Anda di halaman 1dari 17

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

LIMBAH PERTANIAN DAN PERKEBUNAN SEBAGAI


PAKAN TERNAK: Kendala dan Prospeknya
INDRANINGSIH, R. WIDIASTUTI dan Y. SANI
Balai Penelitian Veteriner PO Box 151 Bogor 16114

ABSTRAK
Pengembangan industri ternak potong perlu didukung dengan ketersediaan pakan yang sampai saat ini
masih merupakan kendala utama dalam peningkatan produktivitas ternak potong. Salah satu alternatif
penyediaan pakan ternak adalah memanfaatkan dan mengembangkan limbah hasil pertanian dan perkebunan
yang diduga memiliki kandungan nutrisi setara dengan pakan standar untuk ternak potong, antara lain jerami
padi, jerami jagung, serta limbah sayuran, kelapa sawit, tebu dan kakao. Limbah hasil pertanian dan
perkebunan cukup tersedia di Indonesia, namun potensinya belum dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan
ternak. Pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak baru mencapai 30-40% dari
potensi yang tersedia saat ini. Permasalahan yang dihadapi dalam menggunakan pakan limbah pertanian dan
perkebunan terdiri dari faktor pengetahuan peternak, kualitas pakan limbah pertanian dan perkebunan dan
faktor lingkungan (cemaran). Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan dukungan teknologi dan
sosialisasi tentang pemanfaatan limbah hasil pertanian sebagai pakan ternak secara berkesinambungan. Mutu
pakan limbah hasil pertanian dan perkebunan dapat ditingkatkan dengan beberapa pendekatan, diantaranya
melalui pengolahan (pretreatment) limbah hasil pertanian, suplementasi pakan dan pemilihan limbah
pertanian/perkebunan. Pengolahan limbah hasil pertanian dilakukan dengan metoda fisik, kimia, biologis
maupun kombinasinya. Bahan suplementasi diantaranya adalah leguminosa, kacang-kacangan maupun sisa
pengolahan industri pertanian. Seleksi jenis limbah tanaman perlu pula dilakukan untuk mengurangi efek
samping terhadap kesehatan ternak dan keamanan produknya. Seleksi dapat dilakukan dengan mengetahui
terlebih dahulu mutu nutrisi pakan limbah pertanian/perkebunan, kandungan toksin dan/atau antinutrisi di
dalam tanaman dan cemaran berbahaya pada tanaman. Limbah hasil pertanian organik merupakan alternatif
yang dapat diterapkan untuk mendapatkan pakan limbah karena mampu mengurangi resiko terjadinya residu
bahan beracun berbahaya pada produk ternak serta mengurangi ancaman terhadap kesehatan ternak.
Kata Kunci: Limbah, pertanian, perkebunan, pakan

PENDAHULUAN
Untuk
mencapai
sasaran
program
kecukupan daging pada tahun 2010,
produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi
potong perlu ditingkatkan. Berdasarkan data
Sensus Nasional 2002 tercatat populasi sapi
lokal mencapai 11,6 juta ekor dengan tingkat
pertumbuhan sebesar 14% per tahun.
Sementara itu, konsumsi daging pada tahun
tersebut hanya mencapai 1,72 kg/kapita/tahun
dengan
peningkatan
sebesar
0,1
kg/kapita/tahun, sehingga produksi daging sapi
hanya mencapai 350,7 ribu ton (BIRO PUSAT
STATISTIK, 2002). Pada tahun 2010,
pemerintah mentargetkan bahwa tahun tersebut
sebagai tahun swasembada daging dengan
proyeksi konsumsi daging sebesar 2,72
kg/kapita/tahun dan produksi daging sebesar
654,4 ribu ton/tahun untuk memenuhi
kebutuhan daging bagi populasi penduduk

sebanyak 242,4 juta orang. Pencanangan


program kecukupan daging 2010 tersebut
diperkirakan
akan
terjadi
peningkatan
kebutuhan daging sebesar 86,6%. Oleh karena
itu perlu didukung dengan program
peningkatan produktivitas dan populasi ternak
nasional.
Usaha pengembangan ternak potong perlu
didukung dengan ketersediaan pakan yang
sampai saat ini masih merupakan kendala
utama dalam industri ternak potong. Oleh
karena itu, untuk memenuhi kebutuhan daging
tahun 2010 tersebut diperlukan peningkatan
produksi peternakan secara berkesinambungan
yang dapat dicapai melalui efisiensi produksi
peternakan secara menyeluruh. Efisiensi
produksi peternakan sangat bergantung kepada
ketersediaan pakan ternak yang berkualitas
dalam jumlah yang cukup sepanjang tahun.
Namun demikian kendala yang dihadapi dalam
pengembangan ternak potong saat ini adalah

99

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

keterbatasan
lahan
pengembalaan
dan
penyedian hijauan pakan ternak akibat
perubahan fungsi lahan produktif menjadi
lahan pemukiman dan kawasan industri.
Sementara itu, daya beli peternakan rakyat
terhadap pakan komersial (konsentrat) yang
berkualitas masih rendah akibat sebagian besar
bahan baku pakan merupakan komoditas
impor. Dalam hal ini perlu mencari alternatif
pakan ternak yang mampu memanfaatkan
sumberdaya lokal. Salah satu alternatif pakan
ternak adalah dengan memanfaatkan dan
mengembangkan limbah hasil pertanian dan
perkebunan yang diduga memiliki kandungan
nutrisi setara dengan pakan komersial, antara
lain jerami padi, jerami jagung, limbah
sayuran, limbah kelapa sawit, limbah tebu dan
limbah kakao.
Jagung dan dedak (padi) adalah salah
contoh bahan baku yang tersedia cukup
memadai tetapi belum dimanfaatkan secara
optimal sebagai pakan ternak. Disamping itu
kebutuhan jagung untuk industri pakan ternak
tidak diimbangi dengan ketersediaan jagung
dalam negeri. Kendala yang dihadapi adalah
harga jagung memiliki marjin (keuntungan)
yang tidak ekonomis dimana fluktuasi musim
merupakan penyebab rendahnyua harga
jagung. Selain itu jagung dapat pula
disubstitusikan oleh gaplek, ubi jalar, gabah,
dedak dan bungkil-bungkilan. Secara teknis
kendala yang dihadapi adalah kontinyuitas
ketersediaan bahan baku pakan ternak. Selain
penyebarannya
yang
tidak
merata,
pemanfaatan bahan baku pakan ternak masih
sangat terbatas. Sehingga pengelola bahan
pakan asal limbah agroindustri belum tersedia
untuk dijadikan komoditas yang dapat
dipasarkan secara komersial.

Pada akhir-akhir ini telah berkembang


beberapa industri pakan ternak di Indonesia
untuk memacu peningkatan produktivitas
ternak potong. Sehubungan dengan mahal dan
kelangkaan bahan baku pakan ternak, maka
industri pakan ternak menyediakan pakan
dalam bentuk konsentrat sebagai pengganti
ransum komplit. Kondisi ini menuntut
pengetahuan teknis dari peternak dalam
menyusun ransum yang seimbang agar
terciptanya efisiensi penggunaan limbah
pertanian dan perkebunan sebagai bahan baku
pakan ternak. Faktor-faktor yang perlu
diketahui oleh peternak adalah tentang
ketersediaan bahan baku pakan lokal,
komposisi kimiawi bahan pakan, pengolahan,
penyusunan ransum dan kebutuhan akan
dibahas dalam makalah ini.
POTENSI LIMBAH PERTANIAN DAN
PERKEBUNAN
Secara umum limbah hasil pertanian dan
perkebunan cukup tersedia di berbagai daerah
Indonesia, namun potensi limbah tersebut
untuk digunakan sebagai pakan ternak belum
dikembangkan secara optimal. SIREGAR dan
THALIB
(1992)
melaporkan
bahwa
pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan
sebagai pakan ternak baru mencapai 39% dari
potensi yang tersedia saat ini, sehingga
sebagian besar dari limbah tersebut tidak
dimanfaatkan dengan baik, dan bahkan
dibuang, dibakar atau digunakan untuk
keperluan
non-peternakan.
Potensi
ketersediaan beberapa limbah pertanian dan
perkebunan yang dapat digunakan sebagai
pakan ternak terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Potensi ketersediaan limbah pertanian dan perkebunan untuk pakan ternak
Parameter produktivitas
Jenis limbah

Luas lahan
(ha)

Jerami padi
Jerami jagung
Kelapa sawit
Tebu
Kakao

11.477.357
3.354.890
4.116.000
398.600
972.400

Produksi
komoditas
(ribu ton)
52.078,8
1.0910,1
3.648,8
1.876,6
572,9

Total
limbah
(ton/tahun)

Digunakan
untuk pakan
(ton)

Produksi limbah (%)

52.078.830
10.910.104
55.915.860
1.876.600
630.100

3.124.730
5.275.000
11.936.000
262.724
94.515

14% dari bobot padi


10% dari bobot jagung
2% dari bobot biji sawit
80% dari bobot tanaman
69% dari biji coklat

Sumber: BIRO PUSAT STATISTIK (2003); MATHIUS et al. (2004)

100

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

Jerami padi
Padi merupakan produk pertanian utama
untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok
penduduk Indonesia. Luas lahan yang tersedia
cukup besar yaitu 11,5 juta hektar dengan hasil
produksi mencapai 52.078,8 ribu ton pada
tahun 2003. Sehingga jerami padi merupakan
limbah hasil pertanian yang sangat potensial
untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Namun demikian, pemanfaatan jerami padi
sebagai pakan ternak belum optimal karena
rendahnya kandungan protein kasar (3 4%)
dan tingginya kandungan serat kasar (32
40%) sehingga memiliki tingkat kecernaan
yang rendah yaitu berkisar antara 35 37%
(HARYANTO
dan
WINUGROHO,
2000;
RANGKUTI
dan
DJAJANEGARA,
1983).
Komposisi kimiawi jerami padi sebagai pakan
ternak terlihat pada Tabel 2.
Sehubungan dengan rendahnya nilai gizi
dan daya cerna bahan kering jerami padi maka
inovasi teknologi sangat diperlukan untuk
meningkatkan kualitas jerami padi sebagai
pakan ternak. Berbagai pendekatan telah
dilakukan untuk meningkatkan nutrisi jerami
padi baik secara kimiawi, fisik dan biologis.
Namun kombinasi dari ketiga proses tersebut
lebih sering diterapkan untuk meningkatkan
kualitas dan kecernaan pakan jerami padi.
Tabel 2. Komposisi nutrisi jerami padi sebagai
pakan ternak
Parameter
Bahan kering (DM)

Nilai (%)
66

Total kecernaan (TDN)

38,1

Kadar air

60,0

Protein kasar

3,93

Serat kasar

33,00

Lemak

0,91

Kadar abu

22,44

Kalsium

0,42

Pospor

0,40

Sumber:
RANGKUTI dan DJAJANEGARA (1983);
HARYANTO (2003); MAHENDRI et al.,(2005)

Proses fermentasi jerami padi merupakan


salah satu pendekatan secara biologis untuk
meningkatan kualitas pakan jerami padi. Proses

ini
menggunakan
biostarter
untuk
mempercepat peningkatan kualitas pakan dan
untuk penyimpanan jangka panjang. Bahan
biostarter yang umum digunakan adalah
mikroorganisme (bakteri asam laktat) dan
jamur (Aspergillus niger) (MATHIUS, 2000;
HARYANTO,
2003).
Proses
fermentasi
dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap
pengeringan dan penyimpanan. Proses
fermentasi
dapat
dipercepat
dengan
penambahan urea untuk disimpan (dibiarkan)
selama 21 hari sebelum digunakan sebagai
pakan ternak. HARYANTO (2003) melaporkan
bahwa jerami padi yang telah difermentasi
memiliki penampilan bewarna coklat dengan
tekstur yang lebih lunak. Kandungan nutrisi
yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan
dengan tanpa fermentasi (Tabel 3) serta
memiliki nilai gizi yang sebanding dengan
rumput gajah. Sementara itu, MAHENDRI et al
(2005) menambahkan bahwa kandungan
protein kasar pada jerami padi fermentasi
meningkat dari 5,36% menjadi 6,78% yang
sekaligus menurunkan kadar ADF dan NDF
masing-masingnya mencapai 63,91% dan
66,03%. Kandungan protein tersebut ternyata
cukup untuk memenuhi kebutuhan sapi potong.
Untuk memperbaiki daya cerna pakan, energi
metabolik dan daya cerna, maka pakan jerami
padi fermentasi dapat ditambahkan beberapa
bahan kimia seperti urea (CHEMJONG, 1991;
HARYANTO, 2003) atau 4% NaOH.
Selain itu proses fermentasi dapat
menurunkan kandungan residu pestisida
golongan organokhlorin (OC) maupun
organofosfat (OP), yang mana keberadaan
residu
pestisida
dalam
pakan
dapat
membahayakan kesehatan ternak dan produk
ternak yang dihasilkan. Hasil pengamatan yang
dilakukan oleh INDRANINGSIH dan SANI (2005)
terhadap proses fermentasi pada pakan jerami
padi di Sukamandi dan Solo menunjukkan
bahwa proses fermentasi terhadap jerami padi
asal Sukamandi dapat menurunkan kandungan
total residu pestisida golongan OC dari 11,7
menjadi 2,8 ppb dan golongan OP menurun
dari 2,8 menjadi 0,3 ppb. Penurunan residu
pestisida dalam pakan jerami terlihat secara
nyata pada total kandungan residu kedua
golongan pestisida tersebut dari 14,5 menjadi
3,1 ppb. Selain itu proses fermentasi dapat
mempengaruhi degradasi residu pestisida

101

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

Tabel 3. Perbandingan nilai gizi jerami padi yang difermentasi dan tanpa fermentasi
Parameter
Bahan kering (BK)
Protein kasar
Lemak kasar
Abu
ADF
NDF
Daya cerna NDF
Ca
P

Jerami padi
Non-fermentasi (%)
91,9
5,36
0,91
21,51
68,5
78,86
28 30
0,26
0,02

Fermentasi (%)
91,32
6,78
0,66
24,68
63,91
66,03
50 55
0,25
0,01

Konsentrat (%)
92,68
12,76
5,92
8,20
38,89
42,68
0,56
0,31

Sumber: MAHENDRI (Laporan intern Puslitbang Peternakan, 2005); HARYANTO (2003)

seperti yang diperlihatkan oleh jerami padi asal


Solo dengan fluktuasi jumlah total residu OC
dari 74,8 ppb (selama 2 minggu penyimpanan),
76,5 ppb (selama proses pengeringan) dan 11,7
ppb (pada saat jerami siap untuk diberikan
kepada ternak). Total kandungan residu kedua
golongan pestisida menurun secara bertahap
sesuai dengan waktu yaitu dari 172,7; 76,5;
dan 11,7 ppb. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa fermentasi jerami padi dapat
mengurangi residu pestisida di dalam pakan
limbah padi (Tabel 4). Selanjutnya, MAHENDRI
et al (2005) melaporkan bahwa fermentasi
jerami padi dengan menggunakan probion
dapat menurunkan kadar residu pestisida, yang
mana jerami fermentasi yang diberikan
mempunyai total residu pestisida lebih rendah
daripada jerami tanpa fermentasi. Kadar residu
pestisida menurun hingga 42% untuk golongan
OC dan 44% untuk golongan OP.
Limbah kelapa sawit
Kelapa sawit merupakan salah satu bahan
pakan yang memiliki potensi sangat tinggi
dibandingkan dengan limbah hasil pertanian
dan perkebunan lainnya, mengingat total
limbah yang dihasilkan terhadap luas lahan
yang tersedia cukup tinggi yaitu mencapai
55.915.860 ton/tahun (Tabel 1). Dari 56 juta
ton/tahun limbah sawit yang dihasilkan,
sebanyak 11.936.000 ton dapat digunakan
sebagai pakan ternak yang lebih tinggi dari
jerami padi yaitu sebanyak 3.124.730 ton.

102

Umumnya bagian-bagian tanaman dari kelapa


sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan
ternak terdiri dari daun, pelepah, lumpur,
bungkil, dan bungkil inti sawit. Akan tetapi,
potensi limbah kelapa sawit yang tinggi,
ternaya belum banyak dimanfaatkan sebaga
bahan pakan ternak.
Pada umumnya produk samping yang
diperoleh dari industri kelapa sawit dibagi
kedalam dua kelompok, yaitu: (1) berasal dari
kebun kelapa sawit (diantaranya pelepah dan
daun) dan (2) dari pabrik pengolahan buah
kelapa sawit (seperti bungkil dan lumpur).
Nilai nutrisi limbah tanaman dan pengolahan
kelapa sawit telah banyak dilaporkan
(ARITONANG, 1984: MATHIUS et al., 2004;
PASARIBU et al., 1998). Tabel 5 menunjukkan
bahwa kandungan nutrisi limbah tanaman
kelapa sawit ternyata cukup rendah karena
tingginya kandungan serat kasar tetapi
mengandung karbohidrat dalam bentuk gula
mudah larut yang cukup tinggi yaitu 22%
(ISHIDA dan HASSAN, 1997). Nilai nutrisi
limbah tanaman kelapa sawit umumnya setara
dengan limbah tanaman pangan maupun pakan
hijauan di daerah tropis (WAN ZAHARI et al.,
2003). Sementara itu, limbah hasil pengolahan
kelapa sawit juga mengandung serat kasar yang
tinggi, namun kandungan protein kasar lumpur
sawit dan bungkil kelapa sawit secara
berurutan yaitu 14,58 %BK dan 16,33 % BK,
yang potensial untuk digunakan sebagai bahan
bakan ternak ruminansia.

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

Tabel 4. Residu pestisida dalam jerami padi yang diberi perlakuan fermentasi dan tanpa fermentasi di
Sukamandi dan Solo
Residu pestisida (ppb)

Jerami
Sukamandi
Non-fermentasi
Fermentasi
Solo
Penyimpanan (2 mgg)
Pengeringan
Siap pakai

Total residu
golongan (ppb)
OC
OP

Total
residu
(ppb)

Linda

Hepta.

Ald.

Dield

Endo

CPM

1,4
0,8

0,1
0,1

7,4
1,6

0,01
0,002

2,7
0,5

2,8
0,3

11,7
2,8

2,8
0,3

14,5
3,1

25,4
12,5
5,4

5,5
26,8
6,2

4,7
32,4
Tt

39,4
Tt
Tt

Tt
4,8
Tt

97,9
Tt
Tt

74,8
76,5
11,7

97,9
0
0

172,7
76,5
11,7

Keterangan: Hepta.= heptaklor, Ald. = aldrin, Dield. = dieldrin, Endo = endosulfan,


CPM = chlorpyrifos methyl, OP = organofosfat, Tt = tidak terdeteksi, OC = organokhlorin
Sumber: INDRANINGSIH dan SANI (2005).

Daun dan pelepah kelapa sawit


Daun dan pelepah kelapa sawit merupakan
salah satu bahan pakan ternak yang memiliki
potensi yang cukup tinggi, akan tetapi kedua
bahan pakan tersebut belum dimanfaatkan
secara optimal oleh peternakan sapi. Produksi
daun/pelepah dapat mencapai 10,5 ton pelepah
kering/ha/tahun. Kandungan protein kasar pada
kedua bahan pakan tersebut masing-masingnya
mencapai 15% BK (daun) dan 2 4% BK
(pelepah) (MATHIUS, 2003). Sementara itu,
campuran kedua bahan pakan tersebut dapat
meningkatkan kandungan protein menjadi
4,8%. ISHIDA dan HASAN (1997) melaporkan
bahwa pelepah kelapa sawit mengandung
protein kasar 1,9% BK; lemak 0,5% BK; dan
lignin
17,4%
BK,
sedangkan
daun
mengandung protein kasar 14,8% BK; lemak
3,2% BK; dan lignin 27,6% BK. Hasil analisis
ini menunjukkan bahwa kedua bahan pakan
tersebut mengandung lignin yang sangat tinggi
dibandingkan dengan jerami padi yang hanya
mengandung 13% BK. Tingginya kadar lignin
di dalam pakan akan mengakibatkan rendahnya
palatibilitas, nilai gizi dan daya cerna terhadap
pakan (WINUGROHO dan MARIATI, 1999).
Perlakuan pelepah/daun kelapa sawit
dengan penambahan 8% NaOH dapat
meningkatkan kecernaan bahan kering serat
perasan dari 43,2 menjadi 58% (MATHIUS,
2003). Sementaraitu, nilai nutrisi pelepah sawit
dapat
ditingkatkan
melalui
amoniasi,
penambahan molases, perlakuan alkali,

pembuatan silase/pelet, perlakuan dengan


tekanan uap yang tinggi dan secara enzimatis
(WAN ZAHARI et al., 2003). Pemberian pakan
daun kelapa sawit kepada sapi jantan dapat
meningkatkan bobot badan sebesar 930
g/ekor/hari (MATHIUS, 2003).
Lumpur sawit dan bungkil inti sawit
Lumpur sawit dan bungkil inti sawit adalah
hasil ikutan dari pengolahan minyak kelapa
sawit. Dalam proses pengolahan minyak kelapa
sawit dapat diperoleh rendemen sebesar 4 6%
lumpur sawit dan 45% bungkil inti sawit dari
tandan buah segar. Setiap hektar tanaman
kelapa sawit dapat menghasilkan 840 1246
kg lumpur sawit dan 567 kg bungkil inti sawit.
Bungkil inti sawit telah lama dimanfaatkan
sebagai pakan ternak untuk ruminansia dan
babi yang sedang dalam masa pertumbuhan
(ARITONANG, 1984). Sebaliknya lumpur sawit
belum dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Beberapa perkebunan kelapa sawit masih
cenderung menebarkan lumpur sawit ke areal
perkebunan yang digunakan sebagai pupuk.
ARITONANG (1984) melaporkan bahwa
nilai nutrisi lumpur sawit bervariasi terutama
pada kandungan abu, serat kasar dan lemak
(Tabel 5). Pemanfaatan limbah pengolahan
hasil kelapa sawit sebagai ransum komplit
komplit (100%) ataupun sebagai pakan
penguat lainnya telah banyak dilakukan untuk
ternak ruminansia. WONG dan ZAHARI (1992)

103

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

Tabel 5. Komposisi nutrisi limbah tanaman dan pengolahan kelapa sawit (%)
Parameter
Kadar air (% BK)
Bahan kering (%)
Abu (% BK)
Protein kasar (% BK)
Serat kasar (% BK)
Lemak (% BK)
BETN (% BK)
Energi bruto/GE (kal/g)
Kalsium (% BK)
Pospor (% BK)

Limbah tanaman kelapa sawit dan olahannya


Daun
8,98
46,18
13,40
14,12
21,52
4,37
46,59
4.461
0,84
0,17

Pelepah
16,59
26,07
5,10
3,07
50,94
1,07
46,59
4.841
0,96
0,08

Lumpur
6,84
24,08
14,40
14,58
35,88
14,78
16,36
4.082
1,08
0,25

Bungkil
7,22
91,83
4,14
16,33
36,68
6,49
28,19
5,18
0,56
0,84

Sumber: MATHIUS, 2003

menyampaikan bahwa bungkit inti sawit dapat


diberikan 50% untuk sapi dan 30% untuk
domba. Sementara itu, JELAN et al. (1991)
menyampaikan bahwa pemberian bungkil inti
sawit hingga 85% dalam ransum sapi tidak
berpengaruh terhadap pertambahan berat badan
harian.
Selanjutnya BATUBARA et al (2005)
menambahkan bahwa penggunaan lumpur
sawit sampai 30% dalam campuran dengan
bungkil inti sawit (70%) sebagai pakan
suplemen dapat memberikan pertambahan
berat badan kambing jantan sekitar 54 62
g/ekor/hari dengan konversi pakan sebesar 8,1
9,4.
Tabel 5 menunjukkan bahwa lumpur sawit
mengandung protein kasar antara 1214%
dengan kadar air yang rendah (6,8%) sehingga
kurang disukai ternak. Kandungan energi yang
rendah dan kadar abu yang tinggi
menyebabkan lumpur sawit tidak dapat
digunakan secara tunggal tetapi harus
dicampur dengan pakan lain. Untuk
mengoptimalkan
penggunan
limbah
pengolahan kelapa sawit yang berupa lumpur
sawit dan bungkil inti sawit perlu
memanfaatkan teknologi fermentasi dengan
penambahan biostarter seperti Aspergillus
niger.
Jerami jagung
Limbah agroindustri banyak tersedia dan
beragam dalam jenis di daerah tropis yang

104

menjadi sumber utama untuk meningkatkan


produktivitas ternak. Limbah jagung adalah
salah satu contoh bahan baku pakan ternak
yang tersedia di dalam negeri. Tabel 1
memperlihatkan bahwa total limbah jagung
yang dihasilkan dari luas lahan 3,3 juta ha
mencapai 11 juta ton per tahun. Namun limbah
jagung yang dimanfaatkan sebagai bahan
pakan atau pakan ternak hanya mencapai 5,2
juta ton atau sebanyak 50% dari total limbah
yang
dihasilkan.
Kondisi
tersebut
menunjukkan bahwa limbah tanaman jagung
belum dimanfaatkan secara optimal untuk
pakan ternak, karena kualitas yang rendah dan
mengandung serat kasar yang tinggi (27,8%).
Tabel 6. Komposisi nutrisi jerami jagung.
Parameter
Bahan kering (DM)
Total kecernaan (TDN)
Kadar air
Protein kasar
Serat kasar
Lemak
Kadar abu
Kalsium
Pospor
Energi

Nilai (%)
21,0
16,3
3,3
20,2
4,4
0,18
0,36
-

Sumber: MATONDANG dan FADWIWATI, 2005

Komposisi nutrisi dari jerami jagung


sebagai bahan baku pakan ternak telah banyak
dilaporkan (RANGKUTI dan DJAJANEGARA,
1983; SAONO dan SASTRAPADJA, 1999)

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

sebagaiman terlihat pada Tabel 6. Untuk


meningkatkan kualitas bahan pakan jerami
jagung, maka diperlukan sentuhan teknologi
fermentasi dengan menambahkan probiotik
yang mengandung mikroba untuk memecah
serat kasar, agar dapat dicerna dengan baik
oleh ternak. MATONDANG dan FADWIWATI
(2005) melaporkan bahwa pemberian pakan
jerami jagung yang difermentasi dapat
mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan
pertambahan berat badan sapi Bali.
Limbah tebu
Bagi negara tropis, tanaman tebu
merupakan tanaman yang bersifat multiguna
baik sebagai pangan manusia, pakan ternak dan
bahan bakar untuk memasak (PRESTON and
MURGUEITIO, 1992). Limbah utama dari
tanaman
tebu
yang
potensial
untuk
dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah
pucuk tebu/daun, molases, ampas tebu dan
empulur (pith). Limbah tanaman cukup banyak
tersedia di Indonesia dimana total luas lahan
yang tersedia saat ini seluas 398.600 hektar
dengan kapasitas produksi mencapai 1,9 juta
ton tebu (Tabel 1). Dari total produksi tebu
dapat dihasil limbah tanaman tebu sebanyak
1,8 juta ton/tahun. Namun limbah tanaman
tebu belum dimanfaatkan secara optimal
sebagai pakan ternak sebagaimana terlihat pada
Tabel 1 bahwa hanya 262.724 ton limbah yang
dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Pucuk tebu merupakan limbah tanaman
yang sangat potensial untuk digunakan sebagai
pakan ternak. Pucuk tebu memiliki daya cerna
(6062%) lebih baik daripada jerami padi
sebanyak 29-42% (SHARIF, 1984) yang dapat
digunakan sebagai pengganti rumput gajah
pada penggemukan sapi (MUSOFIE et al., 1981)
karena kandungan gula terlarut dan mineral
cukup tinggi (Tabel 7). ODONOVAN (1970)
melaporkan bahwa pemberian pucuk tebu pada
sapi perah dan sapi potong dapat meningkatkan
pertambahan produksi susu sebesar 2 kg susu
per hari pada sapi perah dan berat badan
sebesar 0,25 kg/hari pada sapi potong.
Sementara itu, pemberian pakan campuran
pucuk tebu dan empulur (pith) meningkatkan
pertambahan berat badan yang nyata
dibandingkan dengan bila diberikan secara
tunggal (DONEFER et al., 1975).

Bagas adalah limbah hasil penggilingan


tebu atau hasil ekstraksi sirup tebu. Limbah ini
umumnya digunakan sebagai bahan bakar
dalam industri gula. Namun, bagas merupakan
pakan limbah yang berkualitas rendah karena
mengandung kadar ligno-selulosa yang tinggi.
Intake bagas dapat ditingkatkan bila dicampur
dengan 55% molases dalam ransumnya.
Karena bagas merupakan bahan pembawa yang
baik untuk molases, maka ransum ini akan
sangat bermanfaat bila diberikan kepada ternak
pada level optimum sekitar 2030%
konsentrasi ransum. Nilai nutrisi bagas dapat
ditingkatkan dengan perlakuan alkali atau
pemanasan, sehingga karbohidrat mudah
dicerna oleh ternak (ILCA, 1979).
Molases adalah tetes tebu yang umumnya
digunakan sebagai sumber energi dan untuk
meningkatkan palatibilitas pakan basal,
meningkatkan kandungan mineral Ca, P dan S,
atau sebagai perekat dalam pembuatan pelet.
Molases dapat memberikan hingga 80% energi
metabolisibel untuk sapi potong dan
pertambahan berat badan harian antara 0,7
0,9/kg/hari pada saat persediaan rumput
terbatas (PRESTON et al., 1987; ELIAS et al.,
1968). Komposisi kandungan nutrisi limbah
tanaman tebu tertera pada Tabel 7.
Limbah tanaman kakao
Tanaman coklat (Theobroma cacao, Linn.)
tumbuh secara baik di daerah tropis, termasuk
Indonesia. Kulit buah (pod) cokelat merupakan
limbah utama dari tanaman coklat yang dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Limbah
kulit buah kakao yang dihasilkan dapat
mencapai 75,6% dari total biji kakao. Tabel 1
menunjukkan bahwa produksi komoditas
coklat untuk luas lahan sebesar 972.400 hektar
dapat dihasilkan coklat sebanyak 572,9 ribu
ton pada tahun 2003 dan limbah tanaman
coklat yang dihasilkan mencapai 1.876.600
ton/tahun. Namun demikian, hanya sebanyak
94.515 ton limbah yang telah dimanfaatkan
sebagai pakan ternak. Berdasarkan Tabel 1
tersebut dapat dilihat bahwa masih banyak
limbah
tanaman
kakao
yang
belum
dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Kulit buah coklat mengandung kadar
protein kasar (6 12%) sedikit lebih tinggi dari
jerami padi, tetapi hampir setara dengan

105

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

Tabel 7. Komposisi nutrisi limbah tebu sebagai pakan ternak


Parameter
Bahan kering (%)
Total kecernaan (%)
Kadar air (%BK)
Protein kasar (%BK)
Serat kasar (%BK)
Lemak (%BK)
Kadar abu (%BK)
Kalsium (%BK)
Pospor (%BK)
Energi (%BK)

Jenis limbah tebu


Pucuk/daun
39
43 62
5,5
35
1,4
5,3
-

Bagas
50
33
2,7
43
2,2
-

Empulur
25
71
1,5
24
3,1
-

Molases
73 80
80
4,5
0
7,3
-

Sumber: FOULKES (1986); MUSOFIE (1987).


Tabel 8. Komposisi nutrisi limbah kakao
Parameter
Bahan kering
Total kecernaan (TDN)
Kadar air
Protein kasar
Serat kasar
Lemak
Kadar abu
Kalsium
Pospor
Energi

Limbah tanaman cokelat (%)


Kulit buah
17,0
53,0
7,2
32,5
0,8
12,2
-

Kulit biji
68,4
72,0
16,6
25,1
8,8
6,64
-

Lumpur cokelat
8,7
98,0
20,8
13,4
33,0
7,8
-

Sumber: SUTARDI, 1991.

rumput gajah (MATHIUS dan SINURAT, 2001;


SUTIKNO, 1997). Kandungan serat kasar dalam
kulit buah coklat memiliki kadar selulosa (27
31%) dan hemiselulosa (1013%) yang lebih
rendah daripada jerami padi. Sementara itu,
kadar lignin berkisar antara 12 19% lebih
tinggi 2 3 kalinya dibandingkan dengan
jerami padi (6%). Secara umum tingkat
kecernaan kulit buah cokelat lebih rendah
dibandingkan dengan jerami padi. Meskipun
limbah tanaman cokelat lainnya seperti kulit
biji dan lumpur kakao mengandung kadar
protein kasar dan TDN yang lebih tinggi,
namun produk samping tersebut belum

106

dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan


ternak karena jumlah yang dihasil sangat
rendah sekali. Komposisi nutrisi limbah
tanaman kakao diilustrasikan pada Tabel 8.
Disamping limbah tanaman yang umum
digunakan sebagai pakan ternak tersebut,
beberapa jenis limbah tanaman dapat pula
dimanfaatkan sebagai ternak dan beberapa
peternak telah memanfaatkannya sesuai dengan
kondisi dilapangan. Tanaman tersebut adalah
limbah daun kol yang sering digunakan untuk
pakan ternak sapi perah, limbah pisang
digunakan saat musim kemarau dimana terjadi
kekurangan hijauan pakan ternak dan kulit
buah nenas untuk sapi potong.

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

PERMASALAHAN YANG DIHADAPI


DALAM PEMANFAATAN LIMBAH
PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
SEBAGAI PAKAN TERNAK
Secara umum permasalahan yang dihadapi
dalam menggunakan pakan limbah pertanian
dan perkebunan terdiri dari faktor pengetahuan
peternak, kualitas pakan limbah pertanian dan
perkebunan dan faktor lingkungan (cemaran).
Pengetahuan peternak tentang pemanfaatan
limbah pertanian dan perkebunan merupakan
salah satu penyebab belum optimalnya
penggunaan limbah pertanian sebagai pakan
ternak.
Kebanyakan
peternak
belum
mengetahui atau belum mendapatkan informasi
bahwa limbah hasil pertanian/perkebunan
dapat digunakan sebagai pakan ternak.
INDRANINGSIH et al (2005) melaporkan bahwa
53,5% dari 53 responden yang memanfaatkan
limbah sayuran sebagai pakan ternak sapi
perah di Pangalengan, Jawa Barat. Sementara
itu, 7,1% petani diantaranya mendaur-ulang
limbah sayuran sebagai pupuk kompos dan
selebihnya 39,4% tidak dimanfaatkan sama
sekali atau dibuang sebagai sampah hasil
pertanian. Dalam hal ini peternak belum
mengetahui secara pasti tentang kualitas pakan
limbah pertanian/perkebunan sebagai pakan
ternak
dan
tetap
mempertahankan
kebiasaannya dalam melakukan kegiatan
peternakan.
Kualitas pakan ternak tergantung pada
komposisi nutrisi yang terkandung didalamnya
terutama terhadap bahan kering, protein kasar,
lemak kasar, serat kasar dan tingkat kecernaan.
Pakan utama sapi terdiri dari hijauan, limbah
tanaman pertanian atau perkebunan, kacangkacangan dan konsentrat. Produktivitas sapi
potong tergantung pada pakan yang diberikan,

oleh karena itu pakan ternak harus


memperhatikan mutu, jumlah dan ketersediaan.
Tabel 9 menunjukkan perbandingan nutrisi
pakan limbah hasil pertanian dan perkebunan
terhadap rekomendasi mutu pakan untuk sapi
dewasa. Meskipun hasil limbah pertanian dan
perkebunan mencukupi untuk digunakan
sebagai pakan ternak, mutu pakan limbah
tersebut ternyata masih lebih rendah
dibandingkan rekomendasi mutu pakan untuk
sapi dewasa. Tingkat kecernaan (TDN) pakan
limbah hasil pertanian/perkebunan umumnya
lebih rendah daripada pakan standar (58-65),
karena pakan limbah mengandung kadar serat
kasar yang lebih tinggi. Dilain pihak
kandungan protein kasar dan lemak kasar pada
pakan limbah pertanian juga lebih rendah
dibanding pakan standar, kecuali untuk limbah
sawit yang memiliki kandungan protein kasar
dan lemak kasar setara dengan pakan standar.
Limbah tanaman sawit cukup potensial untuk
dimanfaatkan
sebagai
pakan
ternak.
Penggunaan limbah hasil pertanian/perkebunan
sebagai pakan ternak terlihat mudah dan
ekonomis, namun perlu memperhatikan akan
timbulnya residu kimiawi di dalam produk
ternak yang dihasilkan serta kandungan
antinutrisi atau toksin yang terdapat di dalam
limbah hasil pertanian tersebut. Beberapa
tanaman
pangan
maupun
perkebunan
dilaporkan terdapat toksin dan antinutrisi yang
dapat mempengaruhi kesehatan ternak. Kakao
mengandung theobromin yang bersifat toksik
bagi kesehatan ternak. YERUHAM et al. (2004)
melaporkan bahwa 11 dari 78 ekor anak sapi
silangan mengalami dermatitis fotosensitisasi
(fotosensitisasi primer) setelah mengkonsumsi
kulit kakao dengan gejala klinis terdiri dari
penebalan dan pengerutan kulit serta alopesia.
Hasil penelitian INDRANINGSIH et al (1999)

Tabel 9. Perbandingan nutrisi limbah per tanian/perkebunan dengan mutu standar pakan untuk sapi
Parameter
Bahan kering (%)
Protein kasar (%)
Lemak kasar (%)
Serat kasar (%)
TDN

Limbah pertanian/perkebunan
Padi
66,0
3,9
0,9
33,0
38,1

Jagung
21,0
3,3
20,2
16,3

Tebu
39,0
5,5
1,4
35
43 - 62

Kakao
17,0
7,2
0,8
32,5
53,0

Sawit
46,2
14,1
4,4
21,5
-

Kisaran nilai
standar (%)
8090
1215
23
1521
5865

Diolah dari berbagai sumber.

107

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

menunjukkan bahwa pemberian kulit biji


kakao
kepada
kambing
menimbulkan
penurunan berat badan. Beberapa jenis
tanaman yang mengandung senyawa toksik
dan antinutrisi terlihat pada Tabel 10.
WIDIASTUTI et al. (1995), melaporkan bahwa
pada beberapa sampel limbah pertanian dan
perkebunan (jerami jagung, jerami padi,
bekatul, kulit biji coklat, ampas tebu dan daun
tebu) terdeteksi adanya cemaran aflatoksin
dengan kadar antara 20 sampai 77,8 ppb.
Kadar tersebut masih dibawah batas
maksimum residu yang diizinkan yaitu
dibawah 300-600 ppb (CULVENOR, 1974).
Meskipun hingga saat in belum ada laporan
tentang keracunan pada sapi atau ruminansia
lain yang disebabkan oleh aflatoksin, namun
dapat dilakukan penanggulangannya dengan
menambahkan bahan pengikat mikotoksin
selama masa penyimpanan diantaranya adalah
arang aktif, sodium bentonit, zeolit atau
aluminosilikat
(BAHRI
et
al.,
1990;
DEVEGOWA dalam MARYAM, 2006).
Tabel 10. Toksin, cemaran dan antinutrisi pada
tanaman pakan ternak.
Jenis tanaman
Kakao
Bungkil biji kapas
Padi
Jagung
Gaplek
Kedele
Sayuran (kol)
Lamtoro

Jenis toksin dan antinutrisi


Theobromin
Gossypol
Pestisida
Pestisida, mikotoksin
Glikosida
Antitripsin
Pestisida
Mimosin

Sistem kendali mutu merupakan faktor


penting didalam menggunakan limbah
pertanian/perkebunan sebagai pakan ternak,
karena dapat mempengaruhi mutu produk
ternak yang dihasilkan maupun kesehatan
ternak tersebut. Pencemaran oleh bahan
kimiawi merupakan kendala utama dalam
kegiatan pertanian dan perkebunan sehubungan
residu yang dapat terbentuk di dalam produk.
Pestisida adalah bahan agrokimia yang
merupakan bagian penting di dalam kegiatan
bertani untuk melindungi tanaman dari
serangan hama penyakit. Indonesia tercatat
sebagai negara ketiga yang paling banyak
menggunakan pestisida untuk kawasan Asia
setelah Cina dan India (SOERJANI, 1990).

108

Pestisida ternyata memiliki beberapa


kelemahan berupa efek samping terhadap
kesehatan ternak dan manusia yang bukan
merupakan target utamanya. Efek toksik dari
pestisida terhadap berbagai hewan non-target
seperti unggas, sapi dan bahkan manusia telah
banyak dilaporkan (SABRANI dan SETIOKO,
1983; INDRANINGSIH, 1988; NJAU, 1988).
Keracunan pestisida organofosfat (OP) pada
sapi perah di Jawa Barat terlihat setelah diberi
pakan hijauan yang terkontaminasi yang
meliputi hiperemia mata, eksudasi cairan
mukus pada mata, hipersalivasi, diare, sesak
napas dan kematian ternak (INDRANINGSIH,
1988). Disamping itu residu pestisida dapat
terbentuk di dalam produk ternak akibat
penggunaan yang berlebihan tanpa mengikuti
petunjuk aturan pakai yang telah disarankan
oleh produsen. Residu pestisida dalam produk
ternak dapat mempengaruhi kesehatan
masyarakat sebagai konsumen produk ternak
tersebut seperti gejala keracunan, imunosupresi
dan karsinogenik (GOEBEL et al., 1982;
VARSHEYA et al., 1988). Residu pestisida
dalam produk pertanian dan ternak telah
dilaporkan terjadi di berbagai negara, termasuk
Indonesia (INDRANINGSIH dan SANI, 2004;
MAITHO, 1992; KAHUNYO et al., 2001;
NEUMAN, 1988; CORRIGAN dan SENEVIRATNA,
1990). MAITHO (1992) melaporkan bahwa
residu pestisida organokhlorin (OC) seperti
DDT, dieldrin, aldrin dan lindan terdeteksi
pada 22 dari 25 sampel lemak sapi yang
diperiksa.
Laporan
yang
sama
juga
disampaikan terjadi pada beberapa produk
ternak yang terdiri dari telur, daging dan susu
di Indonesia (INDRANINGSIH et al., 1988).
Organokhlorin sering terdeteksi dari tanaman
pangan seperti jagung, kol, padi, tomat dan
kedelai (INDRANINGSIH et al., 1980).
Sementara itu kontaminasi pestisida di
lingkungan (tanah, air dan sedimen) serta pada
pakan ternak diduga sebagai sumber
terbentuknya residu pada produk pertanian dan
ternak
(INDRANINGSIH
et
al.,
1990;
INDRANINGSIH dan SANI, 2004; NTOW et al.,
2003; WILLET et al., 1993).
Pestisida dapat meninggalkan residu pada
tanah bekas tanam maupun dalam produk
pertanian dan peternakan (INDRANINGSIH et al.,
2004). INDRANINGSIH et al., (2004) melakukan
monitoring kontaminasi dan residu pestisida
pada tanah, pakan ternak dan produk ternak di

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

daerah sentra ternak seperti Jawa Barat,


Yogyakarta dan Lampung selama selama 3
tahun antara 20012003. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa terdapat kontaminasi
pestisida (golongan OC dan OP) pada pakan
ternak baik pada hijauan maupun limbah hasil
pertanian yang dapat berakibatkan timbulnya
residu pada produk ternak yang dihasilkan
(Tabel 11 dan 12).
Tabel 11 menunjukkan bahwa residu
pestisida terdeteksi dari bahan pakan (rumput,
limbah kol dan limbah jagung) yang dikoleksi
dari Lampung, Jawa Barat dan Yogyakarta.
Rumput
asal
Pangalengan
mengalami
kontaminasi oleh pestisida dengan total residu
sebesar 17,8 ppb yang terdiri dari golongan OC
(4,6 ppb) dan golongan OP (13,2 ppb).
Sementara itu limbah kol yang sering
dimanfaatkan sebagai pakan tambahan untuk
sapi perah di Pangalengan hanya terdeteksi
pestisida golongan OC sebesar 0,4 ppb dan
golongan OP tidak terdeteksi selama

pengamatan tersebut. Selanjutnya rumput asal


Metro (Lampung) mangandung residu pestisida
golongan OC (11,3 ppb) dan golongan OP
(57,0 ppb). Limbah jagung merupakan pakan
utama untuk sapi potong di Lampung
mengalami kontaminasi oleh pestisida
golongan OC sebesar 15,2 ppb dan tidak
ditemukan pestisida golongan OP. Sementara
itu, limbah jagung asal Natar (Lampung)
mengalami kontaminasi oleh pestisida
golongan OC (158,4 ppb) yang cukup tinggi
dan golongan OP sebesar 17,6 ppb.
Kontaminasi pestisida golongan OC (0,1158,4
ppb) pada bahan pakan limbah pertanian
terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan
golongan OP (tt 57,0 ppb).
Ditemukannya residu pestisida pada bahan
pakan
ternak
dapat
mengakibatkan
terbentuknya residu pestisida pada produk
ternak, seperti yang terlihat pada Tabel 12
berikut ini. Tabel tersebut menunjukkan bahwa
beberapa residu pestisida (OC maupun OP)

Tabel 11. Residu pestisida dalam bahan pakan ternak di Jawa Barat dan Lampung, tahun 2001 2002.
Sampel pakan (n)

Total residu (ppb)

Total residu per golongan (ppb)


OC
OP

Pangalengan Jawa Barat


Rumput (4)
17,8
4,6
Hijauan (4)
5,7
0,1
Limbah kol (2)
0,4
0,4
Sukamandi Jawa Barat
Dedak (2)
72,1
72,1
Jerami padi (2)
8,9
7,3
Yogyakarta
Jerami padi organik (2)
3,9
3,9
Jerami padi PHT (20)
28,2
5,1
Jerami padi konvensional (3)
15,5
2,7
Metro Lampung
Rumput
68,3
11,3
Konsentrat (4)
2,6
2,6
Onggok (4)
4,3
2,0
Limbah nenas (4)
6,6
6,6
Limbah jagung (4)
15,2
15,2
Natar Lampung
Jagung (8)
8,6
8,6
Hijauan (8)
123,1
105,5
Limbah jagung (8)
176,0
158,4
Rata rata
34,8
25,4
Kisaran
0,4 - 176,0
0,1 - 158,4
Sumber data: INDRANINGSIH et al., 2004; INDRANINGSIH dan SANI, 2005.

13,2
5,6
Tt
Tt
1,6
tt
23,1
12,8
57,0
tt
2,3
tt
tt
tt
17,6
17,6
9,4
tt - 57,0

109

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

Tabel 12. Residu pestisida dalam produk ternak di Jawa Barat dan Lampung
Lokasi/Jenis sampel
Pangalengan Jawa Barat
Susu (n = 25)
Bogor Jawa Barat
Susu (n = 45)
Daging sapi (n = 44)
Hati sapi (n = 44)
Lemak sapi (n = 44)
Bandar Lampung - Lampung
Daging sapi (n = 7)
Hati sapi (n = 7)
Lemak sapi (n = 7)
Metro - Lampung
Daging sapi (n = 14)
Hati sapi (n = 14)
Lemak sapi (n = 14)

Total residu (ppb)

Total residu per golongan (ppb)


OC
OP

0,11 - 293,6

0,11 - 31,5

tt - 239,0

tt - 46,8
tt - 754,6
tt - 969,5
tt - 908,1

tt - 46,8
tt - 135,5
tt - 191,8
tt - 1,1

tt - 10,8
tt - 754,2
tt - 969,5
tt - 908,1

tt
tt
tt

Tt
Tt
Tt

tt
tt
tt

tt - 204,3
tt - 59,4
tt - 61,2

tt - 204,3
tt - 59,4
tt - 61,2

tt
tt
ttt

Sumber: INDRANINGSIH et al., 2004

terdeteksi pada susu sapi yang dikoleksi dari


Jawa Barat. Residu pestisida yang terdeteksi
pada susu asal Pangalengan terdiri dari lindan
(7,6 ppb); heptaklor (16,3 ppb) dan diazinon
(32,5 ppb), sedangkan susu asal Bogor terdiri
dari lindan (2,7 ppb), heptaklor (3,5 ppb), CPM
(5,9 ppb) dan endosulfan (5,9 ppb). Rataan
total residu pestisida golongan OP (50,1 ppb)
lebih tinggi daripada golongan OC (20,5 ppb)
pada susu asal Pangalengan. Sementara itu,
total residu pestisida pada susu asal Bogor
lebih rendah daripada susu asal Pangalengan.
Residu pestisida juga terdeteksi pada sampel
produk ternak lainnya seperti daging, hati dan
lemak. Pada daging asal Bogor terdeteksi
residu lindan (tt 135,5 ppb) dan diazinon (tt
754,4 ppb) dimana kadar diazinon melebihi
batas maksimum residu yang diizinkan oleh
SNI, 2001 yaitu sebesar 0,7 ppm. Sementara
itu, pada organ hati terdeteksi lindan (tt 16,7
ppb); diazinon (tt 969,0); dan endosulfan (tt
191,8 ppb). Kondisi yang sama juga dijumpai
pada organ hati dimana residu diazinon
melebih batas maksimum residu. Begitu pula
pada lemak, residu diazinon (tt 908,1 ppb)
melebihi batas maksimum residu. Sebaliknya
hanya residu pestisida golongan OC yang
terdeteksi pada produk sapi potong di
Lampung.

110

PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN


DAN PERKEBUNAN SEBAGAI PAKAN
TERNAK RUMINANSIA
Hasil samping limbah pertanian dan
perkebunan memiliki potensi yang baik untuk
digunakan sebagai pakan ternak alternatif.
Namun ketersediaan hasil samping pertanian
dan perkebunan yang mencukupi ini, ternyata
belum dimanfaatkan secara maksimal oleh
peternak. Untuk mengatasi kendala kendala
dalam pemanfaatan limbah hasil pertanian
sebagai pakan ternak perlu didukung dengan
terobosanterobosan teknologi. Sosialisasi
tentang pemanfaatan limbah hasil pertanian
sebagai pakan ternak perlu dilakukan secara
berkesinambungan mengingat keterbatasan
arus
informasi
teknologi,
keterbatasan
pengetahuan peternak serta kebiasaan peternak
yang masih tetap menganut pola beternak
tradisional.
Beberapa pendekatan untuk meningkatkan
mutu limbah hasil petanian dan perkebunan
sebagai pakan ternak telah dikembangkan,
antara lain melalui pengolahan (pretreatment)
limbah hasil pertanian, suplementasi pakan dan
pemilihan limbah pertanian dan perkebunan.
Peningkatan mutu limbah hasil pertanian dan
perkebunan sebagai pakan ternak umumnya
dilakukan melalui pengolahan terlebih dahulu

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

sebelum limbah pertanian dan perkebunan


diberikan kepada ternak, yang secara garis
besarnya terdiri dari:
1. Perlakuan fisik: pemotongan menjadi
bagian yang lebih kecil, penggilingan,
pemanasan, perendaman, pengeringan atau
penyinaran.
2. Perlakuan kimia: dengan penambahan basa,
asam dan oksidasi seperti penambahan
NaOH, Ca(OH)2, ammonium hidroksida,
gas klor dan sulfur dioksida.
3. Perlakuan biologi: melalui pengomposan,
fermentasi, penambahan enzim, atau
menumbuhkan jamur dan bakteri.
4. Kombinasi diantara ketiga perlakuan
tersebut diatas.
Metoda fisik yang terdiri dari pemotongan,
pemanasan, penggilingan, pengeringan dan
penyinaran diketahui tidak akan merubah nilai
nutrisi suatu bahan pakan ternak. Oleh karena
itu pendekatan ini jarang dilakukan dalam
penyediaan pakan untuk ternak. Namun
demikian metoda ini khususnya pemanasan
dan pengeringan dapat digunakan untuk
mengurangi
toksisitas
suatu
tanaman.
Sementara itu, metoda kimiawi yang terdiri
dari penambahan asam, basa dan oksidasi
merupakan metoda yang sering diterapkan
peternak untuk meningkatkan mutu nutrisi
pakan ternak (DOYLE et al., 1986).
Penambahan basa merupakan pengolahan
bahan pakan ternak yang paling banyak
dilakukan untuk meningkatkan mutu nutrisi
pakan ternak. Tujuan penambahan senyawa
basa ini adalah untuk memecah ikatan ester
lignohemiselulosa sehingga meningkatkan
kecernaan pakan tersebut. Larutan basa yang
umum digunakan terdiri dari sodium
hidroksida (NaOH), kalsium hidroksida
[Ca(OH)2], potasium hidroksida (KOH), urea
dan larutan karbon kaustik. CHEMJONG (1991)
melaporkan bahwa pemberian jerami padi yang
diperlakukan dengan 4% urea dapat meningkat
intake pakan sebanyak 25% dan meningkatkan
produksi susu kerbau hingga 1,6 liter/hari.
Kerbau menunjukkan pertambahan berat badan
yang lebih baik dibandingkan dengan jerami
padi tanpa perlakuan. Selain itu, urea dapat
meningkatkan kandungan nitrogen dan
menghancurkan ikatan lignohemiselulosa
(SCHIERE and NELL, 1993). Penambahan 4,5%
sodium hidroksida kepada jerami jagung dapat
meningkatkan kecernaan bahan kering dari

44,7 1,6% menjadi 54,2 2,0% (NAGOLE et


al., 1983). Meskipun NaOH ini paling efektif
untuk meningkatkan nilai nutrisi pakan, bahan
ini dapat menimbulkan residu yang berbahaya .
Fermentasi merupakan teknik perlakuan
biologis untuk meningkatkan mutu nutrisi
pakan ternak dengan menumbuhkan biostarter
yang umumnya menggunakan Aspergillus
niger. Perbaikan kualitas pakan melalui proses
fermentasi terhadap jerami padi dengan
menggunakan probion mampu meningkatkan
kadar protein kasar sampai 20%, serta
menurunkan kadar NDF (64%) dan ADF
(66%) (MAHENDRI et al., 2005). Disamping itu
konversi pakan akan menjadi lebih baik pada
jerami padi fermentasi bila diikuti dengan
penambahan urea (UTOMO et al., 1988).
Sementara itu PASARIBU et al (1998)
melaporkan bahwa proses fermentasi terhadap
lumpur sawit dengan menggunakan A. niger
dapat meningkatkan kadar protein kasar dan
protein murni serta menurunkan kandungan
serat lumpur sawit. Perbaikan mutu pakan
lumpur sawit tersebut diikuti pula dengan
peningkatan kandungan pospor dan total
pospor, total protein, total -asam amino dan
nilai daya cerna protein (PASARIBU et al.,
2003). Disamping mampu memperbaiki mutu
pakan limbah hasil pertanian dan perkebunan,
proses fermentasi ternyata mampu menurunkan
kadar residu pestisida pada pakan ternak
(INDRANINGSIH dan SANI, 2005). (Tabel 4)).
Suplementasi pakan limbah hasil pertanian
dan perkebunan merupakan faktor penting
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak.
Suplementasi dilakukan karena umumnya
limbah hasil pertanian dan perkebunan
mengandung protein yang lebih rendah dari
hijauan pakan ternak. Pakan limbah hasil
pertanian
dan
perkebunan
dapat
disuplementasikan
dengan
leguminosa,
kacang-kacangan maupun sisa pengolahan
industri pertanian seperti ampas tahu, ampas
kecap, bungkil kedelai, bungkil kelapa serta
mineral lainnya yang diperlukan.
Dalam memanfaatkan limbah hasil
pertanian dan perkebunan sebagai pakan
ternak, seleksi jenis limbah tanaman perlu
dilakukan untuk mengurangi efek samping
terhadap kesehatan ternak dan keamanan
produknya. Seleksi dapat dilakukan dengan
mengetahui terlebih dahulu mutu nutrisi pakan
limbah pertanian dan perkebunan, kandungan

111

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

toksin dan/atau antinutrisi didalam tanaman


dan cemaran berbahaya pada tanaman. Seiring
dengan meningkatnya aktivitas pertanian
organik saat ini, maka limbah hasil pertanian
organik tersebut merupakan alternatif yang
dapat diterapkan untuk mendapatkan pakan
limbah yang mampu mengurangi resiko
terjadinya residu bahan beracun berbahaya
pada produk ternak serta mengurangi ancaman
terhadap kesehatan ternak.
Pertanian organik merupakan salah satu
pendekatan alternatif untuk meminimalisasi
residu pestisida baik pada produk ternak,
pertanian maupun kontaminasi pada lahan
pertanian. INDRANINGSIH et al., (2004)
melakukan
serangkaian
pengamatan
penggunaan limbah hasil pertanian organik
sebagai pakan terhadap residu pestisida pada
produk ternak. Hasil analisis residu pestisida
pada limbah pertanian yang akan diberikan
kepada ternak percobaan menunjukkan bahwa
pada limbah hasil pertanian organik (kol dan
jagung) masih terdeteksi residu pestisida
(Tabel 13) dengan total residu masing-masing

limbah hasil pertanian sebesar 0,1 ppb (limbah


kol organik) dan 29,5 ppb (daun jagung), tetapi
masih dibawah nilai toksisitas. Pada limbah kol
terdeteksi 0,1 ppb OC dan tidak terdeteksi
pestisida OP, sedangkan pada daun jagung
terdeteksi 7,8 ppb OC dan 21,7 ppb OP.
Selanjutnya pemberian limbah hasil pertanian
organik kepada ternak ruminansia terlihat
terjadinya penurunan kadar residu pestisida
pada produk ternak yang dihasilkan.
Pemberian limbah kol organik kepada sapi
perah tidak menimbulkan residu pestisida pada
susu sapi perah, sedangkan pemberian daun
jagung organik kepada sapi potong terjadi
penurunan kadar residu pestisida OP dari 8,8
ppb (hari pertama) menjadi tidak terdeteksi
pada hari berikutnya tetapi tidak terjadi
perbedaan yang nyata pada kadar residu
pestisida OC dalam serum sapi selama 15 hari
pengamatan (Tabel 14). Sehubungan dengan
sifat fisik pestisida golongan OC yang sulit
mengurai pada kondisi alam, maka residu
pestisida OC masih terdeteksi pada serum sapi
potong.

Tabel 13. Residu pestisida pada limbah pertanian organik sebagai pakan ternak alternatif yang dikoleksi dari
Pangalengan dan Lampung
Jenis Pakan Limbah

Total residu per golongan (ppb)

Total residu (ppb)

Limbah kol
Daun jagung
Rata-rata total

OC
0,1
7,8
3,9

0,1
29,5
14,8

OP
Tt
21,7
10,9

Sumber: INDRANINGSIH et al., 2004


Tabel 14. Residu pestisida pada susu sapi perah dan serum sapi potong yang diberi pakan limbah pertanian
organik.
Jenis pestisida
Susu sapi perah:
Organokhlorin
Organofosfat
Serum sapi potong:
Organokhlorin
Organofosfat
Sumber: INDRANINGSIH et al., 2004

112

Non-organik (hari/ppb)

Organik (hari/ppb)
1

15

15

tt
tt

Tt
Tt

tt
tt

49,6
Tt

10,2
tt

tt
tt

0,26
8,8

0,36
Tt

0,25
tt

Ta
Ta

ta
ta

ta
ta

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

DAFTAR PUSTAKA
ARITONANG, D. 1984. Pengaruh penggunaan bungkil
inti sawit dalam ransum babi sedang
bertumbuh. Thesis Pasca Sarjana IPB Bogor.
BADAN PUSAT STATISTIK, 2003. Statistik Indonesia.
Badan Pusat Statistik, Jakarta.
BARTIK, M., and A. PISKA, 1981. Veterinary
Toxicology, Development in Animal and
Veterinary Sciences. 7. Elsevier Scientific
Publishing Company.
BAHRI, S., P. ZAHARI dan H. HAMID. 1990.
Penggunaan arang aktif untuk mencegah
aflatokosikosis pada itik. Penyakit Hewan. 40:
122-127.
CHEMJONG, P.B. 1991. Economic value of ureatreted straw fed to lactating buffaloes during
the dry season in Nepal. Trop. Anim. Health
Prod. 23(3): 147154.
CORRIGAN, P.J., and P. SENEVIRATNA, 1990.
Occurrence of organochlorine residues in
Australian meat. Aust. Vet. J. 67(2): 5658.
CULVENOR. C.C.J. 1974. The hazard from toxic
fungi in Australia. Aust. Vet. J. 50: 69-78.
DJAJANEGARA, A. 1999. Local livestock feed
resources. In Livestock Industries of
Indonesia Prior to the Asian Financial Crisis.
FAO Regional Office for Asia and the Pacific.
Pp: 2939.
DONEFER, E., L.A. JAMES and C.K. LAURIE, 1975.
Use of a sugarcane derived feedstuff for
livestock. In R.L. Read ed. Third World
Conference
on
Animal
Production.
Melbourne. World Association of Animal
Production. Pp: 563566.
DOYLE, P.T., C. DEVENDRA and G.R. PEARCE. 1986.
Rice straw as feed for ruminants. IDP
Canberra, Australia.
FFOULKES, D. 1986. Practical feeding sytems for
roughages based on sugar-cane and its byproducts. Ruminant Feeding Systems Utilizing
Fibrous Agricultural Residues, 1985. IDP
ADAB. Canberra. Pp: 1126.
GOEBEL, H., S. GORBACH, W. KAUF, R.H. RIMPAU
and H. HUTTENBACH. 1982. Properties,
effects, residues and analytics of insecticides
endosulfan. Residue Review. 83: 5688.
HARYANTO, B. 2003. Jerami padi fermentasi sebagai
ransum dasar ternak ruminansia. Warta
Litbang Pertanian. 25(3): 13.

HARYANTO, B dan M. WINUGROHO. 2000.


Meningkatkan kualitas silase jerami padi.
Warta Litbang Pertanian. 22(3): 1819.
IBRAHIM, A.M., A.A. RAGUB, M.A. MORSEY, M.M.
HEWEDI and C.J. SMITH. 1994. Application of
an aldrin and dieldrin ELISA to the detection
of pesticides in eggs. Food and Agric.
Immunol. 6: 3944.
INDRANINGSIH, 1988. Pengenalan keracunan
pestisida
golongan
organofosfat
pada
ruminansia.
Pros.
Seminar
Nasional
Peternakan dan Veteriner jilid I. Puslitbang
Peternakan, Bogor 18-19 Nopember 1997:
104-109
INDRANINGSIH, 1998. Pengenalan keracunan
pestisida
golongan
organofosfat
pada
ruminansia.
Pros.
Seminar
Nasional
Peternakan dan Veteriner, jilid I. Puslitbang
Peternakan pp: 104109.
INDRANINGSIH, R. MARYAM, R. MILTON and R.B.
MARSHALL. 1988. Organochlorine pesticide
residues in bird eggs. Penyakit Hewan. XX
(36): 98100.
INDRANINGSIH, R. WIDIASTUTI dan R. MARYAM.
1999. Pengaruh pemberian arang aktif
terhadap perubahan enzim dan kadar
theobromin pada kambing. Pros. Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang
Peternakan. Pp: 615620.
INDRANINGSIH dan Y. SANI, 2004. Residu pestisida
pada produk sapi: masalah dan alternatif
penanggulangannya. Wartazoa 14(1): 113.
INDRANINGSIH, Y. SANI, R. WIDIASTUTI, E.
MASBULAN and G.A. BONWICK. 2004.
Minimalization of pesticide residues in animal
products. Pros. Seminar Nasional Parasitologi
dan Toksikologi. Balai Penelitian Veteriner
Department for International Development
(UK). Pp: 105126.
INDRANINGSIH dan Y. SANI. 2005. Kajian
kontaminasi pestisida pada limbah padi
sebagai pakan ternak dan alternatif
penanggulangannya. Pros. Seminar Nasional
Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya
Saing di Lahan Kering. Puslitbang Peternakan
UGM. Pp: 108119.
INDRANINGSIH, Y. SANI and R. WIDIASTUTI. 2005.
Evaluation of farmers appreciation in reduing
pesticide by organic farming practice. Indo. J
of Agric. Sci. 6(2): 5968.
ISHIDA, M., and O.A. HASSAN. 1997. Utilization of
oil palm frond as cattle feed. JARQ 31: 4147.

113

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

KAHUNYO, J.M., C.K. MAITAI and A. FROSLIE. 2001.


Organochlorine pesticide residues in chicken
fat: a survey. Environ. Sci. Technol. 35(10):
19891995.

NJAU, B.C., 1988. Pesticide poisoning in livestock


in Northern Tanzania cases investigated 19771978. Bull of Animal Health and Production
in Africa 36(2):170

MAHENDRI,
I.G.A.P.,
B.
HARYANTO,
E.
HANDIWIRAWAN, A. PRIYANTI, L. NATALIA,
INDRANINGSIH dan R.A. SAPTATI. 2005.
Laporan Inovasi Teknologi Pakan Padi
Fermentasi
dengan
Probion
untuk
Meningkatkan Kinerja Produksi Ternak
Ruminansia. Puslitbang Peternakan, 2005.

NTOW, W.J., 2003. Organochlorine pesticides in


water, sediment, crops, and human fluids in a
farming community in Ghana, Food Addit.
Contam. 20(3): 270275.

MAITHO, T. 1992. A study of pesticide residues in


bovine fat from Kenya. Zimbabwe Vet. J. 23
(2): 6771.
MARYAM. R. 2006. Pengendalian terpadu
kontaminasi mikotoksin. Wartazoa. 16(1): 2130.
MATHIUS, I.W. 2003. Perkebunan kelapa sawit dapat
menjadi basis pengembangan sapi potong.
Warta Litbang Pertanian 25 (5): 14.
MATHIUS, I.W., dan A.P. SINURAT. 2001.
Pemanfaatan bahan pakan inkonvensional
untuk ternak. Wartazoa 11 (2): 2031.
MATHIUS, I.W., D. SITOMPUL, B.P. MANURUNG dan
AZMI. 2004. Produk samping tanaman dan
pengolahan kelapa sawit sebagai bahan pakan
ternak sapi potong: Suatu tinjauan. Pros.
Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa
SawitSapi. Badan Litbang Pertanian,
Pemprov Bengkulu dan PT. Agricinal. Pp:
120128.
MATONDANG, R.H. dan A.Y. FADWIWATI. 200.
Pemanfaatan jerami jagung fermentasi pada
sapi dara Bali (Sistem Integrasi Jagung Sapi).
Pros. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan
Ternak. Puslitbang Peternakan. Pp: 104108.
MUSOFIE, A. 1987. Potential and utilizayion of sugar
cane residues as animal feed in Indonesia. A
review. Pros. Limbah Pertanian sebagai
Pakan dan Manfaat Lainnya. Grati. Pp: 200215.
MUSOFIE, A., N.K. WARDHANI
dan
S.
TEDJOWAHJONO. 1981. Penggunaan pucuk
tebu pada sapi Bali jantan muda. Pros.
Seminar Penelitian Peternakan, 2326 Maret
1981. Bogor.
NEUMANN, C.B. 1988. The occurence and variation
of organochlorine pesticide residues detected
in Australian livestock at slaughter. Acta Vet.
Scan. 84: 299302.

114

ODONOVAN, P.B. 1970. World Humid Research.


FAO 13 (32).
PASARIBU, T., A.P. SINURAT, T. PURWADARIA,
SUPRIYATI dan H. HAMID. 1998. Peningkatan
nilai gizi lumpur sawit melalui proses
fermentasi: pengaruh jenis kapang, suhu dan
lama proses enzimatis. JITV 3(4): 237242.
PASARIBU, T., N. ARINI, T. PURWADARIA dan A.P.
SINURAT. Evaluasi nilai gizi lumpur sawit
dengan penambahan fosfor dari sumber yang
berbeda. JITV 8(3): 1571 63.
PRESTON, T.R. and E. MURGUEITO. 1992.
Implications of the energy and environmental
crisis. Sustainable production systems. In
Strategy for Sustainable Livestock Production
in the Tropics. Condrit Ltd. Cali Columbia.
Pp: 2027.
RANGKUTI, M. and A. DJAJANEGARA. 1983. The
utilization of agricultural by-products and
wastes in Indonesia. Proc. of the Workshop on
Organic Residues in Rural Communities Bali.
11-12 Dec. 1979. ed. C. A. Shacklady. UNUP,
Tokyo. pp: 2327.
SABRANI, M. dan A.R. SETIOKO, 1983. Itik gembala
dan masalahnya di daerah persawahan di
pedesaan. Poultry Indonesia. 45-47.
SAONO, S., dan D. SASTRAPRADJA. 1983. Major
Agricultural Crop Residues in Indonesia and
their Potential as Raw Materials for
Bioconversion. Proc. of the Workshop on
Organic Residues in Rural Communities Bali.
11-12 Dec. 1979. ed. C. A. Shacklady. UNUP,
Tokyo. pp 11-23.
SCHIERE, J.B., and A.L. NELL. 1993. Feeding of
urea treated straw in the tropics. 1. Review of
its technical principles and economics. Anim.
Feed Sci. Tech. 43: 135147.
SHARIF, Z.A. 1984. The utilization of fresh and
stored rice straw by sheep. In The Utilization
of Fibrous Agricultural Residues in Animal
Feeds. Ed. By P.T. Doyle. Melbourne,
Australia. Pp: 5461.

Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

SOEJITNO, J., 2002. Pesticide residues on food crops


and vegetables in Indonesia. J. Litbang
Pertanian. 21(4): 124132.
SOERJANI, M., 1990. Trend of pesticide use in
Indonesia and Asian countries with negative
impact to the environment. In Crop Protection
Toward the Sustainable Agriculture and
Environmental
Safe
Agricon.
S.
Prawirosoemardjo and Basuki (eds). 719-745.
STANDAR NASIONAL INDONESIA, 2001. Batas
maksimum cemaran mikroba dan batas
maksimum residu dalam bahan makanan asal
hewan. Direktorat Jenderal Bina Produksi
Peternakan, Jakarta.
SUTIKNO, A.I. 1997. Pod cokelat untuk pakan ternak
ruminansia. Wartazoa 6(2): 38 43.
UTOMO, R., M. SOEJONO and J.B. SCHIERE. 1988.
Review of duration and concentration of urea
treated straw on digestibility. Proc.
Bioconversion Project Second Workshop on
Crop Residues for Feed and Other Purposes.
Grati, 1617 Nopember 1987. pp: 36 58.
VARSHEYA, C., H.S. BAGHGA and L.D. SHARMA.
1988. Effect of insecticide on humoral
immune response in cockerels. Short
Communication. Bri. Vet. J. 144: 610 612.
WAHYONO, D.E. 2001. Pengkajian teknologi
complete feed pada usaha penggemukan
domba. Laporan Hasil Penelitian BPTP Jawa
Timur. Malang.

WAN ZAHARI, M., O.A. HASSAN, H.K. WONG and


J.B. LIANG. 2003. Utilization oil palm frondbased diet for beef cattle production in
Malaysia. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 16(4): 625
634.
WILLETT, L.B., A.F. ODONNELL, H.I. DURST and
M.M. KURSZ, 1993. Mechanisms of
movement of organochlorine pesticides from
soils to cows via forages. J. Dairy Sci.
76:1635 1644.
WIDIASTUTI, R., D. GHOLIB dan R. MARYAM. 1995.
Mikotoksin dan kapang pencemar pada pakan
ternak asal limbah pertanian dan agroindustri.
Pros. Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Cisarua, 7-8 November 1995. Jilid
2. Pp. 915 - 920.
WINUGROHO, M dan S. MARIATI, 1999. Kecernaan
daun kelapa sawit sebagai pakan ternak
ruminansia. Laporan Penelitian. Balai
Penelitian Ternak, Bogor.
WONG, H.K. and W.M. WAN ZAHARI. 1992. Oil
palm by products as animal feed. Proc. of the
MASP Annual Conference. Kuala Trengganu.
Pp: 58 61.
YERUHAM, I., Y. AVIDAR and S. PEARL. 2004.
Photosensitivity of feedlot calves apparently
related to cocoa shells. J. Plant Physiol. 161
(4): 363 369.
YUNINGSIH dan R. DAMAYANTI. 1994. Gambaran
patologis keracunan insektisida organofosfat
pada ayam. Penyakit Hewan. 26(47): 53 56.

115

Anda mungkin juga menyukai