lempeng raksasa ini terjadi di Sumatra, keduanya membentuk sudut yang berakibat kecepatan
penunjaman menjadi berkurang (Verstappen, 2000). Hal itulah yang mungkin menyebabkan
gunung api di Sumatra tidak sebanyak Pulau Jawa yang interaksi lempeng-lempengnya berarah
tegak lurus.
Interaksi antara kedua lempeng itu emlahirkan sebuah robekan pada permukaan bumi
Sumatra yang terletak di antara Pegunungan Bukit Barisan, dikenal se bagai dextral transcurrent
fault system, atau Sesar Besar Sumatra. Sesaran ini mematah dalam zona yang rumit, berawal
dari pulau-pulau di ujung utara Sumatra di Aceh, membentuk lembah-lembah memanjang di
daratan, dan di antaranya membentuk deretan danau-danau besar di sepanjang jalur yang
dilintasinya, hingga ke ujung selatannya di Teluk Semangko, Lampung. Karena adanya sesar itu
pula, di sepanjang jalur yang dilintasinya, bermunculan pusat-pusat gempa bumi bersama-sama
dengan pusat-pusat erupsi gunung api. Tak ayal lagi, Pegunungan Bukit Barisan menjadi
kecantikan yang mematikan: menyimpan sumber daya bumi yang kaya dan berlimpah (mulai
dari sumber-sumber mineral, batubara, air, minyak bumi, batu mulia, dan lain sebagainya) dan
menyajikan panorama alam yang memukau, serta lahan-lahan yang subur untuk hidup bertani,
tetapi di sisi lain, memendam potensi bahaya bencana kebumian yang sulit diprediksi.
Gempa bumi tercatat hampir di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan, beberapa di antaranya
berakhir sebagai tragedi. Pesisirnya pun sering terlanda tsunami akibat gempa bumi yang
berpusat di dasar laut, sedangkan perbukitannya yang berrelief kasar sering dilanda bencana
longsor atau banjir bandang. Sekalipun letusan gunung api relatif jarang, tetapi secara geologis
dan dari rekaman sejarah letusan gunung api, beberapa gunung api aktif selalu menjadi ancaman
jika meletus pada permukiman di kaki-kakinya. Bukit Barisan jelas tidak mengenal istilah
daerah aman.
Bentang alam Pegunungan Bukit Barisan adalah gabungan dari berbagai bentuk muka bumi
yang bervariasi. Jajaran perbukitan-pegunungan memanjang yang umumnya dikontrol secara
geologis oleh proses perlipatan batuan-batuan sedimen berumur Mesozoik hingga Tersier,
terrentang sepanjang pegunungan tengah di Aceh, barat daya Sumatra Utara, jalur tengah
Sumatra Barat di sepanjang jalur yang melalui Danau Singkarak, termasuk di antaranya Ombilin
dan Sawahlunto penghasil batubara, menerus ke Jambi, Bengkulu, dan Sumatra Selatan.
Disamping itu terdapat perbukitan-pegunungan berrelief kasar yang didominasi oleh batuan
metamorf yang mengisi Pegunungan Leuser di Aceh hingga Sumatra Utara. Akibat sistem
patahan rumit yang terjadi di daerah ini, lahirlah pembumbungan morfologi berupa perbukitan
memanjang. Tetapi kekayaan geografis Bukit Barisan tidak berhenti di sana; selain
pembumbungan, terjadi pula penarikan pada arah yang berlawanan sehingga menghasilkan
lembah-lemabha yang kemudian menjadi danau-danau yang memanjang di sepanjang jalur ini.
Danau Lauttawar, Danau Toba, Danau Singkarak, Danau Kerinci, hingga Danau Ranau adalah
beberapa danau yang terbentuk di sepanjang jalur patahan ini. Di samping perbukitanpegunungan dan lembah yang memanjang itu, muncul pula kerucut-kerucut gunung api, suatu
terobosan magma aktif yang menyembul di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Sekalipun
tidak intensif baik dari sisi jumlah mau keaktifan, beberapa gunung api tetap menjadi ancaman
bahaya bencana letusan yang sangat mengkhawatirkan. Gunung api Sinabung yang tadinya
digolongkan sebagai gunung api tipe B (yang tidak pernah tercatat meletus sejak 1600), tahun
2010 lalu tiba-tiba meletus cukup besar, memancarkan abunya hingga berratus-ratus meter ke
angkasa. Kondisi terbaru itu menyebabkan Gunung Sinabung menaikkan statusnya menjadi
gunung api tipe A (Aktif; atau pernah meletus sejak 1600).
Gunung-gunung api aktif justru terkonsentrasi di Sumatra Barat. Tercatat beberapa
gunung api, di antaranya yang terbesar adalah G. Merapi, G. Singgalang, dan G. Talang.
Beberapa gunung api dalam kondisi yang boleh dikatakan mati, misalnya sisa-sisa gunung api
yang membentuk Danau Maninjau. Walaupun G. Merapi gunung terbesar yang kawahnya masih
mengepulkan asap solfatarnya, tetapi gunung api teraktif adalah G. Talang di Solok. Gunung api
ini beberapa kali meletus dan mengancam penduduk yang mendiami kaki gunung, terutama ke
arah utara.
Gunung Kerinci (sekitar 3805 meter di atas permukaan laut) merupakan gunung api aktif
tertinggi di Indonesia. Gunung api ini terletak di perbatasan Sumatra Barat dan Jambi. Pos
pemantauan di Kayuaro, Kerinci, beberapa kali mencatat adanya gejal-gejala tremor dari
aktivitas vulkanik gunung ini. Tahun 2010 tercatat meletus kecil dengan memuntahkan asapnya
sekitar 500 m dari kawah. Ke arah selatan, gunung api berikutnya yang cukup aktif adalah G.
Dempo di Sumatera Selatan, dan Suoh di Lampung. Gunung Dempo tercatat beberapa kali
meletus, sehingga aktivitasnya juga dipantau melalui pos gunung api dari Kabupaten Lahat.
B. Patahan Semangko
Patahan Semangko adalah bentukan geologi yang membentang di Pulau Sumatera dari utara
ke selatan, dimulai dari Aceh hingga Teluk Semangka di Lampung. Patahan inilah membentuk
Pegunungan Barisan, suatu rangkaian dataran tinggi di sisi barat pulau ini. Patahan Semangko
berusia relatif muda dan paling mudah terlihat di daerah Ngarai Sianok dan Lembah Anai di
dekat Kota Bukittinggi. Terbentuknya Patahan Semangko bermula sejak jutaan tahun lampau
saat Lempeng (Samudra) Hindia-Australia menabrak secara menyerong bagian barat Sumatera
yang menjadi bagian dari Lempeng (Benua) Eurasia. Tabrakan menyerong ini memicu
munculnya 2 komponen gaya. Komponen pertama bersifat tegak lurus, menyeret ujung Lempeng
Hindia masuk ke bawah Lempeng Sumatera. Batas kedua lempeng ini sampai kedalaman 40
kilometer umumnya mempunyai sifat regas dan di beberapa tempat terekat erat. Suatu saat,
tekanan yang terhimpun tidak sanggup lagi ditahan sehingga menghasilkan gempa bumi yang
berpusat di sekitar zona penunjaman atau zona subduksi. Setelah itu, bidang kontak akan
merekat lagi sampai suatu saat nanti kembali terjadi gempa bumi besar. Gempa di zona inilah
yang sering memicu terjadinya tsunami, sebagaimana terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004.
Adapun komponen kedua berupa gaya horizontal yang sejajar arah palung dan menyeret bagian
barat pulau ini ke arah barat laut. Gaya inilah yang menciptakan retakan memanjang sejajar batas
lempeng, yang kemudian dikenal sebagai Patahan Besar Sumatera. Geolog Katili dalam The
Great Sumatran Fault (1967) menyebutkan, retakan ini terbentuk pada periode Miosen Tengah
atau sekitar 13 juta tahun lalu. Lempeng Bumi di bagian barat Patahan Sumatera ini senantiasa
bergerak ke arah barat laut dengan kecepatan 10 milimeter per tahun sampai 30 mm per tahun
relatif terhadap bagian di timurnya. Sebagaimana di zona subduksi, bidang Patahan Sumatera ini
sampai kedalaman 10 kilometer-20 km terkunci erat sehingga terjadi akumulasi tekanan. Suatu
saat, tekanan yang terkumpul sudah demikian besar sehingga bidang kontak di zona patahan
tidak kuat lagi menahan dan kemudian pecah. Batuan di kanan-kirinya melenting tiba-tiba
dengan kuat sehingga terjadilah gempa bumi besar. Setelah gempa, bidang patahan akan kembali
merekat dan terkunci lagi dan mengumpulkan tekanan elastik sampai suatu hari nanti terjadi
gempa bumi besar lagi. Pusat gempa di Patahan Sumatera pada umumnya dangkal dan dekat
dengan permukiman. Dampak energi yang dilepas dirasakan sangat keras dan biasanya sangat
merusak. Apalagi gempa bumi di zona patahan selalu disertai gerakan horizontal yang
menyebabkan retaknya tanah yang akan merobohkan bangunan di atasnya. Topografi di
sepanjang zona patahan yang dikepung Bukit Barisan juga bisa memicu tanah longsor. Adapun
lapisan tanah yang dilapisi abu vulkanik semakin memperkuat efek guncangan gempa. Beberapa
tempat di Patahan Semangko merupakan pula zona lemah yang ditembus magma dari dalam
bumi. Getaran gempa bumi bisa menyebabkan air permukaan bersentuhan dengan magma.
Karena itu, pada saat gempa bumi, kerap terjadi letupan uap (letupan freatik) yang dapat diikuti
munculnya gas beracun, sebagaimana terjadi di Suoh, Lampung, pada 1933.
berarah barat laut di seluruh daerah cekungan yang mengakhiri pengendapan Tersier di
Cekungan Sumatra Selatan. Selain itu terjadi aktivitas volkanisme pada cekungan belakang
busur.
(Cekungan busur depan Simeulue yang terletak antara pulau Simelue dan daratan Sumatera)
Cekungan busur belakang (backarch basins) adalah cekungan sedimen yang terletak
dibelakang busur vulkanik, yaitu didekat kerak benua.
Terbentuk backarch basins ini sebagai hasil zona subduksi, yaitu pertemuan lempeng benua dan
lempeng samudra dimana lempeng samudra tertekuk hingga menyusup di bawah lempeng benua
menuju astenosfer. Gejala ini diperlihatkan oleh menipisnya kerak dan membentuk cekungan.
Oleh karena itu disebut sebagai cekungan belakang zona subduksi. Cekungan ini penting bagi
Indonesia sebab cekungan ini adalah penghasil hidrokarbon terbesar di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
https://geotrekindonesia.wordpress.com/2013/06/13/back-to-basic-4-cekungan-belakang-busurbackarc-basin-kontrol-kinematika-overriding-plate-vs-slab-rollback/
http://jurnal-geologi.blogspot.co.id/2010/01/geo-pendahuluan-tektonika.html
http://www.mgi.esdm.go.id/content/potensi-hidrokarbon-pada-sub-cekungan-busur-mukasimeulue-tanggapan-geologi-kelautan-sebagai
https://smiatmiundip.wordpress.com/2012/05/17/perkembangan-tektonik-pulau-sumatra/
http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=1425