Anda di halaman 1dari 25

BAB I

MENGENAL HIDAYATULLAH

A. Sejarah Berdirinya
Pondok Pesantren Hidayatullah (PPH) didirikan di Balikpapan Kalimantan Timur
pada tanggal 7 Januari 1973 M, bertepatan dengan tanggal 3 Dzulhijjah 1393 H.
Pemrakarsanya adalah almarhum Ustadz Abdullah Said, putra Bugis Makasar yang
semula bernama Muhsin Kahar dan telah hijrah ke Balikpapan pada tahun 1969.
Dengan idealisme dan tekad membaja serta berlatar belakang pengalaman di dunia
pengkaderan, beliau memantapkan diri mulai nerintis pendidikan kader melalui kursus
muballigh pada tahun 1969. Lalu pada tahun 1971 mengadakan Training Centre (TC)
pemuda di Gunung Kawi Balikpapan, pada tahun 1972 dilanjutkan TC II. Hasil TC ini
ditindaklanjuti dengan pengajian setiap hari Ahad yang disebut sebagai up grading
mental. Lembaga pengkaderan yang telah dirintis ini pada awalnya bernaung di bawah
organisasi Muhammadiyah.
Awal berdirinya PPH sebagai pondok bermula dari kedatangan kembali Ustadz
Abdullah Said ke Balikpapan. Sebelumnya beliau meninggalkan Balikpapan untuk
pergi ke Kuwait guna menuntut ilmu. Namun atas nasehat orang tua (orang tua yang
dimaksud tidak jelas), beliau mengurungkan niatnya pergi ke Kuwait.
Lima orang kenalannya yang telah berikrar setia untuk mendirikan pondok
pesantren diikut sertakan. Kelima orang tersebut adalah Ustadz Usman Palese (berlatar
belakang Persis Bangil Jatim), Ustadz A. Hasan Ibrahim (alumni PP Krapyak,
Yogyakarta), Ustadz Hasyim HS (alumnus PP Gontor, Jatim), Ustad Nadzir Hasan dan
Ustadz Kisman (Akademi Tarjih Muhammadiyah).
Pada waktu awalnya berdiri, sekretariat pondok bertempat di rumah HM Rasyid di
jalan Gunung Sari, Balikpapan. HM Rasyid kemudian menjadi mertua Ustadz Abdullah
Said. Sokongan juga diberikan oleh seorang jaksa bernama Mukhtar Pae dan Syukur
Ismail. Momentum ini dianggap sebagai awal berdirinya PPH, yakni pada tanggal 7
Januari 1973 M, atau 3 Dzulhijjah 1392 H1.
Karena perbedaan mendasar yang tidak dapat dipertemukan antara ustadz Abdullah
Said dengan HM Rasyid, pada tanggal 1 Muharram 1392 (1974 M) kegiatan PPH

1
Progress Report, Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah, 1983. hal. 3

1
dipindah ke sebuah tempat di puncak gunung Karang Rejo, sebuah kebun milik seorang
janda tua. Para ustadz sementara dititipkan di rumah jaksa Mukhtar Pae di Gunung Sari.
Di tempat baru inilah penggemblengan ruhani semakin ditingkatkan dengan
qiyamullail dan puasa daud (sehari berpuasa sehari berbuka). Namun tempat inipun
akhirnya ditinggalkan karena telah ditemukan tempat di Karang Bugis, di lingkungan
yang dihuni oleh orang-orang yang masih ada hubungan keluarga dengan Ustadz
Abdullah Said. Peristiwa ini terjadi usai Ramadhan 1394 H/1974 M.
PPH semakin berkembang dan memantapkan diri setelah berdomisili di gunung
Tembak di atas tanah seluas 120 ha atas jasa H. Asnawi Arbain (Walikota Balikpapan
saat itu) yang berusaha mencarikan lokasi tersebut. Di sinilah PPH sampai sekarang
berkembang pesat dengan berbagai fasilitas yang dimiliki (Progress Report
Hidayatullah, hal. 13)
Penggarapan lokasi PPH di gunung Tembak dimulai pada hari rabu tanggal 3 Maret
1976 pukul 15.00 WITA. Pada hari kamis tanggal 5 Agustus 1976, kampus ini
diresmikan oleh Menteri Agama RI saat itu, Prof. Dr. H.A Mukti Ali.
Sebelum tahun 1984, sistem pendidikan yang berlaku di PPH masih dalam bentuk
halaqah dan kerja lapangan. Baru setelah tahun 1984 mulai diterapkan sistem
pendidikan klasikal dengan menggunakan kurikulum Departemen Agama. Mula-mula
diselenggarakan Madrasah Ibtidaiyah. Pada tahun 1987 dibuka Madrasah Tsanawiyah,
dan pada tahun 1990 dibuka lagi Madrasah Aliyah. Sampai saat ini, PPH Balikpapan
telah memiliki Lembaga Pendidikan mulai dari TK, MI, MTs., MA, sampai perguruna
tinggi yakni I’dad Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) Hidayatullah.
Sistem pembelajaran santri selain dilakukan di dalam kelas juga dilakukan di luar
kelas, terutama dalam bentuk halaqah. Bahkan proses pembelajaran di luar kelas ini
terlihat lebih menonjol bila dibandingkan dengan proses pembelajaran di kelas. Hal ini
dimaklumi karena PPH menganut sistem kurikulum Departemen Agama yang
disesuaikan dengan sistem pendidikan makro pondok, dimana menempatkan masjid
sebagai sentral kegiatan pendidikan. Selain untuk kegiatan belajar (halaqah), masjid
juga difungsikan untuk kegiatan I’iqaf, shalat malam, dan tadarrus Al Qur’an.
Dengan didukung oleh sumber daya manusia sejumlah ustadz, proses belajar
mengajar di PPH berjalan lancar. Latar belakang para ustadz beragam, baik strata satu
(S1) maupun strata dua (S2). Mereka terdiri atas alumni pendidikan universitas Al

2
Azhar Mesir, universita Ummul Quro Mekkah, Universitas Islam Madinah, Sudan dan
Malaysia. Sedangkan yang berasal dari perguruan tinggi dalam negeri misalnya dari
Universitas Hasanudin Makasar, Universitas Muslim Indonesia Makasar, IAIN
Alauddin Makassar, IKIP Makasar, STAIN Samarinda, STAI Luqman Al Hakim
Surabaya, dan beberapa perguruan tinggi lain di Sumatra, jawa dan Kalimantan. Para
Ustadz ini sebagian besar berdomisili di lingkungan kampus PPH Gunung Tembak.
Mereka digolongkan sebagai warga rumah tangga kampus.
Struktur sosial kampus PPH Balikpapan terdiri atas imam, para pemimpin, para
ustadz, tehnisi, warga rumah tangga biasa, dan para santri. Secara garis besar mereka
diklasifikasikan menjadi dua katagori, yakni warga rumah tangga dan warga santri.
Meskipun status warga berbeda, namun suasana kebersamaan dan persaudaraan sangat
mewarnai interaksi sosial warga PPH yang telah terbina dalam iklim jama’ah.
Di dalam proses pendidikan dalam jama’ah PPH, internalisasi nilai (pendidikan
nilai) sangat diutamakan. Sedangkan pendidikan kognitif cenderung kurang diutamakan
bila dibandingkan dengan pendidikan nilai. Disamping itu aspek-aspek keterampilan
pragmatis untuk bekal dakwah dan kehidupan santri mendapat perhatian yang cukup
baik.
Menurut informasi dari Kasi Kepontren Kantor Departemen Agama Kota
Balikpapan, prestasi santri PPH dalam bidang mata pelajaran tidak begitu menonjol. Hal
ini tergambar dari perlombaan-perlombaan bidang studi yang pernah dilaksanakan
Kandepag Kota Balikpapan. Namun pada bidang-bidang olahraga tertentu, prestasi
santri PPH dapat dibanggakan.
Sebagai lembaga pendidikan dakwah, PPH memang patut mendapat penghargaan,
karena telah bekerja dan mengukir prestasi dalam proses perubahan sosial pada
masyarakat Balikpapan yang sebelumnya kering dari suasana religius sebagai kota
industri dan perdagangan di bumi Kalimantan bagian timur. Tidak mengherankan dalam
waktu singkat PPH telah dikenal luas di masyarakat dan berkembang dengan pesat ke
daerah-daerah lain.
Meskipun PPH gencar dan kokoh melakukan gerakan-gerakan dakwah ke pelosok-
pelosok seluruh wilayah nusantara, namun jatidiri PPH tidak berubah dan tetap
memegang prinsip perjuangan seperti yang diamanahkan pendirinya Ustadz Abdullah
Said, yaitu dengan motto: “Kita hendaknya tidak boleh ekstrim dan tidak boleh

3
pengecut”. Dengan keluarnya PPH dari naungan bendera Muhammadiyah pada awal
berdirinya, hal ini mengindikasikan sikap netralitas dan non-sektarian dari gerakan-
gerakan PPH di kemudian hari.
Tradisi-tradisi yang tumbuh dan berkembang seperti kawin massal, shalat
berjama’ah, qiyamullail, dan lain-lain semakin menguatkan jati diri PPH sebagai
lembaga pilar spiritual yang kokoh. Sedangkan tradisi memuliakan tamu (ikromud
dhuyuf), baik tamu itu bergama Islam maupun non-Muslim (termasuk Jane Perlez dari
The New York Times), hal ini mengindikasikan bahwa warga PPH memiliki toleransi
yang tinggi.

B. Profil alm. Ust. Abdullah Said


Mengenal profil alm. Ust. Abdullah Said mengingatkan kita pada sekian banyak
tokoh Nasional pendiri ormas keislaman. Namun perlu diketahui bahwa beliau memiliki
keunikan tersendiri dalam berbagai hal sejak kelahiran beliau sampai kemudian
mendirikan Pondok Pesantren Hidayatullah. Lebih jelas tentang keunikan yang
dimaksud bisa dilihat pada beberapa uraian berikut ini dalam bentuk penjelasan-
penjelasan perkomponen.
Di awal dari uraian penjelasan profil alm. Ust. abdullah said ini penulis
mengutip Jejak Penuh Hikmah beliau sebagai berikut :
''Syahadat yang ideal adalah syahadat yang melahirkan kekuatan.''
''Di atas kesulitan-kesulitan yang kita hadapi di lapangan perjuangan, ada janji-janji
Allah yang sangat menggiurkan.''
''Shalat itu bukan sekadar gerakan ritual semata. Di sana kita mengisi daftar usulan
proyek, di sana kita meminta.''
''Jangan hanya kagum dengan membaca sejarah yang telah dilakukan Nabi dan
sahabat-sahabatnya, serta kecemerlangan pejuang-pejuang Islam di belakang beliau.
Tapi kita juga harus berbuat sesuatu yang pantas dicatat sejarah.''

Tulisan tentang profil beliau banyak diambil dari buku berjudul KH Abdullah
Said, Pokok-pokok Pikiran, Kiprah dan Perjuangannya karya Ust Manshur Salbu.

1. Rekam Jejak Sang Pelopor

Ketika Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan di Jakarta pada 17


Agustus 1945, jauh di pelosok Sulawesi Selatan, tepatnya di Desa Lamatti Rilau,

4
Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai, lahirlah seorang anak dari ibu bernama
Aisyah. Anak tersebut kemudian diberi nama Muhsin Kahar.
Muhsin adalah anak ketiga dari empat bersaudara: Junaid Kahar, Lukmanul
Hakim Kahar, dan As'ad Kahar. Ayahnya, Kiai Abdul Kahar Syuaib adalah ulama
kharismatik di Kampung Lamatti. Sang ayah lebih populer di kalangan masyarakat
dengan sebutan Puang Imang (panggilan kehormatan kepada Imam di kampung) karena
cukup lama menjadi imam di kampung.
Ketika masih dalam kandungan, Muhsin telah menjadi bahan perbincangan di
kalangan keluarga. Sebab, usia kandungan ibunya sudah mencapai dua tahun, namun
sang anak belum juga lahir.
Hanya ayahnya yang selalu mengingatkan sang ibu agar tetap bersabar menunggu
kelahirannya sampai kapan pun yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta'ala (Swt).
Ketika usia kandungan memasuki tahun kedua timbul tanggapan miring bahwa
mungkin yang dikandung itu bukan manusia. Mungkin buaya atau entah apa.
Sang ayah marah besar mendengar tanggapan miring seperti itu. Ada keyakinan
dalam hati sang ayah bahwa anak yang dikandung itu kelak justru akan menjadi orang
hebat.
Akhirnya bayi yang tadinya mencurigakan itu lahir dalam keadaan normal dan
sehat layaknya bayi-bayi pada umumnya.

2. Hijrah ke Makassar

Di kampung halamannya Muhsin sekolah sampai kelas III (1952-1954). Ia


kemudian harus meninggalkan tempat kelahirannya tercinta karena harus mengikuti
sang ayah pindah ke Makassar.
Hati Muhsin merasa berat. Betapapun bersahajanya kampung itu, baginya banyak
kenangan indah yang tidak mudah dilupakan. Desanya yang terletak di dataran tinggi
dengan pepohonan yang rimbun selalu mengalirkan kesejukan. Apalagi jika
memandang hamparan pulau-pulau di perairan Teluk Bone, memberi energi tersendiri
dalam jiwanya.
Kehidupan yang dijalaninya pada awal tiba di Makassar sangat memprihatinkan.
Maklum, orang tuanya tdak mempunyai pekerjaan yang mendatangkan banyak uang. Ia

5
hanya imam sebuah masjid di Kampung Malimongan Baru. Sesekali, sang ayah
memberi tuntunan agama kepada jamaah masjid itu.
Untunglah sang ibu sangat giat mencari nafkah untuk membantu membiayai anak-
anak sekolah. Praktis, meskipun jauh dari memadai, kebutuhan keluarga itu tercukupi.
Di Makassar itu Muhsin banyak menyaksikan orang mabuk-mabukan dan
berteriak dengan kata-kata yang tidak sedap. Sering juga terjadi perkelahian antara
kelompok anak muda yang hanya disebabkan persoalan sepele.

3. Bintang Kelas

Setelah pindah ke Makassar, Muhsin meneruskan sekolah di kota itu. Ia diterima


di kelas IV SD (dulu Sekolah Rakyat) No 30. Di SD ini ia selalu menjadi bintang kelas
karena menguasai seluruh mata pelajaran termasuk menggambar. Bahkan ia pernah
menjuarai lomba menggambar antar Sekolah Dasar se-Kota Besar Makassar. Ia juga
sering ditugaskan gurunya menyalin pelajaran di papan tulis.
Ketika mengikuti ujian akhir SD, ia mendapat nilai tertinggi sehingga
memungkinkan memilih sekolah favorit. Ia tidak memilih sekolah umum tapi sekolah
agama yakni Pendidikan Guru Agama Negeri 6 Tahun (PGAN 6 Tahun). Ia memilih
sekolah ini karena di samping mempelajari agama juga termasuk sekolah yang
didambakan sebagai satu-satunya Pendidikan Guru Agama milik pemerintah di
Indonesia Timur.
Di sini yang diterima hanya murid-murid yang berprestasi. Di sisi lain, sangat
menguntungkan bagi orang-orang yang tidak mampu dari segi biaya. Siswa di sekolah
ini setiap bulan mendapat tunjangan ikatan dinas (ID). Muhsin sangat senang karena
sedikit mampu meringankan beban orang tuanya.
Di sekolah ini juga ia terkenal sebagai siswa yang pandai berpidato. Ia juga selalu
ditunjuk menjadi ketua kelas. Dalam berbagai pertemuan ia dipercaya untuk memimpin.
Ia dikenal sebagai siswa berpengetahuan luas karena sangat rajin membaca. Tunjangan
ID-nya setiap bulan tidak bersisa. Semuanya dibelikan buku.
Ini berbeda dengan teman-temannya yang lebih suka membeli baju demi
penampilan. Maklum, di sekolah itu bercampur antara pria dan wanita.

6
Muhsin memang kurang perhatian terhadap penampilan. Ia tidak malu-malu
menggunakan sarung ke sekolah kalau celananya sedang dicuci. Teman-temannya
sering sinis melihat kebiasaan tak lazim itu. Tapi ia cuek saja. Lagi pula peraturan soal
pakaian belum seketat sekarang.

4. Meninggalkan Bangku Kuliah

Muhsin lulus dari PGAN 6 Tahun dengan nilai memuaskan. Karena prestasi itu ia
langsung mendpat tugas belajar di IAIN Alauddin, Makassar.
Muhsin sempat menjalankan tugas belajar tersebut. Namun hanya bertahan satu
tahun. Ia berhenti kuliah. Alasannya, ia merasa tidak memperoleh tambahan ilmu yang
berarti. Ia telah membaca semua materi kuliah yang diberikan dosen.
Muhsin berkesimpulan bahwa kalau duduk beberapa tahun di bangku kuliah akan
banyak menyita waktu dan energi, sementara hasilnya tidak seimbang dengan yang
telah dikorbankan.
Hati Muhsin terusik juga ketika teman-teman kuliahnya menganggapnya
sombong. Tapi prinsipnya tetap dipegang teguh. Menurutnya, kuliah banyak menyia-
nyiakan waktu untuk ngobrol ngalor-ngidul antara mahasiswa dan mahasiswi. Yang
diobrolkan pun tidak ada hubungannya dengan perkuliahan. Bahkan mengarah pada hal-
hal yang tidak wajar dibicarakan.
Karena itu Muhsin berpendapat lebih aman jika berhenti kuliah dan aktif
berorganisasi, belajar langsung kepada ulama, giat berdakwah, dan gencar membaca.

5. Belajar Lewat Bacaan

Jika tidak ada rapat organisasi, Muhsin pergi ke tempat favoritnya, yakni toko
buku. Beberapa toko buku di Makassar kala itu, seperti Hidayat Book Store, toko Buku
Rakyat, Assagaf dan Aloha, menjadi langganannya.
Ia sedih bila buku yang diminatinya tidak bisa dibeli karena uang yang dimilikinya
tidak cukup. Saat itulah ia meminta kepada pemilik toko untuk menyimpan buku itu
untuknya, sambil ia berusaha mencari uang untuk menebusnya.

7
Beruntung karyawan toko buku umumnya telah mengenal Muhsin sebagai ''si kutu
buku'', sehingga mereka tidak keberatan. Kegemaran seperti itu terus berlanjut kendati
telah tampil menjadi muballigh muda favorit. Hampir setiap pekan ia tampak di toko
buku, menghabiskan sebagian honor dakwahnya untuk belanja buku.
Ketika telah menjadi pimpinan Pesantren Hidayatullah kegiatan membacanya
semakin tinggi. Untuk membeli sekian banyak buku ia rela mengeluarkan uang sampai
jutaan rupiah. Ketika waktu kembali ke Balikpapan dengan menumpang kapal PELNI,
buku yang diboyongnya sampai berkardus-kardus.
Menariknya, buku-buku yang ia beli bukan melulu tentang agama tapi termasuk
buku-buku manajemen, seperti buku tulisan Sondang P. Siagian. Buku pengembangan
diri seperti karangan Dale Carnegie, Napoleon Hill, Norman Vincent Peale, David
J.Schwartz, Herbert N. Casson, Stephen R. Covey, Gloria Steinem, John Naisbit, dan
Alvin Toffler pun dibeli. Buku jurnalistik, ilmu pernapasan, pijat refleksi juga dibelinya.
Setiap hari ia membaca tiga surat kabar ibu kota: Harian Merdeka, Kompas, dan
Sinar Harapan, ditambah surat kabar lokal, Manuntung dan Suara Kaltim. Majalah
Tempo, Gatra, Editor, Forum Keadilan, Topik, Panji Masyarakat, Kartini, termasuk
majalah Trubus dan Asri tak luput dibacanya. Apalagi waktu menulis naskah Kajian
Utama di majalah Suara Hidayatullah, gairah membacanya semakin besar.
Selain membaca buku, ia juga sering mengikuti siaran radio BBC London, Voice
Of America, radio Australia, dan RRI.

6. Belajar Lewat Masjid


Ayahnya sering mengajaknya melaksanakan shalat berjamaah dan mendengarkan
ceramah di berbagai masjid. Ajakan tersebut baginya mengandung hikmah besar.
Karena, di samping menjadi kebiasaan melaksanakan shalat berjamaah, juga dapat
menimba ilmu dari ulama-ulama yang memberi pelajaran setiap ba'da Maghrib dan
Shubuh.
Ia belajar pada ulama-ulama terkenal, seperti KH Abdul Djabbar Asyiri, yang
melatihnya menghafal dan memahami hadits-hadits. Sementara Ustadz Abdul Malik
Ibrahim membimbing dasar-dasar bahasa Arab.
Dan, yang mendorongnya lebih giat menggali Al-Qur`an adalah KH Ahmad
Marzuki Hasan, yang masih saudara sepupu dengannya.

8
7. Belajar Lewat Pergaulan
Dalam menimba ilmu pengetahuan ia juga memanfaatkan pergaulan dengan
aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ia merasa dapat mengembangkan
cakrawala berpikir dan mendapat banyak masukan yang diperlukan lewat pertemuan
dan diskusi tersebut.
Ia juga bergaul akrab dengan orang-orang seperti Emil Salim, Amin Rais, Adi
Sasono, Erna Witular, Nafsiah Mboi Walinono, dan Abbas Muin.

8. Menggeluti Organisasi
Keranjingannya berorganisasi tidak tanggung-tanggung. Setiap organisasi yang
dimasukinya ia selalu memegang jabatan yang ia minati, yakni dakwah dan
pengkaderan.
Ketika duduk di bangku PGAN 6 Tahun, ia memilih organisasi Pelajar Islam
Indonesia (PII). Ia duduk sebagai pengurus ranting di sekolahnya dan seterusnya ke
tingkat wilayah.
Sementara organisasi pemuda yang digelutinya yakni Pemuda Muhammadiyah. Ia
menjadi pengurus dari tingkat cabang hingga wilayah Pemuda Muhammadiyah
Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra) periode 1966-1968.
Pada masa pengganyangan G30S/PKI ia bergabung dengan Kesatuan Aksi
Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI). Ia juga aktif dalam latihan militer ketika
terbentuk Komando Keamanan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM).
Ia melibatkan diri dan menjadi pengurus Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) di
kota Makassar. Parmusi ini diharapkan sebagai penjelmaan Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi). Namun, rupanya Masyumi pun dilarang oleh pemerintah. Sejak
itu Muhsin kecewa melihat sikap pemerintah. Ia tidak lagi meneruskan kegiatannya
dalam partai. Akhirnya, ia kembali menggeluti dunia dakwah.

9. Menambah Ilmu di Jawa


Usai pendidikan muballigh di Makassar, Muhsin berangkat ke Surabaya bersama
Usman Palese. Mereka sempat belajar sebentar di Pondok Modern Gontor, lalu pindah
ke PERSIS Bangil. Di sini juga hanya bertahan tiga bulan.

9
Muhsin lebih banyak berdiskusi dengan Ustadz Mansyur Hasan. Bahkan sering
ditugaskan membawakan khutbah Jum'at dan ceramah di Masjid Persis. Muhsin juga
senang berdiskusi masalah hukum dan politik serta hal-hal yang menyentuh agama
dengan sepupunya, Jaksa Arsyad Hasan, SH.
Lalu ia meninggalkan Surabaya menuju Jakarta. Di Jakarta, ia bersama Ustadz
As'ad El-Hafidy membuka kursus muballigh. Cukup berhasil. Muballigh-muballighat
muda banyak yang lahir dari kursus ini.
Muhsin lalu kembali ke Makassar dan bergabung dengan Ustadz Ahmad Marzuki
Hasan di Kompleks Pendidikan Muhammadiyah. Ia aktif melakukan pengaderan
dengan anak-anak muda binaan Ustadz Ahmad Marzuki Hasan dalam upaya
pemberantasan kemaksiatan yang tengah marak di kota Makassar dan sekitarnya.

10. Mengganyang Judi

Peristiwa penghancuran tempat perjudian di Makassar terjadi pada 28 Agustus


1969. Sehari sebelumnya, rencana penghancuran diarahkan langsung oleh Muhsin
Kahar dan Mahyuddin Thaha. Peristiwa ini melibatkan para pemuda Muhammadiyah di
Makassar.
Peristiwa menghebohkan di Sulawesi Selatan itu membuat ruang tahanan Kodim
1408 Makassar penuh sesak. Banyak anggota Pemuda Muhammadiyah ditahan. Bahkan
beberapa tokoh seperti Ustadz Ahmad Marzuki Hasan, KH Fathul Mu'in Daeng
Maggading, Ustadz M. Arief Marzuki, dan ayahnya sendiri Kiai Abdul Kahar ditahan.
Bahkan sampai ada yang dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan hingga diproses ke
pengadilan.
Namun, atas saran beberapa ustadz, Muhsin Kahar harus segera pergi dari
Makassar dan jangan menyerahkan diri.

11.Meninggalkan Kota Daeng


Muhsin meninggalkan Makassar ke arah selatan menuju daerah Gowa diantar oleh
Amir Said dengan sepeda motor. Pada 30 Agustus 1969 perjalanan dilanjutkan menuju
Maros dengan diantar beberapa aktivis Pemuda Muhammadiyah. Akhirnya Muhsin
bersama Manshur Salbu tiba di Maros setelah seharian berjalan kaki sejauh 40 km.

10
Lalu, pada 30 Agustus, Muhsin dibonceng dengan sepeda motor oleh Mahyuddin
Thaha bertolak ke Pare-Pare dengan menempuh jarak 150 km. Muhsin juga mengganti
namanya menjadi Abdullah Said.

12.Pare Pare yang Penuh Kenangan

Muhsin tidak hanya menetap di Pare Pare, ia sempat berkunjung ke Sidrap, dan
Sengkang-Wajo, serta ke Pinrang dibonceng sepeda engkol oleh Abdul Fattah, aktivis
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Pare-pare. Abdul Fattah akhirnya berubah nama
menjadi Abdurrahman Muhammad, yang ternyata kemudian menjadi Pemimpin Umum
Hidayatullah.
Selama di Pare Pare, Muhsin ditempatkan di sebuah kamar hotel tua yang tidak
terpakai lagi agar tidak mengundang kecurigaan aparat. Hanya ada seorang pemikul air
yang kurang normal bernama Marzuki yang sering ngomong tidak karuan. Penempatan
ini atas pengaturan Mahyuddin Thaha dan H. Badiu.
Pada saat terkurung di kamar yang hanya ada tumpukan ranjang-ranjang tua
berdebu dan sarang laba-laba, ia merasakan tekanan yang menyiksa. Bukan karena
sumpeknya kamar, tapi karena tidak bisa berceramah sebagai hobinya sejak kecil.
Namun, di samping rasa sumpek itu, ada ketenangan yang diberikan Allah Swt
kepadanya saat melakukan shalat lail (tahajjud). Ada inspirasi dan lintasan ilham yang
mengalir deras. Kondisi ini tidak disia-siakan. Ia memanfaatkan waktunya untuk
menulis.
Ia mulai berkonsentrasi dan mengingat buku-buku yang dibacanya. Ia hanya
ditemani sebuah tafsir Al-Furqan karangan A. Hassan dan beberapa majalah Kiblat
yang memuat tulisan Mohammad Natsir secara bersambung tentang Fiqhu Dakwah.
Juga mencoba mengingat pengalamannya sebagai muballigh.
Hasilnya, lima buah buku penuh dengan tulisan tentang Metode Dakwah yang
Efektif. Sebagai teman diskusi sekaligus melayani kebutuhan yang diperlukannya yakni
Manshur Salbu.
Kegiatan menulis berlangsung sampai tempatnya tercium dan digerebek petugas
empat bulan kemudian. Tepatnya, Rabu, 24 Desember 1969, pada saat Manshur Salbu
ditugaskan ke Makassar. Untung, Muhsin lolos dari sergapan petugas dengan

11
menjatuhkan diri dari ketinggian empat meter lewat jendela lalu meninggalkan tempat
itu melalui celah-celah rumah yang padat di kawasan itu.
Sebelum kejadian mengagetkan itu, ia mendengar suara dengan jelas dalam
keadaan tidur dan tidak. Ia ingat seperti ada yang membacakan sepotong ayat yang
terdapat dalam Surat Yusuf ayat 10 yang berbunyi, ''La taqtulu yusufa ...,(janganlah
engkau bunuh Yusuf)!''
Di kala itu ia berjanji dan memasang tekad, ''Kalau memang Allah masih memberi
saya umur panjang, di manapun berada akan saya habiskan umur untuk hanya mengurus
Islam, tidak mengurus yang lain. Saya anggap umur yang diberikan Allah sesudah ini
adalah bonus yang terlalu patut saya syukuri.''

13. Meninggalkan Sulawesi


Kawan-kawan Muhsin segera mengurus kepergiannya. Seperti orang diusir, ia
dipaksa naik kapal yang juga tidak tahu tujuannya. Pokoknya, kota mana saja yang
dituju kapal, di situlah ia akan berbuat. Di kota ini pulalah kawan-kawan Muhsin
mengganti nama Muhsin menjadi Abdullah.
Ternyata, malam itu, 25 Maret 1969, Kapal Motor Ganda Ria yang ditumpanginya
bertolak ke Balikpapan. Kapal yang ditumpanginya itu memuat ayam, sapi, dan sayur-
sayuran.
Setelah dua hari dua malam diombang-ambingkan gelombang Selat Makassar
barulah ia tiba di pelabuhan Kampung Baru. Satu-satunya alamat yang dikenal adalah
tempat kerja kakak iparnya, Muchtar Pae, yang bekerja di Kejaksaan Negeri
Balikpapan. Ia tiba dengan berpakaian lusuh dan bersandal jepit yang warnanya beda.

14. Memperkenalkan Diri


Untuk menjaga keselamatan Abdullah, kakak iparnya melarangnya berceramah.
Namun, kata Abdullah, ''Kayaknya rasa takut saya telah habis pada waktu dalam kejaran
ancaman pembunuhan selama empat bulan.''
Suatu waktu pada acara Isra' dan Mi'raj di Karang Anyar, Balikpapan, muballigh
yang bertugas mengisi acara tidak hadir. Pihak Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan
(KKSS) mencoba menampilkan Abdullah Said (tambahan nama Said setelah tiba di
Balikpapan) sebagai gantinya.

12
Ceramah yang disampaikan Abdullah sangat lancar, padat, bersemangat, dan
diselingi humor yang segar.
Sejak itu, nama Abdullah Said mulai populer. Nama Muhsin Kahar yang telah
malang melintang di Sulawesi Selatan pelan-pelan tenggelam.

15. Menggalang Anak Muda

Langkah awal yang dilakukan Abdullah Said dalam mencari kader dengan
mengadakan kursus muballigh. Terbukti, setelah kursus berlangsung, banyak anak
muda yang tertarik mengikutinya. Ia juga mengadakan berbagai kegiatan Training
Center (TC).
Untuk memelihara hasil yang diperoleh dalam TC, ia terus mengadakan
pembinaan. Selain itu juga mengadakan pengajian setiap Ahad, yang dinamakan Up-
Grading mental.

16. Ingin Belajar ke Timur Tengah

Abdullah Said mulai berpikir untuk mendirikan sebuah pesantren sebagai pusat
pengkaderan da'i. Untuk mewujudkan niatnya itu ia merasakan kurangnya ilmu
pengetahuan yang dimilikinya. Sehingga ia membulatkan tekad untuk menuntut ilmu di
Timur Tengah (Kuwait).
Ia pun pergi ke Jakarta untuk mengurus rencana kepergiannya ke Kuwait. Di
Jakarta ia bertemu seseorang dari Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) yang
memberi nasihat kepadanya. Katanya, ''Bukankah Al-Qur`an yang dipelajari di Kuwait
itu juga yang dipelajari di sini? Kalau menurut saran saya kembalilah ke Kalimantan,
amalkan ilmu yang kamu miliki. Orang-orang di Kalimantan sekarang sangat
memerlukan pembinaan. Siapa yang berdosa kalau harus menunggu pintarnya dulu baru
beramal. Insya Allah, Dia akan menambah ilmu yang kamu rasakan sangat kurang itu
manakala kamu mengamalkannya.''
Akhirnya setelah dipertimbangkan, Abdullah Said mengikuti nasehat orang tua
itu, yang sampai akhir hayatnya tak mengetahui siapa orang tersebut sesungguhnya.

13
17. Memboyong Tenaga Pengajar

Abdullah Said lalu mengunjungi rekannya, Usman Palese, yang sedang belajar di
Akademi Tarjih Muhammadiyah, untuk pulang ke Kalimantan. Sebelum pulang, ia juga
sempat berceramah di Masjid At-Taqwa, Jakarta, milik Muhammadiyah. Ceramah
tersebut membuat banyak anak muda terpesona dan terpengaruh sehingga ikut ke
Balikpapan.
Setelah tiba di Balikpapan, murid-muridnya menyambut dengan gembira.
Pasalnya, sang guru, Abdullah Said datang dengan membawa tenaga-tenaga pengajar
untuk mereka.

18. Memulai Kegiatan Pesantren


Kegiatan belajar mengajar bertempat di Gunung Sari, rumah H Muhammad
Rasyid. Satu demi satu santri mulai berdatangan. Lalu pada 1 Muharram 1393 atau 26
Januari 1974 mereka hijrah ke Karang Rejo. Meski tempat ini berupa gubuk yang tidak
layak dan jauh dari tetangga, tapi mereka tetap yakin, sabar, dan tawakal. Di tempat ini
mereka tinggal 11 bulan.

19. Memulai Sejarah Baru


Di Karang Bugis mereka tinggal di sebuah emperan rumah milik seorang yang
bernama Baba. Tempat ini dipakai untuk belajar sekaligus tempat tidur. Sementara
empat kader putri yang setia mengikuti ditempatkan di sebuah rumah pinjaman. Salah
satunya, Aida Chered, yang kemudian menjadi istri Abdullah Said. (Dari pernikahannya
ini ia dikaruniai 7 anak: Saidah Abdullah Said, Ulfiah Su’adah Abdullah Said,
Hizbullah Abdullah Said, Nashrullah Abdullah Said, Fathun Qorib Abdullah Said,
Maftuhah Abdullah Said, dan Muntadzirizzaman Abdullah Said).
Akhirnya, mujahadah mereka membuahkan hasil. Seorang tokoh masyarakat, H.
Andi Kadir Mappasossong, mewakafkan tanahnya seluas 0,5 hektar. Setelah tiga tahun,
untuk pertamakalinya Pesantren Hidayatullah memiliki sebidang tanah. Bangunan yang
pertama kali diwujudkan adalah mushalla.

14
Di tempat inilah setapak demi setapak mereka mulai mewujudkan rencananya.
Dan, program-program pengembangan semakin padat dan nyata, sehingga manfaatnya
dapat dirasakan oleh masyarakat.

20. Membuka Gunung Tembak

Melihat kondisi Karang Bugis yang sedemikian sempit, maka Abdullah Said
berpikir keras untuk mendapatkan lokasi yang lebih luas. Setelah melakukan
penjajakan, akhirnya pengurus pesantren menemukan tempat yang dianggap cocok.
Lalu mereka bersama Walikota Balikpapan, H. Asnawie Arbain, menemui pemilik
tanah. Lokasi seluas 5,4 ha ini diserahkan secara resmi oleh pemiliknya, Darman, pada
5 Maret 1976.
Saat mengetahui tanah itu untuk pesantren, orang tua itu menangis haru. Setelah
pesantren sudah ramai dipenuhi santri yang berpakaian putih berduyun-duyun menuju
tempat shalat, orang tua itu berkata kepada Abdullah Said, ''Sudah dua tahun lamanya
saya bermimpi didatangi orang berpakaian putih dengan muka bercahaya. Sejak itu saya
tidak pernah lagi makan nasi. Saya hanya makan buah-buahan dan minum air putih.
Saya juga tidak tahu mengapa berbuat demikian. Hanya dalam hati saya ada perasaan
bahwa ini pasti kebaikan yang akan muncul di tempat ini.'' Manshur Salbu dan Dadang
Kusmayadi dalam Suara Hidayatullah

C. Visi dan Misi

Ajaran agama merupakan cara paling efektif untuk membentuk watak


kepribadian seseorang agar kelak menjadi menjadi generasi idaman. Untuk membawa
agama berperan dalam pembentukan watak kepribadian seseorang diperlukan
penyampaian informasi secara benar dan pelibatan langsug pelaksanaan agama dalam
kehidupan sehari-hari dibimbing oleh tokoh, anutan serta situasi lingkungan yang
mendukung.
Demi terciptanya situasi lingkungan yang mendukung, diperlukan lokasi yang
memadai, lengkap dengan sarana parasarana serta diramaikan dan dihidupkan oleh
masyarakat yang islami. Tatanan kehidupan yang islami itulah yang akan menjadi

15
perangkat pendidikan paling penting dan mendasar dalam penerapan dan
penyelenggaraan pendidikan pada lembaga ini.
Kesadaran akan keterbatasan kemampuan yangtak sebanding dengan cita-cita
dan tanggung jawab yang begitu tinggi, akan melahirkan sikap dan pendirian tentang
mutlaknya bantuan Allah dalam mencapai cita-cita tersebut. Karenanya sangat
diutamakan pelaksanaan ibadah sebaik mungkin, penerapan syari’ah semaksimal
mungkin serta usaha dan kerja keras sebagai jihad habis-habisan dalam satu jamah
sehidup semati yang saling mencintai.
Kenyataan hidup yang berada di luar jangkauan akal, serba aneh dan
mengherankan, serta fantastis namun merupakan fakta, akhirnya akan menambah
keyakinan akan kekuasaan Allah.
Dari pandangan seperti itu pada saatnya, setiap pengambilan keputusan tidak
semata-semata didasarkan pada penilaian rasio semata, tapi juga didasarkan pada
bantuan dan bimbingan Allah melalui proses penterjemaham kasus sebagai kode dan
bahasa ilhami dari Allah SWT.
Visi
- Tegaknya Kalimah Tauhid “Laa ilaaha illallah” di muka bumi
- Terlaksananya syari’ah Islam oleh segenap kaum Muslimin
- Terwujudnya kekuatan ummat Islam dalam berbagai bidang kehidupan
- Lahirnya kader-kader Mujahid
- Meningkatnya harkat, derajat dan martabat kaum dhu’afa (lemah) dan
mustadh’afin (tertindas)
Misi
- Mengambil peran secara efektif dalam melaksanakan proses pembaharuan
(tajdid) di bidang falsafah pemikiran Islam sebagai dasar bagi pembangunan
peradaban Islami di masa depan
- Menyiapkan konsep dan strategi perjuangan secara tepat
- Menyiapkan dan membangun organisasi-organisasi dakwah, pendidikan, sosial,
politik, kepemudaan, kewanitaan dan lain-lain yang kuat, solid, modern dan
profesional
- Mengusahakan dan mendorong upaya-upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia

16
D. Program-Program

Secara umum program pesantren Hidayatullah bergerak di tiga bidang besar


yaitu program dakwah, pendidikan, dan sosial. Disamping ketiga program tersebut juga
ada program pemberdayaan ekonomi. Dalam pembahasan program Hidayatullah di
bawah ini akan dibagi menjadi dua kelompok besar program yaitu pertama program
pada awal berdirinya dan kedua program pengembangan yang disesuaikan dengan
kebutuhan lembaga. Program-program tersebut kemudian dijabarkan dalam bentuk
kegiatan-kegiatan aplikatif yang akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.

1. Program Dakwah
Dalam arti luas, dakwah adalah upaya yang dilakukan secara sistematis dan
terprogram guna mengajak manusia meniti jalan Tuhan. Merujuk pengertian ini, maka
dakwah di pesantren Hidayatullah bukan sekedar berceramah di atas mimbar. Cakupan
dakwahnya lebih luas, baik bil lisan, bil-qolam, maupun bil-hal.
Dakwah bil-lisan dilakukan dalam bentuk pengiriman juru dakwah memenuhi
undangan ceramah, khutbah jum’at, dan sejumlah pengajian di majlis ta’lim. Juga
training-training pelajar dan mahasiswadi selal-sela masa liburan.
Dakwah bilqalam, diselenggarakan dengan menerbitkan majalah bulanan “Suara
Hidayatullah” yang sampai sekarang bertiras 100.000 eksemplar, lembar Jum’at Al
Qalam bertiras 125.000 eksemplar setiap Jum’at dan “homepage Hidayatullah” di
Internet. Telah terbit juga buletin pesantren dan lembaran-lembaran lepasa lainnya (data
tahun 1998).
Dakwah bil-hal diwujudkan dalam bentuk pendirian kampus-kampus mini di
setiap provinsi dan kabupaten. Di sini masalah sosial, ekonomi, budaya, dan teknologi
menjadi alat dakwah yang efektif sekali. Adapun kegiatan dakwah yang menonjol
diantaranya, Bina Salam, KDI (Kuliah Dinul Islam), LMD (Latihan Mujahid Dakwah),
wisata ruhani, PBQ (Pemberantasan Buta-huruf Al Qur’an), dan pengiriman da’i.
a. Bina Salam
Kegiatan ini ditujukan kepada keluarga muslim yang ingin belajar agama Islam secara
privat, baik untuk putra-putrinya maupun ibu bapaknya sendiri. Selain pelajaran Al

17
Qur’an yang wajib diikuti, peserta juga bisa memilih pelajaran umum seperti
matematika, fisika, kimia, bahasa inggris dan lain-lain.
b. KDI (Kuliah Dinul Islam)
Program ini seperti lembaga kursus, dirancang untuk memenuhi permintaan masyarakat
yang ingin belajar Islam secara sistematis dan terprogram. Ada empat paket yang
disiapkan. Masing-masing paket membutuhkan waktu satu semester. Untuk mengikuti
semester lanjutan diharuskan lulus paket sebelumnya.
c. LMD (Lembaga Mujahid Dakwah)
Kegiatan ini dikhususkan bagi mereka yang berminat mengembangkan dakwah bil-
lisan. Mereka biasanya terdiri dari aktifis Masjid, pembina majlis ta’lim, penggerak
kampus, dan aktifis kegiatan keislaman lainnya. Selama sepuluh hari mereka
digembleng untuk selanjutnya diterjunkan ke masyarakat.
d. Wisata Ruhani
Untuk mengisi liburan sekolah, pesantren Hidayatullah menyiapkan paket wisata
ruhani. Kegiatan ini lebih bersifat praktis, berupa sosialisasi nilai-nilai keislaman
melalui berbagai acara edukatif yang bernuansa rekreatif.
e. PBQ (Pemberantasan Buta-huruf Al Qur’an)
Dengan sistim kilat, masyarakat yang belum bisa membaca Al Qur’an diajar untuk
melek huruf Al Qur’an. Insya Allah dalam waktu sehari mereka yang belum bisa sama
sekali akhirnya bisa membaca. Untuk melancarkannya akan dilatih secara intensif,
khususnya dalam hal makhraj huruf dan tajwid.
f. Pengiriman Da’i
Secara sistematis dan terencana, pesantren Hidayatullah mengirimkan tenaga da’I setiap
tahun ke daerah-daerah potensial. Tugas mereka tidak sekedar berceramah, tapi juga
mendidirkan cabang di daerah tugas masing-masing.
g. Pengembangan Program Dakwah
Program utama Hidayatullah adalah dakwah dan tarbiyah. Sejak awal
perlangkahannya, Hidayatullah telah melakukan pengiriman santri untuk berdakwah
sebagai bagian dari proses tarbiyah. Keberadaan Hidayatullah di berbagai tempat adalah
upaya untuk membangun jaringan dakwah yang luas dan mampu menyentuh dan
melayani seluruh lapisan ummat. Hidayatullah berupaya memposisikan da’i sebagai
missionaris of Islam sehingga sosok da’i adalah sosok yang memiliki karakteristik

18
unggul dan militan serta mempunyai potensi untuk membangun peradaban yang
seimbang antara duniawi dan ukhrawi.
Sejak 1978 Hidayatullah melakukan pengiriman da’i ke seluruh Indonesia.
Hidayatullah berupaya meningkatkan kualitas da’i dengan mendirikan Sekolah Tinggi
Agama Islam Lukman Al Hakim (STAIL) di Surabaya dan Sekolah Tinggi Ilmu
Syariah Hidayatullah (STIS Hidayatullah) di Balikpapan sebagai lembaga pendidikan
untuk pengkaderan da’i. Oleh karena profesi da’i lebih cenderung kepada pengabdian
maka Hidayatullah memberikan beasiswa penuh (biaya pendidikan dan biaya hidup)
bagi mahasiswa STAIL dan STIS dengan pola ikatan dinas. Dengan cara seperti ini
diharapkan dapat dihasilkan da’i dengan kualifikasi strata satu (S1) bidang pendidikan
(tarbiyah), dakwah dan syariah yang mempunyai jiwa militan, bersedia ditugaskan di
seluruh Indonesia, diharapkan bisa menetap secara permanen, diberi tunjangan
maksimal hingga 3 tahun atau sampai mereka mampu menjadi pelaku ekonomi di
tempatnya berada.
Mulai tahun 1998 lembaga pendidikan kader da’i ini telah menghasilkan lulusan
dan telah mengirimkan da’i ke berbagai daerah terutama Indonesia Bagian Timur dan
Tengah. Setidaknya setiap tahun, Hidayatullah mengirimkan 150 da’i ke berbagai
daerah di Indonesia dengan 50 di antaranya adalah lulusan strata satu dari lembaga
pendidikan kader da’i.

2. Program Pendidikan
Diantara tiga program utama, lembaga pendidikan merupakan prioritas pertama.
Hampir semua program kegiatan diarahkan untuk menunjang proses pendidikan. Hal ini
jelas, karena pendidikan merupakan kuncipaling penting dalam pembentukan generasi
dan penentuan masa depan. Kegiatan pendidikan dibagi dalam tiga kelompok yaitu
pendidikan informal, pendidikan formal, dan pendidikan non-formal.
a. Pendidikan Informal.
Semua jenjang pendidikan diselenggarakan dengan sistem boarding school,
kecuali SD dengan sistem Full-day scholl, dan Play Group-TK dengan sistem biasa.
Dengan cara ini pendidikan informal yang tujuan pokonya adalah pembentukan sikap
mental dapat dilaksanakan lebih intensif, dengan hasil yang optimal.

19
Pembentukan sikap ini dilakukan dengan dua cara, yaitu transfer ilmu
pengetahuan Islam dengan metode klasikal dan transfer nilai. Dalam hal ilmu, para
santri sesuai tingkatan pengetahuannya dimasukkan dalam kelas-kelas yang
mengajarkan ilmu agama. Meskipun sifatnya informal tapi tetap ada evaluasi dan ujian
kenaikan.
Dalam transfer nilai yang justru lebih penting dilakukan melalui penciptaan
suasana kampus yang dirancang khusus guna memenuhi standar ilmiah, alamiah, dan
islamiyah. Diharapkan nilai-nilai Islam lebih mudah diserap oleh semua santri lewat
kehidupannya sehari-hari.
Di kampus ini (hidayatullah), baik jadwal kegiatan maupun tata bangunannya
dirancang sesuai dengan syariat Islam. Waktu jeda disesuaikan dengan waktu-waktu
shalat sehingga seluruh santri bisa mengikuti shalat secara berjama’ah. Itu sekaligus
sebagai salah satu sarana membangun kedisiplinan dan keterpautan hati dengan Allah
SWT. Nilai-nilai taqwa mudah tertanam melalui aktivitas ini.
Pemisahan santri putra dan putri juga merupakan nilai pendidikan tersendiri. Hal
ini disebabkan materi dan sistem pembinaannya agak berbeda. Diharapkan dengan cara
ini, pertumbuhan dan perkembangan jiwa mereka berjalan dengan baik sesuai dengan
fithrahnya.
Kedekatan hubungan guru dengan santri merupakan faktor penting dalam
pendidikan. Selama 24 jam para santri berada dalam bimbingan dan arahan guru yang
tinggal bersama dalam satu lingkungan. Dengan demikian seluruh kegiatan santri
terkendali dan terpusat pada kegiatan yang bersifat edukatif.
b. Pendidikan Formal
Sebelum tahun 1992, pendidikan formal di pesantren Hidayatullah statusnya swasta
murni. Kebijaksanaan ini diambil karena melihat realitas yang sangat terbatas. Sarana
dan prasarana sangat terbatas, jumlah santri yang masih sedikit, ditambah lagi tingkat
pendidikan santri yang sangat bervariasi. Meskipun demikian, bagi santri yang ingin
mendapatkan ijazah, dipersilahkan mengikuti ujian persamaan.
Setelah sarana dan prasarana dianggap mencukupi, didukung tenaga guru yang
memadai, serta faktor-faktor penunjang pendidikan lainnya yang representatif, maka
pendidikan formal di pesantren Hidayatullah mengacu pada depdikbud, yaitu dengan
membuka kelas SD, SMP, dan SMA. Pada tahun yang sama juga dibuka perguruan

20
Tinggi Khusus bidang tafaqquh fiddin. Status PT ini swasta murni. Tidak berafiliasi ke
Depag maupun Depdikbud.
Untuk Play-Group dan TK sejak berdirinya telah dibuka untuk umum. Adapun
SD baru dibuka untuk umum mulai tahun 1996 dengan sistem full-day school. SMP dan
SMU dibuka untuk umum mulai tahun 1995, dengan sistem boarding school.
Dalam upaya menyempurnakan pola pendidikan formal Hidayatullah, maka
pada bulan April 1997 telah dibuka Sekolah Integral Luqman AL Hakim di Surabaya.
Sekolah ini merupakan sekolah unggulan setingkat SD, SMP, dan SMU yang akan
dikembangkan pula di Jakarta.
c. Pendidikan Non-Formal
Pendidikan ini meliputi semua kegiatan ekstra kurikuler dan kursus-kursus di
luar jam pelajaran sekolah. Kegiatan itu meliputi ; a). Diklat (pendidikan dan latihan),
ada empat jenis kegiatan disini yaitu : diklat manajemen, diklat administrasi, diklat
komputer, dan diklat keterampilan. b). Aktifitas laboratorium bahasa. Ada dua bahasa
asing yang dikembangkan di pesantren, yaitu bahasa arab dan bahasa inggris. c). Olah
raga. Hampir semua jenis olah raga dikembangkan, utamanya olah raga bela diri.
Setidaknya ada tiga jenis olah raga bela diri yaitu silat, karate, dan kajian tenaga dalam.
Olah raga lain meliputi sepak bola, bola volley, bulu tangkis, dan senam kesegaran
jasmani. d). Pramuka, semua santri mulai tingkat SD sampai SMU adalah anggota
pramuka.
d. Pengembangan Program Pendidikan
Dalam tahapan 25 tahun kedua Hidayatullah, pendidikan mempunyai peranan
yang sangat sentral dan strategis, terutama jika dikaitkan dengan upaya peningkatan
mutu sumber daya manusia. Karena hanya dengan sumber daya manusia yang
berkualitaslah akan tercipta peningkatan harkat dan martabat manusia dan sosialisasi
nilai-nilai Islam.
Sumber daya manusia yang berkualitas menurut terminologi Islam adalah
manusia yang mampu memfungsikan segala potensi fikir dan potensi dzikir dalam
dirinya secara seimbang sehingga segala penguasaan ilmu, penguasaan teknologi dan
keahliannya memberi manfaat bagi dirinya, lingkungannya dan dunia pada umumnya.
Oleh karena itu, pengembangan sumber daya manusia harus ditekankan pada prinsip-
prinsip ketauhidan dan akhlakul karimah tanpa menafikan harkat intelektualitas.

21
Bertolak dari pemikiran di atas, Hidayatullah memperkenalkan konsep
pendidikan Islam integral dan diimplementasikan dalam pengelolaan sekolah-sekolah
Hidayatullah sejak dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi. Istilah
integral menunjukkan satu kesatuan dari seluruh unsur pendidikan yang ada, baik iman
dan taqwa maupun ilmu pengetahuan dan teknologi, sekolah dan masyarakat, formal
maupun non formal, dan sebagainya.
Lembaga Pendidikan Hidayatullah meliputi Taman Kanak-Kanak dan Play
Group, Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah di hampir semua Daerah, Sekolah
Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah
Aliyah setidaknya ada di setiap Wilayah dan 3 perguruan tinggi di Surabaya,
Balikpapan dan Depok.
Selain Sekolah Tinggi Agama Islam Lukman Al Hakim di Surabaya dan
Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Hidayatullah Balikpapan sebagai lembaga pendidikan
untuk pengkaderan da’i, Hidayatullah tengah merintis Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen
Hidayatullah di Depok yang diharapkan dapat menghasilkan lulusan-lulusan yang dapat
mengelola amal-amal usaha Hidayatullah termasuk usaha-usaha ekonomi.

3. Program Sosial
Kepedulian terhadap masalah-masalah sosial merupakan komitmen pesantren
ini. Itulah sebabnya penanganan masalah sosial merupakan salah satu program utama.
Di antara masalah sosial yang strategis adalah penanganan anak yatim piatu dan tidak
mampu (terlantar). Mereka adalah anak masa depan yang terabaikan, padahal mereka
juga menyimpan potensi yang cukup besar.
Nilai strategis pelayanan kepada anak yatim piatu dan tidak mampu ini terletak
pada pemutusan mata rantai kemiskinan dan kebodohan. Karena tidak punya orang tua
atau orang tuanya miskin, mereka tak mendapatkan kesempatan belajar. Karena tidak
bisa belajar, mereka menjadi bodoh. Karena bodoh mereka akhirnya menjadi miskin.
Mata rantai inilah yang harus diputus. Cara yang paling efektif adalah dengan
memberikan layanan yang memadai kepada mereka.
Berikut ini gambaran layanan sosial yang diberikan hidayatullah kepada anak-anak
yatim piatu dan tidak mampu.

22
Sejak berdirinya sampai tahun 1994 pola pelayanan anak yatim piatu dan tidak
mampu disatukan dalam asrama, baik yang usia SD, SMP, maupun SMA. Melalui
pengkajian yang mendalam berdasarkan pengalaman yang cukup, maka akhirnya
diambil kebijakan baru bahwa anank-anak yatim usia SD tidak lagi diasramakan, tapi
dirumahtanggakan. Artinya mereka dititipkan di rumah tangga – rumah tangga.
Pertimbangannya agar mereka mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup.
Dari tahun ke tahun pelayanan kepada anak yatim piatu dan kurang mampu terus
ditingkatkan, baik dalam aspek materi, mental keperibadian, maupun pendidikan.
Dalam usaha memenuhi kebutuhan rutin keseharian mereka, pesantren telah
bekerjasama dengan lembaga-lembaga sosial lain, seperti yayasan dharmais, lembaga-
lembaga pemberi beasiswa, dan gerakan Nasional Orang Tua Asuh (Profil pesantren
hidayatullah, hal 7).
Sampai penelitian ini dilakukan kegiatan sosial yang dilakukan pesantren
hidayatullah masih berjalan, namun dalam berbagai bentuk atau format program dan
kegiatan yang beragam. Diantaranya, pertama program Beasiswa Pendidikan Dhuafa
(BPD), program ini dibentuk dengan tujuan untuk melayani masyarakat yang memiliki
putra/putri berprestasi namun tidak mampu melanjutkan pendidikan anaknya ke jenjang
yang lebih tinggi. Kedua, program penyantunan janda, orang tua jompu, sakit menahun
yang perlu dioperasi, dan lain lain. Ketiga, program bantuan usaha, memberikan modal
usaha pada masyarakat dhuafa yang membutuhkan.

4. Program Ekonomi
Sudah disadari sejak awal bahwa masalah ekonomi merupakan bidang strategis
yang harus mendapatkan perhatian penuh. Semua kegiatan akan berjalan dengan baik
manakala tersedia dana yang cukup.
Lebih jauh target ekonomi pesantren bukan sekedar memenuhi kebutuhan
organisasi, tapi menyangkut pula pembinaan ekonomi umat. Bidang-bidang strategis
yang terkait langsung dengan ekonomi keummatan mendapat perhatian yang besar.
Bahkan diharapkan pesantren bisa membangun dan mengembangkan sistem ekonomi
keummatan yang kuat.

23
Unit-unit usaha Pesantren yang ada saat ini bergerak dalam sektor : industri,
perdagangan, penerbitan, transportasi dan travel, jasa konstruksi, jasa distribusi, jasa
pelayanan haji, dan keuangan.
Pembentukan unit-unit usaha pada awalnya dikonsentrasikan dalam kegiatan
usaha yang mudah dilaksanakan, modal tidak terlalu besar dan beresiko kecil. Hal ini
dimaksudkan sebagai ajang uju coba sekaligus wahana belajar bagi warga pesantren
yang telah dibekali dengan pelatihan khusus. Pada gilirannya, kegiatan unit usaha ini
akan dikembangkan sebagai unit usaha strategis (Strategic Bussiness Unit) disingkat
SBU yang mengkonsentrasikan kegiatan usahanya pada produk-produk unggulan.
Perintisan SBU yang telah membuahkan hasil diantaranya adalah percetakan
Jayamadina yang kegiatan utamanya sangat mendukung program dakwah berupa
penerbitan majalah Suara Hidayatullah dan terbitan rutin Lembar Jumat Al Qolam.
Di Bidang konstruksi, perintisan SBU yang telah membuahkan hasil adalah PT.
Citra Cipta Madina. Selain sebagai kontraktor, perusahaan ini juga telah merambah
bisnis real estate dengan beberapa proyrk di pulau jawa.
Di Bidang distribusi PT. Citra Niaga Amanah, kini menjadi distributor tunggal
beberapa produk kosmetik. Obsesi perusahaan ini adalah mendistribusikan semua jenis
produk dari perusahaan-perusahaan umat Islam, agar rantai bisnis keummatan semakin
lancar.
Di bidang jasa pelayanan haji, Semesta Tour dan IntanTour merupakan dua
perusahaan pesantren yang menangani keperluan haji dan umroh sejak 1994. Animo
dari masyarakat terhadap layanan haji pesantren tak dipungkiri lagi, memang cukup
besar. Apalagi sistem yang diterapkan adalah haji dengan cara tapak tilas perjuangan
nabi. Cara ini sedikit berbeda dengan haji biasa, karena beberapa hal yang dulu
dilakukan nabi akan tetap dipertahankan sebagai sarana kesempurnaan ibadah. Semesta
Tour dan Intan Tour telah membuka cabangnya di lima kota embarkasi, termasuk
Balikpapan.
Di bidang keuangan, telah beridiri Baitul Maal wat-Tamwil (BMT) Mashraf Al-
Madina dan Al-Kautsar yang secara legal menampung dan menyalurkan dana umat
untuk kegiatan produktif, dengan sistem syari’ah yang bebas bunga.
Rintisan-rintisan yang dilakukan Pesantren Hidayatullah dalam bidang usaha,
selain mempertimbangkan faktor peluang, juga tidak meninggalkan unsur strategisnya

24
bagi pengembangan dakwah. Artinya, bidang yang punya potensi dan vital bagi umat,
itulah yang pertama kali menjadi perhatian. Baru kemudian pengembangannya lebih
ditujukan pada pencarian keuntungan murni (Profil Hidayatullah, hal. 10-12).
Dalam perjalanannya beberapa kegiatan di bidang ekonomi seperti yang
diuraikan di atas sampai saat ini tidak semuanya bisa eksis dan bertahan, hal ini
disebabkan beberapa faktor diantaranya, adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia
tahun 1998 cukup berpengaruh terhadap eksistensi bidang usaha yang sudah berjalan,
faktor lain adalah SDM dan modal usaha yang kurang memadai.

25

Anda mungkin juga menyukai