Ilmu Kedokteran
Ilmu Kedokteran
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Penyakit-penyakit infeksi merupakan suatu masalah yang paling besar di
dunia. Sementara mortalitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired
immune Deficiency Syndrome (AIDS) itu sendiri menduduki peringkat kedua.
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
Negara di seluruh dunia. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara
bersamaan menyebabkan krisis kesehatan,krisis pembangunan Negara,krisis
ekonomi,pendidikan dan juga krisis kemanusiaan.Dengan kata lain HIV/AIDS
menyebabkan krisis multi dimensi.1
1;
Telah diketahui sejak lama bahwa orang yang hidup dengan HIV, seperti
pasien lain dengan penyakit kronis, mungkin mengalami suatu bentuk gangguan
psikiatri (kejiwaan) selama perjalanan penyakitnya. Infeksi HIV dan gangguan
psikiatrik mempunyai hubungan yang kompleks,menjadi terinfeksi HIV akan
menyebabkan gangguan psikiatrik sebagai konsekuensi psikologis dari infeksi
atau karena efek dari virus HIV dalam otak. Perjalanan penyakit AIDS yang
progresif dan berakhir dengan kematian,serta penyebaran yang cepat , adanya
stigma dan diskriminasi terhadap penderita dapat menimbulkan keadaan stress dan
gangguan psikiatrik pada penderita tersebut. Penelitian menunjukan bahwa
prevalensi gangguan psikiatrik pada orang yang hidup dengan HIV/AIDS adalah
antara 30 60 %. Terdapat beberapa jenis gangguan psikiatrik atau psikopatologi
pada ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) berdasarkan instrumen MINI ICD-10,
yaitu Gangguan Mood seperti depresi (68%), Gangguan Anxietas Menyeluruh
(41%), Gangguan Psikotik Tunggal (6%).ada beberapa referensi yang memasukan
juga demensia terkait HIV.2,3,4
Gangguan
psikiatri
pada
Odha
telah
dikaitkan
dengan
perilaku
untuk
memulai
dan
mematuhi
rejimen
antiretroviralnya
dan
mungkin
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
2.1.1 DEPRESI
Gangguan depresif adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood
sebagai masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode
depresif, gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif
unipolar serta bipolar. Gangguan depresif merupakan gangguan medik serius
menyangkut kerja otak, bukan sekedar perasaan murung atau sedih dalam
beberapa hari. Gangguan ini menetap selama beberapa waktu dan mengganggu
fungsi keseharian seseorang.5
Berdasarkan PPDGJ-III ( Pedoman Penggolongan Dan diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia,edisi III ),kriteria seseorang yang mengidap depresi yakni :6
;
kepercayaan diri berkurang, pikiran rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan
masa depan yang suram dan pesimistik, pikiran atau perbuatan yang
3
membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan terganggu.
Untuk episode depresi dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode
lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung
cepat.6
Kira-kira 4 - 40% pasien terinfeksi HIV telah dilaporkan memenuhi kriteria
diagnostik untuk gangguan depresif. Prevalensi gangguan depresif pra-infeksi
HIV mungkin lebih tinggi dari biasanya pada kelompok yang berada pada resiko
tertular AIDS. Alasan lain untuk bervariasinya angka prevalensi adalah penerapan
untuk kriteria diagnostik yang bervariasi, karena beberapa kriteria untuk gangguan
depresif ( gangguan tidur dan penurunan berat badan ) juga dapat disebabkan oleh
infeksi HIV itu sendiri. Depresi akibat kondisi penyakit medis atau depresi
sekunder akibat penyakit medis atau fisik banyak terjadi. Kebanyakan
menekankan pada beberapa bukti: bahwa depresi lebih banyak terjadi pada
populasi dengan penyakit medk-fisik disbanding dengan yang tidak dengan
penyakit medik-fisik, depresi sering tidak terdeteksi, tetapi dipersepsi sebagai
reaksi normal terhadap penyakit medik-fisik yang dideritanya;bahwa depresi lebih
sulit ditangani pada populasi dengan penyakit medic-fisik; penanganan standar
depresi cukup menolong;depresi yang tidak diterapi akan memperburuk
morbiditas penyakit fisiknya dan meningkatkan mortalitas.7
Gangguan depresi dan penyesuaian diri yang parah mungkin merupakan
penyulit psikiatri HIV yang paling luas yang telah diteliti. Walaupun sulit untuk
menemukan kesepakatan dalam kepustakaan mengenai prevalensi dan kejadian
depresi yang pasti pada Odha, ada kesepakatan bahwa angkanya lebih tinggi dari
yang ada di dalam masyarakat umum. Diagnosis depresi juga bisa menjadi sulit
pada Odha,seperti pada sebagian besar kelompok berpenyakit medis, tetapi
berbagai cara tampaknya sama-sama efektif asal ahli psikiatri yang menilainya
mengetahui gangguan psikiatri dan somatik tertentu dari penyakit tersebut. Secara
umum telah terbukti bahwa penyakit HIV berhubungan dengan tekanan sosial dan
Reaksi anxietas pada Odha sering kali mencakup rasa khawatir yang
mendalam, ketakutan, dan prihatin terhadap kesehatan, masalah somatik,
kematian, dan ketidakpastian mengenai penyakitnya. Reaksi ini kerap kali
mengarah kepada sulit tidur dan berkonsentrasi dan meningkatnya keluhan
somatik. Perwujudan penyakit kegelisahan lebih sering terjadi pada saat diagnosis
dan selama pengobatan atau penyakit akut.2
2.1.3 GANGGUAN PSIKOSIS
Psikosis pada HIV tampaknya kurang dipelajari dibanding depresi. Psikosis
merupakan istilah generik untuk satu dari sejumlah perwujudan gejala penyakit
pikiran. Gejala psikosis dapat menjadi bagian dari gangguan depresi yang parah,
skizofrenia, mania pada gangguan bipolar, atau penyakit obsessivecompulsive
yang ekstrim. Membedakan penyakit ini adalah sulit, biasanya diperlukan
konsultasi dan pemantauan psikiatri. Gejala psikosis dapat menyebabkan
terlambat di diagnosis, ketegangan hubungan antara dokter dan pasien, serta
pemahaman yang rendah tentang penyakit, pengobatan, dan prognosis.2
Psikosis dan delirium dapat sulit dibedakan, khususnya bagi dokter yang tidak
biasa dengan penyakit psikiatri atau delirium. Delirium adalah perubahan dalam
kesadaran dan ketajaman, dibanding dengan psikosis, yaitu perubahan dalam
proses dan isi pikiran dan juga dapat melibatkan perubahan dalam kesadaran,
biasanya karena gangguan konsentrasi atau penilaian akibat gejala psikosis
lainnya. Sebagaimana halnya gejala depresi, penyakit psikosis dapat diperburuk
oleh pengobatan (misalnya asiklovir), kelainan metabolik, atau infeksi. Dalam
keadaan ini, penyebab medis yang mendasarinya perlu diketahui dan diobati.2
2.1.4 DEMENSIA TERKAIT HIV
Istilah demensia terkait HIV (HIV associated dementia HAD)
mencakup spektrum luas perwujudan psikiatri dan neurologi dari infeksi HIV
pada SSP. Pada beberapa kasus, penyebab organik tertentu dari penyakit psikiatri
pada pasien yang terinfeksi HIV, terutama demensia terkait HIV (HIV-associated
dementia HAD). Ini merupakan topik penting, karena 90% pasien AIDS
mempunyai tanda penyakit SSP saat diotopsi dan 65% sampai 80% pasien AIDS
yang dirawat inap diketahui mengidap salah satu tipe penyakit mental Organik.3
7
hipermetabolisme
subkortikal
pada
tahap
dini
dan
BAB III
TERAPI
3.1
FARMAKOTERAPI
10
3.1.1 Depresi
Banyak jenis terapi, efektivitas akan berbeda dari orang ke orang dari waktu
ke waktu. Psikiater memberikan medikasi dengan antidepresan dan medikasi
lainnya untuk membuat keseimbangan kimiawi otak penderita. Pilihan terapi
sangat bergantung pada hasil evaluasi riwayat kesehatan fisik dan mental
penderita. Pada gangguan depresif ringan seringkali psikoterapi saja dapat
menolong. Tidak jarang terapi memerlukan psikofarmaka antidepresan. Medikasi
akan membantu meningkatkan suasana hati sehingga relatif penderita lebih mudah
ditolong dengan psikoterapi dan simptomnya cepat menurun. Setiap individu
mempunyai kebutuhan dan latar belakang yang berbeda, sehingga terapinya
11
(ECT)
direkomendasikan
jika
pemeriksaan
neurologis
menegakan tidak adanya peningkatan tekanan intrakranial atau lesi system saraf
pusat yang mengambil tempat (space-occupying).2,7
3.1.2 Gangguan Anxietas Menyeluruh
12
penelitian
kecil,
peningkatan
konseling
kelompok
mengakibatkan
peningkatan dalam pemakaian kondom dan penurunan hubungan seks yang tidak
aman pada kelompok pasien yang tunawisma dengan penyakit psikosis kronis dan
penyakit penyalahgunaan zat.2
Gejala psikotik mungkin memerlukan penggunaan obat antipsikotik untuk
mengendalikan prilaku yang sangat terdisorganisasi atau untuk menurunkan
waham atau halusinasi. Pasien terinfeksi HIV adalah rentan terhadap efek
samping obat-obat tersebut; Sebagaimana dengan obat antidepresan, obat
antipsikosis sebaiknya dipilih dengan mengingat riwayat efek samping dan
interaksi obat. Haloperidol, mungkin obat antipsikosis yang paling umum
diresepkan, dan neuroleptik lain dengan kemampuan tinggi, lebih mungkin
menyebabkan efek ekstrapiramidal, khususnya gejala Parkinson, pada orang
dengan infeksi HIV. HIV merupakan virus neurotropik yang mempengaruhi
daerah subkortikal otak termasuk ganglia basal.. Jadi, menghindari obat
neuroleptik potensi tinggi dan menggunakan alternatif yang berpotensi rendah,
seperti tioridazin, adalah bijaksana. 2,7
13
14
PSIKOTERAPI
15
BAB IV
KESIMPULAN
1;
2;
16
3;
DAFTAR PUSTAKA
1; Saragi J. Sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS dr.RSUP Haji Adam
17
18