Anda di halaman 1dari 4

Museum Sonobudoyo terdiri dari dua unit.

Museum Sonobudoyo Unit I terletak di Jalan Trikora


No. 6 Yogyakarta, sedangkan Unit II terdapat di Ndalem Condrokiranan, Wijilan, di sebelah timur
Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta.

Sonobudoyo Unit I terdiri dari Ruang Pamer Tetap, Ruang Pamer Temporer (ex-Koni), Ruang
Pagelaran Wayang, dan Gedung ex-koleksi. Sonobudoyo Unit II terdiri dari Ruang Storage dan
Ruang Perkantoran Pegawai Sonobudoyo.

Museum yang terletak di bagian utara Alun-Alun Utara dari Keraton Yogyakarta itu pada malam
hari juga menampilkan pertunjukkan wayang kulit dalam bentuk penampilan aslinya (dengan
menggunakan bahasa Jawa diiringi dengan musik gamelan Jawa). Pertunjukan wayang kulit ini
disajikan secara ringkas dari jam 20.00-22.00 WIB malam pada hari kerja untuk para turis asing
maupun turis domestik.

Sejarah

Sunting

Java Instituut merupakan sebuah yayasan yang bergerak di bidang kebudayaan Jawa, Madura,
Bali, Madura, Lombok yang berdiri tahun 1919 di Surakarta.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta dengan No. 73,
tanggal 17 Desember 1919 yang ditanda tangani oleh Sekretaris Umum G. Rd. Redtrienk
merupakan jawaban Surat Dr. Hoesein Djajadiningrat dan Dr. F.D.K. Bosch tanggal 3 Oktober
1919. Surat Gubernur Jenderal tersebut memberikan wewenang kepada Java Instituut untuk
melakukan kegiatan organisasi selama 29 tahun, terhitung mulai tanggal 4 Agustus 1919.

Lambang Museum Sonobudoyo.

Dengan Java Instituut berpusat di Surakarta, sebagai direktur adalah Prof. Dr. R.A. Hoesien
Djajadiningrat. Sebagai dasar Java Instituut adalah Statuten Java Instituut, dalam pasal 3
disebutkan antara lain mempunyai kegiatan membantu kegiatan, melestarikan dan
mengembangkan kebudayaan pribumi (de insheemsche cultuur) yang mencakup wilayah
kebudayaan Jawa, Madura, Bali dan Lombok.

Pada tahun 1924 Java Instituut mengadakan kongres di Surakarta dengan menghasilkan
keputusan untuk mendirikan museum dengan tujuan mengumpulkan data kebudayaan dari
daerah Jawa, Madura, Bali, dan Lombok.

Pada tanggal 12 Juli 1928 dibentuklah satu komisi "Nyverheid Commisie" pada tanggal 12 Juli
1928. Komisi tersebut diresmikan pada tanggal 19 November 1928 Oleh J.E. Jasper, Gubernur
Yogyakarta. Tugas utama komisi tersebut mempelajari, mengumpulkan dan memajukan
kebudayaan pribumi. Hasil pengumpulan data tersebut dibukukan dalam "De Inheemsche
Nijverheid op Java, Madura, Bali en Lombok" yang diterbitkan tahun 1929 sebagai dasar
pedoman pengumpulan koleksi.

Selain di Surakarta berdiri sebuah yayasan Panti Boedaja (Der Stichting Panti Boedaja) di bawah
pimpinan Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII, yang berdirinya pada tanggal 10 Februari
1930. Dalam perannya Panti Budaya membantu Java Instituut untuk mengumpulkan data
kebudayaan terutama di dalam bidang naskah kuno dari Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan
Surakarta, Kadipaten Pakualaman dan Mangkunegaran.

Sebagai realisasi dari keputusan kongres maka dibentuklah panitia pada tahun 1913 dengan
anggota antara lain Ir. Th. Karsten, P.H.W Sitsen, dan S. Koperberg dengan tugas
mempersiapkan berdirinya sebuah museum. Sedangkan tanah yang digunakan untuk museum
adalah bekas "Schauten" yang merupakan tanah hibah dari Sri Sultan Hamengkubuwana VII.
Awal pembangunan museum ditandai dengan candrasengkala Buta Ngrasa Esthining Lata yang
menunjukan tahun 1865 Jawa atau 1934 Masehi[1].

Kerusakan Museum Sonobudoyo pasca-pengeboman 1945

Pada tanggal 6 November 1935 Masehi diresmikan dan dibuka untuk umum dengan ditandai
candrasengkala Kayu Winayangan ing Brahaman Budha yang menunjukkan 9 Ruwah 1866
Jawa.[2] Sedangkan nama museum bernama Museum Sonobudoyo, sono berarti tempat dan
budoyo berarti budaya.

Pada tahun 1939 untuk menunjang dan melengkapi usaha dari Java Instituut maka dibukalah
Sekolah Kerajinan Seni Ukir atau Kunstambacht School.

Pada tahun 1945, pesawat-pesawat tempur Belanda menjatuhkan bom ke beberapa bangunan
penting di Yogyakarta, di antaranya RRI (Gedung Nilmy/BNI 46 sekarang), Balai Mataram dan
Museum Sonobudoyo.[3][4]

Pada masa pendudukan Jepang di Yogyakarta museum dikelola oleh Bupati Paniradyapati
Wiyata Praja (Kantor Sosial bagian pengajaran) dan pada masa kemerdekaan museum dikelola
oleh Bupati Utorodyopati Budaya Prawito yaitu jajaran pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Presiden Soekarno mengunjungi Museum Sonobudoyo 1955

Selanjutnya pada akhir tahun 1974 Museum Sonobudoyo diserahkan ke Pemerintah


Pusat/Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan secara langsung bertanggung jawab
kepada Direktorat Jenderal dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2000 tentang
kewenangan Pemerintah dan kewenangan Provinsi sebagai Otonomi Daerah.

Pada bulan Januari 2001, Museum Sonobudoyo bergabung dengan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi DIY diusulkan menjadi UPTD Peraturan Daerah No. 7 / Th. 2002 Tgl. 3
Agustus 2002 tentang pembentukan dan organisasi UPTD pada Dinas Daerah di lingkungan
Pem. Prop. Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Surat Keputusan Gubernur No. 161 / Th. 2002 Tgl.
4 Nopember mengenai TU–Poksi.

Bangunan

Sunting

Pada prinsipnya bangunan museum berbentuk Jawa. Hal tersebut dapat terlihat antara halaman
luar dengan halaman dalam dipisahkan dengan tembok (cepuri) yang berhiaskan kuncup bunga
melati dan gerbang utama berbentuk semar tinandu.

Museum berdiri yang terletak di Jalan Trikora No. 6.[5] Dalam perkembangannya tanah museum
mengalami perluasan hingga 7.867 m2 dengan 5.031 m2 sebagai keperluaan penyelenggaraan.

Anda mungkin juga menyukai