Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Retardasi mental atau yang saat ini disebut disabilitas intelektual adalah
gangguan fungsi intelektual yang ditunjukkan dengan adanya defisit fungsional
pada perilaku adaptif, kemampuan sosial dan komunikasi dalam kehidupan seharihari. Pada umumnya, individu dengan retardasi mental memiliki IQ dibawah 70
(Winnepenninckx et al., 2003 ; Kabra & Gulati, 2003).
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hingga tahun 2000
diperkirakan sekitar 500 juta orang di dunia menyandang disabilitas intelektual
dan 80 persen dijumpai di negara-negara berkembang. Di Indonesia 1-3
persen penduduknya mengalami kelainan ini dengan insiden pada pria 1,5 kali
lebih banyak dibanding perempuan (Kaplan & Shadock, 2003).
Banyak faktor penyebab disabilitas intelektual yang saling mempengaruhi
dan berkesinambungan seperti malnutrisi atau obat-obatan yang dikonsumsi ibu
selama hamil, zat neurotoksik, kelahiran prematur, iskemia otak, infeksi pre- atau
post-natal, dan kelainan genetik (Chelly et al., 2006). Disabilitas intelektual yang
disebabkan oleh kelainan genetik dapat terjadi karena (i) kelainan jumlah atau
struktur kromosom yang berakibat pada hilangnya materi gen, (ii) deregulasi pada
cetakan gen atau regio genom yang spesifik, (iii) kelainan pada gen tunggal yang
dibutuhkan pada perkembangan fungsi kognitif (Chelly et al., 2006).
Sekitar dua pertiga kasus disabilitas intelektual disebabkan kelainan gen
tunggal, sedangkan kelainan kromosom yang paling sering ditemukan pada
penderita disabilitas intelektual adalah trisomi, terutama pada kromosom 13, 18,

dan 21 (trisomi 21) (Vanagaite et al., 2007). Trisomi pada umumnya dikaitkan
dengan umur ibu saat terjadi pembuahan atau kehamilan (Vanagaite et al.,2007 ;
Gulati & Wasir, 2005 ; Velagaleti et al., 2005). Trisomi 21 (sindroma Down)
merupakan kelainan jumlah kromosom 21 dengan prevalensi sekitar 1 : 700 bayi
lahir hidup. Sindroma Down dan sindroma fragile X merupakan penyebab
terbanyak disabilitas intelektual yang disebabkan kelainan genetik adalah kelainan
genetik yang paling banyak dan tersering menyebabkan disabilitas intelektual
(Willemsen et al.,2004).
Penelitian ini merupakan laporan kasus untuk mengetahui kelainan
kromosom siswa dengan disabilitas intelektual di Sekolah Luar Biasa (SLB) Alpa
Kumawa Wardhana 1.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karateristik siswa dengan disabilitas inetelektual di SLB Alpa
Kumara Wardhana 1?
2. Bagaimana analisa kromosom siswa dengan disabilitas inetelektual di SLB
Alpa Kumara Wardhana 1?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui karakteristik siswa dengan disabilitas intelektual di SLB
Alpa Kumara Wardhana 1.
2. Untuk mengetahui kromosom siswa dengan disabilitas intelektual

1.4. Manfaat Hasil Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk diagnosa molekuler dan
sebagai dasar pemberian konseling bagi orang tua.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI dan KRITERIA DISABILITAS INTELEKTUAL
Disabilitas intelektual adalah kondisi yang ditandai dengan rendahnya
kecerdasan (dengan nilai IQ di bawah 70) dan fungsi intelektual secara signifikan
berada di bawah rata-rata, pada usia di bawah 18 tahun. Disabilitas intelektual
pada umumnya disertai keterbatasan fungsi adaptasi pada dua atau lebih
kemampuan

berikut:

komunikasi,

perawatan

diri,

keterampilan

sosial/interpersonal, kehidupan di tempat tinggal, fungsi akademik, pekerjaan,


kesehatan dan keamanan, serta pemanfaatan waktu luang (Holland, 2000;
Santrock, 2007).
Disabilitas intelektual dapat dibedakan menjadi (Kaplan & Sadock, 2003;
Willy & Albert, 2009) :
1. Disabilitas intelektual ringan (IQ 50-55 sampai 70):

Disabilitas intelektual ringan mungkin tidak terdiagnosis sampai


anak memasuki usia sekolah, karena ketrampilan sosial dan komunikasi
mungkin adekuat dalam pada tahun-tahun pra sekolah. Dengan
bertambahnya usia, tampak adanya defisit kognitif tertentu seperti
kemampuan untuk berfikir abstrak dan egosentrik, membedakan dirinya
dari anak lain yang seusia. Anak dengan disabilitas intelektual ringan
mampu dalam bidang akademik dan dapat mengikuti pendidikan formal
setingkat sekolah dasar atau dapat dilatih dan didik di sekolah khusus,
namun mereka mungkin sulit dalam kemampuan asimilasi sosial, misalnya
kemampuan komunikasi, kurang percaya diri dan ketergantungan terhadap
orang lain.
2. Disabilitas Intelektual Sedang (IQ 35-40 sampai 50-55)
Disabilitas intelektual sedang dapat didiagnosis pada usia yang lebih
muda dibandingkan disabilitas inteletual ringan, karena perkembangan
yang lebih lambat. Dengan perhatian khusus secara individual anak dengan
disabilitas intelektual sedang dapat mengembangkan ketrampilannya.
3. Disabilitas Intelektual Berat (IQ 20-25 sampai 35-40)
Disabilitas Intelektual berat biasanya jelas terlihat pada tahuntahun prasekolah, dimana anak menunjukkan komunikasi dan ketrampilan
motorik yang buruk. Pada disabilitas intelektual ini anak tidak dapat
dididik dan dilatih.
4. Disabilitas Intelektual Sangat Berat (IQ dibawah 20 atau 25)
Anak dengan disabilitas intelektual sangat berat menunjukkan
ketrampilan komunikasi dan motorik yang sangat terbatas. Pada kasus ini
anak tidak dapat dididik dan tidak dapat dilatih.
2.3 EPIDEMIOLOGI APA?

Disabilitas intelektual mengenai 1,5 kali lebih banyak ditemukan pada


laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Pada umumnya, anak dengan
disabilitas intelektual yang berusia kurang dari 5 tahun seringkali tidak
terdiagnosis.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hingga tahun 2000 diperkirakan
sekitar 500 juta orang di dunia menyandang disabilitas intelektual dan 80 persen
dijumpai di negara-negara berkembang. Berdasarkan statistik (menurut American
Psychiatric Association), 2,5% dari populasi umum mengalami disabilitas
intelektual dan 85% diantaranya merupakan menunjukkan disabilitas intelektual
ringan. Data World Health Organization (WHO) menyebutkan, 2,6% dari
penduduk di negara Belanda mengalami keterbelakangan mental, di negara
Inggris sebanyak 1-8%, di negara Asia (......?) sebanyak 3%, sedangkan di
Australia 1 dari 1000 kelahiran mengalami disabilitas intelektual. Studi yang
dilakukan di Pakistan dan India menunjukkan angka kejadian disabilitas
intelektual berat sekitar 12-24 per 1000 kelahiran, sedangkan di Bangladesh
sekitar 5-9 per 1000 kelahiran (Sako, 2006; Willy & Albert, 2009). Di Indonesia
1-3 persen penduduknya mengalami disabilitas intelektual. Insiden tertinggi pada
masa anak sekolah dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun. (Kaplan & Sadock,
2003).

2.4 ETIOLOGI apa?

Studi menunjukkan etiologi disabilitas intelektual sulit ditentukan karena


banyak faktor yang berperan dalam timbulnya kondisi ini (Ahuja et al., 2005). Di
bawah ini merupakan faktor-faktor penyebab disabilitas intelektual.
2.4.1 Faktor Non Genetik
2.4.1.1 Faktor Prenatal
Beberapa penyakit dan kondisi kronis maternal dapat mempengaruhi
perkembangan sistem saraf pusat janin, seperti diabetes yang tidak terkontrol,
anemia, emfisema, hipertensi, dan pemakaian alkohol jangka panjang dan zat
narkotik. Infeksi maternal selama kehamilan: infeksi toxoplasma, rubella,
cytomegalovirus, herpes dan HIV/AIDS (TORCHA), terutama infeksi virus yang
telah diketahui menyebabkan kerusakan janin dan retardasi mental. Infeksi-infeksi
ini dapat menyebabkan cacat dan disabilitas intelektual pada janin terutama bila
terjadi pada trismester pertama kehamilan. Derajat kerusakan janin tergantung
pada variabel tertentu seperti jenis infeksi virus, usia kehamilan janin, dan
keparahan penyakit (Kaplan & Sadock, 2003 ; Rimoin & Connor, 2004).
Penyebab lainnya adalah trauma sebelum lahir, radiasi sinar-X, bahan kontrasepsi
dan usaha melakukan abortus (Willy & Albert, 2009).

2.4.1.2 Faktor Postnatal

Disabilitas intelektual juga dapat disebabkan faktor postnatal di bawah ini:


(Kaplan & Sadock, 2003)
a. Sosialkultural
Disabilitas intelektual ringan yang dapat disebabkan kekurangan stimulasi
mental (asah) dan ada hubungan dengan kelas sosial, yang diketahui pada usia
sekolah, dan tidak terdapat ditemukan kelainan fisik maupun laboratorium
b. Infeksi
Infeksi ensefalitis dan meningitis.yang dapat mempengaruhi integritas serebral.
Pada umumnya ensefalitis disebabkan oleh organisme virus, sedangkan
meningitis dapat secara serius mempengaruhi perkembangan kognitif anak.
c. Hipotiroid
Hipotiroid ditandai dengan rendahnya kadar hormon tiroid (T3 danT4) di
sirkulasi darah dan kadar TSH yang meningkat. Hormon tiroid merupakan
salah satu hormon yang sangat dibutuhkan dalam proses metabolisme serta
berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan, termasuk perkembangan otak
dan kematangan organ seks. Hipotiroid dapat menyebabkan kretinism yang
disertai dengan keterbelakangan mental dan kecacatan fisik pada anak-anak.
2.4.2 Faktor Genetik
Penyebab dari disabilitas intelektual sangat beragam, dimana faktor
genetik memiliki peran 25-50%. Faktor genetik penyebab disabilitas intelektual
adalah kelainan jumlah atau struktur kromosom dan kelainan gen tunggal.
Sindrom Down dan sindrom Fragile X adalah kelainan genetik yang paling
banyak dan tersering menyebabkan disabilitas intelektual (Willemsen et al.,2004).
2.4.2.1 Kelainan Jumlah Kromosom

Kelainan jumlah kromosom Terjadi disebabkan karena ....... gagal berpisah


(non disjunction) pada fase ............... meiosis I atau II (gambar 2.1) (Sutherland &
Gardner, 2004). Macam Kelainan jumlah kromosom dapat berupa Monosomi
(hilangnya satu kromosom pada sepasang kromosom) ; Trisomi (bertambahnya
satu kromosom) dan

Poliploidi (kelebihan set kromosom: triploidi dimana

kromosom berjumlah 69 dan tetraploidi, dimana kromosom berjumlah 92)


(Mueller, 2001). Monosomi yang berhasil lahir hidup adalah monosomi X
(sindroma Turner), dimana individunya memiliki IQ normal, sedangkan poliploidi
hanya ditemukan pada materi abortus (cari referensinya di textbook MG).

Gambar 2.1. Nondisjunction. Gagal berpisahnya kromosom homolog pada saat


meiosis I dan II (Sumber: geneticslab.wikispaces.com)

2.4.2.1.1. Trisomi
Trisomi merupakan kelainan jumlah kromosom, dimana kromosom berjumlah
21 ???? menjadi penyebab utama retardasi mental secara genetik dimana terjadi
kelainan pada jumlah kromosom 21 dengan prevalensi sekitar 1 : 700 bayi baru

lahir. Resiko kelahiran bayi dengan trisomi ini sering juga dikaitkan makin
meningkat dengan hubungan antara makin meningkatnya umur ibu dengan saat
terjadi pembuahan atau kehamilan.
a.
Trisomi 21 (Sindrom Down) merupakan salah satu kelainan genetik yang
sering terjadi dengan prevalensi kejadian bayi lahir dengan sindrom Down adalah
1 dari 800 kelahiran. Di Amerika Serikat terdapat lebih dari 400,000 orang
menderita sindrom Down, dengan jumlah kelahiran bayi yang mendapat sindroma
tersebut mencapai 3,400 bayi dalam setahun ( CDC, 2009).
Beberapa gejala klinis yang ditemui pada anak sindrom down diantaranya,
brachisefali, epikantus, lidah yang menonjol keluar, hidung datar seperti orang
Mongoloid, telinga kecil dan letak rendah, hipotonia, jari ke lima hanya dua ruas
dan melengkung, sandal gap, wajah datar, perawakan pendek. Penyandang
sindroma Down dapat disertai kelainan penyakit jantung kongenital (50-70 %),
gangguan

pendengaran

kongenital/didapat,

atresia

duodenum,

penyakit

hirschsprung, strabismus. dan gangguan jantung. Perubahan perkembangan otak


dan disabilitas intelektual selalu terjadi pada Sindrom Down dengan IQ rata-rata
adalah sekitar 50 (Liptak & Gregory, 2008).
Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down meningkat dengan
bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang hamil pada usia di
atas 35 tahun. (Beri gambar untuk menunjukkan grafiknya)

Di bawah ini karyotyping yang menunjukkan trisomi 21

Gambar 2.2. . Gambaran kariotipe anak sindrom down.


Kariotipe sindrom down. Pada gambar terlihat trisomi pada kromosom nomor 21.
Sumber: SEALS Genetics, Prince of Wales Hospital, Randwick.

Fenotip bayi dengan sindroma Down ditunjukkan pada gambar di bawah ini
(gambar 2.3)

.
Gambar 2.3. Keadaan fisik anak sindrom down
Keadaan fisik Fenotip anak penyandang sindrom Down: wajah membulat, mulut selalu
terbuka, jembatan hidung lebar dan datar, jarak lebar antar kedua matapseudohypertelorism,
kelopak mata mempunyai lipatan epikantus.

Sumber: anthro.palomar.edu

b. Sindroma Triple X (47, XXX)


Sindroma Triple X terjadi dengan insidensi 1 dari 1000 wanita. Sindrom
Triple X diakibatkan nondisjunction pada meiosis I. Wanita yang terkena
penyandang sindrom ini memiliki fisik yang normal,

Selain tetapi memiliki

perawakan yang lebih tinggi dari rata-rata,. Kesulitan belajar cenderung lebih
sering ditemukan pada kelainan ini dibandingkan dengan kelainan kromosom seks
yang lain. Pengaruh terhadap perkembangan motorik dan bahasa cukup sering
terjadi dan gangguan bahasa baik reseptif maupun ekspresif terjadi hingga saat
dewasa. Rata-rata IQ 20 poin lebih rendah dari pada individu dengan jumlah
kromosom normal. (Kingston, 2002 ; Turnpenny & Sian, 2007).

Gambar 2.4. karyotip sindroma Triple X


Kariotip sindrom triple X, dimana terdapat kromosom tambahan akibat nondisjunction
Sumber: www.glogster.com

Gambar 2.5 Keadaan Fisik Fenotip penderita sindrom Triple X


Memiliki perawakan yang lebih tinggi dari rata-rata, wanita yang terkena sindrom ini
memiliki fisik yang normal
Sumber: www.gfmer.ch/genetic_diseases_v2/gendis_detail_list.php?cat3=902

2.4.2.2 Kelainan Struktur Kromosom


Kelainan kromosom dapat timbul akibat kelainan pada proses pembelahan
sel (meiosis atau mitosis) yang dipengaruhi oleh umur ibu yang tua dan faktor
resiko yang lainnya. Mekanisme non-disjunction dan anafase lag dapat
menyebabkan kelainan jumlah kromosom, Kelainan struktur kromosom
disebabkan patahnya kromosom. yang diikuti densedangkan fenomena break and
join menghasilkan misalnya translokasi atau kesalahan ketika proses penyatuan
yang tejadi pada crossing over pada meiosis I (Amudha et al., 2005). Kelainan
struktur kromosom terdiri dari:
a) Translokasi (t):
Berpindahnya materi kromosom antara kromosom yang satu dengan lainnya.
Pertukaran ini biasanya tidak disertai dengan hilangnya DNA sehingga disebut

balanced translocation, dimana secara klinis individu tersebut terlihat normal.


Namun Meskipun demikian, pada pembawa kromosom translokasi balans akan
memberikan memiliki resiko melahirkan keturunan dengan translokasi
imbalans (tidak seimbang) yang sangat memungkinkan juga disertai hilangnya
segmen kromosom DNA. Disebut translokasi reciprocal terjadi akibat
kerusakan pada minimal 2 kromosom apabila translokasi terjadi antara
kromosom selain kromosom akrosentris,

dengan pertukaran pada masig-

masing segmen kromosom untuk membentuk kromosom derivative yang baru,


dan biasanya jumlah kromosom tetap 46 (Faradz, 2003 ; Sutherland & Gardner,
2004).
Contoh

kelainan

translokasi

robertsonian.

Mayoritas

translokasi

Robertsonian yang mengakibatkan trisomi 21 adalah mutasi yang baru.


Mereka hampir selalu berasal dari ibu dan terjadi terutama selama oogenesis
(Roizen, 2009).

Gambar 2.6. Proses Translokasi


Berpindahnya materi kromosom antara kromosom yang satu
dengan lainnya
Sumber: Dasar-Dasar Genetika 1999

b) Delesi (del) :
Hilangnya bagian dari sebuah kromosom dan berakibat pada mosomi untuk
segment kromosom tersebut. Delesi dapat terjadi pada 2 level, delesi
kromosom yang luas yang dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop.
Sedangkan mikrodelesi yang bersifat submikroskopik dapat diidentifikasi
dengan menggunakan pemeriksaan flourescent in situ hybridization (FISH) dan

pemeriksaan molekuler antara lain menggunakan analisis Multiplex Ligation


Dependent-Probe Amplification (MLPA) (Faradz, 2003).
Contoh kelainan pada delesi adalah Wolf-Hirscshorn dan Cri du Chat
syndrome. Delesi pada lengan pendek kromosom 4 dan 5, secara berturut-turut.
Namun bagaimanapun juga terdapat perbedaan, terutama pada Wolf-Hirscshorn
sindrom, terdapat korelasi yang buruk antara fenotip dengan materi kromoson
yang hilang yang ditentukan oleh analisis molekular. Gambaran klinis Cri du
Chat syndrome pada saat lahir adalah mikrosefali, keterlambatan pertumbuhan,
suara tangisan yang seperti kucing (high pitched cat-cry), penyakit jantung
kongenital dan hipotonia (Mueller & Young, 2001).

Gambar 2.7 Proses Delesi


Hilangnya bagian dari sebuah kromosom dan berakibat pada
mosomi untuk segment kromosom tersebut
Sumber: Dasar-Dasar Genetika 1999

c) Insersi : terjadi karena segmen dari salah satu kromosom


dimasukkan menyisip ke dalam kromosom yang lain (Faradz,
2003).
==============================================
d) Duplikasi (dup) : adanya dua salinan salah satu segmen kromosom
pada satu kromosom (Faradz, 2003).

Gambar 2.8 Proses Duplikasi


Sumber: Dasar-Dasar Genetika 1999

e) Inversi (inv) : terjadi akibat adanya dua patahan pada satu


kromosom yang kemudian patahan tersebut memutar terbalik 180
derajat atau bertukar posisi. Inversi parasentrik bila patahan ini
pada salah satu lengan dan tak termasuk sentromernya. Inversi
perisentrik bila patahan pada salah satu tepi dari sentromer (Faradz,
2003).

Gambar 2.9 Proses Inversi


Adanya dua patahan pada satu kromosom yang kemudian patahan
tersebut memutar terbali atau bertukar posisi
Sumber: Dasar-Dasar Genetika 1999

f) Isokromosom (i) : terjadinya delesi pada salah satu lengan


digantikan oleh duplikasi dari lengan yang lain, sehingga biasanya
lengan panjang atau lengan pendek menjadi identik (Faradz, 2003).

Gambar 2.10 Proses Isokromosom


Terjadinya delesi pada salah satu lengan digantikan oleh duplikasi
dari lengan yang lain
Sumber: Dasar-Dasar Genetika 1999

2.4.2.3 Kelainan DNA


c. Sindrom Fragile X
Disebut juga dengan sindrom Martin Bell. Penyakit diturunkan mengikuti
hukum mendel (X linked). Kasus ini biasanya diderita oleh laki-laki, dan
perempuan hanya sebagai pembawa sifat (Faradz, 2003). Prevalensi Sindrom
Fragile X kurang lebih 1: 4000 pada laki-laki dan 1 : 6000 pada wanita (Mueller
& Young, 2001).
Sindroma Fragile X pada laki-laki ditandai dengan gejala retardasi mental
dan gambaran klinik yang khas yaitu muka panjang, telinga menggantung, sendi
tangan hiperfleksi serta pembesaran testis. Secara neuropsikiatrik penderita
sindroma Fragile X menunjukkan tingkah laku hiperaktif, autism, gerakan
stereotipik, pemalu dan menolak kontak mata. Wanita karier dapat menderita
retardasi mental (1/3 kasus) atau tanpa gejala dengan atau tanpa menunjukkan
kelainan kromosom. (Hagerman, 2002)

Pada sindrom Fragile X, terjadi perluasan jumlah trinukleotida DNA CGG


repeat pada promoter gen FMR1, dimana jumlah CGG repeat pada keadaan
normal adalah antara 5-50. Perluasan CGG repeat dapat berupa premutasi (52200) atau mutasi penuh (>200). (Faradz, 2003) Mutasi penuh yang terjadi dapat
menekan ekspresi gen, sehingga menyebabkan terhentinya produksi Fragile X
Mental Retardation Protein (FMRP). Dengan tidak terproduksinya FMRP pada
keadaan ini menyebabkan kelemahan fungsi kognitif pada penderita. Pemeriksaan
sitogenetika dan genetika molekuler perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi
adanya sindrom Fragile X (Willemsen, Oostra BA, Bassell & Dictenberg, 2004).

Gambar 2.11 Keadan Fisik Sindrom Fragile X


Keadaan fisik yang paling sering ditemui pada Fragile X yaitu muka panjang dan telinga
menggantung.
Sumber: healthlineinfo.com

2.5 Diagnosis

Penting untuk kepentingan mencari penyebab atau etiologi diantaranya


kepentingan perawatan, mencegah komplikasi dan resiko terulang, serta
penampilan jangka panjang.
Analisis untuk mendiagnosa anak dengan disabilitas intelektual (Kingston,
2002) :
1. Riwayat : pedigree, kehamilan, proses kelahiran, problem-problem
perinatal, pertumbuhan dan perkembangan.
2. Pemeriksaan fisik : pengukuran anomali kongenital mayor dan minor, dan
fotograf.
3. Pemeriksaan tambahan : laboratorium, radiologi, konsultasi.
Kriteria diagnostik untuk disabilitas intelektual (Kaplan & Sadock, 2003):
1. Fungsi intelektual yang dibawah rata-rata. IQ anak disabilitas intelektual
berkisar 70 poin atau kurang pada tes IQ yang dilakukan secara individual.
2. Adanya defisit atau gangguan yang menyertai dalam fungsi adaptif (yaitu
efektivitas orang tersebut untuk memenuhi standar-standar yang dituntut
menurut usianya dalam kelompok kulturalnya) pada sekurang-kurangnya
dua bidang ketrampilan berikut : komunikasi, merawat diri sendiri di
rumah, ketrampilan sosial/interpersonal, menggunakan sarana masyarakat,
mengarahkan diri sendiri, ketrampilan akademik fungsional, pekerjaan,
liburan, kesehatan dan keamanan).

2.6 Konseling
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008), konseling berarti pemberian
bimbingan oleh orang yang ahli kepada seseorang. Bantuan yang diberikan
kepada individu yang sedang mengalami hambatan, memecahkan sesuatu melalui
pemahaman terhadap fakta, harapan, kebutuhan dan perasaan-perasaan klien.
Tujuan konseling dalam bidang disabilitas intelektual ini adalah
menentukan ada atau tidaknya disabilitas intelektual dan derajat disabilitas
intelektualnya, evaluasi mengenai sistem kekeluargaan dan pengaruh disabilitas
intelektual pada keluarga, kemungkinan penempatan di panti khusus, dan
konseling pranikah dan pranatal.

BAB III
KERANGKA TEORI
Retardasi Mental

Lingkungan

Infeksi prenatal/ postnatal/


perinatal/ trauma/
intoksikasi
Gangguan metabolik
Gangguan nutrisi/
malnutrisi

Genetik

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif
dimana peneliti melakukan pengamatan terhadap suatu kasus dengan menjelaskan
kronologi dan konteks masalah.
B. Sampel
Sampel adalah siswa di SLB yang diduga menderita disabilitas intelektual.
Jumlah sampel : 1
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa..... di Surabaya pada
tanggal..... selama kurun waktu.....

D. Penentuan Variabel Penelitian

Variabel terikat pada penelitian ini adalah karyotipe anak dengan


disabilitas intelektual

Variabel bebas pada penelitian ini adalah anak dengan disabilitas


intelektual

E. Definisi Istilah/Operasional
Disabilitas intelektual adalah suatu kondisi terhentinya atau tidak
lengkapnya perkembangan pikiran, yang terutama ditandai oleh gangguan
ketrampilan yang dimanifestasikan selama periode perkembangan, yang
mempengaruhi keseluruhan tingkat kecerdasan, yaitu kemampuan kognitif,
bahasa, motorik, dan sosial.
Karyotipe adalah sebuah tes yang menganalisis bentuk, jumlah dan ukuran
kromosom seseorang.
F. Prosedur Penelitian
Pengambilan data ini dilakukan dengan meneliti seorang siswa yang
diduga mengalami disabilitas intelektual dengan melakukan karyotyping
kromosom.

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, Ramesh, Vandana Jain, Ashok Deorari, dan Vinod Paul. 2008.
Congenital Hypothyroidism. Department of Pediatric: All India Institute of
Medical Sciences (AIIMS). NICU: New Delhi India
Ahuja AS, Thapar A, Owen MJ. 2005. Genetics of mental retardation. Indian J
Med Sci Sep 59(9): 407- 417
Amudha S, Aruna N, Rajangam S. 2005. Consanguinity and chromosomal
abnormality. Indian J Hum Genet 11: 108-110.
Chelly J, Khelfaoui M, Francis F, Cherif B, Bienvenu T. 2006. Genetics and
pathophysiology of mental retardation. European J Hum Genet. 14: 701713.
Faradz MH. Cytogenetic analysis and genetic counseling. In: Faradz MH, Juniarto
AZ, Darmana E, editors. The Indonesian course in genetic counseling.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2003.
Faradz SM. 2002. Fragile-X Mental Retardation, Autism and Related Disorders
4ed. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Greydanus DE, Pratt HD. 2005. Syndromes and disorders associated with mental
retardation. Indian J Pediatric 72;859-864.
Gulati S,Wasir V. 2005. Prevention of developmental disabilities. Indian J
Pedatrics 72; 975-978.
Hagerman RJ : the physical and behavioural phenotype. In Hagerman RJ,
Hagerman PJ (eds): Fragile X syndrome: diagnostic, treatment and
Research. Baltimore: John Hopkins University press; 2002: pp 3-109

Kabra M, Gulati S. 2003. Mental retardation. Indian J Pediatr. 70;153-158


Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, 2008, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Kay J, Tasman A. 2006. Essentials of psychiatry: mental retardation. West Sussex
(England): John Wiley and Sons; 285-93.
Kingston HM. 2002. ABC of clinical genetics. 3rd ed. London, UK. BMJ.
Liptak, Gregory S. "Down Syndrome (Trisomy 21; Trisomy G)". Merck Manual;
December 2008. Retrieved 2010-12-04. "Symptoms".
Maramis Willy F, Maramis Albert A. 2009. Retardasi mental dalam Catatan Ilmu
Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
Mueller RF, Young ID. 2001. Emery s Element Of Medical Genetics, 11th ed.
Churchill Livingstone
Rimoin OL, Connor JM. 2004. (eds): Principles and Practice of Medical Genetics.
volume 1-2, Edinburgh, Churchill livingstone
Ropers HH, Hamel BCJ. X-Linked Mental Retardation. 2005;6
Sadock BJ, Kaplan HI. 2003. Kaplan & Sadock's synopsis of psychiatry :
behavioral sciences/clinical psychiatry. Philadelphia, Pa. : Lippincott
Williams & Wilkins
Santrock, J. 2007. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Kensana Prenada Media
Group.
Sutherland GR, Gardner RJM. Chromosome abnormalities and genetic
counselling. 3rd ed. [e-book]. New York (NY): Oxford University Press;
2004.
Turnpenny P, Sian E. 2007. Emerys elements of medical genetics. 12th ed.
Elsevier Inc.
Vanagaite LB, Taub E, Halpern GJ, Drasinover V, Magal N, Davidov B, Zlotogora
J, Shohat M. Genetic screening for autosomal recessive non syndromic
mental retardation in an isolated population in Israel. European J Hum
Genet 2007; 15; 250-253.
Velagaleti GVN, Robinson SS, Rouse BM, Tonk VS, Lockhart LH. Subtelomeric
rearrangement in idiopathic mental retardation. Indian J Pediatric 2005; 72;
679-684.

Willemsen R, Oostra BA, Bassell GJ, Dictenberg J. 2004. The Fragile X


Syndrome: From Molecular Genetics to Neurobiology.
Winnepenninckx B, Rooms L, Kooy RF. 2003. Mental Retardation: A Review of
The Genetic Cause. The British Journal of Developmental Disabilities.
49:29-44.

Anda mungkin juga menyukai