PANCASILA : DASAR NEGARA, KONTRAK SOSIAL ATAU IDEOLOGI?
Oleh : Luh Putu Viona Damayanti/14414005
Sejak disahkan pada 18 Agustus 1945, Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia. Perumusan kelima sila dasar tersebut menjadi sebuah prinsip hidup, sumber dari segala sumber hukum, bahkan kini telah dispesialisasi sebagai sebuah falsafah Negara. Secara yuridis, Pancasila disebut sebagai dasar implementasi konstitusi yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Pancasila tersebut merupakan pondasi kenegaraan dan tata tertib hukum Indonesia. Pancasila yang secara yuridis lahir pada 1 Juni 1945 secara faktual merupakan pondasi yang dibangun berdasarkan penggalian nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Sehingga, tidak tepat jika dikatakan bahwa Pancasila lahir pada tanggal itu. Apalagi, pada pidato Ir. Soekarno, beliau menyebutkan bahwa beliau sebagai penggali nilai-nilai Pancasila bukan pencipta apalagi yang melahirkan Pancasila. Pancasila murni lahir dari sifat luhur bangsa Indonesia yang akhirnya diangkat nilai-nilai luhurnya pada saat penetapan dasar Negara. Pancasila yang berasal dari Bahasa Sanskertha memiliki lima sila dasar. Kelima sila tersebut adalah (1) Ketuhanan yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Seperti yang dijelaskan, kelima sila tersebut mengandung unsur dan nilai-nilai yang telah hidup di dalam tiap insan bangsa. Pancasila bukanlah hasil doktrinasi. Sehingga, jika ditanyakan mengenai bagaimana pengaplikasiannya, Pancasila bersifat universal. Universal tersebut dalam artian sila-sila Pancasila dapat digunakan oleh siapapun yang meyakininya. Pancasila juga tidak berbataskan tempat maupun ras. Jika memang direalisasikan, orang-orang dapat menjadikan Pancasila sebagai dasar hidupnya. Menurut tinjauan teoretis, Pancasila merupakan sebuah kontrak sosial. Hal yang dimaksud adalah Pancasila merupakan sebuah persetujuan atau kompromi dari warga negara Indonesia mengenai asas-asas Negara. Kontrak sosial ini bukan hanya sebuah persetujuan yang menyangkut seluruh masyarakat sosial, melainkan juga perwujudan kesadaran bersejarah dan pemikiran otentik mengenai prinsip bernegara. Sehingga keberadaan Pancasila bukanlah sebuah manuver politik. Berkaitan dengan hal tersebut, sejak adanya orde baru, kedudukan Pancasila sebagai kontrak sosial digeser menjadi sebuah ideologi. Doktrinasi ini diterima sepihak akibat adanya manuver politik yang keras pada rezim tersebut. Sayangnya, kedudukan Pancasila sendiri bukanlah sebuah ideologi. Jika Pancasila sebuah ideologi, maka Pancasila harus bersaing dengan ideologi-ideologi yang saat ini berkembang di dunia. Ideologi sendiri merupakan sebuah ide/gagasan yang menjadi sistem keyakinan sosial yang menyangkut tujuan politik tertentu. Ini adalah sebuah penghinaan bagi Pancasila yang dalam kedudukannya sebagai kontral sosial memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari sekadar ideologi. Selain itu, berdasarkan pengertiannya, ideologi dapat dimiliki oleh semua warga negara secara bebas. Setiap warga boleh memiliki ideologinya masing-masing. Namun, sebaiknya sebuah Negara tidak membatasi penggunaan ideologi untuk menghindari konflik kepentingan dalam kenegaraan. Intinya, sebuah Negara wajib memiliki kontrak sosial yang menjadi pemersatu bangsa. Khusus Republik Indonesia, kontrak sosial tersebut adalah Pancasila.