Anda di halaman 1dari 6

PAMERAN LUKISAN

“GERAKAN SENI ABSTRAK INDONESIA”

Sejumlah 85 perupa abstrak dalam dan luar negeri menggelar pameran bersama bertajuk
'Gerakan Seni Abstral Indonesia' di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) sejak 9 hingga 18 Maret
2010.

Pameran yang telah digelar kedepan kalinya sejak tahun 2005 tersebut menghadirkan 85 karya
lukis dan instalasi wujud pencapaian kreativitas seni abstrak. Para peserta pameran berasal
Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali hingga Jepara serta beberapa seniman Belanda
serta Australia.

"Pameran ini merupakan kelanjutan dari kemunculan gerakan seni abstrak Indonesia dengan
capaian-capaian teknis maupun konsep yang sejalan dengan perkembangan zaman," ujar kurator
pameran, AA Nurjaman di TBY, Yogyakarta, Senin (15/3).

Nurjaman mengatakan pameran ini juga mempunyai hubungan erat konsepsi gerak pendobrakan
konvensi lama yang memungkinkan timbulnya konsepsi baru tentang seni abstrak.

Di samping tentu saja gerakan ini menekankan pada gerakan intelektual berupa wacana seni
abstrak yang secara sederhana dipusatkan pada pembahasan karya seni rupa abstrak yang hingga
kini cukup sulit dipahami masyarakat awam. "Sehingga para seniman bisa memprediksi arah
kemana mereka membawa karya-karya beraliran abstrak mereka," tandasnya.

Menurutnya, begitu banyak seniman yang memaknai seni abstrak adalah seni tentang
spritualitas, tentang ketuhanan juga tentang ruh. Padahal semestinya seniman ini mencari
kemungkinan-kemungkinan penciptaan seni rupa abstrak baru yang ada.

"Misalnya saja realitas persoalan ramalan 2012 yang diramalkan akan ada kiamat. Ini kan bisa
dijadikan inspirasi untuk menciptakan karya-karya seni abstrak baru yang tidak melulu berbicara
soal ruh, soal tuhan," ujarnya.

Nurjaman mengakui para seniman tidak jeli dalam mengekspresikan kebebasan di dalam dunia
seni abstrak. "Abstrak bagi mereka ya sekedar menggambar sebebas-bebasnya. Kuas sana kuas
ini. Namun sebenarnya karya seni abstrak itu membutuhkan berfikir, langkah, serta strategi
penciptaan," ujarnya.

Nurjaman melihat karya-karya yang dipamerkan kali ini, masih banyak yang menggunakan
wacana spirit dalam karya-karya mereka. Ia menilai, sejak 100 tahun yang lalu pun wacana
tentang spirit itu sudah menjadi ruh dari karya-karya abstrak.

Namun begitu ada beberapa lukisan juga instalasi yang dipamerkan disini sudah berupaya untuk
menampilkan karya seni rupa abstrak yang lain dari bentuk umum karya seni abstrak. Misalnya
saja sebuah instalasi mix media yang berjudul "Sky Segmentation" yang diciptakan seniman
wanita Iran yang sekarang tinggal di Yogyakarta, Nestaram Resvani.

Tentang masih sedikitnya karya yang dipamerkan saat ini yang merepresentasikan karya abstrak
baru, Nurjaman mengatakan semunya memang sedang dalam proses bergerak. "Bergerak itu
bukan melompat tapi melangkah. Saat ini sedang dilakukan proses untuk menuju seni abstrak
yang baru," kata seniman lulusan ISI Yogyakarta ini.

Saat ini, menurut AA Nurjaman, diperlukan usaha untuk mengembangkan seni abstrak ke arah
yang baru. Namun ia juga mengatakan sekarang ini belum ditemukan definisi baru dari seni
abstrak itu sendiri dengan muncul adalah karya-karya seni abstrak baru seperti yang dilakukan
seniman-seniman muda saat mereka membuat monumental art, happening art, instalasi art
ataupun digital art.

TEMPAT PENYELENGGARAAN PAMERAN

“TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA”

Taman Budaya Yogyakarta sejarahnya mulai dibangun di kawasan Bulaksumur Universitas


Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada tanggal 11 Maret 1977, sebagai sebuah kompleks Pusat
Pengembangan Kebudayaan (PPK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Peresmian
pembangunan kompleks seni budaya ini dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang
saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia (RI).

Pada mulanya, TBY–Purna Budaya waktu itu–dibuat sebagai sarana dan prasarana untuk
membina, memelihara, dan mengembangkan kebudayaan di DIY dan sekitarnya. Purna Budaya
dibangun dengan dua konsep bangunan, yaitu Pundi Wurya dan Langembara. Konsep Pundi
Wurya dimaksudkan sebagai pusat kesenian dengan berbagai macam fasilitas seperti panggung
kesenian, studio tari, perpustakaan, ruang diskusi, dan administrasi. Sedangkan konsep
Langembara dimaksudkan sebagai ruang pameran, ruang workshop, kantin, dan juga
penginapan.

Pada tahun 1978, Purna Budaya dikembangkan menjadi unit pelaksana teknis bidang
kebudayaan di bawah Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan dengan SK Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan RI No. 0276/O/1978. Kemudian pada tahun 1991, dilakukan pembaharuan
pada organisasi dan tatakerja Purna Budaya berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) RI No. 0221/O/1991. Selanjutnya, pada tahun 1995, Prof. Dr.
Soekanto H. Reksohadiprodjo, M.Com, Rektor UGM (1994—1998), melalui surat No.
UGM/422/PL/06/IV kepada Mendikbud RI, meminta gedung Purna Budaya yang berada di
kompleks Bulaksumur dijadikan untuk sarana kegiatan kemahasiswaan UGM.

Beberapa tahun kemudian, atas kesepakatan Sri Sultan Hamengku Buwono X, BAPPEDA
Provinsi DIY, DPRD Provinsi DIY, Walikota Yogyakarta, dan Dirjen Kebudayaan DIY, gedung
seni budaya TBY dibangun lagi di kawasan cagar budaya yang berdampingan dengan Gedung
Societet Militair. Akhirnya, berdasarkan Peraturan Daerah No. 7 tahun 2002 dan Keputusan
Gubernur DIY No. 161/2002 tertanggal 4 November 2002, TBY berkembang menjadi Unit
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi DIY. Dengan berbagai
macam visi dan misi, TBY antara lain memfasilitasi kegiatan seni budaya, melaksanakan
pengembangan dan pengolahan seni budaya, menjadikan laboratorium dan tempat
eksperimentasi seni budaya, dan melakukan fungsi dokumentasi dan informasi seni budaya,
melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga dinas, dan memfasilitasi Kegiatan seni
budaya.

TBY kemudian memulai babak baru dan meneguhkan diri sebagai “The Window of
Yogyakarta”. Gedung seni budaya ini pun semakin meruncingkan visi dan misi dalam dunia seni
rupa, dunia media rekam (pemutaran film sepanjang tahun), dunia seni pertunjukan (festival
teater, wayang, ketoprak, dalang, dan tari), program-program pendidikan (bimbingan dan
pelatihan seni untuk anak dan remaja), dan juga penerbitan (profil seniman dan budayawan,
antologi sastra, dan kritik seni rupa).

Kompleks bangunan TBY terdiri dari dua bangunan, yaitu Concert Hall Taman Budaya dan
Gedung Societet Militair. Di dalam Concert Hall terdapat ruang utama yang difungsikan
sebagai ruang resmi untuk menyelenggarakan pameran seni rupa, seperti seni lukis, seni grafis,
seni patung, seni kriya, dan kerajinan. Di samping itu, Concert Hall Taman Budaya juga sering
digunakan untuk ruang diskusi sastra, pembacaan puisi, dan ruang pelatihan seni.

Sedangkan Gedung Societet Militair dikhususkan untuk ruang pertunjukan, seperti musik
(tradisional dan modern), teater, ketoprak, wayang, tari, dan lain-lain. Sebagai sebuah tempat
pertunjukan seni, Gedung Societet Militair memiliki fasilitas yang bagus dan memadai, di
antaranya ruang pertunjukan berkapasitas sekitar 500 penonton, panggung pertunjukan,
peralatan tata cahaya, dan ruang outdoor untuk publikasi.
Selain itu, TBY juga menghidupkan banyak kegiatan. Hal ini terlihat dari banyaknya jadwal
kegiatan yang tersusun rapi untuk dilaksanakan secara profesional. Wisatawan dapat
mengunjungi kantor TBY jika ingin mengetahui agenda kegiatan yang terjadwal di papan
pengumuman. Kegiatan-kegiatan tersebut banyak yang berkaitan dengan aktivitas pameran seni
rupa, pementasan teater, diskusi sastra, pembacaan puisi, dan festival kesenian. Di antara
kegiatan yang secara rutin berlangsung di TBY adalah Festival Kesenian Yogyakarta (FKY)
yang diadakan setiap bulan Juli—Agustus, meliputi acara performing arts, visual arts, workshop
seni, dan lain-lain.

Taman Budaya berlokasi di pusat Kota Yogyakarta, tepatnya di Jl. Sriwedani No. 1 DIY,
Indonesia 55122. Lokasi Taman Budaya ini berada di sebelah timur Benteng Vredeburg dan
berdampingan dengan Shopping Center dan Taman Pintar. Di sebelah utara taman budaya ini
terdapat Pasar Beringharjo dan Kawasan Malioboro

Akses menuju Taman Budaya tidak terlalu sulit karena letaknya persis di jantung Kota
Yogyakarta. Di samping itu, Taman Budaya ini juga relatif dekat dari Bandara Adisutjipto
(sekitar 8 km), dari Terminal Giwangan (sekitar 6 km), dari Stasiun Lempuyangan (sekitar 3
km), dan dari Stasiun Tugu (sekitar 1 km).

Bagi turis domestik atau mancanegara yang berangkat dari Bandara Adisutjipto dapat
menggunakan Bus Trans-Jogja (trayek 3A atau 3B) melewati Jalan Malioboro. Setelah sekitar
25 menit dan membayar ongkos sekitar Rp 3.000 (Oktober 2008), wisatawan dapat turun di
Halte Bus Trans-Jogja depan Gedung Agung, kemudian jalan kaki menuju TBY sekitar 300
meter. Sedangkan wisatawan yang berangkat dari Terminal Giwangan dapat menggunakan bus
kota jalur 2, jalur 4 atau jalur 15 melewati Jalan Malioboro, kemudian turun di depan Pasar
Beringharjo atau Taman Pintar dengan membayar ongkos sekitar Rp 2.000 (Oktober 2008),
kemudian jalan kaki menuju TBY sekitar 200 meter.

Bagi wisatawan yang berangkat dari Stasiun Lempuyangan dapat menggunakan taksi menuju
TBY dengan membayar ongkos kurang lebih sebesar Rp 20.000 (Oktober 2008). Sedangkan
wisatawan yang berangkat dari Stasiun Tugu dapat menggunakan becak atau andong menuju
TBY dengan membayar ongkos kurang lebih sebesar Rp 10.000 (Oktober 2008).

TBY buka setiap hari Senin hingga Minggu pada pukul 09.00 sampai pukul 21.00 WIB. Fasilitas
pendukung yang terdapat di TBY antara lain perpustakaan, mushola, toilet, kafe, dan halaman
parkir yang rindang dan luas.
TUGAS
SENI BUDAYA

OLEH:

I.A. Gd. KUSUMAASTUTI WIDIHAPSARI

6/IXB
SMP N 1 BANGLI

TAHUN AJARAN 2009/2010

Anda mungkin juga menyukai