( 05 / XII CI )
lainnya.
Dengan
penggabungan
kemampuan
pemecahan
masalah
seorang
fisikawan dengan ilmu medis dan ilmu biologi di bidang kedokteran, biomedical engineering
sangat membantu dalam hal-hal krusial seperti diagnosa, pengawasan, dan terapi medis.
Sejarah teknik biomedis telah dimulai sekurang-kurangnya sejak 3,000 tahun yang lalu. Hal
ini berdasarkan pada penemuan prostesis (alat pengganti organ) yang terbuat dari kayu pada
sebuah mumi yang berumur 3,000 tahun di Thebes, Yunani. Hal ini membuktikan bahwa
penerapan teknologi dan peralatan fisika dalam bidang kesehatan telah digunakan sejak lama.
Di tahun 1816, fisikawan Perancis, Rene Laennec, menggunakan gulungan koran untuk
mendengarkan detak jantung pasien. Hal ini dilakukan untuk menghindari penggunaan cara
menempelkan telinga pada dada seorang pasien yang saat itu masih lazim digunakan. Ia
kemudian menyempurnakan idenya dengan untuk membuat alat yang saat ini dikenal sebagai
stetoskop.
Sekitar 200 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1848, melalui sebuah publikasi yang
terkenal Ueber de tierische Elektrizitaet, Dubois Reyomnd dan rekannya Herman von
Helmholtz mengidentifikasi prinsip tahanan dan arus listrik lemah pada otot dan sistem syaraf
katak. Hal ini kemudian dikenal dengan electrophysiology.
Rentetan penemuan teknologi biomedis terjadi pada penghujung abad 19, ketika serangkaian
peralatan
medis
diciptakan
dalam
selang
waktu
yang
berdekatan.
Contohnya
Sphygmomanomemeter (1881) yang ditemukan oleh Samuel Segfried Karl von Basch yang
dewasa ini, alat yang di Indonesia sering disebut tensimeter ini, sangat dibutuhkan banyak orang.
Selain itu di penghujung abad ke 19 juga dikembangkan sinar X (1885) oleh Wilhem Rontgen,
serta Electrocardiograph (ECG, 1885) oleh Willem Einhoven yang keduanya menjadi dasar
rekam medis tubuh dan jantung. Penemuan-penemuan peralatan medis yang didasarkan pada
ilmu fisika berlanjut pada awal abad ke 20 dengan penemuan ginjal buatan (artificial kydney)
oleh Abel, Rountree, dan Turner pada tahun 1913 serta peralatan haemodialisis pada tahun 1924.
Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945) yang melibatkan lebih dari 60
negara dari 5 benua mempunyai peran yang signifikan dalam pengembangan bidang teknik
biomedis ke berbagai belahan dunia. Tingginya permintaan kebutuhan prostesis (pengantian
organ) terutama kaki dan tangan dari para tentara yang cacat sebagai akibat perang membuat
jumlah laboratorium, bengkel maupun lembaga riset yang mulai tertarik mengembangkan
penelitian dibidang ini pun semakin banyak. Perkembangan ini begitu pesat baik untuk bidang
orthopedik, prosthesis maupun bidang terkait lainnya.
Dari sekian banyak lembaga riset yang berdiri pada masa itu, sesuai History of Biomedical
Engineering (2013), satu-satunya institusi yang menawarkan pengembangan ilmu pengetahuan
bidang teknologi biomedis secara formal adalah the Oswalt Institute for Physics in Medicineland
yang didirikan oleh Fredrich Dessauer pada tahun 1921 di Jerman. Dalam perjalanannya, institusi
ini berubah nama menjadi Max Plank Institute fur Biophysik. Setelah perang dunia kedua
berakhir, teknik biomedika mulai diperkenalkan pada sistem pendidikan di Amerika, diantaranya
di Drexel University (1959), Case Western Reserve University (1968), North Western University
(1969), MIT and Harvard University (1970), Illinouis University (1973), dan Boston University
(1973). Dengan diperkenalkannya Biomedical Engineering ke dalam sistem pendidikan formal
tersebut terbukti efektif mengembangkan penemuan alat-alat kedokteran modern berbasis terapan
ilmu fisika dan kesehatan yang dewasa ini sangat membantu dalam bidang kesehatan seperti CT
Scan (1972), MRI (1972), coclear implant (1978), artificial heart (1982), prosthetics arms (2009)
dan sebagainya.
Di Indonesia, eksistensi bidang teknik biomedika sebagai sebagai sebuah disiplin keilmuan
baru dimulai sejak 1967, ketika Kementrian Kesehatan mendirikan Akademi Teknik Rontgen
(ATRO), saat ini berubah nama menjadi Politeknik Kesehatakan Jakarta II di Jakarta. Pada tahun
1998, Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi institusi di bawah Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan pertama yang menawarkan teknik biomedika sebagai konsentrasi studi pasca sarjana
(S2) dibawah jurusan Teknik Elektronika. Dilanjutkan pada tahun 2000, sebuah Universitas
swasta, Swiss Germany University (SGU) yang berdiri di Serpong, Tangerang, menawarkan
jurusan Biomedical Engineering pada tingkat sarjana (S1). Di tahun 2007, Universitas Indonesia
membuka program studi Pasca Sarjana Teknologi Biomedis. Pada tahun ini pula, Institut
Teknologi Sepuluh November (ITS) memperkenalkan jurusan Teknik Biomedika sebagai jurusan
mandiri pada level strata 1 (undergraduate) dan menjadi jurusan sarjana Teknik Biomedika yang
pertama pada universitas negeri di Indonesia. Di ITB, teknik biomedis dikelola oleh Kelompok
Keahlian Biomedical Engineering (KK-BME) dan menjadi bagian dari Sekolah Tinggi Teknik
Elektro dan Informatika (STEI ITB). Selain itu, beberapa universitas besar sedang dalam proses
pengembangan dalam menawarkan teknik biomedika sebagai konsentrasi studi, sebagai contoh
Universitas
Gadjah
Mada
baru-baru
ini
menawarkan
konsentrasi
studi
Biomedical