Definisi
Distress pernafasan adalah suatu keadaan sistem respirasi melakukan kompensasi untuk
memperbaiki pertukaran gas yang menurun dalam paru serta mempertahankan oksigenasi dan
ventilasi.
Gagal nafas adalah suatu sindrom dimana sistem respirasi gagal untuk melakukan
pertukaran gas yaitu oksigenasi dan pengeluaran karbondioksida. Gagal napas dapat terjadi
secara akut atau kronis. Gagal nafas akut adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa dimana
analisa gas darah arterial dan status asam basa berada dalam batas yang membahayakan. Gagal
nafas kronik terjadi secara perlahan dan gejalanya kurang jelas.
Adanya kegagalan pernafasan dinyatakan apabila paru-paru tidak dapat lagi memenuhi
fungsi primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteri dan pembuangan
karbondioksida. Ada beberapa tingkatan dari gagal pernafasan, dan dapat terjadi secara akut atau
secara kronik. Kegagalan pernafasan kronik menyatakan gangguan fungsional jangka panjang
yang menetap selama beberapa hari atau bulan dan mencerminkan adanya proses patologis yang
mengarah kepada kegagalan dan proses komplikasi untuk menstabilkan keadaan. Gas-gas dalam
darah dapat sedikit abnormal atau dalam batas normal pada saat istirahat, tetapi dalam keadaan
di mana kebutuhan meningkat seperti pada sewaktu latihan maka gas-gas darah dapat jauh dari
batas normal. Peningkatan kerja pernafasan mengurangi cadangan pernafasan dan pengurangan
aktivitas fisik adalah dua mekanisme utama untuk mengatasi insufisiensi pernafasan kronik.
Kegagalan pernafasan akut secara numerik didefinisikan bila PaO2 50 sampai 60
mmHg atau dengan kadar CO2 50 mmHg dalam keadaan istirahat pada ketinggian permukaan
laut. Alasan pemakaian definisi numerik berdasarkan gas-gas darah ini karena batas antara
insufisiensi pernafasan kronik dan kegagalan pernafasan tidak jelas dan tidak bisa berdasarkan
observasi klinis saja. Sebaliknya, harus diingat bahwa definisi berdasarkan gas-gas darah ini
tidak bersifat absolut. Makna dari angka-angka ini tergantung dari riwayat penyakit terdahulu.
Orang yang sebelumnya dalam keadaan sehat yang kemudian mengalami kelainan gas-gas darah
setelah mengalami kecelakaan hampir tenggelam dapat diperkirakan akan jatuh ke dalam
keadaan koma, sedangkan penderita PPOM dapat melakukan kegiatan fisik dalam batas tertentu
seperti dalam keadaaan gas darah yang sama.
Untuk lebih dapat memahami mengenai patofisiologi gagal nafas, terlebih dahulu akan
dijelaskan mengenai anatomi dan fisiologi pernapasan.
Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan
Saluran Pernafasan
Saluran pernafasan terdiri dari hidung, faring, laring, trakea bronkus, bronkus lobaris,
bronkus segmentalis, bronkiolus terminalis. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang
merupakan unit fungsional paru-paru. Asinus terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus
alveolaris dan saccus alveolaris terminalis.
Otot-otot Pernafasan
Otototot pernafasan terdiri dari otot inspirasi dan otot ekspirasi. Otot pernafasan
inspirasi terdiri dari diafragma, m.intercostalis externa dan otot pernafasan tambahan
(m.scalenus dan m.sternocleidomastoideus). Otot pernafasan ekspirasi terdiri dari otot dinding
perut (m. rectus abdominis, m.obliqus internus dan externus m.transversus abdominis) dan
m.intercostalis interna. Otot pernafasan ekspirasi baru akan bekerja bila terdapat gangguan
pernafasan.
Fungsi utama paru-paru dan dada adalah mengantarkan oksigen yang dihirup dari udara
ke dalam aliran darah dan secara bersamaan menghilangkan karbon dioksida dari darah
(pertukaran gas). Respirasi primer terjadi di unit terkecil paru-paru yaitu alveoli, dimana terjadi
pertukaran antara oksigen dan karbondioksida di alveoli dengan gas tersebut di darah. Kegiatan
bernapas terjadi dalam 3 proses yaitu (1). Transper oksigen ke dalam alveolus, (2). Transpor
oksigen ke jaringan dan (3). Pengeluaran karbondioksida dari darah ke lingkungan.
Setelah berdifusi ke dalam darah, oksigen akan berikatan dengan hemoglobin. Setiap
satu molekul hemoglobin mempunyai 4 tempat untuk berikatan dengan molekul oksigen, 1 g
hemoglobin dapat mengikat 1,38 mL oksigen. Jumlah oksigen yang berikatan dengan
hemoglobin tergantung dari PaO2 di dalam darah. Karbondioksida ditranspor dalam 3 bentuk
yaitu bentuk solusi sederhana, sebagai bikarbonat dan kombinasi dengan protein hemoglobin
(karbamino).
Aliran darah dan ventilasi akan selalu sesuai satu sama lain selama pertukaran gas yang
ideal, sehingga tercipta perbedaan gradien PaO2. Tidak semua alveoli diperfusi dan diventilasi
secara sempurna walaupun pada paru-paru yang normal. Beberapa alveoli akan underventilasi
dan lainnya kan overventilasi agar terjadi perfusi. Demikian jika terjadi ventilasi alveolar maka
beberapa alveoli akan ada yang underperfusi dan lainnya overperfusi. Keadaan ventilasi optimal
tetapi tidak ada perfusi disebut tinggi unit V/Q (dead space) dan perfusi optimal tanpa ventilasi
yang cukup disebut rendah unit V/Q (shunt).
Jumlah karbondioksida yang diproduksi pada kedaan stabil selalu konstan dan sesuai
dengan jumlah karbondioksida yang dikeluarkan oleh paru-paru
[PaCO 2 = VCO2 x
0,862/Va]. Efisiensi pernapasan oleh paru-paru dapat dievaluasi dengan mengukur perbedaan
PaO2 arteri-alveolar, yaitu dengan persamaan:
PaO2 = FIO2 x (PB-PH2O) - PaCO2/R
PaO2 : Tekanan O2 di alveolar
FIO2
PB
: tekanan barometrik
: rasio pertukaran napas, tergantung dari konsumsi oksigen dan produksi karbondioksida,
pusat kemoreseptor dan pusat pernafasan terhadap tekanan parsial karbondioksida (PaCO 2) dan
pH darah arteri. Peningkatan PaCO 2 atau penurunan pH merangsang pernafasan. Penurunan
parsial tekanan oksigen dalam darah arterial (PaO2) dapat juga merangsang ventilasi melalui
kemoreseptor perifer yang terdapat dalam badan karotis pada percabangan a.carotis comunis dan
dalam badan aorta dalam lengkung aorta. Akan tetapi PaO2 harus turun dari tingkat normal
sebesar 90-100 mmHg hingga mencapai sekitar 60 mmHg sebelum ventilasi mendapat
rangsangan yang cukup berarti.
jaringan interstitial dan daerah kapiler alveolar. Sedangkan ekstrapulmoner berupa kelainan pada
pusat nafas, neuromuskular, pleura maupun saluran nafas atas.
Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas merupakan hal yang sangat penting di
dalam hal penatalaksanaannya nanti. Secara umum terdapat 4 dasar mekanisme gangguan
pertukaran gas pada sistem respirasi, yaitu :
1. Hipoventilasi
2. Right to left shunting of blood
3. Gangguan difusi
4. Ventilation/perfusion mismatch, V/Q mismatch
Gambar 6 Unit pirau, tidak ada ventilasi tetapi perfusi normal, sehingga perfusi
terbuang sia-sia (V/Q=0)
Dari keempat mekanisme di atas, kelainan extrapulmoner menyebabkan hipoventilasi
sedangkan kelainan intrapulmoner dapat meliputi seluruh mekanisme tersebut.
10
Sesuai patofisiologinya gagal nafas dapat dibedakan dalam 2 bentuk yaitu hipoksemik
atau kegagalan oksigenasi dan hiperkapnik atau kegagalan ventilasi.
1. Kegagalan Oksigenasi (Gagal Nafas Tipe I/Hipoksemik)
Gagal nafas tipe I adalah kegagalan paru untuk mengoksigenasi darah, ditandai dengan
PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau menurun. Gagal nafas tipe I ini terjadi pada kelainan
pulmoner dan tidak disebabkan oleh kelainan ekstrapulmoner. Mekanisme terjadinya hipoksemia
terutama terjadi akibat :
-
Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch), terjadi bila darah mengalir ke bagian paru
yang ventilasinya buruk atau rendah. Keadaan ini paling sering. Contohnya adalah posisi
(terlentang di tempat tidur), ARDS, atelektasis, pneumonia, emboli paru, displasia
bronkopulmonal.
Gangguan difusi yang disebabkan oleh penebalan membran alveolar atau pembentukan
cairan interstitial pada sambungan alveolar-kapiler. Contohnya adalah edema paru,
ARDS, pneumonia interstitial.
Pirau intrapulmonal yang terjadi bila aliran darah melalui area paru-paru yang tidak
pernah mengalami ventilasi. Contohnya adalah malvormasi arterio-vena paru,
malvormasi adenomatoid kongenital.
Penderita dengan gagal nafas tipe hipoksik dapat dibagi ke dalam: gangguan pulmoner
non spesifik akut (ARDS), penyakit paru spesifik akut, dan penyakit paru progresif kronik.
1. Gangguan pulmoner non spesifik akut
Kelainan ini sering disebut ARDS (acute respiratory distress syndrome). Beberapa nama
lain yang dipergunakan yaitu shock lung, wet lung, white lung syndrome.
ARDS dapat terjadi pada penderita dengan penyakit paru atau paru yang normal. Paling
sering terjadi mengikuti pneumonia, trauma, aspirasi cairan lambung, overload cairan,
syok, pintasan kardiopulmoner, overdosis narkotik, inhalasi asap beracun atau kelebihan
oksigen.
Berbagai penyebab dari ARDS :
a. syok karena berbagai sebab
b. infeksi: sepsis gram negative, pneumonia viral, pneumonia bacterial.
11
hematologik :
koagulasi
intravaskuler,
transfusi
masif,
post
cardiopulmonary by pass
h. gangguan metabolik : pankreatitis, uremia
i. peningkatan intrakranial, eklampsia
Letak kelainan pada sindrom ini adalah pada membran alveolar kapiler, kerusakan pada
membran alveolar kapiler, kerusakan pada membran ini akan mengakibatkan terjadinya
gangguan pengambilan oksigen dengan akibatnya terjadinya hipoksemia. Kelainan terutama
berupa peningkatan permeabilitas membran tersebut sehingga terjadi kebocoran cairan yang
mula-mula mengisi jaringan interstitial antara endotelium kapiler dan epithelium alveolar,
kemudian proses berlanjut dengan pengisian cairan di ruang alveoli.
Patofisiologi ARDS dapat dibagi menjadi 4 tahapan, yaitu: 1) pada tahap ini mulai terjadi
kerusakan membran alveolar kapiler yang menimbulkan kebocoran cairan di jaringan interstitial,
2) karena kebocoran cairan berlanjut, paru menjadi lebih kaku dan compliance (kelenturan) paru
menurun, penurunan ini akan mengakibatkan terjadi penurunan ventilasi dan perbandingan
ventilasi-perfusi menurun sehingga terjadilah hipoksemia arterial, 3) akhirnya masuk dan
mengisi ruang alveoli, ventilasi sama sekali tidak terjadi, perbandingan ventilasi-perfusi menjadi
nol, maka terjadilah shunt atau pintasan, lebih banyak ruang alveoli yang terisi, lebih berat
pintasan intrapulmoner yang terjadi, dan tekanan oksigen arterial menjadi semakin menurun, 4)
terjadi penutupan ruang jalan napas terminalis dengan akibat terjadi atelektasis, penurunan
volume paru dan akan memperberat penurunan tekanan oksigen arterial. Tekanan CO 2 arterial
tetap rendah disebabkan karena terjadi kompensasi berupa takipnea.
2. Penyakit paru spesifik akut
Termasuk dalam penyakit ini adalah pneumonia, edema paru dan atelektasis. Gangguan
fisiologis utama pada penyakit ini adalah pengisian alveoli (alveolar filling) dengan akibat
perbadingan V/Q menjadi nol. Pada pneumonia alveoli terisi material peradangan, sedangkan
12
pada edema terisi cairan transudat, dan pada kasus atelektasis tidak terjadinya ventilasi di unit
respirasi distal karena terjadinya kolaps jalan nafas.
3. Penyakit paru progresif kronik
Kelainan yang termasuk dalam kategori ini adalah fibrosis interstitial dan karsinoma
limfangitik. Keduanya jarang didapatkan pada anak-anak.
2. Kegagalan Ventilasi (Gagal Nafas Tipe II/Hiperkapnik)
Gagal nafas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO 2, pada umumnya
disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau
hiperkapnea) disertai dengan penurunan pH yang abnormal dan penurunan PaO 2 atau
hipoksemia.
Kegagalan
ventilasi
biasanya
disebabkan
oleh
hipoventilasi
karena
kelainan
stroke serebrovaskular
koma
hipotiroid
miastenia gravis
poliomielitis
Sklerosis multipel
Paralisis diafragma
13
Distrofi muskuler
Obesitas
Distensi abdominal
Efusi pleura
Obstruksi trakea
Epiglotitis
b. Pulmoner
-
asma bronkial
PPOK
fibrosis kistik
atelektasis
konsolidasi
fibrosis
edema paru
Gambaran Klinis
Manifestasi dari kegagalan pernafasan akut mencerminkan gabungan dari gambaran
klinis penyakit dasarnya, faktor-faktor pencetus, serta manifestasi hipoksemia dan hiperkapnea.
Dengan demikian gambaran klinisnya cukup bervariasi karena berbagai faktor dapat menjadi
14
pencetusnya. Ada atau tidaknya insufisiensi pernafasan kronik yang mendahuluinya, juga
merupakan faktor lain yang dapat memberikan perbedaan dalam gejala klinisnya.
Tanda dan gejala hipoksemia merupakan akibat langsung dari hipoksia jaringan. Tanda
dan gejala yang sering dicari untuk menentukan adanya hipoksemia seringkali baru timbul
setelah PaO2 mencapai 40 sampai 50 mmHg. Jaringan yang sangat peka terhadap penurunan
oksigen diantaranya adalah otak, jantung, dan paru-paru. Tanda dan gejala yang paling menonjol
adalah gejala neurologis, berupa sakit kepala, kekacauan mental, gangguan dalam penilaian,
bicara kacau, gangguan fungsi motorik, agitasi dan gelisah yang dapat berlanjut menjadi
delirium dan menjadi tidak sadar. Respons kardiovaskular yang mula-mula tehadap hipoksemia
adalah takikardi dan peningkatan curah jantung serta tekanan darah. Jika hipoksia menetap,
bradikardi, hipotensi, penurunan curah jantung dan aritmia dapat terjadi. Hipoksemia dapat
menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah paru-paru. Efek metabolik dari hipoksia
jaringan metabolisme anaerobik yang mengakibatkan asidosis metabolik. Meskipun sianosis
sering dianggap sebagai salah satu tanda hipoksia, tetapi tanda ini tidak dapat diandalkan. Gejala
klasik dispnea mungkin tidak ada, terutama bila ada penekanan pusat pernafasan seperti pada
kegagalan pernafasan akibat takar lajak narkotik.
Hiperkapnea yang tejadi dalam ruangan selalu disertai hipoksemia. Akibatnya tanda dan
gejala dari kegagalan pernafasan mencerminkan efek-efek hiperkapnea dan hipoksemia. Efek
utama dari PaCO2 yang meningkat adalah penekanan sistem s\araf pusat. Itulah sebabnya
mengapa hiperkapnea yang berat kadang-kadang disebut sebagai narkosis CO 2. Hiperkapnea
mengakibatkan vasodilatasi serebral, peningkatan aliran darah serebral, dan peningkatan tekanan
intrakranial. Akibatnya timbulnya gejala yang khas, berupa sakit kepala, yang bertambah berat
sewaktu bangun tidur pada pagi hari karena PaCO2 sedikit menigkat pada waktu tidur. Tabda dan
gejala lain adalah edema papil, iritabilitas neuromuskular, alam perasan yang berubah-ubah, dan
rasa mengantuk yang terus bertambah, yang akhirnya akan menuju koma. Meskipun
peningkatan PaCO2 merupakan rangsangan yang paling kuat untuk bernafas, tetapi juga
mempunyai efek menekan pernafasan jika kadarnya melebihi 70 mmHg. Selain itu, orang
dengan PPOM dan hiperkapnea kronik akan menjadi tidak peka terhadap peningkatan PaCO 2
dan menjadi tergantung pada dorongan hipoksia. Hiperkapnea menyebabkan konstriksi pada
pembuluh darah paru-paru, sehingga dapat memperberat hipertensi arteri pulmonalis. Jika
retensi CO2 sangat berat, maka dapat terjadi penurunan kontraktilitas miokardium, vasodilatasi
15
sistemik, gagal jantung, dan hipotensi. Hiperkapnea menyebabkan asidosis respiratorik yang
sering bercampur dengan asidosis metabolik jika terjadi hiposia. Campuran ini dapat
mengakibatkan penurunan yang serius dari pH darah. Respon kompensasi ginjal terhadap
asidosis respiratorik adalah reabsorpsi bikarbonat untuk mempertahankan pH darah tetap
normal. Respon ini memerlukan waktus ekitar 3 hari, sehingga asidosis respiratorik akan jauh
lebih berat jika awitannya cepat.
Kadar oksigen yang rendah dalam darah dapat menyebabkan sianosis. Kadar
karbondioksida yang tinggi dan penurunan dari pH darah dapat menyebabkan gangguan
kesadaran, antara lain bingung dan mengantuk. Kompensasi dari tubuh untuk mengatasi hal ini
dengan cara bernafas dengan dalam dan cepat. Namun bila keadaan paru tidak baik, usaha ini
tidak akan dapat mengatasi. Pada akhirnya keadaan kadar oksigen yang rendah menyebabkan
malfungsi otak dan jantung. Akibatnya terjadi penurunan kesadaran dan gangguan pada irama
jantung yang dapat menyebabkan kematian.
Gejala gagal nafas bervariasi tergantung dari penyebabnya. Pada anak dengan jalan nafas
yang tersumbat akibat aspirasi benda asing, terlihat megap-megap dan berusaha untuk bernafas.
Sedangkan pada keadaan intoksikasi, pasien terlihat lemah.
Penilaian klinis dari gagal nafas dapat digunakan kriteria sebagai berikut :
1. penggunaan otot pernafasan tambahan
2. takipnea
3. takikardia
4. keringat
5. pulsus paradoksus (jarang)
6. tidak dapat berbicara, keengganan untuk berbaring terlentang
7. agitasi, gelisah, penurunan kesadaran
8. gerakan nafas yang tidak sinkron*
9. respirasi paradoksal
10. respirasi alternan*
nb : tanda * menunjukkan tanda terjadinya kelelahan otot pernafasan
Penilaian Fungsi Pernafasan
16
Penilaian fungsi pernafasan tidak boleh diabaikan dalam perawatan pernafasan yang
adekuat, tidak hanya untuk keperluan mendapatkan diagnosis yang tepat tetapi juda untuk
penilaian respons terhadap pengobatan. Pemeriksaan AGD memberikan informasi yang berharga
bukan hanya untuk menentukan berat dan jenis kegagalan pernafasan tetapi juga untuk
mengenali mekanisme yang terlibat.
Suatu normogram dapat membantu untuk menentukan apakah kegagalan pernafasan
hiperkapnea timbul akut ataukronik atau apakah terjadi gangguan asam-basa campuran. Gambar
di bawah ini menunjukkan hubungan antara PaCO 2 dan pH dan perubahan-perubahan yang
terlihat pada gangguan keseimbangan asam-basa respiratorik atau metabolik. Data yang jatuh
pada pita tertentu biasanya mencerminkan gangguan primer, dan data yang jatuh di luar pita
mencerminkan gangguan campuran. Perlu ditekankan persamaan-persamaan berikut :
-
pada kegagalan pernafasan. Tiap penurunan mendadak yang berat pada ventilasi yang berakibat
retensi CO2 dalam darah akan menyebabkan asidosis respiratorik akut (C). Asidosis ini sering
diperberat oleh asidosis metabolik yang memang telah ada akibat kelebihan asam laktat yang
dihasilkan oleh hipoksia jaringan dan yang juga menimbulkan penurunan ventilasi (B)
Kompensasi ginjal terhadap peningkatan PaCO2 adalah retensi HCO3- untuk mempertahankan
pH darah tetap normal. Proses ini umumnya memerlukan waktu sekitar 3 hari. Dengan demikian
titik D menunjukkan hiperkapnea kronik yang sering ditemukan pada pasien-pasien PPOM. Titik
E dapat mencerminkan hiperkapnea akut yang sebagian terkompensasi atau campuran dari
hiperkapnea akut dan kronik yang tejadi jika seorang pasien PPOM mengalami infeksi
pernafasan. Titik F menunjukkan campuran hiperkapnea kronik dan alkalosis metabolik, yang
dapat disebabkan oleh koreksi cepat hiperkapnea dengan ventilasi buatan. Jika PaCO 2 menurun
dengan cepat pada orang asidosis respiratorik yang terkompensasi (hiperkapnea) di mana
akibatnya HCO3- menurun, maka terdapat kelebihan bikarbonat basa (alkalosis metabolik)
samapi ginjal dapat mengekskresi kelebihannya. Titik G menunjukkan hiperventilasi kronik
(alkalosis respiratorik) yang lazim dijumpai pada kegagalan pernafan hipoksemia. Titik A
menunjukkan hiperkapnea ringan. Bentuk akut dan kronik tidak dapat dibedakan kecuali nila
PaCO2 sebelumnya pasien itu diketahui.
17
Diagnosis
Diagnosis gagal napas akut atau kronik dimulai jika ada gejala klinik yang muncul.
Gejala
klinis pada gagal napas terdiri dari tanda kompensasi pernapasan yaitu takipneu,
18
paradoksus > 30 mmHg. Hasil analisa gas darah PaO2 < 60 mmHg, PaCO2 > 45 mmHg,
pH < 7,3.
Gejala dan tanda pada gagal napas tidak spesifik karena tergantung pada penyebab gagal
napas dan kondisi pasien sebelumnya seperti:
-
Edema pulmoner kardiogenik, jika ada riwayat disfungsi ventrikel kiri atau
penyakit katup jantung.
Pemeriksaan Fisik
Tanda dan gejala pada gagal napas akut tidak spesifik, tergantung dari penyakit yang
mendasarinya dan termasuk tipe hipoksemi atau hiperkapni. Gejala lokal pada paru-paru yang
menyebabkan hipoksemi akut seperti pnemonia, edema pulmoner, asma atau PPOK dapat
muncul. Pada pasien dengan sindrom distress pernapasan akut, gejala dapat muncul dari luar
thorak seperti nyeri abdomen atau patah tulang panjang. Gejala neurologis dapat muncul seperti
gelisah, lelah, bingung, kejang, bahkan koma.
Pasien akan bernapas dengan cepat dan nadi yang cepat. Penyalit paru dapat
menimbulkan suara yang berbeda pada saat auskultasi, pada asma terdapat wheezing dan
pada penyakit paru obstruktif akan terdapat crackles. Pada pasien gagal napas karena
ganguan ventilasi terjadi gasping dan penggunaan otot leher pada saat bernapas untuk
membantu pengembangan dada.
Asterixis, terjadi pada hiperkapni berat. Takikardi dan aritmia terjadi karena hipoksemi
dan asidosis.
19
Sianosis, warna kebiruan pada kulit dan membran mukosa, menujukkan terjadi
hipoksemi. Sianosis akan terlihat bila kadar hemoglobin deoksigenasi di kapiler atau
jaringan kurang dari 5 g/dL.
Dyspneu, rasa sakit bila bernapas, dapat terjadi karena usaha bernapas yang berlebihan,
reflek vagal atau rangsangan kimia (hipoksemi atau hiperkapni).
Bingung dan somnolen dapat terjadi pada gagal napas. Kejang mioklonik dapat terjadi
pada hipoksemi berat. Polisitemia dapat terjadi sebagai komplikasi jika terjadi hipoksemi yang
lama.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Analisis gas darah
Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik. Jika gejala klinis
gagal napas sudah terjadi maka analisis gas darah harus dilakukan untuk memastikan
diagnosis, membedakan gagal napas akut atau kronik. Hal ini penting untuk menilai
berat-ringannya gagal napas dan mempermudahkan pemberian terapi. Analisa gas darah
dilakukan untuk patokan terapi oksigen dan penilaian obyektif dari berat-ringan gagal
nafas. Indikator klinis yang paling sensitif untuk peningkatan kesulitan respirasi ialah
peningkatan laju pernafasan. Sedangkan kapasitas vital paru baik digunakan menilai
gangguan respirasi akibat neuromuskular, misalnya pada sindroma Guillain-Barre,
dimana kapasitas vital berkurang sejalan dengan peningkatan kelemahan. Interpretasi
hasil analisis gas darah meliputi 2 bagian, yaitu gangguan keseimbangan asam-basa dan
perubahan oksigenasi jaringan.
2. Pulse oximetry
Alat ini mengukur perubahan cahaya yang ditransmisikan melalui aliran darah
arteri yang berdenyut. Informasi yang didapatkan berupa saturasi oksigen yang kontinyu
dan non-invasif yang dapat diletakkan baik di lobus bawah telinga atau jari tangan
maupun kaki. Hasil pada keadaan perfusi perifer yang kecil, tidak akurat. Hubungan
antara saturasi oksigen dan tekanan oksigen dapat dilihat pada kurva disosiasi
oksihemoglobin. Nilai kritisnya adalah 90%, dibawah level itu maka penurunan tekanan
oksigen akan lebih menurunkan saturasi oksigen.
3. Capnography
20
Radiografi dada.
o Penting dilakukan untuk membedakan penyebab terjadinya gagal napas tetapi
kadang
sulit
untuk
membedakan
edema
pulmoiner
kardiogenik
dan
nonkardiogenik.
Ekokardiografi .
o Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas, hanya dilakukan pada
pasien dengan dugaan gagal napas akut karena penyakit jantung.
o Adanya dilatasi ventrikel kiri, pergerakan dinding dada yang abnormal atau
regurgitasi mitral berat menunjukkan edema pulmoner kardiogenik.
21
o Ukuran jantung yang normal, fungsi sistolik dan diastolic yang normal pada
pasien dengan edema pulmoner menunjukkan sindrom distress pernapasan akut.
o Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan dan tekanan arteri pulmoner
dengan tepat untuk pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik.
Penatalaksanaan
Tujuan utama dari terapi gagal nafas ialah mengembalikan pertukaran gas yang adekuat
dengan komplikasi sekecil mungkin. Penatalaksanaan awal untuk semua pasien gagal nafas
adalah sama yaitu oksigenasi yang adekuat. Pada keadaan hipoksemia pemberian terapi oksigen
sangat membantu. Namun pada keadaan hiperkarbia, penggunaan ventilasi mekanik lebih
diutamakan. Pemberian oksigen ini tentu saja memperhatikan prinsip jalan nafas, nafas, dan
sirkulasi. Sehingga diperlukan tindakan-tindakan suportif untuk membebaskan jalan nafas serta
mengusahakan pernafasan dan sirkulasi yang adekuat.
Penatalaksanaan yang efektif dari gagal nafas tergantung pada identifikasi dan
penatalaksanaan faktor-faktor yang mengganggu sistem respirasi. Misalnya menyedot kelebihan
sekret pada saluran nafas, mengobati infeksi dengan antibiotika yang efektif, meredakan
inflamasi dengan agen antiinflamasi atau imunosupresan, pemberian bronkodilator, dan lain
sebagainya. Pada keadaan gagal nafas kronik yang berat, tindakan transplantasi paru dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.
22
Penatalaksanaan standar pasien dengan gagal nafas adalah sebagai berikut : pemberian
terapi oksigen, penatalaksanaan obstruksi jalan nafas, pengobatan infeksi pulmonal, pengaturan
jumlah sekret, dan membatasi terjadinya edema pulmonal. Selain itu, beban otot pernafasan
harus dikurangi dengan meningkatkan mekanik dari paru. Koreksi abnormalitas yang dapat
menyebabkan kelemahan otot pernafasan, seperti misalnya hipofosfatemia dan malnutrisi.
Indikasi pemasangan ventilasi mekanik pada anak adalah pertukaran gas yang
memburuk. Pemasangan ventilasi mekanik penting dilakukan pada pasien pneumonia yang
mengalami hipoksemia dan hiperkarbia berat. Karena pengobatan dengan antibiotika untuk
mengatasi infeksi paru memerlukan waktu untuk memperbaiki keadaan pertukaran gasnya.
Hipoksemi sangat mengganggu fungsi organ sehingga tujuan utama terapi pada gagal
napas adalah mencegah atau memperbaiki hipoksemi jaringan. Hiperkapni tanpa hipoksemi
masih dapat ditoleransi karena tidak mengganggu perfusi jaringan kecuali ada asidosis berat.
Pasien dengan gagal napas akut harus dirawat di ruang intensif atau ruang respiratory care.
Gagal napas adalah kasus kegawatdaruratan medis sehingga penanganannya harus cepat
dan tepat. Pembukaan jalan napas dilakukan dengan pemasangan endotrakeal tube (ETT).
Pemberian oksigen dengan sungkup hidung atau wajah dilakukan untuk menghilangkan hipoksi.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan perfusi ke seluruh jaringan, terapi berhasil jika PaO 2 > 60
mmHg atau saturasi oksigen arterial (SaO2) > 90%. Pemberian oksigen akan memberikan
tekanan positif yang akan membantu usaha napas dan meringankan kerja otot pernapasan. Efek
samping pemberian oksigen adalah toksisitas oksigen dan narkosis karbondioksida. Toksisitas
oksigen tidak terjadi bila FiO2 (fraksi konsentasi oksigen di dalam udara inspirasi) <0,6.
Narkosis karbondioksida terjadi bila pasien yang mengalami hiperkapni diberi oksigen yang
menyebabkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan peningkatan dead space. PaCO 2 akan
meningkat dengan cepat kemudian terjadi asidosis respiratori, somnolen dan koma.
Pasien yang sangat sulit bernapas yang disertai dengan hiperkapni dan asidosis
respiratorik.memerlukan
ventilator
untuk
membantu
pernapasan.
Tujuannya
adalah
meningkatkan PaO2 dan menurunkan PaCO2. Tube plastik yang dimasukkan melalui hidung atau
wajah dan menuju trakea dihubungkan dengan mesin yang akan mengalirkan udara ke paruparu. Pasien dengan ventilator dapat mengalami agitasi maka perlu diberikan obat penenang
seperti lorazepam, midazolam, morfin atau fentanil.
23
Penanganan penyakit yang mendasari gagal napas perlu dilakukan dengan tepat agar
prognosis baik.
-
Pasien dengan penyakit paru karena infeksi diberikan antibiotik dan steroid seperti
metilprednisolon. Steroid dapat membantu dengan menghambat inflamasi tetapi juga
dapat melemahkan otot pernapasan.
Pasien asma diberikan obat untuk melebarkan jalan napas seperti bronkodilator yaitu
golongan beta-adrenergik, metilxantin dan antikolinergik. Obat-obatan yang termasuk
golongan tersebut adalah terbutalin (brethaire,bricanil), albuterol (proventil), teofilin
(Theo-Dur, Slo-bid, Theo-24) dan ipratropium bromida (atrovent).
Penghisapan paru untuk mengeluarkan sekret agar tidak menghambat saluran napas.
Prognosis
Hasil akhir pada pasien gagal napas sangat tergantung dari etiologi/penyakit yang
mendasarinya, serta penanganan yang cepat dan adekuat. Jika penyakit tersebut diterapi dengan
benar maka hasilnya akan baik. Jika gagal napas berkembang dengan perlahan maka dapat
timbul hipertensi pulmoner, hal ini akan lebih memperberat keadaan hipoksemi. Adanya
penyakit ginjal dan infeksi paru akan memperburuk prognosis. Terkadang transplantasi paru
diperlukan.
Pencegahan
Karena gagal napas bukan merupakan suatu penyakit tetapi merupakan hasil akhir dari
suatu penyakit maka tindakan pencegahannya adalah terapi pada penyakit yang mendasarinya.
Pasien yang telah mempunyai kelainan paru perlu menghindari terpapar oleh polutan agar tidak
terjadi infeksi. Jika telah terjadi gagal napas maka pasien harus dirawat di ruang intensif.
24
DAFTAR PUSTAKA
Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 2005. Gagal Nafas pada Anak. Dalam Pedoman Diagnosis dan
Terapi edisi 3. Bagian Ilmu Kedehatan Anak FK Unpad RSHS.
Guyton, Arthur C dan Hall, John E. 1997. Fisiologi Kedokteran edisi 9. EGC
Haddad, Gabriel G dan Fontan, Julio P. 2000. Kegagalan Pernapasan. Dalam Nelson Ilmu
Kesehatan Anak edisi 15. EGC
Rai, Ida BN. 1999. Gagal Napas Akut. Dalam Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. EGC.
Sukadi, Abdurachman, dkk. 2002. Perinatologi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad RSHS.
Wilson, Lorraine M. 1995. Patofisiologi Pernapasan. Dalam Patofisiologi edisi 4. EGC.
Wilson, Lorraina M. 1995. Kegagalan Pernafasan. Dalam Patofisiologi edisi 4. EGC.
25