PENDAHULUAN
Selama proses belajar mengajar pendidikan jasmani, ketika permainan sepak bola menjadi pilihan materi pembelajaran, dan seorang siswa men-tackle
siswa lain secara agresif sehingga menyebabkan cedera pada pemain yang
bersangkutan. Contoh lain ketika sedang bermain bola voli, banyak para
siswa merasa gagal dan tidak mampu
bermain sehingga menyebabkan siswa
mengalami kejenuhan dan malas belajar
pendidikan jasmani dan olahraga. Pada
saat bermain bola basket, seorang pemain bertindak bermain sendiri dan tidak mau bermain secara kelompok sehingga yang bersangkutan merasa paling hebat. Semua ini adalah masalahmasalah moral, yang lebih jauh menjadi
masalah karakter.
124
125
area permainan sendiri, meskipun dia
tahu bahwa perbuatan seperti itu tidak
fair, tetapi dia akhirnya berbuat tidak
jujur juga.
Sebagai seorang guru pendidikan
jasmani, seberapa peduli seorang guru
pendidikan jasmani terhadap isu-isu seperti ini? Seorang guru pendidikan jasmani tidak hanya mengajar aspek fisikal siswa saja, tetapi juga aspek sosial
dan moral. Guru pendidikan jasmani
dapat melakukan hal ini baik secara sadar maupun tidak sadar. Jika seorang
guru pendidikan jasmani merasa tidak
setuju dengan satu sikap dan perilaku
siswa, maka guru tersebut harus dapat
membuat suasana pemebelajaran yang
mengoreksi sikap dan perilaku tersebut.
Bagaimana pendidikan jasmani dapat mengajarkan karakter-karakter moral yang diinginkan? Bagaimana pula
guru pendidikan jasmani mengembangkan sikap dan perilaku moral siswa?
Sementara dibalik ini semua, diyakini
bahwa pendidikan jasmani dapat mengembangkan aspek-aspek sosial dan
moral para siswa. Hal ini dapat terjadi
ketika pendidikan jasmani dan olahraga
membangun karakter dan nilai-nilai
yang bermoral. Seperti halnya diyakini
bahwa olahraga dapat mengembangkan
sikap fair play dan sportmanship bagi setiap pelakunya.
Perkembangan etika-sosial siswa dapat menjadi salah satu tujuan penyelenggaraan pendidikan jasmani di berbagai negara. Namun, beberapa studi
menunjukkan bahwa pendidikan jasmani tidak memiliki bukti-bukti ini. Sebagai contoh, kontribusi positif pendidikan jasmani dari beberapa literatur
diyakini hanya merupakan mitos-tua
126
aktivitas jasmani mengembangkan karakter secara otomatis, meningkatkan
alasan-moral, dan mengajarkan nilai
dari ciri-ciri olahragawan sejati, tetapi
sedikit bukti bahwa itu semua membangun karakter. Partisipasi dalam pendidikan jasmani dan olahraga tidak secara otomatis menghasilkan orang yang
baik atau jahat. Karakter tidak datang
dengan sendirinya, tetapi diajarkan dalam program pendidikan jasmani dan
olahraga, pengajaran alasan-moral dan
nilai-nilai olahraga itu melibatkan penggunaan strategi tertentu yang sistematis.
Bagaimana kaitan antara karakter
dan olahraga? Telah menjadi keyakinan
umum bahwa aktivitas olahraga syarat
dengan nilai-nilai karakter seperti kejujuran, sportivitas, disiplin, dan kepemimpinan. Weinberg dan Gould (2003:
527) mengatakan bahwa karakter merupakan sebuah konsep dari moral,
yang tersusun dari sejumlah karakteristik yang dapat dibentuk melalui aktivitas olahraga, antara lain: rasa terharu
(compassion), keadilan (fairness), sikap
sportif (sport-personship), integritas (integrity). Semua nilai-nilai tersebut ditanamkan melalui ketaatan atau kepatuhan
seseorang dalam berkompetisi sesuai
dengan peraturan permainan yang berlaku pada cabang olahraga yang digelutinya. Di dalam peraturan permainan
melekat semangat keadilan dan tuntutan kejujuran para pelaku olahraga saat
menjalankan pertandingan.
Terdapat ungkapan yang sudah
menjadi keyakinan sejarah dari waktu
ke waktu: Sport build character (Maksum,
2005; 2002). Kofi Anan, mantan Sekjen
PBB pernah menyatakan: Sport teaches
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
127
yang diinginkan. Ketiga, olahraga membutuhkan seperangkat pengalaman,
membuat penyesuaian, dan belajar untuk mengatasi masalah. Sejalan dengan
hal itu, Martinek & Schilling (2009)
menggagas sebuah program yang disebut sebagai After Shool Program. Program ini dilandasi pemikiran Halpern
(2005) sebagai upaya memenuhi kebutuhan perkembangan anak, ketika
anak secara alamiah memerlukan kegiatan-kegiatan yang berdampak positif
Tanggung
jawab
Peduli
Jujur
Fair
Beradap
128
Pengaruh Positif Olahraga
Menurut Seefeldt & Ewing, Shields
& Bredemeier, (Gould, 2003:534), penelitian telah menunjukkan bahwa partisipasi remaja dalam kegiatan olahraga
mengurangi perilaku kejahatan daripada para remaja yang tidak berpartisipasi dalam kegiatan olahraga. Lebih
lanjut dinyatakan, hubungan negatif antara partisipasi berolahraga dengan kejahatan ringan/penyimpangan sosial tampak lebih menguat pada remaja yang
berada dalam komunitas miskin. Namun demikian, hal yang belum nampak
jelas adalah mengapa hubungan ini bisa
muncul? Untuk keperluan itu, beberapa
hal yang perlu mendapat penjelasan
adalah kesenjangan sosial, ikatan sosial,
pelabelan sosial, dan pembedaan ekonomi.
Hubungan negatif antara berpartisipasi dalam kegiatan olahraga dengan
penyimpangan sosial berupa kesenjangan sosial, ketika para atlet tidak sering,
dan tidak intens berinteraksi dengan
penyimpangan sosial. Dengan perkataan lain, berpartisipasi dalam kegiatan
olahraga menjaga remaja jauh dari kegiatan di jalanan dan jauh dari masalahmasalah sosial.
Ikatan sosial dicirikan oleh remaja
yang berpartisipasi dalam kegiatan olahraga mengembangkan rasa pengakuan
terhadap orang lain, terutama pada
orang yang dominan, pro nilai-nilai sosial. Seorang atlet muda mengidentifikasi dirinya dengan pelatihnya dan
regunya dan karena itu mereka belajar
nilai-nilai kerjasama, kerja keras, dan
berprestasi.
Pelabelan sosial dicirikan oleh tumbuh kembangnya pengakuan nilai-nilai
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
129
Partisipasi Berolahraga dan Perilaku
(Kelompok) Gang
Gang dan perilaku negatif berkaitan
satu sama lain (misalnya: kejahatan, perkelahian, atau pembunuhan). Di kotakota besar dan daerah urban serta berbagai daerah kontemporer perilaku gang
ini sering muncul. Berpartisipasi dalam
olahraga diarahkan sebagai suatu alternatif untuk menekan perilaku gang dalam beberapa alasan. Pertama, beberapa
alasan mengapa remaja membentuk
gang adalah sebagai bentuk kelompok
aliansi tandingan keluarga, rendahnya self esteem, dan rendahnya model
peran positif. Kedua, anak-anak remaja
terpelihara menjadi anggota gang ka-rena merasa terpenuhi segala kebutuhannya dalam berbagai cara. Seakan-akan,
gang memberikan identitas dan pengakuan sebagaimana fungsinya dalam
sebuah keluarga.
Namun demikian, telah banyak disarankan, bahwa berpartisipasi dalam
kegiatan olahraga dapat berfungsi sebagai pengganti layanan yang diberikan
dalam sebuah gang. Terutama, ketika
anak-anak remaja berpartisipasi dalam
kegiatan olahraga (karena lemahnya
pengawasan orang tua, atau karena tekanan ekonomi), maka perlu difasilitasi
untuk mengembangkan self esteem, memberikan rasa identitas penting, memberikan dukungan sosial, dan memberikan peran model positif. Dengan demikian, telah sering terbukti bahwa berpartisipasi dalam kegiatan olahraga
adalah alternatif untuk menekan terbentuknya gang di kalangan generasi
muda.
Penting untuk dipahami bahwa olahraga akan memberikan suatu alternatif
terhadap perilaku negatif ketika program olahraga itu dijalankan secara tepat, terorganisir, dan sungguh-sungguh
diimplementasikan. Olahraga tidak akan
menguntungkan dengan sendirinya, tetapi perlu dikelola dan diarahkan agar
memberikan keuntungan fisiologis dan
psikologis, seperti sering dikemukakan
dalam berbagai literatur sosiologi atau
psikologi olahraga. Pembentukan nilai
dilihat sebagai sebuah proses reorganisasi dan transformasi struktur dasar penalaran individu (Maksum, 2007; Shields,
& Bredemeier, 2006). Pembentukan nilai
bukanlah sekadar menemukan berbagai
macam peraturan dan sifat-sifat baik,
melainkan suatu proses yang membutuhkan perubahan struktur kognitif dan
rangsangan dari lingkungan sosial. Dengan demikian, berpartisipasi dalam
kegiatan olahraga tidak dengan sendirinya membentuk nilai individu, tetapi
apa yang dianggap sebagai nilai-nilai
nilai tersebut harus diorganisasi, dikonstruksi, dan ditransformasikan ke
dalam struktur dasar penalaran individu yang berpartisipasi di dalamnya
(Stornes & Ommundsen, 2004; Stuntz &
Weiss, 2003).
Suatu penelitian yang dilakukan oleh
(Trulson, 1986; dalam Gould, 2003: 535),
yang membagi kelompok remaja nakal
kedalam tiga kelompok berbeda. Kelompok pertama, melakukan olahraga Tae
Kwon Do dengan menekankan pada pertarungan dan teknik mempertahankan
diri. Kelompok kedua, melakukan olahraga Tae Kwon Do secara tradisional,
yang menekankan pada refleksi filosopikal, meditasi, dan latihan jasmani. Kelompok ketiga, sebagai ke-lompok kontrol mendapatkan perlakuan bermain
130
sepakbola dan basket. Setelah selama
enam bulan, remaja pada kelompok pertama kurang baik dalam penyesuaian
dan mendapat skor tertinggi pada pengukuran agresi dan penyimpangan sosial
daripada skor yang sama pada awal
perlakuan. Remaja pada kelompok kedua, menunjukkan sikap agresi di bawah normal dan menunjukkan rendahnya sikap kecemasan, lebih memiliki
keterampilan sosial, dan meningkatkan
self esteeem. Kelompok remaja yang bermain sepakbola dan bola basket menunjukkan sedikit perubahan pada personaliti dan penyimpangan, tetapi meningkat dalam hal self-esteem dan keterampilan sosial.
Sangat penting untuk dicatat bahwa
berpartisipasi dalam kegiatan olahraga
tidak cukup secara positif mempengaruhi perilaku negatif. Program olahraga
harus dipersatukan dengan pengajaran
secara sosiologis dan psikologis dalam
upaya mendapatkan tujuan-tujuan yang
diinginkan.
PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER DAN NILAINILAI OLAHRAGA
Meskipun banyak orang berbeda
pandangan tentang bagaimana mengembangkan karakter dan nilai-nilai olahraga, tetapi paling tidak ada tiga pendekatan yang sering digunakan untuk
dapat menjelaskannya, yaitu: pendekatan belajar sosial (social learning), pengembangan struktural, dan pendekatan sosial psikologikal (Gould, 2003:
528).
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
131
dan semua siswa menginginkan hal
yang sama mendapat penilaian dan perhatian positif dari gurunya. Guru pendidikan jasmani mencatat semua hal
baik yang dilakukan para muridnya dan
menguatkan dan menghargai segala perbuatan positif yang dilakukan para
muridnya tersebut. Lingkungan belajar
seperti inilah akan dapat membangun
karakter.
Pendekatan Perkembangan-Struktural
(Structural-Development Approach)
Weiss & Bredemeier (Gould, 2003:
529) mengatakan bahwa berbeda dengan pendekatan belajar sosial, yang
menekankan pada pemodelan, penguatan, dan pembandingan sosial, pendekatan perkembangan struktural menekankan pada bagaimana perubahan secara psikologikal dan perkembangan
ketika siswa berinteraksi dengan pengalaman lingkungan untuk membentuk
alasan-moral (moral reasoning). Dalam
hubungan ini, para ahli psikologi olahraga mengajukan beberapa istilah yang
tercakup dalam pendekatan perkembangan struktural ini, yaitu perkembangan moral (moral development), alasan-moral (moral reasoning), dan perilaku
moral (moral behavior). Perlu dicatat bahwa moral yang dimaksud disini adalah
moral yang tidak ada implikasinya dengan nilai-nilai keagamaan.
Alasan-Moral adalah proses keputusan ketika seseorang menentukan
mana yang benar atau mana yang salah
dari suatu tindakan tertentu. Karena
itu, alasan moral memfokuskan pada
bagaimana keputusan seseorang memutuskan beberapa tindakan tertentu. Sebagai contoh, membantu pemain yang
132
siswanya mendapatkan pengalaman dan
perubahan perkembangan kognitif sehingga siswa mampu menentukan tindakan yang benar dan yang salah. Konsepsi moralitas perlu diintegrasikan dengan pengalaman dalam kehidupan sosial. Pemikiran moral dapat dikembangkan antara lain dengan dilema moral,
yang menuntut kemampuan peserta didik untuk mengambil keputusan dalam
kondisi yang sangat dilematis. Dengan
cara ini, pemikiran moral dapat berkembang dari tingkat yang paling rendah yang berorientasi pada kepatuhan
pada otoritas karena takut akan hukuman fisik, ke tingkat-tingkat yang lebih
tinggi, yaitu berorientasi pada pemenuhan keinginan pribadi, loyalitas pada
kelompok, pelaksanaan tugas dalam
masyarakat sesuai dengan peraturan
atau hukum, sampai yang paling tinggi,
yaitu mendukung kebenaran atau nilainilai hakiki, khususnya mengenai kejujuran, keadilan, penghargaan atas hak
asasi manusia, dna kepedulian sosial.
Perilaku Moral adalah tindakan perilaku yang terjadi benar atau salah.
Dengan demikian, alasan-moral hasil
dari pengalaman individual, dan perkembangan serta pertumbuhan siswa
dan psikologikal yang memandu perilaku moral. Lebih lanjut, alasan moral
adalah sekumpulan rentetan prinsip
umum etika yang mendasari tindakan
khusus secara situasional. Para pengembangan struktural menekankan bahwa
kemampuan untuk memberikan alasan
secara bermoral bergantung pada tingkatan kognitif dan perkembangan mental orang yang bersangkutan (misal, kemampuan anak untuk berpikir secara
konkret atau abstrak). Alasan dan pe-
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
133
sejati. Dengan demikian, Vallerand menyarankan untuk melihat karakter dari
pandangan yang lebih kompleks, perspektif personal dan faktor-faktor situasional yang menentukan ciri-ciri olahragawan sejati. Perkembangan karakter
berkembang dari keputusan seseorang
tentang benar atau salah dari tindakan
minat orang itu dengan keterlibatan minat mutual.
Karena itu, penting mempertimbangkan sikap, nilai-nilai, dan normanorma budaya dari kelompok atau individu tertentu, dan tahapan alasanmoral dalam upaya memahami bagaimana meningkatkan perkembangan karakter dan ciri-ciri olahragawan sejati.
Ini berarti, nampaknya mengambil keuntungan dari apa yang telah dipelajari
melalui pendekatan belajar sosial dan
perkembangan struktural, sehingga menjadi pendekatan sosial-psikologikal.
STRATEGI MENINGKATKAN PENGEMBANGAN KARAKTER
Pendekatan belajar sosial, pengembangan struktural, dan sosial-psikologikal telah memberikan landasan pemahaman ciri-ciri olahragawan sejati dan
pengembangan karakter. Sembilan strategi telah dikembangkan dari ketiga
pendekatan di atas. Berikut dijelaskan
bagaimana ke-9 strategi itu dapat mengembangkan karakater.
Rumuskan dan Tuangkan dengan
Jelas Ciri-Ciri Olahragawan Sejati di
dalam Program
Ketiadaan definisi universal olahragawan sejati dalam program pendidikan jasmani atau olahraga akan
134
Tabel 2. Program Ciri-ciri Olahragawan Sejati Olahraga Usia Dini
Konsentrasi Perilaku
Perilaku terhadap
Wasit dan Panitia
Perilaku terhadap
lawan bertanding
Perilaku terhadap
teman satu regu
Perilaku terhadap
penonton
Aturan dan peraturan yang disepakati
- Menghina wasit
- Beradu pendapat terhadap
panitia
- Melakukan perbuatan
sarkastik terhadap lawan
- Melakukan perilaku agresi
terhadap lawan
- Membuat komentar negatif
Menghina teman
- Beradu pendapat terhadap
penonton mengejek penonton
- Mengambil keuntungan dari
aturan yang diberlakukan.
lakukan siswa). Berikan penjelasan secara rasional atas semua tindakan benar
atau salah para siswa.
Menurut Marten (Gould, 2003: 536),
sangat penting menekankan alasan di
balik suatu tindakan. Kemampuan untuk menjustifikasi mulai berkembang
pada usia 7 atau 8 tahun. Pada anak
usia 10 tahun dapat ditekankan pada
pengambilan peran. Kemudian, pada
tingkatan empati tertinggi, kemampuan
dua orang anak untuk melakukan perspektif satu sama lain bisa dilakukan
ketika memutuskan bagaimana melakukan suatu tindakan.
Diskusikan Dilema Moral dan
Pilihan-pilihan
Untuk terjadinya efektivitas pendidikan moral, partisipan harus terlibat
dalam dialog-diri dan diskusi kelompok
tentang dilema moral dan pilihan-pilihan. Suatu dilema moral membutuhkan
partisipan untuk memutuskan apakah
suatu tindakan moral benar atau salah.
Diskusi dapat berlangsung dalam berbagai cara pandang yang mungkin atau
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
135
tidak mungkin bertentangan dengan
aturan.
Membangun Dilema Moral dan Pilihan-pilihan ke dalam Situasi Praktik
Setelah beberapa pemain mencoba
memecahkan dilema, ikuti dengan diskusi tentang alasan moral yang melandasinya. Strategi ini untuk meningkatkan pengembangan karakter dan ciriciri olahragawan sejati membutuhkan
waktu, perencanaan, dan usaha. Untuk
suatu pengaruh optimal, para siswa
harus mengulanginya secara konsisten
sepanjang waktu, tidak hanya satu atau
dua kali ketika para siswa dihadapkan
pada suatu masalah.
Mengajarkan Strategi Belajar Kooperatif
Meskipun kompetisi dan kooperatif
penting untuk pengembangan optimal
motivasi berprestasi. Anak-anak di Amerika Serikat lebih cenderung menyukai
sifat kompetisi daripada kooperatif.
Oleh karena itu, dalam pengajaran aktivitas jasmani para siswa harus dibelajarkan melalui strategi belajar kooperatif. Miller dkk. (Gould, 2003:538) juga
menyebutkan bahwa kemampuan untuk belajar secara kooperatif penting
dalam pengembangan karakter. Cara
belajar kooperatif ini mungkin melibatkan penggunaan tingkatan tujuan dalam suatu permainan.
Menciptakan Suasana Motivasional
Berorientasi Tugas Gerak.
Penciptaan suasana motivasional
berorientasi pada tugas gerak memaksa
partisipan terfokus pada tugas daripada
egonya sendiri sehingga dapat menjus-
136
PANDUAN PRAKTIS DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER
Untuk memandu guru pendidikan
jasmani dalam mengembangkan karakter siswa melalui aktivitas jasmani dan
olahraga, beberapa isu filosofis perlu dikenali dalam ruang wawasan luas, termasuk peran guru pendidikan jasmani
dan pelatih dalam pengembangan moral. Selain itu, guru pendidikan jasmani
juga perlu memperhatikan peran kemenangan dan cara perilaku moral dibelajarkan atau ditransferkan kepada siswa di lapangan. Selain itu, kenali pula
sisi ketidak sempurnaan alamiah pengembangan karakter.
Peran Pendidik dalam Pengembangan
Karakter
Banyak orang meyakini guru dan
pelatih tidak memiliki tanggungjawab
pengajaran moral dan nilai-nilai kepada
anak-anak remaja. Karakter dan moral
adalah tanggungjawab orang tua dan
tokoh keagamaan, mereka menentangnya, itu bukan tanggungjawab sekolah,
terutama sekolah umum pemerintah.
Tentu, dapat disetujui bahwa pengajaran moral bukan percampuran nilai-nilai
keagamaan dengan tanggungjawab sekolah. Namun demikian, menelantarkan pendidikan karakter dalam nilainilai dasar seperti, kejujuran, empati,
dan kepedulian sosial adalah suatu kesalahan besar. Guru pendidikan jasmani, pelatih, dan instruktur olahraga masyarakat justru mengajarkan nilai-nilai
itu semua, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Shields & Bredemeier
(Gould, 2003:539) menyatakan bukan
hanya sekedar bagaimana memenangkan kompetisi olahraga, olahraga ada-
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
137
atau atlet. Sebuah kesusksesan atau kemenangan memiliki dua sisi baik dan
buruk.
Kemenangan memainkan peran penting dalam pengembangan karakter.
Pada satu sisi, penekanan terhadap kemenangan menimbulkan seseorang berani berbuat curang, melanggar aturan,
dan berperilaku seolah-olah seperti
yang terjadi di luar lapangan. Sisi lain,
ketika para pemain mampu bertahan
dengan nilai-nilai luhur dan mulia serta
berpegang teguh pada pengembangan
integritas, pembelajaran moral menjadi
semakin bermakna. Kemenangan itu
sendiri berada pada sisi netral dalam
pengembangan karakter. Kunci penting
adalah menempatkan kemenangan pada
porsi yang semestinya.
Lebih lanjut, kemampuan ini berkaitan dengan kompetensi sosial, otonomi, dan optimisme dan harapan.
Kompetensi sosial adalah kemampuan
untuk berinteraksi secara sosial dengan
orang lain dan menciptakan jejaring dukungan sosial secara kuat. Kelenturan
dan empati nampaknya kritis dalam pengembangan atribut seperti ini. Menjadi
sangat penting ketika belajar bagaimana
bernegoisasi, berhadapan, dan menangani tantangan dari orang lain. Otonomi, kemampuan untuk bisa sukses
dari kesusahan yang dialami memerlukan rasa pengendalian diri terhadap
lingkungan sekitar dan merasakan serta
bentindak secara independen. Dengan
kata lain, anak-anak remaja merasakan
otonomi, mereka dapat berfungsi sebagai individu menurut caranya sendiri.
Optimisme dan harapan, Martinek dan
Hellison (Gould, 2003:539) menyatakan
bahwa salah satu cara terbaik dalam
138
ketika akan mengajarkan nilai-nilai melalui aktivitas jasmani dan olahraga, diskusikan dan pelajari bagaimana nilainilai ini ditransfer ke dalam situasi lingkungan non-olahraga.
Miliki Harapan Realistik
Peningkatan karakter dan ciri-ciri
olahragawan sejati melalui aktivitas
jasmani dan olahraga bukanlah suatu
proses yang sempurna. Guru pendidikan jasmani tidak bisa mengajarkan kepada semua siswa pada saat yang sama.
Perlu dipahami keberhasilan seseorang
pasti disertai dengan kegagalan orang
lain. Ketidaksempurnaan pengembangan karakter ini tetap memberikan secercah harapan optimistik meskipun mensituasikan beberapa pengalaman masa
lalu.
PENUTUP
Karakter dan nilai-nilai moral yang
diyakini terkandung dalam aktivitas
jasmani dan olahraga tidak dengan sendirinya terinternalisasi dan terproyeksi
dalam kehidupan sehari-hari dari pelaku atau partisipan aktivitas jasmani
dan olahraga tersebut, melainkan nilai
moral yang telah dipilih harus diorganisasikan, dikontruksi, dan ditransformasikan ke dalam struktur dasar penalaran individu yang berpartisipasi di dalamnya.
Menyadari begitu pentingnya penguatan karakter nilai-nilai moral pada
anak-anak sejak dini, maka sebagai guru penjas, pelatih klub olahraga selalu
memperhatikan strategi pembelajaran
dan pelatihan yang dapat mentransformasikan nilai-nilai moral sebagai wujud
tanggung jawab profesi.
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
139
lopment. Research digest, Series 7,
No. 1, March 2006.
Stornes, T., & Ommundsen, Y. 2004.
Achievement Goals, Motivational Climate and Sportspersonship: A Study of Young Handball
Players. Scandinavian Journal of
Educational Research, 48, 205-221.
United Nation. 2003. Sport for Development and Peace: Towards Achieving
the Millenium Development Goals.
Report from the United Nations
Inter-Agency Task Force on Sport
for Development and Peace.
Zuchdi, Darmiyati. 2008. Humanisasi
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Stuntz, C. P. & Weiss, M. R. 2003. Influence of Social Goal Orientations and Peers on Unsportsmanlike Play. Research Quarterly
for Exercise and Sport, 74, 421-435.