Anda di halaman 1dari 9

BAB 6

KEPEMILIKAN YANG SAH

A. Kepemilikan
Secara bahasa, kata kepemilikan berarti memiliki sesuatu dan sanggup
bertindak sekehendak hati terhadapnya. Secara istilah, kepemilikan adalah suatu
ikhtisas yang menghalangi orang lain bertindak terhadap benda miliknya
sekehendaknya, kecuali ada penghalang. Menurut Jumhur ulama, kepemilikan
merupakan hak khusus seseorang terhadap suatu benda dan tercegahnya pihak lain
untuk ikut memanfaatkannya. Pemilik disahkan menggunakan hak miliknya
sejauh tidak melanggar ketentuan syariat.
1. Ketentuan Syariat Mengenai Hak Milik
Ketentuan mengenai hak-hak manusia untuk memiliki seisi alam ini
harus berlandaskan pada ketentuan yang dibuat Allah SWT. Syariat Islam
mempunyai aturan tertentu mengenai keinginan seseorang untuk memiliki
kekayaan alam ini menjadi milik pribadinya. Ketentuan Islam mengenai
kekayaan pribadi itu meliputi delapan pokok adalah sebagai berikut.
a. Pemanfaatan Kekayaan
Semua kekayaan harus memiliki manfaat dan dapat digunakan
manfaatnya untuk orang banyak. Nabi SAW bersabda yang artinya, Orang
yang menguasai tanah yang tidak bertuan tidak lagi berhak atas tanah itu jika
setelah tiga tahun menguasainya, ia tidak menggarapnya dengan baik.
Pemerintah Islam berhak mengatur dan mencabut izin hak kepemilikan
tanah seseorang apabila pemilik berlaku tidak sesuai dengan ajaran Islam,
yakni hanya mementingkan diri sendiri dengan mengabaikan hak masyarakat
secara luas.
b. Membayar Zakat
Semua kekayaan, emas, perak, uang, hasil pertanian, usaha perdagangan,
dan apa saja yang dimiliki oleh seseorang selama hidupnya merupakan harta
benda yang wajib dizakati. Syariat zakat bertujuan untuk kemaslahatan

umum, kaum Muslimin secara keseluruhan,dan tidak untuk menumpuk


kekayaan pribadi, melainkan untuk berbakti kepada Allah SWT.
c. Penggunaan yang Berfaedah
Penggunaan harta benda harus dapat memberi manfaat dan faedah bagi
kepentingan

umum,

dapat

menyejahterakan,

menguntungkan,

dan

memakmurkan. Allah SWT berfirman:


Artinya: Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk,
akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di
jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu
membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah. Dan
apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi
pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya
(dirugikan). (Q.S. Al-Baqarah: 272)
d. Penggunaan yang Tidak Merugikan
Apabila Islam memberi tekanan pada pemakaian yang berfaedah, berarti
membebankan
kewajiban kepada pemilik harta benda untuk menggunakannya sedemikian
rupa sehingga tidak merugikan orang lain atau masyarakat. Oleh karena itu,
jika seandainya kerugian ditimpakan kepada orang lain, hal itu merupakan
pelanggaran. Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi
kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. AlBaqarah: 190)
e. Kepemilikan yang Sah
Tindakan untuk memperoleh harta benda dengan cara yang tidak sah
dilarang dalam
Islam. Demikian pula kepemilikan yang diperoleh dari penyuapan, sumpah
palsu, atau surat
palsu adalah perbuatan yang melanggar hukum.

f. Penggunaan Berimbang
Di samping syarat kepemilikan harus dilakukan dengan cara yang sah, asas
keseimbangan dalam menggunakan hak milik seseorang pun diatur dengan
jelas dalam Islam. Maksud keseimbangan di sini adalah tidak berlaku kikir
dan boros. Allah SWT sangat tidak menyukai orang-orang yang memiliki
sifat kikir dan sombong, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya berikut
ini.
Artinya: Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan
membanggakan diri, (yaitu) orang yang kikir, dan menyembunyikan karunia
yang telah diberikan Allah kepadanya. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang kafir azab yang menghinakan. (Q.S. An-Nisaa: 36 - 37).
g. Pemanfaatan Sesuai Hak
Ketentuan etika bisnis Islami menekankan penggunaan harta dengan
menjamin manfaatnya bagi si pemilik. Harus diakui bahwa sangat banyak
orang memanfaatkan harta bendanya untuk kepentingan diri sendiri, baik di
bidang politik maupun di bidang ekonomi, dengan mengabaikan
kepentingan-kepentingan yang luas bagi masyarakat. Hal tersebut sangat
bertentangan dengan Islam.
h. Kepentingan Kehidupan
Persoalan pengawasan dan pembagian harta tidak timbul sebelum kematian
pemiliknya. Kepentingan bagi mereka yang masih hidup dengan
mempraktikkan hukum waris.
2. Sebab Kepemilikan
Sebab-sebab memiliki (tamalluk) yang ditetapkan syarak, sebagaimana
disebutkan dalam buku Pengantar Fikih Muamalat hanya terdiri atas empat
sebab, adalah sebagai berikut.
a. Ihrazul Mubahat
Ihrazul mubahat adalah sebab timbul atau sifat memiliki atas benda oleh
seseorang. Yang dimaksud dengan mubah dalam ihrazul mubahat adalah
harta yang tidak masuk ke dalam milik yang dihormati (milik orang yang
sah) dan tidak ada pula suatu penghalang yang dibenarkan syarak dari

memilikinya. Contoh barang-barang mubah dan dapat dimiliki, seperti air


yang tidak dimiliki seseorang, rumput dan pepohonan di hutan belantara
yang tidak dimiliki oleh orang, binatang buruan, ikan-ikan di laut. Dalam
ketentuan milkiyah, semua jenis tersebut di atas adalah barang mubah. Siapa
pun berhak memiliki semua jenis barang tersebut. Apabila dia telah
menguasai dengan maksud memiliki, menjadilah miliknya. Tidak yang
termasuk mubah untuk dimiliki seorang pun yang dapat menghalangi karena
barang yang dimaksud adalah barang mati tak bertuan, melainkan milik
Allah SWT. Untuk memiliki benda-benda mubah dengan jalan ihrazul
memerlukan dua syarat.
1) Benda tersebut tidak diihrazkan orang lain terlebih dahulu. Misalkan,
seseorang telah
mengumpulkan rumput dalam sebuah keranjang dan dibiarkan tidak
diambil maka orang lain tidak berhak mengambil rumput tersebut karena
telah diihrazkan (dijaga) oleh seseorang. Oleh karena itu, ada kaidah
yang mengatakan bahwa barang siapa mendahului orang lain pada
sesuatu yang mubah bagi semua orang, maka sesungguhnya ia telah
memilikinya.
2) Ada maksud tamalluk, yakni jika seseorang memperoleh sesuatu benda
mubah dengan tidak bermaksud memilikinya, tidaklah benda itu menjadi
miliknya. Misalnya, seseorang memasang jaring penangkap, lalu
terjeratlah seekor binatang buruan. Jika ia meletakkan jaring penangkap
tadi sekadar mengeringkan jaring, tidaklah dia berhak memiliki binatang
buruan yang terjerat oleh jaringnya. Orang lain masih boleh mengambil
binatang terjerat itu. Orang yang mengambil itulah dipandang muhriz,
bukan pemilik jaring.
b. Al 'Uqud
Al 'uqud (akad) merupakan sebab terjadi kepemilikan, seperti akad jual beli
sepeda. Sepeda yang dibeli menjadi milik pembeli secara sah karena telah
terjadi akad jual beli sepeda. Artinya, penjual telah memindahtangankan hak
kepemilikan sepeda darinya (penjual) ke pihak kedua (pembeli). Akad ini

lazim disebut dengan transaksi pemindahan hak. Maksud akad dalam sistem
kepemilikan mengandung dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu
sebagai berikut.
1) 'Uqud jabariyah, yaitu akad-akad yang harus dilakukan berdasarkan pada
keputusan
hakim, seperti menjual harta orang yang berutang secara paksa.
Penjualan tersebut salah, walaupun dia menjual karena dipaksa oleh
hakim, dan hakim memaksa menjual barang itu untuk membayar utang
orang lain.
2) Istimlak untuk maslahat umum
Untuk memahami dengan mudah akad ini, perhatikan contoh berikut ini.
Misal tanah tanah di samping masjid apabila diperlukan untuk masjid
harus dimiliki oleh masjid dan pemilik harus menjualnya.
Kedua kategori di atas, baik 'uqud jabary maupun istimlak masuk dalam
bidang akad. Akad tersebut lazim disebut dengan transaksi pemindahan
hak dalam sistem ekonomi Islam.
c. Khalafiyah
Istilah khalafiyah dikenal dalam sistem ekonomi kontemporer dengan istilah
penggantian. Maksud khalafiyah (penggantian) adalah penggantian posisi
dari satu pihak ke pihak lain, yang dalam prosesnya tanpa ada persetujuan,
baik dari pihak pertama maupun pihak kedua. Misalnya, harta warisan.
Warisan berpindah ke ahli waris tanpa terlebih dahulu bersyarat persetujuan
karena ketentuan itu merupakan ketentuan syariat Islam.
d. Attawallud min Mamluk
Attawallud min mamluk adalah sebuah kepemilikan yang diperoleh dengan
jalan anak pinak, seperti pohon menghasilkan buah, buah ini otomatis
menjadi miliknya karena dia yang memiliki pohonnya. Seseorang memiliki
ternak kambing lalu diambil susunya, susu yang diperoleh dari kambing
tersebut menjadi miliknya.

3. Menghidupkan Tanah Mati


Ihya mawat al-ard adalah menghidupkan tanah mati. Maksud tanah mati
adalah tanah tak
bertuan, yaitu tidak dimiliki seseorang. Islam membolehkan umatnya
menghidupkan

tanah

mati,

sekaligus

menjadi

milik

dari

yang

menghidupkannya. Rasulullah SAW bersabda:


Artinya: Barang siapa yang menghidupkan tanah mati maka ia menjadi
pemiliknya, tidak ada bagi orang yang aniaya hak atas sesuatu." (H.R. Abu
Dawud dan Tirmidzi)
Artinya: Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia memperoleh
pahala, dan apa-apa yang dimakan binatang, maka menjadi sedekah
baginya. (H.R. Ahmad)
Menghidupkan tanah mati yang diperbolehkan menurut syarak adalah
mempersiapkan tanah

itu untuk keperluan

yang diinginkan. Dalam

penggunaannya, dianjurkan untuk memberi tanda batas dengan tembok atau


parit yang menunjukkan pembatas atas tanah yang dihidupkan. Pembatasan itu
diperlukan agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari.

B. Akad
1. Pengertian Akad
Secara bahasa, akad artinya ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara
nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.
Sedangkan secara istilah, ulama fikih membaginya menjadi dua ketentuan,
umum dan khusus.
a. Akad secara Umum
Secara umum, akad adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang
berdasarkan keinginannya sendiri, seperti: wakaf, talak, dan pembebasan
atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang,
seperti: jual beli, perwakilan, dan gadai.
b. Akad secara Khusus
Untuk pengertian ini, para ulama berbeda pendapat, antara lain:

1) Perikatan yang ditetapkan dengan ijab kabul berdasarkan ketentuan


syarak yang
berdampak pada objeknya;
2) Pengaitan ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara
syarak pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.
2. Hukum Akad
Ketentuan dasar dari akad adalah firman Allah SWT yang berbunyi:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu
(Q.S.Al-Maidah: 1)
3. Syarat Akad
Akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau
lebih, berdasarkan keadaan masing-masing. Akad dapat terjadi apabila
terdapat unsur-unsur, yaitu sigat akad, akad dengan perbuatan, akad dengan
isyarat, dan akad dengan tulisan.
Syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam, yaitu syarat umum dan syarat
khusus.
a. Syarat Umum
Adalah syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad, yaitu:
1) kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak;
2) yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya;
3) akad itu diizinkan oleh syarak;
4) akad yang dilakukan tidak dilarang oleh syarak;
5) akad dapat memberikan manfaat;
6) ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul;
7) ijab dan kabul harus bersambung. Apabila seseorang yang berijab
sudah berpisah
sebelum adanya kabul, ijab tersebut menjadi batal.
b. Syarat Khusus
Adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad.
Syarat khusus ini biasa disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada

di samping syarat-syarat yang umum, seperti syarat saksi dalam


pernikahan.
4. Rukun Akad
1) Pihak-pihak yang akan melaksanakan akad adalah orang-orang yang
cakap hukum.
2) Adanya ijab kabul.
3) Tidak adanya unsur paksaan.
4) Objek akadnya jelas.
5. Syarat Sah Akad
Akad dianggap sah jika terhindar dari enam perkara, yaitu kebodohan,
paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemudaratan, dan syaratsyarat jual beli yang rusak (fasid).
6. Pembagian Akad
a. Akad Sahih
Adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah ditetapkan oleh
syarak, baik asal maupun sifatnya.
b. Akad Tidak Sahih
Adalah akad yang tidak memenuhi unsur syarak. Artinya tidak sahih
adalah tidak memenuhi rukun dan tidak ada objek akad. Misal, orang gila
mengadakan akad adalah batil karena orang gila bukan ahli akad. Akad
dianggap fasid apabila objek akad tidak diketahui, meskipun telah
memenuhi rukun dan syarat, artinya barangnya tidak kelihatan atau tidak
berada di tempat.
7. Makna Sigat (Ijab Kabul) dalam Akad
Ijab dan kabul sangat penting karena keduanya merupakan syarat yang
harus dipenuhi oleh kelompok yang mengadakan akad. Ijab artinya ucapan
tanda penyerahan dari pihak yang menyerahkan dalam suatu akad. Kabul
adalah ucapan tanda setuju (terima) dari pihak yang menerima dalam suatu
akad. Syarat ijab kabul adalah sebagai berikut.
a.

Harus

jelas

melangsungkan akad.

maksudnya

sehingga

dipahami

oleh

pihak

yang

b. Antara ijab dan kabul harus sesuai.


c. Antara ijab dan kabul harus bersambung dan berada di tempat yang sama
atau berada di tempat yang sama-sama diketahui oleh keduanya.
8. Hikmah Akad
Adapun hikmah yang didapat dari akad adalah kepemilikan terhadap barang
tidak hanya memiliki saja, tetapi terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang
jelas. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekeliruan atau pengalihan hak
dengan cara yang tidak benar. Kepemilikan barang yang didapat dengan
cara tidak benar sangat berdosa dan akan menjauhkan rahmat dan berkah
dari Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai