Anda di halaman 1dari 41

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Pesantren Al-Falah Cicalengka
Lokasi pesantren Al-Falah Cicalengka berada di Kecamatan Cicalengka
sebelah timur kabupaten Bandung. Untuk menuju daerah ini bisa ditempuh
dengan naik angkutan umum elf atau bus jurusan Bandung-Garut. Dari jalan
utama (jalan Bypass) untuk sampai ke pesantren bisa ditempuh dengan jalan kaki,
naik ojeg atau apabila membawa kendaraan sendiri bisa langsung ke
perkomplekan pesantren Al-Falah. Jarak dari jalan utama ke perkomplekan
pesantren Al-Falah yaitu 500 meter. Antara pemukiman penduduk setempat
dengan komplek pesantren terdapat dinding pembatas yaitu tembok yang sangat
tinggi agar keamanan santri terjamin. Di area pesantren terdapat satu buah sungai
yaitu sungai Cibodas di sebelah barat.
Wilayah pesantren Al-Falah terbagi atas dua daerah. Al-Falah I terdapat di
Jl. Kapten Sangun No.6 Cicalengka dan Al-Falah II terdapat di Jl. Nagreg
Bandung. Komplek pesantren Al-Falah I membentang dari timur ke barat.
Pesantren Al-Falah I terbagi atas dua komplek yang sangat luas. Sekilas kompleks
tersebut hanya terlihat seperti pemukiman penduduk.

Ketika kita memasuki

komplek pertama sebelah barat, maka bangunan pertamana yang akan kita jumpai
adalah rumah pengasuh pesantren Al-Falah yaitu Bapak KH. Q. Ahmad Syahid,
Ph.D.

75

Seperti pesantren-pesantren lain, pada bagian tengah (pusat) komplek,


terdapat sebuah masjid tempat ibadah santri , kiai dan penduduk setempat. Masjid
tersebut berukuran 11 x 13 m. Disamping masjid sebelah kiri terdapat gedung
madrasah MTs. putri kelas VII-IX dan di atas masjid terdapat asrama putri.
Sebelah kanan masjid, terdapat Gedung STAI Al-Falah (Sekolah Tinggi Agama
Islam) yang menyatu dengan kantor MTs. Di depan gedung STAI terdapat asrama
putra, asrama pengurus yang berdampingan dengan ruang perpustakaan dan ruang
kesektariatan Ponpes Al-Falah.
Komplek kedua Al-Falah I bersebrangan dengan komplek pertama. Ketika
kita memasuki komplek kedua, maka kita akan melihat taman yang sangat luas
dan bangunan yang tinggi. Bangunan tersebut adalah gedung madrasah putra.
Sebelah kiri gedung adalah kediaman anak ketiga KH. Syahid yaitu H. Rifat Aby
Syahid, S.Pd, beliau merupakan salah satu pengasuh ponpes Al-Falah. Disebelah
kanan terdapat rumah besar yang merupakan kediaman kepala sekolah MTs. yaitu
bapak Drs. H. Nanang Naisabur beserta istri (istrinya merupakan anak kedua KH.
Syahid). Di depan gedung madrasah terdapat lapangan yang luas yang berfungsi
untuk berbagai macam kegiatan santri seperti upacara, bermain, perayaan haul dan
kegiatan lainnya.
Di komplek pesantren Al-Falah I, santri tinggal di asrama yang terpisah
tapi berdekatan. Asrama santri putra berjumlah 12 asrama dengan jumlah santri
sebanyak 319 orang. Asrama santri putri berjumlah 9 asrama dengan jumlah santri
sebanyak 224 orang. Jadi keseluruhan jumlah santri Al-Falah I Cicalengka adalah
543 orang. Asrama ini dipimpin langsung oleh KH. Syahid.

76

Kompleks Al-Falah II yang berada di Nagreg terdiri dari asrama santri


putra dan putri plus sekolah Madrasah Aliyah (MA), Taman Kanak-kanak dan
Madrasah Diniyah. Lokasi Al-Falah II sangat cocok sekali untuk dijadikan
pesantren. Komplek pesantren Al-Falah II jauh dari keramaian apalagi rumah
penduduk. Al-Falah II berada di bawah pegunungan yang udaranya sangat sejuk
dan dingin. Jarak dari jalan utama ke pesantren adalah 1 km. Untuk sampai ke
pesantren, dapat menggunakan mobil atau berjalan kaki. Berbeda dengan Al-Falah
I, luas wilayah Al-Falah II lebih besar.
Ketika memasuki gerbang, sebelah kiri kita akan melihat masjid, aula dan
asrama putri. Sebelah kanan pintu gerbang, kita akan melihat rumah kediaman
Wafa Wafiah (salah satu pengasuh ponpes Al-Falah dan anak KH. Syahid),
kediaman istirahat KH. Syahid, ruang sekertariat, OSIS, Koperasi, wartel, gedung
TK, gedung MD, Gedung MA dan asrama putra. Didepan asrama putra terdapat
lapangan yang sangat luas yang merupakan tempat bermain bola santri putra. Di
depan gerbang, kira-kira 500 meter terdapat kediaman kepala sekolah MA yang
merupakan anak pertama KH. Syahid yaitu KH. Cecep Abdullah Syahid, S.Ag.
Jumlah santri Al-Falah II sebanyak 297 orang. Jumlah asrama yaitu 10 asrama,
asrama putri 6 dan asrama putra 4. Kini jumlah luas keseluruhan komplek AlFalah I dan II adalah 125 tumbak atau 1200 meter persegi.
Pengasuh pondok pesantren Al-Falah adalah Drs. KH. Q. Ahmad Syahid,
PhD yang akrab dipanggil Ayah atau Kang Haji Syahid. Beliau merupakan salah
satu qori terbaik yang dimiliki bangsa Indonesia karena beliau menjadi juara

77

pertama pada MTQ pertama tahun 1969. Sosok kepemimpinan beliau sangat
disegani oleh pimpinan pesantren dan kiai-kiai lainnya di Jawa Barat.
Program yang diselenggarakan di pondok pesantren Al-Quran Al-Falah
adalah:
1. Taman Kanak-Kanak (berlokasi di Al-Falah II Nagreg)
2. Madrasah Diniyah (di Al-Falah II Nagreg)
3. Madrasah Tsanawiyah (di Al-Falah I Cicalengka)
4. Madrasah Aliyah Umum (MAU) (di Al-Falah II Nagreg)
5. Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) (di Al-Falah II Nagreg)
6. Santri Takhosus
7. Majelis Talim
8. Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH)
9. Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah.
Karena adanya peraturan baru tentang pendidikan yang tercantum dalam UU
Sistem Pendidikan Nasional yang baru yaitu UU No. 20 tahun 2002, maka mulai
tahun ajaran 2006-2007 Madrasah alayah Keagamaan (MAK) dilebur ke
Madrasah Aliyah.
Yayasan lembaga pendidikan Islam Asy-Syahidiyah Al-Falah memiliki
lembaga pendidikan formal dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi. Lembaga
pendidikan yang ada di bawah yayasan lembaga pendidikan Islam AsySyahidiyah ini adalah:

78

Tabel 1.2
Nama lembaga & jumlah siswa yang ada di pondok pesantren Al-Falah Cicalengka
Nama Lembaga

Kepala Sekolah
Hj. Ela Kholilah S.Ag
Yandi Ramdani S.Ag

25 orang

Drs. H. Nanang Naisabur

460 orang

KH. Cecep Abdullah Sy S.Ag

297 orang

TK (Taman KanakKanak)
MD(Madrasah
Diniyah)
MTs
(Madrasah
Tsanawiyah)
MA
(Madrasah
Aliyah)
Takhosus

Jumlah siswa/
santri
30 orang

H. Rifat Aby Syahid S.Ag

83 orang

STAI Al-Falah

KH. Q. Ahmad syahid PhD

51 orang

No
1
2
3
4

JUMLAH TOTAL

946 ORANG

Santri di pesantren Al-Falah yang mengenyam pendidikan formal cukup banyak


tetapi jumlahnya lebih sedikit dari yang tinggal di asrama. Para santri yang
pesantren di Al-Falah baik putra maupun putri berdatangan dari daerah luar
seperti Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur, bahkan ada juga yang
datang dari Lampung, Medan, Riau, kalimantan bahkan Timor-Timur.
Disamping lembaga-lembaga formal di atas, di pondok pesantren Al-Falah
juga menyelenggarakan kegiatan-kegiatan seperti: OSIS (Organisasi Siswa Intra
Sekolah), Lembaga Bahasa Arab, Latihan Komputer, latihan kepramukaan,
laboratorium bahasa dan qidrot dan LDK (latihan dasar kepemimpinan).
Dalam lingkungan asrama, kitab-kitab yang dikaji dapat digolongkan
menjadi beberapa macam ilmu yaitu: tajwid, fiqh, tafsir, tauhid, nahwu, shorof,
qiroat dan hadist. Jumlah kitab tajwid lebih banyak dipelajari oleh santri karena
Al-Falah identik dengan metode pembelajaran Al-Quran. Pesantren yang berdiri
pada masa orde baru ini, semula menggunakan sistem salaf, semakin hari semakin
79

meningkat sehingga pesantren ini menjadi pesantren modern, dengan perpaduan


antara sistem salaf dengan kegiatan formal di sekolah. Dengan usia yang relatif
muda, pesantren yang didirikan pada tahun 1971, telah mencetak qoriah-qoriah
terbaik, baik tingkat nasional maupun tingkat internasional.
2. Gambaran Umum Desa Waluya Cicalengka
Desa Waluya adalah salah satu desa yang terkenal agamis atau nyantri di
Kecamatan Cicalengka. Jika kita akan mengunjungi desa yang berada di sebelah
timur Kabupaten Bandung tersebut, cukup dengan menggunakan kendaraan
umum seperti elf atau bus jurusan Bandung- Garut. Dikarenakan bus hanya
melewati jalur utama (Bypass), kendaraan cukup berhenti di Paramanmuncang.
Setelah itu naik angkot jurusan Cileunyi-Cicalengka dan berhenti di Pasar
Cicalengka (Baron). Dari kawasan pasar Cicalengka yang merupakan pusat pasar
tradisional di Cicalengka, kita cukup berjalan atau naik ojeg untuk memasuki
wilayah Desa Waluya. Kantor Kepala Desa terletak di Rw. 05 yaitu Kampung
Ciseke. Jika kita akan mendatangi kantor kepala desa, cukup dengan
menggunakan kendaraan bermotor atau ojeg.
Selain identik dengan kawasan industri dan home industry, Desa Waluya
pun identik dengan kawasan pariwisata Curug Cinulang. Luas Desa Waluya
adalah 126.5 ha yang membentang luas dari barat ke timur. Wilayah Desa Waluya
dikelilingi oleh gunung yang menjulang tinggi, rel kereta api dan sawah yang
membatasi kampung satu dengan kampung yang lainnya. Batas-batas daerah
Desa Waluya adalah:

80

sebelah barat : Desa Margaasih

sebelah timur : Desa Cikuya

sebelah utara : Desa Cicalengka Wetan

sebelah selatan: Desa Hegarmanah

Batas desa dihalangi oleh sungai, jalan, jembatan, rel kereta api dan sawah.
Jumlah penduduk Desa Waluya secara keseluruhan adalah 9. 483 orang
(laki-laki = 4783 orang dan perempuan = 4704 orang) dengan jumlah kepala
keluarga sebanyak 2276 kk. Keseluruhan jumlah penduduk terbagi atas 17 RW
(rukun warga) yaitu Kp Balong, Kp. Dungus Maung/ Cikuya, Kp. Ciseke, Kp.
Pajagalan, Kp. Ciseke (Kp. Waluya+ Kp. Ciseke+ Kp. Kebon Sereh), Kp.
Cijalupang, Kp. Kebon Kapas Kulon (Ciawitali), Kp. Kebon Kapas Kulon, Kp.
Kebon Kapas, Kp. Kebon Kapas, Kp. Kebon Kapas, Kp. Urug, Kp. Cijalupang,
Kp. Kebon Kapas Kulon, Kp. Cikurutug Kidul, Kp. Randukurung, Kp. Kebon
Kapas.
Mata pencaharian pokok masyarakat Desa Waluya sebelum adanya
industri adalah pengangguran dan petani. Setelah dibangunnya pabrik dan
berkembangnya home industry pada tahun 1980, mata pencaharian masyarakat
adalah buruh pabrik. Walaupun masih ada mata pencaharian yang lainnya seperti
pengrajin, pedagang, peternak, montir, supir, buruh bangunan dan pegawai negeri.
Kondisi Desa Waluya sebelum adanya industri adalah desa agraris yang
dominan sawahnya ditanami padi. Namun ketika munculnya kawasan industri,
maka wilayah Desa Waluya berubah menjadi gersang. Tidak semua kampung di

81

Desa Waluya terdapat industri. Kawasan industri dan home industry di Desa
Waluya umumnya terdapat di Kampung Kebon Kapas dan Ciawitali.
Karakteristik masyarakat Desa Waluya adalah agamis atau Islami (nyantri)
karena di daerah tersebut terdapat banyak sekali pesantren. Ada dua pesantren
yang cukup terkenal se-Kecamatan Cicalengka yaitu pesantren Al-Falah dan
Nurul Wasilah. Banyak sekali masyarakat yang tertarik untuk belajar ilmu agama
Islam di kedua pesantren tersebut. Banyak masyarakat yang mendatangi kedua
pesantren karena kedua pesantren memiliki ciri khas yang berbeda. Pesantren AlFalah identik dengan seni baca Al-Quran dan tilawahnya sedangkan Nurul
Wasilah terkenal dengan pembelajaran Kitab Kuningnya. Kedua pesantren telah
memberikan kontribusi yang sangat positif bagi perkembangan ilmu keagamaan di
Desa Waluya.
Pendidikan formal yang dimiliki dan tersedia di Desa Waluya hanya
terbatas pada pendidikan dasar saja yaitu Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar,
TPA dan lembaga pendidikan agama. Jumlah SD yang dimiliki adalah empat SD
yaitu SDN Randukurung, SDN Waluya, SDN Cikuya dan SDN Sawah Lega.
Jumlah TK yang dimiliki adalah empat TK yaitu TK Miftahul Hasanah, TK AlIkhlas, TK Al-Huda dan TK As-Syifa. Jumlah TPA adalah enam TPA dan lima
lembaga pendidikan agama.
Masyarakat Desa Waluya dipimpin oleh seorang kepala desa yang sangat
memperhatikan kemajuan dan kemunduran desa. Beliau bernama Cecep
Kurniawan. Dalam menjalankan tugasnya, beliau dibantu oleh empat wakil
pembantu desa, yaitu Engkus Kuswara menjabat sebagai kaur ekbang, Ikin

82

menjabat sebagai bendahara, Deni menjabat sebagai kaur pemerintahan dan


Sanaryo menjabat sebagai sekertaris desa.
B. DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
Penelitian yang dilakuakan adalah melakukan wawancara terhadap
masyarakat pesantren Al-Falah dan masyarakat Desa Waluya. Profil mereka
adalah:
1) H. Rifat Aby Syahid S.Ag, usia 32 tahun, merupakan anak ketiga dari
pimpinan pesantren Al-Falah KH. Syahid. Selain itu beliau merupakan salah
satu pengasuh pondok pesantren Al-Falah. Untuk selanjutnya disebut dengan
kode 1 RA.
2) Engkus Kuswara, usia 35 tahun, merupakan aparat Desa Waluya yang
menjabat sebagai kaur ekbang. Beliau telah 12 tahun bekerja di pemerintahan
desa. Beliau bertempat tinggal di Rw. 05 Kampung Ciseke. Untuk selanjutnya
disebut dengan kode 2 EK.
3) Saryono, usia 65 tahun merupakan salah satu tokoh masyarakat Desa Waluya
yang masih menjabat sebagai ketua Rw. 01 Kampung Balong. Beliau telah 35
tahun menjabat sebagai ketua Rw. Beliau bertempat tinggal di Rt. 01 Rw. 01
Kp. Balong Desa Waluya. Untuk selanjutnya disebut dengan kode 2 SR.
4) Yuyun, usia 35 tahun merupakan masyarakat biasa yang memiliki home
industry sate jebred. Beliau bertempat tinggal di Rt.02 Rw.01 Kp. Balong
Desa Waluya. Beliau telah membuka usaha sate jebred selama delapan tahun.
Untuk selanjutnya disebut dengan kode 2 YN.

83

5) H. A. Zacky Burhan S.PdI, usia 24 tahun, merupakan RoisAM pondok


pesantren Al-Falah. Berasal dari Majengka. Menjadi santri Al-Falah selama 5
tahun. Sekarang tinggal di asrama pengurus putra + asatidz. Lulus STAI AlFalah tahun 2004. Untuk selanjutnya disebut dengan kode 1 ZB.
6) Ai Neni S.PdI, usia 25 tahun berasal dari Ciparay. Merupakan salah satu
pengurus putri ponpes Al-Falah. Di MTs menjabat sebagai pengurus
perpustakaan dan di ponpes menjabat sebagai guru Al-Quran. Menjadi santri
Al-Falah selama 5 tahun kemudian diangkat menjadi pengurus. Lulus STAI
Al-Falah tahun 2002. Untuk selanjutnya disebut dengan kode 1 IN.
7) Evi Rossyidah S.PdI, usia 22 tahun berasal dari Bekasi. Merupakan salah satu
pengurus santri putri ponpes Al-Falah. Di MTs menjabat sebagai wali kelas
VII A dan guru bahasa arab. Menjadi santri Al-Falah selama 5 tahun. Lulus
STAI Al-Falah tahun 2006. Untuk selanjutnya disebut dengan kode 1 ER.
8) Yayan Taryana, usia 38 tahun asal dari Rt.01 Rw.12 Kp. Urug Desa Waluya.
Memiliki pabrik home industry kerudung rajutan Al-Jaya selama 10 tahun.
Rutin mengikuti pengajian wirid thoriqoh di pesantren Al-Falah setiap hari
minggu. Telah mengikuti pengajian selama 1 tahun. Untuk selanjutnya disebut
dengan kode 2 YT.
9) Eutik, usia 60 tahun asal dari Rw. 15 Kp. Cikurutug Kidul Desa Waluya.
Memiliki pabrik home industry kerupuk selama 20 tahun. Untuk selanjutnya
disebut dengan kode 2 ET.
10) Siti Solihat, usia 25 tahun mahasiswi tingkat-5 STAI Al-Falah Cicalengka.
Asal Kp. Cijalupang Desa Waluya. Menjadi santri Al-Falah selama 4 tahun,

84

kemudian diangkat menjadi pengurus putri. Untuk selanjutnya disebut dengan


kode 2 ST.
11) T. Nouval Istikhori, usia 22 tahun mahasiswa tingkat-1 STAI Al-Falah
Cicalengka. Asal Kp. Pajagalan Desa Waluya. Menjadi santri Al-Falah selama
5 tahun kemudian diangkat menjadi pengurus santri putra dan menjabat
sebagai guru bahasa arab di MTs, sebagai seksi pendidikan di ponpes AlFalah. Untuk selanjutnya disebut dengan kode 2 NI.
12) Hj. Sri Hartati Permanasari, usia 28 tahun mahasiswi tingkat-3 STAI Al-Falah
cicalengka. Asal Kp Cikurutug Kidul Desa Waluya. Menjadi santri Al-Falah
selama 8 tahun kemudian diangkat menjadi pengurus santri putri. Untuk
selanjutnya disebut dengan kode 2 SH.
Deskripsi tentang perubahan sosial yang terjadi di masyarakat akibat
adanya industri dan peran pesanten Al-Falah dalam memelihara ikatan
kekeluargaan, akan dijelaskan berdasarkan wawancara dengan narasumber di atas.
Deskripsi hasil penelitian pun mengacu pada permasalahan pokok dan tujuan dari
penelitian ini.
1. Gambaran Kehidupan Sosial Masyarakat Industri Desa Waluya
a. Keberadaan Industri di Desa Waluya
Desa Waluya merupakan wilayah Kecamatan Cicalengka Kabupaten
Bandung. Jumlah Rw (rukun warga) cukup banyak yaitu 17 Rw, seperti yang
dikemukakan oleh 2 EK. Nama Rw atau kampung yang berada di daerah Desa
Waluya adalah

Kp Balong, Kp. Dungus Maung/ Cikuya, Kp. Ciseke, Kp.

Pajagalan, Kp. Ciseke (Kp. Waluya+ Kp. Ciseke+ Kp. Kebon Sereh), Kp.

85

Cijalupang, Kp. Kebon Kapas Kulon (Ciawitali), Kp. Kebon Kapas Kulon, Kp.
Kebon Kapas, Kp. Kebon Kapas, Kp. Kebon Kapas, Kp. Urug, Kp. Cijalupang,
Kp. Kebon Kapas Kulon, Kp. Cikurutug Kidul, Kp. Randukurung, Kp. Kebon
Kapas. Tidak semua Rw ada industri, khususnya industri kecil, dominan industri
terdapat di Kp. Kebon Kapas seperti di Rw. 09,10,11,15, dan 16. Industri tersebut
lebih dispesifikan dalam home industry yaitu pabrik tahu, kerupuk, kerajinan
tangan rumah tangga, roti, ciput+kerudung rajutan. Selain home industry, di Desa
Waluya terdapat pabrik/ perusahaan besar yang bergerak di bidang garmen, nama
perusahaannya adalah PT. Cemara Agung.
Hadirnya industri memberikan angin segar bagi masyarakat. Industri di
Desa Waluya bermunculan pada tahun 1986, ketika itu masyarakat Desa Waluya
masih berprofesi sebagai petani. Reaksi masyarakat ketika adanya industri sangat
menggembirakan dan antusias sekali karena menurut masyarakat, industri dapat
memperbaiki perekonomian dan dapat beralih profesi menjadi karyawan pabrik
sebagaimana yang dikemukakan oleh 2 EK. Tapi dengan semakin meningkatnya
kebutuhan masyarakat, meningkat pula biaya yang harus dikeluarkan. Untuk itu
reaksi 2 YN terhadap keberadaan industri biasa-biasa saja karena ada atau tidak
adanya industri, kebutuhan hidup keluarga tidak akan cukup. Sementara itu
menurut 2 SH, reaksi terhadap adanya industri sangatlah mengagetkan karena
industri dapat memberikan dampak yang positif sekaligus negatif. Dengan industri
semua menjadi serba mudah dan serba ada.
Hadirnya industri di tengah-tengah masyarakat memang memberikan
secercah cahaya bagi masyarakat yang menganggur untuk mendapatkan pekerjaan

86

yang layak. Masyarakat Desa Waluya adalah masyarakat yang agraris, kemudian
setengah dipaksa untuk menjadi masyarakat industri. Untuk membangun suatu
industri, pilihlah tempat-tempat yang di daerah itu belum ada budaya agrarisnya,
yang tempatnya tandus. Dulu Desa Waluya subur makmur, gemah ripah, sekarang
sudah mulai banyak kekeringan, hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh 1
RA.
Arah peningkatan perekonomian masyarakat setelah adanya industri sangat
meningkat secara signifikan yaitu sebanyak 30 persen sebagaimana yang
dikemukakan oleh 2 EK. Peningkatan ekonomi terjadi karena masyarakat yang
dulunya bekerja sebagai petani, gaji yang diterimanya tidak tentu tapi setelah
menjadi karyawan pabrik, gaji yang diperoleh sesuai dengan target ia bekerja.
b. Kondisi Kehidupan Masyarakat Desa Waluya sebelum dan setelah
adanya industri di bidang pendidikan, keagamaan, sosial budaya dan
ekonomi
 Bidang Pendidikan
Kehidupan sosial masyarakat Desa Waluya sebelum dan setelah adanya
industri dalam berbagai bidang jelas berbeda. Perbedaan dalam bidang
pendidikan, sebelum dan setelah adanya industri tidak terlalu mencolok mungkin
dari segi fisiknya saja meningkat. Dulu

hanya ada lima SD dan delapan

madrasah, sekarang SD dimerger menjadi 4, TK, madrasah serta lembaga


pendidikan agamanya lebih banyak. Bangunan fisik yang dulu tidak layak huni,
sekarang khusus untuk Desa Waluya bisa dikatakan paling baru bangunanbangunan sekolahnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh 2 EK dan 2 SR.

87

Setelah bekerja di pabrik dan mempunyai penghasilan yang cukup, banyak


orang tua yang berkeinginan untuk menyekolahkan anaknya di lembaga
pendidikan formal, sebagaimana yang dikemukakan oleh 2 SS . Ada pula orang
tua yang karena kesibukan bekerja, tidak memperhatikan pendidikan anaknya.
Sehingga anak menjadi terbengkalai, malas belajar dan tidak naik kelas, hal
tersebut dikemukakan oleh 1 ZB.
 Bidang Keagamaan
Khusus dibidang keagamaan, untuk masyarakat Desa Waluya yang
dikategorikan daerah agamis atau religius, untuk rutinitas keagamaan tidak ada
perbedaan yang berarti. Banyak pesantren di Desa Waluya yang dikategorikan
besar untuk kecamatan Cicalengka yaitu pesantren Al-Falah dan pesantren Nurul
Wasilah yang terrdapat di Rw. 17 Kp. Kebon Kapas. Secara fisik, bangunan
ibadahnya pun meningkat disertai dengan sarana dan prasarana yang memadai,
sebagaimana yang dikemukakan oleh 2 EK.
Sebagai tokoh masyarakat, 2 SR menilai bahwa agama merupakan pondasi
dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai agama sangat dipegang teguh oleh
masyarakat Desa Waluya. Selain bekerja, beribadah adalah salah satu rutinitas
yang dikerjakan masyarakat dalam kehidupannya. Pengajian merupakan salah satu
kegiatan keagamaan yang selalu ramai diikuti oleh penduduk setempat, baik itu
pengajian anak-anak, remaja dan orang tua. Dengan adanya industri, keadaan
tersebut secara berangsur-angsur mengalami penurunan.
Sarana keagamaan memang meningkat. Menurunnya hal tersebut dibarengi
pula oleh meningkatnya kesibukan masyarakat sehingga mereka tidak mempunyai

88

waktu lagi untuk pergi ke masjid atau pengajian. Setelah bekerja, masyarakat
merasakan bahwa waktu yang mereka miliki sangatlah berharga. Sisa waktu yang
ada digunakan untuk istirahat. Dengan demikian keluarga menjadi terlantar, anakanak kurang mendapat bimbingan dan perhatian. Pengajian anak-anak pun
menjadi berkurang karena mereka lebih tertarik menonton televisi dirumah. Hal
tersebut dirasakan oleh 2 ET.
Hal senada juga dikemukakan oleh 2 NI dan 2 SS yang menyatakan bahwa
mereka lebih merasakan kehidupan beragama sebelum masuknya industri di
desanya. Masyarakat terlihat aktif dalam mengikuti kegiatan keagamaan. Setelah
masuknya industri, masyarakat jarang terlihat mengikuti pengajian karena
terbatasnya waktu yang mereka miliki.
Prinsip keagamaan yang dipegang oleh seseorang memeng berbeda-beda.
Hal tersebut dikemukakan oleh salah satu bos ciput Al-Jaya yaitu 2 YT. Dengan
banyaknya pekerjaan, tidak mengurungkan niat untuk tetap mengunjungi
pesantren Al-Falah bersama istrinya untuk pengajian rutinan mingguan yaitu
thoriqohan. Kegiatan rutinan sudah beliau laksanakan selama satu tahun terakhir
ini. Karena walaupun sibuk, beliau masih menyempatkan diri untuk mengisi jiwa
rohaninya dengan mendengarkan pengajian di pesantren Al-Falah.
 Bidang Sosial Budaya
Masyarakat Desa Waluya adalah masyarakat yang terkenal ramah, kompak
dan suka tolong menolong. Saat itu penduduk yang masih ada adalah penduduk
asli Desa Waluya yang masih memegang teguh nilai-nilai budaya leluhur dan
belum terpengaruh budaya luar. Setelah adanya industri, hal tersebut sukar

89

ditemukan. Secara fisik mareka bertetangga tapi secara bathin, hati mereka
terpisah. Tidak ada lagi kebersamaan, kegotong- royongan dan saling kerja sama
satu sama lain. Kekompakan yang dulu ada kini telah hilang, sebagaimana
dikemukakan oleh 2 SR.
Pendapat tersebut bertolak belakang dengan pendapat 2 YT. Dengan adanya
industri dapat membantu kegiatan sosial masyarakat. Industri dapat memberikan
bantuan berupa dana untuk perbaikan jalan atau rumah-rumah peribadatan. Hal
tersebut sering di lakukan oleh 2 YT.
 Bidang Ekonomi
Keadaan ekonomi masyarakat sebelum adanya industri, sangatlah minim
(menurut 2 EK). Sebagian besar masyarakat Desa Waluya bermata pencaharian
sebagai buruh tani, sisanya adalah bekerja sebagai buruh bangunan, berjualan
bahkan banyak yang menganggur. Sebagian besar penghasilan mereka sangatlah
kecil. Tetapi setelah masuknya industri, terjadi perubahan dalam lapangan
pekerjaan. Sebagian besar penduduk beralih memilih bekerja di pabrik. Sehingga
penghasilan masyarakat lebih baik dari sebelumnya.
Hal senada diungkapkan oleh 2 YN, bahwa mereka lebih tertarik bekerja
disektor industri. Selain penghasilannya lebih besar, bekerja di pabrik tidak
menggunakan tenaga yang ekstra seperti menjadi buruh tani. Industri pun dapat
meningkatkan kemajuan di bidang ekonomi sehingga dapat menyekolahkan anak
sampai pendidikan atas, sebagaimana dikemukakan oleh 2 YT dan 2 SH.
Lain halnya dengan 2 SR, usaha di bidang pertanian masih tetap menjadi
usaha pokok masyarakat Desa Waluya. Hal tersebut dikarenakan rendahnya

90

tingkat pendidikan dan masyarakat tidak memiliki keahlian di bidang lain. Selain
itu masyarakat sudah terbiasa melakukan pekerjaannya sebagai petani, walaupun
banyak masyarakat yang beralih profesi menjadi karyawan pabrik.
b. Dampak yang dirasakan Masyarakat Desa Waluya akibat Industrialisasi
Hadirnya industrialisasi di tengah-tengah masyarakat membawa angin
segar bagi kehidupan mereka. Namun industrialisasi dapat memberikan dampak,
baik itu positif maupun negatif. Dampak yang dirasakan akibat adanya
industrialisasi, jelas ke arah positif sebab industrialisasi dapat menyerap tenaga
kerja khususnya pemuda-pemuda yang semula menganggur kini bekerja,
sebagaimana yang diungkapkan oleh 2 EK.
Sebagai tokoh masyarakat, 2 SR berpendapat bahwa industri dapat
berdampak positif dan negatif. Dampak positif yang dirasakan adalah dengan
adanya industri dapat menyerap tenaga kerja dan dapat meningkatkan
perekonomian masyarakat. Hal tersebut senada dengan 2 ET dan 2 SS. Namun,
industri dapat berdampak negatif yaitu dapat menimbulkan sifat individualistis
(tidak saling mengenal) antar sesama anggota masyarakat, sebagaimana yang
dikemukakan 2 YN. Dampak negatif

lainnya dapat terlihat dari kesibukan

menyebabkan merenggangnya atau longgarnya ikatan kekeluargaan di antara


keluarga dan tetangga, sebagaimana dikemukakan 2 YT. Selain itu banyak
masyarakat yang bekerja tidak ada waktu untuk saling berkomunikasi dengan
tetangga. Dan kehadiran pendatang yang bekaerja sebagai karyawan yang
membawa budaya dan pengaruh yang baru.

91

c. Dampak Industri terhadap Hubungan Kekeluargaan pada Masyarakat


Industri
Hubungan kekeluargaan yang terjalin di masyarakat akibat adanya industri
di satu sisi bisa dikategorikan lebih kuat, karena hadirnya pendatang baru
menyebabkan masyarakat saling mengenal satu sama lain. Tapi di satu sisi di
karenakan kesibukan masing-masing, menyebabkan hubungan kekeluargaan
merenggang, contoh tidak mengenal tetangga yang lainnya, sebagaimana
dikemukakan oleh 2 EK.
Hal senada dikemukakan oleh 2 SR bahwa industrialisasi menyebabkan
hubungan kekeluargaan di masyarakat semakin merenggang dan tidak saling
komunikasi baik sesama anggota keluarga, tetangga maupun masyarakat. Ikatan
kekeluargaan cenderung kearah renggang karena kesibukan. Industri dapat
merenggangkan hubungan sosial karena industri lebih cenderung milik
perorangan (individu), sebagaimana dikemukakan oleh 2 SS.
2. Relasi Sosial yang terjadi pada Masyarakat Industri di Desa Waluya
Kehadiran industri ke Desa Waluya telah mengakibatkan hilangnya nilainilai yang ada di masyarakat, termasuk dalam hal memelihara ikatan kekeluargaan
sesama masyarakat. Ikatan kekeluargaan yang terjadi pada masyarakat Desa
Waluya sebelum adanya industri dan setelah adanya industri jauh berbeda.
Masyarakat yang terkenal ramah, suka akan kebersamaan, suka tolong menolong,
pos ronda rutin, berubah seketika setelah adanya industri. Ikatan kekeluargaan
setelah adanya industri menjadi terkikis sedikit demi sedikit, hal tersebut
dibuktikan dengan jarangnya pelaksanaan ronda malam yang menyebabkan

92

banyaknya masyarakat Desa Waluya yang menjadi korban pencurian. Selain itu
jika ada musyawarah atau gotong-royong, pasti yang menghadiri hanya tokoh
masyarakat desa setempat saja.
Jika ada yang masyarakat meninggal, dulu masyarakat berbondongbondong mengadakan tahlilan dan pengajian, tapi setelah adanya industri hal
tersebut tidak tampak lagi, sebagaimana dikemukakan oleh 2 EK dan 2 SR. Ikatan
kekeluargaan yang sedikit demi sedikit terkikis terjadi karena sikap terbuka
masyarakat dalam menerima perubahan sehingga mengakibatkan mengendornya
rasa kekeluargaan dan kegotong royongan dalam masyarakat (menurut 2 NI).
Hal tersebut senada dengan pendapat 2 SH bahwa relasi sosial yang di
realisasikan dalam hal ikatan kekeluargaan pada masyarakat Desa Waluya
sebelum adanya industri sangat terlihat kompak dan terlihat kebersamaannya
diberbagai bidang. Misalnya kalau ada yang memperbaiki jalan desa, maka
masyarakat tanpa disuruh akan membantu pembangunan tersebut, tapi setelah
masyarakat banyak yang bekerja di pabrik, untuk melaksanakan kerja bakti pun
harus menggunakan undangan tersendiri. Tidak hanya laki-laki saja yang bekerja
dipabrik, wanita pun banyak yang bekerja dengan alasan untuk lebih memenuhi
kebutuhan hidup yang serba kekurangan. Hal tersebut menyebabkan peran ibu
bergeser yang tadinya berprofesi hanya sebagai rumah tangga saja, kini bertambah
sebagai pencari nafkah sehingga melupakan kodratnya sebagai istri bagi suaminya
dan ibu bagi anak-anaknya.
Kuantitas pertemuan sangat menentukan kualitas ikatan kekeluargaan yang
terjalin di masyarakat. Banyak masyarakat yang bekerja sehingga hubungan yang

93

terjalin sesama anggota keluarga pun tampak merenggang. Hal tersebut sangat
kontras sekali ketika masyarakat belum bekerja di pabrik. Hal tersebut diakibatkan
oleh kesibukan akan bekerja dan komunikasi dengan keluarga dan tetangga.
Kesibukan mengakibatkan masyarakat tidak lagi memiliki waktu untuk bekerja
bakti atau jaga malam (ronda), sebagaimana dikemukakan oleh 2 YT.
Ikatan kekeluargaan yang sudah ditinggalkan akibat adanya industri adalah
kebersamaan, gotong royong, yang berbau tradisional telah hilang. Masyarakat
Desa Waluya telah kehilangan nilai-nilai budaya yang dulu berlaku di masyarakat.
Hubungan dalam keluarga akan renggang atau hilang apabila kuantitas pertemuan
kurang secara langsung berpengaruh terhadap kualitas. (dikemukakan 2 EK)
Faktor yang menyebabkan renggangnya ikatan kekeluargaan yang terjadi
di masyarakat adalah tingginya mobilitas penduduk, majunya teknologi dan
kehadiran para pendatang yang datang ke Desa Waluya. Dari ketiga hal tersebut,
tidak ada yang lebih dominan, semua mempunyai peranan yang sama dalam setiap
perubahan yang terjadi di masyarakat, sebagaimana dikemukakan 2 EK.
Tokoh masyarakat yang diwakili oleh 2 SR, berpendapat bahwa pendatang
merupakan salah satu faktor pendorong yang mempunyai peranan cukup besar
dalam perubahan budaya masyarakat. Hal senada diungkapkan oleh 2 YN bahwa
pendatang memiliki peranan yang besar terhadap perubahan yang terjadi. Dengan
adanya pendatang, mereka telah memperkenalkan hal-hal yang baru yang
sebelumnya tidak diketahui oleh masyarakat.
Berbeda dengan pendapat 2 SS, majunya teknologi mengakibatkan
perubahan yang besar dalam kehidupan mereka. Dengan adanya televisi dan

94

radio, masyarakat mengetahui semua peristiwa dan kejadian serta kemajuan


melalui media tersebut. Bahkan dengan adanya handphone telah merubah pola
hidup masyarakat.
Masyarakat Desa Waluya cenderung cepat menerima segala perubahan
baru yang masuk. Masyarakat cepat tanggap mengikuti setiap perubahan dan
perkembangan. Hal tersebut dikemukakan oleh semua informan.
3. Peran Pesantren Al-Falah dalam Mengatasi Dampak pergeseran ikatan
kekeluargaan pada Masyarakat Industri di Desa Waluya
a. Sejarah berdirinya pesantren Al-Falah Cicalengka
Pondok pesantren Al-Quran Al-Falah didirikan oleh Al-Mukarrom Drs.
K.H. Q. Ahmad Syahid bin K.H. Muhamad Soleh pada tanggal 3 Mei 1971 di atas
tanah milik pribadi yang berukuran 125 tumbak/1.200 meter persegi. Asal mula
tanah dibeli dari Saudara Cecep (H. M. Soleh bin Ramlisah). Ketika tanah itu
diserah terimakan kepada pendiri, disana sudah berdiri sebuah rumah tua yang
sudah lapuk berukuran 7 x 9 m, yang sudah dikosongkan kemudian rumah itu diisi
oleh sendiri.
Salah satu pengasuh ponpes Al-Falah yang merupakan anak ketiga dari
K.H. Syahid, 1 RA, mengatakan bahawa ide awal pesantren ini disebut pesantren
Al-Quran karena pengasuh pesantrennya adalah yang mendalami dunia AlQuran. Lebih spesifik lagi pada tahun 1969, H. Syahid menjadi qori pertama
yang menjuarai MTQ pertama. Semula dengan menggunakan sistem safiah
(tradisional), santrinya yang tidak kenal usia, status, ijazah. Metode tersebut
berjalan dari tahun 1971-1983 yaitu tradisional murni dari mulai santrinya dua

95

orang bertambah menjadi sekitar 150 orang sampai tahun 1983. Kemudian
muncul ide bahwa semakin besar tantangan zaman, semakin besar pula wawasan
ke depan untuk bisa bersaing di tengah-tengah masyarakat.
Dari sanalah muncul ide untuk memasukan kurikulum sekolah ke
pesantren atau membuat sekolah dalam pesantren. Bukan tanpa tantangan
terutama dari para kiai tradisional murni menetang habis-habisan sekolah
dimasukan ke dalam pesantren. Hal tersebut menyebabkan semakin banyaknya
orang tua yang memasukan anaknya ke pesentren plus menyekolahkannya.
Hingga jumlah siswa menjadi 1200 orang yang tersebar di Al-Falah 1 yang
berlokasi di Cicalengka dan Al-Falah II yang berlokasi di Nagreg. Luas lokasi
sekarang berjumlah 8 ha. Jumlah bangunannya bertambah. Banyak masyarakat
yang semula menentang pesantren, kini berubah mendukung pesantren.
Sarana dan prasarana para santri di pesantren Al-Falah dari tahun ke tahun
semakin meningkat, yaitu:
1) Tahun 1972, dibangun madrasah berukuran 5 x 7 m dengan biaya dari pendiri,
wali santri dan swadya masyarakat.
2) Tahun 1974, dibangun musola berukuran 11 x 15 m yang terbuat dari kayu
dengan biaya hasil swadaya dari masyarakat.
3) Tahun 1975, dibangun asrama putra berukuran 4 x 16 m yang terbuat dari
kayu dengan biaya hasil dari swadaya masyarakat.
4) Tahun 1975, dibangun Mesjid berukuran 11 x 13m dengan biaya hasil
swadaya dari masyarakat.

96

5) Tahun 1976-1979, dibangun asrama putri berukuran 7 x 17 m, dengan biaya


hasil dari swadaya masyarakat.
6) Tahun 1980-1984, terjadi perluasan pesantren seluas 40 tumbak, dengan biaya
hasil dari dana donatur khusus dan kas Yayasan Asyahidiyah.
7) Tahun 1983-1984, dibangun madrasah berukuran 7 x 16 m dengan biaya hasil
bantuan Pemda Kabupaten bandung.
8) Tahun 1985 dibangun madrasah berlantai dua berukuran 4 x 16 m, dengan
biaya hasil bantuan dari Bapak Rektor UNINUS Bandung.
9) Tahun 1986, dibangun seperti:
a. Kantor Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah
b. Koperasi MTs
c. Asrama putra seluas 5 x 10 m
10) Tahun 1987-1989, dibangun berbagai sarana pendukung antara lain pos
satpam, penambahan ruang belajar, kamar mandi dan dapur umum.
11) Tahun 1993-1994, dibangun aula lantai tiga sebagai tempat pendidikan dan
berbagai acara.
12) Tahun 1993-1994, terjadi perbaikan kantor MTs, MA dan STAI Al-Falah.
13) Tahun 1995, terjadi perluasan pesantren di Kecamatan Nagreg, seluas 4 ha
dan telah dibangun asrama putra dan putri, ruang belajar, masjid, aula,
pengairan dan lain-lain.
14) Tahun 1997, dibangun asrama putra dan putri sebanyak 8 lokal.
15) Pada akhir tahun 1997, dibangun asrama putri yang berlokasi di Nagreg
dengan jumlah delapan kamar dengan asrama yang sangat permanen.

97

16) Tahun 1997 Pimpinan ponpes Al-Quran Al-Falah mendirikan Kelompok


Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) dan Alhamdulillah dari sejak berdirinya
KBIH, tidak kurang dari 100 jemaah haji bisa diberangkatkan dan dibimbing
langsung oleh Pimpinan pinpes Al-Quran Al-Falah.
17) Tahun 1999, di lokasi Al-Falah II Nagreg didirikan TK yang memadukan
kurikulum Departemen Agama dengan Departemen Pendidikan Nasional
Pesantren ini berdiri pada masa orde baru dengan memakai sistem salaf, semakin
hari semakin meningkat sehingga pesantren ini menjadi pesantren modern.
c. Ciri khas pesantren Al-Falah sehingga berbeda dengan pesantren lain
Ciri khas ponpes Al-Falah yang utama adalah Al-Quran yang
berkonsentrasi dibidang tilawah dan Qiraat yang merupakan basic dan menjadi
trademark pesantren Al-Falah. Selain Al-Quran, ciri yang lainnya adalah figur H.
Syahid disamping sebagai qori, banyak disepuhkan oleh para kiai dan qori di Jawa
Barat, gaya kepemimpinan H. Syahid dalam suatu pesantren membuahkan suatu
ciri atau trademark, gaya tersendiri dan pembawaannya yang imbasnya adalah
kepada para santri. Sehingga ciri pesantren Al-Falah yang lainnya adalah
ahlaqnya, moralnya yang dibimbing oleh kiai secara langsung. Sesuai dengan visi
ponpes Al-Falah adalah mencetak aliminal amilin, walamilin nalalimu yaitu
orang yang alim dan pandai beramal juga orang yang beramal dan alim. (menurut
1 RA)
Hal senada dikemukakan oleh 1 ZB, bahwa ponpes Al-Falah lebih
berkonsentrasi di bidang tilawah dan qiroat. Al-Falah di mata masyarakat adalah
sebagai ponpes yang telah mencetak qoriah terbaik dalam artian dapat mencetak

98

qori-qori yang bisa melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran secara bagus.


Dikarenakan ponpes Al-Falah identik dengan Al-Quran, maka program atau
jadwal belajarnya pun lebih banyak mengkaji ilmu Al-Quran dibandingkan
mengkaji ilmu yang lainnya, sebagaimana dikemukakan oleh 2 NI.
b. Perkembangan Pesantren Al-Falah
 Lembaga pendidikan
Sebagai lembaga pendidikan agama Islam Al-Falah telah menjalankan
fungsinya sejak tahun 1971. Dengan bermodalkan nekad untuk mendirikan suatu
pondok pesantren di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang tidak mendukung,
Al-Falah mendirikan pondokan dan pengajian. Bermula dengan dua orang santri,
kini berkembang menjadi 1200 santri yang tersebar di Al-Falah I dan II. Lembaga
pendidikan formal yang diusung oleh Al-Falah yaitu Taman Kanak-Kanak di
Nagreg, Madrasah Diniyah di Nagreg, MTs di Cicalengkam Madrasah Aliyah di
Nagreg, dan STAI di Nagreg. (menurut 1 ZB)
Demi memenuhi permintaan para orang tua murid untuk menyekolahkan
anaknya di ponpes Al-Falah, maka pada tahun pelajaran 2002/ 2003 dengan
jumlah pendaftar 298 orang dan pada tahun ini telah dibangun ruang kelas baru
dengan lantai yang berjumlah 12 kelas. Kurikulum yang diterapkan di lembaga
pendidikan Al-Falah menggunakan perpaduan sistem salaf dengan kurikulum
dari departeman pendidikan nasional, sebagaimana yang dikemukakan oleh 1 ER.
 Tempat penyebaran keagamaan
Salah satu tujuan didirikannya lembaga keagamaan adalah untuk
menyebarkan agama Islam. Telah sejak dulu, agama Islam disebarkan di

99

Indonesia melalui perantara wali sango. Begitu pula di pesantren Al-Falah,


menurut 1 RA, Al-Falah dijadikan tempat penyebaran agama dimulai sejak
berdirinya Al-Falah. Berawal dari ke apatisan masyarakat sekitar untuk menerima
berdirinya pesantren ini, berubah 180 derajat mendukung kepada pesantren.
Dengan selalu mengadakan pengajian rutinan setiap hari selasa dan
minggu diperuntukan bagi masyarakat dan selalu memberikan bimbingan ahlak
tentang perilaku baik dan buruk, ponpes Al-Falah membuktikan eksistansinya
sebagai pesantren tempat penyebaran keagamaan.
 Lembaga sosial kemasyarakatan
Setiap pesantren pasti memiliki fungsi sosial kemasyarakatan. Menurut 1
RA, secara tidak langsung semua pesantren memiliki fungsi sosial karena gelar
pesantren dan gelar kiai merupakan gelar sosial. Kita tidak bisa menyebut diri kita
kiai, kalau masyarakat tidak menyebut kita kiai. Karena fungsi pesantren adalah
sosial, maka pesantren tidak pernah memilah-milih siapa yang datang, pesantren
tidak pernah membuat suatu kriteria.
Dengan mendirikan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) pada tahun
1997,

pesantren

Al-Falah

telah

membuktikan

sebagai

lembaga

sosial,

sebagaimana dikemukakan oleh 1 AN. Selain itu pesantren pun selalu


mengadakan hubungan dengan pihak masyarakat dan pihak industri. Misalnya
dengan mendatangkan khotib shalat jumat atau shalat Id dari kiai-kiai pesantren
Al-Falah, sebagaimana dikemukakan oleh 1 RA.

100

c. Peran Pesantren Al-Falah dalam Memelihara Ikatan Kekeluargaan pada


Masyarakat Industri Desa Waluya
Pihak pesantren secara tidak langsung merasakan adanya perubahan akibat
adanya industri karena mau tidak mau pesantren selalu berhubungan dengan
masyarakat sekitar dan pihak industri, sebagaimana dikemukakan oleh 1 RA.
Pesantren selalu diminta oleh pihak industri sebagai penyambung lidah kepada
masyarakat karena pesantren lebih dekat dengan masyarakat dibandingkan pihak
industri.
Dampak yang ditimbulkan dari adanya industri pada kehidupan
masyarakat ada positif dan negatif. Dampak positif terlihat dari meluasnya
lapangan kerja. Perlu ada lembaga lain seperti industri. Lapangan pekerjaan
memang diperlukan tapi pihak industri perlu mencermati dampak negatif dari
adanya industri terhadap lingkungan alam dan fisik. Polusi udara dan pencemaran
lingkungan sangat dirasakan oleh 2 SH sebagai salah satu santri mukim Al-Falah.
Sedangkan efek sosial timbul dari adanya urbanisasi yang luar biasa
sehingga menyebabkan renggangnya ikatan kekeluargaan yang terjadi di
masyarakat. Dengan bekerja, orang sibuk dengan dunia kerjanya dan melupakan
dunia sosial. Jika pihak industri dan masyarakat dapat menyadari hak dan
kewajibannya masing-masing, maka dampak negatif tidak akan terjadi,
sebagaimana dikemukakan oleh 1 RA.
Ketika industri memberikan dampak negatif bagi masyarakat khususnya
dalam ikatan kekeluargaan, pesantren haruslah menjalankan peran dan fungsi
sebagaimana mestinya. Pesantren harus dapat membimbing siapapun dan dimana

101

pun masyarakat berada, bukan berada pada posisi memaksa tapi mengajak dan
posisi membimbing, sebagaimana dikemukakan oleh 1 RA.
Hal senada diungkapkan oleh 1 ZB yang mengatakan bahwa idealnya
pesantren harus menjadi solusioner atau pemecah masalah. Pesantren tidak harus
menarik diri dari berbagai masalah yang timbul di masyarakat. Pesantren pun
harus bertugas sebagai khoirul umul ausatuha artinya sesuatu yang paling baik
harus berada di tengah. Jika industri sudah memberikan dampak negatif bagi
masyarakat, maka pesantren bertugas sebagai penengah yang memberikan
bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh
2 NI.
Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh pihak pesantren atau kiai-kiai
khususnya K.H. Sayahid untuk tetap memelihara ikatan kekeluargaan di
masyarakat. Pesantren dan KH. Syahid berupaya agar tidak terjadi kerenggangan
baik antar santri maupun masyarakat. Pihak pesantren selalu mendekati
masyarakat, sering melakukan tukar pikiran atau pendapat dengan masyarakat.
Selain itu pesantren pun mengadakan acara rutinan dengan masyarakat yang di
adakan di pesantren sehingga terjalin tali silaturahmi dari jemaah-jemaah
pengajian. Pengajian itu sendiri rutin dilaksanakan setiap hari selasa dan minggu.
(menurut 1 ZB dan 1 RA)
Pesantren pun selalu mengadakan acara-acara atau kegiatan agar
masyarakat tahu bahwa pesantren terbuka untuk umum dan ingin merangkul
semua masyarakat. Kegiatan tersebut seperti pawai mengitari Kecamatan
Cicalengka, mengadakan wirid thoriqoh dan dengan mengadakan Forum

102

103

104

bidang sosial budaya adalah berkurangnya pernikahan usia dini, terpenuhinya


kebutuhan masyarakat dan mendorong masyarakat berfikir lebih maju.
Adapun dampak negatif dari adanya industri di Desa Waluya adalah telah
mengakibatkan adanya pergeseran nilai-nilai di masyarakat. Seperti nilai
kesopanan, menonjolkan sifat individualistis, pencemaran lingkungan dan
hilangya jati diri masyarakat karena kehadiran para pendatang yang membawa
budaya dan kebiasaan yang baru. Industri pun dapat merenggangkan ikatan
kekeluargaan yang terjalin karena kesibukan masing-masing masyarakat sehingga
tidak ada waktu untuk gotong royong bahkan musyawarah. Hal ini sesuai dengan
yang dikemukakan Widiawati (1997: 16) bahwa Dampak dari industrialisasi
membawa dua akibat bagi masyarakat yaitu akibat positif dan negatif.
Munculnya industrialisasi dan prosesnya bukanlah suatu hal yang
sederhana. Bukan hanya menyangkut kemampuan pemerintah atau kekuatan
ekonomi lain yang ada dalam masyarakat. Didirikannya suatu industri
membutuhkan kesiapan sosial budaya dari masyarakat untuk menerima,
mendukung serta melestarikan keadaan industri di tengah-tengah masyarakat. Hal
tersebut senada dengan pendapat Soetrisno (1995: 159) bahwa Membangun
masyarakat industri bukanlah hanya sekedar membangun pabrik melainkan
membangun suatu masyarakat yang baru.
Berdasarkan kedua pendapat di atas dengan melihat kehidupan sosial
masyarakat Desa Waluya, sebelum dan setelah adanya industri jelas berbeda.
Industri telah merubah pola hidup tradisional menuju masyarakat yang berpola
hidup modern. Sebelum masuknya industri, masyarakat tidak mengenal dan

105

menggunakan alat-alat cangguh serta modern dalam kehidupannya. Mereka


menggunakan peralatan tradisional seperti kayu bakar untuk memasak, kerbau dan
cangkul untuk mengolah sawah, mandi dan mencuci pakaian di sungai, dan lain
sebagainya. Setelah adanya industri keadaan tersebut berubah. Kini masyarakat
mulai mengenal perangkat baru yang serba praktis dan modern, seperti mesin
cuci, kompor gas, traktor, komputer, televisi, handphone dan sebagainya.
Kehadiran industri di Desa Waluya selain melahirkan inovasi-inovasi baru
seperti peralatan-peralatan yang serba canggih, juga melahirkan pola hidup
modern, seperti konsumtif, materialistis, individualistis dan egoistis dalam
hubungan masyarakat sehingga dapat merenggangkan ikatan kekelurgaan dalam
pelaksanaan interaksi sosialnya. Ruang lingkup ikatan kekeluargaan tidak hanya
terbatas pada hubungan antar sesama anggota keluarga saja, tapi meluas kepada
hubungan antar tetangga dan masyarakat.
Dengan adanya industri, ikatan kekeluargaan yang terjalin menjadi
semakin merenggang. Hal tersebut terjadi karena kesibukan masyarakat bekerja di
pabrik, sedangkan sisa waktu mereka bekerja digunakan untuk beristirahat. Tidak
ada waktu bagi masyarakat untuk saling bercengkrama, melaksanakan kerja bakti
untuk kebersihan kampung dan kegiatan sosial lainnya. Sikap toleransi, gotong
royong dan saling tolong menolong sedikit demi sedikit terkikis akibat
industrialisasi.
Keadaan tersebut sesuai dengan pendapat Parsons yang dikutip oleh
Soekanto (1983: 76-77) menyatakan bahwa:
Hubungan (ikatan) kekeluargaan yang terjadi pada masyarakat tradisional
atau pedesaan cenderung melakukan interaksi sosial secara menyeluruh

106

dan total, karena tidak ada perbedaan peranan yang menonjol. Tapi pada
masyarakat industri, terjadi peranan-peranan dengan pembatasanpembatasan yang agak ketat, sehingga interaksi sosial pun terjadi pada
batas-batas tertentu yang ditentukan secara struktural. Di dalam
masyarakat industri, pola interaksi sosialnya ditentukan oleh norma-norma
universalisme dan berorientasi pada kemajuan.
Dengan demikian, keberadaan industri di Desa Waluya telah mengakibatkan
perubahan situasi dan kondisi masyarakat secara cepat. Industri telah melahirkan
suatu gejala percampuran kebudayaan antara budaya tradisional dan modern yang
menimbulkan dampak positif dan negatif di masyarakat.
b. Relasi Sosial Yang Terjadi Pada Masyarakat Industri Di Desa Waluya
Perubahan-perubahan sosial tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan
karena perubahan kebudayaan merupakan bagian dari perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan ciri khas bagi semua
masyarakat, baik itu masyarakat tradisional maupun modern. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Soekanto (2002: 343) bahwa:
Tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya, karena setiap
masyarakat akan mengalami perubahan yang terjadi secara lambat
ataupun secara cepat. Perubahan yang terjadi tidak akan berhenti pada satu
bidang saja, melainkan akan diikuti oleh perubahan-perubahan pada
bidang lainnya.

Hadirnya industri di tengah-tengah masyarakat Desa Waluya telah


mengakibatkan pertemuan dua kebudayaan yang berbeda yaitu budaya agraris dan
budaya industri. Pertemuan dua kebudayaan menyebabkan benturan-benturan di
masyarakat. Sikap asli masyarakat Desa Waluya menunjukan adanya usaha untuk
mempertahankan nilai-nilai tradisional yang sudah hidup secara turun temurun
dan dijadikan living law dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Akan tetapi

107

108

109

bekerja mulai dari pukul 02.00-22.00 WIB. Keseharian mereka digunakan untuk
bekerja karena menurut mereka waktu adalah uang (time is money).
Datangnya penduduk baru ke suatu daerah berarti hadirnya sekelompok
orang dari daerah lain. Peristiwa tersebut menyebabkan terjadinya pertemuan dua
budaya yang berbeda yaitu budaya yang dibawa oleh pendatang dan budaya
masyarakat setempat (budaya lokal). Bagi penduduk setempat akan mengalami
proses penerimaan, sedangkan bagi kelompok pendatang akan mengadakan proses
penyesuaian. Baik pendatang ataupun pribumi akan sama-sama mengalami proses
perubahan. Seperti yang diungkapkan oleh Soekanto (2002: 352) bahwa:
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial dan
perubahan kebudayaan mungkin sumbernya di dalam masyarakat itu
sendiri ataupun sebaliknya, yang dapat berupa penemuan baru (invension),
pertumbuhan penduduk (population) atau kebudayaan (cultural).
Kehadiran pendatang pekerja pabrik yang tinggal di Desa Waluya telah
membawa pengaruh terhadap pergeseran nilai-nilai dan norma seperti yang
dikemukakan oleh salah satu informan yaitu mahasiswa tingkat 3 STAI Al-Falah
Cicalengka yaitu:
Dahulu sebelum remaja bekerja di pabrik, penampilan dan perilakunya
tidak neko-neko. Tapi sekarang ketika sudah bekerja di pabrik, banyak
remaja laki-laki yang memakai tindik di telinganya, pakaian wanitanya
pun serba ketat, padahal mereka masih mampu membeli pakaian yang
lebih layak. Dari mana mereka bisa membeli pakaian dan menindik
telinga kalau mereka tidak punya uang, uang mereka peroleh dari gaji
yang mereka dapat karena bekerja di pabrik.
Dari keterangan di atas terlihat ada keterkaitan antara pergeseran nilai dan
kebiasaan pendatang. Kehadiran pendatang mengkibatkan adanya ledakan
penduduk yang sangat pesat. Pendatang menyebabkan timbulnya budaya baru
yang berpengaruh terhadap budaya asli masyarakat setempat khususnya para

110

remaja. Gaya berpakaian, pergaulan bebas dan

hidup praktis serta modern

merebak seiring dengan bermunculannya pendatang yang bekerja di pabrik.


Selain diakibatkan ledakan penduduk, perubahan sosial dapat terjadi
karena majunya arus teknologi informasi. Seperti yang dikemukakan oleh Allen
yang dikutip oleh Laurer (1993: 217) ia memberikan contoh tentang penemuan
mobil, dengan adanya penemuan mobil maka akan berakibat pada arus trasportasi.
Mobil, kereta api, kapal dan motor menjadi penunjang mobilitas masyarakat yang
mengakibatkan urbanisasi masyarakat dari desa ke kota ataupun sebaliknya.
Begitu pula dengan penemuan mesin-mesin industri yang menyebabkan
industrialisasi semakin berkembang pesat.
Seperti yang telah dijelaskan terdahulu bahwa proses industrialisasi yang
terjadi di masyarakat bisa berdampak positif dan negatif. Hal tersebut akan terjadi,
bergantung pada kesiapan masyarakat setempat baik secara fisik maupun mental
dalam menerima perubahan. Dan tergantung bagaimana agent of change beserta
lembaga-lembaga dalam masyarakat menjalankan tugasnya sebagai chanel dari
perubahan tersebut.
Sikap yang ditunjukan masyarakat Desa Waluya dalam menerima
perubahan terbagi dalam dua macam yaitu ada yang cenderung cepat dan lambat.
Jika pada mulanya ada sebagian masyarakat yang tertutup terhadap perubahanperubahan karena masyarakat takut stabilitasnya akan terganggu, dengan derasnya
teknologi, masyarakat pada kondisi tertentu tidak dapat lagi menghindar.
Masyarakat harus menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru karena kondisi
sebelumnya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

111

Kemajuan teknologi dan informasi sudah dapat dirasakan di tengah-tengah


masyarakat setelah kehadiran industri. Masyarakat tidak lagi memiliki orientasi
yang sempit dan terbatas, mereka memiliki sikap yang terbuka terhadap segala
hal yang terjadi di masyarakat karena industri. Hal ini menunjukan bahwa
masyarakat Desa Waluya termasuk masyarakat yang tanggap terhadap
perkembangan dan proses perubahan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Soekanto (2002: 345) bahwa:
Perubahan sosial dan kebudayaan terbagi ke dalam beberap bentuk, yaitu
perubahan lambat dan perubahan cepat; perubahan kecil dan perubahan
besar; perubahan yang direncanakan (planned-change) dan perubahan
yang tidak dikehendaki (unintended-change) atau perubahan yang tidak
direncanakan (unplanned-change).
Melihat kenyataan di lapangan, perubahan sosial dan kebudayaan yang
terjadi di masyarakat Desa Waluya berjalan secara cepat. Industri berkembang
pesat selama 20 tahun. Dahulu kawasan Desa Waluya adalah sawah dan
perkebunan, kini setelah bermunculan industri, persawahan telah digantikan oleh
bangunan-bangunan industri. Rumah tangga pun dijadikan sebagai tempat
industri. Para stakeholder berupaya merencanakan bahwa daerah Cicalengka
strategis

untuk dijadikan kawasan industri. Semenjak itulah industri

bermunculan. Perubahan dari masyarakat agraris ke industri di Desa Waluya


tergolong perubahan yang besar karena dengan adanya industri, berbagai aspek
kehidupan berubah termasuk dalam memelihara ikatan kekeluargaan di
masyarakat. Peluang menuju arah perubahan pada masyarakat Desa Waluya
dikarenakan industri menawarkan teknologi baru yang sesuai dengan kebutuhan
masa depan. Masyarakat Waluya langsung menerima perubahan itu secara cepat.

112

113

Kurangnya kesiapan dan ketidaktahuan masyarakat mengakibatkan


terjadinya perubahan secara cepat. Masyarakat Desa Waluya cenderung bersikap
terbuka terhadap perubahan, artinya masyarakat tidak menyaring terlebih dahulu
budaya mana yang sesuai dengan kepribadian masyarakat. Pesantren sebagai
lembaga pendidikan, tempat penyebaran keagamaan dan lembaga sosial
kemasyarakatan harus menjadi agent of change yang tanggap terhadap segala
permasalahan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Melirik pendapat dari Qomar (2002: 7) mengatakan bahwa salah satu
tujuan pesantren adalah Mendidik santri untuk membantu meningkatkan
kesejahteraan sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan
masyarakat. Artinya santri-santri pesantren Al-Falah dididik tidak hanya untuk
menjadi bagian dari listening-speaking society (masyarakat yang suka mendengar
dan berbicara) tetapi menciptakan santri yang reading society (seseorang yang
mampu membaca situasi dan kondisi yang ada di masyarakat) serta mampu
berperan sebagai solusioner.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh pihak pesantren dan K.H.A. Syahid
sebagai sesepuh pesantren Al-Falah merupakan langkah awal yang baik agar
dapat menyatukan visi dan misi masyarakat dengan pihak industri. Seperti dengan
mengadakan kegiatan sosial khitanan masal. Dari kegiatan itu masyarakat kaya
atau miskin, yang bekerja atau penggangguran dapat mengikutsertakan anaknya
untuk dikhitan secara masal. Kegiatan yang mengikutsertakan masyarakat itu akan
menimbulkan sikap saling kenal satu sama lain dan memelihara silaturami. Selain
itu pihak pesantren Al-Falah selalu melakukan pengajian rutinan setiap hari selasa

114

115

Anda mungkin juga menyukai