Selain karena rasa tanggung jawab dan latar belakang sebagian besar anggotanya yang merupakan siswa SMKN
10 Bandung program keahlian seni teater, Gentala juga terbentuk karena memiliki keyakinan bahwa seni teater
tradisional masih memiliki potensi untuk kembali bangkit. Modal utama latar belakang tersebut membuat
mereka semakin optimistis akan niat semula untuk menghidupkan kembali seni teater tradisional melalui karyakarya yang patut menjadi tontonan.
Untuk mewujudkan niat tersebut, tentu saja Gentala didukung orang-orang dengan kemampuan dan kualitas
yang memadai di bidangnya masing-masing. Tidak hanya dalam hal memilih karya yang akan ditampilkan,
tetapi juga sutradara, penulis naskah, bagian artistik, bahkan sampai di bidang manajerial.
"Semuanya dengan semangat dan visi yang sama. Tidak ada hierarki atas-bawah di dalamnya. Setiap individu
mempunyai posisi yang sama penting. Setiap orang berhak melemparkan gagasan untuk direspons dan
didiskusikan bersama," ujar Rizanthella G.A., seorang anggota Gentala.
Rizanthella dan Erik sependapat, setiap individu yang memilih naskah kemudian mendiskusikannya dengan
sutradara yang akan menentukan pemain (tokoh) maupun penata musik serta artistik, dituntut keseriusan
mengerjakan tugasnya dari hasil diskusi itu. Demikian pula bagian manajerial, di sela-sela keterlibatannya di
panggung, juga sibuk membuat surat-surat maupun proposal pertunjukan.
Keseriusan juga dituntut dari para pemain untuk mempersiapkan tubuhnya dalam latihan-latihan rutin.
"Pokoknya kami di sini dituntut untuk menjaga niat semula, menghidupkan kembali seni teater tradisional dan
hal ini kami anggap membutuhkan keseriusan," ujar Rizanthella.
Menurut Dra. Wiwi Siti Zawiah, Kepala SMKN 10, langkah yang diambil oleh anak-anak didiknya bersama
sejumlah pencinta seni teater tradisional merupakan langkah yang sangat berani. "Di saat orang lain memilih
seni modern sebagai lahan kreativitas, mereka justru memilih seni teater tradisional yang jarang dilirik," ujar
Wiwi.
Dikatakan berani karena selain bahasa yang dipergunakan adalah bahasa daerah, pengarakteran juga harus
menunjukkan keseharian orang-orang Sunda yang kini sudah mengalami perubahan. Selain itu, kondisi-kondisi
kekinian juga sudah sangat berubah dengan masa lalu.
Bambang Aryana Sambas, pelaku seni teater dari Studiklab Teater Bandung (STB), mengatakan, keberanian
membentuk komunitas seni teater tradisional (Gentala) merupakan hal yang tepat. "Karena di (teater) tradisional
akan banyak warna-warna yang dapat dikembangkan dan masih sesuai dengan kondisi kekinian," ujar Bambang.
Dalam teater tradisional, menurut Bambang, akan lebih banyak memunculkan warna dan corak pada tiap
produksi kreatifnya. Setiap sutradara maupun lakon di dalamnya dengan seluruh kapasitasnya, masing-masing
mempunyai gaya dan cara pengucapannya yang khas, terutama sjumlah ungkapan dalam bahasa Sunda yang
sangat khas dan sangat aneh, tetapi enak didengar.
Dalam membangun komunitas teater tradisional, kata Bambang, tidak penting lagi dipertanyakan, teater
sutradara atau teater aktor yang muncul, atau malah teater naskah. Karena naskah yang tertulis lebih kuat
dibandingkan aktor atau sutradaranya, ini sudah terbukti dalam pergelaran "Sangkuriang" dan "Gonjang-ganjing
Negeri Kuring" karya Nano S., yang pergelarannya hingga tiga hari berturut-turut.
Seperti halnya kelompok teater, di komunitas Gentala, keberagaman bentuk lebih punya kemungkinan
menemukan semangat dan hidupnya. Oleh karena itu, dengan sendirinya akan lebih memperkaya teater
tradisional yang tengah dibangun dan menjadi pilihan bersama tanpa melupakan masa lalunya, tetapi juga
berupaya menciptakan sejarah dan tradisi sendiri.
Menurut Yoyo C. Durachman, salah seorang pendiri STB, teater tradisi bersama komunitasnya, berupaya hidup
dan dihidupi orang-orang yang lebih homogen dan memiliki semangat lokalitas yang tinggi. "Mereka
mempunyai hubungan yang intens, baik dalam proses kreatif maupun dalam hubungan sosial. Ada semangat
kekerabatan yang berusaha selalu mereka tumbuhkan. Kesenian adalah sesuatu yang coba mereka pertahankan
sebagai simbol komunal wilayah hidup," ujar Yoyo.
Inilah, menurut Yoyo, yang membedakan antara teater tradisional dengan modern. Teater modern lebih
merupakan hasil pembelajaran dari tradisi Barat, yang kemudian disikapi sebagai ilmu.
Keputusan komunitas Gentala dengan teater tradisional (Sunda) sebagai pilih pijakan berteater, menurut Yoyo,
disebabkan teater yang hidup merupakan semangat memperbarui yang terus-menerus dengan segala pencarian
bentuk kreatifnya sebagai bahasa visual. Sementara tradisi (gending karesmen dan longser) merupakan rujukan
dan bagian dari penawaran karakter di panggung. Hal ini menjadikan teater tradisional oleh Gentala menjadi
sesuatu yang kompleks. Komunitas sebagai satu kesatuan dan kebersamaan berteater yang tidak dapat
terpisahkan.
Hal senada dikatakan Rosyid E. Abby, sutradara teater tradisional (Sunda) "Senapati", yang mendukung langkah
"Gentala" menjadikan teater tradisional sebagai seni panggung pijakan. "Teater tradisional kita masih memakai
paradigma paternalistik. Hal ini berarti secara tidak langsung teater tradisional melestarikan bahasa maupun
budaya tradisional (Sunda)," ujar Rosyid.
Gentala ibarat sebuah keluarga, seorang anak yang sudah merasa dewasa dan ingin mandiri, tentu ada keinginan
untuk memisahkan diri dari keluarga besarnya dan membentuk keluarganya sendiri dan mandiri. Karena
kemandirian inilah, Gentala memiliki ciri khas untuk ditawarkan kepada penikmat teater tradisional yang boleh
dibilang sudah merindu lahirnya kelompok atau komunitas teater tradisional seperti saat-saat masa berjaya
beberapa puluh tahun lalu.
"Sangatlah tepat kalau Gentala memilih seni teater tradisi sebagai pijakan. Bukan hanya untuk melestarikan,
tetapi juga teater tradisional masih menjadi lahan yang menjanjikan," ujar Rosyid. (Retno HY/"PR")
pandang dalam mengamati teater sebagai seni pertunjukan di Indonesia. Tradisi dan modernitas hanyalah alat
untuk mengukur jangkauan kreativitas seniman dalam melahirkan karya teater."
Juga dikatakan pengamat teater dari Sumatera Utara, D. Rifai Harahap, seni teater ikut membangun kebudayaan
baru yang disebut Indonesia. Teater Indonesia, seni pertunjukan yang mampu menciptakan idiom teater baru dan
menggunakan bahasa Indonesia di depan penonton yang juga Indonesia. Indonesia bukan Batak, bukan Jawa,
bukan Bugis, Ambon, Manado, Banjar, Minang, dan Aceh. Teater Indonesia, seni pertunjukan yang bisa
berdialog tentang berbagai persoalan yang ada di Indonesia.
Melihat kecenderungan yang selama ini terjadi dalam teater modern Indonesia, masih selalu persoalannya
berkutat pada identitas, berkaitan dengan akar tradisi, yang masih mengandalkan naskah-naskah dari Barat,
sepertinya tidak mungkin mencari tandingan naskah seperti karya William Shakespeare, Spokles, Antoni
Arthud, Molier, J.P. Sartre, Albert Camus, dan banyak lagi. Teater hidup seperti teralienasi dari masyarakat,
sehingga dampak kehidupan para awak teater semakin memprihatinkan.
Perkembangan kehidupan teater modern di Indonesia dapat dikatakan berjaya pada kisaran 1970-1990-an, dan
setelah itu mengalami kemerosotan yang sangat signifikan dalam kuantitas pertunjukannya, bahkan banyak
teater yang punya nama besar tidak lagi melakukan aktivitas pementasan. Walaupun demikian, masih ada
beberapa kelompok teater yang tetap konsisten untuk selalu tampil walau dalam keadaan yang memprihatinkan
dalam segi finansial.
Dalam kondisi yang memprihatinkan ini, berkaitan dengan ulang tahun Teater Payung Hitam (TPH) yang ke-27
yang akan diselenggarakan 1-5 Agustus 2009 di Kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Jln.Buahbatu
Bandung, TPH mencoba mengguar kembali berbagai fenomena dan persoalan terhadap teater Indonesia dalam
tema "Memerdekakan Teater Indonesia". Setidaknya event ini akan dapat menumbuhkan ide-ide baru akan
pertumbuhan kreativitas sekaligus membangun semangat teater di Indonesia.
**
BERKAITAN dengan 27 Tahun TPH , Yayasan Teater Payung Hitam yang merupakan organisasi nonprofit yang
berkecimpung di dunia seni teater, mencoba merangkai acara dalam suatu event, tidak saja pertunjukan teater,
juga peluncuran buku, diskusi, pameran, pemutaran film, hingga bazar. Hal ini dilaksanakan dalam bentuk
keramaian agar suasana pemasyarakatan teater lebih terbangun kembali.
Sejak berdiri 1982, TPH telah memproduksi delapan puluh pertunjukan. Tema yang diangkatnya dapat dibagi ke
dalam tiga fase. Fase pertama, mengangkat tema yang sangat universal dengan bentuk pertunjukan verbal. Fase
kedua bertema sosial politik dengan bentuk pertunjukan nonverbal. Dan fase ketiga mengangkat tema sosial
lingkungan dengan bentuk pertunjukan nonverbal. Pertunjukan-pertunjukannya telah dipentaskan di dalam dan
di luar negeri.
Kegiatan peristiwa budaya yang dilakukanTPH sejak 2004 hingga sekarang lebih menyoroti fenomena
lingkungan. Pemuliaan lingkungan yang diselenggarakan selama ini mengembangkan program kepedulian
lingkungan melalui berbagai kegiatan, workshop lingkungan, seminar lingkungan, dan seni pertunjukan sebagai
upaya menumbuhkembangkan kesadaran budaya konservatori terhadap lingkungan.
Peringatan 27 Tahun TPH akan mempertunjukkan teater karya sutradara Putu Wijaya "Merdeka (Ini Merdeka
yang Lain)", karya Rachman Sabur "Puisi Tubuh yang Runtuh", karya Benny Johanes "Interupsi", karya Tony
Broer "Tubuh Ruang Meja Merah Tumbuh Bunga Batu", dan karya instalasi Herry Dim "Instalasi Candu Dalam
Ingatan", serta orasi budaya oleh budayawan Endo Suanda.
Di samping pertunjukan teater dan orasi, juga diselenggarakan peluncuran buku karya Joko Kurnain berjudul
"Teater Payung Hitam - Dialektika Antara Realitas dan Identitas". Sementara dalam diskusi akan tampil Prof.
Jakob Sumardjo, Halim H.D., Putu Wijaya, Herry Dim, dan Benny Johanes. (Diro Aritonang/"PR")***