membayar klaim.
B. Pengisian fakta-fakta (Spaj) rekam medik
Dalam Kasus kedua,
disebabkan

keterangan

penolakan klaim oleh penanggung sering

yang

tidak

jujur

atas

keadaan

yang

sesungguhnya. Penanggung melakukan penolakan didasarkan pada


diagnose dokter bahwa penyakit yang di klaim adalah telah ada sebelum
asuransi dibuat. Dalam kasus ini , hal yang menjadi penting adalah
mengenai berbedanya diagnose dengan rekam medik.
Diagnose merupakan sebuah perkiraan dokter tentang apa yang
dialami dan dirasakan oleh tertanggung . Hal ini berbeda dengan rekam
medik yang dimana hasil pemeriksaan untuk memastikan tentang apa
yang terjadi dalam tubuh pasien yang termasuk didalamnya penyakit yang
sedang dialami serta kondisi kesehatan.
Dari keterangan diawal bahwa mengenai spaj juga ditunjang
dengan rekam medik tertanggung yang didalamnya berisi dokter yang
memeriksa serta hasil pemeriksaannya. Spaj dan rekam medik tersebut
hendaknya menjadi rujukan mengenai adanya itikad tidak baik dari
tertanggung untuk menyembunyikan fakta. Selain itu, hal ini juga didukung
yaitu rekan medik yang dilakukan setiap tahunnya yang dilaporkan pada
pihak asuransi.

26

Sesuai dengan pasal 251 KUHD yang erat kaitannya dengan


pelaksanaan prinsip itikad baik bahwa tertanggung harus memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya. Dalam asuransi jiwa, mengenai
rekam medik adalah salah satu terobosan yang bermanfaat bagi
tertanggung dimana dikarenakan mengenai keterangan ini dibebankan
kepada rekam medik dokter sebagai pihak yang dianggap mengetahui
sesuai profesinya. Rekam medik menjadi dasar untuk terlindunginya
tertanggung dari batalnya polis asuransi karena itikad tidak baik dalam
memberikan keterangang
Bmai melalui mediatornya menyatakan bahwa Diagnose saja
belum cukup dijadikan alat bukti yang kuat untuk melakukan penolakan
klaim asuransi,sebab sebuah diagnose dokter harus didukung oleh hasil
test lab atau rekam medic/pemeriksaan dokter.
C. Efektivitas penyelesaian sengketa melalui mediasi di Badan Mediasi dan
Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) terkait kasus penolakan klaim
asuransi jiwa

Beranjak pada kasus yang diangkat dalam tulisan ini, kasus ini
dapat digolongkan kedalam kasus yang diterima oleh BMAI sebagai
lembaga alternatif penyelesaian sengketa, yaitu sebagai kasus yang
memenuhi syarat sesuai ketentuan SK Pengurus BMAI No. 002/SKBMAI/11.2014 tentang Peraturan dan Prosedur Mediasi Badan Mediasi
dan Arbitrase Asuransi Indonesia (PP BMAI). BMAI merupakan lembaga
penyelesaian sengketa klaim asuransi, namun tidak semua sengketa
dapat diselesaikan. Terhadap hal-hal yang berada diluar kewenangan dan
dikecualikan, BMAI akan menolak pengajuan penyelesaian sengketa yang
dimintakan.
penyelesaian

Seperti

telah

sengketa

dijelaskan
klaim

pula,

dapat

bahwa

diajukan

permohonan
baik

oleh

tertanggung/pemohon klaim langsung maupun ahli warisnya. Anak


perempuan dari Tertanggung sebagai ahli waris berhak atas manfaat dari

27

klaim tersebut, ia diakui oleh hukum sebagai Pemohon sehingga dapat


mengajukan permohonan.
Sesuai

PP

BMAI,

setelah

diterimanya

permohonan

penyelesaikan sengketa, mediator memiliki hak untuk mendapat semua


keterangan dan laporan yang sejelas-jelasnya baik dari Termohon yang
merupakan bagian anggota BMAI sehingga secara langsung dan tegas
terikat akan kewajiban itu, demikian pula dengan pemohon yang
mengajukan permohonan penyelesaian sengketa.

Dalam penangan

sengketa atas kasus yang diangkat, mediator melakukan pencarian fakta


terkait inti masalah yang menyebabkan klaim pemohon ditolak oleh
termohon

sebagaimana

telah

dipaparkan

sebelumnya,

seperti

diantaranya: (1) Indikasi iktikad tidak baik pemohon yang baru melaporkan
kehilangan

polis

setelah

Tertanggung

meninggal

dunia;

(2)

Ketidaksesuaian keterangan yang dibuktikan dengan surat keterangan


dari RS Imelda Pekerja Indonesia dan kelurahan setempat dari kediaman
Tertanggung.
Dalam hukum asuransi, sebagaimana diatur sejak dalam
KUHD, prinsip utmost good faith

sangat diperlukan dalam menjaga

perikatan asuransi yang mengakomodasi kepentingan tertanggung dan


kewajiban penanggung. Dalam perjanjian asuransi, memang diamini
bersama bahwa ketelitian dan kepahaman akan isi perjanjian dan syaratsyarat yang harus dipenuhi mesti benar-benar dikuasai oleh pihak
tertanggung. Masalah klaim sering muncul karena ketidakcocokan
identitas atau bahkan yang juga turut dijadikan alasan oleh perusahaan
asuransi dalam kasus ini, yaitu peristiwa yang terjadi tidak termasuk
dalam kondisi yang ditanggung.
Perusahaan asuransi sering menjadikan pasal 251 KUHD sebagai
alat dalam menolak klaim Tertanggung, padahal belum tentu bahwa
tertanggung memiliki iktikad yang tidak baik. Aturan pasal 251 KUHD ini

28

dapat dikecualikan kekakuannya yang lebih berpihak pada Penanggung,


misalnya dengan kebolehan untuk menambahkan kondisi-kondisi lainnya
saat asuransi itu telah berjalan dan perlunya diadakan pengujian dengan
iktikad baik dalam KUH Perdata . Pengecualian tersebut adalah sematamata untuk mewujudkan keadilan bagi Tertanggung.
Dalam kasus yang diangkat, diketahui bahwa memang terjadi
ketidaksesuaian

data

dari

Tertanggung/Pemohon

yang

kemudian

ditanggapi terlalu dini dengan penolakkan oleh Penanggung/Termohon,


padahal dikemukakan kembali bahwa belum tentu Tertanggung/Pemohon
memiliki iktikad tidak baik. Untuk itu, mediator sebagai penengah
kemudian bertugas untuk mencari fakta agar sengketa dapat diselesaikan
sesuai dengan keadilan dan keseimbangan antara para pihak. Sesuai PP
BMAI, mediator memiliki kewenangan untuk mendapatkan laporan dan
informasi yang sebenarnya dan selengkap-lengkapnya mencakup dan
tidak terbatas pada apa-apa yang umum berkaitan dalam sebuah
perjanjian asuransi. Dalam kasus, mediator berwenang untuk mendapat
informasi terkait laporan kepolisian, rumah sakit yang menangani
Tertanggung/Pemohon,

dan

kelurahan

Tertanggung/Pemohon.

Mediator

sebagai

setempat
pihak

yang

kediaman
netral

juga

berwenang mengkaji dan memberikan penilaian akan penafsiran kondisi


yang tercantum dalam polis asuransi.
Polis diatur sebagai bukan unsur yang mutlak dalam sebuah
perjanjian asuransi. Kemutlakan itu merupakan sebuah konsekuensi dari
fungsinya sebagai alat bukti manakala terjadi sengketa. Namun, KUHD
sendiri memberikan alternatif apabila polis tidak atau belum ada ketika
klaim dilayangkan dengan mengajukan dokumen-dokumen lain yang
dapat menunjang pembuktian adanya perjanjian asuransi itu. Ketika
diketahui polis hilang, sebagaimana dipaparkan dalam kasus, tindakan
penanggung
merupakan

dengan
langkah

mengajukan
yang

tepat.

29

berbagai
Mengenai

dokumen

penunjang

ketidaksesuaian

dan

kebenaran keterangan adalah hal yang perlu diluruskan oleh mediator


sebagai pihak ketiga yang bersifat netral.
Dari hasil pencarian fakta yang dilakukan oleh mediator kemudian
diketahui kebenaran bahwa telah terjadi kecelakaan atas Tertanggung
pada tanggal 19 Agustus pukul 22.00 WIB. Dari beberapa rumah sakit
yang juga didatangi Tertanggung untuk ditangani juga diketahui laporan
sampai kepada kematian Tertanggung yang diberikan ahli waris
Tertanggung/Pemohon adalah benar. Dalam pencarian fakta juga
ditemukan

pembayaran

asuransi

PT.

dilaksanakan sesuai laporan kepolisian.

Jasa

Raharja

yang

telah

Pengajuan sengketa klaim

asuransi dengan juga memperhatikan pembayaran klaim dari PT. Jasa


Raharja ini menegaskan sistem asuransi jiwa yang tidak menganut prinsip
indeminitas dan subrogasi, dikarenakan nilai jiwa seseorang yang tidak
dapat ditentukan.
Keterangan yang kemudian menjadi kunci dari penyelesaian kasus
ini adalah dengan didapatkannya konfirmasi dari kelurahan setempat
tentang kebenaran tempat meninggalnya korban yaitu di RS Imelda
Pekerja Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa kekeliruan terdapat bukan
pada Pemohon dan bahwa sebetulnya pengajuan klaim telah benar-benar
didasari dengan iktikad baik. Sesuai laporan yang dirangkum dari BMAI,
akhirnya Termohon bersedia untuk memperhitungkan ulang klaim yang
diajukan oleh Pemohon. Dapat kemudian ditinjau bahwa terdapat celah
untuk musyawarah secara kekeluargaan untuk menyelesaikan sengketa
selama proses mediasi berlangsung, yang mana juga diambil oleh para
pihak dalam kasus setelah mengetahui fakta yang didapat dari mediator.
Hasil kerja dari penyelesaian sengketa melalui proses mediasi di
BMAI dalam kasus yang diangkat pada tulisan ini memberikan hasil yang
baik. Setelah diputuskan adanya musyawarah bersama antara pihak
Pemohon dan Termohon, Termohon akhirnya bersedia untuk mencairkan

30

klaim yang diajukan oleh Pemohon. Berdasarkan rekapitulasi kasus yang


ditangani

oleh

BMAI

sendiri,

setiap

tahunnya

terus

mengalami

peningkatan. Efektivitas dari penyelesaian sengketa yang dilakukan baik


pada kasus yang diangkat maupun berdasarkan hasil rekapitulasi BMAI
menunjukkan bahwa keberhasilan mencapai 45% atas keseluruhan
sengketa dengan perbandingan tingkat keberhasilan putusan bahwa
Termohon harus membayar klaim sebesar 61%.
Dapat diartikan bahwa secara umum, sejak didirikannya BMAI
sebagai lembaga penyelesaian sengketa alternatif terkait jasa keuangan
tahun 2006, efektivitas kerja dan pemanfaatannya oleh masyarakat terus
meningkat. Meskipun belum sepenuhnya efektif melihat banyaknya
sengketa klaim yang ada di masyarakat dibandingkan sengketa yang
ditanganinya, BMAI telah terbukti dapat melaksanakan kinerja sebagai
lembaga penyelesaian sengketa alternatif dengan baik. Untuk terus
meningkatkan kemanfaatan lembaga dan mewujudkan visi dari BMAI,
maka perlu terus ditunjang dengan sosialisasi dan transparansi kepada
masyarakat.
Upaya sosialisasi ini dapat diwujudkan tidak hanya oleh BMAI
sendiri tapi juga oleh perusahaan-perusahaan asuransi yang merupakan
anggota BMAI. Upaya sosialisasi oleh BMAI secara langsung bertujuan
untuk memberikan referensi penyelesaian sengketa bagi nasabah dan
memberikan pengetahuan untuk memilih perusahaan asuransi yang
bonafide, seperti yang menjadi anggota dari BMAI. Keanggotaan BMAI
dapat dinilai sebagai iktikad baik perusahaan asuransi dalam mewujudkan
keseimbangan kedudukan dengan nasabahnya. Selain itu, sosialisasi oleh
perusahaan asuransi anggota BMAI dapat dilaksanakan kepada nasabah
ketika dilakukan kegiatan pemasaran prosuk asuransi kepada nasabah.
Cermin

penyelesaian

sengketa

pada

kasus

yang

diangkat

memberikan satu percontohan yang baik dari kinerja BMAI. Kasus yang

31

dibahas memberikan pembelajaran tidak hanya kepada nasabah sebagai


Pemohon tetapi juga Termohon atau perusahaan asuransi terkait. Prinsip
iktikad baik dan kehati-hatian hendaknya menjadi tanggung jawab dan hal
yang penting bagi kedua belah pihak. Di satu sisi Pemohon perlu sangat
teliti dan hati-hati dalam mengajukan bukti yang sebenar-benarnya dan
mengedepankan iktikad baik, sementara di lain pihak, Termohon perlu
melakukan penelitian yang lebih mendalam terkait klaim yang diajukan
oleh nasabahnya agar tidak banyak sengketa yang muncul atau
setidaknya kesalahpahaman terlebih dahulu dapat ditanggulangi bersama
oleh para pihak.

32

BAB V
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dalam usaha perasuransian, sebagaimana usaha jasa keuangan
lainnya sungguh rentan mengarah pada terjadinya sengketa. Jasa
keuangan perlu dibina dengan iktikad baik dan kejujuran yang penuh agar
dapat sama-sama menguntungkan para pihak. Seiring berkembangnya
zaman, penyelesaian sengketa khususnya dalam sektor keuangan lebih
cenderung kepada penyelesaian yang bersifat alternatif. Selain biaya dan
waktu yang lebih efisien, banyak keuntungan lain didapat seperti misalnya
terkait masalah publikasi. Pada rezim Hukum Asuransi Indonesia sendiri,
sejak 2006 telah didirikan lembaga alternatif penyelesaian sengketa, yaitu
BMAI. BMAI didirikan dengan tujuan untuk menciptakan keseimbangan
dan keadilan antara penanggung dan tertanggung asuransi. Penyelesaian
sengketa di BMAI sendiri tidak dikenakan biaya terkait penyelesaian
melalui jalur mediasi dan ajudikasi, sedangkan khusus untuk penyelesaian
melalui jalur arbitrase dikenakan biaya tertentu.
Pembelajaran yang dapat diambil terkait kasus yang diangkat
adalah keterangan-keterangan yang dijelaskan dalam dokumen-dokumen
pendukung klaim yang isinya tidak sesuai satu dengan yang lainnya
belum tentu mengindikasikan adanya unsur niat yang tidak baik dari
Tertanggung. Tertanggung bisa saja dalam keadaan panik dan tidak
memperhatikan

dengan

baik

isi

laporan-laporan

tersebut

dan

menyerahkannya begitu saja kepada Penanggung. Keadaan tersebut


rentan memunculkan ketidaksesuaian data yang sebetulnya tidak
dimanipulasi (apa adanya), sehingga memberikan indikasi niat baik dari

33

Tertanggung. Untuk itu, sebelum penolakan klaim diberikan, seyogyanya


perlu dilakukan penilaian yang lebih objektif dengan juga melakukan
penggalian fakta lebih lanjut. Tindakan ini perlu dilakukan untuk
memberikan keputusan berdasarkan bukti formal yang lebih adil dan
dapat dipastikan kebenarannya, sehingga sengketa klaim tidak terlalu
menjamur di masyarakat.

B. Saran
Investigasi lebih jauh oleh Penanggung guna memperjelas
kedudukan masalah merupakan tindakan yang perlu dilakukan, agar
penolakan klaim atau penerimaan dan pembayaran klaim dapat dilakukan
atas dasar-dasar yang kuat dan tidak terbantahkan. Prinsip iktikad baik
dan kehati-hatian hendaknya menjadi tanggung jawab dan hal yang
penting bagi kedua belah pihak. Di satu sisi Pemohon perlu sangat teliti
dan hati-hati dalam mengajukan bukti yang sebenar-benarnya dan
mengedepankan iktikad baik, sementara di lain pihak, Termohon perlu
melakukan penelitian yang lebih mendalam terkait klaim yang diajukan
oleh nasabahnya agar tidak banyak sengketa yang muncul atau
setidaknya kesalahpahaman terlebih dahulu dapat ditanggulangi bersama
oleh para pihak.
Upaya sosialisasi juga perlu dilaksanakan secara berkelanjutan
demi terus meningkatkan kemanfaatn BMAI. Sosialisasi ini dapat
diwujudkan tidak hanya oleh BMAI sendiri tapi juga oleh perusahaanperusahaan asuransi yang merupakan anggota BMAI. Upaya sosialisasi
oleh BMAI secara langsung bertujuan untuk memberikan referensi
penyelesaian sengketa bagi nasabah dan memberikan pengetahuan
untuk memilih perusahaan asuransi yang bonafide, seperti yang menjadi
anggota dari BMAI. Keanggotaan BMAI dapat dinilai sebagai iktikad baik
perusahaan asuransi dalam mewujudkan keseimbangan kedudukan
34

dengan nasabahnya. Selain itu, sosialisasi oleh perusahaan asuransi


anggota BMAI dapat dilaksanakan kepada nasabah ketika dilakukan
kegiatan pemasaran prosuk asuransi kepada nasabah.

35

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdulkadir Muhammad, 2006, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Amiruddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 2004
Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
(Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase. PT Bumi Aksara: Jakarta.
Man S. Suparman, 2012, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat
Berharga, Bandung: Alumni.
Man S. Suparman dan Endang, 2013, Hukum Asuransi, Bandung: Alumni.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Cetakan Kelima, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994
Sentosa Sembiring, 2014, Hukum Asuransi, Bandung: Nuansa Aulia.
Sonja Roesmana, Prinsip-Prinsip dan Praktik Hukum Asuransi Kesehatan
di Indonesia, Continuing Legal Education (CLE) BPHN, 1997
Wahyu

Wardana,

2009,

Hukum

Transportasi, Bandung: Mandar Maju.

Dokumen perundang-undangan
KUH Perdata
KUHD

36

Asuransi:

Proteksi

Kecelakaan

UU No. 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan


Surat Keputusan No. 002/SK-BMAI/11.2014 Tentang Peraturan dan
Prosedur Mediasi BMAI

Dokumen lainnya
Ade Hari Siswanto, Penyelesaian Klaim pada Asuransi Kendaraan
Bermotor di BMAI, Lex Jurnalica Vol. 6 No.3, Agustus 2009.
BMAI,

2015,

Kasus

Bukti

Klaim

Apa

Adanya,

http://www.bmai.or.id/kasusbmai/Windowz.php?idx=As%20Jiwa%20BUKTI%20BUKTI%20KLAIM%20APA%20ADANYA%20-%20April
%202015.pdf
Diana Kusumasari, 2011, Kekuatan Polis sebagai Alat Bukti, diunduh dari
www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1191/kekuatan-polis-asuransisebagai-alat-bukti.
Komang Ayu Devi Natasia, Upaya Hukum terhadap Penolakan Klaim
Aauransi Jiwa oleh PT Prudential Life Assurance, diunduh dari
http://download.portalgaruda.org/.
www.bmai.or.id

37

38

39

Lampiran I

40

Anda mungkin juga menyukai