Anda di halaman 1dari 6

Generasi Y, Generasi Z dan

Bonus Demografi Indonesia 2025


Leonard Merari NIM 122140085

I Ketut Suyasa- NIM 122140073

Magister Manajemen - Fakultas Ekonomi Trisakti


Kampus A, Gedung D, Lantai 6
Jl.Kyai Tapa No.1 Grogol, Jakarta Barat
leonard.merari@gmail.com

Magister Manajemen - Fakultas Ekonomi Trisakti


Kampus A, Gedung D, Lantai 6
Jl.Kyai Tapa No.1 Grogol, Jakarta Barat
iksuyasa@gmail.com

Abstrak Paper ini membahas mengenai karakteristik antar


generasi, khususnya gen Y dan gen Z yang akan mendominasi
(sekitar 77%) struktur angkatan kerja saat Indonesia berada
pada bonus demografi 2025. Diperkirakan tahun 2025
dependency ratio mencapai 0,44 yang berarti 100 angkatan usia
produktif menanggung 44 angkatan non produktif. Pemaparan
pada paper ini lebih menitikberatkan mengenai deskripsi serta
memahami karakteristik generasi, sehingga diharapkan sebagai
angkatan kerja nantinya lebih siap untuk menghadapi
perbedaan-perbedaan karakteristik antar generasi yang ada dan
pada akhirnya tentu mampu mengelola perbedaan tersebut
menjadi hal yang produktif.
Kata Kunci Gen Y, gen Z, bonus demografi, dependency ratio

I. LATAR BELAKANG
Pada tahun 2025 struktur usia angkatan kerja di Indonesia
menikmati apa yang dinamakan bonus demografi. Bonus
demografi adalah suatu wilayah yang usia produktifnya lebih
banyak dibandingkan dengan usia non produktif. Dikatakan
bonus karena tidak terjadi terus menerus melainkan hanya
terjadi sekali dalam beratus-ratus tahun. Sekali dan tidak
bertahan lama (Azhari, 2013)
Usia angkatan kerja (15-64 tahun) pada tahun 2025 adalah
angkatan kerja kelahiran antara 1961-2010. Tingginya Proporsi
usia produktif dapat memiliki potensi sebagai berikut (Azhari,
2013) :
Jumlah pengangguran berkurang
Meningkatnya daya saing bangsa
Bertumbuhkembangnya karya kreatif dan inovatif oleh
pemuda sebagai kontribusi pembangunan Negara
Pertumbuhan ekonomi jauh lebih baik
Indonesia menjadi negara maju
Angkatan kerja kelahiran 1961-2010 dapat dikelompokkan
menjadi beberapa generasi berbeda. Menurut Acar (2014) teori
mengenai generasi adalah teori mengenai aspek socio history
yang menggambarkan dan menjelaskan perubahan dari
perilaku publik seiring dengan bertambahnya waktu.

Pengelompokan usia antar generasi menurut Acar (2014) dan


juga dituliskan oleh Asril dan Hudrasyah (2013) adalah sebagai
berikut :
Kelahiran
Generasi
1928 - 1945
Traditionalist
1946 - 1964
Baby Boomers
1965 - 1976
Generasi X
1977 - 1998
Generasi Y
1999 - 2012
Gen Next
Tabel 1. Pembagian usia Baby Boomers,
Gen X, Gen Y dan Gen Next

Gen next pada tabel 1 di atas telah diidentifikasi sebagai


gen Z, suatu generasi lanjutan dari gen Y yang saat ini belum
terlalu banyak masuk menjadi angkatan kerja dan study
mengenai gen Z saat ini masih sebatas tren tipe konsumsi di
market.
Diperkirakan struktur usia penduduk Indonesia pada saat
bonus demografi di Indonesia di Indonesia adalah sebagai
berikut (BPS, 2013) :

Tabel 2. Struktur usia penduduk Indonesia tahun 2025

Dengan demikian struktur usia produktif dibandingkan non


produktif adalah sebagai berikut :

Tabel 3. Perbandingan usia non produtif dan produktif tahun 2025

Total usia 0-14 tahun dan 64+ adalah sekitar 91 juta


penduduk (32,1%) dan angka itu kurang dari setengah jumlah
usia produktif yaitu 193 juta (67,9%). Dari 193 juta usia
produktif tersebut terbagi atas usia kelahiran 1961-2010 yang
kemudian dapat dikelompokkan menjadi Baby Boomers, gen
X, gen Y dan gen Z dengan proporsi jumlah penduduk sebagai
berikut :

Tabel 4. Perbandingan proporsi antar generasi tahun 2025

Proporsi dominan dengan jumlah 148 juta (77%) adalah gen


Y dan gen Z.
Paper ini akan membahas proporsi gen Y dan gen Z pada
saat bonus demografi 2025 serta membahas karakteristik antar
generasi khususnya gen Y dan gen Z. Diharapkan pemaparan
pada paper ini mampu memberi gambaran mengenai teori
generasi, bonuss demografi Indonesia 2025, serta pada
akhirnya dapat menyiapkan diri dengan baik menghadapi
bonus demografi 2025.
II. MASALAH
Dalam interaksi generasi saat ini (Baby boomers, gen X, Y
dan sebagian kecil Tradisionalist) kurangnya studi empiris
mengenai strategi praktis untuk meminimalisir antar generasi
membuat beberapa perusahaan tidak secara spesifik siap
menghadapi potensi konflik antar generasi tersebut, seperti
yang terjadi di Central Texas (Amerika Serikat) dalam journal
of behavioural studies yang dipublikasikan oleh Deyoe (2011).
Foo (2012) merujuk beberapa potensi konflik antar generasi
adalah : perbedaan kebiasaan, perbedaan perilaku, perbedaan
prinsip serta perbedaan pengalaman. Kegagalan memahami ini
dapat disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai
karakteristik antar generasi serta pada akhirnya tentu akan

menyebabkan konflik dan ketidakproduktifan dalam interaksi


yang terjadi.
Sedangkan dalam situasi bonus demografi Indonesia 2025
(beberapa literatur bonus demografi dimulai 2010 2035),
Indonesia dihadapkan pada besarnya jumlah angkatan kerja
dibandingkan dengan usia non produktif. Proporsi besar dari
angkatan kerja tersebut adalah Gen Y dan Gen Z (77%) yang
merupakan generasi yang lahir antara 1977 2012.
Pemaparan teori generasi mulai dari traditionalist , baby
boomers, gen X, serta khususnya gen Y dan gen Z dibutuhkan
tidak saja sekedar untuk pehamaman bagi angkatan kerja yang
nantinya akan berinteraksi pada saat bonus demografi, akan
tetapi diharapkan mampu mempengaruhi pola perilaku antar
generasi nantinya.
Pada akhir pemaparan diharapkan paper ini mampu
menjelaskan beberapa hal berikut :
1. Karakteristik gen Y di lingkungan kerja serta sedikit
review mengenai gen Z.
2. Beberapa potensi konflik antara generasi
3. Posisi gen Y dan gen Z pada bonus demografi Indonesia
2025
III. KAJIAN LITERATUR
Bonus demografi 2025 dan potensi untuk Indonesia
Profesor Sri Moertiningsih dalam artikel nya Transisis
Demografi, Bonus Demografi dan the Window of Opportunity
menyebutkan dampak sukses pembangunan kependudukan dan
kesehatan adalah perubahan struktur penduduk yang
dipengaruhi oleh beberapa hal berikut :
Penurunan kelahiran menurunkan proporsi jumlah anak <
15 tahun
Penurunan kematian bayi meningkatkan jumlah bayi
yang tetap hidup keusia dewasa
Ledakan penduduk usia kerja
Age dependency ratio - Proporsi penduduk muda
terhadap penduduk usia kerja- menurun
Perubahan struktur kependudukan dan menurunnya beban
ketergantungan memberikan peluang yang disebut bonus
demografi atau demographic dividend. Bonus demografi ini
seringkali dikaitkan dengan the window of opportunity atau
jendela peluang yang dapat diartikan sebagai munculnya suatu
kesempatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Menurut Moertiningsih (2012) the window of opportunity
terjadi tahun 2020-2030 dimana dependency ratio (tingkat
ketergantungan usia non produktif terhadap usia produktif)
mencapai titik terendah, yaitu 44 per 100 orang. Dependency
ratio tersebut meningkat lagi tahun 2030 dikarenakan
meningkatnya proporsi penduduk lansia. Kejadian ini menurut

Moertiningsih hanya terjadi satu kali dalam sejarah suatu


penduduk.
Bonus demografi menjadi topik pembahasan yang cukup
menarik dan seringkali dikait-kaitkan dengan pertumbuhan
ekonomis bangsa Indonesia dikarenakan beberapa hal berikut
(Moertiningsih, 2012) :

Suplai tenaga kerja yang besar meningkatkan


pendapatan per kapita apabila mendapat kesempatan
kerja yang produktif

Peranan perempuan: jumlah anak sedikit


memungkinkan perempuan memasuki pasar kerja,
membantu peningkatan pendapatan

Tabungan masyarakat yang diinvestasikan secara


produktif

Modal manusia yang besar apabila ada investasi


untuk itu.
The window of opportunity dapat saja berubah menjadi The
door to disaster apabila bangsa Indonesia tidak bersiap
menghadapi ledakan jumlah angkatan kerja pada tahun 2025,
karena ledakan jumlah tenaga kerja tentu menuntut kualitas
SDM yang memadai dan kesempatan kerja yang sebanding
dengan jumlah angkatan kerja
Teori generasi
Teori mengenai generasi di angkatan kerja dipopulerkan
oleh William Strauss dan Neil Howe yang mengidentifikasi
mengenai siklus generasi di sejarah Amerika Serikat. Strauss
dan Howe banyak dicuplik menjadi landasan bagi riset serta
penelitian mengenai perilaku generasi, misalkan oleh Mujtaba
(2010) yang mendasarkan studi yang dilakukan oleh nya
mengenai perbedaan kultur antara gen X dan gen Y di Thailand
memakai batasan generasi yang dipakai oleh Strauss dan Howe
(1997,2000).
Menurut situs Wikipedia, Strauss dan Howe menuliskan
teori mengenai generasi ini dalam buku yang berjudul
Generations (1991), yang menceritakan mengenai sejarah
suksesi generasi anglo-American serta mengidentifikasi
munculnya siklus generasi di sejarah Amerika Serikat. Buku
kedua Staruss dan Howe tahun 1993 yang berjudul 13th Gen :
Abort, Retry, Ignore, Fail? menjelaskan generasi kelahiran
1961-1981 sebagai Gen-Xers (disebut generasi ke-13 terhitung
sejak Amerika Serikat resmi menjadi sebuah negara). Tahun
2000 Strauss dan Howe mengeluarkan sebuah buku dengan
judul Millenials Rising : The Next Generation yang meneliti
mengenai kepribadian mengenai Gen Y.
Traditionalist, Baby boomers, Gen X, Gen Y dan Gen Z
Tradisionalist (kelahiran antara 1920-1945), menurut Clark
(2009) dan McDonald (2008) yang dituliskan kembali oleh
Mujtaba (2010) adalah generasi yang memiliki nilai-nilai

loyalitas, disiplin, menghormati otoritas serta menempatkan


tugas (pekerjaan) di atas kesenangan pribadi. Generasi ini
tumbuh di tengah perang dunia kedua dan saat ini sudah tidak
terlalu banyak yang masih bekerja, jika saat ini organisasi
mempertimbangkan untuk menggunakan jasa Traditionalist
maka sangat disarankan untuk fokus kepada pendekatan
personal serta memberikan penghormatan dikarenakan usia
yang cukup senior (Bursch, 2014).
Baby Boomers (kelahiran antara 1946-1964) merupakan
nama yang diberikan kepada generasi ini dikarenakan mereka
adalah bagian dari baby boom setelah perang dunia kedua.
Generasi ini menjadi tumpuan orang tua mereka (generasi
traditionalist) yang memiliki harapan besar mengenai hal-hal
yang akan mereka capai (Mujtaba, 2010).
Seperti Traditionalist, generasi ini memiliki nilai-nilai
loyalitas, disiplin serta work ethic yang kuat. Namun kesamaan
nilai-nilai tersebut memiliki perbedaan latar belakang, ketika
traditionalist banyak dipengaruhi oleh masa kecil dan
bagaimana mereka tumbuh, baby boomers lebih dipengaruhi
oleh prestise, kesejahteraan dan jabatan.
Generasi X (kelahiran antara 1965-1976) dikenal juga
dengan nama gen Xers. GenXers di tempat kerja banyak
dipengaruhi oleh persepsi dari pencapaian orang tua mereka
(Baby Boomers) yang bekerja keras untuk mencapai
kesejahteraan dan menyekolahkan gen X. GenXers mulai
mempertimbangkan apa yang dinamakan work life balance
sebagai dampak mereka menyaksikan cara bekerja dan
kompensasi yang diterima oleh baby boomers tidaklah
membawa kebahagiaan untuk mereka, bahkan salah satu studi
mengatakan tingkat perceraian yang tinggi dari orangtua
genXers sangat mempengaruhi cara pandang mereka terhadap
kebahagiaan keluarga.
GenXers menjadi saksi atas kelahiran internet dan teknologi
yang kelak mengubah cara interaksi dalam pekerjaan, sehingga
secara teknis GenXers cukup baik sebagai user (Bursh, 2014).
GenXers cenderung berbeda pendapat terhadap prosedur ,
kebijakan dan struktur organisasi sehingga dapat dikatakan
penghormatan mereka terhadap otoritas sedikit berbeda dengan
generasi traditionalist dan baby boomers.
Generasi Y (kelahiran 1977-1998) dikenal juga dengan
nama Millenials yang disadur dari istilah pada buku Strauss
dan Howe Millenials rising : The Next Generation. Millenials
percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk sukses dan
mereka siap untuk menjadi pembelajar seumur hidup (Mujtaba,
2010).
Gen Y memiliki tingkat harga diri dan narsisme
(menganggap diri baik) lebih besar daripada generasi
sebelumnya, hal ini tentu berdampak terhadap ekspektasi besar
mereka di tempat kerja (terkait dengan penghargaan serta
kondisi kerja). Bursch (2014) mengatakan bahwa Gen Y

diidentifikasikan sebagai generasi yang paling beragam (sifat,


perilaku dan kultur) dan gen Y akan sangat mewarnai
keragaman di tempat kerja.
Gen Y tumbuh pada dunia yang terhubung selama 24 jam
dan 7 hari sehingga informasi bagi generasi Y, informasi adalah
hal yang cenderung mudah dan cepat didapatkan. Hal tersebut
mempengaruhi cara mereka mencari informasi, memecahkan
masalah, hubungan dengan orang lain dan berkomunikasi. Gen
Y cenderung berpindah pekerjaan jika merasa ekspektasi
mereka terhadap pekerjaan tidak dipenuhi, hal ini dipengaruhi
oleh harga diri dan narsisme mereka yang begitu tinggi.
Karakteristik Gen Y di tempat kerja
Bursch (2014) menuliskan bahwa gen Y adalah generasi
yang paling tinggi tingkat pendidikannya. Gen Y
mendambakan pekerjaan dimana mereka turut ambil bagian
dalam misi organisasi. Nilai pekerjaan yang berarti serta
membantu orang lain adalah hal yang lebih berarti
dibandingkan dengan mendapatkan uang dalam jumlah besar.
Menurut Fernades (2012), Generasi Y lebih menghargai
waktu luang dibandingkan dengan generasi X. Perusahaan
terkemuka seperti Google, Ebay, KPMG saat ini menawarkan
waktu luang tersebut lebih banyak kepada karyawan mereka
dengan cara memberi beberapa fasilitas tambahan pada
karyawan mereka di tempat bekerja.
Gen Y memilih atasan yang memiliki pendekatan secara
pendidikan (empiris) serta memberi perhatian terhadap tujuan
personal dari Gen Y. Nilai seorang gen Y terhadap atasannya
adalah orang yang melatih mereka, bersikap positif, mampu
memotivasi, berorientasi terhadap pencapaian. Untuk tetap
membuat seorang Gen Y nyaman dan tidak meninggalkan
pekerjaan, perusahaan harus memastikan bahwa gen Y merasa
berarti dalam pekerjaan serta mengkomunikasikan kontribusi
gen Y terhadap misi organisasi. Gen Y juga akan selalu
mencari kesempatan untuk terliabt dalam aktifitas filantropis
serta relawan (Bursch, 2014).
Kerakteristik dari gen Y di tempat pekerjaan adalah :

Tabel 5. Karakteristik Gen Y (Acar, 2014)

Gen Y selalu mencari lingkungan yang sempurna dimana


mereka dapat mempelajari kemampuan dan pengalaman untuk

masa depan mereka selain itu Gen Y membutuhkan iklim kerja


yang positif dari rekan kerja mereka (Fernandes, 2012).
Next Generation : Gen Z
Rothman (2014) memprediksi bahwa tahun 2020 generasi Z
(didefinisikan Rothaman dengan kelahiran 1995-2010) akan
membanjiri pasar dunia kerja. Dalam jurnal yang dituliskan
oleh nya Rothman menganalogikan gen Z akan membanjiri
pasar dunia kerja seperti layaknya tsunami. Ketika kita ada
pada usia produktif saat gen Z memasuki dunia kerja maka kita
disarankan mempelajari karakteristik gen Z ini.
Menurut Singh (2014), generasi Z dibesarkan oleh generasi
X di tengah-tengah tantangan dunia seperti terorisme (peristiwa
9 September di Amerika Serikat) dan perhatian kepada
lingkungan disebarluaskan melalui jaringan sosial media. Saat
kita belum begitu banyak memahami mengenai karakteristik
gen Z, kita paham dan mengenal dengan seksama lingkungan
bagaimana mereka tumbuh.
Gen Z dikatakan oleh Singh (2014) memiliki sedikit
saudara kandung dibandingkan dengan generasi sebelumnya,
indikasi nya gen Z kemungkinan akan sedikit lebih
individualistis. Gen Z juga diprediksi akan lebih memiliki jiwa
kewirausahaan dibandingkan gen Y.
Gen Z memiliki beberapa perbedaan nyata dengan gen Y
dalam beberapa hal berikut :
Akses terhadap pengetahuan mengenai sumber daya
(melalui jaringan internet) yang lebih dibandingkan
gen Y pada usia yang sama.
Gen Z yang kebanyakan memiliki orang tua seorang
gen X akan mendapatkan lebih banyak tekanan dalam
kehidupan mereka, baik dari sisi pencapaian akademis
maupun dalam berperilaku.
Gen Z memiliki waktu lebih banyak semasa muda nya
untuk mendapatkan semacam mentor yang akan
mempengaruhi cara berpikir mereka. Misalkan dengan
mudah mereka mempelajari mengenai Steve Jobs dan
membaca nya di saat mereka masih muda.
Beberapa nama lain dari generasi Z adalah : Internet
Generation (IGen), Digital natives, Screensters dan Zeds.
Banyak sumber mengatakan bahwa gen Z baik dalam
multitasking ataupun task switch meskipun perkembangan otak
gen Z ini juga memiliki efek buruk berupa AADD (Acquired
Attention Deficit Disorder) yaitu perubahan pada otak karena
pemakaian teknologi yang begitu besar oleh gen Z yang
berdampak kesulitan untuk fokus dan menganalisa informasi
yang beragam, hal ini sangat dipengaruhi kebiasaan otak
mendapatkan informasi yang pendek dan cepat melalui sosial
media Rothman (2014).
Gen Z di dunia kerja menurut Rothman (2014) akan
berpindah-pindah kerja dengan cepat serta mampu

menghasilkan dampak dalam waktu singkat dibandingkan


generasi sebelumnya. Generasi Z akan memandang kariri
seperti beberapa hal berikut Singh (2014) : Kebebasan,
Materialistis, Global, Eksperimental , Teknologi tinggi,
Komitmen profesional . Generasi Z merepresentasikan
perubahan generasi yang signifikan pada dunia kerja dan akan
sangat penting untuk memahami darimana mereka datang serta
tentunya memiliki strategi kunci untuk menyambut mereka.
IV. METODOLOGI PENELITIAN
Paper ini banyak membahas mengenai generasi Y, generasi
Z dan bonus demografi dengan melakukan beberapa hal
berikut :
A. Review dokumen
Jurnal yang telah dipublish
Laporan
Artikel
Dokumen yang dipublikasikan pemerintah
B. Data Biro Pusat Statisik (BPS)
Melakukan pengolahan data sederhana berdasarkan datadata yang didapatkan dari biro pusat statistik
V. PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data untuk paper ini dilakukan dengan datadata sekunder yang dikumpulkan dari Internet dan/atau
melakukan pengolahan data atas data-data yang didapat dari
Internet tersebut.
VI. ANALISA DAN KESIMPULAN
Pada tabel 4 (bagian pendahuluan) telah dipaparkan
bagaimana jumlah generasi Y dan Z pada tahun 2025, yaitu
sejumlah 148 juta (77%) dari 193 juta usia angkatan kerja.
Untuk itu menarik untuk secara mengamati bagaimana detail
struktur usia kerja sehingga dapat lebih memahami situasi
dunia kerja pada bonus demografi 2025 sebagai berikut :

Tabel 6. Struktur usia gen Y dan gen Z tahun 2025

(diolah dari data BAPPENAS BPS 2013)

Dominasi gen Y dan gen Z dibandingkan baby boomers 12


juta (6,38%) dan gen X 32 juta (16,9%) pada struktur dunia
kerja tahun 2025 menegaskan pentingnya angkatan kerja
mempelajari mengenai gen Y dan gen Z lebih dalam lagi.
Dalam struktur usia di secara umum bahwa gen Y merupakan
generasi yang menjadi atasan langsung (atau paling tidak
senior) dari generasi Z.
Jika lebih jauh lagi ditarik bahwa usia angkatan kerja 22-24
tahun dikategorikan sebagai fresh graduated lulusan s1 serta
24-26 tahun untuk fresh graduated lulusan s2 , maka angkatan
kerja s1 dan s2 pada masa bonus demografi ini adalah anakanak kelahiran antara 1999-2003.
Anak kelahiran tahun 1999-2003 adalah gen Z yang pada
usia mereka 5-15 tahun, Indonesia dipenuhi oleh booming
gadget dan teknologi, hal tersebut mengakibatkan mereka
memiliki kehidupan yang erat sekali dengan teknologi dan
gadget. Perbedaan dengan gen Z yang mayoritas mulai
menyentuh gadget dan dikatakan melek teknologi pada usia >
15 tahun. Dengan demikian teknologi lebih erat mengikat
kepada gen Z atau istilah yang dipakai oleh Bursch (2014)
adalah gen Y secara teknologi lebih plugged-in dibandingkan
dnegan gen Y (Millenia). Dampaknya gen Z tentu akan sedikit
berbeda dalam preferensi cara mereka bekerja, berkomunikasi
dan menyampaikan informasi ketimbang gen Y.
Perbedaan tersebut dapat saja menjadi pemicu konflik,
mengingat gen Y adalah generasi yang pada umumnya bersifat
narsistik dan memiliki harga diri tinggi seolah-olah mendapat
lawan tanding sepadan yaitu gen Z yang secara nature
memiliki kesamaan dari penguasaan teknologi.
Beberapa potensi konflik yang muncul pada interaksi antar
generasi sebelumnya adalah Bursch (2014) :
1. Baby boomers memandang gen X dan gen Y kurang
disiplin dan kurang fokus.
2. Gen X dan gen Y melihat baby boomers resisten
terhadap perubahan, memiliki keyakinan benar
terhadap pengalaman, serta kurang kreatif.
3. Gen X melihat gen Y sebagai generasi arogan.
4. Gen Y melihat gen X lamban mengambil keputusan
dan tidak memiliki cukup kemampuan mengambil
keputusan.
Potensi konflik dan cara pandang di atas sangat mungkin
juga terjadi pada interaksi antara gen Y dan gen Z. Pola
tersebut saat ini belum muncul, karena sebagian besar gen Y
(khususnya yang memiliki gelar s1) belum masuk ke angkatan
kerja, namun dalam pemaparan mengenai karakteristik antar
generasi tentu potens-potensi konflik dapat dihindari atau
justru dikelola menjadi sebuah interaksi yang produktif untuk
dunia kerja.

Dominasi gen Y dan gen Z pada bonus demografi


Indonesia tahun 2025 merupakan suatu modal besar. Generasi
Y dan Z memiliki otoritas dan mengisi posisi-posisi penting
pada level tactical maupun strategical , sekalipun tentunya
sebagian gen X masih mendominasi pada level pucuk-pucuk
pimpinan perusahaan karena mereka berada pada usia 50-59
tahun.
Generasi Y yang telah menunggu-nunggu transisi
kekuasaan dari gen X tentunya telah memiliki sejumlah list
rencana untuk mengelola perusahaan, divisi, departemen atau
bagian apapun yang sebelumnya dipegang oleh gen X untuk
kemudian diubah secara signifikan karena gen Y telah lama
memperhatikan cara-cara lamban dari gen X yang kurang
agresif. Pada saat itu gen Y akan mulai menerima karyawan
fresh graduate atau level penyelia yang berasal dari gen Z.
Sebagai pemimpin gen Y tentu menempatkan diri sebagai
pribadi yang lebih matang dan menunjukkan kedewasaannya
untuk membimbing gen Z, untuk itu gen Y perlu banyak
mempelajari mengenai karakteristik gen Z di dunia kerja
nantinya.
Implikasi Manajerial Gen Y
Gen Y atau dapat dikatakan generasi kerja yang menjadi
pemimpin pada saat bonus demografi Indonesia 2025
setidaknya harus mampu mengantisipasi dan mengelola konflik
perbedaan generasi menjadi hal yang produktif, salah satu nya
adalah mempelajari bagaimana tips praktis untuk berhadapan
dengan gen Z seperti 2 (dua) hal yang disarankan oleh
Rothman (2014) pada akhir jurnal penelitian nya sebagai
berikut :
1. Tantangan untuk atasan dari gen Z untuk tetap membuat
gen Z tertarik dan termotivasi mengurus hal-hal kecil
yang mendetail.
2. Pemimpin diharapkan untuk meningkatkan kemampuan
diri serta menyediakan kesempatan bimbingan kepada
gen Z.
Karena berada pada era informasi yang cepat dan singkat
(flash news dan artikel google), gen Z cenderung tidak punya
kedalaman dalam mengerjakan sesuatu. Hal yang dalam dan
mendetail tidak menjadi kebiasaan bagi mereka seperti masamasa kecil sampai kuliah gen Y yang banyak berkecimpung
dengan buku literature di perpustakaan. Saran dari Rothman
pada poin 1 di atas adalah bagaimana membuat gen Z tetap
dapat fokus untuk menyelesaikan detail pekerjaan dengan
mengukur performa penyelesaian pekerjaan sampai hal
terkecil, sehingga gen Z akan memiliki arahan jelas dan
termotivasi terhadap itu. Hal ini membuat gen Z mengerti
bahwa detail dan hal kecil dalam pekerjaan juga penting dan
menjadi perhatian bagi perusahaan.
Kemampuan gen Y dalam menjadi seorang pembelajar
seumur hidup (long life learner) ditandai dengan masuknya era

teknologi internet pada masa-masa akhir study gen Y di


universitas. Kecepatan dan ketersediaan informasi di internet
dipakai oleh gen Y untuk meningkatkan kemampuan diri. Gen
Y yang menganggap bahwa penguasaan terhadap suatu ilmu
akan linier dengan kualitas hidup tentu merupakan generasi
yang upgradable dan berbeda dengan baby boomers dan
sebagian gen X yang kurang memperhatikan mengenai
peningkatan kemampuan karena merasa fokus utama nya
adalah pekerjaan (hidup untuk bekerja). Gen Y disarankan oleh
Rothman pada poin 2 di atas untuk rajin mengupgrade diri dan
menjadi mentor kepada gen Z, sehingga muncul trust dan
interaksi positif antara kedua generasi tersebut.
Bonus demografi Indonesia 2025 seperti dikatakan oleh
Profesor Moertiningsih (2012) merupakan the window of
opportunity (jendela peluang) dan hanya terjadi sekali dalam
sejarah suatu penduduk dikarenakan rasio ketergantungan
(dependency ratio) mencapai titik terendah yaitu 0,44 (44 usia
non produktif ditanggung oleh 100 usia produktif).
Moertiningsih (2012) menggarisbawahi istilah the window of
opportunity jangan sampai bergeser menjadi the door of
disaster karena pengelolaan bonus demografi yang kurang
tepat.
Pemahaman mengenai karakteristik generasi, khususnya
gen Y dan gen Z yang dominan pada waktu bonus demografi
2025 merupakan salah satu cara bagaimana menciptakan
interaksi yang produktif di tempat kerja sehingga mendukung
produktifitas dan profitabilitas perusahaan.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai