Anda di halaman 1dari 7

Teater daerah termasuk juga teater rakyat dengan sifat improvisasi, sederhana, spontan, dan

menyatu dengan kehidupan rakyat


Beberapa contoh teater daerah di Indonesia
1. ketoprak
2. ludruk
3. tarling
4. lenong
5. barong
6. makyong dan mendu
7. randai
8. mamanda
9. cekepung
10. demuluk
11. sinlirik
Seni Teater
(terdapat hampir di seluruh daerah wilayah Indonesia) merupakan jenis seni
pertunjukan yang bersifat kolektif, kompleks, rumit, dan sangat akrab dengan
publiknya, yaitu masyarakat seni teater sebagai seni pertunjukan. Termasuk di
dalamnya: pencipta seni, para pekerja seni, karya seninya itu sendiri, manager,
kelompok (group) seni, pengayom atau maesenas seni (lembaga pemerintah atau
non-pemerintah), alam semesta dan lingkungan seni (poleksosbud hankam, iptek,
seni, dan pariwisata) yang bisa dijadikan bahan atau sumber inspirasi bagi para
seniman untuk melakukan proses kreatif seni, lembaga sekolah atau kampus (baik
formal maupun non-formal), sanggar, kelompok, paguyuban, penikmat, pemerhati,
kritikus seni atau peneliti seni, pelatih atau pengajar seni, baik guru, dosen,
maupun empu seni, dan jangan lupa para penonton karya seni (baik para pecandu
seni maupun yang awam seni sekali pun). Baik menggunakan sarana visual,
auditif, audiovisual, dan sebagainya. Baik melalui media panggung pementasan atau
pergelaran, media cetak, elektronik, audiovisual atau teve, maupun komputer.
Khusus penonton, menurut hemat saya bukan sekadar berkedudukan sebagai faktor
penunjang, melainkan merupakan komponen atau unsur bagi setiap seni
pertunjukan. Tanpa penonton, penyebutan istilah seni pertunjukan menjadi
aneh, sebab lalu dipertunjukkan atau dipertontonkan kepada siapa? Itulah
sebabnya, pengkajian atau penelitian terhadap motivasi, psikologi, sikap atau
perilaku para penonton menjadi penting artinya. Juga buat para pejabat atau
penguasa yang sering kurang ramah, bahkan mengecilkan arti terhadap tontonan
dan penonton, sehingga mengambil jalan pintas sebaiknya melarang saja suatu
seni pertunjukan yang dikhawatirkan bisa menimbulkan anarkis.
Seni Teater sebagai Seni Pertunjukan merupakan lembaga sosial,
dokumentasi sosial, cermin sosial, moral sosial, eksperimen sosial, sistem,
sosial, sistem semiotik, baik semiotik sosial maupun semiotik budaya yang amat
kaya akan nuansa makna yang terkandung dalam tanda-tanda yang terbangun oleh
Seni Pertunjukan, baik tanda-tanda ikonik, indeksikal, maupun tanda-tanda
simbolis.

Dalam proses dramaturgi, sebagai sebuah proses teater, seni


teater sebagai seni pertunjukan merupakan tempat pertemuan, kolaborasi hampir
seluruh cabang seni dan seniman di dalamnya (bahkan termasuk non-seni dan
non-seniman sekali pun), untuk mewujudkan sebuah karya seni yang bulat utuh,
ansambel, dan harmonis. Dalam kondisi demikian, seni teater sebagai seni
kolektif, bisa memupuk sikap kerja sama, gotong royong, solidaritas, toleransi
atau tenggang rasa, dan demokrasi. Maka, proses penciptaan dan proses
pengkajian seni teater sebagai seni pertunjukan untuk bisa menghayati dan
memahami kandungan maknanya bersifat hirarkis, berkesinambungan, berkelanjutan
secara timbal-balik (formula dramaturgi). Untuk itu diperlukan kecermatan,
kehati-hatian, dan nyali yang tinggi, bersifat multi dan atau interdisipliner,
lintas dan silang budaya budaya lokal nasional regional global, dan
begitu sebaliknya.
Dalam kaitannya dengan konteks budaya, karya seni, termasuk
seni teater, sejak awal kehadirannya tidak dalam keadaan kosong. Artinya,
kondisi sosial budaya sangat berpengaruh terhadap karakteristik seni. Sosial
budaya Indonesia yang multi etnik, multi kultur, multi dimensi, menjadikan seni
teater di Indonesia tidak steril dari pengaruh kondisi lokal global.
Seperti halnya terhadap bidang-bidang ilmu dan cabang-cabang
seni lainnya, seni sastra jenis seni drama dan atau teater sering dipertanyakan
sebagai ilmu atau sebagai seni? Jawabnya tentu kedua-duanya, yaitu sebagai ilmu
dan sebagai seni. Sebagai ilmu, seni teater dapat dikaji dan diteliti seperti
ilmu-ilmu lainnya dengan menggunakan metode dan konvensi, kaidah, atau teori
tertentu yang relevan dengan objek kajiannya. Sebagai seni, seni teater bisa
dihayati dan dipahami seperti seni-seni yang lain yang bersifat verstehen,
artinya lebih menekankan pada pemahaman daripada pengertian. Ada tiga konvensi
yang harus digunakan untuk memahami setiap karya seni, termasuk seni teater,
yaitu konvensi bahasa (gramatika seni), konvensi seninya itu sendiri, dan
konvensi budaya yang melingkupinya dimana karya seni itu berada.
Karena budaya Indonesia adalah multi etnik, multi kultur, dan
pluralis, maka seni teater di Indonesia juga bersifat demikian. Betapa pun
setiap daerah di Indonesia ada jenis seni teaternya sendiri (teater daerah atau
teater tradisional), misalnya lenong di Betawi Jakarta, kethoprak di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, wayang di Jawa dan Bali, lodrug di Jawa Timur, randai di
Padang, makyong di Riau; bahkan seni pewayangan atau seni pedalangan di
beberapa daerah di Indonesia dan di luar Indonesia misalnya Kelantan, India,
Thailand, atau Cina, memiliki karakteristiknya masing-masing sesuai dengan
budaya tempat seni pewayangan atau seni pedalangan itu berada, tumbuh dan
berkembang. Hegemoni konvensi Barat terhadap seni tidak bisa dipungkiri, hal
yang juga berlaku atau terjadi buat bidang-bidang ilmu pengetahuan yang lain di
Indonesia. Namun, dalam proses penjadian, tumbuh, dan perkembangannya, seni
(dalam hal ini seni teater), warna lokal telah bercampur atau lebur dengan
warna lokal yang lain dan warna global, dengan berbagai teknik garap dan gaya

masing-masing telah mewarnai karya-karya seni di Indonesia, tidak terkecuali


seni teater. Bahkan, menurut hemat saya, karena sifatnya yang kolektif,
kolaboratif, kompleks, tetapi ansambel dan harmonis, menjadikan seni teater di
Indonesia sangat potensial punya warna lokal global. Dengan kata lain, seni
teater sangat potensial untuk dijadikan wahana pemersatu budaya bangsa dan
budaya antar-bangsa. Yang pada gilirannya sangat berpotensi sebagai wahana
pemersatu bangsa dan antar-bangsa. Melalui pergelaran bersama kesenian yang
kolaboratif seperti seni teater, diharapkan kita, bangsa Indonesia, bisa
terhindar dari konflik antar-etnik, antar-kultural, antar-suku, antar-daerah,
dan ujung-ujungnya diharapkan bisa terhindar dari potensi timbulnya
disintegrasi antar-daerah di seluruh wilayah Indonesia. Terhindar dari disintegrasi
bangsa Indonesia.
Dalam pandangan
Sosiologi Seni dan Psikologi Seni, karya seni (dalam hal ini seni teater),
diyakini banyak bergantung atau berkolerasi dengan faktor-faktor psiko-sosial
dan kultural yang melingkupinya. Faktor-faktor psiko-sosio-kultural yang
melingkupi tersebut meliputi psiko-sosio-kultural pencipta seni
(psiko-sosio-kultural seni), psiko-sosio-kultural karya seninya itu sendiri
(psiko-sosio-kultural seniman), dan psiko-sosio-kultural audience atau
publiknya (psiko-sosio-kultural audience atau publik), termasuk para pejabat
pemerintahan, para politisi, para penyelenggara kesenian (baik lembaga,
kelompok, sanggar, atau perorangan).
Begitu kompleks dan kolaboratifnya seni teater, sejak masih
dalam ide, gagasan atau angan-angan, proses penciptaan, garapan, dan proses
penjadian dan penyajiannya, seni bukan hanya merupakan fokus sosiologi seni dan
psikologi seni, tetapi juga fokus budaya dalam pengertian tidak sempit.
Melihat realita demikian, dengan mengambil contoh proses teater
sebagai seni pertunjukan yang bersifat kolektif, kolaboratif, dan komunikatif
dengan publiknya, kita bisa menyusun paradigma baru sebagai alternatif dalam
menyusun konsep dan strategi kebudayaan (di) Indonesia yang multi etnik, multi
kultur, dan pluralis ini sehingga terhindar dari potensi disintegrasi bangsa.
TEATER tradisional (Sunda), baik gending karesmen maupun longser, lahir dari gagasan-gagasan dan
kegelisahan sekumpulan orang yang meniatkan dirinya untuk melebur menjadi sebuah kelompok teater. Hal ini
pula yang menggerakkan anak-anak muda dari Program Keahlian Seni Teater SMKN 10 yang didukung
sebagian anggota STB (Studiklab Teater Bandung) membangun komunitas teater tradisional Gentala (Gerakan
Cinta Layang Budaya).
"Gentala lahir bukan karena kegelisahan satu orang saja, tetapi juga karena kondisi kekinian seni teater
tradisional. Kami merasa memiliki tanggung jawab untuk menghidupkan kembali serpihan seni teater tradisional
yang mulai ditinggalkan komunitas penikmatnya," ujar Erik Dayusman, seusai pegelaran opera Sunda
kontemporer "Gonjang-ganjing Nagri Kuring", di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Bandung, beberapa
waktu lalu.

Selain karena rasa tanggung jawab dan latar belakang sebagian besar anggotanya yang merupakan siswa SMKN
10 Bandung program keahlian seni teater, Gentala juga terbentuk karena memiliki keyakinan bahwa seni teater
tradisional masih memiliki potensi untuk kembali bangkit. Modal utama latar belakang tersebut membuat
mereka semakin optimistis akan niat semula untuk menghidupkan kembali seni teater tradisional melalui karyakarya yang patut menjadi tontonan.
Untuk mewujudkan niat tersebut, tentu saja Gentala didukung orang-orang dengan kemampuan dan kualitas
yang memadai di bidangnya masing-masing. Tidak hanya dalam hal memilih karya yang akan ditampilkan,
tetapi juga sutradara, penulis naskah, bagian artistik, bahkan sampai di bidang manajerial.
"Semuanya dengan semangat dan visi yang sama. Tidak ada hierarki atas-bawah di dalamnya. Setiap individu
mempunyai posisi yang sama penting. Setiap orang berhak melemparkan gagasan untuk direspons dan
didiskusikan bersama," ujar Rizanthella G.A., seorang anggota Gentala.
Rizanthella dan Erik sependapat, setiap individu yang memilih naskah kemudian mendiskusikannya dengan
sutradara yang akan menentukan pemain (tokoh) maupun penata musik serta artistik, dituntut keseriusan
mengerjakan tugasnya dari hasil diskusi itu. Demikian pula bagian manajerial, di sela-sela keterlibatannya di
panggung, juga sibuk membuat surat-surat maupun proposal pertunjukan.
Keseriusan juga dituntut dari para pemain untuk mempersiapkan tubuhnya dalam latihan-latihan rutin.
"Pokoknya kami di sini dituntut untuk menjaga niat semula, menghidupkan kembali seni teater tradisional dan
hal ini kami anggap membutuhkan keseriusan," ujar Rizanthella.
Menurut Dra. Wiwi Siti Zawiah, Kepala SMKN 10, langkah yang diambil oleh anak-anak didiknya bersama
sejumlah pencinta seni teater tradisional merupakan langkah yang sangat berani. "Di saat orang lain memilih
seni modern sebagai lahan kreativitas, mereka justru memilih seni teater tradisional yang jarang dilirik," ujar
Wiwi.
Dikatakan berani karena selain bahasa yang dipergunakan adalah bahasa daerah, pengarakteran juga harus
menunjukkan keseharian orang-orang Sunda yang kini sudah mengalami perubahan. Selain itu, kondisi-kondisi
kekinian juga sudah sangat berubah dengan masa lalu.
Bambang Aryana Sambas, pelaku seni teater dari Studiklab Teater Bandung (STB), mengatakan, keberanian
membentuk komunitas seni teater tradisional (Gentala) merupakan hal yang tepat. "Karena di (teater) tradisional
akan banyak warna-warna yang dapat dikembangkan dan masih sesuai dengan kondisi kekinian," ujar Bambang.
Dalam teater tradisional, menurut Bambang, akan lebih banyak memunculkan warna dan corak pada tiap
produksi kreatifnya. Setiap sutradara maupun lakon di dalamnya dengan seluruh kapasitasnya, masing-masing
mempunyai gaya dan cara pengucapannya yang khas, terutama sjumlah ungkapan dalam bahasa Sunda yang
sangat khas dan sangat aneh, tetapi enak didengar.
Dalam membangun komunitas teater tradisional, kata Bambang, tidak penting lagi dipertanyakan, teater
sutradara atau teater aktor yang muncul, atau malah teater naskah. Karena naskah yang tertulis lebih kuat
dibandingkan aktor atau sutradaranya, ini sudah terbukti dalam pergelaran "Sangkuriang" dan "Gonjang-ganjing
Negeri Kuring" karya Nano S., yang pergelarannya hingga tiga hari berturut-turut.
Seperti halnya kelompok teater, di komunitas Gentala, keberagaman bentuk lebih punya kemungkinan
menemukan semangat dan hidupnya. Oleh karena itu, dengan sendirinya akan lebih memperkaya teater
tradisional yang tengah dibangun dan menjadi pilihan bersama tanpa melupakan masa lalunya, tetapi juga
berupaya menciptakan sejarah dan tradisi sendiri.

Menurut Yoyo C. Durachman, salah seorang pendiri STB, teater tradisi bersama komunitasnya, berupaya hidup
dan dihidupi orang-orang yang lebih homogen dan memiliki semangat lokalitas yang tinggi. "Mereka
mempunyai hubungan yang intens, baik dalam proses kreatif maupun dalam hubungan sosial. Ada semangat
kekerabatan yang berusaha selalu mereka tumbuhkan. Kesenian adalah sesuatu yang coba mereka pertahankan
sebagai simbol komunal wilayah hidup," ujar Yoyo.
Inilah, menurut Yoyo, yang membedakan antara teater tradisional dengan modern. Teater modern lebih
merupakan hasil pembelajaran dari tradisi Barat, yang kemudian disikapi sebagai ilmu.
Keputusan komunitas Gentala dengan teater tradisional (Sunda) sebagai pilih pijakan berteater, menurut Yoyo,
disebabkan teater yang hidup merupakan semangat memperbarui yang terus-menerus dengan segala pencarian
bentuk kreatifnya sebagai bahasa visual. Sementara tradisi (gending karesmen dan longser) merupakan rujukan
dan bagian dari penawaran karakter di panggung. Hal ini menjadikan teater tradisional oleh Gentala menjadi
sesuatu yang kompleks. Komunitas sebagai satu kesatuan dan kebersamaan berteater yang tidak dapat
terpisahkan.
Hal senada dikatakan Rosyid E. Abby, sutradara teater tradisional (Sunda) "Senapati", yang mendukung langkah
"Gentala" menjadikan teater tradisional sebagai seni panggung pijakan. "Teater tradisional kita masih memakai
paradigma paternalistik. Hal ini berarti secara tidak langsung teater tradisional melestarikan bahasa maupun
budaya tradisional (Sunda)," ujar Rosyid.
Gentala ibarat sebuah keluarga, seorang anak yang sudah merasa dewasa dan ingin mandiri, tentu ada keinginan
untuk memisahkan diri dari keluarga besarnya dan membentuk keluarganya sendiri dan mandiri. Karena
kemandirian inilah, Gentala memiliki ciri khas untuk ditawarkan kepada penikmat teater tradisional yang boleh
dibilang sudah merindu lahirnya kelompok atau komunitas teater tradisional seperti saat-saat masa berjaya
beberapa puluh tahun lalu.
"Sangatlah tepat kalau Gentala memilih seni teater tradisi sebagai pijakan. Bukan hanya untuk melestarikan,
tetapi juga teater tradisional masih menjadi lahan yang menjanjikan," ujar Rosyid. (Retno HY/"PR")

27 Tahun Teater Payung Hitam


JAGAT teater sedikitnya ikut membangun kebudayaan baru yang disebut Indonesia. Teater Indonesia, seni
pertunjukan yang mampu menciptakan idiom teater baru, menggunakan bahasa Indonesia di depan penonton
yang juga warga negara Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa teater Indonesia lahir dari suatu proses yang
datang dari Barat walau seni pertunjukan ini bisa berdialog tentang berbagai fenomena dan persolan yang ada di
Indonesia, seperti yang dirintis sejak Jim Lim, Teguh Karya, W.S. Rendra, Arifin C. Noor, Ikranegara, Suyatna
Anirun, Putu Wijaya, Remy Silado, Riantiarno, Yessi Anwar, Benny Yohanes, hingga Rachman Sabur.
Keberadaan teater modern Indonesia sejak zaman penjajahan hingga kini, seperti tidak bisa terlepas dari wacana
teater Barat. Walau sebenarnya banyak teater tradisional yang memiliki akar kebudayaan sendiri, namun tidak
selalu dijadikan rujukan atau gaya dalam setiap pementasan teater modern. Ada beberapa kelompok teater yang
berusaha melakukan adaptasi naskah, mencoba berangkat dari akar tradisi namun bentuk dan gaya tetap saja
merujuk pada pola-pola teater Barat.
Seperti dikatakan dosen teater STSI Padangpanjang, Sahrul N., ketika memantau masalah multikulturalisme
teater Indonesia di STSI Padangpanjang 2003, teater di Indonesia merupakan refleksi kebhinnekaan yang sangat
besar. "Dalam rangkaian kesatuan pertumbuhan teater, unsur-unsur lama dan baru tumpang tindih, bercampur
baur, atau kadang-kadang hadir berdampingan. Angka-angka tahun hanyalah merupakan pembagi perkiraan
yang menandai adanya perkenalan ide-ide atau teknik baru tanpa perlu dijelaskan tentang lenyapnya
kepercayaan-kepercayaan serta kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Untuk itu, perlu adanya pembaruan sudut

pandang dalam mengamati teater sebagai seni pertunjukan di Indonesia. Tradisi dan modernitas hanyalah alat
untuk mengukur jangkauan kreativitas seniman dalam melahirkan karya teater."
Juga dikatakan pengamat teater dari Sumatera Utara, D. Rifai Harahap, seni teater ikut membangun kebudayaan
baru yang disebut Indonesia. Teater Indonesia, seni pertunjukan yang mampu menciptakan idiom teater baru dan
menggunakan bahasa Indonesia di depan penonton yang juga Indonesia. Indonesia bukan Batak, bukan Jawa,
bukan Bugis, Ambon, Manado, Banjar, Minang, dan Aceh. Teater Indonesia, seni pertunjukan yang bisa
berdialog tentang berbagai persoalan yang ada di Indonesia.
Melihat kecenderungan yang selama ini terjadi dalam teater modern Indonesia, masih selalu persoalannya
berkutat pada identitas, berkaitan dengan akar tradisi, yang masih mengandalkan naskah-naskah dari Barat,
sepertinya tidak mungkin mencari tandingan naskah seperti karya William Shakespeare, Spokles, Antoni
Arthud, Molier, J.P. Sartre, Albert Camus, dan banyak lagi. Teater hidup seperti teralienasi dari masyarakat,
sehingga dampak kehidupan para awak teater semakin memprihatinkan.
Perkembangan kehidupan teater modern di Indonesia dapat dikatakan berjaya pada kisaran 1970-1990-an, dan
setelah itu mengalami kemerosotan yang sangat signifikan dalam kuantitas pertunjukannya, bahkan banyak
teater yang punya nama besar tidak lagi melakukan aktivitas pementasan. Walaupun demikian, masih ada
beberapa kelompok teater yang tetap konsisten untuk selalu tampil walau dalam keadaan yang memprihatinkan
dalam segi finansial.
Dalam kondisi yang memprihatinkan ini, berkaitan dengan ulang tahun Teater Payung Hitam (TPH) yang ke-27
yang akan diselenggarakan 1-5 Agustus 2009 di Kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Jln.Buahbatu
Bandung, TPH mencoba mengguar kembali berbagai fenomena dan persoalan terhadap teater Indonesia dalam
tema "Memerdekakan Teater Indonesia". Setidaknya event ini akan dapat menumbuhkan ide-ide baru akan
pertumbuhan kreativitas sekaligus membangun semangat teater di Indonesia.
**
BERKAITAN dengan 27 Tahun TPH , Yayasan Teater Payung Hitam yang merupakan organisasi nonprofit yang
berkecimpung di dunia seni teater, mencoba merangkai acara dalam suatu event, tidak saja pertunjukan teater,
juga peluncuran buku, diskusi, pameran, pemutaran film, hingga bazar. Hal ini dilaksanakan dalam bentuk
keramaian agar suasana pemasyarakatan teater lebih terbangun kembali.
Sejak berdiri 1982, TPH telah memproduksi delapan puluh pertunjukan. Tema yang diangkatnya dapat dibagi ke
dalam tiga fase. Fase pertama, mengangkat tema yang sangat universal dengan bentuk pertunjukan verbal. Fase
kedua bertema sosial politik dengan bentuk pertunjukan nonverbal. Dan fase ketiga mengangkat tema sosial
lingkungan dengan bentuk pertunjukan nonverbal. Pertunjukan-pertunjukannya telah dipentaskan di dalam dan
di luar negeri.
Kegiatan peristiwa budaya yang dilakukanTPH sejak 2004 hingga sekarang lebih menyoroti fenomena
lingkungan. Pemuliaan lingkungan yang diselenggarakan selama ini mengembangkan program kepedulian
lingkungan melalui berbagai kegiatan, workshop lingkungan, seminar lingkungan, dan seni pertunjukan sebagai
upaya menumbuhkembangkan kesadaran budaya konservatori terhadap lingkungan.
Peringatan 27 Tahun TPH akan mempertunjukkan teater karya sutradara Putu Wijaya "Merdeka (Ini Merdeka
yang Lain)", karya Rachman Sabur "Puisi Tubuh yang Runtuh", karya Benny Johanes "Interupsi", karya Tony
Broer "Tubuh Ruang Meja Merah Tumbuh Bunga Batu", dan karya instalasi Herry Dim "Instalasi Candu Dalam
Ingatan", serta orasi budaya oleh budayawan Endo Suanda.

Di samping pertunjukan teater dan orasi, juga diselenggarakan peluncuran buku karya Joko Kurnain berjudul
"Teater Payung Hitam - Dialektika Antara Realitas dan Identitas". Sementara dalam diskusi akan tampil Prof.
Jakob Sumardjo, Halim H.D., Putu Wijaya, Herry Dim, dan Benny Johanes. (Diro Aritonang/"PR")***

Anda mungkin juga menyukai