Anda di halaman 1dari 21

Kegawatdaruratan Psikiatri Pada KDRT

Septin Permata Sari (102014274)

Kelompok F2

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara No. 6, Kebon Jeruk-Jakarta Barat 11510
No. Telp (021) 5694-2061

Abstrak
KDRT adalah segala bentuk, baik kekerasan secara fisik, secara psikis, kekerasan seksual,
maupun ekonomi yang pada intinya mengakibatkan penderitaan, baik penderitaan yang
secara kemudian memberikan dampak korban menjadi sangat trauma atau mengalami
penderitaan secara psikis. KDRT bisa terjadi karena ada gangguan jiwa pada pelakunya.
Gangguan jiwa adalah sindrom pola prilaku seseorang yang secara khas berkaitan dengan
suatu gejala distress atau impairment di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari
manusia. Dengan ditetapkannya Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan
Penegakan Hukum diharapkan terdapat keseragaman pembuatan VeRP oleh Dokter yang
berkompeten dan berwenang di fasilitas pelayanan kesehatan, disamping itu dapat juga
membantu penegak hukum dan hakim dalam memahami dan memanfaatkan VeRP.
Kata kunci: KDRT, Gangguan Jiwa, VeRP

Abstract :
Domestic violence is all forms, whether physical, psychological, sexual violence, or economic
violence that in essence leads to suffering, both suffering which later impacts the victim
becomes very traumatized or suffers psychically. Domestic violence can occur because there
is a mental disorder on the culprit. Mental disorder is a syndrome of a person's behavioral
pattern typically associated with a symptom of distress or impairment in one or more
important functions of a human being. With the enactment of Mental Health Inspection
Guidelines for Law Enforcement Interest, it is hoped that there will be uniformity of VeRP
making by competent and authorized Physicians in health service facilities, besides it can
also assist law enforcers and judges in understanding and utilizing VeRP
Keywords : KDRT, Mental Disorders, VeRP
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Rumah sakit jiwa dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya seringkali mendapat
permintaan pembuatan surat keterangan kesehatan jiwa. Surat keterangan tersebut
berkaitan dengan permasalahan hukum maupun untuk kepentingan administratif lainnya
misalnya sebagai persyaratan pegawai, persyaratan calon anggota legislatif dan eksekutif
atau pengangkatan anggota profesi tertentu. Surat keterangan kesehatan jiwa yang
berkaitan dengan perkara pidana permintaannya dilakukan oleh polisi sebagai penyidik,
jaksa, dan hakim. Surat keterangan jiwa yang berkaitan dengan perkara perdata
permintaan dilakukan oleh pengacara maupun para pihak yang bersengketa melalui
pengadilan. Pada tahun 1986, Direktorat Kesehatan Jiwa, Ditjen Pelayanan Medik,
Departemen Kesehatan, telah menyusun Pedoman Visum et Repertum Psikiatrikum
(VeRP)1. Pedoman tersebut belum dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri
Kesehatan dan VeRP dibuat hanya untuk perkara pidana. Pasal 150 Undang-Undang
nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan telah menetapkan bahwa Pemeriksaan
kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (VeRP) hanya dapat dilakukan oleh
dokter spesialis kedokteran jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan. Penetapan status
kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan kesehatan jiwa dilakukan
oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar profesi.

2. Identifikasi Istilah
Tidak Ada

3. Rumusan Masalah
Seorang perempuan ke IGD RS dalam keadaan luka di kepala dan terjadi perdarahan di
daerah lukanya, akibat pemukulan oleh suaminya yang cemburu.

4. Sasaran Belajar
KDRT bisa terjadi karena ada gangguan jiwa pada pelakunya
Kasus KDRT harus dilaporkan ke polisi
Pelaku tindak kekerasan yang diduga menderita gangguan jiwa, perlu dibuatkan
visum et repertum psikiatrikum
Prilaku tindakan kekerasan yang gangguan jiwa dapat dibebaskan dari hukuman
penjara
Korban tindak kekerasanpun harus dibuatkan visum et repertum fisik
Tempat pembuatan VeRP
UU yang berkaitan dengan KDRT

Pembahasan :
Skenario 8
Analisis Masalah
Seorang perempuan datang ke IGD RS dalam keadaan luka di kepala dan terjadi perdarahan
di daerah lukanya, akibat pemukulan oleh suaminya yang cemburu.

Pembahasan :
KDRT bisa terjadi karena ada gangguan jiwa pada pelakunya
Gangguan Jiwa
Pengertian gangguan jiwa :
Gangguan jiwa menurut PPGDJ III adalah sindrom pola prilaku seseorang yang secara
khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment) di
dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, prilaku,
biologi dan gangguan itu tidak hanya terletak dalam hubungan antara orang itu tapi juga
dengan masyarakat. Gangguan jiwa merupakan deskripsi sindrome dengan variasi
penyebab. Banyak yang belum diketaui dengan pasti dan perjalanan penyakit tidak selalu
bersifat kronis. Pada umumnya ditandai dengan adanya penyimpangan yang fundamental,
karakteristik dari pikiran dan persepsi , serta adanya efek yang tidak wajar atau tumpul.

Sumber penyebab gangguan jiwa :


Manusia bereaksi secara keseluruhan-somato-psiko-sosial. Dalam mencari penyebab
gangguan jiwa, unsur ini harus diperhatikan. Gejala gangguan jiwa yang menonjol adalah
unsur psikisnya, tetapi yang sakit atau menderita tetap sebagai manusia seutuhnya.
1. Faktor somatik (somatogenik)
Yaitu akibat gangguan pada neuroanatomi, neurofisiologi, dan neurokimia, termasuk
tingkat kematangan dan perkembangan organik, serta faktor prenatal dan perinatal.
2. Faktor psikologik ( psikogenik )
Yang terkait dengan interaksi ibu dan anak, peranan ayah, persaingan antar saudara
kandung, hubungan dalam keluarga, pekerjann, permintaan masyarakat. Selain itu,
faktor intelegensi, tingkat perkembangan emosi, konsep diri dan pola adaptasi juga
akan memengaruhi kemampuan untuk menghadapi masalah . Apabila keadaan ini
kurang baik, maka dapat mengakibatkan kecemasan, depresi , rasa malu, dan rasa
bersalah yang berlebihan.
3. Faktor sosial budaya
Yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola mengasuh anak, tingkat ekonomi,
perumahan dan masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas
kesehatan, dan kesejahteraan yang tidak memadai, serta pengaruh rasial dan
keagamaan.

Klasifikasi gangguan jiwa :2


Secara umum klasifikasi gangguan jiwa menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013
dibagi menjadi 2 bagian yaitu : gangguan jiwa berat / kelompok psikosa dan gangguan
jiwa ringan meliputi semua gangguan mental emosional yang berupa kecemasan, panik,
gangguan alam perasaan dan sebagainya. Di Indonesia, berdasarkan penelitian terdapat
masalah utama yang sering terjadi di rumah sakit jiwa Indonesia, yaitu :
1. Prilaku kekerasan
2. Halusinasi
3. Menarik diri
4. Waham
5. Bunuh diri
6. Defisit perawatan diri ( berpakaian, berhias, kebersihan diri, makan, aktivitas sehari-
hari, dan lain-lain )
7. Harga diri rendah

Hasil penelitian terakhir tahun 2005, didapatkan 10 diagnosis terbanyak yang paling sering
ditemukan, di RSJ Indonesia, sebagai berikut :
1. Prilaku kekerasan
2. Risiko prilaku kekerasan (pada diri sendiri, orang lain, lingkungan dan verbal)
3. Gangguan persepsi sensori : halusinasi (pendengaran, penglihatan, pengecap, peraba,
penciuman)
4. Gangguan proses pikir
5. Kerusakan komunikasi verbal
6. Risiko bunuh diri
7. Isolasi sosial
8. Kerusakan interaksi sosial
9. Defisit perawatan diri (mandi, berhias, makan, eliminasi)
10. Harga diri rendah kronis
Gangguan Jiwa yang dapat menyebabkan KDRT :
Penelitian menunjukkan penyakit mental seperti depresi dan skizofrenia telah dikaitkan
dengan peningkatan kejahatan berbasis kekerasan. Seena Fazel dari University Of Oxford
meniliti lebih dari 47.000 orang di swedia. Ia menemukan bahwa orang depresi, 3x lebih
mungkin melakukan kejahatan kekerasan dari pada yang tidak depresi. Dipublikasikan
dalam jurnal medis The Lancer psychiatry, presentasi orang depresi melakukan kejahatan
kekerasan tidaklah begitu besar. Sebanyak 3,7 % pria dan 0,5 % wanita yang mengalami
depresi akan melakukan tindakan kejahatan dengan kekerasan

KDRT
Prilaku kekekrasan dalam keluarga lebih sering berbentuk kekerasan dalam keluarga atau
rumah tangga (KDRT). Berdasarkan UU Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga adalah segala bentuk, baik
kekerasan secara fisik, secara psikis, kekerasan seksual, maupun ekonomi yang pada
intinya mengakibatkan penderitaan, baik penderitaan yang secara kemudian memberikan
dampak korban menjadi sangat trauma atau mengalami penderitaan secara psikis.3 Prilaku
kekerasan dalam keluarga dapat terjadi pada semua orang yang tinggal dalam keluarga,
suami, istri, orang tua, anak, usia lanjut, ataupun pembantu tanpa membedakan gender
ataupun posisi dalam keluarga. Faktor penyebab prilaku kekerasan dalam keluarga :
1. Biologi
Perubahan sistem limbik otak dan neurotransmitter menyebabkan individu tidak
mampu mengendalikan prilaku agresifnya
2. Psikologi
Kegagalan, frustasi, ketidakpuasan, pernah jadi korban, saksi atau prilaku kekerasan
3. Sosial Budaya
Adanya prilaku agresif, yang dapat memenuhi kebutuhan akan cenderung diulang
dalam cara penyelesaian masalah. Adanya penerimaan masyarakat atas prilaku
kekerasan yang terjadi, tidak adanya pencegahan, dan kurang berperannya aspek
hukum akan menyuburkan prilaku kekerasan di dalam keluarga dan masyarakat.

Lingkup kekerasan dalam rumah tangga meliputi :


1. Pertama : Hubungan keturunan darah
2. Kedua : Hubungan suami istri
3. Ketiga : Hubungan bekerja di dalam keluarga

Klasifikasi kekerasan dalam rumah tangga :


1. Kekerasan antar orang dewasa
2. Kekerasan orang dewasa dengan anak
3. Kekerasan orang dewasa dengan lansia

Bentuk kekerasan dalam rumah tangga :


1. Secara fisik : menampar, memukul, menjambak rambut, menendang, menyundut
dengan rokok, melukai dengan senjata dan sebagainya.
2. Secara psikologis : penghinaan, komentar-komentar yang merendahkan, melarang istri
mengunjungi saudara atau teman-temannya, mengancam akan dikembalikan ke rumah
orang tuanya, dan sebagainya.
3. Secara seksual (marital rape) : kekerasan dalam bentuk pemaksaan dan penuntutan
hubungan seksual.
4. Secara ekonomi : tidak memberikan nafkah istri, melarang istri bekerja, atau
membiarkan istri bekerja untuk dieksploitasi.

Kasus KDRT harus dilaporkan ke polisi


Apabila mengalami KDRT, khususnya jika bentuknya kekerasan fisik, maka korban harus
segera lapor ke pihak kepolisian. Di kepolisian nanti korban akan diarahkan untuk
melakukan visum et repertum psikiatrikum di rumah sakit, yang dilakukan oleh orang
yang berkompeten. Merujuk pada Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia, maka
hasil visum et repertum psikiatrikum dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat yang
diajukan ke pengadilan dalam proses pembuktian.
Pelaku tindak kekerasan yang diduga menderita gangguan jiwa, perlu dibuatkan
visum et repertum psikiatrikum
Penyelenggaraan Visum et Repertum Psikiatrikum (VeRP)
1. Fasilitas pelayanan kesehatan pemeriksaan kesehatan jiwa :
Sarana pelayanan kesehatan jiwa tempat membuat VeRP adalah Rumah Sakit Jiwa
Pemerintah, Bagian Kedokteran Jiwa pada Rumah Sakit Umum Pemerintah,Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia. Untuk pemeriksaan VeRP
Perdata dapat juga dilaksanakan di Klinik Utama yang memiliki sumber daya yang
sesuai. Sarana dan prasarana yang diperlukan diprioritaskan bagi keamanan dan
pengawasan terperiksa untuk:
a. Mencegah larinya terperiksa, perlu ada penjagaan yang dilakukan oleh instansi
pemohon. Larinya terperiksa menjadi tanggung jawab pemohon.
b. Menghindari terjadinya percobaan bunuh diri atau pembunuhan, kekerasan pada
diri sendiri dan orang lain. Untuk mendeteksi kemungkinan terperiksa berpura-
pura perlu disediakan peralatan audiovisual (Closed Circuit Television/atau CCTV
dan perlengkapan audio).
Selain hal-hal tersebut diatas, fasilitas pelayanan kesehatan perlu menyediakan
pemeriksaan psikometri, psikotes dengan instrumen yang telah direkomendasikan oleh
organisasi profesi.

2. Prosedur pemeriksaan :
Dalam melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum
dilaksanakan oleh Tim. Tim dibentuk oleh pimpinan fasyankes melalui surat
keputusan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes). Tenaga kesehatan
terdiri 1(satu) dokter spesialis kedokteran jiwa yang merangkap ketua tim dan pembuat
VeRP, dan dibantu sekurang- kurang nya 2 (dua) orang tenaga kesehatan lainnya,
diantaranya Dr SpKJ lain nya, Dr Sp lainnya, Dr Umum, Psikologi Klinis, tenaga
keperawatan maupun tenaga kesehatan lainya. Dr SpKJ merangkap ketua tim bertugas
melakukan pemeriksaan psikiatrik, memimpin rapat dan merangkum hasil temuan
pemeriksaan yang telah dilakukan oleh tenaga kesehatan lainnya, membuat analisis
medikolegal serta menyusun laporan dalam bentuk VeRP. Tenaga kesehatan lainnya
(Dr SpKJ lain nya, Dr Sp lainnya, Dr Umum, Psikologi Klinis, tenaga keperawatan
maupun tenaga kesehatan lainya) melakukan pemeriksaan sesuai dengan bidang
keilmuannya, melakukan pencatatan dalam rekam medic, melaporkan hasil temuan
nya kepada Dr SpKJ selaku ketua tim, dan membahas hasil temuannya bersama
anggota tim lainnya dalam menyusun kesimpulan pemeriksaan.
Pada pemeriksaan perkara pidana dengan pelaku yang diduga mengalami gangguan
jiwa, Bilamanana data yang diperlukan telah mencukupi maka Psikater dapat membuat
kesimpulan pemeriksaan. Kesimpulan pemeriksaan setidaknya memuat :
a. Apakah Pelaku tindak pidana sedang mengalami gangguan jiwa pada saat
melakukan tindak pidana atau tidak? Bila jawaban Ya maka Psikiater harus
menyebutkan nama penyakit dan diagnosis penyakit jiwa pelaku tindak pidana.
Dari nama penyakit dapat diketahui gradasi, kronisitas dari penyakit tersebut
b. Apakah tindak pidana yang dilakukan pelaku berhubungan dengan gejala penyakit
penyakit yang dialami pelaku? Pada penyakit jiwa yang berlangsung kronis,
beberapa gejala penyakit tidak hilang dan tetap dialami orang dengan gangguan
jiwa. Namun demikian ada tindak pidana yang dilakukan oleh orang dengan
gangguan jiwa tidak berhubungan dengan penyakit dan gejala penyakitnya.

c. Apakah pelaku menyadari perbuatannya?


Tahap kemampuan menyadari perbuatannya adalah tahap saat pelaku seharusnya
dapat mempersepsi dan kemudian menginterpretasi dan mengambil kesimpulan
dari stimulus yang diperoleh. Kesadaran disini ditentukan dengan memeriksa
tingkat kesadaran seperti pada pemeriksaan psikiatrik pada umumnya. Dapat
ditentukan apakah pelaku tersebut pada saat melakukan perbuatan pidana dalam
keadaan sadar penuh, berkabut, berubah, ngantuk dan lain sebagainya.

d. Apakah pelaku memahami resiko perbuatannya?


Kesimpulan ini diperoleh untuk melihat bagaimana pelaku tindak pidana setelah
mendapat kesimpulan terhadap stimulus yang diterima maka pelaku akan
mengembangkan berbagai respon untuk menjawab berbagai stimulus yang
diperoleh. Dalam pengembangan dan pemilihan respon, pelaku akan menentukan
respon-respon apa yang akan dilakukannyadan sesudah itu pelaku akan menelaah
nilai (value) dari masing-masing respon tersebut bagi masyarakat. Dari menelaah
nilai, pelaku juga akan menelaah kemungkinan resiko serta nilai resiko bagi
dirinya dan masyarakat. Melalui penelaahan dan pemahanan dari nilai
perbuatannya serta nilai resiko perbuatannya maka pelaku memilih respon yang
akan dilakukan dalam tindakan untuk menjawab stimulus. Kemampuan
pemahaman ini dapat ditentukan melaui pemeriksaan discriminative insight yaitu
pemahan mengenai apa yang akan dilakukan, mengapa hal itu harus dilakukan, dan
bagaimana proses pengembangan hal tersebut dilakukan.

e. Apakah pelaku dapat memaksakan/ mengendalikan perilakunya?


Pemeriksa dapat menentukan apakah pelaku pada waktu melakukan perbuatannya
bebas mempertimbangkan respon yang dipilih sebagai sebuah tindakan, ataukan
yang bersangkutan dipengaruhi oleh gejala penyakitnya atau nilai-nilai budaya
yang diyakininya. Hal-hal yang harus jadi perhatian dalam pemeriksaan Kesehatan
Jiwa untuk Penegakan Hukum Perdata yang sering dijumpai dalam praktik klinik
sehari-hari:

1. Kasus Pengampuan atau curatelle:


a. wawancara klinis psikiatrik
penilaian psikopatologi terkait daya ingat, pemahaman dan kemampuan
membuat keputusan
kemampuan fungsional individu yaitu kemampuan untuk melakukan
pengelolaan terhadap diri atau situasi saat itu
Informasi dari pihak ketiga sangat diperlukan

b. Observasi psikiatrik
Mengevaluasi kognitif dan perilaku
Penilaian fungsionalitas terkait kompetensi yang dinilai

c. Pemeriksaan psikometrik untuk menilai fungsi kognitif dan perilaku terkait


penilaian fungsionalitas kompetensi yang diminta

d. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi

e. Analisis medikolegal :4
1) Identifikasi prasarat spesifik untuk kompetensi yang akan dievaluasi
2) Korelasikan data hasil observasi, diagnosis dan data hasil tes dengan
fungsi tugas spesifik kemampuan yang dievaluasi.
3) Pertimbangkan struktur evaluasi klinis untuk menilai tingkat fungsi dan
batasannya pada tiap domain yang berbeda.
4) Kemampuan dan kapasitas berbeda pada berbagai area kompetensi
yang dievaluasi.
5) Struktur evaluasi klinis yang mengunakan instrumen evaluasi dan
observasi klinis akan memandu klinisi dalam merinci tingkat fungsi
dan limitasinya pada domain yang berbeda.
6) Jangan berasumsi bahwa status atau disabilitas pada domain tertentu
akan menyebabkan kurangnya kapasitas pada domain yang lain.
7) Keputusan tidak didasarkan satu tindakan atau gejala semata
8) Saran untuk penetapan kapasitas mental harus mencantumkan jenis
pengampuan:
9) Dari segi fungsionalitas: Partial atau Total: bidang tertentu atau
menyeluruh
10) Dari segi waktu pengampuan: Temporal atau Permanen.

2. Kapasitas untuk mengasuh anak (pada kasus perebutan hak asuh atau adopsi):
a. Wawancara dan observasi klinis psikiatrik
Evaluasi pada orang tua dan anak:
1) Pemahaman orangtua tentang kebutuhan anak dan kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan Faktor yang membatasi
kemampuan orangtua untuk memahami atau memenuhi kebutuhan
anak meliputi:
Motivasi adopsi
Latar belakang keluarga
Riwayat kekerasan
Pengetahuan tentang anak, pola asuh, proses adopsi, dan lain-
lain yang terkait
Kemampuan antisipasi
Pengetahuan akan nilai positif dan negatif diri sendiri dan
pasangan
Kerjasama antara suami dan istri (sinergi dan problem solving)

2) Sifat hubungan anak dan masing-masing orang tua


3) Hubungan antara kedua orangtua apakah mempengaruhi interaksi
mereka dengan anak

4) Pengaturan hak asuh yang ditawarkan oleh masing-masing


orangtua dan efek yang ditimbulkannya pada fungsi anak

5) Interaksi antara orangtua dan anak

b. Pemeriksaan psikometrik: menilai profil kepribadian dan adanya


psikopatologi orangtua
c. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi
d. Analisis medikolegal:
Identifikasi prasarat spesifik untuk kompetensi untuk merawat anak
Korelasikan data hasil observasi, diagnosis dan data hasil tes dengan
fungsi tugas spesifik kemampuan untuk mengasuh anak.
Pertimbangkan struktur evaluasi klinis untuk menilai tingkat fungsi
dan batasannya pada kemampuan untuk menjadi orangtua.
Saran untuk penetapan apakah pasangan orangtua tersebut kompeten
untuk mengasuh anak.

3. Kapasitas untuk membuat perikatan/kontrak :

a. Wawancara klinis psikiatrik5


1) Psikopatologi ada/tidak
2) Adakah psikopatologi misalnya ada grandiose optimism/atau
compulsion of mental diseases, yang mendasari pengambilan
keputusan tersebut
3) Penilaian kemampuan mental untuk memahami perikatan/atau
perjanjian/atau kontrak/atau pernikahan yang dibuat (lingkup, efek
dan konsekuensinya)
4) Wawancara pihak ke 3, yaitu keluarga dan pihak terkait dengan
kontrak yang dibuat

b. Observasi psikiatrik
Perilaku dan fungsi kognitif (penekanan pada judgement dan fungsi
eksekutif) terkait kemungkinan adanya malingering.
c. Pemeriksaan psikometrik
Menilai psikopatologi, fungsi kognitif (kejernihan berpikir, tes fungsi
eksekutif: konsep pikir, daya ingat (memory), daya nilai (judgement), daya
konsentrasi dan atensi, daya berpikir abstrak) serta profil kepribadian

d. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi

e. Analisis medikolegal

1) Identifikasi prasarat spesifik terkait kompetensi untuk membuat


kontrak sesuai dengan jenis kontrak yang dibuat

2) Korelasikan data hasil observasi, diagnosis dan data hasil tes


dengan fungsi tugas spesifik kemampuan untuk membuat
kontrak.

3) Pertimbangkan struktur evaluasi klinis utk menilai tingkat


fungsi dan batasannya pada kemampuan untuk membuat
kontrak/atau perikatan.
4) Saran untuk penetapan apakah orang tersebut kompeten untuk
membuat kontrak.

Pencatatan dan pelaporan


Semua hal yang berkaitan dengan terperiksa tertulis semuanya mulai dari identitas,
riwayat penyakit, riwayat pemeriksaannya dan diagnosis, dan semua data tersebut berada
di dalam rekam medis terperiksa yang merupakan rahasia kedokteran. Rekam medis wajib
disimpan oleh sarana kesehatan sampai 5 (lima) tahun setelah pemeriksaan terakhir,
kemudian dapat dimusnahkan kecuali ringkasan dan persetujuan tindakan medisnya yang
harus disimpan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung dari pembuatan ringkasan
tersebut. (Permenkes No. 269/MENKES/ PER/III/2008 tentang Rekam Medis)6. Khusus
untuk VeRP disimpan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung dari
diterbitkannya. Sistem pelaporan VeRP merupakan kesatuan dengan sistem pencatatan
dan pelaporan rumah sakit pada umumnya. Sistem ini dimaksudkan agar didapat informasi
yang muktahir yang selanjutnya dipergunakan dalam perencanaan kebijakan, program
maupun kegiatan pembinaan.
Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dan pengawasan pembuatan VeRP dilakukan dengan maksud agar sesuai
pedoman yang berlaku. Pembinaan dan pengawasan pembuatan VeRP dan Surat
Keterangan Kesehatan Jiwa dilakukan secara berjenjang mulai dari internal institusi, Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi dan Departemen Kesehatan sesuai
dengan kewenangan dan bidang tugas masing-masing. Pembinaan dan pengawasan
pembuatan VeRP dan Surat Keterangan Kesehatan Jiwa dilakukan dengan
mengikutsertakan organisasi profesi. Hasil pembinaan dan pengawasan akan dijadikan
masukan bagi penyempurnaan Pedoman VeRP dan Surat Keterangan Kesehatan Jiwa.

Contoh VeRP :
Korban Tindak kekerasan harus dibuatkan visum et repertum fisik
Visum et Repertum (VeR) adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas
permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang
manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan
interprestasi, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Menurut Budiyanto et al,
dasar hukum VeR adalah sebagai berikut:
Pasal 133 KUHAP menyebutkan:
1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.
2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atu pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Prosedur pengadaan VeR berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban mati,
prosedur permintaan VeR korban hidup tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP. Tidak
ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh
dilakukan oleh dokter. Hal tersebut berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang
dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung jawab
profesi kedokteran.
Dalam praktir sehari-hari, korban perlukaan akan langsung ke dokter baru kemudian
dilaporkan ke penyidik. Hal tersebut membawa kemungkinan bahwa surat permintaan
VeR korban luka akan datang terlambat dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya.
Sepanjang keterlambatan tersebut masih cukup beralasan dan dapat diterima maka
keterlambatan itu tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan VeR.
Adanya keharusan membuat VeR perlukaan tidak berarti bahwa korban tersebut,
dalam hal ini adalah pasien, untuk tidak dapat menolak sesuati pemeriksaan. Korban hidup
adalah pasien juga sehingga mempunyai hak sebagai pasien. Apabila pemeriksaan tersebut
sebenarnya perlu menurut dokter pemeriksa sedangkan pasien menolaknya, maka
hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis seingkat penolakan tersebut dari pasien
disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam
catatan medis.
Hal penting yang harus diingat adalah bahwa surat permintaan VeR harus mengacu
kepada perlukaan akibat tindak pidana tertentu yang terjadi pada waktu dan tempat
tertentu. Surat permintaan VeR pada korban hidup bukanlah surat yang meminta
pemeriksaan, melainkan surat yang meminta keterangan ahli tentang hasil pemeriksaan
medis. Unsur penting dalam VeR yang diusulkan oleh banyak ahli sebagai berikut:7
1. Pro Justitia
Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR tidak perlu
bermaterai.
2. Pendahuluan
Pendahuluan memuat: identitas permohonan VeR, tanggal dan pukul diterimanya
permohonan VeR, identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas subjek
yang diperiksa: nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan
dilakukan pemeriksaan, dan tempat dilakukan pemeriksaan.
3. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati, terutama
dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan
dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal.
Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis
adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara
luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera,
karekteristik serta ukurannya.
Pada pemeriksaan korban hidup, bagian pemerikasaan terdiri dari:
a. pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang dikeluhkan
dan apa yang diriwayatkan yang menyangkut tentang penyakit yang
diderita korban sebagai hasil dari kekerasan/tindak pidana/diduga
kekerasan.
b. hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan
pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan
serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tidak pidananya (status lokalis).
c. tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan
sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya
dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya
tindakan dan perawatan tersebut. Hal tersebut perlu diuraikan untuk
menghindari kesalahpahaman tentang tepat/tidaknya penanganan dokter
dan tepat/tidaknya kesimpulan yang diambil.
d. keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan
merupakan hal penting untuk pembuatan kesimpulan sehingga diuraikan
dengan jelas.
Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka
pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka dan tindakan pengobatan atau
perawatan yang diberikan.

4. Kesimpulan
Kesimpulan VeR adalh pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh
pengaruh suatu pihak tertentu. Tetapi didalam kebebasannya tersebut juga terdapat
pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, standar proesi
dan ketentuan hukum yang berlaku. Kesimpulan VeR harus dapat menjembatanani
antara temuan ilmiah dengan manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum.
Kesimpulan bukanlah hanya resume hasil pemeriksaan, melainkan lebih ke arah
interpretas hasil temuan dalam kerangka ketentuan-ketentuan huku yang berlaku.

Prilaku tindakan kekerasan yang gangguan jiwa dapat dibebaskan dari hukuman
penjara
Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menetapkan bahwa
Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dipidana.
Berkaitan dengan pasal dimaksud perlu disadari bahwa bukanlah tugas Dokter spesialis
kedokteran jiwa yang membuat VeRP untuk menentukan pertanggungjawaban terperiksa
karena pengertian itu bukanlah pengertian dalam disiplin ilmu kedokteran. Penentuan
pertanggungjawaban tersebut adalah hak dari hakim pengadilan. Dokter spesialis
kedokteran jiwa dapat membantu hakim dengan mengemukakan unsur-unsur yang dapat
menentukan pertanggunganjawaban terperiksa.
Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kehakiman dinyatakan, tidak
seorangpun dapat dijatuhkan pidana kecuali apabila pengadilan, karena alat bukti yang sah
menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Hakim
didalam memutuskan suatu perkara pidana harus memiliki sekurang-kurangnya 2 alat
bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Sedangkan Pasal 184 KUHAP dinyatakan bahwa alat bukti yang sah
adalah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa

UU yang berkaitan dengan KDRT


Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) secara khusus diatur dalam UU
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU
KDRT).Pada Pasal 1 Angka 1 UU KDRT menjelaskan definisi kekerasan dalam rumah
tangga adalah :setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.Rumusan Pasal di atas, dengan menggunakan frasa terutama perempuan, secara
spesifik memberikan perhatian khusus terhadap aspek perlindungan kaum perempuan. Hal
ini perlu dipertegas karena perempuan dianggap memiliki posisi yang rentan mengalami
KDRT. Secara lahiriah, perempuan memiliki kekuatan fisik yang lebih lemah ketimbang
laki-laki.Selanjutnya yang perlu dipahami, ruang lingkup KDRT meliputi 4 (empat) aspek,
yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah
tangga.Yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, atau
pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu. Sedangkan, yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga adalah dalam hal
suami tidak menafkahi istri dan anak-anaknya.

Kesimpulan :
Dengan ditetapkannya Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan
Penegakan Hukum diharapkan terdapat keseragaman pembuatan VeRP oleh Dokter yang
berkompeten dan berwenang di fasilitas pelayanan kesehatan, disamping itu dapat juga
membantu penegak hukum dan hakim dalam memahami dan memanfaatkan VeRP.

Daftar Pustaka :

1. Soeparmono, R. Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara
Pidana, Bandung: mandar maju, 2012.
2. Tomb DA. Buku Saku Psikiatri: Klasifikasi Psikiatrik. Gangguan Psikososial. 6thed.
Jakarta: EGC; 2010. P. 3, 218
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republic Indonesia No. Tahun 2015 Tentang Pedoman
Pemeriksaan Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan Penegakan Hukum.
4. Tryn Dedi Efendi, Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan Penentuan
Derajat Luka, Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Majalah Kedokteran Indonesia,
Volum: 60, Nomor: 4, April 2010.
5. Mangindaaan L. Buku Ajar Psikiatri: Diagnosis Psikiatrik. Jakarta: Penerbit FKUI; 2010.
P. 71-83.
6. Permenkes No. 269/MENKES/ PER/III/2008 tentang Rekam Medis
7. Afandi. 2010. Visum et Repertum pada Korban Hidup. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal: FK UNRI

Anda mungkin juga menyukai