Anda di halaman 1dari 16

PENGEMBANGAN KARAKTER DALAM OLAHRAGA

DAN PENDIDIKAN JASMANI


Sri Winarni
FIK Universitas Negeri Yogyakarta (e-mail: winuny@yahoo.co.id; HP: 08121570201)
Abstract: Character Development in Sports and Physical Education. There are
three approaches to character development, i.e. the social learning, structural development, and socio-psychological approaches. These underlie nine strategies to develop character through physical and sports activities. The strategies can be implemented by formulating characteristics of real sportspeople in a program,
strengthening sportsmanlike behaviors, modeling good and appropriate behaviors,
explaining why particular behaviors are good and acceptable, discussing moral
dilemmas, actualize moral dilemmas in actual situations, teaching cooperative
learning strategies, creating an atmosphere that motivates movement tasks, and
transferring power from leaders to participants (members).
Keywords: character development, sports, physical education

PENDAHULUAN
Selama proses belajar mengajar pendidikan jasmani, ketika permainan sepak bola menjadi pilihan materi pembelajaran, dan seorang siswa men-tackle
siswa lain secara agresif sehingga menyebabkan cedera pada pemain yang
bersangkutan. Contoh lain ketika sedang bermain bola voli, banyak para
siswa merasa gagal dan tidak mampu
bermain sehingga menyebabkan siswa
mengalami kejenuhan dan malas belajar
pendidikan jasmani dan olahraga. Pada
saat bermain bola basket, seorang pemain bertindak bermain sendiri dan tidak mau bermain secara kelompok sehingga yang bersangkutan merasa paling hebat. Semua ini adalah masalahmasalah moral, yang lebih jauh menjadi
masalah karakter.

Dalam sebuah pertandingan, seorang


pemain bola mengetahui bahwa berbuat mencederai lawan adalah perbuatan tidak fair. Pemain tersebut tidak mau
mencederai lawannya tetapi karena desakan pelatih, akhirnya melakukannya.
Dua orang bermain tenis tanpa ada
wasit. Seorang pemain, sebut saja Badu,
ingin memenangkan pertandingan saat
itu karena beberapa kali selalu tidak
beruntung. Dia memerlukan angka untuk dapat memenangkan pertandingan.
Pada akhir suatu bola rally, setelah tidak dapat mengembalikan bola, Badu
mengetahui bahwa bola jatuh di dalam
daerah permainannya sendiri. Karena
Badu telah memutuskan untuk memenangkan pertandingan saat itu, dan sangat ingin memenangkan pertandingan
itu, dia menyatakan bahwa bola yang
tidak terjangkaunya tadi jatuh di luar

124

125
area permainan sendiri, meskipun dia
tahu bahwa perbuatan seperti itu tidak
fair, tetapi dia akhirnya berbuat tidak
jujur juga.
Sebagai seorang guru pendidikan
jasmani, seberapa peduli seorang guru
pendidikan jasmani terhadap isu-isu seperti ini? Seorang guru pendidikan jasmani tidak hanya mengajar aspek fisikal siswa saja, tetapi juga aspek sosial
dan moral. Guru pendidikan jasmani
dapat melakukan hal ini baik secara sadar maupun tidak sadar. Jika seorang
guru pendidikan jasmani merasa tidak
setuju dengan satu sikap dan perilaku
siswa, maka guru tersebut harus dapat
membuat suasana pemebelajaran yang
mengoreksi sikap dan perilaku tersebut.
Bagaimana pendidikan jasmani dapat mengajarkan karakter-karakter moral yang diinginkan? Bagaimana pula
guru pendidikan jasmani mengembangkan sikap dan perilaku moral siswa?
Sementara dibalik ini semua, diyakini
bahwa pendidikan jasmani dapat mengembangkan aspek-aspek sosial dan
moral para siswa. Hal ini dapat terjadi
ketika pendidikan jasmani dan olahraga
membangun karakter dan nilai-nilai
yang bermoral. Seperti halnya diyakini
bahwa olahraga dapat mengembangkan
sikap fair play dan sportmanship bagi setiap pelakunya.
Perkembangan etika-sosial siswa dapat menjadi salah satu tujuan penyelenggaraan pendidikan jasmani di berbagai negara. Namun, beberapa studi
menunjukkan bahwa pendidikan jasmani tidak memiliki bukti-bukti ini. Sebagai contoh, kontribusi positif pendidikan jasmani dari beberapa literatur
diyakini hanya merupakan mitos-tua

dan tidak dilandaskan pada penelitianpenelitian empiris (pentingnya olahraga


bagi masyarakat, kesehatan, sosialisasi,
dan ekonomi). Sebaliknya, menurut
Shields & Bredemeier (Auweele, 1999)
322), beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa pendidikan jasmani jika
dilaksanakan dalam pengendalian yang
seksama akan dapat mempromosikan
perilaku-perilaku positif sosial dan pikiran-pikiran moral.
Beberapa hasil penelitian masih menunjukkan konflik tentang efek-efek sosial pendidikan jasmani, yang nampaknya belum bisa menunjukkan efek yang
jelas dan tegas. Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa hal terpenting yang
dapat mempengaruhi terbentuknya keterampilan sosial dan perilaku moral
positif siswa bisa terjadi manakala pendidikan jasmani diorganisasir secara sosial dan bergantung pada metode pengajaran yang digunakan guru. Melalui
tulisan ini, penulis ingin menunjukkan
bahwa pendidikan jasmani dapat menjadi lingkungan yang baik untuk perkembangan moral siswa asalkan mempertimbangkan beberapa syarat yang
diperlukan. Isu penting lain adalah bahwa pendidikan jasmani mengembangkan hubungan erat antara perilaku sosial dengan pikiran moral. Hal ini sangat terkait dengan terjadinya peristiwa
interaksi sosial diantara para siswa ketika sedang belajar pendidikan jasmani
dan olahraga.
NILAI-NILAI KARAKTER DALAM
OLAHRAGA
Menurut Hodge (Gould, 2003:533),
kebanyakan orang sepertinya meyakini
bahwa berpartisipasi dalam program

Pengembangan Karakter dalam Olahraga dan Pendidikan Jasmani

126
aktivitas jasmani mengembangkan karakter secara otomatis, meningkatkan
alasan-moral, dan mengajarkan nilai
dari ciri-ciri olahragawan sejati, tetapi
sedikit bukti bahwa itu semua membangun karakter. Partisipasi dalam pendidikan jasmani dan olahraga tidak secara otomatis menghasilkan orang yang
baik atau jahat. Karakter tidak datang
dengan sendirinya, tetapi diajarkan dalam program pendidikan jasmani dan
olahraga, pengajaran alasan-moral dan
nilai-nilai olahraga itu melibatkan penggunaan strategi tertentu yang sistematis.
Bagaimana kaitan antara karakter
dan olahraga? Telah menjadi keyakinan
umum bahwa aktivitas olahraga syarat
dengan nilai-nilai karakter seperti kejujuran, sportivitas, disiplin, dan kepemimpinan. Weinberg dan Gould (2003:
527) mengatakan bahwa karakter merupakan sebuah konsep dari moral,
yang tersusun dari sejumlah karakteristik yang dapat dibentuk melalui aktivitas olahraga, antara lain: rasa terharu
(compassion), keadilan (fairness), sikap
sportif (sport-personship), integritas (integrity). Semua nilai-nilai tersebut ditanamkan melalui ketaatan atau kepatuhan
seseorang dalam berkompetisi sesuai
dengan peraturan permainan yang berlaku pada cabang olahraga yang digelutinya. Di dalam peraturan permainan
melekat semangat keadilan dan tuntutan kejujuran para pelaku olahraga saat
menjalankan pertandingan.
Terdapat ungkapan yang sudah
menjadi keyakinan sejarah dari waktu
ke waktu: Sport build character (Maksum,
2005; 2002). Kofi Anan, mantan Sekjen
PBB pernah menyatakan: Sport teaches

life skill - sport remains the best school of


life (United Nation, 2003). United Nations
melalui Task force on Sport for Development and Peace menyatakan bahwa olahraga merupakan instrumen yang efektif
untuk mendidik kaum muda, terutama
dalam hal nilai-nilai (lihat Tabel 1). Sejak
tahun 2000, United Nations mengembangkan program yang disebut Young
Education through Sport, sebuah model
program olahraga dan pendidikan bagi
kaum muda. Sebagai pilot project, program ini telah dilakukan di Zimbabwe,
mencakup 10 propinsi dengan 25 ribu
partisipan (United Nations, 2003).
BEBERAPA BUKTI OLAHRAGA DAN
PENDIDIKAN JASMANI MEMBANGUN KARAKTER
Olahraga Remaja sebagai Pencuci Perilaku Negatif
Bukan hanya guru pendidikan jasmani yang menyatakan bahwa berpartisipasi dalam aktivitas jasmani meningkatkan perkembangan karakter dan perilaku positif. Administratur olahraga,
para pelatih, dan tokoh olahraga di masyarakat juga sering mengklaim bahwa
berpartisipasi dalam kegiatan olahraga
bagi kaum generasi muda mencegah
kenakalan di jalanan, jauh dari masalah
sosial, dan terhidar dari perilaku gang
(seperti: gang motor). Eric Larson (Gould,
2003:533), seorang ahli di bidang perkembangan remaja, memberikan contoh, kegiatan ekstrakurikuler olahraga
sangat potensial untuk mengarahkan
anak memiliki perilaku positif, dengan
beberapa alasan. Pertama, olahraga secara intrinsik memotivasi remaja. Kedua,
melibatkan upaya yang terus-menerus
untuk berpartisipasi ke arah tujuan

Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY

127
yang diinginkan. Ketiga, olahraga membutuhkan seperangkat pengalaman,
membuat penyesuaian, dan belajar untuk mengatasi masalah. Sejalan dengan
hal itu, Martinek & Schilling (2009)
menggagas sebuah program yang disebut sebagai After Shool Program. Program ini dilandasi pemikiran Halpern
(2005) sebagai upaya memenuhi kebutuhan perkembangan anak, ketika
anak secara alamiah memerlukan kegiatan-kegiatan yang berdampak positif

bagi perkembangan aspek moral, dan


mencari serta medapatkan pengalamanpengalaman ke arah kebiasaan atau kegiatan positif. Anak-anak memerlukan
ruangan untuk mengekspresikan kompetensinya secara spontan melalui berbagai ekspresi dan eksplorasi kegiatan
jasmani. Selain itu, anak-anak juga memerlukan tempat yang nyaman untuk
mewujudkan apa yang sebenarnya dimiliki dan diinginkan.

Tabel 1: Beberapa Indikator Nilai dalam Praktek Olahraga dan Kehidupan


Nilai Moral
Respek

Praktek dalam Olahraga


- Hormat pada aturan main dan tradisi.
- Hormat pada lawan dan offisial.
- Hormat pada kemenangan dan
kekalahan.

Tanggung
jawab

Peduli

Jujur

Fair

Beradap

Kesiapan diri melakukan sesuatu.


Disiplin dalam latihan dan bertanding.
Kooperatif dengan sesama pemain.
Membantu teman agar bermain baik
Membantu teman yang bermasalah
Murah pujian, kikir kritik
Bermain untuk tim, bukan diri sendiri
Patuh pada aturan main
Loyal pada tim
Mengakui kesalahan
Adil pada semua pemain termasuk
yang berbeda
- Memberikan kesempatan kepada
pemain lain
- Menjadi contoh/model
- Mendorong perilaku baik
- Berusaha meraih keunggulan

Potensi olahraga sebagai media positif bagi perkembangan remaja telah


banyak ditelaah oleh para ahli psikilogi
dan sosiologi. Untuk dapat menjawab
dua pertanyaan, apakah berpartisipasi

Praktek dalam Kehidupan


- Hormat pada orang lain
- Hormat pada hak milik orang
lain
- Hormat pada lingkungan dan
dirinya
- Memenuhi kewajiban
- Dapat dipercaya
- Pengendalian diri
- Menaruh empati
- Pemaaf
- Mendahulukan kepentingan
yang lebih besar
- Memiliki integritas
- Terpercaya
- Melakukan sesuatu dengan baik
- Mengikuti aturan
- Toleran pada orang lain
- Kesediaan berbagi
- Tidak mengambil keuntungan
dari kesulitan orang lain
- Mematuhi hukum dan aturan
- Terdidik
- Bermanfaat bagi orang lain

dalam kegiatan olahraga mencegah kejahatan ringan/penyimpangan sosial?


Apakah berpartisipasi dalam olahraga
juga mampu menekan perilaku kekerasan gang (seperti: gang motor)?

Pengembangan Karakter dalam Olahraga dan Pendidikan Jasmani

128
Pengaruh Positif Olahraga
Menurut Seefeldt & Ewing, Shields
& Bredemeier, (Gould, 2003:534), penelitian telah menunjukkan bahwa partisipasi remaja dalam kegiatan olahraga
mengurangi perilaku kejahatan daripada para remaja yang tidak berpartisipasi dalam kegiatan olahraga. Lebih
lanjut dinyatakan, hubungan negatif antara partisipasi berolahraga dengan kejahatan ringan/penyimpangan sosial tampak lebih menguat pada remaja yang
berada dalam komunitas miskin. Namun demikian, hal yang belum nampak
jelas adalah mengapa hubungan ini bisa
muncul? Untuk keperluan itu, beberapa
hal yang perlu mendapat penjelasan
adalah kesenjangan sosial, ikatan sosial,
pelabelan sosial, dan pembedaan ekonomi.
Hubungan negatif antara berpartisipasi dalam kegiatan olahraga dengan
penyimpangan sosial berupa kesenjangan sosial, ketika para atlet tidak sering,
dan tidak intens berinteraksi dengan
penyimpangan sosial. Dengan perkataan lain, berpartisipasi dalam kegiatan
olahraga menjaga remaja jauh dari kegiatan di jalanan dan jauh dari masalahmasalah sosial.
Ikatan sosial dicirikan oleh remaja
yang berpartisipasi dalam kegiatan olahraga mengembangkan rasa pengakuan
terhadap orang lain, terutama pada
orang yang dominan, pro nilai-nilai sosial. Seorang atlet muda mengidentifikasi dirinya dengan pelatihnya dan
regunya dan karena itu mereka belajar
nilai-nilai kerjasama, kerja keras, dan
berprestasi.
Pelabelan sosial dicirikan oleh tumbuh kembangnya pengakuan nilai-nilai

sosial seiring dengan makin meningkatnya partisipasi remaja dalam kegiatan


sosial. Para atlet remaja sering mendapatkan pengakuan sosial, sehingga
pada saat yang bersamaan menumbuhkan kebanggaan sosial. Karena itu, berpartisipasi dalam kegiatan olahraga bagi
kalangan remaja menumbuhkan pengakuan sosial, yang pada gilirannya akan
mencirikan label nama sosial dan nilainilai sosial yang ada dalam struktur
masyarakat.
Pembedaan ekonomi yang dimaksud dicirikan oleh banyaknya atlet yang
berasal dari kalangan status ekonomi
rendah-menengah yang ingin memperbaiki tingkat ekonomi kehidupannya
dengan berpartisipasi dalam kegiatan
olahraga untuk kenikmatan dan perbaikan status ekonomi. Berpartisipasi
dalam kegiatan olahraga bagi kalangan
remaja untuk meningkatkan prestise
dan status, sehingga pada gilirannya
akan mengurangi jurang pembedaan
ekonomi, dan mengantarkan atlet hidup lebih baik, serta memberikan keyakinan untuk dapat meraih tujuan
yang diinginkannya.
Meskipun penjelasan ini dapat membantu memberikan pemahaman yang
lebih baik mengapa berpartisipasi dalam kegiatan olahraga dapat menekan
penyimpangan sosial, namun tidak seutuhnya memberikan kesimpulan yang
jelas. Tetapi, paling tidak hubungan
berpartisipasi dalam kegiatan olahraga
dengan penyimpangan sosial dapat dijelaskan oleh pandangan-pandangan seperti di atas, meski dalam beberapa hal
diperlukan penelitian lebih lanjut.

Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY

129
Partisipasi Berolahraga dan Perilaku
(Kelompok) Gang
Gang dan perilaku negatif berkaitan
satu sama lain (misalnya: kejahatan, perkelahian, atau pembunuhan). Di kotakota besar dan daerah urban serta berbagai daerah kontemporer perilaku gang
ini sering muncul. Berpartisipasi dalam
olahraga diarahkan sebagai suatu alternatif untuk menekan perilaku gang dalam beberapa alasan. Pertama, beberapa
alasan mengapa remaja membentuk
gang adalah sebagai bentuk kelompok
aliansi tandingan keluarga, rendahnya self esteem, dan rendahnya model
peran positif. Kedua, anak-anak remaja
terpelihara menjadi anggota gang ka-rena merasa terpenuhi segala kebutuhannya dalam berbagai cara. Seakan-akan,
gang memberikan identitas dan pengakuan sebagaimana fungsinya dalam
sebuah keluarga.
Namun demikian, telah banyak disarankan, bahwa berpartisipasi dalam
kegiatan olahraga dapat berfungsi sebagai pengganti layanan yang diberikan
dalam sebuah gang. Terutama, ketika
anak-anak remaja berpartisipasi dalam
kegiatan olahraga (karena lemahnya
pengawasan orang tua, atau karena tekanan ekonomi), maka perlu difasilitasi
untuk mengembangkan self esteem, memberikan rasa identitas penting, memberikan dukungan sosial, dan memberikan peran model positif. Dengan demikian, telah sering terbukti bahwa berpartisipasi dalam kegiatan olahraga
adalah alternatif untuk menekan terbentuknya gang di kalangan generasi
muda.
Penting untuk dipahami bahwa olahraga akan memberikan suatu alternatif

terhadap perilaku negatif ketika program olahraga itu dijalankan secara tepat, terorganisir, dan sungguh-sungguh
diimplementasikan. Olahraga tidak akan
menguntungkan dengan sendirinya, tetapi perlu dikelola dan diarahkan agar
memberikan keuntungan fisiologis dan
psikologis, seperti sering dikemukakan
dalam berbagai literatur sosiologi atau
psikologi olahraga. Pembentukan nilai
dilihat sebagai sebuah proses reorganisasi dan transformasi struktur dasar penalaran individu (Maksum, 2007; Shields,
& Bredemeier, 2006). Pembentukan nilai
bukanlah sekadar menemukan berbagai
macam peraturan dan sifat-sifat baik,
melainkan suatu proses yang membutuhkan perubahan struktur kognitif dan
rangsangan dari lingkungan sosial. Dengan demikian, berpartisipasi dalam
kegiatan olahraga tidak dengan sendirinya membentuk nilai individu, tetapi
apa yang dianggap sebagai nilai-nilai
nilai tersebut harus diorganisasi, dikonstruksi, dan ditransformasikan ke
dalam struktur dasar penalaran individu yang berpartisipasi di dalamnya
(Stornes & Ommundsen, 2004; Stuntz &
Weiss, 2003).
Suatu penelitian yang dilakukan oleh
(Trulson, 1986; dalam Gould, 2003: 535),
yang membagi kelompok remaja nakal
kedalam tiga kelompok berbeda. Kelompok pertama, melakukan olahraga Tae
Kwon Do dengan menekankan pada pertarungan dan teknik mempertahankan
diri. Kelompok kedua, melakukan olahraga Tae Kwon Do secara tradisional,
yang menekankan pada refleksi filosopikal, meditasi, dan latihan jasmani. Kelompok ketiga, sebagai ke-lompok kontrol mendapatkan perlakuan bermain

Pengembangan Karakter dalam Olahraga dan Pendidikan Jasmani

130
sepakbola dan basket. Setelah selama
enam bulan, remaja pada kelompok pertama kurang baik dalam penyesuaian
dan mendapat skor tertinggi pada pengukuran agresi dan penyimpangan sosial
daripada skor yang sama pada awal
perlakuan. Remaja pada kelompok kedua, menunjukkan sikap agresi di bawah normal dan menunjukkan rendahnya sikap kecemasan, lebih memiliki
keterampilan sosial, dan meningkatkan
self esteeem. Kelompok remaja yang bermain sepakbola dan bola basket menunjukkan sedikit perubahan pada personaliti dan penyimpangan, tetapi meningkat dalam hal self-esteem dan keterampilan sosial.
Sangat penting untuk dicatat bahwa
berpartisipasi dalam kegiatan olahraga
tidak cukup secara positif mempengaruhi perilaku negatif. Program olahraga
harus dipersatukan dengan pengajaran
secara sosiologis dan psikologis dalam
upaya mendapatkan tujuan-tujuan yang
diinginkan.
PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER DAN NILAINILAI OLAHRAGA
Meskipun banyak orang berbeda
pandangan tentang bagaimana mengembangkan karakter dan nilai-nilai olahraga, tetapi paling tidak ada tiga pendekatan yang sering digunakan untuk
dapat menjelaskannya, yaitu: pendekatan belajar sosial (social learning), pengembangan struktural, dan pendekatan sosial psikologikal (Gould, 2003:
528).

Pendekatan Belajar Sosial (Social Learning Approach)


Perilaku agresi dan pengembangan
karakter berkaitan satu sama lain, dan
dapat dijelaskan melalui teori yang
sama. Berdasarkan pendekatan belajar
sosial, seperti yang dikemukakan oleh
Albert Bandura (1977), sikap dan perilaku olahragawan sejati dipelajari melalui pemodelan atau belajar observasional, penguatan, dan pembandingan
sosial (lihat Gambar 1). Pendekatan ini
menunjukkan bahwa riwayat belajar
sosial seseorang menentukan tingkatan
olahragawan-nya.
Komponen Komponen Teori Belajar
Sosial
Pemodelan atau Belajar Observasional
(Belajar melalui apa yang dilakukan dan
tidak dilakukan orang lain)
Penguatan (Reinforcement)
(Pemberian penguatan atau hukuman
atas tindakan yang dilakukan)
Pembandingan Sosial
(Menunjukkan perilaku sesuai dengan
perilaku temannya atau pembandingan
kelompok)

Gambar 1. Komponen Komponen


Teori Belajar Sosial
Sebagai contoh, melalui pengamatan, seorang siswa akan terhormat ketika
melaporkan jumlah capaian skor sit-up
kepada instruktur. Ahmad seorang siswa yang sedang belajar pendidikan jasmani berlatih sit-up dan kebugaran jasmani. Ahmad mengingingkan perhatian dan penilaian positif dari guru pendidikan jasmaninya. Perilaku Ahmad
dilihat oleh teman-teman sekelasnya,

Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY

131
dan semua siswa menginginkan hal
yang sama mendapat penilaian dan perhatian positif dari gurunya. Guru pendidikan jasmani mencatat semua hal
baik yang dilakukan para muridnya dan
menguatkan dan menghargai segala perbuatan positif yang dilakukan para
muridnya tersebut. Lingkungan belajar
seperti inilah akan dapat membangun
karakter.
Pendekatan Perkembangan-Struktural
(Structural-Development Approach)
Weiss & Bredemeier (Gould, 2003:
529) mengatakan bahwa berbeda dengan pendekatan belajar sosial, yang
menekankan pada pemodelan, penguatan, dan pembandingan sosial, pendekatan perkembangan struktural menekankan pada bagaimana perubahan secara psikologikal dan perkembangan
ketika siswa berinteraksi dengan pengalaman lingkungan untuk membentuk
alasan-moral (moral reasoning). Dalam
hubungan ini, para ahli psikologi olahraga mengajukan beberapa istilah yang
tercakup dalam pendekatan perkembangan struktural ini, yaitu perkembangan moral (moral development), alasan-moral (moral reasoning), dan perilaku
moral (moral behavior). Perlu dicatat bahwa moral yang dimaksud disini adalah
moral yang tidak ada implikasinya dengan nilai-nilai keagamaan.
Alasan-Moral adalah proses keputusan ketika seseorang menentukan
mana yang benar atau mana yang salah
dari suatu tindakan tertentu. Karena
itu, alasan moral memfokuskan pada
bagaimana keputusan seseorang memutuskan beberapa tindakan tertentu. Sebagai contoh, membantu pemain yang

terkena cedera ketika sedang bermain


sepakbola dengan cara menghentikan
permainan dengan cara menendang bola
ke luar lapangan secara sengaja apakah
perbuatan benar atau salah. Dengan
kata lain, dalam pembelajaran peserta
didik perlu didorong untuk dapat menemukan alasan-alasan yang melandasi
keputusan moral yang tujuannya untuk
mengontrol tindakan. Hal ini diperlukan agar seseorang dapat benar-benar
memahami keputusan moral yang diambilnya, dapat mengidentifikasi alasan yang baik yang harus diterima dan
alasan yang tidak baik yang harus ditolak atau diubah. Peserta didik harus
dapat merumuskan perubahan yang perlu dilakukan. Alasan yang baik adalah
yang memberikan kontribusi dalam mengatasi situasi yang problematik. Cara
ini memungkinkan perkembangan intelektual, menumbuhkan kebebasan berpikir, serta dapat memadukan proses
dan hasil pendidikan secara harmonis.
Berkaitan dengan hal ini, Zuchdi (2008:
6) menjelaskan bahwa fungsi lembaga
pendidikan adalah menciptakan setting
sosial yang memungkinkan implementasi pengetahuan untuk memecahkan
masalah yang ada dalam masyarakat,
selanjutnya yang terpenting adalah
memberi kesempatan kepada peserta
didik untuk mempelajari dan berlatih
menentukan pilihan moral yang begitu
beragam di Indonesia.
Perkembangan Moral adalah proses
pengalaman dan pertumbuhan melalui
kapasitas perkembangan seseorang untuk memberikan alasan bermoral. Sebagai contoh, dalam perencanaan pengajaran pendidikan jasmani, guru pendidikan jasmani mengharapkan para

Pengembangan Karakter dalam Olahraga dan Pendidikan Jasmani

132
siswanya mendapatkan pengalaman dan
perubahan perkembangan kognitif sehingga siswa mampu menentukan tindakan yang benar dan yang salah. Konsepsi moralitas perlu diintegrasikan dengan pengalaman dalam kehidupan sosial. Pemikiran moral dapat dikembangkan antara lain dengan dilema moral,
yang menuntut kemampuan peserta didik untuk mengambil keputusan dalam
kondisi yang sangat dilematis. Dengan
cara ini, pemikiran moral dapat berkembang dari tingkat yang paling rendah yang berorientasi pada kepatuhan
pada otoritas karena takut akan hukuman fisik, ke tingkat-tingkat yang lebih
tinggi, yaitu berorientasi pada pemenuhan keinginan pribadi, loyalitas pada
kelompok, pelaksanaan tugas dalam
masyarakat sesuai dengan peraturan
atau hukum, sampai yang paling tinggi,
yaitu mendukung kebenaran atau nilainilai hakiki, khususnya mengenai kejujuran, keadilan, penghargaan atas hak
asasi manusia, dna kepedulian sosial.
Perilaku Moral adalah tindakan perilaku yang terjadi benar atau salah.
Dengan demikian, alasan-moral hasil
dari pengalaman individual, dan perkembangan serta pertumbuhan siswa
dan psikologikal yang memandu perilaku moral. Lebih lanjut, alasan moral
adalah sekumpulan rentetan prinsip
umum etika yang mendasari tindakan
khusus secara situasional. Para pengembangan struktural menekankan bahwa
kemampuan untuk memberikan alasan
secara bermoral bergantung pada tingkatan kognitif dan perkembangan mental orang yang bersangkutan (misal, kemampuan anak untuk berpikir secara
konkret atau abstrak). Alasan dan pe-

rilaku moral bergantung pada tingkatan


perkembangan kognitif individu itu
(Gould, 2003:530). Zuchdi (2008:7) menjelaskan bahwa tindakan moral (perilaku moral) yang selaras dengan pemikiran moral (perkembangan kognitif)
hanya mungkin dicapai lewat pencerdasan emosional dan spiritual serta
pembiasaan. Sebagai contoh, seseorang
yang mengerti bahwa budaya potong
kompas dalam mencapai prestasi adalah tindakan yang tidak terpuji, tetap
saja melakukan tindakan tercela tersebut apabila tidak sensitif terhadap penderitaan oranglain akibat tindakannya
dan lemah iman.
Pendekatan Sosial Psikologikal (Social
Psychological Approach)
Vallerand, dkk. (1997) dalam Gould
(2003:531) menawarkan pendekatan ketiga untuk mempelajari moralitas dalam
aktivitas jasmani. Vallerand Secara khusus menyarankan menggunakan pendekatan sosial-psikologikal yang lebih luas.
Maksudnya, melihat moralitas dan karakter yang melekat pada diri seseorang
dalam pendekatan perkembangan-struktural (misalnya, tingkatan perkembangan moral seseorang) ditambah rentang
keluasan faktor-faktor sosial (misal, tipe
orang, tingkatan olahraga kompetetif,
sering terjadi perilaku tidak sportif di
olahraga, belum lagi kepentingan/pressure yang lebih luas dan tidak selalu
legal) yang sejalan dengan pemodelan,
penguatan, dan pembandingan sosial
dalam pendekatan belajar sosial. Hal
penting yang perlu diperhatikan adalah
bahwa agen-agen sosial (seperti: orang
tua dan guru, pelatih) memberikan pelabelan atau pendefinisian olahragawan

Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY

133
sejati. Dengan demikian, Vallerand menyarankan untuk melihat karakter dari
pandangan yang lebih kompleks, perspektif personal dan faktor-faktor situasional yang menentukan ciri-ciri olahragawan sejati. Perkembangan karakter
berkembang dari keputusan seseorang
tentang benar atau salah dari tindakan
minat orang itu dengan keterlibatan minat mutual.
Karena itu, penting mempertimbangkan sikap, nilai-nilai, dan normanorma budaya dari kelompok atau individu tertentu, dan tahapan alasanmoral dalam upaya memahami bagaimana meningkatkan perkembangan karakter dan ciri-ciri olahragawan sejati.
Ini berarti, nampaknya mengambil keuntungan dari apa yang telah dipelajari
melalui pendekatan belajar sosial dan
perkembangan struktural, sehingga menjadi pendekatan sosial-psikologikal.
STRATEGI MENINGKATKAN PENGEMBANGAN KARAKTER
Pendekatan belajar sosial, pengembangan struktural, dan sosial-psikologikal telah memberikan landasan pemahaman ciri-ciri olahragawan sejati dan
pengembangan karakter. Sembilan strategi telah dikembangkan dari ketiga
pendekatan di atas. Berikut dijelaskan
bagaimana ke-9 strategi itu dapat mengembangkan karakater.
Rumuskan dan Tuangkan dengan
Jelas Ciri-Ciri Olahragawan Sejati di
dalam Program
Ketiadaan definisi universal olahragawan sejati dalam program pendidikan jasmani atau olahraga akan

menyebabkan guru pendidikan jasmani


dan olahraga tidak dapat merumuskan
dengan jelas dan dapat diterima mana
perilaku yang baik dan mana perilaku
yang tidak baik. Namun, guru dapat
merumuskan dengan jelas ciri-cirinya
seperti dituangkan dalam Tabel 2, terutama perilaku-perilaku yang menandakan nilai-nilai olahraga.
Perkuat dan Gugah Perilaku yang
Mencirikan Olahragawan Sejati
Sangatlah penting untuk menggugah dan memperkuat perilaku-perilaku
atau sikap yang telah dirumuskan dalam program ciri-ciri olahragawan sejati. Sebaliknya, berikan hukuman dan
penekanan pada perilaku-perilaku yang
tidak tepat. Penting untuk melakukan
penguatan dan hukuman terhadap perilaku yang positif dan negati secara konsisten.
Pemodelan Perilaku-perilaku Baik
dan Tepat
Identifikasi perilaku yang diinginkan
dan contohkan dalam pemodelan pada
segala tindakan-tindakan yang dilakukan. Karena perilaku lebih berarti daripada hanya sekedar kata-kata verbal,
maka penting dalam setiap kegiatan
olahraga dan latihan memberikan atau
menunjukkan melalui pemodelan dari
ciri-ciri olahragawan sejati yang dimaksud. Sering kali didengar, mudah dikatakan tetapi sukar dilakukan. Tentu
setiap orang mudah melakukan kesalahan. Karena itu, ketika seseorang melakukan kekeliruan perlu segera mengakui kesalahan itu dan meminta maaf
atas kekeliruan yang dilakukan.

Pengembangan Karakter dalam Olahraga dan Pendidikan Jasmani

134
Tabel 2. Program Ciri-ciri Olahragawan Sejati Olahraga Usia Dini
Konsentrasi Perilaku

Perilaku Olahragawan Sejati

Perilaku Non-Olahragawan Sejati

Perilaku terhadap
Wasit dan Panitia
Perilaku terhadap
lawan bertanding

Mengajukan pertanyaan secara


baik, menugaskan kapten untuk
mengajukan pendapat.
Memperlakukan lawan secara
penuh respek dan layak.

Perilaku terhadap
teman satu regu
Perilaku terhadap
penonton
Aturan dan peraturan yang disepakati

Hanya memberikan kritik


konstruktif dan gugahan positif
Hanya membuat komentar
positif terhadap penonton
Mengikuti aturan dari Badan
Liga Keolahragaan

- Menghina wasit
- Beradu pendapat terhadap
panitia
- Melakukan perbuatan
sarkastik terhadap lawan
- Melakukan perilaku agresi
terhadap lawan
- Membuat komentar negatif
Menghina teman
- Beradu pendapat terhadap
penonton mengejek penonton
- Mengambil keuntungan dari
aturan yang diberlakukan.

Menjelaskan Mengapa Perilaku tertentu Baik dan Dapat Diterima


Hanya jika orang telah terinternalisasi prinsip panduan moral dapat menentukan salah atau benar sehingga dapat secara konsisten berperilaku baik
dalam berbagai situasi dan kondisi. Karena itu penting, untuk memasukkan secara rasional berbagai komponen olahragawan sejati. Menurut Weiss (Gould,
2003:536), rasional memberikan penjelasan yang didasarkan pada elemen dasar
tingkat alasan-moral, seperti: altruisme
dan keseimbangan moral yang didasarkan pada kesepakatan mutualisme. Sangat penting untuk senantiasa memberikan rasionalisasi semua tindakan
secara reguler kepada para peserta. Sebagai contoh, jika beberapa siswa merasa kurang terampil melakukan permainan dalam kegiatan pendidikan jasmani dan olahraga, maka yakinkan bahwa secara inklusi atas ketidakmampuan
itu dalam beberapa alasan sebelum dilakukan keputusan (misalnya: penting
untuk mengetahui semua alasan di balik suatu tampilan tugas gerak yang di-

lakukan siswa). Berikan penjelasan secara rasional atas semua tindakan benar
atau salah para siswa.
Menurut Marten (Gould, 2003: 536),
sangat penting menekankan alasan di
balik suatu tindakan. Kemampuan untuk menjustifikasi mulai berkembang
pada usia 7 atau 8 tahun. Pada anak
usia 10 tahun dapat ditekankan pada
pengambilan peran. Kemudian, pada
tingkatan empati tertinggi, kemampuan
dua orang anak untuk melakukan perspektif satu sama lain bisa dilakukan
ketika memutuskan bagaimana melakukan suatu tindakan.
Diskusikan Dilema Moral dan
Pilihan-pilihan
Untuk terjadinya efektivitas pendidikan moral, partisipan harus terlibat
dalam dialog-diri dan diskusi kelompok
tentang dilema moral dan pilihan-pilihan. Suatu dilema moral membutuhkan
partisipan untuk memutuskan apakah
suatu tindakan moral benar atau salah.
Diskusi dapat berlangsung dalam berbagai cara pandang yang mungkin atau

Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY

135
tidak mungkin bertentangan dengan
aturan.
Membangun Dilema Moral dan Pilihan-pilihan ke dalam Situasi Praktik
Setelah beberapa pemain mencoba
memecahkan dilema, ikuti dengan diskusi tentang alasan moral yang melandasinya. Strategi ini untuk meningkatkan pengembangan karakter dan ciriciri olahragawan sejati membutuhkan
waktu, perencanaan, dan usaha. Untuk
suatu pengaruh optimal, para siswa
harus mengulanginya secara konsisten
sepanjang waktu, tidak hanya satu atau
dua kali ketika para siswa dihadapkan
pada suatu masalah.
Mengajarkan Strategi Belajar Kooperatif
Meskipun kompetisi dan kooperatif
penting untuk pengembangan optimal
motivasi berprestasi. Anak-anak di Amerika Serikat lebih cenderung menyukai
sifat kompetisi daripada kooperatif.
Oleh karena itu, dalam pengajaran aktivitas jasmani para siswa harus dibelajarkan melalui strategi belajar kooperatif. Miller dkk. (Gould, 2003:538) juga
menyebutkan bahwa kemampuan untuk belajar secara kooperatif penting
dalam pengembangan karakter. Cara
belajar kooperatif ini mungkin melibatkan penggunaan tingkatan tujuan dalam suatu permainan.
Menciptakan Suasana Motivasional
Berorientasi Tugas Gerak.
Penciptaan suasana motivasional
berorientasi pada tugas gerak memaksa
partisipan terfokus pada tugas daripada
egonya sendiri sehingga dapat menjus-

tifikasi kemampuan dirinya sendiri atas


dasar penampilannya daripada melalui
peningkatan pembandingan secara sosial. Sangat mudah mengajarkan ciri-ciri
olahragawan sejati dalam kompetisi hanya saja perlu ditekankan ulang dan belajar terus menerus. Namun demikian,
ini bukan berarti bahwa karakter tidak
dapat dikembangkan melalui suasana
kompetetif, hanya jika keuntungan untuk menirukan upaya pengembangan
kearah pengembangan karakter dalam
suatu susana motivasional berorientasi
pada tugas gerak. Ketika seorang pemain mengembangkan karakter yang
baik, kompetisi kemungkinan justru
menjadi ujian pertama apakah dia mampu mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai yang diyakininya itu.
Pemindahan Power (Kekuatan) dari
Pemimpin ke Partisipan
Menurut Hellison dan Templin
(Gould, 2003:538), pengembangan karakter dapat dipicu dengan baik pada
lingkungan yang secara progresif memindahkan power (kekuatan) dari seorang pemimpin (Kapten) ke bawahan
(partisipan/pemain) Sebagai contoh, seperti telah dikembangkan oleh Hellison
bagaimana mengajarkan sikap tanggungjawab melalui pendidikan jasmani
dan olahraga. Pertama, secara realistik
pengajaran diawali dari sikap tidak bertanggungjawab, membantu mereka untuk dapat mengendalikan diri, pengendalian diri ini dikembangkan melalui
tahapan keterlibatan mereka, pengerahan diri, dan akhirnya didapatkan sikap
kepedulian untuk bertanggungjawab
atas segala tindakan yang dilakukannya.

Pengembangan Karakter dalam Olahraga dan Pendidikan Jasmani

136
PANDUAN PRAKTIS DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER
Untuk memandu guru pendidikan
jasmani dalam mengembangkan karakter siswa melalui aktivitas jasmani dan
olahraga, beberapa isu filosofis perlu dikenali dalam ruang wawasan luas, termasuk peran guru pendidikan jasmani
dan pelatih dalam pengembangan moral. Selain itu, guru pendidikan jasmani
juga perlu memperhatikan peran kemenangan dan cara perilaku moral dibelajarkan atau ditransferkan kepada siswa di lapangan. Selain itu, kenali pula
sisi ketidak sempurnaan alamiah pengembangan karakter.
Peran Pendidik dalam Pengembangan
Karakter
Banyak orang meyakini guru dan
pelatih tidak memiliki tanggungjawab
pengajaran moral dan nilai-nilai kepada
anak-anak remaja. Karakter dan moral
adalah tanggungjawab orang tua dan
tokoh keagamaan, mereka menentangnya, itu bukan tanggungjawab sekolah,
terutama sekolah umum pemerintah.
Tentu, dapat disetujui bahwa pengajaran moral bukan percampuran nilai-nilai
keagamaan dengan tanggungjawab sekolah. Namun demikian, menelantarkan pendidikan karakter dalam nilainilai dasar seperti, kejujuran, empati,
dan kepedulian sosial adalah suatu kesalahan besar. Guru pendidikan jasmani, pelatih, dan instruktur olahraga masyarakat justru mengajarkan nilai-nilai
itu semua, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Shields & Bredemeier
(Gould, 2003:539) menyatakan bukan
hanya sekedar bagaimana memenangkan kompetisi olahraga, olahraga ada-

lah peluang untuk mengembangkan,


membelajarkan, memindahkan, dan menanamkan nilai-nilai moral. Sebagai
contoh, pelatih merekomendasikan apakah perlu beradu pendapat dengan wasit atau panitia; guru pendidikan jasmani apakah perlu mengajarkan dengan cara kompetetif atau kooperatif;
seorang pelatih perlukan melatih atlet
ketika sedang cedera. Keputusan yang
perlu dibuat seringkali mempengaruhi
sikap yang harus diperlihatkan, karena
itu penting untuk mengetahui secara filosofis atas isu-isu yang dikemukakan
di atas. Sangatlah terpuji mengenali nilai-nilai moral yang perlu diajarkan daripada mempengaruhi nilai-nilai orang
lain secara paksa.
Mengurangi Resiko dengan Cara Memicu Kesuksesan
Meskipun strategi guru pendidikan
jasmani dan pelatih dapat menggunakan pengajaran karakter dan ciri-ciri
olahragawan sejati, tetapi tetap perlu disadari bahwa banyak anak-anak remaja
hidup di lingkungan yang memaksa mereka hidup dan berperilaku negatif (misalnya, penyalahgunaan narkoba, kehamilan pra-nikah, dan aktivitas gang).
Lebih lanjut, nampaknya para ahli aktivitas jasmani dapat mengeliminir faktor-faktor resiko seperti di atas sebagai
dampak lemahnya pengawasan dan bimbingan dari para orang tua dan model
peran yang tidak semestinya. Menurut
Martinek & Hellison (Gould, 2003:539),
melalui aktivitas jasmani secara psikologikal, memulihkan kemampuan untuk
sukses setelah mengalami tekanan mental atau stress dalam kehidupan. Berikan pengalaman berhasil pada siswa

Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY

137
atau atlet. Sebuah kesusksesan atau kemenangan memiliki dua sisi baik dan
buruk.
Kemenangan memainkan peran penting dalam pengembangan karakter.
Pada satu sisi, penekanan terhadap kemenangan menimbulkan seseorang berani berbuat curang, melanggar aturan,
dan berperilaku seolah-olah seperti
yang terjadi di luar lapangan. Sisi lain,
ketika para pemain mampu bertahan
dengan nilai-nilai luhur dan mulia serta
berpegang teguh pada pengembangan
integritas, pembelajaran moral menjadi
semakin bermakna. Kemenangan itu
sendiri berada pada sisi netral dalam
pengembangan karakter. Kunci penting
adalah menempatkan kemenangan pada
porsi yang semestinya.
Lebih lanjut, kemampuan ini berkaitan dengan kompetensi sosial, otonomi, dan optimisme dan harapan.
Kompetensi sosial adalah kemampuan
untuk berinteraksi secara sosial dengan
orang lain dan menciptakan jejaring dukungan sosial secara kuat. Kelenturan
dan empati nampaknya kritis dalam pengembangan atribut seperti ini. Menjadi
sangat penting ketika belajar bagaimana
bernegoisasi, berhadapan, dan menangani tantangan dari orang lain. Otonomi, kemampuan untuk bisa sukses
dari kesusahan yang dialami memerlukan rasa pengendalian diri terhadap
lingkungan sekitar dan merasakan serta
bentindak secara independen. Dengan
kata lain, anak-anak remaja merasakan
otonomi, mereka dapat berfungsi sebagai individu menurut caranya sendiri.
Optimisme dan harapan, Martinek dan
Hellison (Gould, 2003:539) menyatakan
bahwa salah satu cara terbaik dalam

meningkatkan meraih kesuksesan di


kalangan kaum muda adalah melalui
pengembangan program aktivitas jasmani.
Pemindahan Nilai-nilai pada Lingkungan Non-Olahraga
Sangatlah mustahil belajar nilainilai di lapangan atau di tempat gymnasium terjadi pemindahan nilai-nilai dengan sendirinya. Transfer nilai hanya
dapat terjadi ketika pembelajaran nilainilai itu terjadi secara disengaja. Jika seorang guru pendidikan jasmani dan
olahraga ingin mengajarkan nilai-nilai
melalui aktivitas jasmani atau olahraga,
guru tersebut harus mampu mendiskusikan bagaimana nilai-nilai itu dapat
ditransfer ke dalam lingkungan nonolahraga. Sebagai contoh, ketika seorang guru ingin mengajarkan siswanya sikap kerjasama dalam permainan
terbawa dalam kehidupan sehari-hari
mereka di luar situasi non-olahraga,
maka perlu didiskusikan bersama siswa
nilai kerjasama itu dalam konteks yang
lebih bermakna (misalnya: bekerjasama
dalam program sekolah). Dengan demikian, inilah satu bukti keuntungan pendekatan pengembangan-struktural.
Prinsip belajar sosial yang meningkatkan sikap dan perilaku olahragawan
sejati cenderung memerlukan situasi
khusus. Seperti, mengajarkan siswa untuk berlaku jujur di lapangan tidak
akan terbawa dalam pembelajaran matematik. Namun demikian, jika guru
ingin menekankan alasan moral, perilaku siswa cenderung akan berpengaruh saling silang di antara satu dengan
matapelajaran lain. Dengan demikian,
perlu seorang guru pendidikan jasmani,

Pengembangan Karakter dalam Olahraga dan Pendidikan Jasmani

138
ketika akan mengajarkan nilai-nilai melalui aktivitas jasmani dan olahraga, diskusikan dan pelajari bagaimana nilainilai ini ditransfer ke dalam situasi lingkungan non-olahraga.
Miliki Harapan Realistik
Peningkatan karakter dan ciri-ciri
olahragawan sejati melalui aktivitas
jasmani dan olahraga bukanlah suatu
proses yang sempurna. Guru pendidikan jasmani tidak bisa mengajarkan kepada semua siswa pada saat yang sama.
Perlu dipahami keberhasilan seseorang
pasti disertai dengan kegagalan orang
lain. Ketidaksempurnaan pengembangan karakter ini tetap memberikan secercah harapan optimistik meskipun mensituasikan beberapa pengalaman masa
lalu.
PENUTUP
Karakter dan nilai-nilai moral yang
diyakini terkandung dalam aktivitas
jasmani dan olahraga tidak dengan sendirinya terinternalisasi dan terproyeksi
dalam kehidupan sehari-hari dari pelaku atau partisipan aktivitas jasmani
dan olahraga tersebut, melainkan nilai
moral yang telah dipilih harus diorganisasikan, dikontruksi, dan ditransformasikan ke dalam struktur dasar penalaran individu yang berpartisipasi di dalamnya.
Menyadari begitu pentingnya penguatan karakter nilai-nilai moral pada
anak-anak sejak dini, maka sebagai guru penjas, pelatih klub olahraga selalu
memperhatikan strategi pembelajaran
dan pelatihan yang dapat mentransformasikan nilai-nilai moral sebagai wujud
tanggung jawab profesi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
Redaktur dan segenap pengurus Jurnal
Cakrawala Pendidikan yang telah memberikan mimbar bagi komunikasi ilmiah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Auweele, Y.V. et. al. 1999. Psychology for
Physical Educators. Champaign,
Illinois: Human Kinetics.
Gould, Daniel and Weinberg, Robert S.
2002. Foundation of Sport and Exercise Phsychology, 3nd
Edition.
Champaigh, IL: Human Kinetics.
Maksum, A. 2005. Olahraga Membentuk Karakter: Fakta atau Mitos.
Jurnal Ordik. Edisi April Vol. 3,
No. 1/2005.
Maksum, A. 2007. Psikologi Olahraga:
Teori dan Aplikasi. Surabaya: Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya.
Martinek. 2009. Fostering Character
Education through Value-Based
Physical Ativities. Makalah Disampaikan pada Semiloka di
SMA N 6 Jakarta Mei 2009.
Shields, D L L. & Bredemeier, B J L.
1995. Character Development and
Physical Activity. Champaign, IL:
Human Kinetics.
Shields, D L L. & Bredemeier, B J L.
2006. Sport and Character Deve-

Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY

139
lopment. Research digest, Series 7,
No. 1, March 2006.
Stornes, T., & Ommundsen, Y. 2004.
Achievement Goals, Motivational Climate and Sportspersonship: A Study of Young Handball
Players. Scandinavian Journal of
Educational Research, 48, 205-221.

United Nation. 2003. Sport for Development and Peace: Towards Achieving
the Millenium Development Goals.
Report from the United Nations
Inter-Agency Task Force on Sport
for Development and Peace.
Zuchdi, Darmiyati. 2008. Humanisasi
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Stuntz, C. P. & Weiss, M. R. 2003. Influence of Social Goal Orientations and Peers on Unsportsmanlike Play. Research Quarterly
for Exercise and Sport, 74, 421-435.

Pengembangan Karakter dalam Olahraga dan Pendidikan Jasmani

Anda mungkin juga menyukai